Daftar Blog Saya

Minggu, 27 Agustus 2017

Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak

Cerpen Gus tf Sakai (Kompas, 27 Agustus 2017)
Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak ilustrasi Nawasanga - Kompas.jpg
Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak ilustrasi K Nawasanga/Kompas
Satu, tentang Mukjizat
Engkau tidak melihat mukjizat, tetapi mendengar atau membaca kisah mukjizat. Tetapi, Darwin, dalam mimpi kanak-kanaknya, melihat Darwin dewasa mengamati dua ekor burung yang berasal dari dua pulau berbeda. Darwin kecil tahu kedua burung itu tak sama seperti halnya Darwin dewasa tahu kedua durung itu tidak berbeda. 
“Orang yang tak percaya,” gumam Darwin dewasa, “tentulah akan berkata: Dua Pencipta telah bekerja.” Dan Darwin kecil, dengan perasaan kesal luar biasa, memberontak keluar dari mimpinya. Tetapi tak bisa. Tentu saja, karena kau tak menginginkannya. Karena mimpi kanak-kanak Darwin ada dalam mimpi kanak-kanakmu dan kau tak ingin Darwin terbangun untuk suatu hari sampai ke Galapagos.
Bersama Darwin kecil, engkau butuh perhitungan itu: berlari ke kedalaman laut, laut yang terbelah oleh tongkat Musa, Musa yang sama seperti yang dikisahkan Kitab; melompat ke kobaran api, api yang tak mampu membakar Ibrahim, Ibrahim yang sama seperti yang dikisahkan Kitab; menjelma jadi orang buta, orang buta yang disembuhkan Isa, Isa yang sama seperti yang dikisahkan Kitab.
Tetapi, belum sempat melakukan apa-apa, belum sempat melihat menyaksikan semua, di luar kuasamu engkau terbangun. Tak ada Darwin kecil. Tak ada Darwin dewasa. Yang ada hanya dirimu, diri yang tak lagi sama dengan dirimu yang tertidur satu jam lalu.
Dua, tentang Nyamuk
Orang-orang menyebutnya Aleksander, tetapi kau lebih suka menyebutnya dengan nama yang kau kenal saat ia masuk ke mimpi kanak-kanakmu: Al-Iskandar. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Saat orangtuanya menikah, ibunya bermimpi rahimnya disambar petir dan cahaya lalu memancar menyembur-nyembur menerangi alam raya. Beberapa malam kemudian, ayahnya juga bermimpi bagai menimpali mimpi si ibu. Dalam mimpi itu, si ayah melihat dirinya menyegel rahim sang istri dengan segel berukir singa.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Saat dewasa kelak, ia menyebut dirinya keturunan dewa. Dari pihak ayah ia mengklaim diri keturunan Herakles dan dari pihak ibu ia mengklaim diri keturunan Akhilles. Dalam mimpi kanak-kanak itu, kau melihat bagaimana Al-Iskandar beranjak: belajar bertarung seraya bermain lira, belajar berburu seraya membaca.
Kau lihat juga, ia menundukkan Si Kepala Lembu, kuda yang tak siapa pun bisa menunggangi, pada usia 10 tahun. Pada usia 13, karena tak siapa pun bisa menghadang deras tanya di kepalanya, si ayah mendatangkan seorang filsuf sebagai guru. Filsuf, yang kau kenal sebagai penemu 10 jenis kata, itu dibayar ayahnya dengan membangun kembali kampung si filsuf yang pernah dihancurkan oleh si ayah.
Dari si filsuf, Al-Iskandar menemukan apa yang ia suka: sebuah buku karya seorang penyair buta. Dari si buku, ia tahu apa yang paling ia nikmati: geletar perang yang merayap, menjalar, merambat naik dari telapak kaki ke ubun-ubun. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Dalam mimpi kanak-kanakmu, kau melihat peristiwa itu, saat pertama, pada usia 16, si ayah berangkat perang dan Al-Iskandar menjaga takhta. Pemberontak dari Trakia dan Al-Iskandar menumpasnya. Dan mulailah, dengan mengantongi buku si penyair buta, orang yang kemudian menyebut dirinya keturunan dewa itu merambah, menghamun, menakluk menundukkan dunia.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Ia mendaulat dirinya “Raja Babilonia, Asia, dan Empat Sudut Dunia”. Pada usia 32, di Babilonia juga, ketika kau kemudian terbangun dari mimpi kanak-kanakmu, kaudapati keturunan dewa itu mati, digigit nyamuk.
Tiga, tentang Ladang Buncis
Suatu pagi, ketika kau menyeduh secangkir kopi duduk di beranda melayangkan pandang ke seberang jalan, kau melihat pohon jambu yang sebelumnya tak pernah ada, tak pernah tumbuh di antara dua pohon kelapa itu.
Berkeras kau membuka, membolak-balik lembar ingatan, tetapi satu-satunya pohon jambu yang kau temu hanyalah pohon jambu di mimpi kanak-kanak itu: kau memanjatnya, sampai ke ujung dahan, terpeleset jatuh, tubuhmu melayang, tetapi tak pernah mencapai tanah.
Dalam melayang yang lama, dalam melayang yang jauh, kau malah tertidur dan bagai bermimpi lalu terbangun dalam sesosok tubuh renta pada sebuah “ruang” 15 miliar tahun lalu. Kau segera berpikir itu mustahil. Bukan karena kau menjelma jadi seorang yang tua, seorang yang renta, melainkan karena kau tahu 15 miliar itu adalah nonsens: belum ada semesta belum ada jagat raya belum ada Big Bang si Dentuman Besar.
Tetapi, di “ruang” itulah, dalam mimpi itulah, kau bertemu ia: orang yang mendirikan sekte di Krotona, orang yang menjadikan matematika sebagai agama. Katanya, “Waktu bukan angka. Dan ruang tak selalu bidang.” Lalu, di selembar kertas, ia coretkan garis-garis, lengkung-lengkung, dengan angka di ujung-ujung, yang satu sama lain tak terhubung.
Lembaran itu ia gulung sedemikian rupa sehingga garis-garis dan lengkung-lengkung menjelma jadi sebuah bidang dengan angka-angka yang jauh melampaui angka semula. Katanya, “Gulungan inilah yang kuperagakan ke Zarathustra, yang membuat kami berselisih ihwal Sang Terang.”
Kau ingat, pertemuan dengan nabi dari Persia itulah yang membuat orang ini melahirkan Nisbah Emas, yang menyatakan kebenaran ada pada angka dan, seperti halnya kebenaran, jiwa tak pernah mati—melainkan selalu berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh.
Kau juga ingat bagaimana orang dalam mimpi kanak-kanakmu ini, orang yang menjadikan matematika sebagai agama itu, karena tak ingin kelak jiwanya pindah ke tubuh kambing atau sapi, senantiasa sangat menjaga makanan.
Kau juga ingat bagaimana ia berpantang, tak mau makan buncis karena percaya dalam biji buncis bersemayam janin makhluk hidup. Kepercayaan yang serta-merta dianut oleh para pengikut sekte dan, sampai dewasa kelak, sampai kau duduk di beranda menyeduh secangkir kopi itu, tak pernah bisa engkau pahami.
Begitulah sampai suatu hari, suatu pagi, di beranda itu juga ketika kau menyeduh kopi juga saat tubuhmu telah renta, kau seperti mendengar ledakan besar, sangat besar—bagai dentum semesta.
Sesudahnya, setelah semua hening, setelah semua sunyi, di seberang jalan itu, dari titik di mana sebelumnya tegak pohon jambu sampai jauh ke titik yang nyaris tak terjangkau pandang, kau lihat: hanya ladang buncis, ladang buncis semata, dengan sosok-sosok kecil bersayap seperti berebut beterbangan naik dari rerumbul ladang.
Pada satu titik, sosok-sosok itu menyatu, menggumpal, perlahan lalu berpendar, bersinar, menjelma: bulatan cahaya di angkasa.
Empat, tentang Sulung
Apa yang sering menjadi ciri mimpi kanak-kanakmu saat kau memikirkan dan merasa aneh bertahun-tahun kemudian, adalah tempat-tempat yang jauh dan tak terjangkau oleh perjalanan.
Orang-orang yang kau temu juga bukan orang-orang yang kau kenal di masa kini, melainkan orang-orang dari masa lalu yang bahkan nama mereka pun adalah nama-nama kecil yang tak pernah kau dengar atau ketika itu belum kau tahu.
Begitu pulalah, di bukit asing itu, kau bertemu Zong Ni, yang dalam bahasa setempat berarti putra kedua dari Bukit Ni. Sebuah pertemuan singkat. Dalam mimpi yang juga singkat.
Kau diberi dua kata, atau tepatnya sepasang kata yang, karena mimpi itu begitu singkatnya, kau hanya bisa membaca: jen-li, tanpa sempat bertanya apa artinya. Dan sayangnya pula, begitu kau terbangun, kau tidak terbangun ke dunia nyata, melainkan ke dalam mimpi kanak-kanak lain.
Dan memang, demikian pulalah yang sering terjadi. Mimpi kanak-kanakmu adalah mimpi dalam mimpi. Bahkan pernah mimpi dalam mimpi dalam mimpi. Kata jen dan li itu pun lalu hilang. Sampai lama. Sampai bisa dipastikan kau telah lupa andai saja kata-kata itu, suatu hari, tak kembali muncul dalam mimpi kanak-kanakmu yang lain.
Tetapi, itu sungguh mimpi yang aneh. Engkau menyebutnya “mimpi salah tempat”. Tempat asing juga. Tempat jauh juga. Tetapi, itu adalah tempat dewa-dewi. Tempat yang setiap kelahiran diiringi angsa-angsa bernyanyi atau, bila tidak, ditandai dengan kilatan petir yang menyambar dari angkasa ke bumi.
Dan sepasang kata itu, jen-li itu, meluncur keluar dari mulut Isis, dewi “Ibu atas Segala Sesuatu”, “Dewi Penyembuh” untuk hidup yang kekal; ibu semua unsur, yang sulung dari segala dunia.
Lima, tentang Sang Laknat
Di antara semua mimpi kanak-kanakmu, mimpi kanak-kanak inilah yang paling membuatmu heran: bagaimana bisa orang yang terlahir dalam jarak waktu sekitar seribu tahun, dan tak kenal satu sama lain, bertemu dalam mimpimu tepat ketika mereka memikirkan hal yang sama? Bagaimana bisa dua orang dengan latar berbeda, dan mengenal dunia dengan jalan hidup yang bertolak belakang, mengurangi dan menambahi pendapat yang seorang untuk menambah dan mengurangi pendapat seorang lain?
Dan itulah mimpi kanak-kanakmu paling nyata, paling jelas, yang bahkan bisa kau ingat sampai ke percakapan mereka paling rinci.
Tentang kereta perang yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam dan putih, misalnya, begini kata yang seorang, “Berbeda dari si kuda putih yang bisa kau perintah hanya dengan kata-kata, Umar, si kuda hitam, harus selalu kau cambuk.” Orang yang dipanggil Umar, tanpa perlu bertanya tentang apa yang beda, enteng menimpal, “Bertahun-tahun kereta itu kubawa, bukan hanya ke Yarmuk atau Qadisya, kuda yang satu tak bisa dikendalikan tanpa kuda lainnya.”
Tentang demokrasi yang harus diganti dengan aristokrasi sejumlah orang kelas wali, misalnya, si seseorang tadi berkata, “Kau lihat guruku, Umar. Ia mati oleh sang laknat, Suara Terbanyak, yang bisa dibeli dan dikuasai oleh sang khianat, para penjahat.”
Umar, orang yang di luar mimpi kanak-kanakmu kau kenal dengan nama Al-Faruq, ringan berujar, “Saat kelak kematian datang, aku menunjuk Para Sahabat, yang memilih seorang di antara mereka sebagai khalifah.”
Tentang dunia indrawi, dunia yang hanyalah bayangan dibanding dunia ide yang abadi, si seseorang itu (kau tahu kini, ia pembenci demokrasi) berkata, “Kesederhanaan adalah ciri keindahan. Karya seni yang hanya menyalin meniru dari alam, ialah sang laknat juga, tak lebih cuma tipuan.”
Umar, sang Al-Faruq, nama yang berarti orang yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, pelan mengangguk, “Ya, bayangan.” Dan sang Al-Faruq itu, dengan pelan juga, menggumamkan sejumlah tanya. Tanya yang, seluruhnya, sangat kau ingat, berkaitan dengan bayangan.
Tanya yang, tentu saja, tak dimaksudkan untuk mendapat jawaban. Salah satu tanya itu, misalnya, “Pernahkah kau melihat rakyatku, karena miskinnya, karena sangat laparnya, mereka lalu merebus batu?”

Gus tf Sakai lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Menulis cerita pendek sejak tahun 1979 dan sampai sekarang telah menerbitkan lima kumpulan cerpen: Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Laba-laba (2003), Perantau (2007), dan Kaki yang Terhormat (2012).

Dua Wanita dalam Lukisan Tua

Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 26-27 Agustus 2017)
Dua Wanita dalam Lukisan Tua ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Dua Wanita dalam Lukisan Tua ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
UNTUK seseorang yang sudah memasuki usia sepuh, Nyonya Tineke tergolong masih kuat. Ia memang sudah tak sanggup berjalan jauh dengan tubuhnya yang ringkih itu. Langkah kakinya pasti lambat bagai siput purba. Tapi dari keseluruhan dirinya masih terpancar tenaga kehidupan. Ingatannya masih sangat baik dan caranya berbicara menunjukkan ketegasan. Meskipun kecil, suaranya terdengar jelas seperti kicau burung di tengah kesunyian malam. Ketika Sirin menemuinya, wanita tua itu mengenakan kebaya dan kain batik. Perpaduan busana tersebut terlihat ganjil di tubuh wanita tua dengan kulit kemerahan dan rambut pirang sebagaimana orang Eropa pada umumnya.
Sirin menemui Nyonya Tineke atas permintaan ayahnya. Di ranjang kematiannya, ayah Sirin meminta Sirin mengabarkan kematiannya kepada Nyonya Tineke. Itu saja. Tak ada wasiat pemakaman, tak ada pula permintaan maaf. Tapi dari mata ayahnya yang sekarat itu Sirin seperti melihat sebuah kotak rahasia yang kuncinya dipegang oleh Nyonya Tineke.
Sirin tidak cocok dengan ayahnya. Meskipun ia anak bungsu, tidak ada keistimewaan untuknya sebagaimana yang konon dialami setiap anak bungsu. Bagi Sirin, ayahnya terlalu banyak mengumbar alasan untuk keadaan hidup mereka. Ibu Sirin meninggal dunia lantaran tak mendapat pertolongan yang tepat ketika melahirkan Sirin. Cerita itu didengar Sirin dari orang-orang. Setelah lulus SMA, Sirin memutuskan pergi dari rumah. Dengan bekal tabungan hasil mengerjakan ini-itu, ia menuju pulau seberang. Di pulau yang terkenal dengan keajaiban alamnya itu, Sirin merintis kariernya sebagai pelukis. Di samping itu, seperti sudah menjadi kebiasaannya untuk mengerjakan apa saja tanpa pilih-pilih, ia menjadi guide lepas, penjual aksesori, dan bahkan tukang cat. Tapi pelan-pelan ia mulai bisa hidup dengan hasil lukisannya. Namanya memang tidak pernah dibicarakan dalam diskusi maupun tulisan seni rupa di majalah-majalah. Tapi setidaknya ada saja yang meminati lukisannya.
“Jadi ayahmu sudah meninggal?” tanya Nyonya Tineke. “Benar, Nyonya. Seminggu yang lalu.” Sirin teringat, sehari sebelum ia menemui ayahnya, suatu perasaan ganjil menerpanya. Dari jendela kamar yang ia sewa bersama kawan-kawannya Sirin melihat permukaan laut berwarna putih. Ombak yang bergulung pelan membuat laut terlihat seperti kain yang ditiup angin. Sirin mengira dirinya sedang bermimpi. Sensasinya memang seperti itu. Tapi apa yang dilihatnya adalah kenyataan, meski hanya sesaat. Sebab, setelah seorang kawan memanggilnya dan ia memalingkan pandangan dari laut, hamparan air itu sudah kembali seperti biasa. Pada saat itu juga ia teringat akan ayahnya, dan tanpa pikir panjang, Sirin segera berkemas pulang. Sudah lama memang ia mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh sakit, tapi ia selalu enggan pulang.
Seorang bujang keluar menyuguhkan teh untuk Sirin dan segelas air putih untuk Nyonya Tineke. “Anak yang malang,” kata Nyonya Tineke. Matanya menerawang sesaat, lalu ekor mata itu mengikuti gerak bujang yang kembali masuk rumah. Bujang itu punya bentuk tubuh yang ganjil. Kepalanya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Wajahnya seperti adonan kue yang gagal. Rambutnya nyaris seperti tumpahan cat di kepalanya yang kecil itu. Ia senyum-senyum kepada Sirin seperti anak kecil yang malu-malu. Sirin tidak tahu apakah “anak yang malang” itu adalah dirinya atau bujang tadi.
“Suamiku mencampakkan ibunya ketika ia tahu aku mengetahui hubungan gelap mereka. Apakah ayahmu pernah bercerita tentang ibunya? Ehem, maksudku, nenekmu?” tanya Nyonya Tineke lagi. Sekarang Sirin paham, “anak yang malang” itu adalah ayahnya. “Tidak, Nyonya. Ayah tidak pernah bercerita. Saya tidak dekat dengannya,” jawab Sirin.
“Sofia tinggal bersama suamiku di rumah ini sampai menjelang kedatanganku. Sebagai istri sah, tentu aku marah saat mengetahui hubungan mereka. Apalagi Sofia sampai mengandung benihnya. Setibaku di sini, rupanya suamiku sudah mencampakkan Sofia. Tapi karena aku penasaran seperti apa perempuan yang telah memikat suamiku, diam-diam aku mencari Sofia.” Nyonya Tineke terbatuk di titik itu, tangannya yang keriput meraih gelas dan meneguk air putih sedikit. Gerakannya tenang dan terukur, bahkan dosis air yang diminumnya seakan telah diperhitungkan benar. “Oh, rupanya nenekku bernama Sofia, mungkin nama aslinya Sopiah,” batin Sirin.
“Aku menemui Sofia di sebuah rumah kecil di kampung pandai besi, ia tinggal bersama seorang perempuan yang aku tidak tahu namanya. Aku tidak mengerti kenapa, saat melihatnya, semua kemarahanku langsung luntur.” Ketika mengatakan itu, tangan Nyonya Tineke disapukan ke sekujur tubuhnya seakan-akan tangan itu adalah aliran air yang membersihkan sebuah benda. “Ada keteduhan pada paras Sofia. Caranya menatapku begitu tenang dan dalam. Matanya menyimpan pancaran yang lembut. Aku merasakan kasih sayang yang murni di dalamnya.” Nyonya Tineke terdiam sejenak, seolah menimbang bagian mana dari ingatannya yang mesti diceritakan. “Sofia tidak tampak ketakutan menemuiku,” dia melanjutkan. “Ia sepenuhnya sadar apa yang telah dilakukannya dan siap menghadapi apa saja karenanya. Ia perempuan istimewa.” Sirin merasakan nada kagum pada kata-kata Nyonya Tineke. “Setelah pertemuan pertama itu, aku selalu berhasrat untuk menemuinya lagi. Sofia adalah kawan berbincang yang hangat. Tutur katanya selalu menyenangkan. Untuk memudahkan pertemuan dengannya, aku putuskan untuk mengajak dia kembali ke rumah ini. Tinggal bersamaku dan suamiku. Rasanya memang aneh, tapi simpatiku padanya membuat aku berpikir itu tindakan yang wajar. Lagi pula, aku dan suamiku tak punya anak. Jadi kami bisa ikut merawat anaknya, toh, ehm, anak itu juga adalah anak suamiku.” Nyonya Tineke memijit-mijit lututnya, sementara Sirin membayangkan neneknya tinggal di rumah ini.
Sepertinya rumah ini tidak mengalami perubahan berarti sejak dibangun pada masa kolonial. Jangankan bentuknya, udara yang mengitari rumah ini juga terasa tua. Ketika memasukinya, Sirin merasa melewati pintu waktu dan berhenti di abad ke-19. Pada masa itu, para pengelola perkebunan datang dari Belanda. Sebagian besar dari mereka mengambil gadis-gadis pribumi sebagai pengurus rumah sekaligus teman hidup selama bertugas di sini. Biasanya gadis-gadis itu akan dicampakkan apabila istri-istri sah para pengelola kebun datang. Bahkan apabila mereka telah melahirkan anak dari para pengelola kebun itu.
Waktu Sirin masih kecil, keluarganya tinggal tak jauh dari sini. Karena itu, ketika tadi menyusuri jalan menuju rumah Nyonya Tineke, Sirin merasakan suasana nostalgia yang sendu. Di ujung jalan itu terhampar pantai di mana dulu berdiri pelabuhan. Di sepanjang sisi jalan banyak rumah dan gudang-gudang tua yang sudah tak dipakai. Ketika pelabuhan tersebut masih beroperasi, jalan ini selalu ramai. Banyak penginapan, toko, gudang, juga tempat hiburan. Pelabuhan ditutup beberapa tahun sebelum Sirin lahir. Setelah itu, kawasan tersebut berangsur-angsur ditinggalkan. Oleh perasaan nostalgis itu, satu per satu serpihan ingatan muncul dalam kepala Sirin, seperti benda-benda elektronik yang kembali mendapat aliran listrik. Sirin merasa dirinya menyusut menjadi bocah perempuan 7 tahun yang berpenampilan tomboi dan lebih suka bermain dengan teman laki-lakinya. Karena itu, ketika melihat Nyonya Tineke duduk di beranda rumahnya, Sirin tidak merasa sungkan. Dulu ia sering melihat wanita tua itu berjalan-jalan di sekitar pantai. Kadang-kadang wanita tua itu menyapanya sembari memberi gula-gula.
“Tapi Sofia menolak tawaranku, dan keputusan itu dipertahankan kuat-kuat.” Nyonya Tineke melanjutkan ceritanya. “Awalnya aku sedikit kecewa. Lama-lama aku tahu bahwa keputusan itu lebih bijaksana daripada yang bisa kupikirkan. Rumah tanggaku sebenarnya sudah terasa dingin dan hampa pada saat itu. Sementara Sofia sejak mula telah mengalirkan kehangatan kasih sayangnya padaku. Ia bisa menerimaku. Terus terang, hanya di depannya aku merasa benar-benar bebas. Rasa sayangku padanya kian besar, karenanya aku terus mengunjunginya.”
Sirin memang tidak pernah mendengar cerita tentang nenek atau kakeknya, tapi cerita yang disampaikan Nyonya Tineke sejauh ini sama sekali tidak istimewa. Tidak ada kunci rahasia seperti yang dibayangkannya. Pendek kata, Nyonya Tineke dan neneknya menjalin persahabatan yang erat. Mungkin seperti Kartini dan Stella. “Tapi tentu saja nenekku bukan pejuang emansipasi,” pikir Sirin. Setelah ayah Sirin lahir, Tineke dan Sofia terus menjalin hubungan. Bagi Sirin, wajar saja dua orang perempuan menjalin persahabatan meskipun berbeda bangsa dan kelas sosial. Tapi Sirin berpikir juga, memang ada terasa konflik dalam persahabatan itu. Bagaimanapun juga, keduanya pernah tidur dengan lelaki yang sama. Seandainya peristiwa itu terjadi sekarang, mungkin takkan mengurangi bobot konflik itu.
“Sampai Sofia meninggal, tak lama setelah ayahmu lahir,” ucap Nyonya Tineke, seolah memotong pikiran Sirin. Nyonya Tineke kembali meraih air dalam gelas dan mereguknya sedikit. Sirin, seakan baru ingat, turut menyeruput tehnya. Rasa teh itu pun menyusupkan suasana nostalgia. Sepertinya teh itu merek lama yang masih diproduksi, tapi tak begitu laku. Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, Nyonya Tineke menghentikan tegukannya, “Oh iya, Sofia itu punya bakat melukis.” Paras Nyonya Tineke terlihat cerah ketika mengucapkan kalimat itu. “Benarkah, Nyonya?” kata Sirin, seperti baru mendapat jawaban atas pertanyaan yang lama disimpan. Meskipun tak terlalu peduli, kadang-kadang Sirin bertanya-tanya, dari mana dirinya mendapat bakat melukis. “Iya, di hari-hari terakhirnya ia bahkan melukis sosok kami berdua,” kata Nyonya Tineke. “Apa nenekku meninggal karena sakit?” tanya Sirin. Nyonya Tineke tak segera menjawab. Dari bibirnya yang keriput seperti keluar bunyi denging. “Dia terserang penyakit secara tiba-tiba. Tapi aku menduga seseorang telah meracunnya, dan aku curiga suamiku ada di balik semuanya. Mungkin suamiku tahu hubungan kami. Namun persoalan itu tidak pernah aku tanyakan padanya. Aku benar-benar kehilangan Sofia. Rasanya seperti kehilangan kebebasan. Ayahmu diambil oleh keluarga jauh nenekmu, lalu dibawa ke Kalimantan. Setelah dewasa, ayahmu kembali ke kota ini, menikah, dan tinggal di dekat sini.” Cerita selanjutnya bisa direka-reka Sirin. Ibunya meninggal ketika melahirkannya, beberapa tahun kemudian keluarga mereka pindah ke timur pulau.
Sirin mencoba menggali hal-hal lain dari cerita Nyonya Tineke, tapi ia tak bisa menemukannya. Sepertinya cerita memang sampai di situ saja.
“Terima kasih sudah memberi kabar tentang ayahmu,” ucap Nyonya Tineke. “Aku tak punya apa-apa untuk membantu kalian, mohon maafkan.” Kalimat itu terdengar lirih dan sedih. Sirin segera menimpali, “Ah, Nyonya. Jangan berkata seperti itu. Saya cuma datang untuk menyampaikan pesan terakhir ayah saya. Kalaupun Nyonya memberi bantuan, saya akan menolaknya.” Nyonya Tineke tersenyum kecil mendengar kata-kata Sirin. Mungkin ia teringat akan penolakan Sofia di masa lalu. “Tapi ada yang mau saya berikan,” ucap Nyonya Tineke. “Mungkin tak terlalu berharga buatmu, tapi buatku, itu senilai separuh hidupku.” Lalu Nyonya Tineke bangkit dari kursi dan masuk ke rumah. Di pintu ia sedikit terkejut karena si bujang berdiri di balik pintu itu. Nyonya Tineke menggerutu dalam bahasa asing, lalu terus masuk. Bujang itu tampak malu, tapi masih sempat melirik Sirin.
Ketika kembali ke beranda, di tangan Nyonya Tineke tampak gulungan kanvas kira-kira berukuran seperempat meter. Nyonya Tineke memberi gulungan itu kepada Sirin. “Ini lukisan Sofia,” katanya. Seperti memegang benda purba yang rapuh namun berharga, dengan hati-hati Sirin membuka gulungan itu. Di atas kanvas terdapat lukisan tua yang hampir pudar warnanya. Lukisan itu sepertinya belum jadi. Figur dua orang wanita berpelukan erat. Pelukan yang biasa-biasa saja, tapi terasa sesuatu yang erotis memancar dari sana.
“Aku mencintai Sofia…,” ucap Nyonya Tineke. Suaranya seperti meresap ke serat-serat kanvas, seolah Nyonya Tineke sedang memberikan seluruh tenaga kehidupan yang tersisa dari dirinya ke dalam lukisan itu.

Bakarti, 2017
Kiki Sulistyo menulis puisi dan cerpen. Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Di Ampenan, Apalagi yang Kaucari? (2017). Ia mengelola Komunitas Akarpohon di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Kutipan Ruang Hati

Apa masih ada orang yang rela berbagi tempat dengan orang lain yang sudah berdiri kokoh duluan di hati seseorang? (hlm. 364)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Karena kesempatan itu dibuatm bukan ditunggu. (hlm. 40)
  2. Tidak ada kehidupan yang sempurna tampaknya. Yang ada hanya rasa syukur yang dipanjatkan dengan apa yang sudah cukup dimiliki. (hlm. 71)
  3. Bisakah dua orang yang terluka saling mengobati? Bukankah justru perlahan saling menorehkan luka yang lain lagi? (hlm. 114)
  4. Jangan malu punya selera yang nggak biasa. (hlm. 131)
  5. Bukan seberapa jauhnya pergi, tapi seberapa banyak nemuin hal yang baru. (hlm. 191)
  6. Kalo lo rasa dia yang terbaik, perjuangin. Kalo nggak, ya relain aja. (hlm. 204)
  7. Kadang orang punya tujuan hidup kemana tapi nggak tahu apa yang sebenarnya dicari. (hlm. 239)
  8. Katanya harus punya hati seluas langit, nggak berbatas. (hlm. 241)
  9. Nggak semua cinta harus dimiliki. Kadang yang lo kira matahari, tahunya cuma pelangi. (hlm. 260)
  10. Hargai orang yang memberikan hatinya untukmu dengan tulus meski hanya separuh. Karena tidak setiap hari kamu mendapatkannya. (hlm. 313)
  11. Tidak ada yang mengerti. Kadang cinta berwujud ciuman atau pelukan. Kadang cinta hanya berwujud dalam sebuah doa. Dan tak banyak yang menyadarinya. (hlm. 314)
  12. Hidup terlalu indah untuk kamu lewati. (hlm. 389)
  13. Jangan paksakan sesuatu yang nggak bisa kamu sanggupi. (hlm. 395)
  14. Kadang sebagai sahabat, kita perlu member sahabat kita privasi untuk dirinya sendiri. (hlm. 435)
  15. Kebahagiaan itu kita sendiri yang cari, tidak bergantung pada orang lain. (hlm. 438)
Banyak juga selipan sindiran halusnya dalam buku ini:
  1. Liburan kek lo, masa kerja mulu. Pacar nggak punya juga! (hlm. 1)
  2. Suka mah suka aja. Nggak usah mikirin alisnya kayak gimana. (hlm. 4)
  3. Apa bedanya pergantian tahun? Segala perubahan toh tidak langsung terjadi. (hlm. 11)
  4. Emangnya kalau gua ganteng, kenapa gitu? Dijadiin pajangan? (hlm. 16)
  5. Cari cewek mah jangan di kondangan. Mereka bawaannya gatel langsung pengen berdiri di pelaminan juga. (hlm. 20)
  6. Kan lo cewek, biasanya cewek jago kepo. Kata meme 9gag kan keponya cewek ngalah-ngalahin FBI. (hlm. 28)
  7. Kalo orang cantik mah, mau kayak apa juga tetap aja cantik. (hlm. 46)
  8. Hidup itu nggak sempurna, bahwa kenikmatan itu kadang juga merupakan cobaan tersendiri buat orang lain. (hlm. 68)
  9. Orang emang suka gitu kadang. Menganggap apa yang mayoritas sukai lebih benar daripada minoritas. (hlm. 76)
  10. Cara terburuk kehilangan seseorang adalah ketika mereka pergi secara mendadak. Kalau secara mendadak, kadang rasanya mendadak hampa, hilang, kosong, lalu baru terasa sakitnya beberapa minggu kemudian. (hlm. 87)
  11. Itu bikin alis apa mau UAN sih? Repot banget pake penggaris bullet sama pensil 2B? (hlm. 122)
  12. Hebatnya perempuan di karier atau bakat itu nggak ada artinya kalo nggak bisa urus rumah. (hlm. 140)
  13. Kenapa penyesalan itu selalu menyisakan sesuatu yang kayaknya besar banget, mengganjal di dalam rongga dada, ya? (hlm. 142)
  14. Mau sampai kapan menunggu orang yang kita suka, suka balik sama kita kalau dia sendiri nggak tahu ketertarikan kita sama dia? (hlm. 149)
  15. Kalau lagi jatuh cinta, tai kucing juga rasa cokelat! (hlm. 161)
  16. Sometimes the best time to find love is when we’re in the hopeless place, at the hopeless time. (hlm. 259)
  17. First world problem banget kayaknya cewek suka sama siapa, tapi nggak kelihatan. Kita sebagai cowok mana tahu. (hlm. 261)
  18. Ini cinta apa perang? Pake diperjuangin segala! (hlm. 329)
  19. ..sensi. Kayak cewek mau dapet. (hlm. 356)
  20. Cinta dalam dia begitu menyakitkan. Semakin diredam, semakin besar rasanya. (hlm. 362)
  21. Kenapa sih kategori sial untuk perempuan itu cuma sampai jauh dari jodoh? (hlm. 399)
  22. Kalau kenangan yang membandel, ngatasinnya pake apa? (hlm. 441)