Daftar Blog Saya

Rabu, 14 Maret 2018

Bapak, sang Pembohong

Cerpen Dynna Aslikhatul Kirom (Suara Merdeka, 04 Maret 2018)
Bapak, sang Pembohong  ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Bapak, sang Pembohong ilustrasi Suara Merdeka
Kau tahu, aku lupa berapa kali sudah mengajukan kata “kenapa” kepada pria itu, pria paruh baya yang kusebut Bapak. Belasan? Puluhan? Ah, tidak! Pasti sudah ratusan. Bahkan aku pun merasa, kali pertama yang kuucapkan saat keluar dari rahim ibuku adalah kata itu. Kenapa?
“Pak, kenapa Bapak menatapku seperti itu?” ujarku sore itu.
Ia terkekeh renyah seperti biasa. “Karena matamu indah, Mbak,” ucap Bapak sambil terkekeh.
Kubiarkan saja. Luweh, batinku. Ya, hanya dalam batin. Mana berani aku mengatakan langsung pada Bapak. Bisa-bisa nanti dia kutuk jadi batu.
Aku memang terbiasa diam, bicara seperlunya jika Bapak enteng menjawab kata “kenapa”. Dari ratusan orang yang kukenal, bapakkulah yang paling ahli menjawab pertanyaan dari siapa pun, tanpa takut dan kehabisan kata-kata. Bahkan aku berani bertaruh, ia bisa menjawab pertanyaan rektor dengan enteng dan tanpa beban. Padahal, rektor paling ditakuti oleh orang sekampus tempat dia mengajar sebagai dosen luar biasa.
Tentu saja, jika tidak begitu, mana mungkin Bapak bisa mengenal banyak orang dari berbagai kalangan. Jika bukan begitu, mana mungkin temannya di Facebook mencapai 4.562—yang mungkin bisa bertambah lagi. Orang yang ingin berteman, tak bisa mengajukan permintaan pertemanan. Berbeda jika Bapak yang meminta lebih dahulu.
Bapak kembali menyeruput kopi. Begitu keras seruputan itu, hingga terdengar jelas di telingaku. Ia memang sangat menyukai air hitam pekat itu. Huek! Aku sampai malas membayangkan berapa liter air hitam yang tergenang di lambung Bapak. Mungkin cacing di perut Bapak salah mengolah makanan pokok. Bukan nasi, melainkan kopi. Ya, saking banyak kopi yang Bapak minum setiap hari. Atau, bisa saja cacing-cacing itu telah berubah menghitam karena terlalu sering berenang di kubangan kopi.
Sudahlah, namanya kesukaan. Siapa pula bisa melarang? Apa anak perempuan semacamku memiliki daya melarang seorang pria yang jauh lebih tua? Belum selesai aku menasihati, pasti sudah Bapak beri nasihat sepuluh kali lipat lebih dahulu. Bukankah betapa pun Bapak memiliki pengalaman hidup jauh lebih banyak ketimbang aku yang baru 13 tahun menghirup udara di bumi? Walau itu sebenarnya tak ada hubungan dengan bahaya terlalu sering meminum kopi.
Alasan terkuatku kenapa malas berdebat, karena Bapak jago berdebat. Sebagai penulis, mana mungkin dia kesusahan merangkai kata-kata. Meski, misalnya, hanya berdebat perkara sepele.
“Teman-teman Bapak yang baru saja datang menanyakan soal yang sama lagi lo, Mbak,” ucap Bapak tiba-tiba.
Menapa, Pak?” tanyaku. Anggap saja itu pertanyaan formal. Ya, aku paham betul apa yang akan dia katakan.
Jemari keriputnya meraih sebuah buku. Itulah salah satu buku karya Bapak yang sudah katam kubaca. Bapak membuka buku itu dan menunjuk satu baris kalimat di daftar isi. Tepat pada judul cerpen kelima.
“Mereka bersemangat menanyakan kebenaran ‘Tamu dari Masa Lalu’.”
“Ya… dan Bapak pasti menjawab dengan jawaban yang sama bukan? Macam waktu kutanya kali pertama,” sahutku. “Macam sewaktu kakak kelasku menanyakan soal itu pada Bapak pas menjemput Mbak kan?”
“Lalu Mbak mau Bapak jawab apalagi?”
Aku hanya mengangkat kedua pundak.
“Tidak ada!” jawabku dalam hati. “Karena, Bapak memang pembohong ulung.”
Bapak memang pembohong, benar-benar pembohong. Dia punya banyak hal sebagai objek kebohongan. Cerpen itu hanya satu di antara puluhan, bahkan ratusan, tulisan Bapak yang merupakan kebohongan. Memang banyak pula kebenaran dia katakan, dia wujudkan, tanpa kebohongan.
Bapak, misalnya, berkata akan menutup kedai kopi. Dan dia memang melakukannya. Berani mengambil risiko, walau kedai itu merupakan salah satu kedai yang cukup ramai di lingkungan ini. Lingkungan kami tinggal, lingkungan kampus tempat Bapak mengajar. Tak jarang pula tamu-tamu jauh dari kota atau luar kota berdatangan untuk mencicipi secangkir atau bahkan hanya seteguk kopi di sana.
Seteguk? Ya, banyak orang datang ke kedai alih-alih membeli kopi, sebenarnya bertujuan utama tak lain menemui Bapak. Itulah salah satu dampak dari ulah Bapak sebagai pembohong besar.
Namun aku sangat menyayangi Bapak.
Bapak menutup kedai karena pertanyaanku tempo hari. “Kenapa Bapak tak punya banyak waktu untukku dan Adik?”
Hanya karena pertanyaan itu, kedai kopi fenomenal Bapak harus berganti menjadi kios buah tak beraturan. Namun layaknya tsunami, meski telah usai melanda, meski tempat yang terkena telah diperbaiki, momen tsunami itu masih begitu terikat dalam memori orang yang menyaksikan. Persis ulah Bapak, sang pembohong. Betapapun telah menutup kedai, Bapak tetap mendapatkan ratusan tamu yang menjadi korban. Setiap hari selalu ada orang datang, meski sekadar mampir.
“Masih mengira cerpen-cerpen Bapak kebohongan, Mbak?”
“Iyalah, Pak.”
“Mbak kan tahu, penulis tidak bisa menciptakan karya dari kebohongan? Semua itu dari fakta.”
“Fakta dengan kebenaran yang Bapak semukan!” sangkalku dalam hati.
“Mbak ingat coretan Bapak tentang bak kamar mandi?”
Ah, mana mungkin aku lupa. Itu berlebihan dan tak membuatku heran setengah mati. Waktu itu, memang bak kamar mandi kami bocor. Dan Bapak enjoy saja membuat coretan kecil soal bak kamar mandi yang bocor itu. Heran!
Becik ketitik ala ketara, Pak.”
Bapak tersenyum kembali. Entah menahan gemas atau hanya meledek atas pendapatku yang menurut pendapat dia merupakan wujud ketidaktahuan.
Semua orang mengatakan Bapak hebat. Penulis! Ibu yang dulu kuliah di jurusan bahasa menjadi korban Bapak setiap hari. Namun berbeda dariku, Ibu menanggapi Bapak secara biasa-biasa saja. Malah Ibu kerap kali membantu Bapak. Membantu menyikapi secara kritis karya Bapak.
Kau pasti bisa membayangkan bukan bagaimana aku dibesarkan dalam lingkungan luar biasa ini? Lingkungan tempat Bapak dan Ibu begitu kompak melakukan hal-hal semu dan palsu. Namun jangan salah. Ibuku beda. Dia lebih suka jadi penikmat.
Hampir sama dengan coretan Bapak yang kubaca siang tadi. Coretan yang sebenarnya ingin kupertanyakan saat ini. Di sana tertulis kisah cinta mereka. Bapak menulis tentang pengejaran cintanya pada Ibu. Dulu, berkali-kali Bapak datang ke rumah Ibu. Namun Ibu acuh tak acuh. Sering pula Bapak meninggalkan secarik kertas berisi puisi cinta. Romantis memang.
Namun melihat Bapak yang sekarang, dengan rangkaian ribuan kalimat yang luar biasa, aku merasa Bapak jujur saat menulis cerita itu.
“Tumben tidak belajar di kamar, Mbak?”
Suara Ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Ah, kebetulan Ibu datang! Kuinterogasi saja. Kurasa Ibu lebih bisa menjadi sumber tepercaya ketimbang sumber yang satu.
“Ingin menginterogasi seseorang.”
Ibu dan Bapak saling lirik. Aku meraih sebendel kertas, kuluruskan lipatan-lipatannya dan kuletakkan di meja tepat di hadapan mereka.
“Bu, benar dulu Ibu jual mahal waktu Bapak berkali-kali ke rumah?”
“Tidak.”
“Benar Bapak sering menulis puisi cinta dan Ibu menikmatinya?”
“Puisi cinta? Tidak!”
Aku mendengus lirih, “Terakhir, Bu. Benar Ibu jatuh cinta lebih dahulu pada Bapak dan karena itulah Ibu menunggu Bapak sekian lama?”
“Mana mungkin! Ibu menerima Bapak berawal dari kegeraman dan rasa kasihan, Mbak.”
Bapak yang sedang meneguk kopi tiba-tiba tersedak.
“Geram?”
“Karena Bapak mengganggu Ibu dan tak pernah bersikap romantis.”
“Kasihan?”
“Karena Bapak tidak laku-laku.”
Aku mendengus lagi. “Mbak tiba-tiba ngantuk.”
Aku berjalan ke kamar. Benar kan? Lagi-lagi kutemukan kebohongan Bapak. Padahal, hampir saja aku percaya. Sudah kuduga, bapakku memang pembohong. Kenapa? (44)

Dynna Aslikhatul Kirom, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Senja yang Berguguran

Cerpen Alim Musthafa (Media Indonesia, 11 Maret 2018)
Senja yang Berguguran ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Senja yang Berguguran ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
“SORE ini, akan ada senja berguguran di Gunung Angin. Seperti tahun lalu, pasti akan ada banyak pasangan kekasih yang berdatangan.” Begitu kata beberapa warga yang tinggal di kaki gunung itu.
Royhan sebenarnya tidak ingin percaya dengan perkataan warga yang tidak masuk akal itu. Tapi, mengingat gunung itu bisa menyajikan senja dengan begitu dekat dan jelas, serta angin yang berkekuatan kencang, bukan mustahil hal yang terdengar ganjil itu bisa terjadi. Apalagi momen ini jatuh di penghujung Desember, kekuatan angin bisa berlipat-lipat dari biasanya.
Namun, Royhan masih belum bisa berpikir, serupa apakah senja yang berguguran itu? Apakah serupa salju yang mampu menutupi permukaan kota? Atau serupa daun-daun menguning, yang jatuh perlahan, lalu hilang entah ke mana? Atau bahkan serupa bulir-bulir cahaya yang bisa dipungut dan dibawa pulang? Ah, ia tak mau berpikir lebih jauh, juga tak mau bertanya pada siapa pun, bukankah lebih meyakinkan jika bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri?
“Bersiaplah Izara, sebentar lagi kita akan berangkat!”
Royhan dan Izara tinggal di desa Pakandangan Barat, desa yang terletak tepat di kaki Gunung Angin. Entahlah, kenapa warga bisa menyebut gundukan tanah raksasa itu sebagai gunung. Padahal, sebenarnya ia lebih pantas disebut bukit, mengingat ketinggiannya hanya mencapai 1500 meter dari permukaan laut. Tapi, Royhan tak mau mempermasalahkan status gunung itu. Sebab, yang terpenting baginya, gunung itu bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan selama ini: senja yang selalu menyala setiap sore hari.
Semula, Royhan dan Izara hanyalah sepasang pengembara, yang berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain hanya untuk menemukan senja yang bisa bertahan lebih lama. Hingga pada beberapa waktu, di musim hujan, mereka benar-benar mengalami krisis senja. Setiap sore hari, selalu saja ada mendung tebal yang menyelubungi langit barat hingga senja tak terlihat mata. Sementara itu, ia mendapati tubuh Izara semakin lemah, tak berdaya. Tapi ia terus membopong tubuhnya hingga bertemu sepasang kekasih yang sepertinya juga menggemari senja.
“Pergilah ke Gunung Angin! Di sana kalian akan selalu menemukan senja meski langit sedang mendung.” Begitu kata sepasang kekasih itu.
Maka, tanpa membuang-buang waktu, Royhan beserta Izara yang semakin lemah itu pun pergi. Menyusuri jalan setapak, lembah, sungai, sampai hutan tak bernama. Melewati pasar demi pasar, dusun demi dusun, hingga mereka sampai di desa yang dimaksud setelah bertanya pada setiap orang yang ditemui di jalan.
“Akhirnya, aku bisa menyelamatkanmu, Izara. Di sini, kita akan mampu merawat kehidupan,” kata Royhan dengan mata berbinar-binar, meski nafasnya masih tersengal-sengal, merasakan capek yang tak tertahankan.
Royhan dan Izara kemudian membuat tempat tinggal di antara rumah-rumah warga. Hidup berbaur bersama mereka. Pergi ke pasar untuk berbelanja sembako, berkunjung ke tetangga untuk meminjam perabot dapur. Mereka pun bekerja serabutan untuk mendapatkan penghasilan. Menjadi buruh tani yang menggarap ladang-ladang warga, menjadi buruh bangunan saat kebetulan diajak tukang, atau menjadi nelayan saat musim ikan.
Oleh para warga, mereka pun dikenal sebagai orang baik dan ringan tangan. Jika ada para tetangga yang menggelar kenduri, hajatan, atau selamatan, mereka selalu datang membantu. Menegakkan terop, mengangkut sound system, menggelar tikar untuk para undangan, dan menyiapkan hidangan ketika ucara hampir usai. Mereka selalu membantu sahibul hajat cuma-cuma, tidak mengambil upah dari pekerjaan mereka.
Namun, ada keanehan pada salah seorang dari mereka berdua. Setiap kali mereka dihidangkan makanan di akhir acara, hanya Royhan yang berkenan menyantapnya, sementara Izara memilih langsung pulang, tanpa sedikit pun mencicipinya. Dan itu selalu mengundang tanda tanya di benak para warga.
“Nak Royhan, kenapa kekasihmu selalu tidak pernah makan saat dihidangkan makanan? Apakah masakan kami tidak pernah enak?” Begitu tanya salah satu warga.
“ Maaf, bukan menolak, Bibi, hanya mungkin Izara masih kenyang. Ia memang terbiasa makan di rumah sebelum bekerja di rumah orang.”
Royhan mencoba menutupnutupi keganjilan Izara, meski ia juga bertanya-tanya heran, perempuan macam apakah kekasihnya sebenarnya: tidak makan, tidak minum, dan hanya mencukupkan diri dengan melumuri tubuhnya dengan berkas-berkas senja?
Mungkin, tidak pernah ada orang yang tahu bahwa Royhan menemukan Izara di tepian Sungai Mingsoy saat menjelang magrib, setahun yang lalu. Saat itu, ia hendak mandi di sana setelah pulang dari bekerja. Sungai dalam keadaan sepi. Orang-orang sudah berada di rumah masing-masing. Tapi tiba-tiba ia melihat seorang gadis duduk sendirian di atas hamparan batu. Gadis itu terlihat menangis. Tapi Royhan tak berani mendekat.
Sungai Mingsoy yang merupakan sungai terbesar di Madura memang kerap menyajikan hal-hal aneh. Beberapa kali Royhan mendengar permainan kecipak air, tangisan bayi, dan canda-tawa perempuan yang sedang mandi. Tapi begitu diintip dari balik rimbun semak-semak di tepian sungai, ternyata tidak ada siapa pun dan hanya air yang mengalir dengan tenang. Dan di sore yang segera tenggelam itu, apa yang ia lihat benar-benar kenyataan, benar-benar perempuan. Setelah mengintipnya cukup lama, barulah ia keluar dan mendekati gadis itu dengan perasaan yang dikuat-kuatkan.
Royhan mencoba menegur gadis itu, tapi gadis itu tak pernah perduli dan malah terus menangis, hingga ia pun kebingungan. Ia lantas hanya mengamati sekujur tubuh gadis itu. Dari warna kulitnya yang tampak kuning keemasan, ia curiga gadis itu bukan macam gadis pada umumnya. Mungkinkah perempuan jadi-jadian yang hendak mengusik pemudapemuda desa? Atau mungkin seorang bidadari yang turun dari kahyangan, mandi di sungai ini, lalu ditinggalkan oleh yang lain? Namun, hingga cerita ini usai, gadis itu tak pernah sudi memberitahu asal-usulnya.
Royhan lantas membawa gadis itu ke gubuknya. Ia memang hanya tinggal sendirian. Istrinya meninggal bersama anaknya saat melahirkan. Sementara kedua orangtuanya juga meninggal karena kecelakaan. Gubuk reot itu terpencil dari rumah-rumah penduduk. Oleh karenanya, ia tidak khawatir ketahuan penduduk bahwa ia sedang tinggal berduaan dengan seorang gadis tanpa ikatan pernikahan.
Selama beberapa hari, gadis itu tak pernah dikeluarkan dan dipamerkan pada tetangga. Di gubuk itu, telah Royhan sediakan makanan-makanan ala kadarnya. Tapi Royhan justru kebingungan saat tahu makanan-makanan itu tetap utuh, tak berkurang sedikit pun. Dan dari sanalah gadis itu mulai berbicara.
“Aku tak butuh makanan, Mas. Aku hanya butuh senja.”
Maka, untuk menghindari fitnah, Royhan lantas membawa gadis itu ke kediaman Pak RT, lalu meminta dinikahkan dengan saksi beberapa tetangga. Tetangga-tetangga yang hadir merasa takjub akan keberadaannya yang ganjil.
“Seperti bukan gadis biasa.”
“Betul, jangan-jangan jelmaan bidadari.”
“Tapi, dari manakah dia berasal?”
Ketika dihadapkan pada pertanyaan begitu, mereka mendadak bungkam. Sebab, Royhan sendiri tak mampu menjawab. Semenatara gadis itu lebih memilih diam atau menghindar.
Sejak hari itu, Royhan melayani Izara dengan baik. Mengantarnya ke tempat senja, lalu ia melumuri tubuhnya dengan berkas-berkas senja hingga kembali segar. Tak lupa Royhan juga mengisi buntalan bawaannya untuk persediaan esok paginya, saat hendak pulang.
***
Setelah mendaki lereng dengan susah payah, akhirnya Royhan dan Izara sampai di puncak Gunung Angin. Di sana, senja masih belum menyala dengan sempurna. Tapi pasangan-pasangan kekasih sudah menjejali permukaan gunung yang penuh batu besar dan tajam. Pasangan-pasangan kekasih itu sudah mengambil tempat di mana senja bisa dilihat begitu dekat dan jelas. Maka, terpaksa Royhan dan Izara mengalah. Mereka berdua mendapat tempat paling jauh di belakang.
Di sore-sore biasa, Gunung Angin memang sudah menjadi tempat favorit pasangan-pasangan kekasih menghabiskan kebersamaan. Mereka bercanda-tawa sepuasnya. Saling menggombal, saling mencubit, lalu saling menyandarkan tubuh saat bosan. Tapi, begitu senja menyala dengan sempurna, mereka mendadak terdiam, tenggelam dalam romantisme yang dalam.
Senja yang menyala sudah mendekati sempurna. Royhan sepertinya sudah tidak sabar menunggu. Ia semakin beringsut, merapat ke sisi pasangan-pasangan yang berangkulan. Sementara Izara tetap diam terpaku dengan raut wajah yang sukar digambarkan.
“Izara, kemarilah! Sebentar lagi senja sempurna. Dan kita akan saksikan, bagaimana indahnya senja yang berguguran itu,” teriak Royahan.
Belum sempat Izara menjawab, tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Di langit Gunung Angin yang tampak begitu dekat, senja bergelantungan dengan jelas, berayun-ayun, terpecah-pecah, lalu gugur perlahan seperti daun-daun yang kemilau. Setiap kali guguran senja itu menyentuh tanah, mendadak menjelma kunang-kunang, lalu terbang menghiasi langit Gunung Angin yang mulai petang. Semua pasangan kekasih terbuai takjub, tak tekecuali Royhan.
Namun, ketakjuban Royhan mendadak berhenti begitu ia menolah ke belakang. Di sana tubuh Izara juga berguguran. Dan ia hendak meraihnya, tapi terlambat, gugurannya keburu menjelma kunang-kunang.

Karduluk, 2018
Alim Musthafa tinggal di Sumenep. Alumnus PBA di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Gulukguluk. Sehari-hari ia menerjemah dan menulis puisi dan cerpen.