Daftar Blog Saya

Minggu, 03 Desember 2017

Mayura

Cerpen Faris Al Faisal (Padang Ekspres, 26 November 2017)
Mayura ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Mayura ilustrasi Orta/Padang Ekspres
GADIS kecil itu terus berlari menerobos perlintasan kereta yang sedang ramai, mengejutkan beberapa pengendara mobil dan motor yang tengah melintas, sehingga membunyikan klakson berkali-kali.
“Cari mati kamu!” maki seorang pengendara mobil yang hampir saja menabraknya.
“Setan kecil!” gerutu pengendara lain yang hampir jatuh karena mengerem paksa motornya, demi menghindari menabrak gadis itu.
Bocah kecil itu tidak mempedulikannya, ia terus berlari menyusuri jalur rel menuju sebuah jembatan kereta yang kanan dan kirinya berdiri rumah-rumah kumuh. Keracak hujan sepertinya tak menyurutkan langkah kakinya yang tanpa alas kaki itu. Mayura ingin segera sampai ke tempat tinggalnya untuk memastikan bahwa ayahnya yang sedang sakit itu tidak terbawa arus sungai yang selalu meluap bila hujan turun.
Mayura dan ayahnya, sudah tiga tahun ini menempati kolong jembatan kereta, setelah rumah sengnya di bantaran sungai terkena normalisasi sungai oleh Pemda setempat. Karena mereka menempati bangunan liar, tak serupiah pun uang gusuran diterima. Keluarga Mayura kemudian migrasi ke tempat yang tidak lebih baik dari semula. Tinggal di kolong jembatan kereta, yang setiap kali hujan turun, mereka harus segera mengangkut barang-barang berharganya ke atas jembatan. Barang berharga itu tidak lain adalah hasil pulungannya yang belum dikilokan.
Semula Mayura tinggal berempat bersama ayah ibu dan adiknya yang masih balita. Namun peristiwa tragis memporak-porandakan keluarga yang memang sudah berantakan dari sisi kehidupan sosial, ekonominya dan budayanya. Adik lelaki Mayura yang ditinggal pergi memulung oleh ayah dan ibunya hanyut saat air sungai meluap. Mayura sendiri lalai dalam menjaga adiknya karena ia sendiri ikut terbawa arus namun sebuah tiang penyangga jembatan kereta dapat diraihnya sehingga ia dapat bertahan dengan berpegangan tangan pada lenganlengan penyangga jembatan. Mayura dapat diselamatkan karena ayahnya datang ke kolong jembatan pada saat ia sendiri merasa akan terbawa arus sungai yang begitu deras. Dengan perasaan kelam ayahnya berteriak-teriak histeris mencari adik Mayura yang ikut tenggelam.
Peristiwa tragis itu membuat Ibu Mayura meninggalkan suaminya yang dianggap tak becus menjadi kepala rumah tangga. Tak mampu memberikan penghidupan yang layak sebagaimana tugas kepala keluarga. Tak ketinggalan istrinya juga memaki-maki pemerintah yang bukannya membantu masyarakat kecil seperti mereka, malah yang ikut serta memiskinkan orang-orang menjadi lebih fakir lagi. Ayah Mayura terpukul dengan kepergian istrinya. Dalam enam bulan kesehatannya menurun drastis. Ia sering sakit-sakitan tanpa mendapatkan pertolongan obat dan tenaga medis. Sebagai pendatang kota yang diharamkan kedatangannya, ayah Mayura bersama jutaan urban lainnya sering menjadi buronan Satpol PP.
Sesampainya di jembatan kereta, Mayura menuruni bantaran sungai, tangannya menyibak-nyibak ilalang yang kuyup karena hujan dan mendapati tempat ayahnya berbaring telah diluap air sungai yang kian meninggi.
“Ayah… ayah….,” teriak Mayura panik, matanya terus menjelajah air sungai yang bergelora melibas tempat tidurnya yang merupakan tumpukkan kardus bekas dan koran-koran ibu kota yang tak pernah memberitakan duka cita orang-orang pinggiran.
Tak sepotong pun sahutannya dibalas ayahnya, kecuali suaranya sendiri yang menggema dipantulkan kolong jembatan kereta yang mulai gelap dan pekat. Mayura menangis meratapi ayahnya, ia bersimpuh dengan lutut berlumuran lumpur bantaran sungai yang makin tergerus air hujan. Tangannya memerah karena meremas daun ilalang yang tajam. Mayura terkulai di tempatnya.
“Mayura, Mayura.” Sebuah suara yang sangat lemah menyeru namanya dari bawah pohon ketapang yang rimbun, berjarak lebih kurang sepuluh meter darinya.
Mayura menghambur ke arah suara itu, memeluk lelaki kurus yang rambutnya kusut dan sudah ditumbuhi beberapa helai uban. Lelaki itu tengah berkerodong sarung. Tampak di sampingnya sebuah buntalan beberapa potong baju, yang rupanya itu harta yang masih bisa diselamatkan dari air bah tadi.
“Syukurlah ayah masih selamat.”
Lelaki itu mencoba tersenyum, sekali pun ia tahu hidupnya tak pernah bahagia. Mayura terperanjat saat tangannya menyentuh kening ayahnya.
“Ayah demam?”.
“Tidak, Nak, ayah baik-baik saja.”
Tetapi Mayura tahu ayahnya telah berbohong hanya untuk melihat dirinya agar tidak cemas. Mayura diam-diam mengagumi sosok lelaki di depannya.
“Kita kehilangan kompor dan beras,” kata ayahnya sedih. “Malam ini kita tidur tanpa makan malam.”
Malam itu Mayura dan ayahnya tertidur sambil berpelukkan melawan dinginnya udara malam dan gerimis hujan yang belum juga mau reda di bawah pohon ketapang di dekat bantaran sungai di bawah jembatan kereta. Sesekali bunyi kereta yang melintas di jembatan membangunkan tidur keduanya, lalu mereka pun terlelap lagi dengan tetap berpeluk kasih dan sayang.
Esoknya, Mayura bangun lebih awal dari ayahnya dan lebih pagi dari kereta pagi yang selalu melintas di atas jembatan itu. Ia bangkit dengan perlahan dan melepaskan pelukkan ayahnya dengan hati-hati. Tangan lelaki itu tetap saja merengkuh, sehingga Mayura terpaksa menggelosorkan tubuhnya agar bisa lepas dari dekapan ayahnya. Pagi masih gelap sehingga Mayura tak bisa melihat ayahnya dengan jelas.
Di stasiun, Mayura mengais-ngais isi tong sampah untuk memulungi barang bekas. Beberapa benda ia kumpulkan dengan sebuah karung dan pagi ini ia merasa beruntung menemukan tiga buah lontong bekas penumpang kereta api yang dibuang ke dalam tong sampah tersebut. Saat akan menyisir beberapa tong sampah lain petugas stasiun keamanan stasiun mengusirnya.
Setengah berlari Mayura segera menyelinap ke sela pagar stasiun yang memang masih memungkinkan untuk tubuhnya berkelit dari uberan petugas, sementara karung yang berisi barang bekas itu ia lemparkan keluar pagar terlebih dahulu. Perlakuan seperti itu memang sudah tidak lagi membuat Mayura sakit hati. Entah bagaimana hatinya terbentuk, sehingga ia kebal dengan orang-orang tak lagi memiliki rasa sosial.
Di jalanan kota, Mayura menyaksikan beberapa anak seusianya berpakaian merah putih lengkap dengan tas dan sepatunya, dibonceng orang tuanya dengan sepeda motor atau pun naik mobil pribadi. Mayura berkaca-kaca, hatinya menjerit. Ia tak pernah mencicipi rasanya duduk di bangku sekolah dengan gelimang ilmu dan pengetahuan.
Kesedihannya mendadak berhenti saat matanya melihat sebuah dompet perempuan muda berbaju safari, yang melintasinya jatuh dari tasnya yang tak tertutup rapi. Dompet itu tergeletak persis di depannya. Mayura melirik ke kanan dan ke kiri. Jalanan sepi. Hatinya gamang, antara mengambil dompet itu ataukah mengembalikannya. Tiba-tiba ia teringat ayahnya yang sedang sakit dan butuh pengobatan. Mayura memegang perutnya karena sejak sore tadi mulutnya belum tersentuh sepotong makanan pun untuk mengurangi rasa laparnya. Tangan Mayura sudah menyentuh dompet itu, ia memasukkannya ke dalam karung. Matanya masih memandang perempuan tadi dengan rasa bersalah.
Di dalam karung, dompet itu dibukanya. Mayura terbelalak karena tersembul beberapa uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan yang tidak sedikit. Nampak pula beberapa buah kartu berjejer rapi yang Mayura sendiri tidak tahu apa fungsinya. Tiba-tiba Mayura teringat pesan ayahnya untuk tidak pernah memulung barang yang bukan dibuang di tong sampah, karena perbuatan itu dapat terkategori mencuri atau mengambil milik orang lain, sekali pun tergeletak di jalan.
Mayura berlari mengejar perempuan itu yang mulai memasuki halaman sebuah kantor Bank. Karung yang di gendongnya telihat terpontal-pontal. Beberapa pengguna jalan yang melintas menengok ke arahnya.
“Bu, ibu…,” seru Mayura dengan gugup.
Perempuan muda itu membalikkan badannya yang sangat indah menurut penilaian anak kecil sekali pun. Ia mengkerut melihat gadis kecil pemulung mendekatinya. Tangannya yang putih segera merogoh sesuatu dari tasnya, tetapi ia terkejut seperti merasa ada sesuatu yang tidak tersentuh oleh jemarinya.
“Ini dompet ibu. Tadi saya lihat jatuh.”
Dengan perasaan terkejut, perempuan itu tersipu. Tadinya ia akan memberikan uang receh kepada gadis pemulung itu tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Iya benar, Nak, itu dompet ibu.”
Mayura tersenyum lalu meninggalkan perempuan itu yang masih ternganga tak percaya dengan pandang matanya. Butuh beberapa detik untuk perempuan itu pulih dari kesadarannya.
“Nak, Nak,” perempuan itu mengejar Mayura. “Ini, Nak, sekadar ucapan terimakasih ibu.”
Dua lembar uang seratus ribu ia keluarkan dan disodorkan kepada Mayura.
“Tidak usah, Bu, ayah saya mengajarkan untuk ikhlas menolong orang,” Mayura melangkah meninggalkan perempuan itu yang makin bertambah ternganga dengan kebersihan hati anak kecil seusianya.
“Sebentar, Nak! Terimalah, ibu ikhlas memberikannya,” sembari uang itu dilekatkan di genggaman Mayura.
Mayura terdiam. Perempuan itu menganggukkan kepalanya lalu tersenyum meninggalkannya.
***
Mayura bergegas kembali ke bantaran sungai dekat jembatan kereta. Ia baru saja membelikan obat demam dan sebungkus nasi uduk dengan lauk ayam goreng untuk ayahnya. Mayura sendiri akan makan lontong yang ia temukan di tong sampah stasiun. Sementara sisa uang yang diberikan perempuan muda tadi akan dijadikan simpanan jika sewaktu-waktu hasil memulungnya tidak beruntung, maka dapat ia pergunakan untuk membeli makanan.
Pagi itu tak seperti biasanya. Jalan menuju jembatan kereta dikerumuni lelaki dan perempuan serta anak-anak. Tampak beberapa petugas seperti ikut membaur di tengahnya. Mereka sedang melihat-lihat ke arah bantaran sungai di bawah pohon ketapang.
“Ayah.”
Seketika Mayura teringat tempat yang dipenuhi orang-orang itu adalah letak ayahnya tertidur. Gadis kecil itu meletakkan karung yang berisi barang bekas ke tepi rel kereta lalu berlari menerobos kerumunan orang-orang. Seorang lelaki tampak meringkuk dengan kedua tangannnya seolah-olah sedang memeluk, sedang merengkuh, mirip saat pagi tadi ia dengan hati-hati meloloskan tubuhnya dari dekapan ayahnya itu.
“Ayah, ini Mayura datang membawa sarapan pagi dan obat. Ayo bangun ayah, nanti ayah pasti sembuh,” berkali-kali Mayura menyeru, memeluk-meluk dan membangunkan ayahnya.
Akan tetapi lelaki itu tetap diam. Orang-orang terenyuh menyaksikannya. Seorang petugas mendekati Mayura dan membujuknya dengan sangat halus.
“Ayahmu sudah tenang dipelukkan Tuhan. Ikhlaskan saja ya, Nak, agar ayahmu segera menuju surganya,”
Mayura kemudian jatuh terkulai. (*)

Tiang Lampu

Cerpen Junaidi Khab (Kedaulatan Rakyat, 26 November 2017)

Tiang Lampu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Tiang Lampu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
RUANGAN itu tampak dipenuhi oleh sanak keluarga Kurnia yang sedang sakit. Tetangga dekatnya pun ikut membesuk ke rumah sakit. Kurnia kecelakaan di salah satu jalan pelosok saat mengendarai mobil. Jalan itu tidak ramai, juga ada banyak polisi tidur. Tapi, Kurnia bisa menabrak tiang lampu. Mobilnya penyok dan Kurnia harus dirawat di rumah sakit. Sementara teman-temannya baik-baik saja.
“Kamu tak perlu berusaha bunuh diri kalau bawa lari uang ayahmu,” kata Sumina, ibu Kurnia saat hanya tinggal berdua di rumah sakit. “Kalau begitu, kan begini jadinya, kamu harus masuk rumah sakit.”
“Iya, Bu,” kata Kurnia merengak kesal. “Tapi, uangnya sudah habis.”
Sumina terdiam mendengar Kurnia berkata jujur. Uang itu bisa buat kuliah sampai S3. Tapi meski Sumina curiga, saat itu dia tak membicarakan kecurigaan dalam kecelakaan anak semata wayangnya.
“Untung kamu tak menabrak tiang listrik,” kata Sumina mencoba memancing Kurnia agar bercerita.
“Tiang listrik, Ma…”
“Bukan, itu tiang lampu,” kata Sumina sedikit kesal. “Coba kamu tabrak tiang listrik yang ada gardunya itu. Kamu bisa mampus!”
Kurnia tertegun. Dia tak habis pikir rencananya sebodoh itu. Hanya menabrakkan mobil pada tiang lampu. Itu pun dilakukan di jalan sepi yang tak mungkin pengemudi mobil menabrak dengan cepat. Kecuali memang disengaja. Dia sedikit cemas, takut rencananya terbongkar. Teman-temannya belum diberi tahu agar tak buka mulut jika ibunya menanyakan peristiwa ganjil itu.
***
Malam sudah turun ke bumi saat Kurnia baru bisa dibawa pulang dengan kursi roda ke rumahnya. Suasana rumahnya masih dipenuhi anggota keluarganya yang tak sempat membesuknya ke rumah sakit. Kekhawatirannya semakin tinggi saat mendengar suara teman-temannya di luar kamar. Sakitnya seakan menjadi-jadi.
“Awas, kalian jangan buka mulut!” kata Kurnia geram setengah meringis karena sakit pada dahinya.
“Tenanglah, Kur,” kata Aris berusaha menenangkan. “Tapi, apa tidak mencurigakan? Hanya kamu yang parah, sementara kami tidak apa-apa.”
“Nah, itu…”
Pembicaraan Kurnia terhenti saat pintu kamarnya terkuak. Ayahnya masuk dengan raut wajah datar. Sementara teman-temannya yang membesuk menepi ke pinggir kamar. Mereka seperti sungkan pada ayah Kurnia yang tampak datar. Wajah mereka tertunduk ke arah lantai.
“Jadi benar itu murni kecelakaan?” tanya Ayah kurnia dengan menatap ke lantai sembari berdiri dan memasukkan dua tangan pada saku celananya.
“Ayah, itu benar-benar murni kecelakaan!” kata Kurnia.
“Lalu, kenapa hanya kamu yang terluka? Parah lagi. Kalau mau mencelakakan diri ya di tempat yang pas agar mampus sekalian! Bukan nabrak tiang lampu. Kalau begini, membuat ribet orang saja kamu ini!”
Keadaan kembali hening. Teman-teman Kurnia seperti tak memiliki kosa-kata yang tepat untuk dikatakan. Hingga, ayah Kurnia duduk di salah satu kursi. Lalu, teman-teman Kurnia pamit pulang. Meski tak ada jawaban, ayah Kurnia tetap memberi nasihat dan seakan tahu rencana yang dibuat oleh anaknya sendiri. Kurnia hanya diam menyesap kata-kata ayahnya sendiri yang membuat dia seakan telanjang bulat.

*) Cerpenis asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Tinggal di Yogyakarta.

Kopi Sebelum Kau Lupa, Luka Kata, Sangkar Bibir, dan Lainnya

Puisi-puisi Mohammad Isa Gautama (Padang Ekspres, 26 November 2017)
Kopi Sebelum Kau Lupa, Luka Kata, Sangkar Bibir, dan Lainnya ilustrasi Google.jpg
Kopi Sebelum Kau Lupa, Luka Kata, Sangkar Bibir, dan Lainnya ilustrasi Google

Kopi Sebelum Kau Lupa


kekasih, akulah serbuk yang sabar dalam luka menyamar
setiap pagi runtuh, cintamu tak utuh
di gelas cawan

bulan bertengger, kopi mendingin
comberan meluap, drainase penuh
kenangan melibas, keinginan berpiuh

menyiram kepedihan
menimbun luka penguasa, kopi tersedu sebelum berkubur
di balik marka merekam kelu bohemian

memadatkan percumbuan, berita tergagap
TV tak pernah berjanji
kebun tempat kopi

adalah lapangan tempat anak-anak bermain bola
kecemasan para demonstran
merayap mencuri jadwal

di sela percintaan para pemangsa
lupa cara menyeruput kopi
adalah setiap pagi belajar kesetiaan

Padang, Desember 2016

Luka Kata


malam menyelusup ke ceruk terdalam jantungmu
ingin jadi burung yang terbang ke lembah diriku
kutolak, menukarnya dengan puntung kelu

lantas laron pun paham, kenapa setiap perhentian
adalah jurang yang menitipkan gelombang awan
tak henti bergerombol dalam topan

membiarkan jalan terentang ke gebalau arah, tanpa alarm
meski kau pancang demarkasi perpisahan
terus menggerus humus bagai lampion merawan

merasa hampa bersua, di jalan tanpa udara

luka tertambat di kapal lama
tempat seluruh jantung berhenti
menulis alamat kata

Padang, Desember 2016

Sangkar Bibir


kenapa tak pernah kau peluk aku dalam rekah bibirmu
bukankah sudah kuperkenalkan tempat orang tak henti mengaum
memamah ransum

di mana-mana kamera manusia memungut recehan
bagai mengepung murung
berpesta dalam warna tak berujung

tak secuil pun lisptikmu terseka
dalam terowongan waktu tak berjarum
kita tarikan penuh khidmat etalase majnun

dan orang-orang dari surga hinggap mengipaskan hawa
esok harus tetap terjaga, duduk menukar huruf
karena malam semakin cepat, pagi selamanya ada

terpenjara dalam sangkar bibir sesiapa
yang selalu punya jawab seluruh mimpi penguasa
melempangkan karpet merah kepura-puraan yang kau sulap jadi tembaga

Padang, Desember 2016

Burung-burung Pantai (2)


seseorang merasa burung dalam dadanya telah terbang
mengitari pantai paling sunyi

padahal belum sempat dilukisnya matahari yang menangis
ditinggal percakapan Nabi
yang mengajak manusia gemar
menulis riwayat kebaikan

seseorang merasa kebaikan-kebaikan telah meleleh
menjadi sumpah serapah yang bertebaran dalam gawai
karena gawai yang terbeli kala kerusuhan
menjanjikan surga paling berkilauan

Nabi-nabi tak pernah merasa bahwa burung-burung telah
bersua dengan kesedihan para gawai
karena gawai-gawai itu tercipta bukan dari benih-benih
luka yang sembunyi di rusuk air mata para Nabi

Batusangkar, Juni 2017

Bukan Karena Darah


ini bukan karena darah yang kusimpan
adalah bait-bait yang tertulis di musim lampau
melainkan karena kecambah yang kau rawat di pori hitam
meriap bau tanahnya, hinggap di musim sengau

lalu waktu membentangkan persimpangan pertemuan
bagai ular meranggas di balik bisa kata
terluka menatap jantung dengan rupa drakula
bersemi dalam rumah penuh badai lama

ini bukan berarti mataku berhenti menjilat wajahmu tirus
tapi sajak mesti selesai di nada tak berbentuk
suatu waktu kau tak butuh lagi kalimat berawalan ‘harus’
karena siapa pun selalu butuh terantuk

mencungkil seluruh lembah yang pernah terhampar
bukan untuk menerka seberapa dangkal kau lempar kepurapuraan
dunia akan terus berputar dengan banyak dentuman
Tuhan pun kadang tak ingin membuatmu temukan jawaban

Padang, September 2017


Mohammad Isa Gautama, kelahiran Padang, 1976, adalah penyair yang kini berkhidmat sebagai pengajar di Universitas Negeri Padang. Sajak-sajaknya dimuat di Republika, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Bali Pos, Indo Pos, Lampung Post, serta 20-an antologi bersama, di antaranya Slonding (Yayasan Selakunda, Bali, 1998), Dari Bumi Lada (Dewan Kesenian Lampung, 2000) dan Origins (Ubud Writers and Readers Festival 2017).

Pareidolia Hujan, Kereta Akhir September Basah, Dieng

Puisi-puisi Ardy Priyantoko (Kedaulatan Rakyat, 26 November 2017)
Pareidolia Hujan, Kereta Akhir September Basah, Dieng ilustrasi Google.jpg
Pareidolia Hujan, Kereta Akhir September Basah, Dieng ilustrasi Google

Pareidolia Hujan


Aku tidak percaya
jika hujan lekat dengan kenangan
dan ingatan-ingatan tentang masa lalu.

Bagiku, hujan adalah wujud lain dirimu.
Yang pada setiap rinai dan kecipaknya
dapat menerjemahkan wajah tirusmu.

Jejak Imaji, 2 November 2017

Kereta Akhir September Basah


Sekitar Lempuyangan, deret kaki lima begitu ramai
orang lalu lalang datang kemudian pergi,
musik dangdut, koplo, campursari tidak mati-mati.

Ini sekian kali kulewati jalan yang terburu-buru,
sesak gelisah, dan sedikit senyum pura-pura.

Pada akhir September basah yang sesekali memerah
sebelum kereta melintas di tepi jalan yang resah,
waktu tetap menggulir sebagaimana degup dada berdesir.

Di salah satu sudut simpang palang pintu kereta
anak-anak putus sekolah berlarian,
menghitung gerbong yang berlepasan.

Mereka tertawa, menyelipkan impian
ke dalam saku celana yang berlobang,
ke dalam kecemasan yang melaju
secepat lintas kereta menuju stasiun selanjutnya.

Jejak Imaji, September 2017

Dieng


Sebentang jalan memanjang.

Aroma pupuk kandang dan belerang
seperti kasihku padamu, kangenku.
Tak akan hilang meski embus angin
secepat detik waktu yang terburu.

Kesiur pohon dan sayur mayur
tak akan sunyi, meski musim banal
bikin panen gagal dan petani sebal.

Kangenku padamu, kasihku
merawat segala yang hangat,
sedang dingin, adalah ihwal
yang membikin kita tetap terjaga.

Jejak Imaji, Oktober 2017


*) Ardy Priyantoko, lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Bergiat di Jejak Imaji dan Komunitas Sastra Bimalukar. Mengabdi di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.

Arloji

Cerpen Tjak S. Parlan (Padang Ekspres, 26 November 2017)
Arloji ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Arloji ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Ia membatin tak keruan dan mulai mengumpat dengan suara yang berusaha ditahannya sedemikian rupa.
“Anjing!”
Seorang laki-laki yang sendirian di meja sebelahnya, menoleh dengan mimik keheranan.
“Oh, maaf. Saya baik-baik saja. Ini hanya bir.”
Laki-laki itu tersenyum dan mengangkat gelasnya. Ia merasa lega dan menyambut salam itu dengan mengangkat gelasnya sebelum mengeloyor ke toilet.
Di toilet ia menguras semuanya. Bir itu telah membuat perutnya terasa begah dan tubuhnya limbung. Ia tak pernah duduk sendirian dan minum begitu banyak. Ia tak pernah tahu rasanya sampai ia menuang gelas pertamanya, lalu gelas berikutnya, gelas berikutnya lagi, dan lagi.
Malam itu ia telah dipanggil pemimpin perusahaan di kantornya. “Perusahaan memutuskan untuk memangkas biaya produksi. Maka pilihannya adalah media online. Ini sebuah kecenderungan masa kini.”
Ia mengingat dengan jelas apa yang disampaikan berikutnya. “Ini bukan pesangon. Hanya semacam rasa terima kasih karena sudah bergabung dengan kami sejauh ini.”
Begitulah yang terjadi, malam itu ia kehilangan pekerjaannya. Ia telah bergabung sejak surat kabar itu dicetak dalam halaman-halaman hitam putih yang menampilkan foto-foto agak kabur. Namun teknologi cepat berubah, perusahaan mendatangkan mesin baru yang bisa membuat semua halaman koran menjadi berwarna dan menyulap foto-foto mendekati warna aslinya. Ia begitu bersemangat, dan semakin yakin bahwa menjadi layouter bukanlah pilihan hidup yang terlalu buruk. Tapi begitulah, teknologi cepat berubah, orang-orang terlalu malas untuk memegang kertas sehingga memilih membaca berita-berita seadanya melalui gadget.
On-len,” gerutunya. “Hah, yang namanya koran itu dicetak pakai kertas. Terus kertasnya dipegang. Dibaca, Bung!”
Tiba-tiba ia tertawa sendiri dan berhenti ketika bahunya ditepuk seseorang. “Menghayalnya di depan, Bung. Ini tempat orang kebelet.”
Ia paling tak suka jika bahunya ditepuk-tepuk, karena baginya itu hanya muslihat seseorang untuk memberi penglipuran padanya saja.
“Sabar, Bung,” ujarnya seraya menatap tajam kepada penepuk bahu itu.
Masih dengan tubuh yang limbung ia berjalan meninggalkan toilet itu dan menemukan seorang wanita di mejanya.
“Apa saya salah meja?”
Wanita itu mendongak sebentar kepadanya.
“Oh, maaf. Saya menunggu teman.”
Tak berapa lama, seorang laki-laki bergabung di mejanya— jika tak salah ingat, laki-laki itu adalah laki-laki yang mengangkat gelas untuknya tadi. Ia tak bisa menolak ketika laki-laki itu menuangkan sesuatu ke dalam gelas.
“Kali ini jekdi saja, ya?”
Ia masih bisa melihat huruf-huruf pada botol minuman yang diletakkan di depan laki-laki itu: Jack Daniels!
“Angkat lagi, Bung!”
Tanpa ragu-ragu ia pun mengangkat gelas itu. Disusul dengan gelas-gelas berikutnya, mereka bertiga semakin akrab. Sesekali ia berusaha mencari-cari alasan apa yang menyebabkan kedua orang itu berada di mejanya. Ia tahu, beberapa orang tak butuh alasan untuk pergi ke sebuah bar dan bergabung dengan siapa saja. Untuk dirinya sendiri, sangat jelas: 1) ia sangat mencintai pekerjaannya dan malam itu ia telah kehilangan begitu saja, 2) hubungan dengan istrinya baru saja membaik dan ia ingin mengukuhkannya dalam sebuah kesempatan yang tepat, 3) itu beberapa jam menjelang ulang tahun istrinya yang ke-35 dan ia ingin memberinya sebuah kejutan.
Tapi di kesempatan berikutnya ia berhenti mencari tahu alasannya. Sejauh ini—di tempatnya duduk—semua berjalan dengan baik. Ia bisa tertawa lepas ketika laki-laki itu menceritakan sebuah lelucon. Sementara, wanita itu lebih sering tersenyum dan tak putus-putusnya merokok. Beberapa kali wanita itu menawarkan rokok kepadanya namun ia menolaknya. Sudah lama ia berhenti merokok dan berjanji tak akan merokok lagi selamanya.
“Takut gangguan impotensi, ya?”
Dia tergelak oleh pertanyaan wanita itu. Ketika ia memutuskan berhenti merokok, yang dipikirkannya bukan masalah impotensi. Ia hanya merasa tak enak jika setiap pulang dari kantor, istrinya meyarankannya agar ke kamar mandi untuk mencuci tangan, mulut, dan mengganti pakaiannya yang beraroma rokok terlebih dulu sebelum memasuki kamar.
“Atau serangan jantung?”
Wanita itu meniupkan asap lembut ke wajahnya, lalu menyentuh dada kirinya dan mencengkeramnya, mengajaknya turun bersama beberapa pengunjung lainnya yang mulai terpengaruh oleh musik yang menghentak.
Tapi ia menolak ajakan itu. Ia mengatakan pada wanita itu bahwa dirinya belum cukup mabuk dan itu membuatnya tak cukup percaya diri. Musik semakin menghentak. Wanita itu memilih lesap dalam kerumunan remang orang-orang. Sementara itu, laki-laki di sampingnya telah menuang kembali gelas berikutnya.
“Ia bersama saya, Bung. Kalau menginginkannya, ikutlah bersama kami,” bisik laki-laki itu.
Ia berusaha menepis bahwa ada sebuah gelombang dahsyat dalam dirinya: bahwa ia sama sekali tak menginginkan–katakanlah—sebuah petualangan di ranjang pada malam keparat seperti itu?
Jekdi keparat!”
“Bagaimana, Bung?”
“Oke!”
“Apanya yang oke?”
“Keparat ini yang oke!” ujarnya seraya mengangkat gelas itu lagi.
Lalu mereka berdua pun tertawa.
“Berapa?”
Laki-laki itu membisikkan sebuah angka yang membuatnya tertawa. Betapapun begitu, ia sempat mengingat-ingat jumlah uang yang ada di dompetnya. Ia menerka jumlah pesangon dari kantornya yang belum sempat dihitung: amlop itu tipis! Namun ia berharap itu bisa cukup untuk membelikan sebuah hadiah istimewa untuk istrinya.
“Kita cabut! Lanjut di hotel.”
Tiba-tiba, wanita itu sudah berada di depannya dan tampak lebih seksi.
“Bagaimana, Bung?” ujar laki-laki itu .
“Boleh,” jawabnya tanpa pikir panjang.
***
Setibanya di hotel, laki-laki itu segera meninggalkan kamar. Ia merasa memang seharusnya laki-laki itu pergi saja. Ia hanya menginginkan wanita itu.
“Masih butuh yang dingin?” ujar wanita itu seraya mengulurkan sekaleng bir yang baru saja diambilnya dari kulkas. “Sekaleng dulu, sebelum tidur…”
Saat wanita itu membuka kaleng bir dengan tangan kirinya, ia memerhatikan sebuah arloji yang melingkar pantas di tangannya. Tiba-tiba ia merasa telah mendapatkan ilham.
“Arloji itu terlihat pantas di tanganmu. Cantik.”
“Oh, ini, saya cukup menyukainya. Hadiah darinya.”
“Oh, kalian pasti sepasang …”
“Kalau kamu berpikir kami memiliki sebuah hubungan, itu sudah berakhir. Kami memang pernah saling membutuhkan. Itu saja.”
Ia tak bisa mencerna penjelasan wanita itu. Mungkin karena alkohol. Mungkin memang ada jenis-jenis hubungan di dunia ini yang tak perlu dimengerti olehnya.
Terdorong oleh hasrat yang nyaris tak terkontrol, ia segera menyesap bir dingin itu.
“Saya ke kamar mandi dulu,” ujar wanita itu.
Selama wanita itu di kamar mandi, pikirannya benar-benar kacau. Ia membayangkan bagaimana kalau melakukannya di kamar mandi saja. Wanita itu pasti tak akan menolak. Jangan-jangan ‘ke-kamar-mandi’ itu adalah sebuah kode. “Jadi, kenapa tak menyusulnya saja?” gumamnya.
Ia berdiri dan berusaha berjalan. Namun tubuhnya benar-benar tak seimbang. Kamar mandi itu terasa begitu jauh dari jangkauannya. Semakin ia berusaha sampai ke sana, tubuhnya semakin limbung. Lalu ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pandangan matanya— gelap dan segala yang di sekitarnya berputar-putar. Pada detik terakhir sebelum ia tersungkur, ia sempat melihat sosok wanita itu muncul dari pintu kamar mandi.
Keesokan harinya, ia menemukan dirinya meringkuk di ranjang dalam kondisi telanjang bulat. Ia begitu panik dan segera memeriksa jaket dan celananya yang teronggok di lantai. Sebuah amplop yang ia selipkan di saku jaketnya masih berada di tempatnya dan utuh. Ia juga memeriksa dompetnya dan tidak ada satu pun yang hilang. Hal itu membuatnya sedikit tenang. Namun setelah ia berhasil mengumpulkan seluruh ingatannya, ia begitu menyesal. Saat ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, ia menemukan sesuatu tergeletak di pinggir wastafel. Ia berusaha untuk tak percaya pada ingatannya.
“Ini sepertinya arloji wanita itu. Tapi ke mana dia?” pikirnya.
Menyadari bahwa benar-benar tak ada seorang pun di kamar itu selain dirinya, ia segera berkemas. Saat ia menyerahkan kunci dan akan membereskan urusan sewa kamar, seorang resepsionis mengatakan padanya bahwa semuanya sudah diselesaikan.
“Sudah semuanya, Pak. Dia minta maaf tidak membangunkan Anda, karena terburu-buru mengejar penerbangan pertama pagi tadi.”
Ia hanya bengong mendengar apa yang dikatakan resepsionis itu. Ia sempat berusaha mencari tahu identitas wanita itu, tapi resepsionis itu menolaknya dengan halus.
“Maaf, Pak. Kami sudah berjanji untuk tidak mengatakannya.”
Lalu dengan kepala yang masih terasa berat dan dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan, ia meninggalkan hotel itu.
***
Sebelum tiba di rumahnya siang itu, ia sempat berkeliling ke beberapa tempat untuk mencari arloji yang sejenis dengan milik wanita itu. Namun di semua toko arloji memberi penjelasan bahwa jenis yang diinginkannya itu tergolong langka. Maka ia memutuskan untuk mengajak istrinya saja agar bisa memilih sendiri hadiah ulang tahunnya. Ketika ia hendak menyampaikan maksudnya, istrinya tiba-tiba menghambur ke arahnya seraya memamerkan sesuatu.
“Sayang, terima kasih banyak hadiahnya. Saya suka sekali arloji cantik ini. Kamu ternyata pandai membuat kejutan.”
Tingkah istrinya itu membuatnya tersadar bahwa ia telah menaruh arloji itu di atas meja rias istrinya sebelum dirinya ke kamar mandi. Ia takjub menatap arloji cantik itu melingkar pantas di pergelangan tangan istrinya. Tapi sebentar kemudian ia merasa bimbang. Ia tak bermaksud memberikan barang temuan itu kepada istrinya. Ia akan terus merasa bersalah jika melakukan hal semacam itu.
“Tapi ini pasti mahal,” ujar istrinya, “apa saya meminta terlalu banyak?”
Ia tersenyum mendapati wajah bahagia istrinya. Saat istrinya memeluknya, ia membalasnya dengan erat. Lalu begitu saja, kepalanya terkulai di bahu istrinya. ()

Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Cerpen dan puisinya telah dikabarkan di sejumlah media. Buku kumpulan cerpennya ‘Kota yang Berumur Panjang’ akan terbit bulan Desember 2017. Mukim di Mataram-Nusa Tenggara Barat.

Nasihat-nasihat Pemandu Nasib

Cerpen Fajar Martha (Radar Surabaya, 26 November 2017)
Nasihat-nasihat Pemandu Nasib ilustrasi Radar Surabaya
Nasihat-nasihat Pemandu Nasib ilustrasi Radar Surabaya
Ular besi raksasa membelah kemacetan Jakarta. Kereta Senja Utama tujuan akhir stasiun Tugu itu tak terlalu penuh. Libur panjang telah usai. Tahun telah memulai lagi kesibukannya yang baru. Kesibukan yang membuat kota istimewa itu dibanjiri pendatang dan derasnya investasi.
Seraut wajah bersandar di jendela yang berembun. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Kereta belum melewati Bekasi. Sejak melaju dari Senen, gadis itu membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan lagu-lagu dari iPod. Sekotak susu dingin ukuran 1 liter dan The Well of Loneliness karya Radclyffe Hall tergeletak di pangkuan.
Kombinasi denyaran lampu, bising klakson, serta tetesan air dari langit semakin membuatnya tenggelam, mengacuhkan suasana dalam gerbong yang masih riuh. Di Cikampek nanti, para pengasong akan berduyun-duyun masuk menjejali kereta. Ia berharap matanya telah terpejam sebelum saat itu tiba.
“Kuliah di Jogja, ya?” Sebuah suara menghentaknya.
Seraya membenahi posisi duduk dan poni yang semrawut, ia pun tersenyum sopan. Tanpa bersuara, ia mengangguk, sebagai isyarat tak ingin diganggu.
“UGM? UNY? UPN?”
Isyaratnya gagal.
“Ekhm,” desahnya guna melegakan kerongkongan, “UGM, Mas.”
“Wah, kita satu almamater,” lelaki itu telah menjajarkan diri di hadapannya. “Saya Ari, Teknologi Pangan 2007. Suka, ya, balik ke Jogja mepet begini? Namamu?” Lelaki itu menyodorkan tangan dengan senyum merekah. Ia tahu percakapan akan berlanjut lebih panjang.
“Mia. Filsafat 2008.”
“Kok baru balik? Bukannya sekarang jatah angkatanmu jadi panitia ospek fakultas? Dulu pas jatah angkatanku, sih, wuiiih, aku sudah di Jogja sebulan sebelum masa ospek. Aku nggak apa-apa, kan, ‘ber-aku-kamu’? Kebiasaan, je. Kos di mana?”
“Iya, nggak apa-apa, Mas Ari.” Mia tersenyum. Jogja memang berbakat mengubah orang. “Saya malah risih sama anak-anak Jakarta yang ‘ber-elo-gue’ di sana. Saya tinggal di Minomartani, Mas, sama kenalan bapak saya.”
“Nah, sepakat! Numpang di kota orang kok nggak mau melebur dengan budaya setempat. Maunya kumpul-kumpul sama teman satu daerah saja. Eh, agak jauh ya itu kalau ke kampus. Sebelah mana pemancingan?”
Setelah ia teliti, tampang si Ari ini lumayan juga. Berantakan, khas mahasiswa, tapi wangi. Bibirnya merah basah, menandakan ia bukan perokok. Nilai plus di mata Mia.
Setelah memberi gambaran tentang tempat tinggalnya—yang berjarak pendek dengan pemancingan yang dimaksud, lelaki itu mencerocos mengenai kesibukan-kesibukannya. Walau dari kampus yang sama, alam mereka ternyata berbeda. Percakapan yang awalnya berlangsung hangat—berkat kondisi gerbong yang sepi—menguap ketika Ari mempertanyakan alasan Mia memilih filsafat. Walau masih bertingkah sopan, Ari bahkan lancang menasihatinya untuk pindah jurusan. Umur Mia masih cukup untuk mengikuti lagi seleksi masuk perguruan tinggi nasional.
Mia pura-pura sibuk dengan ponsel, lalu membuka novel yang sebenarnya tak terlalu ingin ia baca.
“Mas, saya boleh minta tolong?” ujar Mia.
“Ya boleh, dong. Apa, tuh?”
“Bangunkan saya kalau sudah sampai Purwokerto, ya. Ada ibu penjual nasi pecel enak langganan saya. Sekarang belum lapar.”
Jika tidak tidur, ia akan mendebat Ari dengan sengit. Ia paham ke arah mana nasihat Ari akan mengalir; seperti peluang mendapat pekerjaan dari jurusan yang dipilih, atau bahaya mempelajari filsafat bagi keimanan seseorang. Mia capek.
Ari, tanpa bicara, mengacungkan jempol kanan. Perjalanan mereka masih panjang. Kereta baru saja melewati Cikampek.
***
Baru dua puluh menit yang lalu suasana di dalam masjid ini riuh dan khidmat. Kini, keriuhan itu bercampur ketegangan. Orang-orang gusar dan panik: mempelai wanita raib beberapa saat menjelang akad nikah.
Mempelai pria bingung luar biasa. Hatinya pontang-panting. Suasana semakin kacau ketika ia melihat pamannya mencekik salah satu anggota keluarga mempelai wanita. Ia menggenggam ponsel meski tahu benda tersebut takkan bisa membantu. Songkok hitam mengilat telah ia empaskan ke lantai. Pesta telah usai sebelum benar-benar dimulai, seperti anak merpati yang mati sebelum mampu terbang.
Nanti siang tamu-tamu pesta akan hadir. Apa yang harus dikatakan kepada mereka semua, kepada pengelola gedung, kepada petugas katering? Haruskah ia lari juga, seperti perempuan yang gagal ia nikahi?
“Bung, kita ke serambi saja dulu, sama kawan-kawan.” Sebuah tangan menggamit lengannya. Tubuh telah sepenuhnya dibasahi keringat dingin. Ketika berbalik, ia melihat lima kawan dari masa kuliah memberinya tatapan iba.
***
Perempuan 29 tahun itu terus sibuk di depan laptop. Jari-jarinya menari lincah di atas kibor. Sesekali ia menggigit bibir, menandakan sedang berpikir keras merangkai kata-kata. Cahaya di monitor ia redupkan, berharap daya baterai akan tersisa lebih banyak. Saat kereta kembali melaju, ia beralih ke aplikasi pemutar musik, memilih lagu-lagu yang bisa menyemangatinya menulis.
Ia tersenyum. Telah enam bulan ia menulis kolom di portal Samsara. Ia tak menyana tulisan nonfiksinya bisa dikagumi banyak pembaca, yang membuatnya memiliki kolom khusus. Bayaran yang ia terima pun lebih banyak ketimbang kontributor lain. Pihak redaksi tidak memberi ketetapan yang ketat. Ia diperbolehkan menulis tema apa pun, dengan jumlah kata tak terbatas dan gaya tulisan manasuka. Ia cuma dituntut menyetor empat naskah per bulan.
Tiba-tiba ia tertegun. Manusia pasti bisa merasa ketika mereka diperhatikan orang lain meskipun tidak menatap sang pemerhati. Ia menoleh ke kiri. Setelah satu tarikan napas, ia tahu tatapan itu berasal dari pemuda tanggung berkemeja flanel.
Ketika ia merenggangkan kedua kaki yang terasa kaku, pemuda di kursi seberang itu mencondongkan tubuh ke arahnya lalu berkata:
“Permisi. Maaf, Mbak, kalau kurang ajar. Apalagi sepertinya Mbak sedang sibuk. Mbak Almira Kinanti, bukan, penulis novel itu?”
“Iya. Benar,” ujarnya sambil tersenyum dan menutup laptop. Ia mengulurkan tangan kepada sang pemuda, “Panggil saja Mia, biar akrab. Siapa namamu? Novel apa yang paling kamu suka?”
“Semuanya, Mbak!” balas pemuda yang lantas mengaku bernama Gio. Lalu, dari mulutnya meluncurlah komentar mengenai novel-novel Mia. Gio sesekali memberi penafsiran pribadi terhadap plot serta karakter-karakter dalam karya-karyanya. Mia takjub dengan kelincahan bocah ini berbicara.
“Ini Mbak, lihat! Saya selalu bawa novel Mbak yang ini. Lihat saja, sudah kusut dan lecek begini.” Gio mengulurkan novel itu dengan wajah berseri-seri. Mia tahu pemuda itu pasti akan meminta tanda tangannya. Ia pun mencari pulpen di tas jinjing, yang kemudian dilarang Gio. “Pakai pulpen saya saja, Mbak. Biar jadi pulpen kenang-kenangan. He he.”
Mia memandangnya lebih saksama. Bocah ini mengingatkannya pada sebuah peristiwa di lokasi yang sama; saat seorang lelaki asing mengajaknya bercakap-cakap, yang seenak jidat menasihatinya untuk pindah jurusan. Ia masih mengingat betul rupa lelaki itu; masih melekat benar kata-kata yang ia ucapkan di atas kereta malam itu. Setelah berupaya keras mengais memori, nama lelaki itu tetap tak dapat ia ingat.
***
Meski pun pagi mulai berseri, kendaraan yang melintas di Jalan Mangkubumi baru satu-dua. Sopir-sopir taksi, beberapa penarik becak, serta kaum tunawisma masih asyik melarikan hidup mereka ke alam mimpi. Mungkin karena ini hari Minggu.
Di sebuah warung soto, Fira dan Lani sedang duduk menanti pesanan masing-masing. Lani ingin mengajak Fira—yang baru tiba dari Jakarta—untuk sarapan di Soto Kadipiro. Tetapi sahabat lamanya itu sudah teramat lapar sehingga memilih makan di sini, beberapa meter dari gerbang stasiun.
Jemari Fira mengepal segelas teh panas. Pagi itu pagi yang dingin. Lani, bekas rekan kantor yang telah menjadi sahabat, hanya memandanginya dari sebelah. Setelah keduanya meniupi teh dengan canggung, Lani pun memulai percakapan.
“Aku nggak mau menghakimi. Tapi, biar bagaimana, tindakanmu itu nekat sekali. Kamu bisa tinggal bareng di kontrakanku.” Diambilnya sejenak jeda, “Fir, kamu bisa terus-menerus lari. Tapi, kamu pasti tahu, kamu nggak bisa sembunyi.”
Fira menyimak seraya mengeluarkan satu kotak susu berukuran 1 liter, lalu meminta gelas kepada pelayan soto. Di dadanya ada kecamuk.
“Iya, aku tahu,” katanya sambil membuka segel susu dan menuang isinya ke dalam gelas. Setelah satu tegukan kecil, ia menyentuh tangan Lani, “Terima kasih untuk bantuanmu, ya.”
Lani mengangguk seraya mengambil napas dalam-dalam. Udara segar memasuki tubuhnya yang letih. Semalam ia begadang. Saat hendak memulai tidur, telepon dari Fira menggagalkan rencananya beristirahat. Fira minta dijemput di stasiun. Mereka pernah kerja bersama waktu Lani merantau ke Jakarta.
Post hoc ergo propter hoc…” desis Fira.
“Maksudmu?” tanya Lani sambil mengangkat alis. Pesanan mereka telah tersaji di atas meja.
“Kamu masih ingat penulis Indonesia favoritku?” tukas Fira, belum menjawab pertanyaan Lani.
“Almira Kinanti?”
“Betul. Mia. Nah, belakangan dia punya kolom di portal Samsara. Semacam komentar sosial gitulah. Sebagai penggemar, pasti aku bacai semua tulisannya di situ. Akhir-akhir ini, dia banyak menulis tema pernikahan. Segar dan liar sekali. Ada kalimat-kalimatnya yang mengguncang kesadaranku, Lan. Istilah tadi merupakan salah satu jenis kesalahan berpikir. Bahasa Latin. Logical fallacy.”
“Terus…,” tukas Lani sambil mencampur sambal ke dalam mangkuk.
“Aku harus berani bersikap. Aku tahu yang kulakukan telah menyakiti semua orang, tidak hanya Ari. Aku iri dengan kamu, berani meninggalkan karier yang sedang menanjak demi mengikuti hati nurani. Kuharap ini jadi epifani bagi semua pihak….”
“Ini menyakitkan,” lanjut Fira, “Tetapi aku yakin Ari bisa bangkit. Dia harus bangkit. Ini caraku untuk membuka matanya. Aku bukan perempuan yang tepat untuk dikawini. Aku nggak mau aku menyesal telah menikahinya. Nasihat-nasihat Mia telah menyadarkanku, meski cara yang kupilih terlalu kejam.”
Lani merenung membisu. Ia hanya menelan kata-kata Fira. Tindakan sahabatnya masih sulit ia pahami. Namun, ia sadar, Fira sedang tidak butuh dinasihati. Lani pun melengos, menatap nanar ke jalan raya yang sebentar lagi ramai. (*)

*Penulis menghabiskan masa remajanya di Ponorogo, Bogor dan Jogjakarta. Kini tinggal di Jakarta.

Bekas Kudis

Cerpen Nita Juniarti (Rakyat Sumbar, 25-26 November 2017
Bekas Kudis ilustrasi Rakyat Sumbar.jpg
Bekas Kudis ilustrasi Rakyat Sumbar
DI RUANG yang tidak bertepi, Risqi tertegun dalam kehampaan yang mengikat raganya. Di sentuhnya tirai waktu, ini sudah berlalu tiga belas tahun yang lalu sejak kejadian itu. Waktu berputar seolah menenggelamkan luka basah yang kini menjadi bekas kudis saja.
Foto-foto lelaki itu berserak di lantai, ditatap dengan mata nanar oleh Risqi. Mata itu sudah lama memerah menyimpan semuanya sendiri. Nama itu jelas masih terpatri di ingatannya hingga tahun-tahun melewati lembar kisah hidupnya. Bayang tentang pemilik nama seakan mengikut ke mana pun ia pergi; di pantai, tikungan, pohon-pohon, kabut dan lainnya, namun sebenarnya bayang itu tidak penah di sana, hanya tersangkut di bulu matanya sehingga tidak pernah tinggal meski waktu sudah berlalu tiga belas tahun.
Gravitasi memang tidak bertanggung jawab atas orang yang jatuh cinta, maka walau didera waktu setiap tahun, ia masih lekat mengingat lekat sosok itu, seperti cinta kadang luka diingat lebih dalam lagi, apalagi meninggalkan bekas kudis yang besar.
“Menawarkan diri untuk memimpin negeri ini?” gumamnya dalam kesendirian.
Ia kembali menatap foto-foto yang berserak di lantai, beberapa mempunyai tulisan visi dan misi “rakyat akan saya sejahterakan, saya berikan gajah dan kuda”. Risqi kembali menyengir sinis menatap foto gambar lelaki berusia empat puluh lima tahun itu.
“Kanda, kenapa melamun saja di sini?” Istrinya entah sejak kapan sudah ada di sampingnya.
“Sedang melihat hasil survey para sarjana, Dinda.”
“Wah, bukankah ini foto pak Burek? Calon gubernur itu?” tanya istrinya.
Ia hanya menyengir tipis, agar istrinya tidak banyak bertanya tentang pekerjaannya. Ia telah menyimpannya sendiri, kisah kudis itu hingga 13 tahun waktu berlalu, tidak diceritakan pada siapa pun.
“Kanda, makanlah dulu, nanti baru mengurus pekerjaan lagi.”
Istrinya menatap tumpukan kertas yang menggunung, menyadari suaminya akan lupa makan jika terus menatap kertas-kertas itu.
“Nanti Kanda menyusul Dinda, pergilah dahulu.”
Risqi menyahut sesopan mungkin pada istrinya agar istrinya tidak membaca gejolak emosi dari dalam jiwanya. Istrinya mengangguk lantas pergi meninggalkan Risqi yang pura-pura berkutat dengan kertas-kertasnya, padahal matanya tidak lepas dari foto “Burek-Calon Gebernur” itu.
Risqi mencoba mencari rokoknya, tidak ada. Ia sedikit stres sampai harus merokok, itulah kebiasaanya. Ia meraih permen, dua bulan lalu ia dan istrinya bertengkar hebat karena anak mereka yang berusia satu bulan mengalami gangguan penapasan akibat keseringan digendong ayahnya saat merokok. Entah bagaimana ini bisa jadi salahnya, namun itulah yang dikatakan dokter. Risqi menghela napas panjang, matanya memerah.
Tiga belas tahun lalu adalah masa terberat di negerinya, presiden negeri ini terlalu berbaik hati ketika semua rakyat memohon dan mengiba untuk perdamaian dengan suara lantang dan kekuatan besar malah menjadikan negerinya daerah militer. Di mana-mana orang menggunakan senjata dan seragam pengaman negeri, rumah-rumah yang dianggap pemberontak diberi tanda X besar dan catnya berwarna merah, laki-laki sering naik dan turun gunung karena jika saja mereka ketauan ada di rumah ada dua kemungkinan yang akan terjadi: mati atau menjadi budak yang dipukuli, jika bernasib baik akan dijadikan mata-mata untuk kepentingan pihaknya.
Hari itu, tiga belas tahun yang lalu. Risqi dan beberapa teman sebayanya sedang bermain di halaman rumah, tiba-tiba saja sekelompok orang bersenjata datang dan membuat kegaduhan di sana. Risqi ketika itu baru berusia sepuluh tahun, suara senjata dilepaskan, beberapa orang berteriak. Agam, teman Risqi berlari kencang dengan niat berlindung ke rumahnya yang dekat dengan tempat bermain mereka namun malaikat maut yang sudah mengintainya sejak sejam lalu mengambil kesempatan itu, Agam terkena peluru nyasar, ia jatuh bersimbah darah.
Senjata berhenti berbunyi lima belas menit kemudian, Agam segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit terdekat kewalahan, mereka punya banyak pasien karena peluru nyasar, pasien yang akan melahirkan, pasien terkena penyakit ringan hingga yang berat, tapi di sana lebih banyak lagi pasien yang frustasi. Negeri Risqi hanya punya satu rumah sakit dan itu satu-satunya, tidak ada rumah sakit lain yang menangani semua penyakit dari yang waras hingga yang gila. Agam mengap-mengap, napasnya satu-satu, perawat berlari, entah apa yang mereka buat hingga darah Agam ditampung sampai sepanci banyaknya, Risqi bergidik ngeri sambil terus berdoa agar Agam selamat.
Kekacauan itu terus berlanjut selama tiga jam, orang-orang Desa berdatangan ke rumah sakit, rasa takut mereka bunuh dengan jiwa sosial. Situasi carut-marut, seorang laki-laki berambut panjang dengan tampang mengerikan dan memanggul senjata datang tergesa-gesa, usianya ketika itu kira-kira 32 tahun, masih muda dan gagah.
“Pindah semua, jangan ada yang menangisi keadaan ini. Ini hanya selingan di jalan juang yang panjang. Agam hanya akan menjadi pahlawan jika nanti kita sudah makmur dan sejahtera.” Kata lelaki itu, berusaha menengahi kegaduhan dengan ujung senjatanya.
Risqi jengah apalagi melihat mata Agam sudah fokus ke atas dengan darah yang keluar terus menerus dari bekas lukanya.
“Harus ada yang berjuang untuk kesejahteraan,” kata lelaki itu lagi, tidak ada masyarakat yang berkutik, semuanya manut dan adem ayem.
Risqi sudah menyerah hingga ia berdoa agar Agam cepat menemui ajalnya tanpa merasakan sakit yang berkepanjangan lagi.
“Burek, apa yang kamu lakukan? Kita semua sedang berusaha menyelamatkan Agam bukan berbesar mulut di sini” Seorang kakek tua berujar sinis, matanya merah saga.Risqi meremas jantungnya yang berdegup kencang, setiap kali peristiwa tiga belas tahun lalu itu diputar bagai kaset soak yang masih jernih gambarnya, membuat dadanya sakit, rasanya sesak. Ia memutuskan membakar foto-foto politikus yang ada di kamarnya, ia tidak peduli lagi dengan kontrak miliyaran rupiah untuk kertas-kertas foto itu, terlalu menyesakkan baginya.
Jiwa Risqi menjadi kurang sehat, hingga tepat hari itu setelah peristiwa tiga belas tahun lalu sebelum semuanya berlalu ia mendatangi Burek.
“Pahlawan hanya akan dianggap pahlawan jika ada yang memperjuangkannya, pahlawan hanya akan menjadi pahlawan jika ia selamat keluar dari perang. Pecundang tidak akan pernah berhenti membual tentang kesejahteraan perutnya sendiri, seperti anjing yang tidak lelah menggonggong untuk sepotong tulang!” itu kata terakhir Risqi ketika menemui orang yang membuat Agam mati tanpa pertolongan 13 tahun lalu.
Sehari setelah peristiwa 13 tahun lalu akhirnya Risqi mati di ruang kerjanya, di antara tumpukan kertas yang mengunung itu membawa bekas kudisnya yang telah meledak dan kembali berdarah nanah. (*)

BIODATA:
NITA JUNIARTI. Lahir di Desa Tangah Rawa Susoh pada tanggal 9 Juni 1993. Baru menyelesaikan S1 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh Fakultas Adab Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam tahun 2015 dulu pernah bersekolah di  SMA HARAPAN PERSADA, MTsN UNGGUL SUSOH dan Alumnus di SD 1 RAWA.

Jane

Cerpen Nofri Pratama (Rakyat Sumbar, 25-26 November 2017)
Jane ilustrasi Rakyat Sumbar.jpg
Jane ilustrasi Rakyat Sumbar
SUARA alunan nada yang mendayu-dayu itu adalah suara harmonika seorang pria tua yang sedang memainkannya yang duduk di atas gedung bangunan tua, berada di dekat pantai. Sambil menatap sang surya yang akan tenggelam, pria tua selalu datang dan menikmati senja di sana.
Konon itu dilakukannya—untuk menghibur diri sejak hatinya hancur dan sakit hati—setelah mengetahui wanita pujaan hatinya, meninggalkan dirinya untuk menikah dengan orang lain. Tanpa dia ketahui apa penyebabnya mengapa kekasihnya itu melakukan hal itu kepadanya.
Sejak saat itu, ia selalu menghabiskan waktu hanya untuk bermenung dan memainkan sebuah alat musik kesayangan: Harmonika.
Jane duduk termenung di dekat beberapa orang yang sedang asyik menceritakan sosok pria tua itu. Jane adalah perempuan bersuami, suaminya bernama Danu, yang baru bekerja sebagai wartawan di sebuah kantor media cetak di kota tua ini.
Jane yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, ia seringkali bosan tinggal sendirian di apartemen mereka. Ia belum memiliki teman di kota ini, karena mereka baru pindah ke sini. Tiga tahun sudah umur pernikahan mereka, namun belum juga dikaruniai seorang anak sampai sekarang.
Inilah yang sering membuat mereka tidak harmonis, saling menyalahkan di antara mereka, yang ujung-ujungnya akan membuat pertengkaran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada diri mereka, mereka berdua baik-baik saja. Namun, karunia itu belum berpihak kepada mereka berdua.
Jane menaiki bangunan gedung tua itu, langkah demi langkah, ia langkahkan menaiki anak tangga gedung tersebut. Gedung yang nampak pembangunannya terkendala itu, dan sudah lama ditinggalkan. Jane terus telusuri hingga ia sampai di atas bangunan, ia melihat seorang pria tua duduk menatap ke arah hamparan laut yang sangat indah sekali, untuk dipandang dari atas gedung ini.
Dalam hatinya bertanya, “Apakah itu pria tua yang mereka maksud,” pertanyaan itu pun terjawab setelah pria itu memainkan harmonikanya. Suara yang sangat merdu mendayu-dayu terdengar hingga membuat hati yang resah gelisah seperti yang Jane rasakan saat sekarang ini. Hilang, dan menjadi sedikit tenang dibuatnya. Ditambah pemandangan indah suasana kota tua ini. Jane pun menikmati itu dan melupakan masalahnya sejenak.
Jane melanjutkan langkahnya, mendekati pria tua itu. Kaki Jane tidak sengaja menendang sebuah kaleng bekas minuman bersoda. Dan membuat pria tua itu, kaget. Dan menghentikan aktivitasnya. Suasana pun hening seketika.
Jane terdiam dan merasa cemas dan takut pria tua itu marah kepadanya.
“Siapa dirimu?” Suara serak pria tua itu mengejutkan Jane.
“Maafkan aku, sudah mengganggu ketenanganmu,” ucap Jane dan mendekati pria tua itu. “Aku baru pindah ke kota ini. Aku tinggal bersama suamiku di apartemen sana,” ujar Jane, sambil menunjuk sebuah gedung yang tidak jauh letaknya dari gedung tua tempat mereka sekarang berada.
“Aku tidak punya teman di kota ini, tadi saya mendengar suara nada yang sangat merdu. Saat aku duduk di bawah sana. Dan aku juga sudah mendengar cerita, sedikit tentang Anda. Yang aku dengar dari beberapa orang,” papar Jane.
“Suamimu mana?” ucap pria tua itu, sambil membuka topi hitam yang ia pakai.
“Akhir-akhir ini kami sering bertengkar.”
“Kenapa?”
“Hanya masalah sepele.”
“Masalahnya?”
“Hanya sampai sekarang kami belum dikaruniai anak,” mata Jane pun mulai berkaca-kaca.
“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Masalah hanya bumbu hidup, yang harus kita nikmati. Kalau tidak, hidup ini hanya akan terasa hambar,” ujar pria tua itu, dan pria tua itu pun memainkan harmonikanya kembali.
Jane hanya diam menatap kearah hamparan lautan yang luas dan sangat indah dipandang dari atas gedung tua itu. “Lalu, bagaimana denganmu?” ucap Jane, membuat pria tua itu menghentikan kembali aktivitasnya dan menatap dengan pandangan tajam seperti kaca yang tergeletak di tanah dan ujungnya yang sangat runcing, siap menusuk dan menyayat siapa saja kaki yang menginjaknya. Terhadap Jane.
“Setiap orang punya hak untuk mencari jawab rasa ingin tahunya, tetapi tidak semua orang punya hak, untuk tahu semua tentang kita. Jadi, kamu tidak perlu tahu tentang diriku,” ucap pria tua itu.
“Baiklah kalau memang harus begitu,” jawab Jane.
“Hanya keegoisan yang membuat kalian begini, memang kita tidak selalu siap dan kuat untuk menghadapi permasalahan yang kita terima. Tapi, cobalah untuk tenang menghadapinya! Pasti perlahan-lahan jalan keluarnya akan ditemukan,” ujar pria tua itu.
“Lalu?”
“Malam kita merindukan matahari, siang kita merindukan bintang. Sayangi dan cintai apa yang ada pada dirimu saat ini, karena jika ia menghilang, maka kamu akan menyesal menahan rindu. Sederhana saja, jangan terlalu memikirkan permasalahan yang ada, karena Tuhan pasti tahu apa yang terbaik untuk kita.”
“Maksud Anda?” ujar Jane.
“Temui suamimu! Dan meminta maaflah kepadanya! Semarah-marahnya lelaki tetapi di hatinya pasti tertulis nama orang yang sangat dia sayangi di dalam hidupnya, dan pastinya kemarahan itu akan berubah jadi kasih sayang,” ucap pria tua itu.
Suasana seketika hening, mereka berdua bertatapan satu sama lain, pria itu memakai topi hitamnya kembali.
Jane pun berdiri, ia bergegas pergi meninggalkan pria tua itu. Dan berjalan menuju tangga gedung tua ini untuk turun kembali.
“Siapa namamu?” teriakan pria tua itu, Jane pun menghentikan langkahnya, “Jane”.
“Nama yang bagus,” pria tua itu pun memainkan harmonikanya, kembali.
Jane berlari menuruni anak tangga gedung tua itu, tanpa menghiraukan keselamatannya, bisa saja kakinya terpeleset dan jatuh terguling melewati tangga. Namun, Jane tetap terus tergesa-gesa menuruninya, anak tangga demi anak tangga dilalui, hingga akhirnya Jane keluar dari kawasan gedung tua itu. Dan terus berlari menuju apartemen tempat mereka tinggal.
Sesampainya di apartemen, Jane langsung membuka pintu dan berteriak memanggil suaminya, sambil mondar-mandir menelusuri ruangan apartemen itu, untuk mencari suaminya. Namun, ia tidak melihat dan menemukan suaminya.
Saat suaminya memanggil namanya dari belakang, Jane pun terkejut dan berbalik arah dan berlari ke arah suaminya, ia pun memeluk suaminya dengan erat. Sambil air matanya berjatuhan membasahi pipinya. Ia pun meminta maaf kepada suaminya. Melihat istrinya begitu, mata Danu pun berkaca-kaca, dan hanyut dalam suasana haru.
Sejak saat itu hubungan mereka berubah, membaik dan tidak pernah ada lagi pertengkaran di antara mereka berdua. Setelah beberapa bulan Jane pun mengandung, mereka berdua sangat bahagia, yang selama ini mereka nanti-nantikan dan mereka impikan sebentar lagi akan terwujud.
Jane teringat kembali dengan sosok pria tua yang pernah ia temui waktu itu. Dia menceritakan semua tentang pertemuannya dengan pria tua itu. Ia pun mengajak suaminya untuk bertemu pria tua yang sudah memberinya semangat dan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya itu.
Saat mereka berdua menaiki tangga gedung tua itu, sesampainya di atas mereka tidak menemukan siapa pun. Pria tua yang Jane ceritakan pada suaminya pun, tidak tahu entah ke mana. Namun mereka tetap menunggu sampai pria tua itu datang.
Detik demi detik dan menit pun berlalu. Tanpa terasa mereka sudah berjam, menunggu di atas gedung ini. Hingga matahari mulai terbenam dan perlahan-lahan mulai lenyap. Namun sosok pria tua yang mereka tunggu tak kunjung datang.
Mereka berdua pun memutuskan untuk turun dari atas gedung tua itu. Akhirnya mereka sampai di bawah dan segera pulang, namun Jane melihat seorang laki-laki yang saat itu ikut duduk bercerita tentang sosok pria tua itu, dia pun menghampiri laki-laki itu dan bertanya tentang pria tua itu. Namun, alangkah kagetnya Jane mendengar ucapan laki-laki itu, yang mengatakan bahwa pria tua itu telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Ia seakan tak yakin dengan kabar berita itu. Ia pun menangis, Danu pun menenangkan istrinya itu. Dan membawanya pulang.
Memang semua pertemuan akan berakhir dengan perpisahan, dan akan membuat sesuatu kenangan yang menciptakan rindu. Ciptakan sesuatu yang baik dalam hidup, untuk dikenang sebagai pengobat rindu apabila seseorang mengingat kita. Setelah kita menghilang dari hadapannya kelak.”

Ibu dalam Secangkir Ingatan

Cerpen Agung Zakaria (Pikiran Rakyat, 26 November 2017)
Secangkir Ingatan ilustrasi Rifky Syarani - Pikiran Rakyat
Secangkir Ingatan ilustrasi Rifky Syarani/Pikiran Rakyat
HARUM khas tercium dari secangkir ramuan yang tersaji di hadapannya. Ramuan berwarna hijau tua yang masih mengepulkan uap tipis. Lelaki itu menghirupnya dalam-dalam, perlahan. Ia begitu menikmati setiap aroma yang keluar bersama embusan uap. Ramuan hangat yang biasa disebut jamu. Jamu kunci suruh.
KUNCI suruh? Kunci suruh adalah jamu yang dihasilkan dari paduan daun sirih, bunga kenanga, dan kunci. Bukan kunci rumah, kunci mobil, apalagi kunci lemari. Kunci adalah sejenis rimpang, bentuknya mirip jahe namun lebih kecil, dan beraroma segar.
Orang-orang percaya dengan meminum jamu kunci suruh dapat membuat tubuh lebih tenang, termasuk lelaki itu. Ia sudah terbiasa meminumnya sejak usia remaja, sejak banyak hal yang dirasa memberatkan kepalanya.
Panggil saja lelaki itu Zafran. Ia adalah mahasiswa semester tujuh teknik arsitektur di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Lelaki asal kota dingin di bagian timur Pulau Jawa yang terkenal dengan kulinernya, bakso.
Menginjak semester tujuh adalah fase paling sibuk bagi seorang mahasiswa. Tugas akhir memaksa jemarinya senantiasa bermesraan dengan keyboard, tak jarang kepalanya pun dibuat pusing olehnya.
Di tempat itu, warung berdinding bambu beratap anyaman daun tebu kering di ujung jalan.
Lelaki itu biasa menghabiskan waktunya di kala weekend, rehat sejenak dari segala aktivitas yang membuatnya pening. Yang dipesannya selalu sama, sejak pertama kali ia datang. Mbok Jum, pemilik warung, sudah mengerti apa yang harus dihidangkan saat Zafran mampir ke warungnya. Secangkir jamu kunci suruh, tanpa mendoan ataupun roti goreng. Hanya secangkir jamu.
Zafran meneguk jamu itu, setelah cukup lama menikmati aromanya. Gleg. Tegukan pertama mengingatkannya pada sosok wanita yang senyumannya adalah obat, peluk tangannya adalah penawar rindu. Ia adalah ibu.
Dahulu waktu kecil ia sering berlarian di antara rimbunnya pohon-pohon kenanga. Memunguti setiap bunga matang yang berjatuhan. Bermain bersama kumbang macan yang hinggap di dedaunan. Menyapa kupu-kupu yang tengah bercengkrama dengan kuningnya mekar bunga kenanga.
Memetik bunga kenanga adalah hal yang menyenangkan baginya. Kakinya yang kecil dengan lincah memanjat dahan kenanga yang pendek. Satu tangannya berpegang erat pada dahan, sedangkan tangan yang bin sibuk memetik bunga-bunga. Sering kali ia harus berkelahi dengan semut, saat tanpa sengaja tangannya menyenggol istana mereka.
Ketika matahari naik setinggi tombak, sinarnya mulai menembus celah-celah dedaun, saatnya mereka pulang. Zafran dan ibunya kembali ke rumah dengan membawa sekantung bunga kenanga, daun sirih, dan kunci yang telah mereka kumpulkan dari kebun.
Sesampai di rumah bahan-bahan yang sudah dikumpulkan dicuci bersih. Bahan- bahan itu ditiriskan, kemudian dihaluskan bersama air. Ibunya lebih memilih blender daripada menumbuknya secara manual, karena lebih cepat dan mudah. Bahan-bahan yang sudah halus lalu disaring, ditambah madu, gula, dan sedikit garam. Ramuan kunci suruh pun siap.
Biasanya, tiap sore hari akan banyak tetangga yang datang ke rumahnya, meski sekedar untuk mencicipi jamu buatan ibunya. Zafran hanya bergidik geli melihat ibu-ibu tanpa ragu meminumnya. Ramuan bunga, daun, dan rimpang yang dipadukan secara harmonis.
Apa yang ada di benak anak umur delapan tahun tentang jamu yang berwarna pekat? Pahit?
Gak enak? Itu pula yang ada di pikiran Zafran. Suatu ketika ia pernah minum jamu di pasar bersama ayahnya. Cangkir milik Zafran tertukar. Ia meminum jamu pesanan ayahnya yang tanpa gula. Seketika bocah itu muntah-muntah di depan lapak pedagang. Ayahnya hanya tertawa melihat anaknya seperti itu. Sejak kejadian itu Zafran enggan meminum jamu lagi, bahkan melihat orang-orang meminumnya pun ia merasa geli.
Namun saat Zafran sudah duduk di bangku kelas dua SMP, ia terserang diare. Perutnya terasa mulas setiap saat, seperti rasa ingin muntah dan buang air. Tubuhnya lemas dan pucat.
Melihat kondisinya yang lemah, dengan sigap ibunya membuatkan jamu kunyit asam.
Ibunya menghampiri Zafran yang terbaring lemah di kamar, dengan secangkir jamu yang dibawanya. Ia bangunkan Zafran dari tidumya. Ia sodorkan secangkir ramuan itu dan menyuruh Zafran meminumnya habis. Zafran menurut saja. Melalui jamu kunyit asam yang diminumnya, sehari kemudian ia sembuh. Sejak saat itu ibunya selalu membuatkan jamu spesial untuknya. Rasa phobia terhadap jamu sudah hilang, bahkan sekarang ia begitu menggemarinya.
Tak pernah luput secangkir jamu kunci suruh dari menu hariannya. Ibunya memang selalu membuat jamu, setiap hari. Jamu diyakininya sebagai obat paling mujarab tanpa efek samping. Selain itu jamu juga bisa menjaga kesegaran tubuh, terutama kunci suruh.
Kandungan sirih dalam jamu dipercaya dapat membunuh bakteri dalam tubuh, kunci untuk menyegarkan badan, sedangkan kenanga untuk memberikan efek harum dalam tenggorokan setelah meminumnya.
Jamu juga bisa jadi teman saat galau. Ia bisa merelaksasi tubuh. Menenangkan syaraf yang tegang akibat beban pikiran yang berat, juga menambah stamina. Banyak sekali macam jamu dan juga manfaatnya. Yang jelas manusia harus back to nature, tidak menggunakan obat-obatan kimia jika tidak diperlukan. Dengan meminum jamu berarti turut melestarikan warisan budaya bangsa.
Tiba-tiba saku celananya bergetar. Zafran tersadar dari lamunannya. Ia tarik sebuah HP warna putih darinya.Terlihat di layar bahwa ada pesan masuk dari Rara, adiknya.
Mas, besok aku, ibu, dan bapak mau berkunjung ke sana. Sudah setahun lebih Mas ndak pulang ke Malang. Kita kangen, ibu yang paling kangen. Oh ya, Mas mau dibawakan oleh-oleh apa?
Membaca pesan singkat itu Zafran bagai kejatuhan durian runtuh. Hatinya berbunga-bunga. Tak sabar rasanya ingin segera berjumpa dengan keluarga yang selama ini ditinggalkannya demi menuntut ilmu. Masalah- masalah yang memenuhi kepalanya seakan menguap terbang bersama hembusan angin malam. Terasa plong. Hilang segala beban. Tanpa pikir panjang ia segera membalas pesan itu.
Bawakan jamu kunci suruh saja! Mas kangen sekali dengan jamu racikan ibu. Kalau bisa sama kering tempe, biar bisa jadi lauk kalau Mas mau puasa.
Ia masukkan HP ke dalam sakunya kembali. Wajahnya tampak sumringah. Senyum simpul tersungging di wajah manisnya. Ia hirup aroma secangkir jamu di hadapannya dalam-dalam, perlahan. Ia teguk lagi. Terbayang wajah ibu dalam setiap tegukan, setiap tetes jamu yang mengaliri kerongkongan.

Hikayat Kakek tentang Lapar

Cerpen Mashdar Zainal (Lampung Post, 26 November 2017)
Hikayat Kakek tentang Lapar ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post
Hikayat Kakek tentang Lapar ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
DI beranda rumah yang sangat sederhana itu, seorang bocah yang sedang kelaparan, tengah dihibur kakeknya dengan sebuah cerita. Sebuah hikayat. Hikayat tentang lapar.
“Jika ada sebuah cerita yang bisa membuatmu kenyang, apakah kau mau mendengarkan cerita itu?” Sang kakek memulai cerita itu dengan sebuah pertanyaan.
“Apakah ada cerita yang seperti itu, Kek. Cerita yang bisa membuat seseorang menjadi kenyang?” si cucu balas bertanya.
“Mari kita buktikan,” kata sang kakek kemudian. Dan sang kakek pun memulai hikayatnya.
Ada sebuah kota di mana penduduknya selalu merasa lapar, jangan kau kira mereka tak pernah makan. Mereka makan. Mereka selalu makan. Makan apa saja. Seolah-olah perut mereka bisa menampung semua makanan yang ada di muka bumi ini. Tapi begitulah, mereka selalu merasa lapar. Mereka tak pernah merasa kenyang.
“Apakah penduduk kota itu para raksasa?” si cucu bertanya karena merasa penasaran.
“Kau simpan saja pertanyaanmu untuk nanti,” sahut sang kakek.
Bocah itu terdiam, memperhatikan. Dan sang kakek pun melanjutkan ceritanya…
Kota itu dulunya sangat permai, dipimpin oleh seorang paduka yang tidak rakus lagi bijaksana. Sudah lama sekali kota itu melestarikan budaya dan tradisi yang dicipta leluhurnya, salah satunya adalah berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Ya, berpuasa.
Seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya, sang paduka pun mewajibkan seluruh rakyatnya untuk berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Bertahun- tahun lewat dan mereka hidup berdampingan, dengan damai. Mereka menjaga alam dan sesamanya, mereka menjaga petuah dan nasihat-nasihat. Hingga sang paduka menua kemudian meninggal, dan kedudukannya digantikan oleh putranya.
Putra sang paduka ini dipanggil paduka muda, dan ia memiliki tabiat seperti musang. Kau paham tabiat musang? Ya, rakus.
Begitulah, dalam memimpm rakyatnya, sang paduka muda ini selalu berbuat sesuka hatinya. Ia akan melakukan apa saja untuk menyenangkan hatinya. Dan ia adalah orang pertama yang membenci kebiasaan berpuasa. Maka, di bawah kepemerintahannya tradisi puasa yang dilakukan beberapa waktu sekali itu pun dihapuskan.
Tradisi leluhur itu pun dimusnahkan. Maka, sejak saat itu, para penduduk tak pernah lagi berpuasa. Dan karena mereka telah menyalahi tradisi, mereka pun mendapat sebuah cobaan dari langit berupa rasa lapar yang begitu dahsyat. Rasa lapar yang seperti kutukan. Rasa lapar yang terus melilit perut warga kota.
Maka, lambat laun, para penduduk kota itu menjelma menjadi binatang semacam tikus besar. Semacam musang. Semacam binatang-binatang yang hanya tahu makan dan makan. Maka, tak bisa dicegah, warga kota pun mulai memakan apa saja, mulai dari pepohonan, batu-batu, tanah, rongsokan besi, dan bahkan bangkai.
Satu perutu apa-apa yang dimiliki kota itu habis karena dimakan oleh penduduknya sendiri. Sesaat saja mereka menahan lapar, perut mereka akan segera berbunyi keras-keras, seperti sebuah ledakan di dalam perut, dan mereka akan segera merasa kesakitan.
Dan tahukah kau apa yang terjadi kalau sudah begitu? Ya. Setiap orang akan berlomba-lomba untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi perut mereka. Mereka akan saling menyikut, mendengkul, menyodok, dan bahkan saling membunuh.
Mereka lupa pada keluarga dan sanak saudara. Karena mereka telah menjelma binatang pengerat. Mereka selalu berada di jalan-jalan dengan mulut terus bergerak mengunyah sesuatu. Perut mereka membesar dan menggelambir karena terlalu banyak makan.
Mereka beristirahat makan hanya ketika sedang tidur. Jadi, mulai bangun tidur sampai tidur kembali, penduduk kota itu akan berjibaku untuk mencari sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk mengisi perut mereka.
Mereka akan menyebar seperti layaknya binatang pengerat dan mulai menggerogoti apa saja yang ada di kota itu. Pohon-pohon telah habis, rumah-rumah pun telah ludes, bahkan tanah-tanah pun berkubang-kubang karena dikeruk oleh perut-perut yang lapar.
Beberapa penduduk lemah yang tak pernah mendapat jatah makanan secara cukup lebih memilih untuk tertidur sedikit lama, hingga tanpa sadar beberapa dari mereka mati dalam tidur mereka. Mati dalam keadaan lapar. Mati oleh rasa lapar. Jasad mereka pun segera raib dicabik dan dimakan oleh saudara mereka sendiri yang selalu lapar.
Itu memang menyeramkan. Sangat menyeramkan. Rasa lapar memang lebih menyeramkan dari hal paling menyeramkan sekalipun.
Sang paduka muda tak pernah bisa mengendalikan rakyatnya, karena ia sendiri telah menjadi binatang pengerat paling kuat yang mulutnya paling lebar dan giginya paling runcing dan perutnya paling besar. Benar-benar sebuah kota yang menyedihkan.
Sang kakek terdiam dan memandangi raut cucunya yang perlahan mulai tenang. Tidak lagi meringis menahan lapar.
“Apa yang kemudian terjadi pada kota itu dan penduduknya? Apakah mereka masih terus saling memakan?” si cucu bertanya ingin tahu.
“Begitulah dan akhirnya kota itu pun binasa oleh penduduknya sendiri,” sang kakek mengakhiri ceritanya dan sang cucu hanya terbengong-bengong.
“Tak ada akhir yang bahagia?”
“Takkan pernah ada akhir bahagia bagi sesuatu yang salah.”
Si cucu mengangguk-angguk seolah paham.
“Apa sekarang kau masih merasa lapar?” Tanya sang kakek kemudian.
“Sedikit,” sahut si cucu.
“Kau tahu mengapa manusia selalu merasa lapar?”
Si cucu menggeleng, maka sang kakek menjawabnya sendiri, “Karena dalam perut manusia ada makhluk manja bernama lambung, lambung itu melar seperti karet. Jadi. sebanyak apa pun kau mengisinya, ia akan selalu mempunyai sisa tempat untuk kau isi lagi dan lagi hingga lambung itu sendiri meledak dan rusak.”
Si cucu mengernyit ngeri.
“Lambung itu, Nak,” lanjut sang kakek, “seperti binatang piaraan yang manja, kita tak punya cara yang lebih baik untuk mengendalikannya selain berpuasa. Seperti yang kita lakukan hari ini. Jadi, apa kau masih sangat lapar?”
Si cucu menggeleng dan tersenyum, “Cerita kakek membuatku kenyang,” singkatnya. ■

Malang, 2015

Lima-Satu-Tujuh

Cerpen Fransiska Eka (Bali Post, 26 November 2017)
Lima-Satu-Tujuh ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post.jpg
Lima-Satu-Tujuh ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Musim dingin tiba terlalu awal di Utara. Ia menyalahi jadwal. Orang-orang kembali lebih suka berada di balik selimut. Di kamar tidurnya masing-masing. Terra yang suka menari dan selalu membangunkanmu di pagi hari dengan cara menyanyikan lagu-lagu bertempo rimba, tiba-tiba selalu bangun terlambat. Kau menanyakan penyebabnya. Suaranya yang lengking burung pipit memberi jawaban tak senada. Ia katakan kalau ia sering sakit kepala di sebuah pagi. Di lain pagi, ia katakan kalau ia selalu sakit perut. Kau bosan sekali mendengar alasan yang sama diulang-ulang pada hari yang berbeda. Atau ia yang bosan sekali karena terpaksa menjawab pertanyaanmu yang tak perlu?
“Sahara, lakukan sesuatu yang lebih berguna daripada bertanya-tanya. Mempercepat laju Matahari yang terlalu lambat terbit, misalnya.”
Di atas meja makan ada selai cokelat. Isinya sudah separuh. Terra membuka tutupnya dengan tangan kiri. Ia ambidextrous; makan dengan tangan kiri, cebok dengan tangan kanan. Menulis dengan tangan kiri, melukis dengan tangan kanan. Kadang kau yakin, otak kanan dan otak kirinya berfungsi terbalik; ia membayangkan matematika dan merumuskan puisi. Ini membuatmu yakin bahwa Ia penulis puisi yang buruk sekaligus pelukis yang cerdik meniru Picasso. Salah satu lukisannya menempel di dinding ruang tamu apartemen nomor lima-satu-tujuh. Nomor apartemen kalian yang dijadikan judul cerita. Bagimu, lukisan berbentuk tubuh telanjang seorang lelaki yang seluruhnya terbentuk dari lingkaran dan tabung yang saling menindih dan berpotongan di sana sini nampak seperti permen yang bisa membikin lidahmu berwarna-warni. Permen yang kau gemari saat masih kelas lima SD. Kadang-kadang lidahmu biru. Kadang-kadang lidahmu merah. Sebelum menyesap permen itu kau suka menebak-nebak akan jadi apa warna lidahmu? Sebelum lagi-lagi melihat lukisan itu kau menebak-nebak, akan jadi warna apa lukisan itu di dalam kepalamu? Kadang ia biru. Kacau. Kadang ia merah. Membara. Kadang lukisan itu marah-marah ketika kau terserang insomnia dan matamu mulai menjelajahi ia seperti seorang pemburu yang tengah menelisik apakah hewan buruannya bertubuh lengkap atau cacat. Kadang ia membisu, membiarkan gemanya dicari-cari telingamu yang teliti.
“Di negeriku ada Singa dan Jrapah, dan Gajah dan apalagi ya? Oh, Madiba! Itu yang perlu orang-orang ketahui kan?”
Madiba yang tercinta. Terra menjilati selai cokelat dengan jari telunjuk kanannya. Matanya bundar lucu seperti kanak-kanak. Ia perhatikan lanskap di luar jendela. Putih dan berkabut. Salju turun, kalian murung. Ada dua pohon Oak di seberang jalan; sepasang kekasih abadi, menurutmu. Keduanya kini gundul bugil. Tupai-tupai yang sering bermain petak umpet di bawah naungan keduanya telah sembunyi. Betapa pada musim panas yang seperti baru sekejap lewat kau memekik girang! Hollyshit! Banyak sekali tupainya!
“Tapi di negeriku tidak ada dia! Look at him, Sa.”
Ia selalu disebut-sebut. Dua belas kali sehari di apartemenmu yang jika sedang ramai menjelma panggung sandiwara ribut. Lengkap dengan aktor dan aktris pendukung. Ashley, Kyle, Anna, Liza, Sarah, Brandon. Nama-nama asing. Dua nama terakhir adalah teman sekelasmu. Sarah percaya pada karma. Brandon percaya pada Alien. Kau percaya pada takdir. Kelompok kecilmu—kau, Sarah dan Brandon—kau beri nama Destiny’s Child. Sisanya, teman-teman Terra yang seluruhnya pirang lucu, kau beri julukan Be Group. Mereka gemar mengoceh. Juga menggilai dia yang namanya disebut dua belas kali sehari. Ia tinggi. Ia tegap. Ia atletis. Ia tampan. Ia cerdas. Ia fasih berbahasa Perancis. Ia membaca buku-buku filsafat. Ia pandai menulis puisi. Ia seorang pianis.
Kau mengingat fakta-fakta tentangnya meskipun hal itu membosankan sekali. Apa Terra tidak bosan ya? Lelaki itu tidak pernah sekalipun mengetuk pintu apartemen kalian; lima-satu-tujuh yang dijadikan judul cerita. Penghuninya dua orang perempuan. Yang seorang suka menari dan bergerak-gerak lincah seperti kucing betina yang sedang birahi. Yang lain lagi seseorang yang membenci gerak dan berjalan dengan gelisah seperti anak anjing yang kehilangan induknya. Lelaki itu juga tak pernah menelepon. Padahal kalian bertiga mengambil dua kelas yang sama di semester gugur ini.
“Kau ternyata ingin jadi penulis kan? Ey, latihan! Ceritakan sebuah kisah cinta dimana kami berdua menjadi tokoh utamanya. Yang berakhir bahagia. Dan, ingat…ia harus belutut di antara kedua lututku.”
Terra mengerling jenaka lantas tertawa. Kalian sering sama-sama bosan mendengar lenguhan tetangga di apartemen nomor lima-satu-empat, Mereka selalu bercinta gaduh tiap jam tujuh malam di hari Selasa. Suara si perempuan lancang sekali. Ia teriakkan Ah dan Uh yang panjang. Terra suka sekali menirukan Ah dan Uh seolah-olah ia sendiri yang bercinta. Sang Pianis itu ada di kepalanya.
Kau bosan sekali. Karena itu kau ucapkan saja sebuah cerita yang tiba-tiba muncul di kepalamu. Lelaki muda itu akan mengetuk pintu apartemen kalian. Tok.tok.tok. Tiga kali saja. Sebab Terra akan segera berlari menuju pintu. Ia bukakan pintu dengan segera. Lalu dikecupnya pipi sang pianis. Voila! Tiba-tiba, mereka sudah jadi sepasang kekasih.
Terra tertawa riang sekali. Ia jilati selai cokelat itu sekali lagi. Kau bosan sekali. Atau, ia yang sedang bosan ya? Padahal baru jam sembilan pagi.
“Oh..Look at that boy! Damn!”
Ia berjalan pelan-pelan. Jalanan memang licin sekali. Terra menjilat selai cokelat itu lagi.
Lirikan centil para perempuan yang sering dihadiahkan secara cuma-cuma ke arahmu tak lebih seperti seringai zombie dalam sebuah serial televisi. Kau tak menyukainya. Tapi para perempuan itu menggemarimu karena (menurut dugaanmu) mereka membaca artikel di internet tentang panjang kemaluan pria dari negerimu yang di atas rata-rata Temanmu, Vlad – yang bahasa inggrisnya terpatah-patah dan kulitnya pucat seperti Vampir, suka sekali menonton serial Zombie. Kau juga tak menyukainya, ia dan serial Zombie itu. Kau lebih suka mendengarkan cerita tentang Ukraina. Oh, negerimu sedang mengalami perang saudara itu. Ya. Ya. Di negerimu sendiri terjadi revolusi Arab Spring tujuh tahun lalu. Orang-orang turun ke jalan. Menuntut pemerintahan demokratis seperti di negeri ini. Ayah ibumu lebih dulu menjadi imigran ya? Oh, kau tinggal sendiri selama dua tahun ? Ya. Aku mengerti. Lalu bagaimana kucingmu bisa ikut ? Oh, jadi kau harus membayar biaya penerbangan lebih untuk mendatangkan Bella kemari ya ?
Kau angkuh sekali. Vlad juga selalu terlihat angkuh. Karena tulang pipinya tinggi, kau berdalih. Atau hidungnya yang runcing tipis ?
“Ada dua mahasiswa asing di Gedung seberang. Kukira mereka sekampus denganmu.”
Vlad jarang terlibat dalam usaha untuk memperhatikan manusia lain di sekelilingnya. Kau terkejut mendengar perkataannya. Jam delapan pagi lewat dua puluh menit. Sepagi ini?
“Sahara. Terra.”
“Yang berkulit cokelat Asia ?”
“Sahara.”
“Kudengar perempuan Asia manis, ramah.”
“Oh ya?”
“Informasi dari internet.”
“Wow! Riset.”
Vlad mengatakan sesuatu tentang pinggul besar, rambut hitam sewarna sayap burung gagak, kulit cokelat yang manis. Tetapi telingamu seperti didatangi tuli yang terpaksa hadir. Kau mendengar kata-kata soal kultur dan submisif. Kau tak suka. Ingatanmu seperti didatangi tamu yang tak mau pergi.
Ia menyapamu di Kafetaria kemarin pagi. Namanya adalah nama Gurun yang sering kau jelajahi. Matanya berkabut. Rambutnya digelung karena kusut. Tangannya memeluk setumpuk buku-buku. Hamlet. Matamu menangkap salah satu judul. Ia ucapkan hai yang buru-buru. Sepatu bootnya selutut. Jaket musim dingin yang ia pakai berwarna cokelat tanah. Tidak juga ia lepas jaket itu meski sudah di dalam ruangan. Mungkin karena lengannya sudah penuh memeluk buku-buku. Ia menyapamu di kafetaria kemarin siang, dan suaranya kini menggema dalam ingatanmu. Ia selalu berjalan menunduk. Tetapi kemarin ia menyapamu di Kafetaria dengan punggung tegak. Matanya menatap langsung ke dalam matamu. Ia berlalu buru-buru setelah kembali menunduk. Kau berbalik dan memperhatikan punggung itu. Yang seperti membungkuk. Ia duduk di salah satu meja yang letaknya paling sudut. Ia berteman lampu meja dengan sinar berwarna kuning keemasan. Ia lepaskan jaketnya. Ia memakai baju lengan panjang sewarna pasir putih di pantai. Dengan anggun ia sampirkan jaket itu di kursi sebelahnya. Lalu dia membuka halaman buku pada bagian yang nampaknya telah ditandai dengan sebuah lipatan di sudut bawah. Hamlet. Judul yang sempat ditangkap matamu. Matanya alpa menangkap tubuhmu yang dua kali melewatinya. Kau ingin menanyakan kabarnya setelah terakhir kali kalian duduk bersebelahan pada pertemuan mahasiswa internasional. Tapi lidahmu menjadi kaku, dan lututmu enggan menekuk untuk duduk. Kau putuskan melewatinya saja.
Vlad angkuh sekali. Ia sesumbar akan mampu mengajak perempuan itu minum-minum di musim dingin, orang-orang akan mudah merasa kesepian. Akan mudah. Terlalu mudah. Apalagi perempuan dari negeri tropis yang tak terbiasa menghadapi suhu udara yang terlalu dingin. Kau bergerak ke kamar mandi. Butuh lima belas menit untuk bersiap-siap pergi. Sepatu bootmu berwarna cokelat tanah. Jaket musim dinginmu berwarna hijau rumput musim semi, kau ingat meninggalkan apa yang kau sebut sebagai kostum itu di kamar mandi. Kau melihat wajahmu di cermin. Kau punya mata ibumu dan jakun ayahmu. Kau angkuh sekali. Ia menyapamu kemarin siang di kafetaria. Hai yang buru-buru. Lalu ia menunduk.
Kau melihat jam tanganmu. Jam sembilan pagi. Waktu yang tepat untuk bertamu ke apartemen seseorang yang sekampus denganmu. Kopi? Teh? Ia akan menawarimu minuman karena seperti itulah kebiasaan orang Asia, seperti yang juga kau baca dari beberapa artikel di internet. Kau akan mengetuk pintu. Tok.tok. Dua kali saja.
Dia tentu akan membukakan pintu lalu berkata, “Baru jam sembilan pagi, Muhammad. Kau mau minum kopi?”
Atau, ia akan mengatakan hai yang gugup dan menanyakan urusanmu. Kau mulai gugup. Mungkin kau akan berkata : Hai, aku cuma ingin memastikan kalau kalian tahu bahwa hari ini akan terjadi badai salju. Sebaiknya jangan kemana-mana.
Kau berjalan, menuju nama yang ingin kau jelajahi setiap aksaranya. Temannya menunjuk ke arahmu. Ia baru saja mengarang cerita tentang kau dan temannya yang tiba-tiba menjadi sepasang kekasih. Melihat sosokmu, ia mengetik sebuah kalimat di memo ponselnya;
Lima satu tujuh; pekan ketiga bulan November – tanah air adalah tubuh.

Penulis saat ini berdomisili di Ende