Daftar Blog Saya

Senin, 18 Desember 2017

Kertas, Jeda, Kalatea, dan Lainnya

Puisi-puisi Mardi Luhung (Kompas, 16 Desember 2017)
Kertas, Jeda, Kalatea, dan Lainnya ilustrasi Gitra Kiranawati P - Kompas.jpg
Kertas, Jeda, Kalatea, dan Lainnya ilustrasi Gitra Kiranawati P/Kompas

Kertas


Anak itu menunggu. Menunggu menjadi remaja. Dan
remaja itu pun menunggu. Menunggu anak itu menjadi
dewasa. Setelah dewasa, dia (anak yang pernah remaja itu)

menikah dan punya anak. Setelah punya anak, tiba-tiba
ketuaan nongol di pintu. Ketuaan yang sederhana. Ketuaan
yang menenteng koper. Dan menukas: “Hai, telah lama aku

menunggumu untuk berangkat” Berangkat ke mana?
Tujuan tak terduga. Hanya peluit sepur yang memekik
di kejauhan. Sepur yang dulu selalu dipandangnya dengan

gemas. Dan yang dibayangkannya sebagai naga besi yang
tak pernah lelah. Setelah perbekalan disiapkan, berangkatlah
dia dengan ketuaan. Dan siapa pun yang pernah disebutnya

sebagai ingatan, berdikit-dikit menjadi mendung. Terus turun
dalam rupa gerimis. Gerimis menjadi hujan. Dan hujan pun
melunturkan apa-apa yang telah ditulisnya di kertas. Sebelum

menghilang ditelan belokan, dia dengan ketuaan sempat
melantunkan bait begini: “Kami tak tahu, apakah nanti akan
sampai di tujuan atau tidak. Rubuh di tengah jalan atau tidak.”

Tiang-tiang makin mendekat. Tiang-tiang makin merapat.

(Gresik, 2017)

Jeda


Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Ke si perawi yang
menyimpan kisah. Kisah tentang si murid yang tak pernah diajar apa
pun. Kecuali menyapu, memasak, dan menjaga anak-anak.

Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Ke si perawi yang
mempertajam kisah tentang si murid yang tak pernah diajar apa pun
menjadi kisah tentang si pendiam. Yang tersembunyi.

Dan yang kelak menyerahkan kedua kakinya sebagai tambahan kayu
bakar pada sebuah kenduri. Kenduri dari sebuah kampung yang baru
saja lolos dari pagebluk. Pagebluk yang gelap dan tebal.

Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Ke si perawi yang
tak semua orang tahu di mana rumahnya. Dan juga tak semua orang
tahu, apakah si perawi itu cuma dongeng atau kenyataan.

Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Terus merayap. Lalu
sampailah ke tempat si awas yang pernah menunjuk selembar daun
agar selalu menghijau dan mengkilat. Daun yang berkhasiat.

Dan di depan si awas yang pernah menunjuk itu, ular kuning
bertanya: “Di manakah rumah si perawi?” Oleh si awas dijawab:
“Temukan dulu sarang angin, hai, yang telah menakikkan kelok.”

Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Kini merasa hilang akal.
Sebab, siapakah yang tahu letak sarang angin? Dan siapa pula yang
tahu cara untuk menemukannya? Segalanya jadi berpusaran.

Ular kuning dari gunung merayap ke bawah. Dan ingin terus saja
merayap. Sampai di sebuah gua, pun menggelungkan tubuhnya.
Terus mengundang sepi. Juga setiap detak yang memelan-melan.

Suatu ketika, ada si pemahat yang mengelusi mata ular kuning. Kata
si pemahat: “Memang, mata ini terpejam tapi terjaga. Seperti hasrat
yang tak tuntas. Hasrat yang tak pernah sampai pada watas.”

(Gresik, 2017)

Ketika Memasuki

Ketika memasuki sorga, dia mengimpikan sebentang
kebun subur. Dengan beragam benih unggul. Yang akan
tumbuh menjadi pepohon rimbun. Dengan bebuah yang
lebat. Bebuah merah, kuning, dan manis. Bebuah yang
ketika akan dipetik, cukup dilambai, akan merendah.
Serendah hati kekasih yang rela menyerahkan hidupnya
pada yang dikasihinya. Dan ketika panen tiba, dia pun
mengisi keranjangnya dengan bebuah. Anehnya, meski
berkali-kali diisi, keranjangnya tak pernah penuh.
Bebuah tak pernah habis. Sampai siang beranjak. Malam
bergulir. Dan memang, waktu siang dan malam di sorga
demikian sejuk, tenang, dan membuat kerja tak kehabisan
tenaga. Lalu, tepat di seminggu ke depan, dia yang masih
mengisi keranjangnya dengan bebuah, dijenguk oleh
si malaikat penjaga sorga. Kata si malaikat: “Nafsumu itu
tak akan habis. Berhentilah.” Tapi sambil mengisi terus
keranjangnya, dia menjawab: “Ketahuilah, aku sudah
tak lagi punya nafsu. Sedangkan, panen ini adalah
mimpiku, bagaimana bisa aku hentikan?”
(Gresik, 2017)

Surat Anjing Hitam

: belajar dari syaikhona

Anjing Hitam, Anjing Hitam, di mana dirimu di kota suci ini. Datanglah padaku. Aku membawa surat. Surat untukmu. Surat dari guruku. Guruku yang ada di pulau garam. Pulau yang telah mengajar ayam jago, macan, dan si tukang gambar yang teberkahi. Pulau yang ketika sore tiba terlihat berbinar. Binar yang menudung. Menudungi sepotong jari telunjuk. Yang menunjuk, bahwa arah tak boleh mencong. Sebab itu adalah doa. Sebab itu adalah harapan. Harapan yang diturunkan lewat bisik: “Jika telah selesai, bukalah pintu yang berikutnya. Dan segudang hal yang terhafal, mesti disimpan di kedalaman sungai.”
Anjing Hitam, Anjing Hitam, di mana dirimu. Di lalu-lalang para pencari, perintih, dan penengadah yang tak habis-habis di kota suci ini, adakah kau terselip? Adakah kau tersesat? Ayo, datang, datanglah padaku. Terima suratmu. Sebab aku akan kembali pulang. Pulang ke rumah. Pulang ke setiap yang pernah melambaikan tangannya. Seperti lambaian lembut menara-menara di kota suci ini. Kota suci yang putih dan yang diputihkan. Kota suci yang diam-diam kerap kau kunjungi. Dalam rupa seekor anjing hitam. Rupa yang mencolok. Tapi pernah mendampingi si pendebar. Ketika jarak sekian abad dilipat cuma sekedipan.

(Gresik, 2017)

Kalatea

: seperti rahwana

Bolehkah aku meminta mati. Sebab, di sini, sudah tak ada lagi yang aku inginkan. Udara hambar. Dan matahari pelan-pelan menjauh. Tapi, kalian jangan terkejut. Dulu bagian ini sudah dikabarkan. Ketika sifat daun-daun kalatea melingkupi hidupku. Daun-daun yang biasa tergulung. Biasa juga terhampar. Seperti sifat sepuluh kepalaku. Sepuluh kepalaku yang semengkilat mata lembing di pagi hari.
Sepuluh kepalaku yang satu per satu pernah aku penggal. Dan aku persembahkan pada si waktu. Si waktu yang membuatku tak bisa mati. Dan si waktu yang diam-diam terus memainkan guliran dadu di mangkok. Agar tetap bernilai kosong. Kosong yang bergambar dua lengkung yang ketemu. Sampai tak diketahui: ”Mana ujungnya, mana pangkalnya.” Siapakah yang menduga jika hasil akhir seperti ini?

Sekali lagi, bolehkah aku meminta mati. Kirimkan dengan segera. Jangan biarkan si kera putih itu terus-terusan menguntit pikiranku. Menghadang segenap mantra yang aku sandang. Si kera putih yang, meski tak mampu mematikanku, mudah membuat aku pikun pada setiap yang tertemui: “Balairung, jalan, siasat, panji, sampai pada sebaris kemajemukan cinta, rindu, dan kenangan.”
Sebaris kemajemukan yang akan semakin majemuk, ketika pinggiran daun-daun kalatea yang setajam belati itu, mengupasi kehampaanku yang mencengkeram sudah.

(Gresik, 2017)

Mawar Beludru

: seperti aswatama

Kakiku ganjil. Seganjil kaki si penyerimpung. Si penyerimpung yang diburu wangsa yang geram. Si penyerimpung yang telah memuntahkan sisa ilmunya. Dan melibas para yang tidur di tenda ke pusaran amarah dan dendam. Tapi, meski ganjil, kakiku seindah kelopak mawar beludru. Mawar yang mengingatkan pada cangkang kura-kura. Cangkang yang menyimpani ruang dan waktu yang retak. Dua hal yang tak teringinkan berkibar di menara. Berkibar dengan warna merah, kuning, dan hijau.

Oh, ke langit yang tinggi aku menengadah. Mencari rahasia kepak burung. Agar dapat aku temukan, arah mana yang dapat menuntunku. Terus menelusup ke dalam senyap. Senyap yang, ketika nanti dibuka, akan membuat siapa saja tahu: hidup di geraham bara, bukanlah hidup yang lembut. Sebaliknya, tajam dan menggosongkan kulit. Apalagi, si penitah yang tak pernah berdusta itu, berkata begini: “Kemarin, telah mati seekor gajah. Yang namanya mirip dengan nama si penyerimpung.”

Kakiku ganjil. Diburu wangsa yang geram.

(Gresik, 2017)


Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya antara lain Buwun (2010) dan Teras Mardi (2015).

Melestarikan Burung Maleo

Oleh Tyas KW (Kompas, 17 Desember 2017)
Melestarikan Burung Maleo ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Melestarikan Burung Maleo ilustrasi Regina Primalita/Kompas
“IWAN, lihat! Itu burung maleo. Ada dua,” bisik Kak Erwin, kakak Iwan yang sudah kuliah. Siang itu, Irwan dan Kak Erwin sedang berada di hutan dekat Desa Saluki, Sulawesi Tengah. Kak Erwin adalah pecinta burung.
“Burungnya keren, Kak! Bulu dan jambulnya hitam. Dadanya berwarna putih,” kata Iwan yang kemudian memotret kedua maleo itu dari kejauhan. Iwan lalu berjalan mendekat.
“Tunggu dulu! Nanti, maleo itu lari.” Kak Erwin menggamit Iwan untuk bersembunyi. Rupanya kedua maleo itu akan bertelur.
“Kak, dua burung maleo itu bergantian menggali lubang!” bisik Iwan. Kak Erwin mengangguk. Setelah kedua maleo itu pergi, mereka mendekati lubang-lubang galian itu. Hampir bersamaan, Pak Udin, petugas pelestari lingkungan di Saluki juga mendekati lubang.
“Wah, telurnya pasti banyak, Kak!” seru Iwan senang. “Lihat lubang sarangnya saja ada banyak.”
“Maleo memang membuat banyak lubang sarang, tetapi telurnya hanya satu butir,” Kak Erwin menjelaskan.
“Lho? Jadi, untuk apa membuat sarang banyak-banyak kalau telurnya hanya satu butir?” Iwan heran.
“Maleo tidak mengerami telurnya. Agar telurnya menetas dengan aman, dibuatlah sarang-sarang tipuan. Jadi, biawak tidak dapat menemukan telur itu.” Pak Udin ikut menjelaskan.
“Wah, cerdik sekali!” ucap Iwan.
“Tapi itu tidak selalu berhasil, sering juga telur itu ditemukan,” timpal Kak Erwin.
“Selain itu, maleo mengubur telurnya tidak di sebarang tempat. Tempat bertelurnya ini semakin lama semakin berkurang karena kerusakan hutan ataupun terganggu oleh manusia,” kata Pak Udin. “Jadi, jumlah maleo tinggal sedikit.”
“Maleo itu satwa langka yang dilindungi dan hanya ada di Sulawesi. Kita harus mencegahnya dari kepunahan,” tambah Kak Erwin.
“Setuju, Kak. Telur ini perlu dijaga sampai menetas,” ujar Iwan. “Tapi, bagaimana caranya?”
“Ayo, bantu memindahkan telur ini ke tempat penangkaran,” ajak pak Udin.
Pak Udin menunjukkan lubang yang ada telurnya. Iwan lalu membantu menggali lubang itu dengan hati-hati.
“Telurnya kok belum kelihatan, padahal sudah dalam galiannya,” ungkap Iwan.
Maleo memang mengubur telurnya di kedalaman 50 sentimeter atau lebih. Kak Erwin akhirnya mengangkat telur maleo. Besarnya bisa sampai lima kali telur ayam.
Sesampainya di tempat penangkaran, Iwan dan Kak Erwin menggali lubang lalu mengubur ulang telur itu. Iwan senang bisa membantu menjaga kelangsungan hidup maleo.
“Aku akan membuat tulisan di mading sekolah, Kak. Agar lebih banyak yang tahu bahwa maleo itu satwa langka yang harus dilindungi. Maleo dan telurnya tidak boleh diburu sehingga terlindungi dari ancaman kepunahan,” tekad Iwan.
“Bagus! Itu salah satu cara mencintai satwa nasional,” puji Kak Erwin. *

Gelap

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 17 Desember 2017)
Gelap ilustrasi Godod Sutejo - Kompas
Gelap ilustrasi Godod Sutejo/Kompas
Jeritan siapakah itu?
Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang.
Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat?
Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian.
Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas.
Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya.
Ta-kut.
Jerit ketakutan karena tidak melihat apa pun?
Ataukah jerit ketakutan karena dalam kegelapan ternyata perempuan itu melihat sesuatu?
Mungkinkah perempuan itu menjerit karena dalam kegelapan dan kesendirian mutlak dilihatnya wajah putih pucat seperti mayat mendekat, begitu dekat, bagaikan tiada lagi yang lebih dekat?
***
Dalam mimpi, inilah saat untuk terbangun, tetapi ini begitu nyata, karena wajah putih pucat yang seperti bayangan melayang itu tetap maju terus ketika tangannya berusaha menahan, menembus tangan lantas melebur dan menyatu kepada wajahnya sendiri!
Seperti topeng kulit manusia yang menempel di wajahnya, tetapi yang seperti tidak akan berhasil dicopotnya, meskipun sudah berusaha ditarik-tariknya supaya lepas dengan sekuat tenaga.
Listrik menyala sebentar, terlalu sebentar, tetapi bagaikan sempat terlihat wajah sendiri, wajah yang sudah berubah menjadi wajah putih pucat, sepucat mayat yang tiada bernyawa, tetapi matanya terbuka!
Itukah yang menyebabkan terdengarnya jerit ketakutan sekeras-kerasnya, ketika listrik mati dan dunia menjadi gelap gulita, segulita kegelapan terpekat dalam kehitaman terpekat yang tidak memperlihatkan apa pun sehingga tiada batas antara mata terpejam dan terbuka?
Dalam kegelapan hanya tersisa kengerian, ketika kulit wajah sendiri yang sudah menjadi wajah orang mati tiada pernah berhasil ditarik dan dilepas, meski sudah ditarik-tarik sekuat tenaga.
Ia masih merasa seperti mendengar jerit perempuan itu.
***
Bagaimana kalau bukan hanya wajah, tetapi seluruh tubuh yang menopang wajah itu, yang mampu tembus ke manapun, merasuki badannya? Ia menarik-narik wajahnya sendiri seperti memang bukan wajahnyalah yang menempel itu, tetapi bagaimana pula caranya akan lepas?
Kengeriannya tiba-tiba meningkat.
Kegelapan terpekat tentu tidak memperlihatkan apapun, tetapi kegelapan terhitam tidak menghapus cahaya dalam kenangan, sehingga dalam kegelapan terpekat dan terhitam tetap tergambar dalam benaknya suatu benda yang tidak pernah dipedulikannya meski setiap hari dilihatnya belaka dalam cahaya terang dengan mata terbuka.
Di manakah kiranya?
Ia meraba dan meraba segala benda dengan ingatan yang dikacaukan kepanikan. Terdengar bunyi benda-benda berjatuhan yang dalam kepanikan bagaikan runtuhnya segenap ruangan ke jurang kegelapan tanpa dasar. Dengan perasaan terjatuh dan terputar-putar tangannya tetap meraih-raih apapun yang bisa dicapainya.
Terjatuh ke jurang tanpa dasar, kapankah akan sampainya?
Dalam perasaan jatuh dengan kepanikan teramat sangat, terdengar lagi jerit perempuan yang ketakutan itu. Masih juga tak bisa dipastikannya, perempuan itu menjerit-jerit karena melihat sesuatu ataukah karena tidak melihat apapun?
Lantas tangannya merasa memegang benda itu!
Apakah ia akan melakukannya?
Wajah pucat yang mengerikan, wajah iblis, apakah harus direlakannya menjadi wajahnya?
Sekali lagi listrik menyala, dan mati lagi, lantas menyala kembali, begitu singkat. Terang gelap terang gelap dengan begitu cepat sehingga tiada apapun yang sempat terlihat kecuali wajah, ya wajah pucat seperti mayat itu, wajah pada sebuah cermin.
Kini dirinya sendiri menjerit dengan kepanikan memuncak. Dirinya sudah benar-benar berwajah iblis!
Ia mengangkat benda yang dipegangnya.
***
Listrik sudah menyala. Seseorang memasuki ruangan itu dan menutup pintu seperti memang tidak pernah terjadi apa-apa. Ketika listrik mendadak mati lagi, belum sempat dilihatnya lelaki dengan kulit wajah terkelupas yang terkapar meregang-regang di sebuah sudut itu, dengan pisau setajam silet di tangan kanan dan kulit wajahnya sendiri di tangan kiri.…
Lantas seperti terdengar jeritan seorang perempuan, dalam kegelapan terpekat yang tidak memperlihatkan apapun.
Se-per-ti.

Seno Gumira Ajidarma, dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977, kini tergabung dengan panajournal.com. Menulis tentang kebudayaan kontemporer di berbagai media, menerima sejumlah penghargaan sastra, dan mengajar di berbagai perguruan tinggi, termasuk menjadi Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Seno jadi lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai). Pada 2014, dia meluncurkan blog bernama PanaJournal – http://www.panajournal.com tentang human interest stories bersama sejumlah wartawan dan profesional di bidang komunikasi. Hampir setiap tahun cerpennya terpilih dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas.