Daftar Blog Saya

Rabu, 27 September 2017

Perempuan Hujan

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Suara Merdeka, 24 September 2017)
Perempuan Hujan ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Perempuan Hujan ilustrasi Suara Merdeka
Sepasang mata menggigil, memandang keluar menembus kaca jendela yang dipenuhi percikan air hujan. Sepasang mata berharap hujan tak mereda.
Ia lelaki, ia mahasiswa, penyuka puisi, karena katanya puisi adalah lukanya sepi. Selain menyukai puisi, ia juga menyukai hujan. Maka siang ini alangkah senang hatinya, setelah sekian bulan dilanda kemarau, akhirnya hujan turun. Ia begitu rindu, merindukan hujan.
Bukan berarti lelaki itu melankolis. Tidak, justru ia lelaki yang tergolong garang. Di kampus ia terkenal pemberani. Begal pernah dia habisi. Preman apalagi. Dan sekarang ini, lelaki itu sedang berada di warung makan.
Lelaki itu belum menyentuh makanan pesanannya, meski ia tahu perutnya sudah merengek-rengek. Lelaki itu masih memandang keluar. Ia tak bergerak barang sedikit pun. Mungkin si pemilik warung heran, tetapi nyatanya tak berani menegur.
Di luar sana, ada hujan, ada sebuah peristiwa yang membuat dadanya bergetar hebat. Sebelumnya dadanya belum pernah bergetar sehebat ini. Lelaki itu terus dan terus memperhatikan, tanpa peduli pada waktu yang terus berpacu.
Apa sesungguhnya yang dia saksikan? Kau pasti penasaran. Penulis pun demikian.
Lelaki itu keluar, tak percaya apa yang baru saja dia saksikan. Hujan telah membuat sebuah karya, bukan kenangan, bukan pula keromantisan. Hujan telah melahirkan manusia. Lihatlah dengan mata utuh, di seberang warung ada lapangan, di tengah sana ada seorang perempuan. Dia yang baru saja diciptakan oleh hujan.
Perempuan itu mengenakan baju putih, rok putih. Tanpa alas kaki. Sementara lelaki itu berkemeja putih, celananya berwarna hitam. Lelaki itu berlari secara spontan. Pemilik warung tak keluar menyaksikan pembeli yang aneh. Tadi pemilik warung menghilang di balik pintu di dekat menu makanan. Mungkin ia sedang buang hajat di kamar mandi atau menulis puisi.
Lelaki itu kini basah dengan air hujan.
“Hai?” Lelaki itu menyapa. Perempuan itu menoleh penuh kemanisan.
Seperti embun pagi yang tidak pernah ada yang tahu dari mana muasalnya, tiba-tiba saja mereka begitu akrab di tengah-tengah hujan yang begitu deras. Beberapa saat kemudian, lelaki itu mengajak perempuan yang teramat cantik itu menepi, masuk ke warung makan.
“Kita belum berkenalan. Siapa namamu?”
“Namaku Hujan,” jawab perempuan itu.
“Namaku Senja.”
“Senja? Kok Senja? Terdengar picisan.”
“Juga kau. Kok Hujan?”
Namun nama tidak begitu penting. Senja segera memesankan satu piring nasi untuk Hujan. Sementara makanannya telah mendingin. Senja menggigil, udara dingin masuk ke dalam pori-pori. Ia tak berkutik. Hujan terus nerocos. Ia bertanya ini-itu, sesekali menceritakan kenangan, sesekali berkata-kata puitis. Dan Senja hanya menanggapi dengan ya atau kalau tidak oh.
***
Perempuan itu mengusap bibir bagian kanan Senja dengan jempol. Penuh ketulusan. Hujan masih menderas dan entah kapan akan berhenti. Mereka berdua terus dipermainkan perasaan. Senja tampak salah tingkah.
“Ada apa sih?”
“Ada sisa kopi.”
“Oalah, kukira ada rindu.”
Senja tersenyum. Pun Hujan. Mereka sama-sama tersenyum.
“Bolehkah aku berkata-kata?” Senja bertanya dengan mimik serius, menangkap mata cerlang Hujan yang kering oleh air hujan.
“Kenapa tidak?”
“Kau tahu detik kan?”
“Iya. Ada apa dengan detik?”
“Dengarkan baik-baik. Detik adalah jantungku dan kau menit yang terdiri atas detik.”
Hujan tersipu, pipinya memerah jambu. Hujan menarik tangan Senja, menuju ke tengah hujan. Senja tak menyadari, tas kuliahnya menjadi basah. Rambut Hujan berkibar-kibar, meski hujan menghantam kepalanya. Ajaib! Sungguh! Senja benar-benar terpana. Senja memeluk Hujan. Seketika dada Senja sakit luar biasa, sakit yang membuat dia ketagihan.
“Hujan sebentar lagi selesai. Sebentar lagi aku pergi,” kata Hujan dengan suara pelan.
Tiba-tiba saja Senja murung. Ada perasaan menyelinap masuk ke sarung hatinya, semacam perasaan tidak ingin kehilangan. Senja memeluk Hujan makin erat.
“Tapi kau akan kembali kan?”
“Aku ini hujan, lambang kesetiaan. Aku tidak mungkin pergi dan tidak kembali. Sekali lagi, hujan lambang kesetiaan. Kau tidak usah khawatir ya?”
Senja bahagia mendengarkan kata-kata Hujan.
Tak terasa hujan benar-benar lenyap ditelan panas yang datang. Matahari memancarkan sinar. Meski ada sekelumit awan menghalangi, sinarnya cukup membuat silau mata. Senja tak sadar Hujan sudah tak ada di pelukan.
“Hujan? Hujan?” Senja memanggil. Ia begitu panik.
Tidak ada siapa-siapa. Yang ada kendaraan berlalu lalang, yang selalu menyembunyikan klakson saat melintas di dekatnya. Senja terbelalak. Ia ternyata di tengah jalan. Cepat-cepat Senja berlari ke pinggir jalan. Penglihatannya menjangkau segala penjuru. Perempuan yang baru saja dia dekap tak ada.
“Hujan! Hujan!” Senja memanggil-manggil, menyedihkan.
Malam hari ia gelisah. Senja tak juga bisa tidur. Pikirannya melayang keluar jendela, memikirkan Hujan. Kepalanya dipenuhi pertanyaan tentang Hujan. Senja tak tahan juga dengan ketidaktenangannya. Ia beranjak dari ranjang, membuka pintu kamar, mengayunkan kaki menuju pintu depan. Senja duduk di teras rumah, menikmati malam yang menetes begitu deras. Dalam hati ia berdoa, agar malam ini turun hujan. Namun doanya muspra. Hingga pagi menyapa, tak ada sebutir pun air jatuh dari langit.
Senja terjaga. Baru saja tubuhnya digoyang-goyang.
“Mengapa kamu tidur di luar, Nak?” Seorang perempuan berumur lima puluh tahunan berkata penuh kelembutan. Begitu keibuan.
“Hujan! Hujan! Hujan!”
“Hus! Tidak hujan kok.”
“Hujan, di mana, Ma?”
“Sana masuk ke dalam. Mandi.”
Tanpa banyak bicara, Senja masuk. Ia masuk ke kamar, meraih ponsel. Begitu banyak pesan dikirim seseorang bernama Hujaniawati, kekasihnya. Senja membalas, meminta maaf baru bisa balas. Ia menambahkan baru saja bangun.
“Tumben?” begitu kekasihnya membalas.
Senja tak membalas. Ia berlalu begitu saja. Kembali wajah Hujan menghantui dia.
***
“Hujan! Hujan!” Lelaki itu berteriak-teriak, meski ia terbaring di atas kasur putih, di sebuah ruangan serbaputih. Ia masuk rumah sakit tiga hari lalu karena merasakan pusing sangat luar biasa.
“Aku di sini,” seorang perempuan berkata lembut, pipinya dipenuhi air mata.
Mata lelaki itu tak tenang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Hujan! Hujan!” Ia berteriak-teriak lagi.
Perempuan di sampingnya, yang tak lain kekasihnya, menangis, mengkhawatirkan sesuatu.
“Kau kenapa?”
“Hujan! Hujan! Hujan!”
Air mata perempuan itu makin tak terbendung. Lelakinya terus menyebut-nyebut Hujan. Perempuan itu tidak atau belum tahu: lelakinya telah gila. (44)

Bantul, 2017
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus SMA Negeri 2 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta (2017), alumnus kelas cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul (2015), itu bergiat di Komunitas Pecinta Sastra Indonesia (Kompensasi). Dia bermukim di Bantul.

Anak Pantai Utara

Cernak Faris Al Faisal (Suara Merdeka, 24 September 2017)
Anak Pantai Utara ilustrasi Suara Merdeka
Anak Pantai Utara ilustrasi Suara Merdeka
Namaku Lain. Usia sembilan tahun. Kelas III sekolah dasar Waledan. Rumahku di ujung semenanjung Indramayu yang tinggal belasan meter lagi tergulung ombak lautan. Jarak sekolah dengan rumahku berjauhan. Jika berjalan kaki perlu waktu satu jam perjalanan. Jika bersepeda lebih cepat dari berjalan. Jika ditempuh dengan motor, akan mengalahkan keduanya bersamaan.
Kami berasal dari keluarga nelayan miskin yang terbiasa hidup pas-pasan. Ayahku pergi melaut pada waktu dini hari sebelum subuh dan pulang saban petang membawa hasil tangkapan ikan dan dijual di pelelangan. Ibuku buruh cucian juragan-juragan nelayan yang membayar upah dengan asal-asalan. Jika laut sedang ribut di musim hujan, ayah tak melaut dan mengisi waktunya dengan memperbaiki jaring ataupun membuat perangkap ikan.
Sebenarnya di rumah masih ada dua adikku yang sering ditinggalkan bila ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan. Mereka sebenarnya masih ingusan. Lilin berusia lima tahun dan Lais berumur tiga tahun. Keduanya perempuan, lucu, dan menggemaskan. Karena itu, sering kali setiap bel istirahat berdentang dengan lintang pukang saya melarikan sepeda menerabas jalan dan angin untuk pulang menengok mereka yang tiap kali aku datang tengah bermain ayunan di bawah pohon asam di depan halaman.
“Kakak Lain datang.” Dengan wajah riang Lilin dan Lais turun dari ayunan menghambur berebut lenganku.
“Apa kalian sudah makan?” tanyaku memastikan kalau keduanya tidak terlambat makan untuk masa pertumbuhan dan perkembangannya.
“Sudah Kak, beberapa potong singkong rebus dan sedikit gula pasir,” jawab keduanya tanpa ada kesedihan yang perlu ditangiskan.
“Kalau begitu, kalian lanjutkan mainnya. Jangan jauh-jauh dari halaman. Mungkin ibu masih dalam perjalanan,” pesanku.
Setelah masuk ke dalam rumah dan meminum beberapa teguk air gentong dari gayung yang terbuat dari tempurung kelapa yang diberi gagang kayu di tangan, aku pun kembali ke sekolah agar tak ketinggalan saat lonceng masuk dibunyikan. Dari kejauhan Lilin dan Lais melambai-lambaikan tangan. Aku terharu menyaksikan. Dengan terpontal- pontal kupegang stang sepeda onthel bututku kuat-kuat dan kukayuh pedalnya sambil terus menekannya agar terus berjalan. Begitulah karena memang kakiku masih terlalu pendek untuk menjangkaunya, sehingga sadel yang kunaiki goyang ke kiri dan ke kanan untuk mempertahankan keseimbangan laju kecepatan. Aku pun memanfaatkan gaya sentrifugal untuk menghindari gaya gravitasi agar tak jatuh di jalan.
***
Sekolahku adalah sekolah orang miskin. Jumlah muridnya dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Saat kelas satu dan kelas dua jumlahnya puluhan, di kelas tiga dan empat hitungannya menjadi belasan. Tetapi di kelas lima dan enam bilangannya menjadi satuan. Ini tidak lain tidak bukan karena anak-anak nelayan seringnya belum sampai ujian sudah diajak membantu ayah-ayahnya untuk mencari ikan guna menambah tangkapan dan penghasilan. Entah dengan nasibku, mungkin di kelas lima atau enam akan ikutan dengan anak-anak yang lain. Putus sekolah lebih duluan.
Bila musim tangkapan sedang baik, biasanya ditandai dengan turunnya awan sisik di langit di bulan-bulan di mana angin selatan bertiup pelan. Petani padi mengetam hasil panen, orang-orang mulai hajatan, dari khitan sampai pernikahan. Pasar malam sepekan tak putus-putus memanjang di tepian jalan. Ayah dan ibu mengajak anak-anaknya untuk menikmati berbagai hiburan masyarakat pantai utara. Menonton tarian, melihat permainan catur tiga langkah mati dengan hadiah satu baskom telur asin, membeli martabak, kembang gula, dan yang selalu dinanti adalah ketika ayah dan ibu mengajak kami ke penjual baju di ujung tikungan itu.
Betapa gagahnya ayah, menggandeng adik-adikku sementara aku dan ibu berjalan di belakangnya mengikuti dengan hati berdebaran. Di depan gerobak yang berisi tumpukkan pakaian dan berpuluh-puluh lainnya di gantung membuat mataku segera menjelajah bagian pakaian yang sesuai usiaku.
Ibu menyentuh-nyentuhkan jemarinya di kerah bajunya dengan senyum, kedua adikku menunjuk-nunjuk baju rok yang tergantung lebih rendah dari yang lain, sedangkan aku hanya berdiri di bawah gantungan pakaian yang sebenarnya di situlah pilihanku tertahan.
“Silakan Pak. dipilih, dipilih.” Dengan ramah pedagang itu mempersilakan kami.
Namun, tak satu pun terang-terangan mengungkapkannya kepada ayah. Bukan tidak berani, melainkan kami semua tahu bahwa setiap keinginan mestilah dikondisikan dengan keuangan.
“Ini baju daster untuk ibu, beberapa bulan lagi kita kondangan ke paman Semang di Larangan,” ucap Ayah pelan tetapi disambut senang oleh Ibu.
“Lilin dan Lais mau baju rok itu?” tunjuk Ayah kepada kedua anak perempuannya.
“Ya Ayah, mau, mau.”
Lantas pedagang baju itu mengambilkan pakaian yang ditunjukkan ayah dengan hati senang karena beberapa menit yang lalu tak seorang pun yang menyentuh barang dagangannya.
Tinggal aku yang belum mendapatkan bagian baju. Namun, mata Ayah seperti mencari-cari sesuatu di antara tumpukkan baju di atas meja panjang gerobak itu.
“Bukannya Lebaran sebentar lagi?”
Entah kepada siapa Ayah menanyakan itu. Kulihat Ayah tak memedulikan pertanyaannya dijawab atau tidak.
“Dan tahun pelajaran baru beberapa bulan lagi?”
Aku mulai tahu ke mana arah pembicaraan Ayah. Tangannya sudah menjamah bungkusan baju dan celana yang dimasukkan ke dalam plastik yang sama. Hatiku berdesir seperti angin laut membelai pesisir lautan.
“Bungkus pak!”
***
Lebaran membuat hati semua orang senang bukan buatan. Semua saling bermaaf-maafan dan saling mendoakan. Dengan pakaian baru yang masih tergantung mereknya aku memakai baju lebaranku dengan senang. Kau tahu kawan, baju itu adalah yang dibeli ayah di pasar malam dua bulan yang lalu. Baju seragam merah putih yang masih harum bau kainnya.
“Ayah mau kamu sekolah sampai ujian. Lulus dan melanjutkan sekolah sampai menjadi guru, dokter atau presiden.”
Betapa gembira aku mendengar kata-kata lelaki nelayan itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kupeluk tubuh ayahku dengan sepenuh hatiku.
“Lain akan lebih rajin belajar lagi agar keinginan ayah itu terwujudkan.”
Ayah membalas pelukanku dan mengelus-elus rambutku. Lalu dengan tanpa bisa ditahan-tahan air mata bahagiaku menetes. Sejuk sekali menerpa wajahku. (58)