Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Kita bukan novel. Kita bukan cerpen. Pada akhirnya kita adalah kumpulan karya. (hlm. 263)
Ada juga selipan kalimat-kalimat yang beraroma buku:
Terkadang buku-buku tidak menemukan kita hingga saat yang tepat. (hlm. 101)
Sebuah tempat kurang sempurna tanpa toko buku. (hlm. 212)
Buku jauh lebih memuaskan bagi pembacanya jika kau tahu. (hlm. 215)
Kita membaca untuk mengetahui kita tidak sendirian. Kita membaca
karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak
sendirian. (hlm. 263)
Kita bukan novel. Kita bukan cerpen. Pada akhirnya kita adalah kumpulan karya. (hlm. 263)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Beberapa orang memiliki talenta yang hebat. (hlm. 76)
Tidak ada orang yang sempurna. (hlm. 109)
Kita adalah yang kita cintai. Kita menjadi diri kita karena kita mencintai. (hlm. 265)
Kita bukan hal-hal yang kita kumpulkan, dapatkan, baca. Selama ada
di sini, kita hanya mencintai. Hal-hal yang kita cintai. Orang yang kita
cintai. (hlm. 265)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Jangan memperlakukan orang yang berbaik hati kepadamu dengan buruk. (hlm. 11)
Sulitnya hidup sendirian adalah kau harus membereskan sendiri semua kekacauan yang dibuatnya. (hlm. 23)
Orang jahat pantas menerima ganjaran mereka, tapi kita sungguh-sungguh tidak suka kesepian. (hlm. 83)
Hampir semua hal buruk dalam kehidupan diakibatkan waktu yang tidak
tepat, dan semua hal baik disebabkan waktu yang tepat. (hlm. 113)
Seluruh kehidupan ada dalam memoar olahraga. (hlm. 115)
Ketakutan tersembunyi bahwa kita tidak patut dicintailah yang menyebabkan kita terisolasi. (hlm. 167)
Cantik bukan alasan bagus untuk berpacaran dengan seseorang. (hlm. 219)
Segala sesuatu yang baru tidak lebih buruk dibandingkan dengan sesuatu yang lama. (hlm. 225)
Oleh Amika An (Padang Ekspres, 28 Januari 2018) Air di Dalam Teko ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Panen bawang kali ini bertepatan dengan musim kemarau. Di satu sisi,
panen di musim kemarau menguntungkan karena bawang-bawang yang baru di
panen bisa langsung dijemur dan cepat kering. Sementara di sisi lain
panen pada musim kemarau membuat para petani cepat lelah. Debu-debu dan
racun bawang akan beterbangan. Petani harus selalu menutup mulut dan
hidung dengan masker supaya kulit tidak mengelupas dan debunya tidak
terhirup. Mereka juga menggunakan sarung tangan dan sepatu bot supaya
kulit tidak terbakar sinar matahari langsung. Di bawah kaki Bukit Okoh,
para petani bawang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ada yang
mencabut bawang dari tanah, ada yang menjalin tangkainya, ada yang
memasukkannya ke dalam karung ada pula yang hilir mudik mengangkutnya ke
dalam truk. Panen selalu dilaksanakan dengan sistem gotong royong dan
kali ini adalah jatah ladang Mak Min.
Aku yang baru pulang sekolah, diminta ibuku untuk mengantarkan satu
teko air ke ladang Mak Min, tidak jauh dari rumah kami. Lagi pula aku
juga sering ke sana. Selain mengantarkan air, ibu juga kerap menyuruhku
ke ladang Mak Min untuk memetik daun singkong, memetik cabai, bunga kol
atau seledri jika sewaktu-waktu ibu kekurangan bahan masakan. Aku segera
bersiap-siap dan berangkat.
“Hati-hati ya, Nak,” pinta ibu sambil memasang tutup teko.
“Baik, Bu,” balasku sambil merapikan topi.
Aku lalu memasang sendal dan menuju ladang Mak Min.
Mak Min adalah petani ulung. Selain menanam bawang, Mak Min juga
menanam wortel dan sayur-sayuran yang lain. Mak Min memanfaatkan setiap
bagian ladang yang kosong. Mak Min punya anak bernama Hafiz, dia seusia
denganku. Biasanya kami berangkat ke ladang berdua, namun kali ini
sepertinya Hafiz sudah sampai dulu di sana. Aku bisa melihat itu dari
topi koboi yang digunakannya.
Dua hari yang lalu, ladang Mak Min tampak seperti karpet hijau yang
membentang luas. Daun bawangnya muda. Mak Min pandai memperhitungkan
pupuk dan racun apa yang diberikan kepada tanaman bawangnya hingga
bawang-bawang Mak Min tumbuh sehat dan subur. Namun karpet hijau di
pinggir danau itu sekarang sudah gundul. Satu persatu tangkai bawang
sudah dicabut dari tanah.
“Mak Miiiin,” teriakku pada Mak Min sambil mengangkat teko yang
kubawa dengan kedua tanganku, menandakan bahwa sudah waktunya minum dan
beristirahat. Mak Min melambai-lambai. Aku menuju pondok dan meletakkan
teko di atas meja.
“Mak Min, istirahat dulu,” kataku.
“Iya, iya, sebentar,” Mak Min lalu melepas maskernya.
Beberapa menit kemudian, orang-orang yang membantu Mak Min ikut menuju pondok.
Kutuangkan air di teko ke dalam gelas satu persatu.
“Hausnya luar biasa,” cetus Pak Ali, teman Mak Min yang baru saja meneguk satu gelas air.
“Tambah sedikit lagi, Zaki,” sambung Pak Ali sambil menampung gelasnya.
“Baik, pak,” jawabku patuh. Air dari teko kutuangkan lagi ke dalam gelas Pak Ali.
Orang-orang dewasa kemudian beristirahat sambil bercerita sementara
aku dan Hafiz beralih mengumpulkan bawang-bawang yang tercecer di tanah.
***
“Zaki, Hafiz, kemarilah,” kata Mak Min ketika senja menjelang dan
orang-orang sudah pulang. Jika sudah begini, seperti biasa Mak Min akan
bercerita dan kami bersemangat mendengarnya.
“Masih ada air di dalam teko?” tanya Mak Min membuka cerita.
“Sudah habis, Mak Min, tapi bisa diisi lagi,” aku dan Hafiz saling
berpandangan, kami mungkin akan disuruh ke rumahku untuk menambah air
minum.
“Tidak, tidak usah ditambah,” timpal Mak Min menenangkan.
“Begitulah. Air di dalam teko ibarat rezeki yang diberikan Tuhan
kepada manusia. Jika kita membagi rezeki kita kepada orang lain, maka
Tuhan akan menggantinya dengan rezeki yang baru dan bahkan lebih banyak.
Bayangkan apabila air di dalam teko tidak pernah dituangkan sama
sekali, maka sampai kapanpun dia akan tetap begitu, bahkan teko tersebut
bisa berlumut, lalu akan muncul jentik nyamuk,” terang Mak Min. Aku dan
Hafiz mengangguk paham.
“Kita harus rajin bersedekah ya, Mak Min?” tanyaku memastikan.
“Dan berbagi kebaikan kepada orang lain, Ayah?” imbuh Hafiz.
“Kalian cerdas sekali, itu maksudnya,” simpul Mak Min.
Langit senja semakin tampak jingga. Gema suara murotal dari masjid
sudah terdengar. Kami harus segera berkemas, waktu mengaji sebentar
lagi. Aku dan Hafiz sama-sama berjanji bahwa kami tidak akan seperti
teko yang diam, namun akan meniru sifat teko yang selalu menuangkan
air-airnya untuk sesama. Aku membawa teko yang sudah kosong itu pulang,
untuk esok diisi air dan kembali dibawa ke ladang. (*)