
Kertas
Anak itu menunggu. Menunggu menjadi remaja. Dan
remaja itu pun menunggu. Menunggu anak itu menjadi
dewasa. Setelah dewasa, dia (anak yang pernah remaja itu)
menikah dan punya anak. Setelah punya anak, tiba-tiba
ketuaan nongol di pintu. Ketuaan yang sederhana. Ketuaan
yang menenteng koper. Dan menukas: “Hai, telah lama aku
menunggumu untuk berangkat” Berangkat ke mana?
Tujuan tak terduga. Hanya peluit sepur yang memekik
di kejauhan. Sepur yang dulu selalu dipandangnya dengan
gemas. Dan yang dibayangkannya sebagai naga besi yang
tak pernah lelah. Setelah perbekalan disiapkan, berangkatlah
dia dengan ketuaan. Dan siapa pun yang pernah disebutnya
sebagai ingatan, berdikit-dikit menjadi mendung. Terus turun
dalam rupa gerimis. Gerimis menjadi hujan. Dan hujan pun
melunturkan apa-apa yang telah ditulisnya di kertas. Sebelum
menghilang ditelan belokan, dia dengan ketuaan sempat
melantunkan bait begini: “Kami tak tahu, apakah nanti akan
sampai di tujuan atau tidak. Rubuh di tengah jalan atau tidak.”
Tiang-tiang makin mendekat. Tiang-tiang makin merapat.
(Gresik, 2017)
Jeda
Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Ke si perawi yang
menyimpan kisah. Kisah tentang si murid yang tak pernah diajar apa
pun. Kecuali menyapu, memasak, dan menjaga anak-anak.
Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Ke si perawi yang
mempertajam kisah tentang si murid yang tak pernah diajar apa pun
menjadi kisah tentang si pendiam. Yang tersembunyi.
Dan yang kelak menyerahkan kedua kakinya sebagai tambahan kayu
bakar pada sebuah kenduri. Kenduri dari sebuah kampung yang baru
saja lolos dari pagebluk. Pagebluk yang gelap dan tebal.
Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Ke si perawi yang
tak semua orang tahu di mana rumahnya. Dan juga tak semua orang
tahu, apakah si perawi itu cuma dongeng atau kenyataan.
Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Terus merayap. Lalu
sampailah ke tempat si awas yang pernah menunjuk selembar daun
agar selalu menghijau dan mengkilat. Daun yang berkhasiat.
Dan di depan si awas yang pernah menunjuk itu, ular kuning
bertanya: “Di manakah rumah si perawi?” Oleh si awas dijawab:
“Temukan dulu sarang angin, hai, yang telah menakikkan kelok.”
Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Kini merasa hilang akal.
Sebab, siapakah yang tahu letak sarang angin? Dan siapa pula yang
tahu cara untuk menemukannya? Segalanya jadi berpusaran.
Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Dan ingin terus saja
merayap. Sampai di sebuah gua, pun menggelungkan tubuhnya.
Terus mengundang sepi. Juga setiap detak yang memelan-melan.
Suatu ketika, ada si pemahat yang mengelusi mata ular kuning. Kata
si pemahat: “Memang, mata ini terpejam tapi terjaga. Seperti hasrat
yang tak tuntas. Hasrat yang tak pernah sampai pada watas.”
(Gresik, 2017)
Ketika Memasuki
Ketika memasuki sorga, dia mengimpikan sebentang
kebun subur. Dengan beragam benih unggul. Yang akan
tumbuh menjadi pepohon rimbun. Dengan bebuah yang
lebat. Bebuah merah, kuning, dan manis. Bebuah yang
ketika akan dipetik, cukup dilambai, akan merendah.
Serendah hati kekasih yang rela menyerahkan hidupnya
pada yang dikasihinya. Dan ketika panen tiba, dia pun
mengisi keranjangnya dengan bebuah. Anehnya, meski
berkali-kali diisi, keranjangnya tak pernah penuh.
Bebuah tak pernah habis. Sampai siang beranjak. Malam
bergulir. Dan memang, waktu siang dan malam di sorga
demikian sejuk, tenang, dan membuat kerja tak kehabisan
tenaga. Lalu, tepat di seminggu ke depan, dia yang masih
mengisi keranjangnya dengan bebuah, dijenguk oleh
si malaikat penjaga sorga. Kata si malaikat: “Nafsumu itu
tak akan habis. Berhentilah.” Tapi sambil mengisi terus
keranjangnya, dia menjawab: “Ketahuilah, aku sudah
tak lagi punya nafsu. Sedangkan, panen ini adalah
mimpiku, bagaimana bisa aku hentikan?”
(Gresik, 2017)
Surat Anjing Hitam
: belajar dari syaikhona
Anjing Hitam, Anjing Hitam, di mana
dirimu di kota suci ini. Datanglah padaku. Aku membawa surat. Surat
untukmu. Surat dari guruku. Guruku yang ada di pulau garam. Pulau yang
telah mengajar ayam jago, macan, dan si tukang gambar yang teberkahi.
Pulau yang ketika sore tiba terlihat berbinar. Binar yang menudung.
Menudungi sepotong jari telunjuk. Yang menunjuk, bahwa arah tak boleh
mencong. Sebab itu adalah doa. Sebab itu adalah harapan. Harapan yang
diturunkan lewat bisik: “Jika telah selesai, bukalah pintu yang
berikutnya. Dan segudang hal yang terhafal, mesti disimpan di kedalaman
sungai.”
Anjing Hitam, Anjing Hitam, di mana
dirimu. Di lalu-lalang para pencari, perintih, dan penengadah yang tak
habis-habis di kota suci ini, adakah kau terselip? Adakah kau tersesat?
Ayo, datang, datanglah padaku. Terima suratmu. Sebab aku akan kembali
pulang. Pulang ke rumah. Pulang ke setiap yang pernah melambaikan
tangannya. Seperti lambaian lembut menara-menara di kota suci ini. Kota
suci yang putih dan yang diputihkan. Kota suci yang diam-diam kerap kau
kunjungi. Dalam rupa seekor anjing hitam. Rupa yang mencolok. Tapi
pernah mendampingi si pendebar. Ketika jarak sekian abad dilipat cuma
sekedipan.
(Gresik, 2017)
Kalatea
: seperti rahwana
Bolehkah aku meminta mati. Sebab, di
sini, sudah tak ada lagi yang aku inginkan. Udara hambar. Dan matahari
pelan-pelan menjauh. Tapi, kalian jangan terkejut. Dulu bagian ini sudah
dikabarkan. Ketika sifat daun-daun kalatea melingkupi hidupku.
Daun-daun yang biasa tergulung. Biasa juga terhampar. Seperti sifat
sepuluh kepalaku. Sepuluh kepalaku yang semengkilat mata lembing di pagi
hari.
Sepuluh kepalaku yang satu per satu
pernah aku penggal. Dan aku persembahkan pada si waktu. Si waktu yang
membuatku tak bisa mati. Dan si waktu yang diam-diam terus memainkan
guliran dadu di mangkok. Agar tetap bernilai kosong. Kosong yang
bergambar dua lengkung yang ketemu. Sampai tak diketahui: ”Mana
ujungnya, mana pangkalnya.” Siapakah yang menduga jika hasil akhir
seperti ini?
Sekali lagi, bolehkah aku meminta mati.
Kirimkan dengan segera. Jangan biarkan si kera putih itu terus-terusan
menguntit pikiranku. Menghadang segenap mantra yang aku sandang. Si kera
putih yang, meski tak mampu mematikanku, mudah membuat aku pikun pada
setiap yang tertemui: “Balairung, jalan, siasat, panji, sampai pada
sebaris kemajemukan cinta, rindu, dan kenangan.”
Sebaris kemajemukan yang akan semakin
majemuk, ketika pinggiran daun-daun kalatea yang setajam belati itu,
mengupasi kehampaanku yang mencengkeram sudah.
(Gresik, 2017)
Mawar Beludru
: seperti aswatamaKakiku ganjil. Seganjil kaki si penyerimpung. Si penyerimpung yang diburu wangsa yang geram. Si penyerimpung yang telah memuntahkan sisa ilmunya. Dan melibas para yang tidur di tenda ke pusaran amarah dan dendam. Tapi, meski ganjil, kakiku seindah kelopak mawar beludru. Mawar yang mengingatkan pada cangkang kura-kura. Cangkang yang menyimpani ruang dan waktu yang retak. Dua hal yang tak teringinkan berkibar di menara. Berkibar dengan warna merah, kuning, dan hijau.
Oh, ke langit yang tinggi aku menengadah. Mencari rahasia kepak burung. Agar dapat aku temukan, arah mana yang dapat menuntunku. Terus menelusup ke dalam senyap. Senyap yang, ketika nanti dibuka, akan membuat siapa saja tahu: hidup di geraham bara, bukanlah hidup yang lembut. Sebaliknya, tajam dan menggosongkan kulit. Apalagi, si penitah yang tak pernah berdusta itu, berkata begini: “Kemarin, telah mati seekor gajah. Yang namanya mirip dengan nama si penyerimpung.”
Kakiku ganjil. Diburu wangsa yang geram.
(Gresik, 2017)
Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya antara lain Buwun (2010) dan Teras Mardi (2015).