Daftar Blog Saya

Rabu, 07 Februari 2018

Seorang Lelaki Tidak Mati Dua Kali


Cerpen A.S. Laksana (Jawa Pos, 04 Februari 2018)
Seorang Lelaki Tidak Mati Dua Kali ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Seorang Lelaki Tidak Mati Dua Kali ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
SEPERTI hewan yang dituntun oleh naluri gelap, seorang lelaki pergi meninggalkan rumah, bertemu di jalan dengan seorang gadis dan mengikutinya, dan tak pernah lagi menemukan jalan pulang: ia disesatkan oleh waktu. Anda tahu waktu adalah pengkhianat paling bengis, penjahat tak tertundukkan yang menyiksa kita pelan-pelan, menggerogoti kita sedikit demi sedikit, membuat kita tidur lelap pada suatu malam dan bangun sepuluh tahun kemudian, dan nanti, pada saat kita sudah kepayahan, ia akan mengirimkan pukulan terakhir yang membuat kita tidak sanggup bangkit lagi selamanya.
Saya mendapatkan cerita tentang lelaki yang disesatkan waktu ini dari Hartanto Ramelan, kawan lama yang saya kagumi kesukaannya berpuasa. Ia jujur dan melarat dan sejak kecil hidup hanya berdua dengan ibunya, seorang penjual ikan asap, di rumah kecil dekat tempat pemakaman. Pernah juga mereka hidup bertiga di rumah itu ketika Hartanto Ramelan menikah, tetapi hanya setahun. Setelah itu mereka hidup berdua lagi dan sekarang ibunya hidup sendiri. Tri Rahayu, ketua kelas kami dulu, memberi kabar tiga bulan lalu bahwa Hartanto Ramelan meninggal dunia. “Senin kemarin,” katanya.
Saya benci hari Senin.
Belum lama Hartanto Ramelan menelepon saya dan mengatakan, “Aku sering membaca tulisan-tulisanmu,” dan kemudian menanyakan bagaimana cara mengirim cerita pendek untuk Jawa Pos. Saya berikan kepadanya alamat email redaktur koran tersebut dan kepada si redaktur saya katakan: “Minggu lalu saya memberikan alamat emailmu kepada teman saya. Apakah ia sudah mengirimkan cerpennya?” Redaktur menjawab belum.
“Ia bisa menulis bagus,” saya meyakinkan si redaktur. “Di blognya ia banyak menulis cerita-cerita aneh.’’
Sampai Hartanto Ramelan meninggal, si redaktur tidak pernah menerima kiriman cerita pendek darinya. Menurut Tri Rahayu, Hartanto Ramelan meninggal setelah demam tinggi beberapa hari dan sering meracau. “Mungkin demam berdarah,” kata Tri Rahayu, “tetapi ibunya mengira ia kerasukan.” Saya tidak ikut mengantar jenazahnya ke tempat pemakaman. Pada hari ia meninggal dunia, saya sudah tiga puluh tahun meninggalkan Semarang.
Cerita tentang lelaki yang disesatkan waktu ini adalah tulisan pertama di blog ramelan2325.com. Ia bukan cerita terbaik di blog itu, tetapi menurut saya paling aneh. Karangan terakhirnya, bertanggal 13 Oktober atau sebulan sebelum Hartanto Ramelan berpindah tempat tinggal dari rumah kecil di dekat kuburan ke liang tanah di dekat rumah kecilnya, sebetulnya ditulis dengan mutu yang jauh lebih baik dan masih bercerita soal waktu, tema yang tampaknya paling ia sukai, namun cerita pertama bagi saya lebih menarik.
Saya menampilkannya dalam tulisan ini karena saya sendiri ingin melihat setidaknya ada satu tulisan Hartanto Ramelan yang muncul di koran. Saya tahu ia suka menulis, selain suka berpuasa, dan kami dulu sering datang berdua ke acara-acara pembacaan puisi di Semarang, duduk di pojok ruangan, mengagumi orang-orang gondrong yang berdiri di panggung, takjub pada gerak tubuh mereka yang seperti gelombang, terpukau pada kalimat-kalimat mereka yang tidak kami mengerti.
Inilah cerita pertama di blog Hartanto Ramelan, yang ia nyatakan sebagai kisah nyata:

Lelaki itu pergi pada Sabtu sore ke tempat ia biasa bertemu teman-temannya, sebuah rumah kayu di tepi sungai, beberapa puluh meter dari jembatan besi yang bulan lalu digunakan oleh seorang pelajar hamil untuk menceburkan diri ke air keruh dan mayatnya ditemukan dua hari berikutnya di belakang kios tukang cukur, tersangkut akar pohon yang menjulur dari tebing bersama sampah-sampah. Di rumah tepi sungai itu semua temannya sudah menunggu, tetapi lelaki itu ti ak pernah tiba di tempat teman-temannya menunggu. Ia juga tidak pernah kembali ke rumahnya.
Istrinya sedang telungkup di ranjang memegangi ponsel dengan khusyuk seperti orang beribadah ketika lelaki itu berpamitan. “Aku ke rumah Mujiono,” katanya. Perempuan itu seperti tidak mendengar apa-apa. Sebetulnya ia tidak peduli suaminya hendak ke mana.
Pada sepuluh tahun pertama mereka berumah tangga, perempuan itu selalu cemas setiap kali suaminya pergi keluar rumah pada waktu-waktu senggang, entah ke rumah teman atau ke kedai kopi atau ke tempat mana pun yang ia sebutkan, sebab lelaki itu mudah jatuh cinta. Tepatnya, Ratih meyakini bahwa suaminya adalah lelaki mata keranjang yang akan lekas jatuh cinta kepada sembarang perempuan yang mau meladeninya bercakap-cakap. Ia kokoh dengan keyakinannya dan itu membuat suaminya suatu hari meledak: “Kenapa kau tak pernah mempercayaiku?” Perempuan itu, tanpa rasa gentar sedikit pun oleh bentakan suaminya, menanggapi ledakan dengan enteng: “Kurasa kau pun tidak akan sanggup mempercayai dirimu sendiri.”
Empat kali mereka hampir bercerai dan pada pertengkaran terakhir perempuan itu mengadu kepada ayahnya, “Bajingan itu berkali-kali mengkhianatiku, berkali-kali minta maaf, dan berkali-kali pula mengulangi perbuatannya. Aku tidak sanggup lagi memaafkan.” Ayahnya menggumam:
“Lupakan dia, jika kau tak sanggup memaafkannya.”
Sekarang, setelah dua puluh tahun lebih berumah tangga, Ratih tetap tidak sanggup memaafkan suaminya dan tidak bisa juga melupakannya. Yang bisa ia lakukan hanya tidak memedulikan segala tingkah polah suaminya. Kalau pun lelaki itu berniat jatuh cinta setiap hari, kepada perempuan lajang atau bersuami, ia mau tutup mata saja dan tidak ingin memikirkannya. Dan ia sudah membuat ke putusan tegas: Seburuk-buruknya urusan di dunia ini adalah bertengkar setiap hari dengan bongkahan batu. Tidak ada yang bisa dilakukan terhadap sebongkah batu kecuali menghantamnya dengan martil hingga pecah berkeping-keping, tetapi ia tidak melakukannya. Mereka sudah sama-sama tua dan memiliki anak-anak; menghancurkan bongkahan batu tua itu sama artinya dengan menghancurkan rumah tangga mereka sendiri.
Perempuan itu memilih jalan tenteram: dalam dua tahun terakhir ia rajin melakukan tindakan-tindakan penambah pahala, ialah mencari kutipan dari kitab suci dan menyiarkannya lagi melalui segala saluran yang ada di ponselnya. Ia pikir lebih baik mempersiapkan diri untuk masa depan yang mulia di akhirat nanti ketimbang mengurusi batu tua yang sudah jelas akan menggelinding ke neraka.
Suaminya juga merasa lebih tenteram setelah istrinya tidak lagi cemas dan berpikir bahwa perempuan itu sudah bisa memahaminya. Hanya satu kali ia mencoba mengingatkan istrinya agar jangan terlalu sering berdakwah.
“Mungkin teman-temanmu bisa merasa terganggu jika tiap hari kau berkhotbah,” katanya.
“Tak ada yang akan terganggu,” sahut istrinya. “Teman-temanku bukan iblis.”
“Ya, tapi mereka juga bukan idiot.”
“Kauurus jalanmu sendiri, aku dengan jalanku sendiri.”
Lelaki itu merasa istrinya cantik sekali saat menyampaikan kalimat tersebut dan ia tidak memiliki keberatan sama sekali untuk menyepakati usulannya agar mereka mengurus jalan masing-masing. Tidak ada sulitnya membiarkan perempuan itu beribadah dengan ponselnya.
Begitulah cara badai reda. Langit biru di luar sana. Sesungguhnya tidak, tetapi lelaki itu merasa di luar sana langit berwarna biru jernih dan angin bertiup sejuk dan pikirannya terang benderang. Ia merasa mendapatkan izin dari istrinya.
Pada Sabtu sore saat lelaki itu menghidupkan motor setelah mengatakan kepada istrinya hendak pergi ke rumah Mujiono, salah seorang temannya mengirimkan pesan singkat: “Tolong mampir ke warung, rokokku tertinggal di rumah.” Itu pesan singkat yang menyebabkan ia berbelok arah selamanya.
Lelaki itu memang mampir ke warung di dekat rumah biliar untuk membeli rokok yang dipesan temannya, tetapi dari warung itu ia melanjutkan perjalanannya ke arah lain. Ada seorang perempuan melintas di trotoar depan warung, wajahnya cemerlang dan perawakannya seramping Ratih bertahun-tahun lalu sebelum istrinya itu melahirkan anak-anak dan menjadikan diri sebesar beringin. Lelaki itu terpukau melihat wajah yang cemerlang dan ingin sekali menyentuh tahi lalat di pelupuk mata kiri perempuan itu. Ia merasa akan sedih sepanjang hidup jika tidak bisa menyentuh tahi lalat itu.
Perempuan itu menyeberang jalan, melangkah di antara orang-orang yang melangkah menuju gereja dan kemudian masuk ke gereja bersama-sama mereka; lelaki itu masuk ke warung dekat gereja, memesan kopi, dan duduk di kursi dekat jendela yang menghadap gereja. Sebetulnya ia ingin ikut masuk ke gereja dan duduk di samping perempuan itu, tetapi ia belum pernah masuk ke gereja dan tidak tahu tata cara peribadatan di dalamnya. Ia masih bertahan duduk di warung sampai orang-orang keluar dari gereja pada pukul tujuh malam. Perempuan itu keluar agak belakangan setelah orang-orang sepi; mungkin ia jemaat yang taat, atau mungkin ia melakukan sakramen pengakuan dosa setelah misa berakhir.
Dari gereja, perempuan itu berjalan dengan langkah riang menuju salon di samping toko swalayan, tetapi tidak lama di sana; ia hanya terlihat bercakapcakap dengan seseorang di salon itu dan sebentar kemudian keluar lagi dan masuk ke toko swalayan di samping salon. Lelaki itu masuk juga ke toko swalayan, melihat-lihat makanan dan minuman di rak, sesekali mengambil sesuatu dari rak-rak itu, melihat harganya dan mengembalikannya lagi ke tempat semula. Ia berbuat seolah-olah hendak berbelanja, tetapi matanya tiap saat memperhatikan perempuan itu. Akhirnya mereka berdiri bersebelahan di depan lemari pendingin, sebab lelaki itu sengaja mendekatinya saat perempuan itu melihat-lihat minuman yang ada di lemari pendingin.
Dengan gerak cekatan, tangan kecil perempuan itu mengambil beberapa botol minuman dari lemari pendingin dan memasukkannya ke kereta be lanjaan yang sudah hampir penuh dengan kue-kue, kaleng biskuit, apel, anggur, pisang, dan kertas tissue.
“Belanjaan Anda banyak sekali,” katanya kepada perempuan itu.
“Ya,” kata perempuan itu, “sebab Anda hendak bertamu ke rumah saya.”
Gadis budiman! Ia cantik dan pandai berkelakar. Lelaki itu tersenyum menanggapi kelakar si gadis. O, semoga semua dosanya diampuni jika ia tadi masuk ke gereja untuk melakukan sakramen pengakuan dosa. Ia benar-benar gadis budiman yang tahu bagaimana menjadikan urusan lebih mudah bagi lelaki yang dengan penuh kesabaran mengikuti gerak-geriknya sejak mereka berpapasan di depan rumah biliar. Gadis itu tidak membuat jarak atau menjadikan dirinya sulit didekati.
“Astaga! Saya hampir lupa kalau hari ini ada janji datang ke rumah Anda,” kata lelaki itu.
“Mestinya besok,” kata gadis itu, “tetapi hari ini pun tidak apa-apa.”
“Terima kasih,” kata lelaki itu. “Saya benar-benar pelupa.”
Mereka keluar dari toko swalayan bersama-sama. Ia membawakan barang-barang belanjaan dan mereka kemudian berboncengan mengikuti arah yang ditunjukkan oleh perempuan itu, menem puh ruas-ruas jalan dan banyak tikungan yang tidak ia kenali, dan pada pukul sepuluh mereka sampai.
“Untung kita bertemu,” kata lelaki itu.
“Jika datang sendiri besok, aku mungkin tidak bisa menemukan rumahmu.”
Seorang anak perempuan membukakan pintu ketika perempuan itu mengetuk pintu depan rumahnya.
“Kau bilang akan membawa dia kemari besok, Mama,” kata si anak.
“Dia ingin malam ini juga,” kata mamanya.
Lelaki itu tidak menyangka si perempuan sudah mempunyai anak. Ia pikir masih lajang. Lalu ke pada si anak ia mengatakan: “Aku lupa jika harusnya besok, anak cantik. Kebetulan kami bertemu di supermarket, aku langsung ke mari saja sekalian mengantar mamamu.”
“Dia memanggilku anak cantik, Mama, sama seperti dia dulu memanggilmu. Kurasa kau benar, dia betul-betul mata keranjang.”
“Ya,” kata mamanya, “tetapi kau tidak boleh bicara seperti itu.”
Situasi tiba-tiba terasa aneh dan lelaki itu menjadi kikuk dan tegang oleh percakapan yang didengarnya. Ia merasa baru sekali itu bertemu mereka, tetapi anak kecil itu menyampaikan sesuatu seolah-olah ia dan mamanya sudah pernah bertemu.
“Lihat, Mama, dia kelihatan seperti orang tolol. Mungkin dia memang tolol.”
“Kau harus belajar sopan, anak cantik,” kata mamanya. “Kita belum mempersilakannya duduk, belum menyuguhi apa pun, kau sudah bicara seperti itu.”
Anak perempuan itu, usianya sembilan tahun, mengamati lelaki di hadap annya dengan tatapan yang membuat si lelaki menunduk. Anak itu juga memiliki wajah cemerlang dan tahi lalat di pelupuk mata kiri, persis seperti ibunya, namun mulutnya membuat lelaki itu merasa pedih. Setelah beberapa saat mengamati, si anak berkata lagi dengan nada bersungut-sungut menanggapi ucapan ibunya: “Tapi dia memang terlihat tolol. Katamu dia pengarang. Sepertinya sulit dipercaya bahwa dia pengarang. Mukanya terlihat tolol.”
Ibunya meminta anak itu membawa masuk barang-barang belanjaan dan mempersilakan si lelaki duduk di ruang tamu. “Tolong buatkan sirup untuk tamu kita, anak cantik,” katanya kepada si anak. Kepada tamunya ia meminta maaf: Anak saya seperti itu, ia selalu berbicara apa adanya. “Tidak apa-apa,” kata lelaki itu, “Ia masih anak-anak.”
Ruang tamu berdinding putih tanpa hiasan sama sekali dan tidak ada tanda-tanda bahwa di rumah itu ada orang lain selain perempuan itu dan anaknya. Dan, seperti bisa membaca apa yang ada di dalam batok kepala tamunya, perempuan itu mengatakan bahwa mereka hanya berdua di rumah itu. “Ayahnya seorang bajingan,” katanya. “Ia memacariku dan membuatku hamil dan kemudian lari dari tanggung jawab. Sekarang anakku menjadi kasar, kau sudah melihatnya sendiri. Ia benci sekali pada bajingan itu dan pernah mengatakan, ‘Aku akan meracunnya kalau ketemu dia.’ Aku tak bisa melarangnya jika ia melakukan itu.”
“Saya sedih mendengarnya,” kata lelaki itu.
“Oya?” kata perempuan itu. “Kau tidak kelihatan bersedih.”
Lelaki itu merasa pikirannya mulai buntu, tetapi ia masih mencoba melanjutkan percakapan dengan kalimat yang terdengar seperti pernyataan sikap:
“Saya bukan orang yang terlalu baik, tetapi saya bisa merasakan kesedihan Anda.”
“Orang baik,” kata perempuan itu.
“Aku tahu kau orang yang sangat baik. Jika kita bertemu sepuluh tahun lalu, aku pasti jatuh cinta kepadamu; dan jika aku hamil karena hubungan kita, kau pasti tidak akan lari meninggalkanku.”
Sekarang buntu sama sekali. Lelaki itu tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mengembalikan kegembiraan yang ia rasakan kali pertama saat melihat perempuan itu berjalan di trotoar dan kemudian memboncengkannya pulang ke rumah. Sekarang ia bahkan tidak berani mengangkat wajah. Ia tahu perempuan di depannya memiliki tahi lalat di pelupuk mata kiri dan beberapa saat lalu ia ingin menyentuh tahi lalat itu, tetapi keinginan itu sudah tak ada lagi. Yang ia pikirkan saat itu hanya pamit dan keluar secepatnya dari rumah itu dan lagi-lagi perempuan itu seperti bisa membaca apa yang ia pikirkan: “Kau tidak bahagia dengan pertemuan malam ini?”
“Saya senang sekali,” kata lelaki itu.
“Kau tidak kelihatan senang,” kata perempuan itu. “Kau bahkan tidak bertanya apakah boleh menyentuh tahi lalat di pelupukku. Seharusnya kau senang, anakku ingin sekali bertemu denganmu. Tadi, sebelum aku keluar, kusampaikan kepadanya bahwa besok aku akan membawamu kemari. Rupanya kita bertemu hari ini.”
Anak perempuan itu keluar lagi membawa nampan berisi tatakan dan segelas minuman sirup. Ia meletakkan nampan di meja tamu, lalu mengambil tatakan dari nampan dan meletakkannya di meja, lalu meletakkan gelas sirup di atas tatakan. “Minumlah, Pengarang,” katanya. “Kau perlu minum sirup agar tampak lebih cerdas.”
“Minumlah dan jangan pedulikan kata-katanya,” kata perempuan itu. “Hanya ucapan anak-anak.”
Lelaki itu meminumnya dan berpikir akan mengosongkan gelas dalam sekali teguk dan langsung pamit, tetapi tiba-tiba ia merasa mengantuk sehabis minum.
“Tidurlah, anakku sudah menyiapkan kamar untukmu,” kata perempuan itu.
Ia menuntun lelaki itu ke kamar tidur dan merebahkannya di ranjang. Besok paginya, saat bangun tidur, lelaki itu mendapati dirinya berada di tepi sungai dan melihat tubuhnya mengapung di permukaan air keruh di belakang kios tukang cukur, tersangkut akar pohon yang menjulur dari tebing bersama sampah-sampah. Di tempat itu, sepuluh tahun lalu, seorang pelajar hamil ditemukan mati dalam cara yang sama mengenaskan. Gadis itu memiliki tahi lalat di pelupuk mata kiri dan seorang penulis memperhatikan tahi lalat di pelupuk mata gadis itu. Pada pertemuan pertama mereka, setelah diskusi buku dengan pembicara seorang penyair dari Madiun, si gadis mengatakan, “Saya selalu membaca tulisan-tulisan Anda,” dan si penulis menanyakan: Boleh aku menyentuh tahi lalat di pelupukmu, anak cantik?
Gadis itu tidak menjawab pertanyaan dan lelaki itu tahu apa artinya. Dengan ujung telunjuknya ia menyentuh tahi lalat, dan lain-lain, dan beberapa bulan kemudian gadis itu bersama janin di rahimnya meloncat dari jembatan besi.

Cerita berakhir di situ, namun masih ada yang saya ingin tahu lebih jelas mengenai lelaki di dalam cerita itu. Saya menelepon Tri Rahayu untuk menanyakan apakah ia kenal lelaki pengarang yang diceritakan oleh Hartanto Ramelan. Saya curiga itu cerita tentang saya. Tidak ada orang lain di antara kami satu kelas yang suka menulis kecuali saya dan Hartanto Ramelan.
Berkali-kali saya meneleponnya dan Tri Rahayu tidak pernah mengangkat panggilan telepon saya. Ketika akhirnya mau mengangkat, ia mengatakan: “Bukan kamu!”
“Pasti itu aku,” kata saya.
Tiba-tiba saya membenci Hartanto Ramelan. Ia teman lama yang saya kagumi kejujuran dan kesukaannya berpuasa, tetapi ia tega menulis seperti itu tentang saya. Jika saya ada di Semarang, pasti sekarang juga saya bongkar kuburannya dan saya obrak-abrik tulang belulangnya. Sekiranya tidak mungkin membongkar kuburannya, setidaknya saya akan berak atau kencing di sana.
“Kau mau menunjukkan kuburannya jika aku pulang ke Semarang, Tri?” tanya saya.
“Hartanto Ramelan masih hidup,” kata Tri Rahayu.
“Kau sendiri yang waktu itu memberi tahu aku ia meninggal.”
Tri Rahayu mengatakan tidak pernah menelepon saya. Saya menyebutkan secara rinci bahwa ia menelepon saya Rabu malam dan mengabarkan Hartanto Ramelan meninggal hari Senin kemarin dan ia tetap mengatakan tidak pernah menelepon.
“Tapi itu cerita tentang aku, kan?” tanya saya.
“Aku tidak tahu,” katanya.
“Kau bisa menjawab jujur, Tri?”
“Ya.”
“Lelaki itu aku.”
“Ya.”
“Jadi, aku sekarang sudah mati—.”
Ia menjawab pelan:
“Ya.”
Dengan perasaan pedih saya mengakhiri pembicaraan dan pergi pada tengah malam ke jembatan besi, meloncat ke air keruh di bawah sana seperti yang pernah dilakukan oleh gadis itu sepuluh tahun lalu, tetapi saya sudah tidak bisa mati lagi. Saya masih hidup hingga sekarang, duduk di bawah pohon di tebing sungai belakang kios tukang cukur, menunggu gadis itu muncul lagi di sana. Saya akan meminta maaf kepadanya dan memohon agar diizinkan menyentuh tahi lalat di pelupuk matanya. ***

A.S. Laksana, pengarang kelahiran Semarang. Sekarang tinggal di Jakarta.

Perjalanan Menuju Mars, Kota yang Kehilangan Salak Anjing clan Suara Jangkrik di Jantung Malam, Di Pantai Itu, dan Lainnya


Puisi-puisi Irwan Segara dan F Aziz Manna (Kompas, 03 Februari 2018)
Kebersamaan ilustrasi Januri - Kompas.jpg
Kebersamaan ilustrasi Januri/Kompas

Perjalanan Menuju Mars


Pada langit matamu
Kulihat sebuah kota dibangun
Di planet merah yang murung

Aku melayang
Kutinggalkan rahim yang melahirkanku
Kutinggalkan putih awan
Kutembus gelap dan hampa
Kupijak kerlip bintang

Bumi biru menjauh
Gugusan pulau-pulau
Gedung-gedung pencakar langit
Mobil-mobil tercepat
Dan ponsel-ponsel terbaru
Bagian dari tubuhmu
Dunia kecil
Yang merenggut dan mengirim sinyal
Pada pikiranmu
Menjauh

Dunia maya yang dibangun
Dalam dunia nyata menjauh
Suara-suara bising penduduk Bumi
Mengucap salam terakhir
Bayang wajah seorang ibu
Bayang wajah seorang bocah
Silih berganti dalam kitab kenangan
Yang terbuka dan tertiup angin nasib
Berpisah adalah melepas dan
Mencintai dari kejauhan
Detik-detik bergeser
Pada jam yang mengikat nadimu
Segala peristiwa
Jadi tugu yang dipahat
Dalam goa ingatan

Duka ini milik siapa
Keheningan ini milik siapa
Kedalamannya mengubur degup jantungku
Dingin dan kelam
Merapat pada kuil jiwa
Tubuh yang mengembara
Mencari surga lain, menghindari neraka
Peperangan, penyakit, dan bencana
Menyeret jantung kita dalam kemusnahan
Namun kita hanya bergerak
Dari sunyi ke sunyi yang lain
Dari lembar khayali semata

Di keluasan ini
Kulihat masa kanakku
Bermain layang
Dalam terik
Bermain lumpur dalam hujan
Aku terbangun
Dari mimpi waktu

Di sini segalanya
Mengambang dalam hampa
Tak ada gema seperti di gunung-gunung
Tak ada jerit klakson
Dari sebuah kendaraan
Tak ada angin berembus
Tak ada cuaca
Tak ada udara
Aku rindu gemericik hujan
Yang membenturkan dirinya
Pada atap rumah ingatanku
Aku rindu pada tangis anakku
Pada senyum dan tawa istriku

Waktu perlahan menjauh
Setiap detak dari detiknya
Menekan jantung kesunyian
Betapa tipisnya selaput
Hidup dan mati
Ajal di segala penjuru
Mengintai
Hidup terkurung
Dalam pesawat angkasa
Kerlip bintang itu
Seperti mata perempuan jelita
Yang menggoda lelaki datang
Ke peluknya

Namun dalam setiap keindahan
Tersembunyi kematian
Di keluasan angkasa ini Tak ada yang lebih indah
Dari keheningan yang syahdu
Betapa aku sebutir pasir
Melayang
Dalam nafas Tuhan
Mu bergurau dengan-Nya
Tuhan yang bergurau dengan nasibku
Aku tersesat dalam pertanyaan-pertanyaan hening
Tuhan dalam bangunan
Apakah sama dengan Tuhan dalam dada?
Aku belum juga sampai
Namun pikiranku telah tiba
Barangkali planet merah itu
Adalah tanah yang dijanjikan
Dalam kitab rahasia-Nya.

Kota yang Kehilangan Salak Anjing clan Suara Jangkrik di Jantung Malam


1.
Di lengan jalan, kusaksikan
Masa depan kota ini
Didirikan dari mal-mal dan hotel-hotel
Serta kendaraan-kendaraan yang padat
Seperti kata-kata memenuhi buku-buku
Yang menyesaki rak-rak pikiranmu
Mobil-mobil merangkak di jalan
Waktu mengalir, tak ada yang mampu
Membendung lajunya
Langit mendekatkan matahari pada kita
Panasnya bergolak di punggung aspal
Membakar peluhmu.

2.
Kota ini seperti sebuah akuarium
Yang diisi ikan-ikan raksasa
Kota ini terlampau kecil
Bagi sebuah mal atau hotel
Atau bagi gerutu kita pada jam-jam kerja
Sementara sepeda-sepeda ontel meninggalkan kita
Mereka bergerak menuju masa lalu
Meninggalkan jalanan sesak
Meninggalkan matahari
Terbenam
Di balik punggung hotel.

3.
Di jantung malam
Tak kudengar lagi salak anjing
Atau suara jangkrik
Menembus nadi keheningan
Tanah ini perlalian kehilangan sunyi hutannya
Yang wingit
Aku ingin pulang ke candi-candi
Yang dibangun para pendahulu
Atau ke ritual-ritual di pegunungan
Demi menemu waktu
Seirama hati dan pikiran.

4.
Aku ingin pulang ke suatu zaman
Sebelum penjuru kota dikerubungi peminta-minta
Karena setiap orang tercukupi
Dengan penghidupan sehari-hari
Sebelum detik-detik dari sebuah jam
Mengalirkan keramaian yang lain
Sebelum waktu mencipta lebih banyak
Kemacetan dan mendirikan gedung-gedung
Yang lampu-lampunya
Perlahan menyingkirkan kerlip bintang
Dari jangkauan pandang kita.

Yogyakarta, 2017


Irwan Segara lahir di Malingping, Lebak, Banten, 17 April 1989. Puisinya termuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain Baku Nasib (2016) dan Kavaleri Malam Hari (2017).

Di Pantai Itu


sepasang nyamplung terkelupas kulit luarnya, memampangkan tempurung keras mengayu seperti matamu mak, seperti matamu pak, memandangi anak-anakku belajar berenang di pantai itu.

sepasang kol buntet terseret gelombang, terdampar, nyungsep, separuh terkubur, separuh nyembul di padang pasir seperti matamu mak, seperti matamu pak, memandangi anak-anakku belajar berenang di pantai itu.

berpokok-pokok kayu (serupa lengan serupa torso serupa kaki) terserak di sekitar bundar batu karang seperti tubuhmu mak, seperti tubuhmu pak, memantau anak-anakku belajar berenang di pantai itu.

sedangkan aku (di mana aku?) hanya pikiran karam pada namlima mak, pada namlima pak, seperti hantu mengintai anak-anak belajar berenang di pantai itu.

(2017)

Jamur


berpegang ke gagang jamur aku berpayung melangkah memasuki bangunan-bangunan kota yang baur kabur lebur hancur terguyur hujan (langit adalah tumpukan jubah yang memburai benang-benangnya) november yang kacau

di pusat genangan timbunan kubur kegentingan ingatan tersisa kupanggil kubangkitkan ilusi purba di mana batu dan tanah kukuh bersekutu membentengi serbuan mata timah besi tembaga dari anak panah dan tubuh peluru

tubuhmu yang hampir bugil beku kuanyam kembali dengan berlembar kain hitam merah hijau bergambar pohon burung matahari serupa panji-panji perlawanan atas penaklukan

di titik lain di musim lain (mungkin) jamur-jamur baru menyembul serupa sigi, peli, korek api, dan kobaran lain yang mengancam dalam pikiran dan sewaktu mekar ia serupa ayoman di mana oase areola menyoklat hangat di pusat lingkar putihnya

di titik itulah aku berbaring melingkar serupa ular memamah ekor sendiri

(2017)

Jarak


/1/
aku hanya meminta sebuah kehendak (cinta!) tapi kau berikan tubuh, jurang jarak antara suara dan tatapan dan aku merayap dan meratap hingga kuasa berbalas perkabulan.

/2/
sejak itu aku telah jadi kelana (sewandana cum penjelajah?). tidak kukira, jarak adalah pikiran yang mencarimu, hingga kuabaikan, kubiarkan semua orang berebutan lahan, penampang, benda tinggalan, tilasmu, sedang aku hanya padamu terpaku dan ah, ratapan-ratapanku bukanlah bahan belas kasihan, perolokan orang lapar, gelandangan, buangan atau tundungan (dunia-menjijikkan sungguh-yang sia-sia) sebab perbekalan telah dicukupkan dalam perjalanan tanpa pertemuan ini.

/3/
cinta (cintaku!) telah dibelah dan aku tak bisa mengandalkan, tak butuh (kaki atau jalan) kehidupan untuk mencari untuk menemukan sebab cinta (cintaku!) telah sama bersetuju dalam jaminan perintahmu.

/4/
tapi masihkah kau bersamaku di antara kecabulan dunia kini? sedang aku mungkin lacur, nyunyut-hancur dalam umpatan dalam ancaman dalam kesombongan, di jarak ini telah kutanyai seluruh keturunanmu: mengapa cinta (cintaku!) tiada ketemu? serempak mereka ngakak, menudingku: kaspo, lantas ngelus gluteus maximus dan berjingkrak. krak.

(2017)


F Aziz Manna lahir di Sidoarjo. Jawa Timur, 8 Desember 1978. Di antara buku-buku puisinya adalah Playon (2015), yang mendapatkan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16, dan Dunia dari Keping Ingatan (2017).

Tamu Misterius Pembawa Pesan


Cerpen Ken Hanggara (Padang Ekspres, 04 Februari 2018)
Tamu Misterius Pembawa Pesan ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
SUATU malam kudengar ketukan di pintu rumahku. Aku keluar dan memeriksa siapa yang bertamu di jam yang kurang sopan ini, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Aku lalu kembali ke kamar dan sekali lagi mendengar ketukan dari pintu depan. Kukira mungkin anak-anak dusun sedang bercanda, dan memang beberapa tetangga yang belum lama ini kukenal, karena aku warga baru di kompleks ini, mengeluh bahwa anak-anak dusun itu senang memanjat pagar perumahan dan membuat masalah-masalah.
Salah satu tetangga mencoba mengingatkanku, “Anak-anak itu putus sekolah dan kebanyakan mereka dilahirkan sebagai kriminal. Anda harus mulai jaga diri.”
Tentu aku tidak tahu bagaimana menanggapi saran semacam itu, tapi tetangga yang berkata begitu tampaknya bisa dipercaya. Orangnya bukan sejenis penyebar gosip yang bermulut tanpa rem; tetanggaku ini terlihat pendiam dan sering menoleh ke kiri dan kanan ketika ngobrol denganku di hari perkenalan itu. Ketika itu aku berpikir, mungkin baiknya kulihat dulu beberapa kejadian yang membuktikan ucapan orang ini benar.
Masuk hari ketiga, setelah semua penghuni kompleks kukenal, tidak ada keraguan bahwa aku memang harus terus waspada. Tidak kurang dari tujuh tetangga memberiku peringatan soal anak-anak dusun di luar kompleks.
Yang kutahu dari dusun tersebut hanya tentang sebuah kawasan yang dihuni oleh orang-orang jahat. Banyak yang terlibat urusan dengan polisi dan masuk bui lantaran kejahatan yang tidak dapat dianggap sepele, seperti merampok dan melenyapkan nyawa seseorang.
Aku tidak tahu bagaimana bisa orang-orang ini betah tinggal di kompleks yang tak jauh dari dusun dengan warga sebejat itu. Aku juga tidak tahu bagaimana sejarah kedua kawasan, tetapi tampaknya kehidupan orang-orang di perumahan sini terlihat tenang di pagi hingga sore. Mereka hanya ketakutan jika salah satu di antara mereka berbicara tentang malam hari. Yang muncul dari obrolan ini hanya soal anak-anak dusun sebelah yang senang membuat onar.
Maka, karena ketukan di pintuku bukan sejenis usaha membobol rumah, melainkan mungkin (semoga saja aku benar) adalah cara bercanda anak-anak dusun, dengan tanpa rasa takut, aku kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu dan memberi nasihat pada anak-anak tersebut.
Hanya saja, begitu pintu kubuka, aku tidak melihat siapa pun. Tidak ambil pusing, aku kembali ke kamar.
Dan, sekali lagi, begitu kakiku menginjak lantai kamar, ketukan di pintu kudengar.
Aku tidak lagi dapat menahan diri. Aku kembali ke pintu depan dengan kemarahan yang mulai meluap. Aku buka pintu dengan kecepatan yang tak kukira dapat kuperbuat, karena selama ini aku terkenal sebagai lelaki paling kalem di kantor. Di depan pintuku, bukan para bocah bertato dan bertindik serta membawa bir yang kujumpai, melainkan berdiri lelaki renta dengan wajah kelelahan. Aku tahu lelaki renta itu barangkali pingsan kalau tidak segera kuminta duduk di ruang tamu, sebab wajahnya begitu shock setelah mendengar bantingan pintuku yang keras.
“Maafkan saya,” kataku seraya membantunya duduk, “saya pikir Anda tadi bocah dusun sebelah yang bejat. Jadi, saya kesal dan membanting pintu.”
“Wah, saya tidak berurusan dengan mereka. Memangnya kenapa dengan anak-anak itu?”
“Dua kali pintu saya diketuk dan dua kali juga mereka tidak menampakkan batang hidungnya.”
“Mungkin Anda salah duga.”
Aku bertanya ke si lelaki renta apakah dia yang mengetuk pintuku sebanyak dua kali sebelum ketukan ketiga mempertemukan kami? Lelaki renta ini menjawab ‘tidak’, tetapi dia menjelaskan sempat melihat bayangan di sekitar halaman rumahku.
“Saya tidak tahu itu apa,” lanjutnya dengan suara yang begitu payah. “Tetapi, saya tidak peduli karena saya butuh bantuan.”
Demi meringankan beban lelaki renta ini, kuabaikan pemikiranku tentang bocah dusun sebelah dan bertanya apa yang kiranya dapat kubantu. Lelaki renta ini mengaku tersesat. Dia tinggal di suatu tempat yang jauh dari sini. Suatu kota yang jika kita ingin ke sana, harus oper kendaraan empat kali, yang salah satunya berupa perahu.
“Di seberang sebuah danau,” tutupnya dengan cemas.
Aku terdiam beberapa saat, karena tidak tahu kota apakah itu. Kujelaskan aku tidak berasal dari daerah sini. Aku pindahan dari luar kota, datang dengan sebuah pesawat dan dijemput oleh suruhan bosku untuk mengantarku ke rumah yang disediakan.
“Tapi,” kataku buru-buru melanjutkan, “rumah yang Bos sediakan itu bukan rumah yang nyaman untuk saya. Lingkungannya kurang mendukung pekerjaan saya sebagai akuntan, yang butuh sekali suasana sunyi untuk menenangkan otak. Lagi pula di rumah itu ada teman sesama pegawai yang membawa serta pacarnya secara diam-diam tanpa Bos ketahui. Jadi, rumah ini saya sewa atas keinginan diri saya pribadi.”
“Wah, begitu? Berarti, Anda tidak tahu arahan-arahan yang tepat agar saya bisa lagi kembali ke rumah saya?” sahut si lelaki renta dengan sedih.
“Tidak begitu juga. Kita bisa melacak alamat Bapak, selama Anda ingat alamat itu dengan pasti.”
Sayangnya, lelaki renta tersebut tidak ingat.
Pada titik ini aku mulai tahu bahwa si lelaki renta adalah manula yang sudah pikun. Ia tersesat setelah salah seorang anaknya menurunkannya di suatu tikungan, dan mobil yang anak durhaka itu bawa melesat begitu saja meninggalkannya di tepi jalan.
Karena tidak ada cara lain selain segera menghubungi polisi, untuk sementara tamu pertamaku ini kupersilakan tidur di kamar kosong di bagian depan rumah, dekat ruang tamu, sehingga dia bisa tidur sambil menunggu polisi datang menjemputnya. Tidak ada cara lain selain menghubungi pihak berwajib untuk memberinya bantuan. Lelaki renta itu berterima kasih padaku beberapa kali sampai tidak peduli dengan roti yang kusajikan untuknya.
Hanya saja, ponselku mendadak tidak dapat menyala dan pilihan terakhir pun juga demikian. Maksudku, di sini tidak ada pesawat telepon, sehingga pilihan terakhir untuk menghubungi seseorang adalah dengan cara meminjam. Entah berapa jam aku pergi ke rumah para tetanggaku dan mengetuk pintu rumah mereka satu per satu, tetapi tidak ada satu pun yang membukakan pintu. Bahkan meski kukeluarkan suara hanya agar mereka tahu bahwa yang bertamu malam ini adalah diriku, dan bukannya anak-anak dusun yang bejat.
Kompleks ini cukup luas. Untuk berkenalan dengan setiap orangnya pun butuh tiga hari bagiku, karena adakalanya beberapa tetangga tidak ada di rumah selama dua hari penuh. Tentu saja rumahrumah tanpa tuan mereka ini selalu dijaga oleh para pembantu, yang kebanyakan memilih tidur meringkuk di kamar tanpa peduli siapa pun datang dan mengetuk pintu depan rumah, dan beberapanya dijaga oleh anjing. Tapi kupikir cukup banyak juga orangorang sini yang tidak begitu suka memelihara anjing.
Di luar semua itu, agaknya virus ketakutan terhadap anak-anak dari dusun sudah meluas dan sulit disembuhkan. Aku tidak tahu kenapa, karena selama empat hari tinggal, tidak sekali pun hidupku terganggu oleh mereka. Aku kira baru malam ini anak-anak itu beraksi untukku. Sayangnya ketukan usil dua kali tadi tidak membuktikan betapa gosip tentang bahayanya mereka adalah benar.
Karena kompleks ini luas, maka butuh dua jam bagiku untuk mengetuk setiap pintu dan merasa putus asa berkali-kali karena tidak ada yang memberiku kesempatan bicara. Dalam hati aku mengutuk, betapa meminjam ponsel di malam hari, di tempat seaneh ini, sama dengan berlari ratusan kilo tanpa henti.
Selagi mengetuk pintu demi pintu itu, aku tidak henti mematikan dan menyalakan ponselku yang sebenarnya baru dan jarang kupakai. Aku ingat baterai ponselku masih penuh sesaat sebelum bersiap tidur. Kenapa mendadak mati? Aku tak tahu bagaimana di saat sepenting ini segala sesuatunya mendadak rumit. Urusan menelepon polisi atau mengetuk pintu tetangga bisa jadi begitu panjang.
Kalau saja aku sedikit berani, mungkin sudah kukendarai mobilku ke kantor polisi malam ini juga. Tetapi itu jelas tidak bisa kulakukan. Perjalanan ke kantor polisi cukup panjang, mengingat jaraknya hampir lima kilo, sedangkan aku sangat benci kegelapan. Menyetir dalam kondisi ketakutan hanya akan membuatku celaka.
Pada akhirnya, aku hanya bisa kembali ke rumah dan berharap lelaki renta itu baik- baik saja selama menginap semalam di rumahku. Aku akan mengantarnya langsung ke kantor polisi esok harinya. Dia akan baik-baik saja dan anak durhaka itu bakal menemui pelajaran.
Maka, begitu sampai rumah dan memastikan lelaki renta itu tidur dengan nyenyak, aku masuk kamarku dan tidur. Besoknya aku bangun dan mengajak lelaki itu sarapan. Setelah sarapan, kami ke kantor polisi. Kukenakan kemeja kerjaku dan lelaki renta itu memuji-mujiku, “Masa muda saya setampan Anda. Oh, itu sudah lama berlalu.”
Begitu sampai di kantor polisi, si lelaki renta meminta izin padaku pergi ke toilet. Sebelumnya, dia berpesan padaku agar jangan pernah menjalin asmara. Aku tidak tahu apa maksud perkataan itu.
Ia bilang, “Pokoknya jangan pernah Anda menikah. Itu hanya akan memperburuk masa tua Anda.”
“Masa depan itu misteri, Pak,” kataku.
“Anda sudah tahu.”
Sampai berjam-jam kemudian, bahkan sampai beberapa minggu dan entah berapa lama lagi, si lelaki renta tak pernah kembali. Ia memang pergi ke toilet dan aku melihat tubuh kurusnya menghilang ke balik pintu toilet. Sampai lebih dari setengah jam, ketika aku dan dua petugas kepolisian memeriksa toilet tersebut, tidak ada siapa pun di sana. Aku pun pulang dan tidak berhenti memikirkan ucapan terakhir lelaki tua itu. Aku tidak berani memikirkan kemungkinan aneh ini, bahwa betapa ternyata lelaki itu adalah diriku sendiri dari masa yang berbeda. Apakah mungkin itu terjadi? [ ]

Gempol, 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali

Musim Durian


Oleh Vira Fazirah (Padang Ekspres, 04 Februari 2018)
Musim Durian ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Musim Durian ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Malam ini papa pulang lebih awal dari kantor. Sesuatu hal yang jarang ia lakukan dalam dua bulan terakhir ini. Kata mama, papa sedang ada proyek yang mendesak sehingga ia selalu pulang malam, terkadang larut malam. Jelas, aku merasa kesepian.
Setelah azan Magrib berkumandang dengan merdunya, kami menunaikan shalat berjamaah, kemudian makan bersama. Hal yang sudah dua bulan ini selalu kami lakukan tanpa papa. Selama papa tidak ada di rumah, abangku yang menjadi imam. Malam ini, tentu papa yang menjadi imam.
Dalam dua bulan ini juga, aku hampir tak pernah bicara dengan papa. Papa berangkat pagi-pagi sekali ke kantor. Kami sarapan bersama, namun ia akan menyelesaikan sarapan terlebih dahulu dan pamit terlebih dahulu juga. Biasanya ia menyempatkan untuk menananyakan apakah aku sudah mengerjakan PR atau belum, dan sekarang tidak lagi. Perlahan aku mulai merasa jauh dari papa.
Mungkin papa tak sayang lagi padaku. Jika aku ingin mainan baru, biasanya papa meluangkan waktunya untuk menemaniku membelikannya. Sekarang, peran itu sepenuhnya diambil abangku. Dan malam ini, walau kami makan di meja makan bersama papa kembali, aku merasakan papa begitu asing.
“Irsyad!” papa memecah lamunanku.
“Kalau pesawatnya nggak terbang-terbang, kapan mau sampai tujuan?” canda papa. Rupanya sedari tadi tanganku sibuk memainkan sendok di nasi tapi tak kunjung menyuap juga.
Aku hanya diam, tak tahu akan berkomentar seperti apa.
“Syad, maafin papa ya, karena selama dua bulan ini hampir tak ada waktu untukmu. Untuk tebusannya, bagaimana kalau besok kita berlibur ke rumah nenek,” ujar papa.
“Ke rumah nenek!” aku akhirnya tertarik juga.
“Iya, tadi siang nenek menelpon papa, katanya di kampung sedang musim durian. Bagaimana?” ujar papa.
“Boleh deh,” jawabku datar. Sebenarnya dalam hati, aku sangat senang. Menurut cerita papa dan abangku, nenek punya banyak pohon durian. Aku belum pernah ke rumah nenek ketika musim durian. Kata papa dan abangku, mengasyikkan mendengarkan durian jatuh kemudian memungutnya langsung di dekat pohonnya.
Memasuki wilayah kampung tempat nenek tinggal, bau durian masak sangat semerbak dimana-mana. Di kiri-kanan jalan, banyak terlihat durian yang telah berjejer rapi di atas meja tepi jalan, ada juga yang digantung pada tonggak seadanya. Kemudian jika ada yang berniat membeli, pemilik durian itu segera keluar dari rumahnya, dan terjadilah tawar menawar.
Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil papa sudah masuk ke pekarangan rumah nenek yang sekelilingnya dipagari bambu. Papa memarkirkan mobilnya. Aku lekas turun, tidak sabar ingin berjumpa nenek dan tentunya juga berjumpa durian-durian yang sedari tadi telah berasa di lidahku.
Nenek menyongsong kami ke teras. Aku langsung menyalami nenek. Begitu juga dengan papa, mama dan abangku. Di dalam rumah, nenek sudah siap dengan hidangannya menyambut kami. Ketan durian, makanan fovoritku.
Setelah selesai makan ketan durian, aku duduk di teras depan. Udara di kampung nenek segar sekali dibanding di kota tempat tinggalku. Pohon-pohon di sini juga masih banyak. Nenek juga suka menanam pohon dan beberapa tumbuhan di pekarangan rumahnya yang luas itu.
Papa keluar rumah, kemudian ia duduk di sebelahku. “Syad, penasaran nggak tentang apa yang pernah papa dan abangmu dulu ceritakan tentang memungut durian dekat pohonnya langsung,” tanya papa.
Tentu saja aku penasaran, papa dan abang selalu menjahiliku karena suka durian tetapi tidak pernah merasakan keseruan menyaksikan durian itu jatuh sendiri dari pohonnya. Akupun mengangguk menanggapi pertanyaan papa.
“Yuk ikut papa,” akupun mengikuti papa. Ia berjalan menuju arah belakang rumah. Ternyata ketika keluar rumah tadi ia sudah siap membawa karung dan sebuah golok, sebagai persiapan. Di halaman belakang rumah nenek, terdapat banyak batang pohon kakau. Papa terus berjalan, mengikuti jalan setapak setelah melewati kebun kakau nenek.
Setelah 20 menit melewati jalan setapak itu, papa berhenti dan mengajakku duduk di sebuah gubuk kecil beratapkan daun rumbio. “Lihat!” kata papa sambil menunjukkan sesuatu, wajahnya tampak tersenyum. Aku mengikuti arah telunjuknya. Ternyata sekitar 10 meter dari tempat kami duduk nampak beberapa batang pohon durian. Dan yang paling membuat mataku berbinar adalah, buahnya sangat lebat. Inilah kali pertama aku menyaksikan buah durian di batangnya dengan buah yang begitu lebat.
Papa mengambil beberapa kayu kering dan daun kering. Ia membuat perapian kecil. Katanya, itu untuk mengusir nyamuk. Benar saja, sebelum papa menghidupkan perapian itu, nyamuk berdengung-dengung di telingaku, dan sekarang tidak lagi.
“Kenapa berhenti di sini Pa?” tanyaku heran, kenapa papa tidak berhenti lebih dekat ke pohon itu.
“Kita tunggu di sini, ini tempat yang aman. Karena kalau kita berada lebih dekat akan berbahaya,” terang papa. Sambil menunggu buah durian yang jatuh, papa menceritakan beberapa kisah mengenai orang yang pernah ditimpa durian jatuh kepadaku. Ada yang kepalanya berdarah hingga perlu banyak jahitan, dan ada pula yang meninggal pada akhirnya.
“Seeerrr buuum,” satu durian akhirnya jatuh juga. Aku tak sabar ingin mengambil buah yang jatuh itu, tapi papa melarangku beranjak dari gubuk, katanya terlalu berbahaya. Akhirnya aku hanya bisa melihat papa dari gubuk mengambil durian itu. Papa mengenakkan sebuah pelindung kepala. Pelindung itu sepertinya sebuah helm yang sudah lusuh. Setelah menyibak beberapa semak-semak, papa berhasil membawa durian itu ke gubuk.
Papa melayangkan golok yang tadi ia bawa tepat ke kulit dekat tampuk durian. Kulit durian menjadi menganga. Dan dengan mudah, papa mengoyak kulit durian itu dengan kedua tangannya. Kulit durian itu terbuka dengan sempurna. Aku langsung memakannya tak sabaran. Rasanya begitu segar, manis, dan lezat.
Hampir dua jam aku dan papa duduk di sana menunggui durian sambil bercerita-cerita. Papa menyakan apa saja yang kulakakan ketika ia tak ada waktu untukku, dan apa yang ia lakukan ketika ia tak ada waktu untukku. Hari itu, kurasa papa telah kembali menjadi papaku, bukan orang asing lagi.
Hari ini aku tersadar bahwa seorang papa tak pernah mengabaikan anaknya, papa sibuk dengan pekerjaannya itu juga demi aku. Dari cerita papa aku tahu bahwa papa selama ini setelah pulang kerja, selarut apapun selalu menyempatkan datang ke kamarku, dan mencium keningku. Aku sangat menyayangi papa. (*)

Tragedi-tragedi di Tramway

Oleh Bernando J Sujibto (Pikiran Rakyat, 04 Februari 2018)
Perenungan ilustrasi Rizky Zakaria - Pikiran Rakyat.jpg
Perenungan ilustrasi Rizky Zakaria/Pikiran Rakyat

SALJU turun begitu deras pagi ini. Kota Konya telah sempurna menjadi putih seperti hamparan kain kafan yang panjang. Aku tak bisa memalingkan pandangan mataku kepada rumah-rumah dan pohon-pohon ringkih yang serupa jejeran batu nisan. Tak ada suara sama sekali yang bisa kudengar pagi ini, dari apartemen menuju durak tramway yang berjarak sekitar durasi menikmati segelas teh orang Turki. Di durak Fakuttas Hukum, ada beberapa orang yang tengah menunggu tramway. Aku tak bisa mengenali wajah mereka. Tubuhnya dibungkus rapat jaket tebal, penutup telinga, syal, dan topi dari bulu domba.
TAK sampai lima menit, tramway yang kami tunggu tiba. Aku biasa naik di pintu paling belakang, lalu menyusuri koridor menuju kursi bagian tengah. Dan di tramway tua berwarna merah putih (warisan dari Jerman) itu aku biasa mengambil posisi duduk di kursi bagian tengah gerbong.
Fakultas Hukum adalah durak pertama, tetapi ternyata sudah banyak penumpang yang duduk beku di dalam tramway. Apalagi tepat pukul 06.00 pagi hari, jadwal tramway pertama di kota ini. Tapi siapa mereka? Entahlah. Mungkin ini faktor lembap yang menyembulkan asap pada kacamataku karena mesin pemanas ruangan di tramway sedang menyala. Di antara titik-titik rembes di kacamata, aku melihat mereka duduk rapi dengan wajah tertunduk. Seperti tengah bermain khusyuk dengan telepon pintar atau memang sengaja menyembunyikan wajahnya.
Entahlah, sedang apa mereka….
Setelah mendapatkan tempat duduk di sebelah kiri, aku merasa ada seseorang datang menyeret langkah dari belakang menuju kursi di sampingku. Aku mengira mungkin ada yang mau duduk di sampingku.
“Mau ke mana?” sapanya dingin.
Aku terdiam kaget. Bukankah di tramway tidak pernah ada petugas atau sejenisnya yang menanyakan tujuan?
Aku coba perhatikan wajahnya lebih lekat. Dia menunduk dengan topi jaket yang menutupi kepala dan kain syal yang dibalutkan ke hidung dan mulutnya. Nyaris hanya bisa dilihat matanya yang tampak putih dan dingin.
“Mau ke mana?” dingin suaranya kutangkap jelas, sedingin kaca tramway yang sedang dibelai kapas-kapas putih yang turun pagi hari.
Aku tidak mau membalasnya. Aku duga dia hanya seorang pemuda mabok yang tersesat hingga pagi begini, atau mungkin pengungsi Suriah yang ingin mengganggu dan membikin keributan.
“Mau ke mana?” ujarnya sekali lagi. Suaranya tetap dingin tanpa ekspresi, tapi sedikit meninggi.
“Anda siapa?” aku bertanya balik. “Bukankah orang-orang di tramway ini sudah tahu tujuan masing-masing?”
“Tidak semua penumpang dalam tram ini tahu tujuan hidup mereka.”
“Tujuan hidup?”
“Bukankah hidupmu sekarang adalah peristiwa naik tram dan di dalam tram. Apakah kamu sedang menjalani kehidupan yang lain, di luar sana?”
“Ya, hidupku saat ini ada di dalam tramway. Terus kenapa?”
“Tidak semua penumpang dalam tram ini tahu tujuan hidup mereka,” dia kembali mengulangi.
“Termasuk Anda, golongan yang tidak tahu tujuan hidup?”
“Aku tidak termasuk. Mungkin kamu saja.”
Tiba-tiba kupastikan hidupku saat ini, hidup di mana dan bersama dengan siapa. Di dalam tramway yang terus melaju menembus bentangan rel pada hamparan salju, aku kembali melihat orang-orang yang merunduk di kursi tanpa cakap. Mereka sama seperti sedia kala, menunduk dan menyembunyikan wajah.
Sementara orang yang sedari tadi bercakap denganku masih berdiri di samping tempat dudukku. Setiap durak yang dilewati, dia mengangkat tangan menunjukkan arah ke depan, seperti memberi aba-aba agar tramway terus melaju tanpa berhenti dan menaik-turunkan penumpang.
Aku mulai berpikir aneh. Jika setiap durak yang dilewati tanpa berhenti, bagaimana aku bisa memberhentikannya ketika tiba di kampusku? Aku harus turun dari tramway ini secepatnya, meski durak tujuanku masih jauh. Aku harus pindah dan terbebas dari tramway keparat ini.
“Mau ke mana?” sergapnya bersamaan ketika aku hendak berdiri.
“Mau turun!”
“Apakah tujuanmu sudah sampai?”
Aku tidak paham. Pikiranku kacau.
“Ya, tujuanku sudah sampai. Durak Otogar!”
“Ke Otogar? Ke mana lagi kamu akan menyambung tujuan hidupmu?”
“Tujuanku naik tramway ke Otogar! Tujuan hidupku sekarang ke sana.”
“Tidak. Kamu termasuk golongan yang tidak tahu tujuan hidup.”
Aku terdiam dalam ketercekatan yang menjengkelkan, ingin sekali berteriak dan mendamprat sosok keparat di depanku ini.
“Apakah salah mengubah tujuan hidup?” tannyaku kemudian. Kesal.
“Dalam tram ini tidak diperbolehkan mengubah tujuan hidup.”
“Siktir git. Aku harus turun!” Aku langsung melesat menuju pintu dan menekan tombol berhenti.
Orang itu kembali mengangkat tangannya, seperti memberi isyarat. Dan tramway terus melaju melewati durak Otogar. Tramway tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti sama sekali.
Di tengah kebingungan yang meringkusku dengan beringas, aku terkejut melihat orang-orang yang sedari tadi menunduk dan menyembunyikan wajahnya bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti zombie di pagi hari. Matanya pucat, jalannya diseret tertatih.
“Kalian mau ke mana?” bentakku seketika.
“Kami mau ke Aleppo,” jawab mereka serentak.
“Apa? Aleppo? Kalian sedang bercanda, bukan? Aku datang ke sini bukan untuk perang!”
“Ya, tujuan kami ke Aleppo. Kamu harus ikut bersama kami ke Aleppo, menyaksikan jerit tangis manusia dan luka-luka yang darahnya bersimbah di jalanan.”
“Tidak bisakah aku memilih tujuan berbeda selain Aleppo?”
“Bagi kami tujuan hidup hanya satu. Kami tidak bisa memilih bebas, sepertimu. Sekarang cobalah menjalani hidup tanpa pilihan lain selain ke Aleppo,” mereka berkata serentak dan sama, seperti robot yang sudah diprogram.
“Tidak! Aku harus turunnn!!!!” aku berteriak kencang, sembari meloncat dan memecah kaca di pintu tramway. Tubuhku terbang dan terjatuh di atas tumpukan salju. Sebuah buku puisi hadiah dari Ala, sahabatku dari Aleppo, yang kusimpan di saku tasku terjatuh di atas salju. Sebelum buku gubahan A$ik Ömer itu kuambil, aku membaca larik terakhi di sana: ifte geldim gidiyorum $en olasin Halep $ehri.
“Kenapa terburu-buru turun sampai jatuh begini?”
“Hati-hati, Nak!”
“Anda baik-baik saja, kan?”
“Kalau mau main bola salju jangan di sini. Coba ke Bukit Alaaddin.”
Suara-suara itu kudengar sayup-sayup dari mereka yang berdiri di sekitarku. Mereka kemudian beranjak ke pintu durak tramway. Di tengah ketekejutan yang kacau pagi itu, aku ingin berteriak kepada mereka agar tidak naik tramway. Aku tidak ingin melihat orang-orang tua tadi dibawa ke Aleppo. Tapi aku tidak berdaya. Teriakanku tidak mereka gubris.
Dari belakangku datang seorang ibu paruh baya, “Kamu kelihatan mengantuk sekali pagi ini. Apa ketiduran di tramway?” tanyanya.
Aku terdiam. Pikiranku masih kacau sembari menatap tramway seperti ulat raksasa yang meliuk-liuk di tengah gemutih salju. ***

Istilah Asing:
Siktir git: Fuck off
Otogar: Terminal bus
iste geldim gidiyorum §en olasm Halep $ehri: Aku telah datang dan kembali pergi engkau adalah serupa kegembiraan wahai Aleppo

Duka Berkepanjangan


Cerpen Ongky Arista UA (Radar Surabaya, 04 Februari 2018)
Duka Berkepanjangan ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Duka Berkepanjangan ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Aku sudah tak tahu lagi cara untuk menjadi waras. Kepergianmu terlanjur membawa duka. Duka yang membawa lupa tentang banyak hal selain gila, atau selain duka itu sendiri.
Duka ini akan berkepanjangan. Kupikir tak akan ada masa khidmat atasnya. Artinya, sampai kapan pun akan ada duka, yang benar-benar akan tiada habis, tiada hilang, dan mungkin hingga kematian datang menjemputku.
***
Aku baru saja menikahimu dua hari lalu. Kau tahu, aku belum menikmati cinta di malam pertama dan malam kedua. Kau belum kusentuh sama sekali. Terlalu banyak tamu yang datang hingga larut di malam pertama kita menikah dan hingga subuh, di malam keduanya.
Aku ingin meminta malam pertama itu di siang pertama, tapi kau menolak. Alasanmu sederhana, siang itu bukan malam. Jadi, tidak enak saja apabila malam pertama dinikmati di siang pertama.
Lagi pula, siang itu di rumah selalu ramai. Dan kita memang disibukkan oleh pekerjaan yang sesungguhnya tidak menyibukkan sama sekali. Hanya mencuci piring, bantu ibu memasak untuk para tamu, dan mengurus kebersihan rumah. Ya, kita memang selalu berpura-pura sibuk bekerja. Lebih-lebih kau dan lebih-lebih lagi aku sendiri.
Di hari ketiga, kau menghilang. Sekarang sudah tahun ketiga, genap di hari ini. Lihat saja kalender di kamarku, ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan di halaman rumah, sudah ada tanda tanggal atas hilangnya dirimu. Dan tentu, kini, kami di rumah masih menganggapmu hilang. Dan tentu pula kau akan tetap ditemukan manakala dicari. Dan sayangnya, tak ada yang benar-benar peduli mencarimu selain aku.
Kata banyak orang, kau meninggal dunia. Ya, tentu aku tak percaya meski sudah ratusan orang menjelaskan kematianmu dan membawaku ke pemakaman, liang tanah tempatmu dikubur.
Tentu aku tak percaya. Orang-orang bisa berdusta, bukan? Pemakaman bisa direkayasa, bukan? Ah, semua hal di permukaan bumi ini bisa dijadikan alat untuk berdusta. Tapi kau, kau tak akan pernah berdusta padaku.
Kau sudah berjanji padaku untuk kembali saat pergi, dan aku ingat sekali janji itu dan aku tidak mungkin melepas kepercayaanku begitu saja kepadamu. Kuyakini hingga tiada lagi keyakinanku, kau akan benar-benar kembali.
“Percayalah, setiap kepergian pasti merindu kembali, dan aku, tentulah punya rindu untukmu.”
Sudah kutulis janji itu dengan ingatan yang tak mungkin kulupakan lagi. Saat kau benar-benar pergi, kuyakin seyakin-yakinnya bahwa kau akan segera pulang karena rindu mungkin telah siap-siap mengantarkanmu kembali kepadaku.
Aku harus tersenyum lepas hingga tertawa lepas. Inilah perayaan paling mungkin kulakukan untuk menyambutmu, dan kita akan melanjutkan cinta dan malam pertama kita yang tertunda selama tiga tahun.
Aku akan menyiapkan kata-kata paling manis untukmu. Dan nanti, setelah kau benar-benar kembali, malam pertama itu akan benar-benar datang dan cinta kita akan benar-benar datang. Menggantikan duka-duka yang berkepanjangan.
“Rindu telah berhasil membawamu sampai di sebuah tempat, di mana kita berjanji akan saling kembali.”
“Kau benar-benar perempuan penepat janji yang pernah kukenal selama ini. Sungguh, kau membuatku semakin percaya pada cinta. Cinta yang tak banyak membuat orang percaya.”
“Terima kasih kau telah kembali demi cinta dan malam pertama kita.”
“Kau terlalu berkuasa atas diriku. Aku tak sanggup menjadi penunggu jika bukan karena aku telah dikuasai olehmu.”
Pilihlah salah satu dari kata-kata itu. Aku akan memakainya di bibir, nanti. Segeralah datang. Benar-benarlah kembali untuk rindu, untuk janji, untuk cinta dan untuk malam pertama yang belum kita selesaikan.
***
Sepuluh tahun, tepat di hari ini. Kau masih belum pulang. Masih saja membuatku menyebutmu hilang. Kau lihat. Di seluruh kampung ini, semua kalender memiliki tanda atas kehilanganmu.
Sudah sepuluh kalender yang kau habiskan. Dan apa mungkin kau akan membuatku memasang kalender ke sebelas, ke dua belas, ke tiga belas dan seterusnya di rumah-rumah warga se-kampung di tahun berikutnya, hanya untuk meyakinkan warga jika kau tidaklah mati, hanya saja hilang?
Pikiranku sudah mulai curiga pada banyak orang. Barangkali ada orang yang menculikmu. Apakah mungkin seorang lelaki telah menyelinap dan mencurimu di atas ranjang? Apa mungkin ada seorang teman yang berkhianat dan membawamu pergi ke sebuah liang, dan menyetubuhimu di sana dan kau tidak kembali karena kau pikir lelaki itu aku? Aku tidak yakin.
Ah, aku benar-benar masih percaya kau tak akan pernah datangkan dusta untukku. Kau pasti masih mengumpulkan rindu. Membesarkan benih-benih di tubuh cinta dalam tubuhmu. Dan mungkin pula, esok atau barangkali dua jam lagi, kau akan datang, benar-benar akan datang. Atau, jika tidak, dan kau yang kupikir akan benar-benar datang tidak benar-benar datang, aku akan juga menghilang, menemuimu dalam cerita kehilangan. Barangkali, kita akan bertemu dalam rimbun kehilangan atau dalam duka-duka yang berkepanjangan.
Biarkanlah aku pergi. Tidak hanya menunggumu, tapi menjemputmu dalam cerita kehilangan ini. Biarlah orang-orang sibuk bertamu ke rumahku. Biarlah. Aku akan menemuimu di sebuah liang, di mana kau kupikir hilang. Sungguhpun ini hanya sebuah liang tanah, tapi mungkin, inilah tempat paling romantis bagi kita bertemu karena rindu, cinta dan penunaian malam pertama. Setelah itu, duka-duka akan segera hilang di antara kita yang telah menjalin temu.
***
“Mengapa kau lama sekali datang?” tanya perempuanku.
“Sulit kutemukan taksi menuju tempatmu. Lagi pula, mengapa kau tak menungguku di halte?”
“Sulit kutemukan taksi menuju ke sini. Aku takut kau masih sibuk melayani tamu-tamu.”
“Apakah ini malam pertama bagi kita?” tanyaku.
“Iya, tentu!” perempuanku berucap dengan pasti.
“Apakah tidak ada laki-laki lain yang menyentuhmu selama sepuluh tahun menunggu?”
“Tidak ada. Hanya dua orang lelaki. Itupun hanya tanya-tanya saja.”
“Baiklah. Mari kita mulai malam pertama kita!”
Dua orang lelaki tiba-tiba menyeretku dari belakang. Perempuanku menjerit histeris. Aku tak tahu apa salahku. Apa mungkin aku mesti menikah lagi dengan cara yang sah untuk mencintai perempuanku di tempat ini? Apa salahku? Apakah karena aku terlalu lama datang dan menyebabkan dua lelaki itu geram kepadaku?
Sampai pun aku dicambuk-cambuk seperti di neraka, aku masih tidak tahu apa kesalahanku. Rindu, cinta, dan malam pertama pun kembali tertunda dan ini telah membawa duka kembali. Semakin berkepanjangan.
“Mengapa kau disiksa?” tanya perempuanku setelah dua lelaki itu beristirahat menyiksaku. Aku sudah tak punya daya apa-apa lagi. Tubuhku tergeletak dengan penuh luka cambuk.
“Katanya, aku berzina dengan seorang perempuan selain kamu.”
“Mengapa kau lakukan itu? Apa kau sudah tidak mencintaku lagi?”
“Bukan begitu. Setiap ada acara pernikahan, aku datang dan membawa pergi pengantin perempuan. Aku menyetubuhinya dan kupikir, dan sungguh kupikir, itu adalah kamu. Sungguh adalah kamu!”
“Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin aku yang telah pergi tiba-tiba kau anggap telah datang dan bersama lelaki lain di sebuah acara pernikahan. Sedangkan aku masih menyimpan rindu dan cinta demi malam pertama kita di tempat paling romantis ini?”
“Sungguh, percayalah!”
“Tiada malam pertama bagimu. Kau sudah bersetubuh dengan wanita lain. Dan aku akan memilih laki-laki lain yang bisa memberiku cinta malam pertama.”
Duka-duka kian berkepanjangan. Hilang dalam tubuh satu orang, dan tumbuh di tubuh yang lain. Hilang dalam satu tahun, tumbuh di tahun berikutnya. Kepergianmu ke penjara bawah tanah telah membawa duka berkepanjangan. Kepergianku pun membawa duka berkepanjangan bagi tamu-tamu di rumah. Duka membawa duka. Mengapa cerita hidup selalu penuh dengan duka?
Apa mungkin karena sebuah kesalahan, duka datang berkepanjangan? Aku tak tahu. Yang pasti, kau sudah tidak mencintaiku lagi. Dan sudah tak menginginkan malam pertama lagi. Dan kali ini, malam pertama bukan lagi cerita utama dari cintaku. Tapi duka, duka yang berkepanjangan. Aku menyesal telah menyusulmu ke liang ini. Akupun berduka, duka yang tiada pernah pendek, yang mungkin akan menjadi duka terpanjang di dunia.
***
Kau sepuluh tahun di penjara, dan bebas tepat di hari ini, lima tahun setelahnya. Tepat di hari pertama pernikahan kita. Patut kurayakan hari ini sebagai hari pernikahan. Hari penundaan malam pertama. Hari duka berkepanjangan. Dan hari dibebaskannya kau dari penjara.
Aku hanya bisa merayakannya dalam penjara dengan dua penjaga. Malam pertama kita pun benar-benar tertunda. Dan mungkin, tidak hanya tertunda, tapi binasa. Demi cerita duka yang berkepanjangan.
Adapun cerita ini adalah cerita gila. Cerita duka yang berkepanjangan hingga tiada lagi duka atau gila. Tapi dua-duanya, duka yang membawa gila. Duka yang membuatku lupa kepada banyak hal selain gila, atau selain duka itu sendiri. Kau mesti tahu, duka sungguh membawa kegilaan dan kegilaan bisa diceritakan dengan tidak jelas karena sifatnya yang gila. (*)

Penulis adalah asli Pulau Madura. Lahir di Giliraje, Sumenep. Kini tinggal di Desa Somalang, Pakong, Pamekasan.

Lorong Jiwa Senyap


Cerpen Beni Setia (Bali Post, 04 Februari 2018)
Lorong Jiwa Senyap ilustrasi C. Sasmita - Bali Post.jpg
Lorong Jiwa Senyap ilustrasi C. Sasmita/Bali Post
“AKU lelah berharap,” gumanku, dalam renungan—seperti baru selepas kencan shorttime. Sesuatu yang rutin dilakukan, tapi aku tak ingat, yang mana, di mana, serta (terutama) siapa gadis yang dibayar itu—aku tidak pernah ingin menemukannya lagi di bar, di mall, dan di manapun. Melulu hanya kontak, komunikasi, ereksi, dan tuntaslah. Tapi benarkah itu hanya hubungan profesional?
Lelah? Mungkin karena tadi bergegas ke Periuk Wesi—dari mobil—, menerobos gerimis rinai sejak sore. Di lobi menepiskan basah dari punggung jaket—dipakai untuk mengaling kepala—, mengibaskan bintik thujan dan mengenakannya lagi, meski pasti lembab. Sekilas menyimak penampilan diri di pintu kaca, sebelum pasti memperbaiki penampilan di toilet. Tapi kapan kencan terakhirku?, pikirku sambil menelusuri gang berteratak ke pondok makan terpisah. Menyelinap ke balik meja, untuk menghenyak, bersila di posisi langsung menghadap ke gang berteratak—ngungun dikurung gerimis.
Tapi apa Dina memang akan datang, menepati janji meski ia mungkin tak suka Periuk Wesi—nasi liwet dan lawuh tradisionalnya? Pelayan datang dengan kartu menu. Sambil menerimanya aku bilang, kalau aku mau makan, tapi masih menunggu teman, karena itu hanya minta kopi serta dua pisang bakar keju. “Semoga tidak terlalu telat,” kataku. Pelayan berblus putih dan rok biru itu mengangguk santun. Berlalu membawa pesanan (ringan) itu dalam ingatan, untuk disampaikan ke dapur sambil sekalian jalan ke kasir dan mencacat dalam bon pesanan.
Audio jempol menyebabkan suara lirih George Michael—“Careless Whispers”—bagai bisikan, samar tapi jelas. Intim. Misterius. Laiki langkah lelah menjauh di gang senyap, menjauh karena si seseorang sadar tujuan dan tidak akan bisa dicapai—sedang titik keberangkatan enggan ditelusuri, untuk awal satu perjalanan penyesalan. Sebuah dilema. Momen simalakama. Tapi bukankah di kemarin ia yang memilih waktu, dan mempersilahkan aku untuk memilih tempat serta menu? Kini semua sudah terlanjur—sedang gerimis mempercepat kelam. Kini aku hanya berserah pada kodrat menunggu: apa kencan mendapat kepastian, atau malahan batal. Tapi siapa sesungguhnya Dina? Kenapa ia mendadak jadi terasa intim?
***
DI Southren Steak, ketika terhenyak memrasakan lapar memuncak saat pelayan berlalu dengan kartu menú, saat telah dengan pasti minta steak dan bir, penjaga pintu, datang menyerahkan kartu nama. “Buat bapak,” katanya—menyatakan itu dari wanita yang tadi berpapasan di pintu. Aku terhenyak. Yang mana? Tadi ada dua wanita serta satu pria bercakap depan pintu, menunggu Camry mendekat. Si yang bersigaun merah atau yang bergaun biru? Cantik mana? Tak ingat. Tal nisa mengingat—meski aku tetap senyum, rutin mengucapkan tarima kasih—reflek seperti yang diajarkan Nu Profile
Tertulis dengan tinta keemasan: Dina Galura Aya; nomor HP—tanpa ada telepon serta alamat rumah—, serta telepon dan alamat kantgor. Di sebaliknya tertulis, Call at 22.00.. Tersenyum. Mengeluarkan dompet—pelan disiselipkannya di soket peruntukan kartu. Mengembalikannya. Meraih rokok, meloloskan sebatang, serta mulai memijiti—mensidorong irisan tembakau yang terlalu padat di suatu tempat tapi di tempat lainnya ampang. Menarik rajangan berlebih sehingga terbentuk pipa pepalia sempurna dengan celah merata. Menyulut sambil menunggu pesanan dalam kenikmatan ruangan lelaki—bebas merokok, bukan tempat elit anti-rokok. Nun. Tapi siapa Dina Galura Aya?
Lepas makan, berselonjor dengan sisa bir, aku mengirim SMS, satu kata—Hallo. I am here—, dan sekaligus mengirimkan nomor agar di-save. Membalikkan inisiatif ke si yang berinisiatif. Bukankah—selama tujuh belas tahun sejak SMA ini—: perempuan cuma melintas, meski sesekali dipilih secara acak, terantung kebutuhan semata. Hanya pelengkap senggang dalam momen singkat. Semua tak beridentitas, tak bereksistensi—hanya tergantung pada (ia) yang paling mungkin diraih. Iseng. Ya! Karena, untuk apa membina ikatan legal bila tugas kantor memeras energi dan konsentrasi? Kalau hidup hanya sergapan kelelahan, sedang sisa waktu melulu dimanpaatkan bersantai—makan dan seks shorttime?
***
AKU menjamu Bertolt van der Groot, Cristiano “Cristo” Mendoza, serta Klauss Ersling di Pampa la Bamba saat seorang pelayan mendekat sambil membawa sebotol anggur yang disejukkan dalam wada beres. “Maaf, Bapak,” katanya, “botol anggur ini dipersembahkan seorang teman umtuk anda?” Aku tersentak. Sesaat ingin menelusuri, tapi pelayan itu pamit dengan membungkuk santun, dan reflek pergaulan membuatku sigap menelan ingin tahu secara profesional. Tahu. Ada seseorang tak ingin diketahui, yang memberi hadiah tanpa ingin diketahui. Tapi HP bunyi—SMS masuk. Dina yang menandaskan isyarat. Tertulis—ejaan singkat aku koteksi—: Saya ingin menemani, tapi saya asing bagi tamumu, bagi pembicaraan bisnisn. Saya wakilkan ke anggur.
Aku mengajak tamu perusahaan, yang mengecek kesehatan dan potensi perusahaan sebelum memborong 40 % saham, bersulang—dengan mengsikatakan ada pihak ketiga ingin ikut memeriahkan. Setelah itu, sebelum mengobrol lebih panjang—dengan minta maaf—, aku mengambil HP dan mengirim SMS. Sebuah pesan—Aku berhutang, dan berharap ada kesempatan melunasi. Di sesaat balasannya tiba—Just dinner, OK! Aku  tersenyum—Hanya makan malam. dengan berangkat dan pulang sendiri—sendiri. SMS Dina masuk—When. Where. Aku senyum. Itu agenda untuk seminggu ke depan, pikirku—sambil menutup komunikasi tanpa suara. Dan pesan singkat: Nanti dikabari. Atau nona yang menentukan tempat dan waktu?
“Siapa?”
“Kontributor anggur.”
***
KETIKA cuti di Bali, karena sukses mempertemukan dua kepentingan bisnis itu, aku menghubungi Dina—Seminggu ke depan ini aku di Bali. Di setengah hari (ia) baru membalas. Seperti ketus. Apa peduliku—tulisnya. Aku senyum. Membalas tidak kalah ketus—meski tak nemakai diksi sinis—: Sorry—tapi jangan menagih utang dinner dulu. Dina Galura Aya cepat membalas. Belum kepikian. I am bussy—tulisnya. Aku senyum. Puas kuasa melolos dari lelah dengan suntuk bercinta. Bangkit meninggalkan ranjang, iseng menyibak tirai lantai 11: memindai hamparan pantai penuh dengan lampu dan si kehidupan malam Kuta. Meraih softdrink sambil memikirkan Dina—sosok yang belum pernah dilihat—, tapi tak kukirimkan gambar kehidupan malam dan momen shorttime.
Paginya Dina kirim SMS—Wake up! Mentersijagakan dalam sunyi bersendirian di kamar: aku tak membalas. Ogah! Menghidupkan TV—cari berita. Ambil softdrink, menumpuk bantal merasakan ketenangan abai tak harus bergegas segera tiba di kantor –sementara kemacetan mulai mengkerkah—seperti malam memekat tak bisa dilawan lampu jalan, mobil, pekarangan, bar, rumah, dan si seterusnya—, karenanya (manusia) menyerah cala, tak berdaya. Apakah kota hanya usaha artifisial untuk melawan yang alami, sebab itu semua tindakan manusia amat cenderung memperkosa keseimbangan alam? Mencabik keselarasan, mmicu cara hidup artifisial egoistik?
Kalau itu, kenapa merasa bahagia dengan yang artifisial, bangga karena dilirik si beratus mata sirik dan hati jelus saat mempertontonkan cara menikmati hidup artifisial? Aku termangu—perasaan kosong selalu menyergap bila tak sibuk mengejar target, atau tak tuntas menghibur diri. Bila tiba-tiba ditarik kembali ke dalam kemurnian jiwa seusai sekuat tenaga tenggelam dalam yang artifisial? Yang membuat aku ingin selalu kerja atau menghibur diri—sampai pingsan. Tapi apa yang bisa dilakukan ketika harus cuti dan mesituntaskan bonus? Aku ingat Dina. Menulis—Aku bosan dengan life style.
Dina membalas—Tepi tiap orang menginginkannya. Aku senyum.
Spontan menulis—Aku ingin memutar jam ke masa TK. Tahukah di mana agency mesin waktu, untuk tur nostalgia—, sambil membayangkan: Dina terbahak. Mungkin! Tapi jawabnya seperti tendangan kaki kuda pada dahi—Coba ektasi dan morfin—sinis. Mengatakan kalau hanya itu yang biasa dilakukan seusai makan, minuman, dan seks—atau sebelumnya. Aku memenjam. Merasa sepi—suara TV bagaikan gema—, terkurung di ruang kosong ujung lorong. Semua hanya bunyi tak jelas, tak mengantarkan makna apa-apa. Meraih softdrink. Menyibak tirai. Meneguk malt sambil memperhatikan aura panorama pantai. Hamparan kekosongan berbatas cakrawala tidak terukur yang padat, dan mendadak merasa terkurung—sendirian.
Melihat gerak ombak serta liuk nyiur tanda laju angin—tapi tidak merasakan itu menggelisir di kulit dan debur di pendengaran. Merasa terisolasi cuma ditemani laung gema TV. Apa ini tanda kematian? Ancangan aroma kematian bagi si yang terkepung galau dunia—keriuhan mengisolasi. Ya! Barangkali—terpikir—kematian hanya kondisi tur berselaput. Diselaputi dan terpisah secelah tipis dari dunia nyata. Jarak transparan, laminating kukuh yang memisahkan—dunia riil tak bisa disentuh. Kalau hanya begitu, rasanya, selama ini aku ada dalam kondisi setengah mati: bersibuk dengan diri sendiri, serta tak pernah intens berhubungan dengan dunia dan orang yang tertatih mengharap Tuhan membagi rejeki—berujud sesama yang makmur dan peduli?
Aku menelan ludah. HP bunyi—SMS Dina berharap aku menghubungi usai cuti, dan merayakan dinner. Aku minta agar ia menentukan hari, dan ia mengiyakan sambil minta aku menentukan tempat dan menu. Tapi siapa (sesungguhnya) Dina?
***
AKU pesan gurame bakar asam pedas, sayur asem, krupuk kulit, lalab, sambal, dan wedang jahe. Yang sederhana dan mengingatkan masa sekitar tiga puluh delapan tahun lalu, momen aku masih bocahdan menikmati—bersama keluarga—makan di luar, seperti menikmati gadis dijaja dalam pesta seks setengah teler. Dan di malam ini aku ingin mendengar riuh dengkung katah mijah di awal penghujan—kerinduan yang tidak pernah tuntas di tengah metropolis Jakarta. Saat (ini) aku ingin pulang ke rumah untuk makan sayur bening tomat muda, dan sambal dengan lalab tomat muda—amat nikmat disantap saat diajak teman berlibur di Pasir Jambu, ke wilayah pertanian tomat. Nun.
Terbayang Dina ternganga ketika diajak ke Periuk Wesi. Kenapa?—sergah SMS-nya. Aku tersenyum, dan (rasanya) ingin bicara panjang tapi kemudian memilih tidak menjawab—aku ingin mengatakan langsung. Dan dalam gerimis pni aku bergergas ke Periuk Wesi. Dan kini, setelah menghabiskan dua pisang keju, dalam menunggu satu setengah jaman—: aku menelepon dua kali tapi HP Dina tidak aktif. Kini aku memilih makan sendiri. Menghabiskan dua porsi besar. Sunyi merokok. Tak peduli pada tatap setengah kasihan dan mencemoohkan pelayan. Aku rindu pulang. Entah kenapa, aku amat rindu pulang. Kembali ke kampung, ke rumah Ibu—bertemu dengan saudara dan banyak kerabat, seperti Lebaran—, ke zona waktu dari tiga puluh delapan tahunan lalu.
Ketika jiwa masih polos kekanakan. Lalu: meniti hari dengan corak gaya hidup lain dan tiba di kekinian sebagai si yang sama sekali lain. Mungkinkah aku berubah? Bangkit. Menyelinap ke toilet. Mencuci muka—sambil mengingat runtut urutan wudlu dan mengeja bacaannya. Tertunduk depan cermin. Merasa tersiksa karena terlunta dan tak ingat apa-apa. Istigfar. Mengusap wajah. Minta diberi petunjuk untuk jadi si orang lain. Reborned. Pergi ke meja kasir untuk melunasi semua—bergegas pulang ke rumah meski tanpa sua Dina. Langsung pulang, dengan mensitekan instink ingin mampir ke masjid kecil, mengambil wudlu, dan terhenyak dalam shalat tobat yang basah tangis—dan aku menangis.
Kini apa Dina itu ada atau tidak-ada sudah tak penting lagi, setidaknya saat aku memilih menghabiskan menú makanan udik dalam pukau nostalgia masa kanak. Kini tersisa tekad menekan instink rutin, serta ingin jadi yang sama sekali lain. Aku ingin menjadi orang lain—berusahan meski nyaris tak mungkin—dan tak dikerkah sunyi.
***

Danila

Cerpen Nabila Er Bakti (Analisa, 04 Februari 2018)
Danila ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Danila ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
INI hari yang indah untuk bersepeda. Meski langit tak begitu cerah, tapi kidungnya sangat menenangkan juga. Semilir angin meniup wajahku dan aku sangat suka itu.
Hai, namaku Danila. Aku tinggal bersama ibuku, meskipun dia tidak pernah melahirkanku. Dia seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku, yang menjagaku dan merawatku, hingga kini aku beranjak dewasa. Kalian pasti bertanya dimana ibu yang telah melahirkanku, bukan?
Sebenarnya, bukan kalian saja punya pertanyaan itu, melainkan aku juga. Aku juga selalu bertanya-tanya dimana ibu yang telah melahirkanku? Semenjak bayi aku dirawat di sebuah panti asuhan, hingga aku berumur dua tahun. Hadirlah sesosok yang lembut bagai malaikat, dengan baik hati mau merawatku, hingga sekarang.
Maaf, aku sampai lupa memperkenalkannya kepada kalian. Namanya ibu Anna. Dia selalu bilang, aku adalah putri yang dia lahirkan dari hatinya. Dia juga bilang meski kami tak sedarah, tapi kami sehati. Tuhan aku sangat mencintainya.
Di hari ulang tahunku ke-15 dan bertepatan juga aku akan masuk SMA, merupahan hari yang mendebarkan untukku. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru dan teman yang baru pula. Aku suka dengan hal-hal yang baru, karena aku menganggapnya sebagai sebuah petualangan.
Aku mendayung sepedaku dengan kencang dan tak terasa aku sudah sampai di sekolahku yang baru. Sama seperti sekolah-sekolah lain, kami juga harus melalui masa orientasi siswa, sering disebut MOS yang membosankan seperti ini. Siswa yang dianggap senior, karena lebih tinggi tingkatan kelasnya diperbolehkan menjahili. Kami dianggap junior karena merupakan siswa baru, seperti mentertawakan juniornya. Huhhhh selalu saja seperti ini tidak ada yang berbeda.
Tiba-tiba seorang siswa mendatangiku sambil bertanya, “Apa kau merasa bosan?” Aku hanya menoleh ke arahnya tanpa menjawab pertanyaannya. Dia berbalik badan, sambil berjalan dia katakan:
“Jika kau ingin ke luar dari kegiatan membosankan ini ayo ikut denganku.”
Entah mengapa rasanya aku tak bisa menolak ajakan itu. Aku mengikuti langkahnya. Ternyata dia menuju ke sebuah kantin di belakang sekolah. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Dengan santainya dia memegang tanganku dan menyuruhku duduk di sebuah kursi yang ada disana. Kemuddian dia duduk di kursi tepat di depanku, sambil tersenyum dia mengatakan
“Hai, namaku Oza, namamu siapa?”
Sekejap waktu seakan berhenti saat aku menatap senyumnya. Senyuman itu seperti mempunyai magnet yang membuatku tertarik ke dalamnya. Matanya yang sangat menyejukkan hati membuatku terhanyut kedalamnya.
Semua perasaan itu membuatku tak ragu menjawab pertanyaannya. Aku perkenalkan namaku padanya. Dia hanya tersenyum, lalu berdiri. Kemudian memesankan minuman tanpa bertanya padaku ingin memesan apa.
Setelah itu dia kembali membawakan minuman jus strawberry untukku. Lagi dan lagi entah dari mana dia tahu, aku sangat menyukai jus itu.
Kami pun bercanda sambil menghabiskan minuman masingmasing. Dia begitu pandai membuatku tertawa, sehingga aku tak ingin waktu yang indah ini berakhir. Tiba saat bell pertanda pulang sekolah itu dibunyikan dan menghancurkan harapanku.
Esok harinya aku begitu bersemangat ke sekolah untuk bertemu dengannya. Kamipun kembali menghabiskan waktu bersama.
Oza anak yang pintar. Dia banyak mengajariku tentang pelajaran, tidak hanya pelajaran tentang sekolah, juga tentang kehidupan dunia ini. Aku semakin mengaguminya.
Hari demi hari berlalu aku menunggunya menyatakan perasaan kepadaku. Tiga tahun berlalu sejak perkenalan itu, dia tak kunjung menyatakannya.
Hari ini adalah hari perpisahan sekolah. Hari terakhir kami untuk menghabiskan waktu bersama di sekolah yang penuh kenangan. Baiklah jika begitu, aku yang akan menyatakan perasaanku kepadanya.
Aku mendatanginya dan langsung berkata. Selama ini aku mencintainya dan aku sangat ingin menjadi pacarnya. Mendengar perkataanku, dia langsung tertegun dan diam, sambil memegang tanganku dia berkata.
“Maafkan aku, Danila. Aku tidak bisa.”
Dia melepaskan tanganku untuk kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Dengan air mata, aku menatapnya, hingga bayangnya pergi diantara kegelapan. Itu, adalah hari terakhirku melihatnya.
Itu ceritaku 10 tahun yang lalu. Selalu kukenang sampai saat ini, membuatku selalu menolak untuk jatuh cinta lagi. Meski satu per satu sahabatku telah menikah, aku masih saja dengan kesendirianku.
Hari ini, Yosi satu lagi sahabatku akan menikah. Aku pun mendatangi pesta pernikahannya. Sesampainya disana, aku dikejutkan dengan kehadiran Oza di pesta itu. Berulang kali aku mencoba untuk tidak melihatnya, namun tetap saja aku tak kuasa menahan mataku yang terus menatapnya.
Dia kini tumbuh menjadi pria yang berpenampilan dewasa. Tampak begitu sukses. Dia juga terus menatapku sambil tersenyum kepadaku. Sama seperti waktu itu, dia kembali mengajakku untuk meninggalkan suasana pesta yang membosankan itu.
Kami duduk di dekat kolam renang rumah Yosi. Berbincang layaknya teman, namun suasananya sangat berbeda. Pembicaraan kali ini sangat dingin. Oza seperti bingung, ingin bicara apa kepadaku. Dia terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba kulontarkan. Sebenarnya hanya ingin memecah suasana yang garing seperti ini.
“Oza, kenapa waktu itu kau tak menerima cintaku?” Kemudian dia pun perlahan menjawab dengan penuh keraguan
“Maafkan aku untuk waktu itu, Danila. Kali ini kau harus tau, pada saat itu aku tak bisa menerima cintamu karena aku adalah laki-laki pengecut.
Di masa laluku, aku pernah kehilangan seorang wanita yang sangat dekat denganku. Sangat aku sayangi, meskipun kami tidak berpacaran, kedekatan kami bagaikan saudara. Dia harus pergi meninggalkanku dan meniggalkan dunia ini.
Dia mengalami kecelakaan yang sangat mengenaskan saat bersamaku. Aku takut jika aku kembali menyayangi seseorang, dia akan pergi meninggalkanku lagi. Aku takut merasakan kehilangan lagi. Maafkan aku, Danila..”
Sambil menangis dia menceritakan semuanya kepadaku, lalu aku bertanya lagi.
“Apakah sekarang akan masih tetap sama? Kau masih tak mau menerimaku?”
Dia diam sebentar untuk kemudian dia jawab pertanyaanku itu.
“Setelah hidup rumit yang kulalui, aku tersadar. Masa lalu tidak harus selalu diingat sampai menimbulkan trauma, tetapi masa lalu harus dijadikan pelajaran. Aku telah menjadikan masa lalu yang menyedihkan menjadi cerita yang hanya bisa dikenang. Tidak untuk diingat setiap saat. Untuk jawabanku tentang pertanyaanmu itu, maaf Danila, aku tetap tidak bisa menerimamu sebagai pacarku.”
“Mengapa?” kutanya lagi padanya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Apakah kau tidak menyukaiku?”
“Tidak Danila, Tidak.”
Aku langsung tertunduk dengan air mata yang membasahi pipiku. Waktu itu rasanya aku ingin mati saja. Namun tiba-tiba…
“Karena aku ingin kau menjadi pendamping hidupku! Will you marry me, Danila?” Katanya sambil memegang tanganku.
Seketika itu aku langsung mengangkat wajahku untuk kemudian kutatap matanya. Dengan tangis haru aku menerimanya.
Hari yang benar-benar indah untukku.
Danila.