Daftar Blog Saya

Senin, 19 Maret 2018

Durian Ayah

Cerpen Rizki Turama (Kompas, 18 Maret 2018)
Durian Ayah ilustrasi Bambang Herras - Kompas.jpg
Durian Ayah ilustrasi Bambang Herras/Kompas
Di antara semua pohon yang ditanam ayah, hanya durian yang sampai sekarang belum berbuah. Padahal tangan ayah setahuku cukup dingin. Ia hampir selalu berhasil dalam dunia cocok tanam. Hampir semua tanaman yang mendapat sentuhan tangannya akan jadi subur, menghasilkan apa yang diharapkan. Karena itulah, perihal durian yang tak kunjung berbuah ini menjadi sesuatu yang cukup mengganjal hati ayah.
“Pohon ini bisa kau anggap adikmu,” ujar ayah sekitar sepuluh tahun lalu. Aku masih SMA waktu itu. Ayah memang suka begitu, mengatakan pohon-pohon tertentu sebagai kakak atau adik dari kami, anak-anaknya. Tolok ukur yang digunakannya jelas adalah usia. Rambutan di sudut kanan halaman depan rumah dibilang sebagai kakakku karena dia ditanam dua tahun lebih dulu daripada kelahiranku. Begitu juga dengan kelengkeng yang ada sekitar tujuh meter dari rambutan, dia juga kakakku yang lebih tua empat tahun.
“Dia lebih muda darimu empat tahun,” ayah melanjutkan.
Aku menelengkan kepala ke arah pohon durian yang ditunjuk ayah, “Tapi anak ayah yang satu ini belum pernah berbuah sekalipun. ‘Kakak-kakak’ku yang lain tak perlu menunggu sampai sepuluh tahun, sudah berbuah. Cuma ini yang belum.”
Ayah hanya tersenyum, “Sabarlah. Seperti manusia, pohon tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Mereka punya perjuangan sendiri-sendiri menuju sana.”
***
Lima tahun kemudian, sepertinya ayah yang mulai diuji kesabarannya. Mungkin karena merasa ia sudah melakukan hampir semua yang bisa dilakukan untuk durian itu, tapi si durian tetap tak mau menunjukkan tanda-tanda akan berbuah.
“Sudah kusiram, kupupuk, kubersihkan dari gulma-gulma, masih saja tak mau berbuah. Apa kusuntik saja pohon durian ini?”
Tentu aku tak menjawab. Sebab ayah memang tidak sedang berbicara padaku. Ia lebih cenderung berbicara pada dirinya sendiri. Dan benar, seminggu kemudian ayah menyuntik pohon durian itu dengan obat yang mampu merangsangnya agar cepat berbuah.
“Paling lama enam bulan lagi durian ini akan berbunga, begitu kata penjual obat suntik ini tadi.”
Sekali lagi aku tidak menjawab omongan ayah. Hanya mengangguk-angguk saja. Tentu saja dalam hati aku meng-amin-kan. Toh kalau durian itu berbuah, aku juga akan menikmatinya. Tapi ternyata sampai satu tahun, durian itu tak kunjung berbunga, apalagi berbuah. Hanya daunnya saja yang jadi semakin lebat. Enam bulan kemudian, ayah kulihat sedang menyayat-nyayat batang durian itu.
“Ada yang mengajariku, pohon buah harus sedikit disakiti agar dia merasa terancam dan kemudian berbuah,” jelas ayah tanpa kuminta.
Sampai setahun setengah kemudian durian tetap berdiri angkuh dengan daunnya yang lebat dan batang yang semakin menjulang, tanpa buah.
Di suatu senja, aku terkejut ketika pulang mendapati ayah sedang memegang kapak. Dengan wajah marah, ayah mengayunkan kapak itu berkali-kali ke batang durian. Keringat bercucuran dari dahi dan wajahnya. Tidak sampai sepuluh menit, ayah berhenti. Napasnya satu-satu. Kapak di tangannya jatuh. Ia pun rubuh, terduduk di tanah.
“Yang tempo hari mungkin ia tidak terlalu merasa terancam,” desis ayah.
Karena tak tahu harus berbuat apa, aku hanya berdiri di antara ayah dan pohon itu. Pohon durian di depannya tetap kukuh. Kulitnya memang terkelupas di sana-sini. Satu dua tetes getah merembes dari celah-celah kulit pohon itu. Tapi, seperti yang kukatakan tadi, pohon itu tetap kukuh. Malah sepertinya angkuh. Seolah ia sedang mengejek tenaga ayahku yang sudah jadi pensiunan.
Sampai setahun lagi berlalu, durian itu tetap tak mau berbunga. Ayah merutuk.
Dasar mungkin mulutku memang lancang, aku justru berkata, “Seperti manusia, pohon tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Mereka punya perjuangan sendiri-sendiri menuju sana.”
Mata ayah membeliak mendengar kata-kata itu.
***
“Aku menyerah,” ujar ayah suatu waktu seusai makan ma lam.
Dahiku mengernyit tanda tak mengerti.
“Dua puluh tiga tahun, dan durian itu tak kunjung berbunga. Seusai lebaran nanti akan kupanggil dua atau tiga orang tukang untuk menebangnya.”
“Ayah serius?”
Ia mengangguk. “Mungkin akan kuganti saja dengan pohon mangga. Aku tak pernah gagal menanam mangga. Buahnya selalu lebat dan manis jika aku yang menanam. Mungkin memang durian bukan jenis buah yang sesuai dengan tanganku.”
Sehabis lebaran, berarti sekitar empat bulan lagi. Aku bisa mengerti kenapa ayah harus menunggu selama itu untuk menebang pohon besar di pekarangan kami. Sederhana, ia beranggapan waktu terbaik untuk menanam pohon adalah setelah lebaran. “Seperti manusia yang puasanya berhasil, tanaman akan memulai kehidupannya dari nol di masa itu. Suci. Tanpa dosa.”
Kadang ayah memang aneh.
***
Selama empat bulan itu, aku melihat ayah lebih telaten merawat durian yang akan ditebangnya. “Sebagai ucapan perpisahan,” kata ayah. Ia ingin memberi kenang-kenangan yang indah. Memohon maaf jika ada salah. Jangan sampai ada dendam antara dia dan pohon itu. Begitu paparnya panjang lebar.
Orang lain mungkin akan mengira ayah sudah tak sehat akal, tapi aku tahu memang begitulah ayah dari dulu. Setiap ada pohon yang akan ditebang, ia akan merawat pohon itu dengan lebih baik dan menyiapkan pengganti yang juga baik.
Sampai akhirnya lebaran telah tujuh hari berlalu. Ayah pun memanggil dua tukang untuk menebang.
“Apa benar Bapak mau menebang pohon ini?” tanya salah satu tukang tebang itu.
Ayahku mengangguk. Mantap.
“Sayang sekali. Kenapa tak ditunggu sampai berbuah dulu, Pak?”
“Sudah lebih dari cukup aku menunggunya. Jangankan berbuah, berbunga saja tidak.”
“Lah. Itu apa kalau bukan bunga durian?” tukang tebang itu berkata lagi sambil menunjuk ke atas.
Ayah dan aku menengadah. Kami baru sadar putik-putik kecil itu tumbuh di ujung ranting. Bergerumbul. Sedikit tertutupi oleh daun-daun yang lebat.
***
Penebangan pohon dibatalkan. Ayah semringah bukan main. Dua puluh tiga tahun, dia selalu menyebut angka itu sebagai sebuah tanda penantian yang begitu panjang. Kerentaan ayah seolah memudar. Ia jadi lebih telaten lagi mengurusi pohon yang sedang berbunga itu.
Tapi, kadang nasib tak ubahnya hati perawan yang sedang gundah, mudah berbalik arah. Musim hujan datang. Air dan angin datang silih berganti. Bunga-bunga yang sedang mekar itu runtuh satu per satu. Begitu juga semangat ayah.
Hampir setiap pagi, ia terpaksa menyapu reruntuhan bunga durian dengan wajah yang begitu murung. Hanya tinggal beberapa lagi yang masih bertahan di atas. Bisa dihitung dengan jari tangan. Dan mungkin karena berharap bisa jadi sangat menyakitkan, ia membunuh semua harapan yang tersisa. Merawat tanaman itu seadanya. Tak lagi sebagai sebuah tanaman istimewa yang bunganya telah ditunggu sekian lama.
Entah ajaib atau kebetulan, tujuh bunga yang tersisa itu terus bertahan meskipun hujan tak memberi belas kasihan. Akhirnya, waktu juga yang memperlihatkan bahwa harapan tak boleh dibunuh sebab kehidupan dimulai dari sana. Sebagaimana kehidupan tujuh bunga durian ayah. Tujuh-tujuhnya tampak semakin besar seiring waktu. Bahkan satu, yang paling besar, tampak sudah matang beberapa bulan kemudian.
Senyum ayah kembali tersungging tanpa cela. Menanti durian matang jatuh dari pohonnya. Hingga akhirnya di sebuah senja yang cerah, kemarau baru saja hendak bertamu, bunyi yang ditunggu tiba juga.
Bunyi berdebug menghantam tanah cukup keras terdengar dari arah pohon durian. Aku segera berlari, mencari. Benar saja. Durian ayah yang telah matang, jatuh. Aromanya menguar menggiurkan. Kutolehkan kepala, ayah belum keluar rumah. Mungkin tidak mendengar duriannya jatuh.
Dengan penuh semangat, kubawa durian itu ke rumah. Berteriak aku memanggil ayah. Tapi yang dipanggil tak kunjung menjawab. Aku jadi tak sabaran, ingin memberi kabar gembira ini. Namun kemudian, setelah mencari di sepenjuru rumah, kutemukan ayah di kamar. Telentang dan matanya tertutup. Tersenyum. Tak pernah menjawab lagi. Dari seluruh tubuhnya, menguar aroma durian matang.


Rizqi Turama, lahir 4 April 1990 di Palembang. Mengikuti Workshop Cerpen Kompas 2016 di Borobudur Writer and Cultural Festival. Ia sehari-hari dosen di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sriwijaya, Palembang. Sudah menerbitkan beberapa buku, di antaranya Kampus Elite Berhantu (kumpulan cerpen), Sniper: Operasi Bunuh Dili (novel).
Bambang Herras, perupa yang pernah belajar melukis di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bersama pelukis Yuswantoro Adi dan Samuel Indratma membentuk Trio Kirik, sebuah kelompok yang menggerakkan kesenian di Yogyakarta. Tak jarang kelompok ini menjadi host dalam berbagai perhelatan seni.

Lelaki yang Mencintai Buku-buku

Cerpen Kak Ian (Fajar, 18 Maret 2018)
Lelaki yang Mencintai Buku-buku ilustrasi Fajar.jpg
Lelaki yang Mencintai Buku-buku ilustrasi Fajar
DESAS-DESUS aku mencintai buku-buku yang kumiliki kini tersebar luas. Bukan hanya sekedar kabar angin apalagi kabar burung. Semua orang-orang yang mengenalku maupun di sekelilingku sudah mulai mengetahui hal itu.
Lain hal bila kawan-kawanku di komunitas teater yang aku diami mengetahuinya. Bagiku itu tidak menjadi soal. Karena mereka satu ‘pemikiran’ denganku. Satu ‘jiwa’ pula.
Aku mencintai buku-bukuku. Jika itu memang kenyataannya bagiku itu masih wajar. Aku masih belum setaraf paling tinggi dalam keanehan! Aku masih di batas kewajaran. Aku masih belum apa-apa dibandingkan Seno.
Ya, Seno lebih ‘aneh’ bahkan lebih ‘gila’ lagi bila aku sebut. Dia adalah temanku sesama pecinta seni apapun. Entah itu seni kata, seni rupa, seni gerak maupun seni mematung. Pokoknya jika ada yang berbau seni di sana, dia selalu ada. Itulah dia!
Dia pernah mengatakan kepadaku suatu malam seusai latihan teater di atas gazebo, di mana tiap saban Jumat kami kumpul. Dia mengatakan kepadaku. Dia terkadang mencumbui puisi-puisinya tiap kali hasratnya memuncak. Edan.
Itulah bila kalian bukan ‘sekufu’ dengannya. Kalian akan menganggap dirinya freak atau nerd, silakan saja! Aku tidak melarangnya.
Sebenarnya, jujur aku katakan ketika kali pertama mendengar Seno berkata demikian aku sempat ingin mual karenanya. Ingin mengeluarkan segala isi perutku saat itu. Tapi aku tahan saja. Karena aku takut dia merasa tak diindahkan. Atau, merasa tersinggung. Akhirnya aku tahan saja sampai usai dia berkata demikian. Hingga keisenganku pun timbul untuk bertanya padanya saat itu.
“Kalau kamu sedang bercumbu bersama puisi-puisimu itu caranya bagaimana?” tanyaku jahil. “Terus apa kamu menikmatinya.”
He-he. Seno hanya terkekeh ketika aku bertanya demikian.
Ah, kamu kura-kura dalam perahu saja, Gus!”
Hei, aku benar-benar tidak tahu, Bung!” pungkasku penasaran padanya.
“Jika kamu tidak tahu. Cari tahu sajalah sendiri bagaimana caranya!” serunya. “Eh, sudah malam nih. Kita balik saja! Lagi pula anak-anak yang latihan juga sudah pada pulang. Apalagi malam ini waktunya aku bercumbu padapuisi-puisiku.” Kali ini aku benar-benar dibuat mual kembali.
Malam itu aku pulang seusai latihan teater bersamanya berlawanan arah. Aku berjalan menuju arah selatan sedangkan Seno menuju ke utara.
Dalam perjalanan pulang itu aku kembali membayangkan bagaimana cara Seno mencumbui puisi-puisinya itu. Apakah dia menikmatinya? Dan bagaimana cara dia menikmatinya? Pikirku gontai menekuri setapak demi setapak jalan yang saat itu sepi senyap. Tidak ada seorangpun berlalu lalang lagi. Hanya penerang alam yang menemaniku malam itu.
Sebenarnya apa yang dilakukan Seno bagiku tidak bermasalah. Lagi pula itu haknya. Aku sebagai temannya tidak patut mencampuri itu semua. Halnya dia tahu desas-desus aku (telah) menikahi buku-bukuku. Dia diam seribu bahasa saja. Tidak jahil sepertiku. Lagi-lagi, walaupun dia tahu kebenaran desas-desus itu.
Dia tidak pernah mencampuri urusanku. Apalagi bertanya. Karena itulah kepribadiannya. Tidak pernah usil dengan urusan orang lain. Sungguh aku sangat mengapresiasikan sikapnya itu. Bukan hanya untukku saja dia seperti itu. Semua pun sama rata. Dia lagi-lagi tidak pernah usil pada siapa pun. Tidak pernah ingin tahu urusan orang lain.
Tapi lain hal jikalau sudah waktunya latihan teater di atas pendepo, bila ada salah satu anggota yang ikut dalam latihan itu terlihat main-main. Dia tidak segan-segan menegurnya bahkan bisa memarahinya. Itu semua dia lakukan, tidak lain untuk memberitahukan ‘keadilan’ menurut versinya.
Kalau sudah waktunya latihan teater maka hargailah waktu dan kesempatanitu. Tentu saja para anggota yang ikut latihan saat itu hanya diam seribu bahasa saja. Tidak berani menyanggahnya dan membatahnya termasuk aku. Tidak berani melakukan apapun. Boleh jadi saat aku latihan teater bersama dia sudah sepatutnya menghargai keputusannya dan arahannya sebagai ketua teater itu. Cukup didengar lalu dipraktekkan. Aman, kan!
Itulah dia. Dia Seno, ketua teater di komunitasku yang sangat disiplin dan tegas. Namun‘aneh’dalam kehidupan yang selama ini dia lakukan. Dia masih mencumbu puisi-puisinya. Tapi aku senang memiliki teman dan juga menjadi anak buahnya dalam seni gerak sepertinya. Jadi aku bisa bertukar isi kepala masing-masing.
Akhirnya desas-desus aku mencintai buku-buku itu di dengar juga oleh Utami. Utami, kekasihku yang baru lima bulan ini aku pacari. Awalnya dia pertama kali mendengar desas-desusku seperti itu sudah menutup kuping kirinya. Tapi karena desas-desus itu makin kuat bagai angin tornado saat didengar sampai juga ke kuping kanannya yang mulai goyah. Ia termakan juga omongan-omongan dari mulut orang-orang tidak bertanggungjawab itu.
Utami tidak sanggup lagi menahan kuping kanan-kirinya mengenai desas-desusku itu. Suatu hari di siang bolong dia pun ke kosanku. Akhirnya peristiwa itu pun jadi. Peristiwa yang membuatku meledak-ledak padanya.
Di kosanku itu dia menghampiriku tanpa memberi kabar apalagi uluk salam saat memasuki kosku. Dia langsung melabrakku.
“Dasar lelaki tidak tahu diri! Apakah kau tidak puas juga denganku selama ini. Segala buku-buku yang kau beli kemarin bersamaku di toko buku itu kau masih cumbui juga!” maki Utami padaku saat itu.
Aku gelagapan. Buku yang baru saja aku buka dari plastiknya seketika itu lepas dari genggamanku. Suara lekingan Utami benar- benar mengalahkan konsentrasiku menikmati bau harum dari buku yang kubeli di kota besar bersamanya. Saat itu aku sedang menikmati harum bau yang dikeluarkan dari buku itu. Tapi kini sudah terjatuh, tergeletak di lantai tanpa daya.
Hei, tunggu dulu! Apa-apaan kau seenaknya memaki aku dengan seperti itu. Kau tidak mengaca siapa dirimu sesungguhnya. Jika bukan karena aku nyawamu sudah diangkut oleh Izrail saat kau terlalu banyak menenggak pil setan itu. Apakah kau lupa?” aku kembali memaki Utami.
Utami sejenak berhenti memaki. Dua mundur beberapa langkah. Lalu mengamati wajahku serupa Sengkuni saat itu. Dia tidak lagi menganggapku Arjuna untuknya lagi. Apalagi melihat apa yang aku lakukan untuknya saat itu. Aku diam sejenak. Kutatap wajah Utami yang mulai memias. Aku lalu menghampirinya dan mendekatinya. Aku langsung memeluknya sebagai tanda aku meminta maaf.
“Jangan sentuh aku lagi! Sudah cukup kau ungkit segala apa yang telah kau lakukan untukku selama ini!” teriak Utami mendorongku hingga pelipisku terluka oleh sudut kursi.
“Maafkan aku, Utami! Aku tidak bermaksud berkata seperti itu,” lirihku sambil bangkit.
“Buang kata maafmu itu! Kau tidak bersalah. Aku yang bersalah telah menaruh kepercayaan padamu. Tapi hasilnya seperti ini. Mulai saat ini kita akhiri hubungan kita. Aku tidak ingin mempunyai kekasih seperti kau. Kau lelaki aneh yang aku kenal! Inikah hasil dari kau bersama mereka…!” Utami tidak berhenti memaki.
“Stop! Stop, aku bilang stop! Aku memang lelaki aneh. Puas kau, Utami Citra Lestari!” seruku makin berapi-api. “Kau boleh mengatakan apapun tentangku. Silakan! Asal kau jangan bawa-bawa mereka dalam hubungan kita!”
“Baiklah, hai seniman aneh! Mungkin kau lebih mengutamakan buku-bukumu itu dan mereka yang membawamu menjadi seniman aneh!” Utami makin menyudutkan.
“Sekarang kau keluar perempuan jalang!”
“Baik aku akan meninggalkan tempat busuk ini!”
“Cepat keluar…!!!”
Aku tidak tahu apalagi yang aku ucapkan pada Utami. Aku sudah gelap mata dan pikiran. Aku tidak kuasa saat itu. Aku tenggelam dalam buku-buku yang aku miliki. Usai peristiwa itu aku pun menemui Seno ke kosannya.
“Maaf aku tidak jadi. Mungkin lain waktunya saja kita bicarakan hal ini,” kataku saat aku tiba di kosan Seno. Ia ternyata sedang mencumbui puisi-puisinya kembali.
“Ayolah, masuk jangan emosi yang kau depankan! Kau janganlah terlalu rapuh menghadapi kehidupan. Apalagi soal perempuan. Seperti aku ini selalu bebas tidak seorang pun yang mengekangku apalagi sampai menghina apa yang selama ini aku lakukan. Karena aku melakukan ini bukan untuk mereka tapi untuk kehidupanku!” bujuk Seno menenangkanku.
“Kita ini berbeda dengan mereka. Kita tidak bisa memiliki masa depan menurut mereka. Tapi masa depan kita yang buat! Jadi kau jangan cengeng begitu,” lanjut Seno mengatakan begitu rupa tentang kehidupannya. Oh, bukan mungkin kehidupanku pula.
“Oya, aku punya buku baru yang aku beli di toko buku di galeri Taman Ismail Marzuki. Kalau kau mau silakan. Kita bersama-sama mencumbui masing-masing yang sudah menjadi bagian kita. Bagaimana, Bung?” Seno menawariku.
Aku tersenyum. “Terima kasih,” ucapku.
Akhirnya kuambil Orang-orang Bloomingtonnya karya Budi Dharma yang kulihat masih bersegel plastik di rak buku milik Seno. Di sanalah akhirnya kutahu apa tujuanaku sebenarnya berada di dunia ini. Membahagiakan orang lain atau untuk membahagiakan diri sendiri?
Halnya yang kulihat saat ini Seno begitu menikmati dunianya. Sedang mencumbui puisi-puisinya yang liar dibuatnya itu. Sedang aku tenggelam dalam bau harum buku Orang-orang Bloomington.
Usai itu aku diajaknya oleh Budi Dharma melayang ke sebuah negeri bermenara Jam Big Ben. Entah aku sadar atau tidak saat itu. Yang aku tahu kepalaku pusing setelah mencium bau yang dikeluarkan buku itu. (*)

Kak Ian, penulis Fiksi Anak dan Remaja. Aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.

Dari Balik Jendela

Cerpen Elfi Ratna Sari (Republika, 18 Maret 2018)
Dari Balik Jendela ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Dari Balik Jendela ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Adalah aku, salah seorang yang selalu menantikan sore tiba. Akan bahagia ketika melihat ujung-ujung pohon berwarna kekuningan. Tapi yang sebenarnya paling kusukai dari senja ialah ketika ada sosokmu di tiap jengkal hidupku. Walau kenyataannya kisah itu sudah terlalu usang untuk dibahas.
Lalu … biarkan saja tetap kugenggam setiap kenangan yang pernah ada. Yakni tentang kejora di ufuk barat yang berwarna jingga. Yang seolah selalu menarikan aksara-aksara indah untuk setiap pertemuan kita.
Socaku kini mengembun hebat. Keberadaanku di balik jendela senja ini tak hanya menyeretku pada kenangan indah, tapi juga menggali kembali luka lama yang sebenarnya sudah berulang kali kukubur dengan kedalaman sampai pasak bumi. Kudapati pohon yang ujungnya kekuningan melambai-lambai diterpa angin sore. Dulu, keadaan begini akan menambah syahdu pertemuan kita, tapi sekarang terasa lebih mengiris hati. Menyadarkanku bahwa semua itu tak lagi mungkin terulang, semua itu hanya ada dalam ruang kecil di hatiku yang disebut kenangan.
***
“Jodohkan saja Khumaira dengan Fajar, Pak. Anaknya baik, sopan, dan mapan. Setara dengan kita.”
Mendengar itu, aku tersenyum malu-malu. Mengangguk sedikit tanpa seorang pun melihat. Bukan karena tentang statusmu yang mapan, atau tentang pesonamu yang rupawan. Tidak, sungguh tidak. Melainkan jika benar kita berjodoh, maka akan ada pahala yang bertumpuk untukku yang mau mengabdi padamu. Memperlakukanmu menjadi sebenar-benarnya suami, sebenar-benarnya pemimpin. Yang insya Allah akan membimbingku menyusuri sirotol mustaqim ke jannatullah. Sungguh teramat menyenangkan meski baru sebuah bayangan.
“Tapi apa ya Si Fajar mau?”
Bapak bersitatap dengan ibu. Masih ragu. Mengingat anaknya adalah perempuan. Tak mungkin hendak melamar. Kodrat perempuan hanya menunggu. Menunggu dan menunggu untuk dipinang.
“Ya jelas mau, keluarga kita kan terpandang. Khumaira juga amat cantik. Tak kalah dengan gadis-gadis kota tempat Fajar bekerja.”
Hentakan perpaduan sendok dan piring membentuk dentingan-dentingan khas insan-insan yang menikmati santapan malam. Menyaingi pembicaraan serius Bapak dan Ibu.
“Lelaki desa saja banyak yang mengantre ingin memperistri Khumaira, Pak. Mana mungkin Fajar sampai hati menolak? Mending segera diijabkan saja keduanya.”
Ibu masih mengeyel. Bapak sedikit tersedak. Mendengar arah pembicaraan ibu yang makin lama, makin menyombongkan diri.
“Mbok ya ditanyakan dulu pada yang bersangkutan. Ini sudah bukan musim perjodohan lagi, Bu.”
Bapak tak kalah ngeyel. Mencoba menjelaskan pada wanita yang telah lebih dari dua puluh tujuh tahun menjadi istrinya. Aku yang berada di antara keduanya hanya memperhatikan. Menoleh kiri saat ibu bicara, lantas menoleh kanan saat bapak menjawab.
“Bapak kan kiai di kampung ini, tidak mungkin pula keluarga Fajar menolak kita. Kalau Khumaira sudah pasti menyetujui usulan Ibu. Lha wong sudah lama kesemsem. Iya kan, Nduk?”
Aku menelan paksa nasi yang sebenarnya belum lembut dikunyah. Terasa sungsang di tenggorokan. Maka, kudorong secepatnya dengan air sebelum aku mendelik karena tersedak.
“In-injih, Bu’e.”
Gagap kujawab.
Sebagai Ibu, tak heran jika beliau teramat paham dengan perkembanganku. Termasuk ketika aku meresapi ada yang terasa ganjal di hati ketika tak sengaja berpapasan denganmu. Dada terguncang sebab jantung yang hebat berdebar. Ya, sejak awal kedatanganmu aku memang telah mememe… ah, entahlah. Hal itu belum terlalu kupahami. Bukankah yang harus kupahami terlebih dahulu adalah hafalan Alquran yang belum khatam hingga sekarang?
Suatu waktu, aku memperhatikan sosok yang membuat air bergemericik di padasan. Tampungan air untuk berwudlu itu tampak ada yang berbeda—padahal biasanya juga seperti itu, dipakai orang untuk berwudlu. Tapi lihatlah! Di sana ada sosokmu … iya, itu kau. Apa orang tua kita telah diam-diam berbicara tentang rencana sunnah Rasulullah itu? Lantas kita sama-sama tak diberitahu, supaya hingga pada saat tiba waktunya, kita menganggap itu sebagai hadiah kejutan yang begitu indah.
“Assalamu’alaikum, Jingga.”
Sembari membenarkan peci, kaututurkan itu. Aku kebingungan setengah mati, menoleh ke sana ke mari, mencari sosok yang kaupanggil Jingga. Ternyata sejak aku masih melamun, langkahmu sudah sedemikian dekat menghampiriku yang berdiri mematung di balik jendela kamar—memerhatikanmu.
“Haha, kau begitu polos, Khumaira. Oh, iya. Assalamu’alaikum. Tadi belum sempat kau jawab salamku. Bukankah aku mendoakan supaya kau sejahtera, ayolah … giliranmu mendoakan lelaki yang akan jadi imam di setiap sujudmu ini untuk sejahtera juga.”
Kau teramat biasa merayu gadis kota sepertinya. Lancar sekali bualan itu kauucapkan.
“Wa-wa’alaikum salam, Kang. Mungkin Kang Fajar salah orang. Di sini Khumaira sendiri, tak ada Jingga. Dan seingat Khumaira pun tak ada santri yang bernama Jingga.”
Kau masih tetap menatapku tanpa canggung. Menyemburatkan senyum penuh arti dengan gelengan kepala. Sementara aku makin tertunduk dalam. Malu kaupandang seperti itu.
“Jingga itu kau, Khumaira. Gadis jendela yang senang melihat keindahan senja yang berwarna jingga.”
Aku tertunduk malu. Bagaimana pun aku tak boleh berlama-lama berbincang berdua selayak ini. Takut jika hati dikuasai iblis yang berbisik sembarangan.
“Haduh … haduh ampun, Pak Kiai!” teriakmu tiba-tiba.
Sontak aku mencuri tatap apa yang sebenarnya terjadi. Senyumku tak kuasa merekah. Satu jeweran mendarat di telingamu. Bapak yang melakukannya. Dia menarik telingamu menuju tempat shalat laki-laki, mau tak mau kau mengikuti langkahnya agar kupingmu tak putus. Kejadiannya persis seperti saat Shihab—adikku—menggoda santriwati yang mondok. Eh, itu berarti kau sudah setara dengan Shihab, sudah sama dianggap anaknya.
Di kesempatan yang lain, kudengar suaramu. Suara seorang lelaki dewasa yang masih keteteran membedakan sa, sya, dan shod. Pasti dulu saat kecil kau senang bolos TPQ, jadinya sebesar itu—bahkan di saat sudah ada embel-embel akan menjadi imamku—kau masih belajar Yanbu’a.
“Mbok ya kalau belajar itu yang serius to, Le. Apa tidak malu dilihat anak-anak yang masih kecil itu? Mereka saja sudah lancar membaca Alquran.”
Celoteh Bapak kentara menyindirmu. Namun memang benar, bukan? Bahkan si kecil Nabila lebih lancar bacaannya dibanding dirimu.
“In-injih, Pak. Sama putri Pak Kiai saja saya serius. Apalagi hanya belajar Yanbu’a.”
Kau dengan ekspresi cengengesan memasang rayuan gombal pada Bapak. Cari perkara kedua kalinya. Maka mendaratlah jeweran di telinga satunya biar tidak saling iri.
“Ampun, Pak Kiai Calon Mertua.”
“Kapok?”
Kau tak berdaya menjawab, hanya mengangguk.
“Kau pernah menjadi imam shalat, Le?”
Beberapa minggu setelahnya, kau telah memimpin shalat kami dengan bacaan fasih. Meski setelah membaca Al-Fatihah hanya terlantun Al-lkhlas.
***
Namun apa? Malam megah yang kunanti, malam di mana sebelumnya telah berhasil kau khatamkan satu Qur’an penuh, sehingga kau dapat menyandingku, malam itu hanya omong kosong.
Aku terperangkap di sebuah ruang yang terasa sunyi, padahal sebelumnya menjadi tempat menunggumu. Semua orang seolah melupakanku. Termasuk kau yang memanggilku dengan sebutan Jingga.
Kau menikah hari itu, pernikahan yang katanya denganku, yang rencananya denganku, ternyata semua dusta. Ternyata kau menikahi gadis lain. Kau berusaha belajar agama bukan agar bisa menyandingku, tapi menyanding dia. Lalu kenapa seolah kau beri aku harapan yang menggunung? Kenapa?
Pelan, pintu kamarku ada yang membuka. Hanya kulirik sejenak. Lantas kembali ke pandanganku semula. Jingga di ufuk sana.
“Ada tamu untukmu, Nduk. Bangunlah. Bangunlah seperti dulu. Ibu sangat merindukanmu.”
Aku mendengarnya, teramat sangat jelas. Namun ketika ingin bangkit lalu memeluknya, aku tak sanggup. Semua tubuhku mati. Aku lumpuh. Hanya mataku yang dapat bergerak.
Ya, aku ingat kejadian sebenarnya. Teramat gembira aku ingin menyambut hari itu, aku berlari riang layak gadis kecil dari lantai atas. Tak sadar, gamis panjang pernikahan kita, tersangkut paku di tangga kayu. Aku jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Kau melangkah masuk, menggendong seorang anak perempuan. Aku jatuh cinta di pandangan pertama padanya. Hai! Apakah itu buah cinta dengan istrimu? Lantas mengapa mirip denganku di kala kecil?

Kesemsem : terpesona
Nduk : panggilan untuk anak perempuan
Injih : iya
Bu’e : panggilan untuk ibu
Yanbu’a : buku tuntunan metode belajar Alquran dasar
Le : panggilan untuk anak laki-laki

Elfi Ratna Sari penulis kelahiran Pati, 8 September 1993. Bukunya yang telah terbit adalah Debur Tasbih Sang Jalang (kumpulan puisi), serta Seribu Kepak Sayap Patahmu (novel).

Manusia Cahaya

Cerpen Jamalul Muttaqin (Media Indonesia, 18 Maret 2018)
Manusia Cahaya ilustrasi Media Indonesia.jpg
Manusia Cahaya ilustrasi Media Indonesia
PADA kulit malam yang pekat. Aku temukan wajahku sendiri menatap diriku sendiri dengan titik cahaya yang berputar-putar. Cahaya itu dari langit seperti bintang yang jatuh berhamburan ke bumi. Ketika mulai mendekat aku menyapa sebuah kelebat cahaya. Terang dan sangat terang sekali.
Ya, dari balik cahaya aku belajar tentang sebuah penciptaan jagat raya. Cahaya mengajariku tentang sebuah arti dan makna kehidupan. Hidup yang dicipta dari sesuatu yang tak pernah ada, hidup yang berada dalam perdebatan seorang filsuf, dan hidup yang diajarkan dalam kitab-kitab agama.
Cahaya memberiku gambaran tentang diriku sendiri karena cahaya memang diriku sendiri. Pada dasarnya Tuhan tak pernah menciptakan kegelapan. Kegelapan tak pernah ada di dunia. Itu sebabnya banyak manusia yang takut akan kegelapan. Di sebuah kegelapan yang sangat mencekap akan ada setan-setan yang berpesta, kata manusia. Sedang setan-setan sebaliknya, akan takut ketika kegelapan telah pergi. Di sebuah cahaya yang terang manusia-manusia akan berpersat, kata setan.
Aku adalah sosok manusia yang bisa melihat dimana setan itu berada. Tidak semua setan dapat melihat manusia dan tak semua manusia bisa melihat setan kecuali hatinya telah bersih dari perbuatan-perbuatan setan. Selagi manusia tidak menyadari keberadaan setan di situlah setan akan masuk dan menggoda sampai Tuhan mengutuknya. Pekerjaan yang paling mulia menurut setan adalah bisa menggoda manusia. Raja setan bangga saat melihat Nabi Adam dilembar ke bumi gara-gara godaan yang paling dahsyat. Seperti ingin mengatakan bahwa, aku tak akan pernah lelah melemparmu ke api neraka jahanam. Begitulah setan-setan hidup.
Sudah berapa tahun aku tinggal sendiri di sebuah gua yang gelap. Manusia mengira diriku berada dalam kegelapan yang tak bisa melihat apa-apa dan hanya setan yang dapat menemani sekaligus melihat. Semua dugaan-dugaan mereka salah. Karena diriku adalah cahaya itu sendiri, maka aku mengusir gelap dan aku menjadi diriku sendiri. Kegelapan hanya karena ketiadaan cahaya. Begitu Tuhan dalam al-Qur’an menjelaskan, dan aku telah menemukan cahaya itu sendiri.
***
Malam ini adalah malam yang ke-41 tahun dan 41 bulan lebih 41 satu hari. Aku berada di ruang yang sangat sempit. Mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia yang tiap waktu selalu berkelahi dengan perdebatan-perdebatan anyir tentang salah dan benar. Aku mengasingkan diri dari dunia yang penuh dengan onak kebencian dan arogansi.
Di luar tempatku ini, pembunuhan merajalela seiring waktu yang berlari seperti kilat cahaya. Sering aku temukan pembunuhan antar manusia karena perbedaan sebuah agama, di lain waktu pembunuhan aku temukan karena perbedaan ideologi, dan pembunuhan aku temukan karena manusia menentang terhadap penguasa yang lalim. Itu sebabnya, aku ingin menjadi cahaya yang tak pernah ditemukan oleh manusia yang kelak mereka tau dengan sendirinya.
Sampai hari ini, manusia selalu bercerita tentang mitos cahaya di langit. Padahal, cahaya di langit adalah meteor yang mengejar setan dari berbagai pintu langit. Setiap detik setan-setan akan mengintip dari kegelapan tentang rahasia Tuhan di loh mahfudz. Sedang meteor akan menghantamnya dari arah manapun saat setan muncul. Aku tertawa melihat banyak setan lari terbirit-birit. Ketika meteor itu membentur tubuhnya setan akan hancur berkeping-keping.
Lalu manusia akan bertanya-tanya, bagaimana setan-setan hidup kembali, bukankah Tuhan telah mengutuknya untuk dikekalkan sampai jagat raya hancur dalam satu tiupan terompet panjang Israfil. Manusia selalu ingin tahu, bagaimana cara setan melahirkan, dan bagaimana setan bertahan hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab dengan sebuah pengalaman. Sama ketika nabi menembus langit ke tujuh dan banyak masyarakat tidak percaya. Karena semua adalah pengalaman. Pengetahuan manusia ada pada pengalaman yang tampak. Maka manusia akan semakin dibodohi oleh setan-setan yang halus.
Ada banyak cara yang aku dapatkan di tempat ini. Karena setan takut mengganggu manusia yang khusuk ketika sampai pada batas-batas baqa’ sehingga bisa melihat segala bentuk kebaikan dan kejelekan. Mulutku selalu terkunci dari perkataan-perkataan menggunjing. Mulutku selalu terbuka dengan menyebut nama Tuhan setiap hembusan nafas yang tak pernah aku hitung jumlahnya. Seandainya manusia mau membunuhku laksana darahku akan melafalkan nama-nama Tuhan yang aku sebut.
Di tempat ini diriku serupa Khidir yang dicari keberadaannya oleh manusia, di antara pertemuan sungai dan laut, di antara sumur-sumur, di antara sumber mata air yang menyembur dari celah-celah batu di gunung. Saat aku temukan salah satu dari mereka terkagum-kagum pada cahayaku saat itu pula aku meminta untuk berkhalwat di sebuah tempat yang jauh dari keramaian manusia.
“Kau akan menghindar dari godaan setan selama kau disini,” ucapku kepada manusia yang berani mendekatku.
“Tuan, aku uzlah.”
“Ya, engkau harus menemukan cahaya Tuhan.”
Pada saat itu, manusia akan sadar bahwa dirinya tak pernah bermusuhan dengan setan-setan. Karena Tuhan menciptakan setan, jin, dan manusia hanya untuk menyembah kepadanya. Ketika mereka menemui Tuhannya sirnalah hatinya, ketika mereka menemui hatinya mereka kehilangan Tuhannya. Akhirnya, mereka sadar bahwa Tuhan tidak bisa dilepas dari materi-materi manusia sedang manusia adalah tempat yang paling sempurnah dimana cahaya Tuhan itu memancar.
***
Kini keberadaanku mulai tersebar ketika salah satu dari manusia yang ber-khalwat meninggalkan tempatku yang paling sunyi. Bahkan, mereka pergi membawa kemarahan dan menyampaikan kabar-kabar yang tidak benar. Mereka akan berkata kepada yang lain tentang manusia sesat yang terkutuk. Kemudian ramailah orang-orang membicarakan tentang keberadaanku.
Di sebuah pasar, di sebuah masjid, di sebuah kampus, dan di jalan-jalan raya. Manusia selalu memperdebatkan tentang manusia yang bercahaya. Anehnya, mereka mengatakan diriku adalah manusia yang mengaku sebagai Tuhan.
“Dia adalah Tuhan itu sendiri,” kata seorang ulama yang pernah menemuiku di sebuah gua.
“Dia seperti Jibril saat menyampaikan risalah kepada Nabi Muhammad di gua Hira’.”
“Itu sangat konyol. Aliran sesat yang perlu diwaspadai.” Aku melihat mereka mulai gundah. Bahkan keberadaanku selalu dijadikan tema-tema diskusi di berbagai kampus. Aku dapat melihat setiap aktivitas manusia yang membicarakan tentang nasibku di tempat ini. Bahkan aku melihat setiap ada setan-setan yang terus menggoda manusia untuk mengejarku.
“Kau bunuh Si Manusia Cahaya yang terkutuk itu.” Setan berbisik kepada salah satu ulama yang paling disegani saat itu. Setan mulai berbisik kepada para pemuda yang masih sibuk berdebat soal materi kuliah di kampus. Setan mendatangi setiap kepala manusia dan meniupkan fitnah-fitnah.
“Mari kita cari Manusia Cahaya itu.” Kemudian aku melihat masyarakat berduyun-duyun berkumpul di sebuah masjid. Dari para tokoh masyarakat, pejabat negara, mahasiswa, dan rakyat jelata, semua berkumpul membuat satu komando. Mereka mulai berjalan mendekatiku ke sebuah gua. Setan-setan berdansa berputar-putar di atas kepala mereka sembari meniupkan gairah permusuhan kepadaku. Akh, mungkin karena setan-setan tak bisa mendekatiku, pikirku dalam hati.
“Keluar kau Manusia Cahaya terkutuk,” teriak mereka. Aku mulai bisa mendengar suara keramaian di bibir gua. Ada tiga orang yang masuk ke dalam gua setelah membawa obor. Namun, mereka terkejut melihat gua dipenuhi cahaya dan tiga orang itu mematikan obornya. Mulai mendekat kepadaku dan menyeretku yang tengah bersilah di atas batu. Tubuhku direngkuh dan diseret ke luar gua. Cahaya itu membuat padangan mereka silau. Salah satu dari mereka mengangkat wajahku sembari berbisik di telingaku. “Katakan bahwa kau manusia yang berdosa,” katanya. “Bagaimana kau menyebarkan sebuah paham-paham hingga banyak manusia tidak percaya kepadaku,” lanjutnya. Aku tidak pernah menghiraukan, mataku terus terpejam.
“Orang ini penyebar fitnah permusuhan di antara kita,” ia mulai berteriak di depan orangorang yang tengah menyaksikanku.
“Kita harus membunuhnya sekarang juga. Kumpulkan kayu bakar.” Mereka pergi ke hutan dan mencari kayu bakar. Sebagian dari mereka ada yang duduk sembari menunggu kayu-kayu itu ditumpuk. Aku dipertontonkan seperti nabi Ibrahim yang dibakar oleh Raja Namrud.
“Tuan, siapa namamu?”
“Aku adalah murid Syuhrawardi.”
Api menyala berkobar-kobar sedang diriku hilang bersama cahaya api yang sampai saat ini aku tetap menjadi metos cahaya. Cahaya itu bernama cinta.

Yogyakarta, 2018
Jamalul Muttaqin lahir di Sumenep Jawa Timur. Menulis esai, puisi, dan cerpen. Tulisan-tulisannya terantologi bersama Penyair Kopi Dunia, The Gayo Institut (TGI), Aceh Culture Centre (ACC). Ia terpilih sebagai 10 kontributor puisi terbaik Gebyar Bulan Bahasa 2016.

Setan Kober dan Sapardan

Cerpen Hendromasto Prasetyo (Jawa Pos, 18 Maret 2018)
Setan Kober dan Sapardan ilustrasi Budiono - Jawa Pos.jpg
Setan Kober dan Sapardan ilustrasi Budiono/Jawa Pos
Sejak Penangsang mati teriris bilahku, aku tak lagi meminum darah. Tak pernah lagi aku memamah nyawa. Pertempuran di Bengawan Sore itu adalah palagan terakhirku. Itulah perang yang menempatkan aku sebagai pembunuh tuanku sendiri. Perang memburu mahkota itu bukan arena terakhirku menjadi saksi pemilikku kehilangan daya. Lebih dari 100 tahun kemudian, aku masih menyaksikan pemilikku kehilangan kebesarannya, lalu mati tertimbun nasib.
TUMENGGUNG Kartanagara masih bingung dengan kedatangan tak biasa junjungannya di pagi itu. Tak ada baju kebesaran, kereta kencana, juga kawalan prajurit layaknya kunjungan seorang raja. Bupati Klaten itu semakin bingung saat mengetahui perjumpaan tersebut harus dirahasiakan dari telinga kompeni. Ia paham benar tabiat para kulit putih. Geger Diponegaran membuat mereka makin tak pernah segan menghukum siapa pun yang dianggap mencurigakan. Kecurigaan itu berlaku bagi siapa saja. Bahkan sang raja ikut jadi korbannya dengan tak boleh meninggalkan istana tanpa sepengetahuan mereka.
Kartanagara yakin bahwa kepergian junjungannya ke Imogiri bukan sekadar ziarah. Ia tahu sang raja hendak mengikuti jejak Karebet usai diusir dari Demak. Menepi dari tengah, menyepi dari keramaian, bermunajat di makam leluhur, menunggu petunjuk Ilahi. Kartanagara sudah bisa menebak kepergian junjungannya berjuluk Bangun Tapa itu pasti dalam rangka mencari petunjuk jalan keluar untuk negara yang makin terbelit kompeni setelah Diponegoro kalah.
“Paduka, izinkan hamba ikut ke Imogiri,” kata Kartanagara.
“Tidak perlu. Berjanjilah untuk merahasiakan kedatanganku di sini dan ke mana pergiku.”
Kartanagara hanya menunduk, lalu menarik napasnya.
“Ampun, Paduka. Hamba mengikuti titah,” ujar Kartanagara.
Sang raja kemudian bergegas meninggalkan rumah Kartanagara. Bersama Atmasupana dan Atmawiraga yang mengiringnya sejak dari keraton, ia berkuda ke selatan menuju Imogiri.
Pertemuan yang mestinya menjadi rahasia itu tak urung terdengar kompeni oleh sebab mulut panjang Kartapiyoga, anak Kartanagara. Bangsawan muda yang dipecat raja dari jabatannya itu melaporkan kepergian diam-diam sang raja ke Imogiri kepada Komandan Loji di Klaten. Sudah tentu komandan itu cekatan mengirim warta kepada Residen Surakarta Macgillavrij.
***
Sapardan adalah nama raja muda itu. Ia raja yang kesekian menjadi tuanku setelah Aryo Penangsang tumbang oleh Sutawijaya. Sejak peristiwa Bengawan Sore dan Sutawijaya menjadi penguasa Mentaok, aku adalah pusaka Mataram. Semua keturunan Sutawijaya yang mejadi raja Mataram menjadi tuanku.
Aku menyaksikan bagaimana Mentaok tumbuh menjadi Mataram, pindah ke Karta, Plered, lalu Kartasura yang hancur oleh terjangan Pasukan Kuning dan Cakraningrat. Setelah Mataram pecah dua, aku menjadi pusaka yang berdiam di Kasunanan Surakarta.
Aku menyaksikan bagaimana anak turun Sutawijaya saling tengkar, berebut kuasa. Kusaksikan juga bagaimana mereka kemudian terjerat siasat busuk para pedagang negeri seberang bernama kompeni. Sedikit demi sedikit mereka makin lemah, berkuasa dengan kekuasaan terbatas, dan kemudian sadar telah masuk perangkap para pendatang. Rasanya sangat gatal untuk segera keluar dari warangka dan mereguk darah kaum seberang itu demi menuntaskan kegelisahan pemilikku. Namun, sampai hari ini aku masih pulas di gedung pusaka.
***
“Apa kau yakin raja pergi ke Imogiri hanya untuk ziarah?” tanya Macgillavrij kepada Letnan Winer, prajurit andalannya di Benteng Surakarta, Vastenburg. Di Solo, benteng itu adalah pertahanan utama para kompeni dalam melindungi kepentingannya di wilayah negara Surakarta.
“Saya tidak yakin. Bukan tidak mungkin ia berusaha bertemu dengan sisa-sisa pengikut Diponegoro yang kita tahu banyak ia beri dukungan saat perang dulu,” kata Winer.
Macgillavrij menaikkan napas dalam-dalam. Matanya tajam di antara dahi yang mengernyit. Jawaban Winer sangat masuk akal. Perang Diponegoro memang baru selesai setelah pangeran pengobar jihad itu masuk perangkap di Magelang tiga bulan yang lalu. Pengikutnya masih banyak, tersebar, dan mereka marah oleh siasat Markus de Kock saat menangkap Diponegoro. Sewaktu-waktu, hanya butuh sulutan kecil untuk membangkitkan kembali gelora perang mereka. Apalagi bila penyulutnya adalah Pakubuwono VI, raja yang banyak membantu Diponegoro. Kompeni pasti kerepotan.
“Di keraton tadi Patih Sasradiningrat menyebut raja tak perlu kembali ke Surakarta. Katanya, bila raja kembali, negara bisa rusak oleh perang. Tampaknya ini sesuai dengan perkiraanmu, Winer,” ujar Macgillavrij.
“Saya kira tugas terpenting sekarang adalah menangkap raja. Apakah ia sedang bertemu untuk menghimpun sisa pendukung Diponegoro atau tidak, nyatanya ia pergi tanpa izin. Itu sudah cukup untuk menghukumnya,” sahut Winer yang mulai tak sabar.
Macgillavrij memaklumi jalan pikiran Winer yang serdadu, segera bergerak lalu selesaikan. Namun, bagi seorang residen seperti dirinya, asal memberi hukuman bisa menjadi masalah. Apalagi yang mendapat hukuman adalah raja. Hukuman apa pun, bila itu dikenakan kepada raja dan ia masih berada di kerajaannya, sudah pasti mengundang risiko buruk.
Bukan tidak mungkin hukuman itu menimbulkan simpati. Selama raja masih dekat dengan para kawulanya, simpati itu bisa menjadi bara penyulut perang. Macgillavrij tak mau mengambil risiko itu, sementara di saat yang sama peristiwa ini adalah kesempatannya menunjukkan taji kekuasaan kepada para pribumi agar bara sisa Perang Diponegoro benar-benar padam.
Ia berpikir keras untuk bisa segera mengambil keputusan. Hingga kemudian ia mulai mendapat siasat. Ikuti pikiran Winer untuk segera menangkap raja, lalu membawanya ke Semarang, menyerahkannya kepada gubernur. Dengan begitu, gubernur di Semarang yang akan mendapat tanggung jawab atas hukuman kepada raja. Kalaupun orang-orang raja menyerbu, prajurit di Semarang jauh lebih kuat dibandingkan pasukan di Solo.
“Biar orang-orang di Semarang yang memutuskan. Mereka pasti akan meminta pertimbangan Batavia. Apa pun hukumannya, aku cukup menyebut bukan aku yang mengambil keputusan,” batin Macgillavrij.
“Baiklah. Cari dan bawa dia ke Klaten. Dari Klaten, biarkan ia istirahat di sana sementara, kau harus segera mengabariku. Aku akan memberi kabar kepada gubernur di Semarang,” perintah Macgillavrij kepada Winer.
***
Suara jerit para wanita di dalam keraton mengusik tenangku di gedung pusaka. Aku mencium ketakutan yang datang bersama embusan cemas. Tangisan Ratu Anom setelah pembesar kompeni memaksa masuk ke kamar Sunan dan mendapati tempat tidur kosong masih belum kering saat gaduh makin menjadi. Para pangeran dan pembesar kerajaan yang panik mengingatkanku pada Kadipaten Jipang sesaat sebelum Penangsang berangkat menuju Bengawan Sore.
Mungkinkah aku kembali turun ke palagan? Keluar dari warangka dan menyatu dengan kehendak menang pemilikku? Menebas ketakutan lalu menusuk nasib lawan? Seperti apa rasa darah manusia kini? Apakah masih sama dengan darah yang dulu pernah melumuri tubuhku? Ah, kerinduan ini membuatku makin gelisah di tengah dingin gedung pusaka.
Hingga kemudian aku melihat perempuan tua anak turun Juru Martani membuka pintu gedung pusaka. Sangat aneh. Bukankah cuma raja sendiri atau abdi peletak sesajen saja yang boleh masuk ke ruangan ini? Untuk apa ibu dari raja yang memilikiku itu kini berada di depanku? Aku mencium aroma kemarahan dan ketakutan yang terbungkus putus asa bersama kenekatan di wajahnya.
***
“Pakubuwono VI sudah kami tangkap di Mancingan, tak jauh dari gua Langse. Bersama dua abdinya, ia berada di gigir laut selatan itu setelah singgah di Imogiri. Ia tidak melawan saat kami bawa,” lapor Winer kepada Macgillavrij.
“Seperti perintah Tuan, raja tidak kami bawa ke Surakarta. Kini ia berada di Klaten. Ia sudah kami beri tahu bahwa tidak akan kembali ke keratonnya dan memilih pasrah. Ajakan perlawanan dari dua abdinya tak ia gubris. Kami menunggu perintah,” lanjutnya dengan tetap berdiri dalam sikap sempurna.
Macgillavrij berdiri dari kursinya. Wajahnya secerah pagi yang baru datang menyapa Solo hari itu. Kabar yang datang bersama Winer membuat harinya makin terang dan hangat.
“Nah, bagus. Utusan gubernur dari Semarang baru saja pergi sebelum kau tiba. Duduklah,” sahut Macgillavrij sembari menunjuk kursi di depan mejanya.
Macgillavrij kembali duduk di kursi jabatannya lalu membeberkan warta dari Semarang yang baru didapatnya kepada Winer. Gubernur di Semarang setuju bahwa tindakan meninggalkan keraton tanpa izin adalah pelanggaran berat yang harus mendapat hukuman. Gubernur juga setuju untuk menjauhkan raja dari kawulanya sebagai bentuk hukuman berat. Ia harus diasingkan. Soal di mana lokasi pengasingan masih akan menunggu perintah Batavia. Selama perintah dari Batavia belum tiba, raja harus berada di Semarang agar tak bisa berhubungan dengan kawulanya di Solo.
“Dari Klaten, Pakubuwono kita bawa langsung ke Semarang. Ia harus diasingkan sejauh mungkin dari kawulanya. Sudah tentu bukan ke Ayah atau Onrust. Itu terlalu dekat,” kata Macgillavrij.
Ayah terletak di mancanegara kulon di antara Purworejo hingga Cilacap. Daerah ini adalah tempat pembuangan bagi para pejabat kerajaan yang dianggap melawan raja dan kompeni.
Patih Mangkupraja I dan Sasradiningrat I adalah dua nama yang pernah mengalami pengasingan di Ayah. Begitu pula dengan Onrust. Pulau penjara untuk para penderita lepra di utara Batavia itu adalah pengasingan bagi para ulama pemicu peristiwa Pakepung di masa Pakubuwono IV.
“Aku yakin raja akan berada di Semarang cukup lama. Batavia pasti akan menghitung biaya pengasingan. Rasanya sulit untuk mengasingkannya ke Ceylon di masa kas kosong akibat ulah Diponegoro seperti sekarang ini,” lanjut Macgillavrij kepada Winer yang duduk di depannya.
“Lalu ke mana ia akan diasingkan?” Winer penasaran.
“Celebes dan pulau-pulau sekitarnya mungkin akan jadi tempat pengasingannya. Seperti yang dialami Diponegoro dan Kyai Mojo. Kita lihat saja,” kata Macgillavrij.
“Tuan, raja sudah jelas tidak melakukan perlawanan. Ia begitu pasrah dengan hukuman. Namun, ia meminta sejumlah pengikut dan keris pusaka bernama Setan Kober untuk ikut meninggalkan Surakarta,” tutur Winer.
“Penuhi saja. Ia boleh mengajak dan membawa setan mana pun asal bukan meriam. Namun, batasilah jumlah dan saring siapa pengikut yang ia pilih untuk ikut meninggalkan keraton. Segera sampaikan permintaan itu kepada keraton dan mari kita atur perjalanannya ke Semarang,” sahut Macgillavrij.
***
Aku sangat kecewa dengan raja yang satu ini. Aku menyaksikannya kehilangan daya tanpa ada darah tertumpah. Ia bukan Penangsang yang beringas. Tuanku kini adalah raja yang tak suka dengan kekerasan. Di tangannya, aku abadi sebagai jimat belaka tanpa pernah memenuhi takdirku sebagai senjata! Aku menjadi serupa rajah yang memang tak pernah mampu menjadi senjata pembunuh mematikan.
Apa yang kurang dari nasib buruknya? Dilucuti mahkotanya, diusir dari istananya, lalu diasingkan ke seberang lautan. Sungguh celaka, nasib yang begitu buruk ternyata tak mampu menyulut keberaniannya mengeluarkan aku dari warangka. Setan macam apa aku ini hingga tak mampu membuatnya sempat menghunusku dalam situasi serunyam itu? Aku Setan Kober! Mengapa tak kau hunus bilahku?
Sejak ibunya mengambilku dari gedung pusaka dan aku berangkat menuju Semarang, aku sudah membayangkan kesegaran darah. Nyatanya? Aku sekarang terdampar di Batu Gajah tanpa pernah menyecap darah. Dan di bumi bernama Ambon ini, aku malah menjadi saksi raja tanpa mahkota itu jatuh cinta dengan perawan sipit anak Babah Ke Hing dari Pecinan. Ah, aku setan yang sial! Siaaal!
***
“Dor!” ***

Catatan:
Sapardan atau Pakubuwono VI atau Sunan Bangun Tapa meninggal dalam pengasingannya di Ambon pada tahun 1849. Belanda melaporkan ia meninggal karena kecelakaan di laut. Pada 1957, pemindahan kerangka Pakubuwono VI ke Imogiri mendapati bekas lubang peluru di tengkoraknya. Letak lubang peluru itu menunjukkan ia bukan mati bunuh diri atau kecelakaan di laut. Diperkirakan, raja yang bertakhta pada 1823-1830 itu terbunuh oleh peluru senapan yang mengarah ke dahinya. Setelah muncul dalam Babad Nitik Sinuhun Bangun Tapa, keris pusaka Setan Kober hingga kini tak diketahui keberadaannya.

Hendromasto Prasetyo. Penulis budaya, tinggal di pinggiran Jakarta.