Daftar Blog Saya

Senin, 10 April 2017

Kisah Cinta yang Dungu

Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 24 April 2016)
Kisah Cinta yang Dungu ilustrasi Rendra Purnama
Kisah Cinta yang Dungu ilustrasi Rendra Purnama
Gerimis baru saja reda. Senja tersaput mendung yang murung. Orang-orang bergegas dengan terburu: berlalu lalang dengan wajah panik memasuki ruang tunggu kereta di stasiun Tugu. Aroma perpisahan mengendap di setiap sudut stasiun.
Pun ditambah deru mesin kereta yang siap bergegas pergi: membuat seorang seolah terjebak pada keterbatasan ruang dan jarak untuk saling menyapa. Saling bertemu. Begitu pula dengan aku dan kau. Hari ini kita bagai ikut merayakan perpisahan di stasiun Tugu. Kita saling berpegang tangan: tidak mau telepas dan berpisah dari pertemuan terakhir yang sentimentil ini.
Kau menatapku dengan sepasang mata tajam. Aku termangu untuk mengambil jeda beberapa jenak lamanya. Aku paham: Kau sedang berusaha meyakinkanku kalau semua baik-baik saja. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang lebih banyak menggunakan perasaan daripada pikiran, tetap saja aku memikirkannya: menganggap perpisahan sore ini adalah sebuah kiamat kecil. Karena begitu getirnya, aku pun lebih banyak tertunduk. Aku tidak berani menatap wajahmu: memperhatikan kumismu yang tipis atau sepasang alismu yang selalu kukagumi itu. Aku membenamkan wajah pada sepasang sepatuku…
Dengan pelan—jauh lebih hati-hati dari biasanya—kau pun meraih tanganku. Ada getar yang terasa lembut ketika kau mengepal tanganku. Terasa begitu dingin sepasang tanganmu: beku. Bibirmu sedikit bergetar. Ada kata yang ingin kau ucapkan, tetapi selalu kau tunda. Pun, seolah kata yang kau simpan itu adalah laknat yang tak boleh aku dengar. Namun, kau tetap harus mengucapkannya—walau sepuitis apa pun—agar drama perpisahan sore ini genap.
“Aku harus…” Kata-kata itu serak. Kalimat penghabisan yang gagal kau hunuskan kepadaku. Akan tetapi, aku sudah dapat merasakan perihnya tusukan itu: perpisahan itu. “Kau…”
Bibirku masih tak mau bergerak. Kata seakan punah. Wajahku berpekur meratapi sepasang sepatu. Lamat, aku memandangmu ketika kereta tujuan Jakarta sudah merapat di stasiun. Semua orang mulai bergegas masuk. Berduyun-duyun mereka tenggelam pada gerbong-gerbong tersebut. Tetapi, kau tidak. Kau masih termangu sembari memilih kata perpisahan yang paling manis untuk menyudahi babak drama ini.
“Aku titipkan sepotong hatiku padamu, sayang,” ucapmu lirih dan berat. Kau tidak langsung menusukku dengan kalimat perpisahan. Kau memilih kata yang lain: kata-kata yang lebih bersahabat, tapi tetap bermakna sama: perpisahan.
Sedikit berlinang aku menatapmu: “Maksudmu, sayang?”
Kau terlihat jauh lebih sibuk. Ada sesuatu yang kau cari di dalam tasmu. Sebuah pisau kecil—mungkin pisau buah—kau keluarkan. Aku menatapmu bingung. Dan aku—seperti seorang bocah—hanya pasrah melihatmu melakukan apa saja. Dengan hati-hati kau membelah dadamu. Aku tertegun: tidak percaya.
Kau benar-benar memberikan sepotong hatimu untukku. Hati yang merah dan bercampur darah. Ah, begitu gila cinta ini. Bahkan, dengan lekat aku memperhatikanmu saat mengiris pelan hati itu, kemudian kau memberikannya kepadaku. Sedangkan, hati yang lainnya kau masukkan kembali ke dadamu. “Jagalah hatiku selama aku pergi, sayang.”
Kau tidak hanya berkata-kata: kau sungguh melakukannya. Hati wanita mana yang tidak luluh dengan segala pengorbananmu. Kau rela membongkar dadamu; mengambil sepotong hati yang berlumuran darah; memberikannya kepadaku agar menjaganya. Aku mendekap sepotong hati pemberianmu. Darah segar masih bercucuran dari sela jariku. Air mata mengalir. Sepasang sungai kecil beraliran kesedihan menguara dari hulu tapuk mataku; jatuh pada talepak tanganku yang memerah.
Lirih aku menukas. “Tetapi, apakah kau tidak tersiksa hidup dengan sepotong hati saja, sayang?”
“Tidak! Aku tidak akan tersiksa, sayang,” sergahmu mengecup keningku, pelan menjalar ke bibirku. Kami memanggut. “Dengan memberikan sepotong hati itu aku akan merasa selalu dekat denganmu, sayang.”
Cinta memang dapat membuat seseorang melakukan apa saja di luar batas nalar. Cinta memang sulit didefinisikan. Hingga cara-cara tidak masuk akal, seperti membelah dada dan mengambil segumpal hati yang masih berlumur darah. Semua dapat dilakukan karena cinta. Kereta melengking. Kami tiba-tiba tersadar menjadi pusat tontonan di tengah kesibukan stasiun Tugu yang bergegas. Orang-orang memandang kami haru. Banyak yang menitikkan air mata. Kami berpisah. Kereta membawamu. Pergi…
***
Sepotong hati itu begitu khusyuk aku jaga. Seperti aku menjaga diriku sendiri. Bahkan, aku merasa tidak ada yang paling berharga di dunia ini selain sepotong hati ini. Setiap hari setelah menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, tiada kegiatan yang ingin aku lakukan selain memandangi sepotong hati itu.
Memang, ketika rasa rindu datang melanda, aku hanya cukup melihat sepotong hati di dalam toples kaca. Dan benar! Walau jarak kami terbentang ribuan kilometer, memandang sepotong hati itu; jarak yang begitu jauh terasa begitu dekat. Aku merasa kau ada di sampingku: duduk bersama dan mendekap hangat. Kau ada dalam getar keyakinan yang tidak bermatrial; wujud tanpa eksistensi yang utuh di hadapanku.
“Kira-kira kau sedang apa di sana, sayang?” Aku berbicara pada sepotong hati itu. “Aku ingin kau segera pulang dan menemaniku. Aku ingin memelukmu, sayang.”
Aku memeluk toples kaca berisi sepotong hati pemberianmu. Aku bagai mendengar detak jantungmu yang berdegub: desir napasmu yang cepat ketika kau ingin melumat bibirku. Kau hadir dalam wujud tak bermaterial di hadapanku: mengobati luka rindu karena keterbatasan ruang dan waktu untuk bertemu. Jarak hanyalah sebuah persepsi:
cinta membuat segala yang jauh menjadi dekat. Sepotong hati itu memang mampu menghapus segala keterbatasan.
***
Sepotong hati di dalam kaleng kaca itu selalu aku bawa ke manapun. Aku menentengnya bekerja atau berpergian. Setiap akhir pekan, ketika memiliki waktu luang, aku membawa sepotong hati ke kafe. Aku bercakap apa saja.
“Hari ini langit begitu indah, sayang?” Sepotong hati itu berdenyut-denyut. “Apakah langit di kotamu juga?”
Orang-orang mulai memperhatikan tingkah ganjilku berbicara seorang diri di kafe. Mereka mencurigai benda aneh berwarna merah yang berdenyut-denyut di dalam toples kaca. Akan tetapi, aku tak acuh dengan tanggapan orang-orang. Kupingku buntu dari segala cibir. Aku hanya ingin dekat dengan belahan jiwaku; kekasihku: kamu. Hingga pada suatu hari ada orang bertanya. Mungkin, ia satu dari sekian orang yang penasaran dengan segumpal daging pemberianmu.
“Sebenarnya benda apa yang selalu kau bawa itu?” Ia meneliti dengan mencuri pandang. Keningnya berkerut mengamati benda merah yang berdenyut-denyut di dalam kaleng. Aku tersenyum. Wanita itu memandangku janggal. “Itu sepotong hati, Nona?”
“Betul,” balasku singkat. “Ini sepotong hati milik kekasihku.”
“Sepotong hati milik kekasihmu?” Air muka wanita itu menjadi pucat. Ia setengah tidak percaya. “Bagaimana bisa hal itu terjadi, Nona?”
“Mudah sekali,” tukasku ringan. “Kekasihku cukup membelah dadanya dan memberikan sepotong hatinya kepadaku.”
Wajah itu pias. Ia mengambil jarak. Dua langkah mundur. “Apa ia tidak mati?”
“Tidak!” Aku tenang. “Ia hidup dengan sepotong hati di sana dan sepotong hati yang lain aku rawat. Agar cinta kami terus terjaga.”
“Tidak masuk akal! Bagaimana kekasihmu dapat hidup dengan separuh hati?
Apakah ia bahagia hidup dengan separuh hati? Bukankah kebahagiaan itu malah tidak menjadi lengkap? Dunia sudah benar-benar gila!”
Wanita itu pergi begitu saja. Masih dengan wajah pucat. Ia kukuh tak percaya kalau ada seorang yang bisa membelah dadanya; mengambil segumpal hati; memotongnya menjadi dua; memberikannya kepada kekasihnya. Walau akhirnya di kemudian hari penyataan wanita itu malah menggangguku: Apakah benar kau dapat hidup bahagia dengan separuh hati? Apakah kau tetap mencintaiku dengan sepenuhnya di sana?
***
Angka-angka yang tertera di kalender senantiasa berganti. Rindu menebal di dadaku. Selama satu tahun terakhir kau jarang memberiku kabar. Sangat berbanding terbalik ketika pertama berpisah. Sepotong hati yang kau berikan kini mulai mengering. Detaknya juga mulai melemah. Aku takut. Gumamku: Apakah kau masih mencintaiku dengan sepotong hati di sana?
Melesat pikiran-pikiran buruk di kepalaku. Hari-hari menjadi sulit dan melelahkan. Apalagi ketika aku sulit menghubungimu; mendengarkan suaramu. Kau terasa jauh. Dan, sepotong hati di dalam toples kaca itu terus mengering.
“Apa yang terjadi denganmu di sana, sayang?”
Setiap aku memadangi sepotong hati itu, aku seperti orang gila. Kadang pula aku meneteskan beberapa titik air mata agar kau juga merasakan kegelisahanku.
“Semoga kau baik-baik saja di sana, sayang.”
Sepanjang malam aku mendekap sepotong hati di dalam toples kaca. Aku berharap dapat kembali memeluk tubuhmu. Pun hingga tertidur, aku masih mengalirkan sepasang sungai kembar kesedihan. Hingga tanpa pernah aku sangka, sepotong hati itu membusuk dengan sendirinya.
***
Di sebuah kota besar, orang-orang sibuk menggadai hatinya pada apa pun yang ia suka. Sore itu, setelah seharian sibuk bekerja, kau berdiri di tepi sungai. Kau di sana membuang sepotong hati ke tengah Sungai Ciliwung, kemudian memasang dengan baru; hati yang baru saja kau beli di pusat belanja. “Dengan hati yang baru ini, aku tidak akan merasa sungkan melakukan apa pun,” desismu masuk ke dalam bar. Di sana kau langsung disambut oleh gadis-gadis cantik. Bahkan, satu dari mereka berhasil merayumu dan membawamu ke atas ranjang. (*)


Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Mata Seruni

Cerpen Anggun Prameswari  (Kompas, 30 Juni 2013)
Mata Seruni ilustrasi Ahdiyat Nur Hartarta
MARWAN tak henti melirik jam dinding. Detiknya berirama. Jika didengarkan seksama, terdengar bersahutan dengan degup jantungnya sendiri. Jam sepuluh lewat. Makin jarum panjangnya bergeser, makin morat-marit batinnya. Selarut ini, Seruni belum pulang juga. Ke mana dia? Sudah enam jam sejak ia pamit keluar sebentar, tanpa bilang hendak ke mana.
Tak lagi sanggup Marwan menghitung batang rokok yang ia isap. Peduli apa umurnya memendek karena napas yang tersumpal asap. Gemuruh di batinnya perlu ditenangkan dari bayangan buruk berkelebatan silih berganti menghuni benaknya yang sempit. 
Disibakkannya lagi tirai putih jendela depan yang menguning oleh usia. Jalanan sudah sepi sejak sejam lalu. Cuma ada suara jangkrik dan bisikan nalurinya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan selain duduk dan menyedot dalam-dalam tembakaunya.
Seruni terlahir dengan wajah cantik luar biasa. Kulitnya seputih susu dengan bibir ranum strawberry. Matanya bulat besar, berbulu mata melentik, yang tiap kali mengibas, mengingatkannya pada mata seorang perempuan tak bernama, yang mati-matian Marwan coba lupakan.
Jack, teman premannya yang terlahir bernama asli Zakariya, pernah bilang Seruni kelak tumbuh menjadi gadis yang bisa mematahkan hati banyak lelaki. Marwan tersenyum kecut. Kecantikan Seruni diwarisi dari sang ibu yang memang kembang desa, begitu jawab Marwan. Jack hanya mencibir, menertawakan keberuntungan kawannya. Marwan tahu betul, Jack iri padanya. Semua orang tahu, Jack pernah menyukai ibu Seruni.
Marwan mendadak ingat pertama kali Seruni pulang terlambat. Kala itu ia masih empat belas tahun. Walau masih bau kencur, Seruni adalah kencur yang tumbuh di surga, hingga sanggup mengalihkan pandangan siapa saja. Termasuk yang selalu hidup di tempat tergelap, siap meloncat menerkam siapa saja.
Marwan selalu mengantar Seruni mengaji di surau selepas Ashar. Ia baru berani pergi setelah melihat Seruni duduk di barisan terdepan, persis di depan meja ustadzahnya. Lepas sholat Maghrib, baru ia akan menjemputnya. Selalu begitu.
Namun hari itu, Marwan tak mendapati Seruni duduk menunggu dijemput selepas sholat Maghrib. Ustadzahnya mengira Seruni sakit karena tak mengaji sore tadi. Segala pikiran buruk mendera batin Marwan. Ia menanyai tiap teman Seruni, setengah panik sisanya mengancam. Mereka mengkeret ngeri melihat bapak Seruni siap meledak seperti granat. Ah, semua orang tahu bapak Seruni mantan jawara penguasa terminal pinggir kota. Siapa berani melawannya?
Seruni main sama anak juragan batik ke hutan pinggir kali, celetuk seorang teman anaknya. Marwan pun mengumpulkan teman premannya dulu, membawa parang dan obor, hendak mencari Seruni. Namun, tepat selepas azan Isya, Seruni berjingkat-jingkat di beranda depan. Sekejap Marwan tak bisa mengendalikan diri. Hampir saja ditampar pipi tirus Seruni cilik, kalau tidak ditahan Jack.
Dia masih kecil, bisik Jack di telinganya. Yang salah bocah itu. Kamu tahu betul kan bagaimana liciknya lelaki membujuk perempuan.
Wajah Marwan memerah seketika. Dicengkeramnya bahu kurus Seruni, ”Kamu diapain sama dia? Kalau dia kurang ajar sama kamu, biar bapak potong kemaluannya.”
Wajah Seruni telanjur sembab oleh air mata dan keringat. Ia menggeleng lemah. Lagi-lagi di wajah Seruni, Marwan mendapati sepasang mata yang selalu berusaha ia lupakan.
Lelaki dan perempuan berdua di tempat gelap begitu, yang ketiganya setan, suara Marwan menggelegar, merobek nyali Seruni untuk membela diri. Tahu apa anak gadisnya itu tentang apa yang ada di balik kehidupan tergelap.
Suara Seruni lenyap, persis bulan purnama yang ditelan raksasa saat gerhana. Marwan menyeret Seruni layaknya kain kumal. Ditendangnya pintu kamar mandi. Seruni menjerit saat Marwan melemparnya seperti segumpal kertas, lalu mengunci pintu. Lampu pun dimatikan. Seruni makin histeris tak karuan. Tangan mungilnya menggedor-gedor pintu dan meraung mohon ampun. Dalam bayangannya, ada tangan-tangan keluar dari kegelapan, mencengkeramnya, dan melumatnya lamat-lamat.
”Di mana rumah bocah itu?” tanya Marwan pada istrinya yang sesenggukan di samping pintu kamar mandi. Sayup terdengar suara desing golok membentur sarungnya.
Ngeri merayapi tengkuk Seruni. Ia sungguh tak berani membayangkan. Apa bapak akan menghajarnya? Mencincang kemaluan bocah itu persis seperti rajangan tipis cabe rawit dalam tumisan yang sering dimasak ibu? Tangannya makin kuat menggedor pintu, tapi makin cepat pula tenaganya terkuras. Ia terkulai di ubin kamar mandi yang lembab dan dingin.
Seruni bangun keesokan paginya, di kamarnya sendiri, dengan handuk dingin menempel di dahi yang membara. Wajah ibu lelah, begitu pula dengan raut muka Jack. Seruni sesenggukan dan Jack menepuk kepalanya berulang kali. Marwan hanya melihat dari jauh. Bukannya tak ingin mendekat, tapi langkahnya tertahan. Mata Seruni kini berubah. Nyalang memerah, seakan merekah oleh benci.
Sejak itu, tak ada lagi yang sama. Bocah lelaki itu dan keluarganya pindah tiga hari kemudian. Tak ada lagi yang berani mengajak Seruni main. Tak ada pemuda yang berani menatap Seruni, secantik apa pun ia tumbuh dewasa. Tiap lampu kamar dimatikan atau tiba-tiba listrik padam, Seruni jadi sering menjerit-jerit. Gelap mengingatkannya pada ketidakberdayaan, persis saat ia dikurung bapaknya.
”Kasihan Seruni,” ujar Jack suatu hari, ”dia butuh disayangi bapaknya sendiri.”
”Aku lebih dari sekadar menyayanginya,” Marwan membela diri. ”Aku melindunginya.”
Jam sebelas dan belum ada suara langkah berjingkat di beranda seperti waktu itu. Sayup-sayup terdengar suara petir di kejauhan. Mendung pekat akan pecah menderas. Apa Seruni kabur? Toh kini ia sudah dewasa, sanggup menentukan arah hidupnya sendiri.
Istrinya pernah bertanya, kenapa Marwan begitu keras pada anak mereka.
”Seruni itu cantik luar biasa. Kamu tahu apa yang terjadi pada perempuan yang cantiknya luar biasa,” tanya Marwan. Istrinya menggeleng. ”Mereka akan mengundang lelaki-lelaki yang tak pernah puas.”
Istrinya tersenyum, ”Makanya kamu mengurungnya seperti ini?”
Marwan melotot protes, ”Aku melindunginya. Aku ini lelaki. Aku tahu betul lelaki bisa jauh lebih jahat dari setan.”
Istrinya mengernyitkan dahi, ”Tapi kamu lelaki terbaik yang kukenal. Kamu sama sekali bukan setan. Iya kan?”
Sekali lagi, diembuskannya asap rokok yang mengaburkan ingatan akan istrinya, yang keburu meninggal sebelum ia sempat menjawab pertanyaan itu. Istrinya tak tahu apa-apa. Mereka menikah setelah Marwan menutup erat masa lalunya di jalanan, bersama Jack, serta kehidupan tergelap mereka.
Di luar, hujan terus menderas. Pada kepekatan rinai seperti ini, Marwan dipaksa mengingat noda besar masa lalunya. Persis malam ini, malam itu juga hujan. Derasnya persis liris air mata yang membasahi pipi ranum seorang perempuan cantik tak bernama di sebuah gudang gelap di sudut pasar yang sepi. Bau anyir minuman menyeruak di sana-sini. Tawa dan isak memenuhi langit-langit gudang gelap itu. Marwan mestinya ikut tertawa, tapi ia malah bergidik melihat mata Jack memerah, persis mata setan. Isakan perempuan itu terbaurkan suara hujan. Namun, Marwan tak sanggup mengacuhkan nuraninya yang menjerit-jerit. Dan di pantulan mata perempuan cantik tak bernama itulah, Marwan mendapati dirinya sendiri berubah menjadi setan.
Jack meludahi perempuan itu. Tangan ringkih perempuan itu menggapai apa pun untuk menutupi tubuhnya yang telanjur tercabik. Seumur hidup, ia takkan bisa melupakan bagaimana Jack membekap mulutnya dari belakang dan Marwan mencengkeram kakinya, lalu melemparkannya ke sudut gudang tergelap. Seakan tak pernah puas pada perempuan cantik tak bernama itu, keduanya merobek-robek jiwanya yang setipis selaput dara.
Sepasang mata perempuan tak bernama itu basah oleh air mata; membuat sesak hati Marwan. Malam itu, malam selanjutnya, bertahun-tahun kemudian, sepasang mata itu menjelma menjadi sepasang mata cantik Seruni. Seakan untuk menghukum Marwan, Seruni selalu mengingatkannya pada perempuan cantik tak bernama, yang tak lama setelah malam itu, ditemukan mati gantung diri.
Marwan tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia menerobos menembus rinai hujan. Mungkin Jack bisa menemaninya mencari Seruni. Jack menyayangi Seruni. Saat Seruni sakit demam berdarah beberapa tahun lalu, Jack mendampinginya di rumah sakit. Menggenggam tangannya. Menyuapinya makan. Bahkan dalam igaunya, Seruni menyebut nama Jack. Tebersit rasa cemburu di hatinya. Namun, pria itu tahu, Jack hanyalah kepingan pelengkap kekosongan yang tak bisa Marwan isi di hati Seruni, karena anak gadisnya begitu membencinya. Bagi Seruni, Jacklah ayahnya, bukan Marwan.
Beranda rumah Jack sepi. Bagian dalamnya tampak gelap. Kawannya hidup sendiri, tak pernah mau menikah, bahkan tidak mencari kekasih. Mungkin hatinya telanjur remuk tak tersambung sejak Marwan menikahi gadis idamannya.
Tepat hendak ia mengetuk pintu, Marwan mendengar suara itu. Tawa perempuan, terdengar asing, sekaligus melekat di ingatan. Persis seperti kenangan lampau yang nyaris terhapus. Marwan berjingkat masuk. Rasa ingin tahu meletup-letup minta dipuaskan. Siapa perempuan yang ikut tertawa, sesekali menghela napas berat, diikuti derit kaki ranjang menggores lantai, itu?
Hanya tersisa sinar remang di kamar tidur Jack. Jantung Marwan berlompatan tidak karuan. Jack dan wanita itu saling bercakap di antara tarikan napas yang berat. Lirih sekali, nyaris ditelan sunyi.
”Pulanglah,” ayahmu menunggu.
”Tidak. Aku membencinya.”
Marwan menerjang pintu kuat-kuat. Sepasang mata indah menyambutnya. Matanya persis mata perempuan cantik tak bernama di suatu sudut gudang yang gelap di masa lalunya. Mata yang kini menjelma menjadi sepasang mata Seruni. Hanya bedanya, mata itu tak bersimbah air mata. Lidah api menjilat-jilat seraut sorotnya yang puas, karena kebenciannya akhirnya terbalas.
Marwan melintasi ruangan. Jack sibuk mengalungkan selimut di tubuh Seruni. Tapi gadis itu tetap duduk tegak. Tenang. Persis permukaan kolam, yang entah menyimpan apa di kedalamannya. Tangan Marwan terkepal erat, menahan panas menggelegak di dada.
Ada yang berdansa penuh kemenangan di balik kegelapan yang tak terjangkau bohlam-bohlam terbaik buatan manusia. Mereka terus bersukacita di ruang-ruang gelap tak tersentuh cahaya.
Termasuk hati Marwan yang gelap. (*)

Ribuan Ikan Berenang dalam Mata Itu, Daun-Daun Melayang dalam Mataku


Ribuan Ikan Berenang dalam Mata Itu, Daun-Daun Melayang dalam Mataku ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Ribuan Ikan Berenang dalam Mata Itu, Daun-Daun Melayang dalam Mataku ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
AKU menunggu orang yang tidak akan pernah datang. Bukan karena ia seorang pengkhianat, melainkan kami memang tak pernah berjanji. Aku bahkan tidak tahu siapa orang itu. Ia mungkin seseorang yang ada di tempat sangat jauh, di belahan utara, selatan, atau barat bumi ini. Ia bisa juga lelaki atau perempuan. Namun, bisa pula ia sama sekali tidak ada. Ya, tidak ada. Dan aku hanya sekadar mau menunggu.
Ini bukan pertama kali aku berada di suatu tempat dan menikmati detik-detik waktu berjalan untuk tujuan menunggu seseorang. Kadang detik itu terasa cepat, kadang begitu lambat. Kadang aku merasa menunggu itu menyenangkan, kadang melelahkan—terlebih jika sudah berjam-jam.
Aku pernah menunggu Sisu. Ia teman SMAku. Kami lama sekali tidak bertemu. Sisu menemukan nomor teleponku dan mengajak bertemu. Aku menunggu Sisu selama tiga jam. Waktu itu kurasakan detik-detik berjalan amat lambat. Sisu tidak datang. Nomornya tidak pernah aktif lagi sejak hari kami janjian itu. Tiga bulan setelah itu, ia menelepon sambil berkata bahwa ia sedang berada di dekat jendela apartemen lantai delapan dan hatinya berantakan. Ia tidak pernah menjelaskan kenapa ia tidak datang ketika kami janjian dulu. Aku juga tidak bertanya. Aku tidak mau memojokkan orang yang tengah berantakan—dan lebih-lebih berada di dekat jendela di sebuah gedung tinggi.
Sesudah itu Sisu hilang sama sekali. Aku tidak mencari tahu keberadaannya. Aku juga tidak menemukan berita tentangnya di koran—semua berita bunuh diri dari sebuah gedung tak satu pun mengarah kepada ciri-cirinya. Ia hanya ingin hilang dari hidupku seperti dulu-dulu. Sangat sederhana.
Aku telah terbiasa dengan kehilangan semacam itu. Lagipula setelah lulus SMA aku banyak bertemu teman baru dan Sisu lebih sering menjadi masa lalu. Aku membiarkan Sisu pergi tanpa perlu merasa kalau ia sudah berbuat seenaknya. Nanti kalau Sisu tiba-tiba menelepon lagi dan mengajak bertemu, aku akan tetap berkata, Baik, aku akan menunggu di tempat yang kauinginkan—tanpa perlu mengintrogasinya atau mengungkit-ungkit apa yang telah ia lakukan kepadaku.
Sisu mungkin menyebut sebuah tempat dan jam pertemuan. Aku datang ke sana. Aku menunggu lagi. Sisu tidak datang. Aku kembali hidup seperti biasa sampai ia atau seseorang yang lain menghubungiku dan kami membuat janji bertemu.
Satu kali aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang tujuan hidup seseorang di majalah perempuan dewasa. Artikel itu dibuka dengan pertanyaan: apa yang paling kau inginkan dalam hidup ini? Aku menjawab dalam hati: Menunggu seseorang.
Aku memang paling suka menunggu. Tidak peduli apakah orang itu akan datang atau tidak. Aku selalu datang lebih awal ke kantor dan menunggu teman-temanku datang satu per satu. Mereka tidak pernah tahu aku sengaja melakukannya.
Jika salah seorang dari temanku tidak datang, aku membiarkan diriku menerka-nerka sebentar. Mungkin temanku itu sakit dan ia sudah menelepon kepala karyawan untuk memberitahukan ketidakhadirannya. Aku berharap ia lekas sembuh dan di hari ia masuk lagi aku akan menunggu kedatangannya di pintu kantor. Ia tak perlu tahu kalau aku menunggunya. Selain tidak ingin membuatnya berpikir macam-macam, aku memang lebih suka menunggu tanpa orang lain tahu.
Jenis menunggu seperti itu membuatku seolah sedang bermain-main tanpa perlu melibatkan perasaan orang lain. Tanpa perlu membuat orang terpaksa buru-buru. Tanpa perlu mengharuskan orang datang karena sungkan.
Lalu di sini, aku masih akan menunggu seseorang yang tidak akan pernah datang itu. Aku sengaja berdiri di bawah sebatang pohon yang hampir mati. Daun-daun pohon yang tinggal sedikit itu berwarna oranye tua. Beberapa cabangnya menyisakan ranting-ranting yang kering. Aku bisa bayangkan perjalanan panjang pohon ini menuju kematian. Itu mungkin tidak menyenangkan baginya kalau saja pohon ini punya hak mengeluarkan pendapat.
Nenekku sekarat hampir dua puluh tahun. Saat pertama kali terjatuh, lalu lumpuh, nenekku masih bisa bicara secara jelas dan mengeluarkan pendapatnya. Nenekku bilang ia tak mau mati dengan cara begini. Nenekku ingin sehat kembali. Bisa berjalan ke mana-mana. Lalu mati tiba-tiba tanpa membuatnya menderita.
Putra-putrinya—termasuk bapakku sebagai anak tertua—mengusahakan segala cara untuk menyembuhkannya. Sekian rumah sakit, sekian dokter, sekian terapis, sekian dukun. Nenekku tidak sembuh-sembuh. Ia berada di kursi yang menghadap jendela selama bertahun-tahun dan berteman dengan banyak serangga. Saat nenekku tak bisa bicara lagi—juga sulit mendengar—nenekku sudah tak minta apa-apa. Ia persis pohon ini yang mengalami keruntuhan perlahan-lahan dalam diam.
Kepada Neneklah aku belajar tentang kesabaran dalam menunggu. Sebelumnya, aku sama sekali tidak sabaran dalam hal apa saja. Aku kerap menghentak-hentakkan kaki jika kakakku terlambat pulang sekolah, sebab aku mau mengajaknya menggambar bersama, sebab aku tak punya teman di rumah selain dia. Aku juga suka berteriak-teriak disertai mogok makan bila bapak atau ibuku pulang kantor tidak tepat waktu—padahal kata ibu, di kantor itu ada pekerjaan yang sering datang tak terduga. Aku tidak mau tahu.
Aku masih berumur enam atau tujuh tahun waktu itu dan belum banyak mengerti tentang kehidupan, belum banyak tahu bahwa selain karena pekerjaan, orang terlambat pulang bisa karena alasan macam-macam. Sayangnya, umurku tidak selalu enam atau tujuh tahun.
Tepat pada usia empat belas, nenekku meninggal dunia. Itu tahun duka lara untukku. Aku menangis keras-keras di dekat telinga nenekku, berharap ia mendengar suaraku dan ia hidup kembali untuk satu hari saja dan aku akan menemaninya pamitan kepada teman-teman serangganya di dekat jendela.
Umur lima belas tahun aku makin terbiasa menunggu bapak atau ibuku yang makin sering pulang terlambat dan aku sudah bisa menunggu dengan kesabaran dan telah lama tidak lagi berteriak-teriak dan mogok makan. Di umur-umur selanjutnya, aku tetap menunggu bapak dan ibuku, meski mereka tak lagi pulang. Kata kakakku, bapak hilang di padang rama-rama, ibu tenggelam di lubuk buaya. Itu dongeng yang sering dikisahkan kakakku sebelum kami tidur dan melupakan segala sesuatu.
Di bawah pohon yang hampir mati ini, aku tak lagi mengenal rindu (ke siapa pun itu), sebab kini aku hidup bukan untuk itu melainkan menunggu seseorang yang tak akan datang.
Ia mungkin sedang bersiap-siap berangkat. Ia tentu tidak perlu mengkhawatirkan keterlambatannya sebab ia tahu sekali kalau aku punya banyak waktu untuk tetap berdiri di bawah pohon ini. Ia bersiul-siul kecil atau tersenyum kepada dirinya di cermin. Betapa menyenangkan baginya ditunggu seseorang yang tak menuntut apa-apa.
Ia tentunya bosan kepada pacar yang melulu minta ia datang tepat waktu. Pacar manis yang lama-lama banyak menggerutu. Aku pasti berbeda dari jenis pacar seperti itu. Sekali lagi, ia tersenyum—juga mengedipkan mata ke mata yang lain dalam cermin dan berkata, Aku akan pergi untuk menemui seseorang yang berpikir aku tidak akan pernah datang.
Ia menyusuri pinggir kanal kecil—lebarnya hanya sekitar 10 meter—yang airnya sering kali keruh dan sampah plastik berenang bersama ikan-ikan. Ia tidak tahu bagaimana jalan pikiran manusia yang menganggap sampah-sampah itu pantas hidup di dalam air.
Namun, keajaiban sering menjawab kebingungan seseorang. Saat itu juga ia menyaksikan sendiri sampah-sampah itu melahirkan ribuan anak ikan. Ikan-ikan itu berenang ke hulu (meski ia tidak yakin di mana hulu dan hilir kanal ini, di mana mula dan akhir). Ia mengikuti anak-anak ikan itu dengan keceriaan seorang anak kecil. Ia belum pernah sebahagia ini sepanjang hidupnya.
Papa dan mamanya mengurungnya di rumah, di mobil, di sekolah, di mal-mal, di ge dung-gedung sampai ia lulus SMA. Ia tak boleh punya teman sembarangan karena papanya tidak ingin ia tumbuh menjadi anak yang bebas, anak yang dapat berbuat sesuka hatinya tanpa pengawasan orang tua. Ia tak boleh main kartu gambar, mengejar layang-layang di sawah di belakang perumahan mewah tempat ia tinggal, mencoba bolos sekolah, manjat tembok, karena itu semua bukan sesuatu yang berguna menurut pikiran orang dewasa. Ia juga tidak boleh menangis, sebab itu dianggap cengeng. Ia tak boleh punya cita-cita selain yang diinginkan oleh orang tuanya.
Sesudah lulus SMA itu ia memang berhasil membebaskan dirinya, tapi semua yang ia inginkan di masa kecil sudah tak mampu lagi ia jangkau dan ia tumbuh menjadi manusia menengah kebanyakan yang berjarak dari kehidupan. Maka, kehadiran anak-anak ikan ajaib itu sungguh membuatnya terpesona dan ia mengikuti ke mana pun mereka bergerak dan sesekali melonjak atau bersorak.
Selembar daun paling oranye melayang di atas kepalaku dan jatuh ke dalam kanal dan tepat saat itu aku melihat seseorang yang tidak akan pernah datang itu telah berdiri di seberang dan mata kami saling memerangkap. Saat aku memikirkan cerita ini, mata kami sedang jelajah-menjelajahi sampai ke akar paling dalam. Aku menemukan ribuan ikan berenang dalam mata itu. Ia menemukan daun-daun berwarna oranye tua melayang-layang dalam mataku. (*)


Rumah Kinoli, 2017
YETTI A.KA, tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerpen terbarunya, Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016).

Perempuan yang Memikul Dendam


Perempuan yang Memikul Dendam ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Perempuan yang Memikul Dendam ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Sudah hampir pukul sebelas malam. Tempat ini adalah bagian terburuk dari pusat kota; sampah dan anak-anak gelandangan berserak di trotoar. Di depanku seorang bajingan kroco melangkah mabuk, melewati jembatan, berjalan dengan batang-batang kaki goyah ke arah deretan gedung tua. Aku memperlambat langkahku di belakangnya, sampai ia berbelok ke lorong yang memanjang di antara gedung-gedung, tempat para pelacur berjaga di sudut-sudut remang.
Setelah ia tak ada di depanku, aku kembali mempercepat langkah. Ada gundukan sampah di dekat perempatan dan ada setangkai mawar tercampak di atas gundukan sampah itu. Mungkin seorang perempuan baru saja marah kepada kekasihnya dan mencampakkan bunga pemberiannya di gundukan sampah.
Beberapa langkah dari gundukan itu, di dekat tiang lampu dan sebatang tanaman yang meranggas, dua orang perempuan, masing-masing dengan sepatu kets dan celana jins biru ketat, berdiri saling berhadapan. Mereka seumuranku. Satu orang terlihat kekar dengan potongan rambut di atas tengkuk, yang satu lagi rambutnya lurus sebahu dan disemir agak pirang. Si pirang melihat bunga dan melangkah ke arah gundukan sampah dan memungut bunga yang ada di sana.
“Si cantik yang malang,” katanya. “Aku akan merawatmu.”
Ia mendekap bunga merah itu di dadanya, seperti mendekap bayi yang mendekati ajal. Aku hampir menabraknya saat ia kembali ke tempatnya berdiri semula; bahu kami bersenggolan.
Di perempatan aku mengambil jalan ke kanan dan lima puluh meter kemudian langkahku terhalang oleh dua lelaki mabuk yang sedang bertengkar di depan warung tempat mereka minum. Beberapa orang mengerumuni mereka. Dua-duanya aku kenal, Kisworo dan Slamet, para kroco yang selalu ribut ketika mabuk.
Aku berhenti sebentar di tengah kerumunan, memperhatikan dua pemabuk itu. Pemilik warung minum mengusir mereka jauh-jauh. Dua pemabuk bergeser beberapa langkah dan melanjutkan pertengkaran mereka di depan rumah makan yang sudah tutup. Aku beringsut di tengah orang-orang yang ikut bergeser menonton mereka. Lalu mataku bertatapan dengan mata Kisworo; pada saat yang sama Slamet melepas sabuknya dan menghajar kepala lawan tengkarnya sekeras mungkin. Kisworo limbung dan kemudian tersungkur, kepalanya membentur pintu rumah makan dengan tulisan “Pengamen dilarang masuk.” Itu pemandangan biasa di kalangan para kroco. Aku meninggalkan kerumunan dan masuk ke gang kecil sebelum ujung jalan.
Lelaki itu duduk di ruang tamu ketika aku tiba di rumahnya. Wajahnya keriput dan pucat dan sangat tua. Aku mempercayainya karena ibuku mempercayainya. Ibuku mengatakan bahwa lelaki itu sudah pernah mati dua kali dan selalu hidup lagi sebelum jenazahnya dibawa ke tempat pemakaman. Kurasa karena itu ia sakti. Dua kali ia menyusup ke langit. Pasti ia berhasil mencuri rahasia-rahasia yang tersimpan di sana tentang nasib setiap orang di muka bumi.
Dua kali aku menemani ibuku datang ke rumah lelaki tua ini. “Saya hidup berdua saja dengan anak saya,” kata ibuku pada kedatangannya yang pertama. “Ayahnya seorang bajingan, minggat dari rumah sejak ia bayi dan saya harus mengurusinya sendiri.” Umurku sembilan tahun saat itu. Ibu ingin kiosnya di pasar ramai pembeli.
Sekarang aku datang sendiri menemuinya. Ini yang ketiga. Yang pertama lima tahun lalu ketika umurku dua puluh satu. Waktu itu aku datang kepadanya karena menginginkan hidup yang lebih terang. Ia menemuiku di kamarnya dan mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang lelaki yang terpesona pada tubuhku dan pertemuan itu akan mengubah jalan hidupku. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan sejak itu aku suka memandangi tubuhku saat sendirian. Ibuku sering tak sabar menunggu aku keluar kamar jika kami hendak pergi bersama.
“Kau lama sekali,” kata ibu suatu hari. “Apa saja yang kau lakukan, Nita?”
“Sebentar lagi selesai, Ibu,” jawabku.
“Apa yang kau lakukan?”
“Menyisir rambut, dengan cara yang benar, mengikuti petunjuk cara menyisir yang benar.”
“Sekali-sekali kau mengikuti petunjukku, Nita. Jangan kelamaan di kamar.”
Aku suka memandangi tubuhku di dalam kamar, meneliti diri sendiri di depan cermin tinggi yang kubeli sejak aku suka memandangi tubuh: memandangi sosok di cermin seperti mengamati seorang putri yang perlu diselamatkan dari dunia gelapnya. Kepalaku sibuk menduga-duga lelaki macam apa yang akan terpesona pada tubuhku dan mengubah jalan hidupku.
Sebetulnya sejak payudaraku mulai mengembang, sebelum aku pergi ke rumah lelaki tua itu, pikiranku juga mengembang dan sudah mulai sibuk menduga-duga. Maksudku, setiap ada teman lelaki yang mendekatiku, dan aku menyukainya, aku selalu berpikir apakah ia pasangan yang akan membuat hidupku berbahagia selama-lamanya. Namun kebanyakan dari mereka sangat mengecewakan, dan, jujur saja, tidak cukup layak.
Sampai aku selesai sekolah, tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar bisa membuatku yakin bahwa ia adalah pasangan yang kuinginkan. Karena itulah aku menemui lelaki tua itu untuk menyampaikan keinginanku dan ia meramalku seperti itu dan aku semakin suka berdiri di depan cermin, membedaki muka dan memulaskan gincu di bibir dan menggariskan celak di tepi-tepi mata. Bibirku merah menyala dan aku memandanginya di cermin seperti mengagumi kelopak mawar yang sedang merekah. Beberapa saat aku mengagumi kelopak mawar itu dan kemudian menghapus lagi semua rias dan wajahku kembali polos.
Lalu kuturunkan pandanganku ke dua bukit di dada, berhenti sejenak di sana untuk mengagumi bukit-bukit itu. Turun lagi pelan-pelan, menyapu bayangan telanjang di permukaan cermin sampai ujung kaki. Aku senang melakukannya dan sesekali bergeser dari depan cermin ke ambang jendela, memandangi jalanan dan tanah lapang, dan siang itu aku melakukannya. Lelaki tua itu mengatakan akan ada lelaki yang tertarik pada tubuhku. Ia tidak memberi tahu seperti apa lelaki itu dan kapan orang itu lewat untuk menjumpai keindahan tubuhku. Maka yang kulakukan adalah menaruh tubuh telanjangku di ambang jendela dan menunggu lelaki itu melintas. Hampir setiap hari aku menaruh tubuhku di ambang jendela, menunggu perubahan nasib, menunggu lelaki yang akan membawaku ke dunia terang.
Rumah ibuku terletak di tempat yang paling tinggi di daerah bukit. Jalanan di bawah tampak seperti seutas garis berkelok-kelok. Di ujung jalan itu ada sumur umum dan kami mengambil air dan mandi di sana. Aku menemukan lelaki yang mengubah jalan hidupku di semak-semak dekat sumur umum itu, pada pukul sembilan pagi. Umurku 23 saat itu dan aku sedang hendak mandi dan tak sengaja melihat gerumbul semak-semak bergerak-gerak.
“Kau suka mengintip perempuan mandi?” kataku ke arah semak-semak.
Lelaki itu menampakkan dirinya, membeku beberapa saat di tempatnya berdiri. Aku tidak mengenalnya dan baru pertama kali itu melihatnya. Lalu ia memandangiku, lalu menoleh-nolehkan kepalanya mengamati sekeliling dan kembali memandangiku. Aku membusungkan dadaku, seperti menantangnya.
“Beranimu hanya mengintip perempuan mandi,” kataku lagi. Sekarang ia tersenyum, sedikit kurang ajar.
“Aku juga berani merampok bank,” katanya.
“Jadi, kau sembunyi di balik semak-semak itu untuk merampok bank?” Ia menyeringai.
“Kau pasti tidak percaya,” katanya. “Perempuan selalu tidak percaya.”
“Aku percaya,” kataku. “Setiap hari aku melihat anak-anak kecil bersembunyi di balik semak-semak dan aku percaya mereka sedang merampok bank.”
Ada suara motor di kejauhan. Lelaki itu mendongakkan kepala, melihat langit di belakangku.
“Kau mandilah,” katanya. “Aku akan menunggumu di warung sana itu.” Tangannya menunjuk ke warung di tepi sungai, tempat makan para sopir dan kernet angkutan umum.
“Oh, itu restoran yang bagus,” kataku. “Para perampok bank selalu menunggu perempuan di sana.”
“Mandilah dulu,” katanya. Dan ia berjalan meninggalkanku.
Aku mandi cepat-cepat dan kemudian berjalan agak berlari menuju rumah dan mencoba beberapa pakaian di kamar, agak lama di depan cermin untuk memilih gaun. Rasa-rasanya tidak ada yang tepat. Agak gugup juga saat memulas bibir dan merias wajah dan menghapusnya lagi; aku merasa siang itu tidak ada yang tepat.
Satu jam kemudian aku sudah berdiri di seberang jalan depan warung tempat ia menungguku. Kulihat lelaki itu meneguk tehnya dan berdiri mengulurkan uang kepada pemilik warung dan kemudian menyeberang jalan menemuiku.
“Kita jalan-jalan?” katanya.
“Aku harus kerja,” kataku.
“Astaga! Hebat sekali. Apa pekerjaanmu?”
“Bukan urusanmu.”
Sebuah angkutan umum yang bobrok melambatkan jalannya di depan kami. Kernetnya menyebutkan, “Pasar Ya’ik?” dan lelaki di sebelahku melambaikan isyarat tidak.
Jalanan berkilau pada siang hari, matahari musim kemarau mengubah segalanya menjadi menyilaukan. Kulihat lelaki itu menunjukkan tampang seolah-olah sedang berpikir keras
“Kau sendiri kenapa mendekam di semak-semak?” tanyaku. “Selain untuk merampok bank.”
“Bukan urusanmu,” katanya.
“Urusanku,” kataku. “Aku hendak mandi dan ada tikus got mengendap-endap di semak-semak untuk mengintip aku mandi. Itu urusanku.”
Ia semakin menunjukkan tampang sedang berpikir keras, dan sekarang tampak sangat tersiksa.
“Sebetulnya aku mengikuti anjuran temanku,” katanya, “tetapi ia berpesan agar aku tutup mulut.”
Di kejauhan aku melihat sebuah angkutan umum bergerak ke arah kami; kulambaikan tanganku ketika ia sudah dekat untuk menghentikannya. Mobil itu sudah hendak menepi di depan kami, tetapi lelaki di sebelahku membuat isyarat tangan agar ia terus saja berjalan.
“Kenapa kau menjengkelkan?” kataku. “Aku harus berangkat kerja.”
“Kupikir kau ingin mendengar rahasia kenapa aku ada di semak-semak,” katanya.
“Tidak perlu lagi.”
“Sayang sekali, padahal aku sudah berpikir untuk menyampaikan rahasia itu.”
“Ya, sudah cepat katakan.”
“Sabarlah. Kenapa perempuan selalu tidak sabar?”
“Sebab lelaki maupun tikus got sama-sama menjengkelkan.”
Ia mengangguk-angguk.
“Sekarang aku berubah pikiran lagi,” katanya. “Kelihatannya kau tidak akan cocok menjadi sekretaris pribadiku.”
“Lagipula aku tidak melamar pekerjaan kepadamu,” kataku.
“Ya, aku tahu, sebab kau memiliki pekerjaan hebat. Kau pasti seorang bintang film. Tidak akan cocok menjadi perawat kesehatan.”
Seorang berandal kecil menggeber motornya di depan kami; motor itu tidak berlari kencang, tetapi suara knalpotnya membuatku ingin membenamkan pengendaranya ke sumur umum. Lalu sebuah angkutan umum berhenti di depan kami. Lelaki itu naik.
“Kau mau ke mana?” tanyaku.
“Naiklah,” katanya. “Kuantar kau ke tempat syuting.”
Kami turun di depan restoran di Jalan Siliwangi. Ia mempersilakan aku masuk. “Ini restoran kesukaan para bintang film,” katanya.
Ini kali pertama aku masuk restoran. Ia memilih meja di sudut ruangan dekat jendela. Seorang pelayan mendatangi meja kami. “Berikan makanan terbaik kalian untuk nona ini. Dia seorang bintang film,” katanya.
Pelayan itu menyebutkan beberapa menu makanan.
“Apa saja, pokoknya kau pilihkan yang paling enak untuk nona ini,” katanya lagi. “Apa perlu kuulangi lagi bahwa nona ini seorang bintang film?”
“Jadi, apa pekerjaanmu?” tanyaku setelah pelayan itu meninggalkan meja kami.
“Mengintip perempuan mandi,” katanya.
“Berarti kau memang perlu sekretaris pribadi.”
“Ya, dan ia harus pandai merawat kesehatan, karena kadang-kadang aku mendapatkan luka. Kau mau melihat luka-luka di tubuhku?”
Tangannya sudah bergerak hendak membuka kancing baju.
“Tidak usah,” kataku. “Tidak ada pentingnya. Jadi, apa pekerjaanmu, kau belum menjawab yang sebenarnya.”
“Merampok,” katanya. “Kau pikir aku ini buruh pabrik benang?”
Ia benar-benar menjengkelkan, tetapi aku merasa ia teman bicara yang menyenangkan. Kami menikmati makanan yang disajikan oleh pelayan. Aku berlagak sudah terbiasa dengan makanan-makanan lezat. Ia memanggil pelayan setelah kami selesai makan.
“Mana majikanmu?” katanya.
“Sedang di dalam, Pak,” kata si pelayan.
“Panggilkan dia. Sudah lama aku tidak bicara dengan dia.”
Si pelayan masuk dan beberapa waktu kemudian keluar lagi bersama seorang lelaki Tionghoa. Lelaki teman makanku bangkit dari kursinya menemui si majikan Tionghoa. Mereka bicara berdua dan kulihat si majikan mengangguk-angguk sopan, sikapnya takzim sekali. Kami keluar dari restoran itu dan berjalan melewati jajaran toko-toko di sepanjang trotoar.
“Kau selalu bisa makan enak dengan cara seperti itu?” tanyaku.
“Ia teman baik, semua pemilik restoran di kota ini teman baik,” katanya.
“Aku tahu. Tampak sekali ia bahagia bertemu denganmu.”
“Aku bilang ia kelihatannya orang baik, punya keluarga yang baik, dan mereka tentu lebih senang jika ia panjang umur dan tetap memiliki kepala.”
“Kau bilang begitu kepadanya?”
Ia melangkah ke depanku dan membalikkan badan dan sekarang kami berhadap-hadapan. Matanya menatap mataku dan tangannya meraih kalung di leherku, menariknya dan membuangnya ke saluran air di samping trotoar.
“Seorang bintang film tidak pantas memakai kalung imitasi,” katanya. Lalu ia menggandeng tanganku ke toko emas, menyuruhku menunggu di depan toko dan tak lama setelah itu ia keluar dan memasangkan di leherku kalung berbandul hati, menyematkan di jari manisku cincin bermata intan, dan memintaku menyematkan cincin di jari manisnya. Siang itu kami bertunangan di trotoar.
“Apa lagi yang kau lakukan?”
“Menjadi Zorro,” katanya. Ditunjukkannya kepadaku topengnya.
Selain kalung di leherku dan dua cincin di jari manis kami, ada satu kalung dan satu cincin lagi dan dua gelang. Ia mengatakan untuk ibuku, tetapi sejak hari itu aku selalu bersamanya dan tidak pulang ke rumah. Kalung dan gelang dan cincin yang tidak kupakai kuberikan seminggu kemudian kepada lelaki tua yang meramal nasibku. Aku datang menemuinya bersama kekasihku.
“Dia yang datang kepadaku dan mengubah jalan hidupku,” kataku, memperkenalkan kekasihku kepada si tua.
Dua tahun aku menikmati kehidupan yang menyenangkan bersama Zorro yang kutemukan di gerumbul semak-semak. Kami merampok dan sembunyi dari kejaran dan pada akhir Februari mereka menyudahi kebahagiaan kami. Ia mati di pangkuanku dengan tubuh biru.
Mereka memikatnya dengan perempuan, lalu kami bertengkar, dan ia pergi dariku. Seminggu kemudian ia datang lagi kepadaku dengan tubuh membiru. Perempuan itu meracunnya dan aku tahu siapa yang berada di belakangnya.
Aku sudah bersiap mengamuk ketika ia datang malam itu setelah seminggu meninggalkanku, tetapi ia berjalan gontai dan wajahnya tampak menahan sakit.
“Aku datang untuk minta maaf kepadamu,” katanya. “Kau malaikatku.”
Ia terengah-engah. Kuseka wajahnya yang biru dan kupapah ia ke kursi. Ia duduk, menyeringai menahan nyeri, mengeluarkan dari saku dalam jaketnya sebotol minuman, dan mengumpulkan sisa tenaga untuk menenggak minuman di dalam botol tersebut. Sekujur tubuhnya gemetar saat ia menghabiskan isi botol. Ditaruhnya botol itu di meja. Matanya menatapku dan seluruh kesakitannya seperti berpindah kepadaku melalui sorot matanya. Tangannya yang biru menyentuh pipiku.
“Segalanya memburuk, tapi aku baik-baik saja,” kataku.
Ia menangis.
“Maafkan aku telah merusak hubungan kita,” katanya.
Aku menggeleng, tak mampu mengucapkan apa pun lagi saat ini. Lalu kuusapkan tanganku membelai kepalanya, mencium dahinya, mengusap seluruh tubuhnya. Ia gemetar.
“Aku selalu mencintaimu,” katanya.
Aku mengangguk. Dan ia mati malam itu di pangkuanku.
Sekarang aku menemui lagi lelaki tua itu, sendirian. Ia menyalakan rokoknya, mengisapnya kuat-kuat, dan menghembuskan asapnya dengan wibawa yang membuatku yakin bahwa aku bisa membalas dendam atas kematian kekasihku.
“Buatlah para bajingan itu jatuh cinta kepadaku, buat mereka merengek untuk menikmati tubuhku, dan pasangkan ular di sini,” kataku. Aku menunjuk liangku. “Mereka harus mati saat menikmati tubuhku.”
“Kau hendak melawan orang yang berkuasa?” katanya.
“Aku tak peduli,” kataku.
Ia menggeleng.
“Aku tidak bisa,” katanya.
“Dulu ada perempuan yang begitu,” kataku lagi.
Ia memandangiku dengan mata cekungnya. Aku yakin ia bisa. Aku percaya kepadanya karena ibuku mempercayainya. Ia sudah dua kali mati dan kembali lagi ke bumi dengan membawa rahasia-rahasia langit. ***

A.S. Laksana, lahir di Semarang, 25 Desember 1968. Dia sastrawan, kritikus sastra, dan wartawan. A.S. Laksana belajar bahasa Indonesia di IKIP Semarang dan ilmu komunikasi di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pernah menjadi wartawan Jawa Pos, Detik, Detak, dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta Writing School. Kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 versi Majalah Tempo. Karya lainnya, Cinta Silver, novel adaptasi dari film Cinta Silver (Gagas Gasmedia, 2005).