Caranya tertawa membuatku jatuh cinta.
Dan kemudian aku tergelincir semakin dalam, mencintai lelaki itu hingga hampir memujanya.
Tetapi kusembunyikan semuanya di dalam hatiku. Karena aku tahu, aku tidak boleh.
Namanya Reno, laki-laki yang memenuhi seluruh kriteriaku dalam semua hal, calon suami
idaman..... kekasih pujaaan. Sayangnya dia bukan kekasihku. Sama sekali bukan, dia adalah kakak
kekasihku. Yah, sayangnya seperti kisah sial yang dialami oleh pasangan kekasih di cerita-cerita
tragedi, kami terlambat jatuh cinta. Dia dan aku mungkin memang ditakdirkan saling menatap
dari kejauhan dengan batin teriris dan nadi berdenyut menjerit. Reno dan aku tidak ditakdirkan
bersatu.
"Jangan cemberut Kiran...nanti olesan fondationmu pecah di sekitar bibirmu." , mamaku yang
duduk dengan asyik sambil mengamatiku di dandani oleh perias itu langsung berkomentar ketika
melihat sudut bibirku mengerut tanpa sadar ketika membayangkan Reno.
Aku mencoba tersenyum meski senyum itu tak naik ke mataku. Kutatap bayangan wajahku di
cermin, perias itu benar-benar ahli, aku didandaninya sedemikian rupa sehingga benar-benar
cantik, alisku dibentuk melengkung ke atas dan feminim seperti alis para artis, begitupun riasan
mataku yang mencolok berwarna emas dan cokelat dipadukan dengan bulu mata palsu yang
berat, tetapi tampilannya sepadan.
Aku benar-benar sudah siap untuk menjadi pengantin wanita hari ini.
Tiba-tiba rasa pedih menyayat hatiku. Membuatku ingin menangis tetapi tentu saja tidak bisa.
Rasa pedih yang seolah mengejek dan menghina semua prinsip yang pernah kupegang. Dulu
dengan lantang aku selalu berseru kepada siapapun, bahwa aku hanya mau menikah dengan
orang yang kucintai. Dulu aku selalu yakin bahwa pernikahan itu hanya bisa terjadi karena cinta.
Tetapi aku dihadapkan pada kebenaran yang menggigit, bahwa kadangkala kenyataan itu seperti
drama yang pahit. Aku hari ini akan menikah dengan Aldo, adik Reno, lelaki yang tidak kucintai.
Ah ya, dulunya aku mengira bahwa aku mencintai Aldo... sampai aku bertemu dengan Reno,
pertama kali dia tertawa mendengar candaku, aku langsung tahu kalau dia adalah cinta sejatiku,
diapun demikian adanya, menggenggam tanganku dengan tatapan menyesal, mengatakan bahwa
sayang sekali bukan dia yang menemukanku lebih dulu. Ironisnya, seperti yang sudah kubilang di
awal tadi, semua sudah terlambat. Cincin pertunangan sudah melingkar di jari manisku, dan
persiapan pernikahan sudah dilambungkan dengan bersemangat oleh keluargaku dan
keluarganya. Tidak bisa mundur lagi. Aku terjebak antara sebuah keputusan salah dan cinta
sejatiku.
Bagaimana mungkin aku akan menjalani hari-hariku selanjutnya? Bisakah aku bangun di sebelah
Aldo setiap pagi, menjalani kehidupan pernikahan yang tidak pernah kuingini, pura-pura bahagia,
hamil dan mengandung anak Aldo... sementara lelaki yang kuinginkan berada dekat... dekat
sekali namun tak bisa kugapai.
"Sudah siap." Ibuku tersenyum puas, pun dengan perias itu, yang menatapku seolah aku adalah
mahakarya. Hiasan pengantin di kepalaku terasa berat, dan aku meringis perih ketika ibu
menggandengku keluar. Menuju tempat calon suamiku menunggu, dengan penghulu dan saksi
yang tak sabar, menanti ijab kabul yang membahagiakan diucapkan.
Langkahku pelan tapi miris, menahan dorongan kuat untuk berbalik dan kabur dari sini.
Lalu aku menangis ketika semua usai dan pernikahan ini di sah-kan.
Tangisan itu bukanlah tangisan bahagia dan terharu ala pengantin perempuan yang merasakan
kesakralan dan kebahagiaan luar biasa, dinikahi oleh lelaki pujaannya. Tangisan itu adalah
tangisan pedih, karena setelah janji-janji itu diucapkan, jalanku untuk mundur dan melarikan diri
sudah tertutup, aku sudah menjadi isteri Aldo. Air mataku mengalir semakin deras, membuat ibu
memberikan saputangannya kepadaku, dia tampak bahagia dengan air mata yang merembes di
matanya...... Semua orang menatapku, tetapi apa peduliku? Aku tetap memangis sesenggukan,
toh mereka semua tidak akan pernah tahu bedanya, dipikirnya aku pasti sedang menangis haru
dan bahagia.
Kecuali satu orang. Sudut mataku menatap sosok Reno yang duduk di sana, di belakang kedua
orangtuanya, menatapku dengan mata pedih dan berkaca-kaca. Hanya dialah yang tahu arti dari
tangisanku ini.
Semuanya berlangsung begitu cepat, bagaikan acara sandiwara yang sudah diatur dengan naskah
sebelumnya. Tangan-tangan menyalami, makanan mengalir melimpah ruah, musik-musik
diperdengarkan, nasihat-nasihat pernikahan di bicarakan dengan selipan humor-humor lucu di
dalamnya. Tetapi tentu saja aku tidak bisa tertawa. Pernikahan ini bagaikan lelucon pahit, yang
lebih menyesakkan dada dibandingkan semua lelucon di dunia ini.
Aku mencoba menahan, merasakan sudut bibirku kaku karena memaksakan senyuman palsu.
Tanganku pegal karena banyaknya yang menyalami, penuh semangat dan doa atas kehidupan
baru yang akan kutempuh. Kehidupan baru macam apa yang akan kujalani nanti? Aku sendiri
tidak tahu, yang kurasakan hanyalah kehampaan dan rasa getir yang meyeruak. Kakiku mulai
gemetar dan lelah, tetapi aku mencoba bersandiwara, menahankan diri sampai semuanya usai.
Dan akhirnya tamu-tamu sudah mulai menipis, musik bergaung seadanya, kursi-kursi sudah mulai
kosong dan petugas catering membereskan piring-piring kotor. Aldo, suamiku.... memeluk
pingganggu erat dan mengecup pipiku dengan sayang ketika beberapa kerabat menggoda kami
dengan guyonan-guyonan yang menyerempet malam pertama. Aku mendesah, merasa iri pada
Aldo. Dia pasti bahagia dengan pernikahan ini. Tidak seperti aku yang tersiksa menghitung detik
demi detik.
Lalu Reno datang, dengan senyum dalamnya yang khas, mendekati adiknya dan menyalaminya.
Dua kakak beradik yang sungguh mirip. Sayangnya aku melemparkan hatiku pada yang satu, dan
menyerahkan tubuhku pada yang lainnya. Reno memeluk adiknya penuh sayang. Lalu dia
menatapku, memberikan senyum dalam, dan menyalamiku erat.
"Selamat Kiran." suaranya serak, mengingatkanku pada tangisannya semalam, ketika dia
menyelinap ke kamarku dan memelukku erat sambil menangis putus asa, mengajakku kawin lari,
yang tentu saja kutolak mentah-mentah. Aku mencintai Reno, tetapi aku masih punya logika.
Tidak mungkin kutimpakan semua rasa malu dan terhina kepada keluargaku dan keluarga Aldo.
Pernikahan ini terjadi karena salahku, terburu-buru mengambil keputusan, memperkosa hati dan
memaksa bilang aku jatuh cinta, tidak sabar menunggu karena takut di kejar usia, dan pada
akhirnya terpaksa menikah dengan lelaki yang bukan belahan jiwaku.
Seandainya aku mau menunggu lebih lama.... akankah aku bisa berujung bahagia?
Ah, aku memalingkan muka ketika Reno melepaskan genggaman tangannya dan melangkah pergi
dengan bahu melorot dan langkah gontai. Kucoba menyembunyikan setitik air mata yang
menetes di sudut mataku. Sementara itu kudengar Aldo di sebelahku tertawa keras, menyambut
lelucon mesum salah seorang kerabat yang menggoda kami. Tiba-tiba aku membentengi hatiku.
Keras, kering, dan rapat, menutupi hatiku yang mulai retak berkeping-keping di dalamnya.
Pesta benar-benar usai, meninggalkan rumah yang berantakan serta orang-orang yang lalu lalang,
masih bekerja membereskan semuanya. Malam sudah menjelang, dan suamiku menggandengku
tak sabar, mengajak memadu hasrat di kamar pengantin yang tersedia untuk kami berdua.
Mataku memutar ke segala arah, mencari sosok yang kucintai itu dengan putus asa, ingin
melihatnya terakhir kali sebelum aku melangkah menyerahkan diriku tanpa sukarela kepada
suamiku.
Lalu kulihat Reno di ujung sana, dalam bayangan gelap, menatap kami berdua. Matanya sedih
dan ekspresinya begitu menyayat. Aku langsung merasakan perih yang sama. Gemetaran
seketika. Suamiku berbisik mesra menggodaku dan membujukku supaya jangan takut, mengira
aku gemetar akan antisipasi malam pertama kami. Tetapi gemetarku berbeda. Dalam tatapan
mataku yang terpaut bersama Reno, kami sama-sama paham artinya. Ini adalah waktunya
membuang hati, Jemariku selayaknya merogoh ke dalam dadaku, mengambil hatiku, lalu
membuangnya tepat di depan pintu kamar pengantinku, teronggok di sana, retak dimana-mana
dan kepingannya berhamburan menyedihkan.
Tak kutolak suamiku yang menarikku masuk ke kamar pengantin. Dan seiring pintu kamar
pengantin tertutup di belakangku. Aku memejamkan mata. Merasakan rongga kosong di dadaku,
rasa sakit itu masih ada membuncah di mana-mana.
Ternyata membuang hati itu, tak semudah yang kukira sebelumnya....
Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar