Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Akan ku serahkan semuanya pada Allah Tentang semua resah, gelisah nan gundah Tentang rasa yg kalah Tentang luka yg begitu parah
Aku pasrah Sabarku telah menyentuh langit dari laut Aku tak ingin menjadi perahu tanpa penumpang Aku tak ingin menjadi pesawat tanpa pilot
Jangan kau tanya kenapa Pada perahu yg hanyut dihempas ombak, pada pesawat yg jatuh tanpa kendali Itu karena pilotnya hilang tak bertanggungjawab
Jangan tangisi perahumu Jika tak bisa lagi mengantarkanmu Sebab, tenggelam lebih tenang dari pada mengapung
Selama ini aku berjuang tanpa terukur Tawa tangis menemani rasa yg tersuhur Terabaikan dalam perjuangan, ku rasa adalah hal yg wajar Dan menghilang dari peredaran kini pilihan hatiku yg lelah mencari tempat bersandar
Aku memang pernah berkata akan memperjuangkanmu sebagai kasih yg ku cinta Namun, akupun tak menyangka Hati ini berhenti dari harap yg dangkal Langkah ini patah di tikam acuh yg tak bisa ku bantah
Aku tak bisa berdiam menikmati luka Sebab Allah memerintahkan untuk terus mencari obatnya
Mohon kembalikanlah seonggok daging hatiku Biar aku meramu obat pada luka yg menganga dalam kesendirianku Jangan menahan rasaku mengalir Aku ingin labuhkan pada arus lurus ke hilir
Walau aku tak tau ujungnya dimana Namun aku tau, Allah takan biarkan aku hanyut begitu saja
Seikat hening dari sisa perjuangan ini adalah sebagai obat untuk proses sembuh dan aku tak ingin perang pada rasa yg kedua kalinya salah
Aku selalu ingin esok yg lebih baik Tersentuh hangat mentari di pagi hari Tersenyum lepas di ufuk lelah pada sisa kisah Tertawa tanpa akhir yg mengundang tangis Seperti sedia kecil yg tak memikul beban dalam menjalani hari
Setiap malam aku terus merenung Belajar menerima kenyataan yg terabaikan
Setiap malam doaku selalu untukmu Semoga kau bisa menyebrangi lautan untuk pulang tanpa perahu yg kau tinggalkan Atau kau terbang melintasi awan tanpa awak pesawat yg telah kau hancurkan
Aku rasa cukup sampai disini Pada lelah hati yg cukup menyakiti
Perihal jodoh, biar itu skenario Allah Entahlah, Kau yg akan kembali Atau kau hanya sekedar pelajaran hidup yg begitu berarti.
-/-
Terkadang kita harus paham, Bahwa tak semua yang datang menjadi pasangan hidup nanti. Bisa jadi mereka adalah ujian bagi hati. . Bukankah sudah tiada lagi rahasia bahwa perkara jodoh adalah suatu suratan dariNya? Lalu apalagi yang harus kita cari setelah mengetahuinya? . Ya, kebanyakan dari kita. Jatuh cinta dalam keadaan memaksa. Memaksa agar siapa yang tengah kita jatuhkan hatinya adalah sepenuhnya milik kita. Padahal? Tak pernah kepastian itu datang dengan cuma-cuma. Nyatanya, tak semua yang datang adalah jawaban untuk menjadi penggenap agama. Betulkan? . Lalu, kenapa masih terus memaksa hati untuk tetap tinggal dengan bayangan yang bahkan tak tau dimana muaranya. Bukankah lebih baik, taruh hati kita pada sebaik baik pemiliknya? Dan kamu tau siapa jawabannya. Ya, Dia. Allah. . Ketahuilah, bahwa tak semua yang datang akan memberi satu kepastian membawamu pada sebuah tajuk pelaminan. Ketahuilah, bahwa tak segala yang datang juga sepenuhnya akan meninggalkan. Tapi setidaknya, kita harus paham. Semua yang hadir dalam hidup, adalah sebuah ujian untuk pembelajaran. Yang seharusnya jika itu tak indah, kita jadikan sebagai catatan, bukan sebuah penyesalan.
Bahkan aku lupa. Mengapa aku pernah memiliki rasa itu untukmu? Wajahmu pun enggan ku tatap seperti dahulu, walau hanya sekedar gambar dirimu yang cukup banyak wanita lain yang memuji parasmu. Bahkan ketika ada yang menyebut namamu. Itu telah menjadi hal yang biasa untuk diriku. . Mungkinkah. Allah telah memainkan skenario-Nya? Seperti aku yang selalu meminta tuk bisa mengikhlaskanmu? Tetapi. Menghilangkan rasa bukan berarti aku meminta tuk bisa membuat diri ini membenci. Bukan berarti pula aku meminta tuk bisa membuat diri ini lari saat engkau hadir ditempat yang sama sepertiku. . Jujur, untuk mengikhlaskanmu. Aku memulainya dari berpura-pura melepaskanmu. Hingga waktu membuatku lupa. Bahwa dibalik sandiwaraku itu. Aku pernah melupakanmu dengan cara yang nyata.
Lelucon Para Koruptor ilustrasi AG Rama Dalem/Kompas
Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti menyiapkan banyak lelucon. Mungkin Join Sembiling SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani 8 tahun masa tahanannya karena segala sesuatunya sudah ada yang atur dan urus. “Percayalah, penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya setengah tertawa.
Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuatnya merasa tertekan. Ia membayangkan kehidupan yang begitu membosankan dan akan mati kesepian. Tapi pengacara berpenampilan perlente itu, yang sudah menangani puluhan kasus korupsi, menenteramkannya, “Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap bisa menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang kau sukai seperti biasanya.”
Ia kini benar-benar percaya dengan semua yang dikatakan pengacaranya. Ia tak perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup bulanan istrinya karena sudah ada yang menanggung, juga biaya sekolah anak-anaknya. Kawan-kawan dan atasan yang merasa diselamatkannya—karena ia tak menyebutkan nama mereka selama persidangan—telah diatur oleh Join Sembiling SH agar membantu semua kebutuhan rumah tangganya sebagai “ucapan terima kasih”. Bahkan, ia masih bisa berkomunikasi dengan mereka, dan istrinya bisa sewaktu-waktu menemuinya bila memang ia membutuhkan untuk “menyelesaikan hasratnya”. Bila merasa bosan dan pengin sedikit refreshing berjalan-jalan di luar, semua “prosedur formal akan dibereskan dengan biaya secukupnya”. Bila kangen makanan kesukaan, tinggal telepon dan akan segera ada yang mengantarnya.
Yang menggelisahkan justru karena ia mesti menyiapkan lelucon. Ini ia ketahui setelah dua minggu dalam penjara. Ia diundang mengikuti pertemuan dengan para penghuni lama. “Ini pertemuan yang rutin diadakan tiap malam Rabu,” ujar Sarusi, kawan satu selnya, anggota dewan yang tertangkap tangan karena kasus suap reklamasi. “Kau bisa berkenalan dengan orang-orang terhormat di sini. Kesempatan langka, yang mungkin tak akan bisa kau dapatkan bila kau masih di luar sana.” Sarusi tersenyum. “Siapkan saja satu lelucon paling lucu yang kau punya, yang bisa menentukan martabatmu.” Ia bingung saat itu.
***
Akhirnya ia tahu. Setiap yang hadir bergiliran menyampaikan satu lelucon. Yang paling lucu akan naik martabatnya karena akan dilayani oleh yang kalah, yakni yang dianggap paling tak lucu. Menjadi raja dalam seminggu, yang boleh memerintah atau mengerjai siapa pun yang kalah, misalkan menyuruh berdiri dengan satu kaki, menangkap seekor kecoa, dicoreng wajahnya dengan spidol dan tak boleh dibersihkan selama seminggu, memijiti tiap malam, dan bahkan menyuruhnya membersihkan sel.
Lelucon-lelucon itu menghiburnya, sekaligus membuatnya mati kutu. Saat pertama kali hadir dalam pertemuan itu, ia dianggap paling tak lucu dan disuruh menyanyikan lagu nasional yang didangdutkan sambil goyang ngebor. Sialan! Rupanya semua telah sepakat untuk memplonconya sebagai warga baru karena ia tahu, sebenarnya lelucon Pak Hakil lebih tak lucu dari leluconnya.
Pak Hakil, mantan hakim konstitusi, sebenarnya tak pernah bisa membuat lelucon lucu. Leluconnya nyaris sudah basi dan garing. Tapi semua yang mendengar selalu tertawa. Misal, suatu kali Pak Hakil melontarkan tebak-tebakan, “Kenapa di rel kereta api selalu ditaruh batu? Karena kalau ditaruh duit, pasti habis diambil kita semua.” Ia tahu, itu hanya lelucon lama yang dimodifikasi, tapi semua tertawa. Bahkan, ketika Pak Hakil menceritakan lelucon usang soal “kereta api yang berhenti di stasiun karena rodanya kempes”, semua tertawa ngakak. Apa lucunya? Kemudian Sarusi membisikinya, “Kau harus tertawa meski tak lucu. Pak Hakil sudah cukup menderita karena divonis seumur hidup, jadi anggap saja kita sedekah tawa karena ingin membuatnya terhibur. Ingat, menyenangkan orang lain itu dapat pahala. Ha-ha….”
Kemudian, ia memahami, soal masa hukuman itu termasuk hal penting yang harus dihormati. Semakin lama masa hukuman, maka akan semakin tinggi kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya harus menghormati yang dihukum lebih lama di atasnya. Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat setingkat jenderal. Yang dihukum seumur hidup langsung dapat gelar jenderal bintang lima anumerta. Kalau cuma dua tiga tahun, itu kelas kopral.
Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung Jayus, pegawai pajak yang masih muda tapi menilep miliaran, dipandang lebih terhormat dari Pak Muad Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya kesandung uang recehan ratusan juta. Makin banyak uang makin terpandang dan disayang. Setidaknya makin disayang para sipir penjara, kata Mas Unas, mantan ketua sebuah partai. Mas Unas tetap merasa dirinya hanya dikorbankan. “Saya tak bersalah. Terbukti saya tidak menerima satu rupiah pun…, sebab yang saya terima dalam bentuk dollar.” Lelucon-leluconnya sering mengejutkan.
Di pertemuan malam Rabu itulah—yang sering dibilang Mas Unas sebagai “tadarus lelucon”— setiap yang hadir seperti ingin saling menghibur, tetapi kadang juga terasa ingin meneguhkan kehormatan dan martabatnya dengan saling sindir saling ledek. Dan Mas Unas kerap menjadi bintang dengan lelucon-leluconnya. Bung Jayus sering kena sasaran. “Kamu tahu, pajak itu mudah, yang sulit membayarnya,” kata Mas Unas. Semua tertawa. Bung Jayus mesam-mesem. “Orang pajak itu paling pelit. Saya punya kawan, perempuan yang pacaran dengan pegawai pajak. Tiap makan, selalu perempuan itu yang bayar. Ketika perempuan itu kesal, pegawai pajak itu bilang, ‘tenang, kamu yang bayar makannya, saya yang urus pajaknya’.” Kembali semua tertawa.
“Tapi harus diakui, di antara kita semua, pegawai pajak yang akan gampang masuk surga. Ketika mau masuk gerbang surga, tiap orang akan ditanyai malaikat. Nah, ketika sampai di gerbang surga, justru pegawai pajak yang malah menanyai malaikat, ‘Tolong perlihatkan SPT pintu gerbang surga ini?! Apakah sudah melunasi pajak pintu gerbang surga?’ Mendengar itu, malaikat cepat-cepat menyuruh pegawai pajak itu masuk surga biar urusan pajak nggak diungkit-ungkit.”
“Mas Unas,” timpal Bung Jayus, “semua orang itu jujur, kecuali soal pajak.”
Kelebihan lain Mas Unas ialah piawai memberi konteks leluconnya dengan apa yang aktual. “Saya baru baca berita, kalau saat ini jumlah orang miskin hampir 100 juta. Sementara ekonomi hanya dikuasai oleh 10 orang terkaya. Menurut saya, ini berita bagus.”
“Lho kenapa?”
“Artinya, di negeri ini lebih gampang jadi orang kaya ketimbang jadi orang miskin. Kalau mau jadi orang miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau mau jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang. Artinya, kalau nanti kita keluar, kita masih tetap punya harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan 10 orang itu.”
Semua nyengir.
***
Menyiapkan lelucon seminggu sekali menjadi hal yang paling menggelisahkannya dalam penjara ini. Memikirkan lelucon yang harus disiapkan untuk pertemuan Rabu malam itu saja sudah membuat perutnya mual. Ia selalu tak pernah bisa yakin dengan lelucon yang ia anggap lucu. Barangkali lelucon itu memang lucu, tapi ia tak pernah bisa menyampaikannya sebagai kelakar yang menarik. Ia pasti langsung keringat dingin ketika sampai gilirannya.
Hal yang semakin membuat gelisah, ia selalu merasa, apa pun leluconnya, tak pernah ada yang menganggap lucu. Ia pernah menceritakan lelucon politik paling lucu tentang Stalin yang setiap pagi selalu mengulangi lelucon yang sama pada para pengawalnya, dan para pengawal itu tetap tertawa; sebab bila ada yang tak tertawa, langsung ditembak. Itu satir, tapi tak seorang pun tertawa ketika ia menceritakannya. Lalu, di pertemuan berikut ia memilih humor asosiatif dan menyerempet porno. Jangankan ada yang tertawa, tersenyum tidak. Malah ia jadi bahan ledekan. Ia juga sudah mencoba teka-teki konyol, tetap saja dianggap kalah lucu dengan lelucon Pak Hakil yang sama sekali tak lucu.
Bahkan, yang membuatnya tak paham sekaligus geram, ia pernah dengan sengaja memilih lelucon yang sama dengan lelucon Pak Hakil: tentang kenapa anak babi selalu jalan tertunduk sebab malu punya ibu babi. Ketika Pak Hakil yang cerita, semua tertawa terbahak. Tapi saat ia menceritakan lelucon yang sama itu, semua diam. Ia tak bisa marah kepada Pak Hakil sebab sebagaimana “kode etik” sesama tahanan, Pak Hakil lebih terhormat (hukumannya lebih lama) dan lebih bermartabat (jumlah korupsinya lebih banyak).
Selama setahun mengikuti malam lelucon itu, ia tak pernah terpilih sebagai yang paling lucu. Ia menyampaikan rasa penasarannya kepada Sarusi, tapi rekan satu selnya menghindar menjawab. Ia yakin Sarusi menyembunyikan rahasia. Ia selalu memancing agar Sarusi menjelaskannya.
“Kau tak tahu?” kata Sarusi suatu malam, saat ia terus mendesaknya. “Kamu menutupi banyak fakta, hingga hanya kamu sendiri yang masuk penjara. Kamu melindungi semua atasanmu yang terlibat. Oleh mereka yang diselamatkanmu, kamu dianggap hebat, pahlawan penyelamat. Tapi bagi kawan-kawan di sini, kamu hanyalah seorang pengecut. Karena tak pernah berani menyebutkan nama-nama yang ikut korupsi bersamamu.” Sarusi menatapnya. Ia merasakan kesunyian yang membuatnya kehilangan semua kebanggaannya.
Membayangkan sisa hukuman dengan harus memikirkan dan menyiapkan lelucon setiap minggu sungguh-sungguh menjadi siksaan yang lebih mengerikan dibanding hukuman dalam penjara yang mesti dijalani. Membuatnya merasa seperti pecundang yang sedang dihukum dengan lelucon-leluconnya sendiri.
Jakarta, 2016-2017
Agus Noor, belakangan lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis lakon dalam seri pertunjukan Indonesia Kita. Dikenal piawai menggabungkan para talent dalam satu gagasan cerita yang utuh dan menawan. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilia, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous, Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, dan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan. Agus berdomisili di Yogyakarta, tetapi lebih sering bekerja di Jakarta.
Cerpen Tjak S. Parlan (Koran Tempo, 22-23 Juli 2017)
Bero dan Keluarganya ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Bero muncul di kaki bukit bersama Miseno dan Jibat—yang memikul seekor babi hutan gemuk—berikut anjing-anjingnya. Luka yang menganga di bagian kepala dan perut hama perusak itu masih meninggalkan bercak-bercak merah di semak-semak rendah jalan setapak. Dua atau tiga ekor anjing yang tertinggal dari kawanannya berhenti untuk mengendus-endus bercak-bercak darah itu sampai tuan mereka—Bero—memanggilnya dengan sebuah suitan panjang yang terdengar lamat-lamat sampai ke ujung kampung.
“Cepatlah sedikit. Sebentar lagi gelap,” ujar Bero.
Miseno dan Jibat mendengus seraya menggegaskan langkahnya. Beban di pundak mereka terasa semakin berat ketika menapaki jalan setapak yang becek dan mendaki. Itu gumuk terakhir, sebelum mereka melalui jalan setapak menurun menuju kampung.
Hari itu, tenaga mereka lebih banyak terkuras. Seekor rusa jantan—yang semakin jarang terlihat—telah membawa mereka masuk jauh ke hutan. Namun mereka tak berhasil menangkapnya. Bero menyesali dua ekor anjingnya yang hari itu tak bisa ikut berburu—beberapa hari sebelumnya seorang pemuda kampung telah merajam dua anjing itu dengan alasan tak jelas. Akhirnya, mereka memburu dua ekor babi hutan yang sedang beristirahat di sebuah ngarai bersemak tinggi di hutan itu. Satu pejantan yang lebih gesit berhasil lolos dari kepungan mereka. Tapi lemparan tombak Bero memang jitu, sehingga berhasil meredam keberingasan seekor lainnya yang lebih gemuk.
“Kalian teruslah ke sungai,” ujar Bero saat mereka tiba di ujung kampung. “Saya langsung ke rumah. Nanti saya suruh Jimah menyusul ke sana.”
Miseno dan Jibat berbelok ke arah sungai. Mereka akan membersihkan babi hutan itu di sana. Bero mengambil jalan lurus ke rumahnya diikuti lima ekor anjing. Sedangkan tiga ekor lainnya telah mendahului Miseno dan Jibat ke arah sungai. Namun, ketika sebuah suitan panjang terdengar kembali, anjing-anjing itu segera berlarian dan berkumpul di sekitar kaki Bero seperti sekelompok serdadu yang sigap dan patuh begitu saja kepada komandannya.
Setiba di rumah, Bero langsung menuju halaman belakang. Sebelum berangkat pagi itu, Bero mengikat kedua anjingnya di tiang jemuran. Ia berpesan kepada Jimah agar memboreh luka-luka anjing itu dengan kunyit yang sudah dikukus.
“Jimah, bagaimana anjing-anjing itu?”
Jimah yang sedang termenung di dekat sumur terkaget oleh kedatangan Bero. Lalu, dengan tangan yang gemetar, ia menunjuk dua sosok binatang yang membujur kaku di dekat kakinya. Melihat keduanya, Bero tak bisa menahan kesal yang berkecamuk. Ia menggoyang-goyangkan tubuh dua anjing itu sambil memaki-maki tak keruan. Setelah reda beberapa saat, ia bertanya kepada Jimah dengan suara gemetar.
“Apa yang sudah kamu lakukan seharian tadi, Jimah?”
Jimah menatap anjing yang sudah mati itu dengan perasaan sedih dan takut. Bibirnya bergerak-gerak hendak menjelaskan sesuatu, namun yang terdengar hanya dengung tak jelas yang membuat Bero semakin bingung.
“Ayolah Jimah, bicara! Bicaralah saat seperti ini.”
Jimah kembali berdengung. Kali ini lebih tenang sambil membuat gerakan-gerakan tertentu dengan tangannya. Tentu Bero sudah tahu, Jimah tunawicara sejak kecil. Anak sulungnya itu bahkan sulit mengeluarkan suara tangis ketika dilahirkan.
“Jadi, kamu pergi ke pasar. Pulangnya, anjing itu sudah mampus!”
Jimah mengangguk pelan. Lalu ia melangkah ke sebuah lubang galian tempat sampah untuk mengambil sesuatu. Sebuah tulang binatang—sepertinya tulang paha seekor ayam—ditunjukkan kepada Bero. Tanpa ragu-ragu Bero mengambilnya dan mengendusnya untuk memeriksa baunya.
“Anjing ini pasti diracun. Keparat!” ujar Bero seraya mengeloyor ke dapur.
Bero kembali dengan sebuah cangkul dan menyuruh Jimah memindahkan dua ekor anjing yang sudah mati itu. Bero akan menguburkan mereka di bawah gerumbul pohon pisang di dekat kandang ayam yang tak terpakai.
“Sudah, sekarang bantu suami dan adikmu di sungai.”
Saat Bero mulai mengayunkan cangkul, matahari telah benar-benar lesap di balik hutan sebelah barat di mana segerombolan babi hutan mungkin sedang merencanakan perburuannya sendiri.
Keesokan harinya, Bero merasa tak perlu pergi ke hutan. Persediaan daging untuk anjing-anjing itu telah tercukupi. Di samping itu, ia masih berduka atas kematian dua ekor anjingnya. Hari itu, ia memutuskan untuk menjenguk istrinya di kampung sebelah. Bertahun-tahun lalu, ia tak bisa mengubur jenazah istrinya di kuburan kampung. Sekelompok pemuda yang—katanya—mewakili seluruh kampung, keras-keras melarangnya. Bero sangat terpukul dan hampir tak bisa menahan diri ketika itu. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin jenazah istrinya yang tak tahu apa-apa ditolak oleh segerombolan anak ingusan di kampungnya sendiri. Pada waktu yang sama, ia begitu sedih memikirkan bayi kembar itu—Jimah dan Jibat—yang tak akan pernah melihat ibu mereka sepanjang hidup. Sejak itu, Bero membesarkan kedua anak tersebut sendirian. Ia mengajari Jibat yang pendiam cara mengendalikan anjing-anjing dan berburu babi hutan. Jimah sendiri bertugas mengurus rumah dan mengantarkan daging buruan ke seorang pengepul di pasar desa.
“Sepi sekali, di mana anjing-anjing itu?” ujar Bero.
Miseno yang baru saja menandaskan kopinya menyahut dari dapur, “Mereka bersama Jibat ke sungai. Memasang bubu sepertinya.”
Di samping ikut berburu, sejak kecil Jibat memang senang memasang bubu di sungai. Meski begitu—entah kenapa, mungkin karena selalu memasang di tempat yang salah—ia jarang mendapatkan tangkapan yang diinginkan.
“Jimah, jangan lupa. Nanti pulangnya bawa ikan segar.”
Bero berkata sembari menyelipkan sebilah parang di pinggangnya. Bero selalu memesan ikan segar jika Jimah pergi ke pasar. Kecuali Miseno, tak ada yang makan daging di rumah itu. Apalagi Bero—makan daging binatang buruan hanya akan membuatnya teringat-ingat bagaimana cara membunuh sehingga merasa iba. Ia tak mau memiliki hubungan dekat dengan binatang yang diburu, dan memakan dagingnya akan membawa kemungkinan ke arah itu.
“Saya berangkat.”
Bero menoleh ke rumah sekali lagi, mengingat-ingat seolah-olah ada sesuatu yang terlupakan, tapi tak berhasil mengingatnya. Beberapa langkah kemudian, Bero baru tersadar bahwa ia selalu berjalan dengan anjing-anjingnya.
Jarak sepelemparan batu dengan kepergian Bero, Jibat datang dengan langkah gontai. Wajahnya pucat dengan kening berkerut-kerut seolah sedang memikirkan sesuatu yang teramat pelik. Miseno—yang memperhatikannya dari arah pintu dapur—tampak heran dibuatnya. Betapa pun pendiam, Jibat bukanlah pemuda yang murung. Miseno mencoba mencari tahu apa sebenarnya terjadi dengan wajah itu. Miseno baru tersadar bahwa Jibat tidak sedang bersama anjing-anjing itu.
“Kamu kenapa? Ke mana anjing-anjing itu?”
Jibat menghela napas panjang, lalu memberi isyarat kepada Jimah agar mengambilkan segelas air putih. “Bawalah cangkul, parang, atau apalah. Pergilah ke ladang di pinggir sungai. Anjing-anjing itu… mampus!”
“Mampus? Kamu yang mau mampus. Kamu ini!”
“Saya tak bergurau. Cepat ke sana, bereskan anjing-anjing itu. Besok, mungkin kita yang akan diracun!”
Miseno saling tatap dengan Jimah. Lalu ia kembali menatap Jibat dengan mimik tak percaya. “Panggil dia—Bero. Cepat, mumpung belum jauh!” ujarnya seraya menyambar cangkul dan berlari ke arah ladang.
Jibat segera bangkit menyusul Bero. Ia tak berani membayangkan wajah Bero yang akan murka. Sementara itu, Jimah masih termangu—ia ragu, apakah akan ke pasar atau bergabung dengan suaminya di ladang, mengurus bangkai anjing-anjing itu.
Mereka telah menguburkan anjing-anjing itu dalam satu lubang. Anjing-anjing itu terkapar saat Jibat mencari tempat untuk memasang bubu. Anjing-anjing itu telah menemukan tulang-tulang yang berserakan di ladang. Tulang-tulang binatang itu terlihat masih baru. Seseorang—atau sekelompok—sepertinya telah dengan sengaja membubuhi racun dan menyebarkannya di ladang.
Bero menjadi sangat murka setelah kejadian itu. Malamnya, ia berkeliling kampung dan mendatangi siapa saja yang tengah mengobrol untuk ditanyai perihal yang menimpa anjing-anjingnya. Tentu saja, tak ada satu pun yang mengaku.
Namun, di ujung malam yang muram itu, dua orang pemuda telah minum terlalu banyak dan berteriak-teriak di dekat pos ronda. Mereka menyebutkan soal manusia pemakan babi dan pemelihara anjing. Mereka menyebutkan tentang anjing-anjing yang mati.
“Mampus, kalian! Anjing-anjing najis!”
“Besok kita racun saja yang punya rumah….”
“He, mulutmu! Diam kamu comberan….”
“Dia yang comberan. Mana dia itu, tukang makan babi. Dasar anjing!”
Mendengar itu, Bero pun mendatangi mereka. Tanpa berpikir panjang, Bero menghajar dua pemuda mabuk itu. Namun mereka semakin brutal saja, berteriak-teriak, mengolok-olok sejadi-jadinya, hingga satu per satu warga kampung keluar untuk melerai. Saat kehebohan itu semakin tak terkendali, seorang laki-laki segera menarik Bero dari kerumunan dan menjauhkannya dari tempat itu.
“Bero, saya beri tahu kamu. Untuk sementara kamu pergi saja dari kampung ini. Mereka sudah merencanakan ini sejak lama,” ujar laki-laki itu.
“Jadi, keparat-keparat itu yang membunuh anjing-anjing itu?”
Laki-laki itu menggelengkan kepala.
“Pergilah. Saya tak bisa mengatakannya.”
Bero tak mau tinggal diam. Ia berniat mendatangi kerumunan itu lagi. Tapi laki-laki itu berhasil membujuknya sekali lagi. Bero pun menjauh dari kerumunan, pulang dan mulai berkemas. Keesokan harinya—pagi-pagi sekali—bersama Jibat dan sebuah buntalan besar, ia berjalan memasuki hutan dan tak pernah kembali. Rumah Bero yang selalu dijaga oleh anjing-anjingnya itu pun selalu terlihat sepi. Sekali waktu saja, Miseno dan Jimah datang untuk membuka pintu. Ada yang mengatakan, sepasang suami-istri itu sudah pindah ke kampung sebelah—tinggal di rumah orang tua Miseno.
Malam itu hujan deras disertai angin kencang. Orang-orang melongok sebentar ke jendela hanya untuk menutupnya kembali. Mereka memeriksa pintu-apakah sudah terkunci dengan baik-lalu kembali menarik selimut di tempat tidur. Tentu saja, tak ada satu pun yang keluar untuk memeriksa ladang mereka pada malam seperti itu. Pada saat itulah puluhan ekor babi hutan mendapat kesempatan. Babi-babi yang beringas itu menyantap dan menghancurkan apa saja yang ditemui di ladang. Hama liar yang mengamuk itu membikin ludes ladang sebagian besar warga kampung.
Seorang warga yang terbangun pagi-pagi dan memeriksa ladangnya menjadi murka, lalu segera mengabarkan bencana itu kepada yang lainnya. Warga kampung pun berkumpul dan bersepakat membalas kelakuan babi-babi itu. Hari itu juga mereka merangsek masuk ke hutan. Namun mereka tak bisa menemukan apa-apa selain rasa lelah dan putus asa.
“Tak ada satu pun yang punya anjing,” ujar salah seorang warga. “Parang sependek ini, bagaimana jika kita bertemu babi-babi sialan itu?”
“Tak ada tanda-tanda. Jangan-jangan itu babi hutan siluman,” ujar yang lainnya.
“Balas dendam. Mungkin keluarga Bero sedang balas dendam.”
Saat mendengar nama itu, orang-orang saling menatap—sudah lama tak ada yang pernah menyebut nama Bero dan keluarganya. Mereka tiba-tiba merasa gentar. Lalu satu demi satu mulai bersepakat kembali ke kampung untuk menyusun rencana berikutnya. Baru beberapa langkah mereka berbalik arah, sebuah suitan panjang menggema di antero hutan itu. Orang-orang itu berusaha tak menghiraukannya sambil terus bergegas. Namun ada suara-suara lain yang mengikutinya. Semakin dekat, suara-suara itu terdengar seperti derap sepasukan serdadu binatang yang siap menyerang mereka. Orang-orang itu semakin gentar dibuatnya.
Pagesangan, 4 Mei 2017
Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 10 November 1975. Cerpen dan puisinya telah dimuat di sejumlah media. Tinggal di Pagesangan, Mataram, Nusa Tenggara Barat.