Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Oleh Faris Al Faisal (Kompas, 25 Februari 2018) Bermain Ayunan ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Bel istirahat berdentang. Siswa-siswi SDN Bulak I Kandanghaur,
Indramayu, Jawa Barat, berhamburan keluar dari kelas-kelasnya. Setelah
menyantap jajanannya Hafsah, Luna dan Zallumy berlarian menuju ayunan
yang berada di taman bermain.
“Hore aku duluan!” ucap Luna riang sambil tangannya menggerakkan ayunan itu berulang kali.
“Aku juga!” kata Hafsah tak kalah senangnya. Zallumy terpaksa
menunggui kedua temannya, karena permainan ayunan itu hanya ada dua
buah.
Beberapa saat kemudian, datanglah Zahrah bergabung. Hafsah dan Luna belum juga mau turun dari permainan ayunan.
“Gantian, dong!” ucap Zallumy memelas.
“Betul, gantian ya…?” timpal Zahrah.
“Tidak bisa. Karena kita yang duluan sampai di permainan ini,” kata Luna.
“Iya, salah sendiri. Kalian kalah cepat,” kata Hafsah kepada Zallumy dan Zahrah.
Dari teras ruang guru, Ibu Guru Salamah diam-diam memperhatikan
keempat muridnya itu dengan seksama. Ibu Salamah kemudian menghampiri
mereka.
“Ada apa ini? Kalian sedang memperdebatkan apa?” kata Ibu Salamah dengan suara lembut.
“Kami ingin naik ayunan, tetapi sepertinya Luna dan Hafsah tidak mau gantian. Betul kan, Zallumy?” Zahrah memberi penjelasan.
“Benar, Bu Salamah,” timpal Zallumy.
Kemudian Ibu Guru Salamah berkata, “Hafsah? Luna? Kenapa kalian tidak mau gantian?”
Hafsah dan Luna hanya bisa tertunduk mendengar pertanyaan Bu Salamah.
Mereka berdua sadar telah berlaku serakah, dengan menguasai permainan
ayunan. “Iya, Bu, maafkan kami,” kata Luna kemudian.
“Ya, sudah, kalian tidak perlu minta maaf sama Ibu. Minta maaflah
kepada Zallumy dan Zahrah, karena kedua teman kalian ini sudah lama
menunggu.”
“Maafkan kami ya, Zallumy, Zahrah,” pinta Hafsah dan Luna sambil turun dari ayunan mengulurkan tangannya.
Zallumy dan Zahrah pun memaafkan.
Ibu Guru Salamah tersenyum. “Apakah kalian mau Ibu ajari bermain ayunan dengan adil?”
“Adil? Maksudnya bagaimana, Bu?” tanya Zallumy.
“Agar satu dengan lainnya tidak menzalimi dan tidak merasa dizalimi.
Karena adil tu salah satu maknanya adalah berlaku tidak zalim.”
“Bagaimana caranya, Bu?” Hafsah dan Luna giliran ganti bertanya.
“Coba Zallumy dan Zahrah sekarang yang naik ayunan dahulu. Lalu
Hafsah dan Luna nanti mendorong dengan hitungan yang disepakati. Jika
sudah selesai hitungannya, kalian bisa bergantian. Begitu seterusnya
berulang. Adil, kan?”
“Wah, Ibu guru Salamah hebat!”
Zallumy, Zahrah, Luna dan Hafsah kemudian bermain ayunan dengan cara
yang membuat mereka merasa adil dengan sesama teman. Dengan riang dan
senang, mereka bergantian naik dan mendorong permainan ayunan. Hari itu
pelajaran berbuat adil yang diberikan Ibu guru Salamah sangat membekas
di hati.
Puisi-puisi Fariq Alfaruqi (Kompas, 24 Februari 2018) Tilas Harimau, Langgam Harimau, Mengkaji Langkah Surut ilustrasi Google
Tilas Harimau
– untuk Raden Saleh
Kenapa kau biarkan air muka pagi tempias
mengasihani torehan luka di sekujur tubuhku
lambang tuah yang ditikamkan oleh seribu
ekor maut, sebelum aku memangsanya satu demi satu.
Lihatlah bagaimana ulur tangan cahayanya, justru
menumpas denyar gulita dari liang petilasanku
tentu juga merampas kilat-kilau ilahiah
yang bersemayam dalam relung suluk moyangmu.
Dengan udara seiris limau dan warna seragi kamboja
hendak ia tiriskan juga, derau cuaca pada pakis dan akasia
lembap waktu pada lumut dan batu.
Oh, hutan sungsang rimba suling
masih ada lagikah lurah, lereng, atau tebing
yang lena kelabu, bakal menyempurnakan belangku
yang haru biru, menyimpan kubur aib leluhurmu.
Jikalau sorot mata fajar budi itu
kau biarkan menghalau bantu gunung, arwah lembah
makhluk bingung, penghuni sekalian belantara lenyah.
Sementara di setiap penjuru pintu
jalan menuju ulu hati tali jantung belantara ini
kaum pemburu pirang jembut jagung
puak pengelana berkuncir akar gantung
tipak pedagang keling cangkang kenari
mengintai dengan tatapan bermata peluru
menunggu dengan dengus nafas asap mesiu.
Meskipun kau berusaha merintangi alur ke hulu
—di mana benih semesta ditanam dalam kelam—
dengan gelondong kayu, patahan dari pepatah dahulu lembu tak bakal rebah di padang datar rusa tak akan terkejar di semak belukar pekik siamang di malam buta pertanda akan bala keluang melintasi pagi alamat berkah sepanjang hari.
(Sembah salamku untuk gelagatmu)
Tapi hanya berapa kali kemarau lagi
sebelum cahaya belas kasihnya—yang kau puja dengan
kuas yang berlumur, tangan yang bersih—mulai menagih
buah jerih, hewan-hewan yang diberi pakan sekadar
untuk disembelih.
Hanya berapa selisih purnama lagi
sebelum kerontang mataharinya mendahagakan gelap
paling murni, muasal dari setiap denyut hutan rimba ini.
Dan mata peluru sedia menghunjam ke segala tuju
dan setiap jengkal tanah menguarkan aroma mesiu.
Pandanglah kini. Di luar bias waktu, batas pigura itu
betapa lembu rebah di padang datar
bagaimana rusa terkapar dalam semak belukar
siang malam siamang mengguncang pucuk ketapang
keluang membenturkan diri pada beringin gadang.
“Aku lupakan harum pandan yang tumbuh di halaman
untuk membilurkan hijau yang telah mengunjungi
setiap helai rumput dan dedaunan.
Aku lupakan bau tembikar yang menguar dari dapur
ketika menyusuri jalan setapak yang belum pernah
dilalui oleh pengembara manapun.
Jangan tanyakan kepadaku perihal hutan
yang tak lagi ramah pada benalu, sebab telah aku sisihkan
lena kelabu dan haru biru itu dari kilas masa laluku.”
Kalau begitu inginmu, biar aku balur bulu dan kuku
dengan abu sisa pembakaran, biar aku simpan
aum dan geram dalam selubung kain hitam
biarkan aku khalwat ke arah malam
haribaan yang tak terjamah
oleh pedih padanan warnamu itu.
(Sembah salamku, untuk anak-keturunanmu)
Mahali, 2017
Langgam Harimau
Jangan kau alamatkan lagi sirih pinang
bagi penjaga nadi air, untuk pengawal jantung angin
pada pengasuh lambung tanah.
Atau gelombang pitunang
untuk menziarahi kuntum rahasia
warna pasi kematian terkilas di pucat kamboja
aroma mabuk kesedihan tajam sengat lantana.
Atau decak tolak bala dan siulan tiga nada
sebab musim pancaroba menyeret jubahnya
demi mengunjungi kesepian yang meninggi
di pucuk akasia, menguji ketabahan
yang menebal pada kulit trembesi.
Demi degup rimba, lenguh gunung, desah padang sabana
yang sehembus setarikan nafas dengan aumku.
Jangan kau haturkan sembah seluruh salam
sebagai puja-puji pada denyut renik sekalian alam.
Ketika suluh pandangmu padam
tongkat langkahmu patah, kitab pikiranmu latah
memilih jalur mana menuju landai lembah
jalan mana ke arah curam lurah
membaca rusuh muara dari gelagat tenang hulu
memisahkan racun cendawan dan tawar benalu.
Semenjak jelujur akar dan sulur menjalar
putus tali rima dari sampiran pantunmu
mata air tak hendak menuntun mata kailmu
menemu insang ikan di balik batu-batu
tangan angin enggan membimbing anak panahmu
mendahului lesat tungkai rusa dan lejit waktu.
Sedan petuah rimba hilang rimbun
dalam pokok kecambah gurindammu
dendam babi tak menunggu gugur kamboja
untuk menyudumu dan menghantamkan taringnya
amarah cindu akan mencegatmu
dan menyabetkan kukunya
sebelum aroma lantana raenguap di udara.
Gelombang pitunang, sembah salam
tebu manis yang pemah tumbuh di bibirmu itu
kini hanya tinggal sepah serapah penyulut api jerubu.
Tak akan mampu lagi mengusik petilasanku
agar menyeberangkan nyawamu di musim bandang
tak bakal bisa lagi memanggilku untuk datang
dan mengalihkan topan dari jalanmu pulang.
“Semenjak benih hutan masih dikandung tanah
moyang kita telah saling bertukar cendera kata.
Pohon riwayat telah mencatat persetubuhan laknat
yang melahirkan anak-anak belang kala dilanda kesumat
Di lain bunga hikayat, arwah leluhurku
menunggangi jasad leluhurmu
menjaga malam kelat dengan pupil mata yang biru.
Jangan pisahkan usul arang dengan muasal abu
yang berbagi serat dalam satu jasad kayu.”
Demi gelap belukar yang bersekutu dengan belangku
jangan sebut lagi kisah-kisah lama perintang lengang itu.
Pulangkan sejumput bulu yang aku titipkan
jadi jalin gelang sumpah kita dahulu
kembalikan seruas kuku yang aku berikan
dan kau tanam dalam bandul perjanjian masa lalu.
Kemudian, hanya terkamanku
yang akan menyahut sirih pinangmu.
Padang-Depok, 2017
Mengkaji Langkah Surut
Kitab tebal yang kau kaji semalam suntuk
memang mampu menuntunmu membaca
jalinan pantun pengusir bala
untaian doa penolak hari buruk.
Ahli nujum yang kau panggil
dengan sekeping pinang dan selembar sirih
menerka takdirmu dari angka-angka ganjil
yang ia susun dari helai ubannya yang tersisih.
Beringin keramat tempat segala jihin bermufakat
dengan sebisik rayu boleh menyaru sebagai juru selamat
mengantarkanmu pada tinggi pucuk makrifat
Tapi tak sehelai bulu pun dari serimbun cara
menanam nasib dalam muslihat umpama
yang bakal mengajarimu siasat mengambil langkah surut
Langkah bijak lagi patut
bagi kaum yang tak ingin
mati oleh jatuhan mumbang kelapa,
oleh perangkap getah nangka.
Bagi golongan yang tahu cara berkilah
dari tudingan pepatah
bahwa harimau mati haruslah meninggalkan belang
gajah mati mestilah meninggalkan gading ganih lagi panjang.
“Hari-hari naas. Guru
telah aku tukar dengan derai pasir dari tujuh muara
kelopak kembang tujuh rupa
percik air dari tujuh sumur yang berbeda.
Malam-malam celaka, lihatlah Engku
sudah aku gadaikan pada empunya marabahaya.
Kepadanya segala sakit berhulu
segala pedih bermuara.
Serasa tak seujung kuku pun dari tikaman tangan maut
yang mampu menggoreskan kata takut dalam kitab
detak jantungku.”
Syair yang lebih ngilu dari lengking seruling manapun
pernah diuntai dari gelimang tubuh sahid di medan jihad.
Serangkaian epos dengan iringan tetabuh gendang
dikumandang untuk menyambut seorang panglima perang
yang pulang dengan panji-panji musuh dalam genggaman.
Tetapi betapa golongan yang selalu menumpang biduk ke hilir
tahu bahwa hidup paling lugu
adalah berserah pada arus dari hulu.
Betapa kaum yang lihai berenang-renang ke tepian
paham bahwa kematian lebih dingin
bahkan dari bebatuan yang berharap hanya
pada pelukan lumut dan belaian kerakap.
Jika kau rasakan sekerikil ragu
menyelip dalam alas kakimu
sehembus gamang meniup bulu remang di tengkukmu
tanpa mengucap dan melafal nama si anu
picingkanlah matamu.
Langkah surut, langkah bijak lagi patut ini
boleh kau ramu dengan siasat pepatah lama itu
kilik rusa mengelak dari sekawanan serigala
pekik beruk membangunkan seisi rimba raya.
Agar kau segera tunai mengkaji
langkah terakhir langkah para petarung yang berusaha mangkir
dari terkaman takdir.
Kandangpadati-Mahali 2016-2017
Fariq Alfaruqi lahir di
Padang, Sumatera Barat, 30 Mei 1991. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas. Bergiat di Komunitas Kandangpadati dan Lembaga
Kebudayaan Ranah. Saat ini bermukim di Depok.
Puisi-puisi Marhalim Zaini (Koran Tempo, 24-25 Februari 2018)
Agama Kopi-Kabut-Puisi-Burung-Putih-Suara ilustrasi Google
Agama Kopi
lima waktu
sehari semalam
biji-biji kopi
jatuh dari langit.
dipungutnya satu-satu
rasa pahit dari doa
yang gugur
dari pohon iman.
pohon yang dulu
menggugurkan adam.
2017
Agama Kabut
berdirilah di lereng ini,
tegak seperti pohon hutan berambut kabut
menghadap lembah yang tengadah
dan kaki-kakimu yang mengakar
ke urat-urat tanah bukit yang sejuk,
apa yang akan kau kenang
selain anak sungai yang memanjang?
kita bukan air terjun, yang berani menghempaskan waktu
ke batu-batu,
memecah batu-batu saban waktu
kita hanya buih yang sansai,
selalu lenyap sebelum sampai
ke tepi, ke tepi-tepi iman, tempat para perantau pulang
menghitung satu-satu napas yang lepas
dari ujung uban,
seperti lepas tetes hujan
dari langit tuhan
sudah kuucapkan dulu, bahwa di kelok sembilan itu
tak kan ada lagi cinta yang gugur dari agamamu
di jalan-jalan subuh yang lengang
dipagut dingin gunung singgalang
aku pernah mendaki, katamu,
tapi bukan ke puncak keheningan.
aku pernah mendaki, kataku,
tapi jatuh sebelum sampai di ketinggian.
maka berdirilah di lereng ini, sekali lagi,
sebelum magrib berkabut, dan lembah kian curam.
sebelum kaki-kakimu, kaki-kakiku,
tak berurat tak berakar,
dan tanah-tanah bukit bergerak
berderak seperti gempa di jantung kita.
lalu apa yang akan kau kenang,
selain batu-batu diam
di padangpanjang,
di anak sungai yang memanjang?
Pekanbaru, 2018
Agama Puisi
kata-kata bersaksi, hanya kepada puisi
ia sembunyikan sunyi.
puisi bersaksi, hanya kepada bunyi
ia sembunyikan sepi.
bunyi bersaksi, hanya kepada kata-kata
ia sembunyikan api.
2017
Agama Burung
sejak ia terjatuh dari sarang,
yang ia tahu hidup itu adalah terbang.
ia hanya percaya kepada sayap,
kepada keluasan langit yang membuka jalan
menuju kebebasan memilih tuhan.
tapi sayap adalah kaki yang rapuh,
kelak ke ranting jua ia bersimpuh.
kalau pohon-pohon pun rubuh,
kelak ke tanah jua hancurnya tubuh.
maka ia tak menyembah langit,
tak minta ampun pada tanah,
bahkan kepada terbang,
pun tak.
2017
Agama Putih
tak ada warna lain, selain putih, katamu.
kamu lalu pergi, menanggalkan bayanganmu
yang hitam, dari tubuhmu yang malam.
aku sudah lama menunggu bayanganmu
mandi, mencuci bola matanya yang merah,
tapi air tanah menolak menjadi air
jika tugasnya hanya membuat tanah
menjadi tong sampah.
maka bayanganmu pun pergi, menanggalkan
bola matanya yang tertutup. aku melihat
air putih mengalir dari bayangan hitam
tubuhku, dari bola mataku yang padam.
2017.
Agama Suara
tak ada suara yang bisa disembunyikan di sini, dindingdinding
hanya pembatas ruang dari sejarah tubuh kita yang tak suci.
sejarah yang saling tembus urat darahnya, saling baur warnanya,
saling peluk kutukan-kutukannya.
maka aku adalah suara yang gaduh. tak mungkin dapat kautemukan
aku, sebagai sunyi yang utuh. bahkan ketika waktu pun telah tiada,
yang abadi adalah suara.
tapi kita diciptakan dari suara yang satu,
kun!
suara yang satu…
2017
Marhalim Zaini, lahir di Bengkalis, 15 Januari 1976. Buku puisinya yang ketiga, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu,
dianugerahi dua penghargaan: Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 dan
Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan 2013.
Cerpen Nurul Khotimah (Pikiran Rakyat, 25 Februari 2018) Balon-balon Permintaan Maaf ilustrasi Yana Husna/Pikiran Rakyat
SUNGGUH hari-hariku kini terlalu berat untuk kulewati. Setumpuk
pekerjaan yang kian hari menggunung berhasil memberatkan punggung ini.
Beban itu semakin terasa ketika sang kekasih yang kuharapkan dapat
dijadikan pundak untuk bersandar saat kulelah, seseorang yang dapat
kujadikan tempat pelepas penat kini telah pergi dan berpaling ke lain
hati.
SEMUA bermula ketika aku yang tak sengaja lewat di depan kafe dekat
tempat aku bekerja beberapa minggu yang lalu. Dengan jelas kulihat dia,
orang yang selama ini kupercaya akan setia menjaga hatinya, tengah asyik
berduaan dengan seorang pria. Pertengkaran hebat pun tak bisa
dihindarkan hingga kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ini.
Saat jam kantor telah selesai, kuputuskan untuk segera pulang. Di
dalam bus itu suasana begitu ramai karena hampir terisi penuh dengan
orang-orang yang baru pulang dari kerjaannya.
Kuputuskan untuk tidak peduli dengan semua itu. Aku memilih diam
menghadap jendela bus. Menatap siluet yang terlewati sepanjang jalan.
Di tengah perjalanan, seorang pria dengan beberapa balon
digenggamannya memilih duduk di bangku sebelahku yang memang saat
kosong.
Setelah lama kuperhatikan, ternyata dia adalah pria yang dulu bersama
pacarku di kafe itu. Dadaku langsung sesak seketika, peluh tiba-tiba
mengalir deras di pelipisku. Emosiku tersulut, namun tak kubiarkan untuk
meluapkanya dalam bus ini. Aku berusaha menahan diri dan memilih turun
walaupun sebenarnya tujuanku masih cukup jauh. Namun belum sempat
kuberdiri, pria itu terlebih dahulu mengangkat suara.
Aku tertahan. Terpaksa mengikuti keinginannya.
“Sekarang apa mau Anda? Belum puaskah Anda telah menghancurkan
hubunganku dengannya?” ujarku, kesal dengan nada yang sedikit tinggi.
“Biarkan saya berbicara dan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat itu,” katanya, lirih.
“Kau tak patut menghukum dia dengan memutuskan hubungan secara sepihak.”
Aku hanya terdiam, kupalingkan wajahku kembali menghadap jendela bus
yang menghadirkan siluet keramaian jalanan. Telingaku tersumbat secara
tiba-tiba. Tak ingin kudengar apapun darinya.
“Kau tahu? Balon-balon yang kubawa sekarang adalah pemberian darinya.”
Aku sempat tersentak. Namun masih tak kupedulikan. Mendengarkannya
hanya akan menambah luka yang hampir kering ini semakin perih. Apalagi
dia memamerkan balon-balon pemberian darinya.
Dia seakan tak peduli dengan sikap acuh yang kusuguhkan. Dia terus bercerita. Aku. Terpojokkan, menahan emosi.
“Aku mempunyai seorang istri, yang belakangan sangat sensitif dan mudah sekali marah padaku.”
Aku sempat tertarik saat ia menyebutkan bahwa ia telah mempunyai
istri. Entah, tiba-tiba telingaku perlahan refleks untuk bisa
mendengamya bercerita.
Lanjutnya. “Sampai pada suatu pagi, istriku benar-benar marah besar
hanya karena saat malam harinya aku tidak menuruti maunya untuk tidur di
ranjang sebelah kanan, dekat dengan tembok. Bagiku tidur di sebelah
manapun sama saja. Tetapi mungkin tidak bagi dirinya. Ia benar-benar
marah dan sama sekali tak mau berbicara denganku.”
“Hingga suatu saat, aku bertemu dengan dia, kekasihmu. Dia
menyarankanku untuk memberikan lima buah balon untuk istriku lengkap
dengan surat permintaan maaf. Terdengar lucu memang, namun hal itu
berhasil membuat istriku kembali tersenyum. Sejak saat itu, setiap hari
aku selalu membawakannya balon-balon ini entah itu aku berbuat salah
atau tidak.”
Aku sedikit terharu mendengar kisahnya, lantas dengan sendirinya aku mengangkat bicara.
“Jadi, sebenarnya Anda telah beristri? Lantas apa yang Anda lakukan sore itu dengan dia?” ujarku.
“Sejak pertemuan itu hingga sekarang, dialah yang membelikan
balon-balon ini, bahkan ia membawanya lebih dari lima, karena biasanya
sebelum sampai rumah selalu ada yang meletus. Dia juga yang mengajariku
merangkai kata yang kutuliskan pada surat permintaan maaf yang kemudian
kuberikan pada istriku.”
“Kau tahu, dia juga banyak bercerita tentang kekasihnya, yang tiada
lain adalah Anda. Banyak sekali hal yang ia kagumi dari Anda. Betapa ia
sangat mencintai Anda lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Mungkin
ia masih belum bisa melupakan Anda. Hingga pada akhirnya kuputuskan
untuk menemui Anda dan menjelaskan semuanya,” lanjutnya.
Pikiranku tiba-tiba kacau dan tak karuan. Aku membatin. Apa yang
telah kulakukan? Aku telah menyakiti perasaan wanita yang selama ini
tulus mencintaiku. Aku yang terlalu emosi saat itu, tak mampu berpikir
jernih.
Oh Tuhan, berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk bersamanya. Pintaku, dalam hati.
Saat aku meratapi apa yang telah terjadi tertunduk lesu dan tak
berdaya, bus tiba-tiba berhenti tepat di depan tempat pemakaman umum.
Kulihat pria itu turun dari pintu depan bus dan terdengar bunyi letusan.
Dua baton yang dibawanya pecah.
Saat itu juga muncul rasa penasaran di benakku, banyak pertanyaan
yang menggantung di pikiranku hingga kuputuskan untuk turun dari bus dan
secara perlahan mengikuti langkahnya.
Tibalah ia pada sebuah makam yang tanah kuburannya masih basah. Ia
tertunduk lama di atas makam tersebut. Kulihat nisan yang masih berwama
putih bersih itu bernamakan “Ratna Ningsih binti Aji Suryadinata” dan
tanggal wafatnya yakni “21 November 2017” berarti sekitar satu minggu
yang lalu wanita itu telah meninggal.
Rasa penasaranku semakin bertambah. Siapa sebenarnya “Ratna” itu.
Untuk apa dia kemari dan lama tertunduk di atas makamnya. Tiba-tiba dia
membuka suara seraya mengikatkan balon-baton yang dibawanya pada nisan
tersebut.
“Ratna, sayangku. Aku kembali datang membawa baton-baton kesukaanmu.
Namun aku minta maaf karena baton yang kubawa tidak seperti biasanya.
Hanya empat balon yang tersisa setelah dua baton yang lain meletus saat
tadi turun dari bus. Kuharap kau tak akan marah. Sebagai permohonan
maafku, biar kubacakan surat permohonan maaf yang dengan tulus kutulis
untukmu. Dengarkan yaa sayang….”
Saat menyaksikan semua itu, hatiku turut larut dalam suasana duka.
Tangis di mata tak terbendung lagi. Akhirnya baru kumengerti, dan
kuputuskan untuk pergi karena tak ingin mengganggunya.
Rasa haru mengiringi langkahku. Sepanjang jalan pulang, rinaian
bening tak henti-hentinya menetes dari mataku. Entah mengapa sore itu
aku bisa menjadi sosok lelaki selemah dan secengeng itu. Aku teringat
pada kekasihku, sungguhaku merasa bersalah.
Aku duduk menunggu sebuah bus di sebuah halte tua, bercat merah tua
yang telah banyak memudar terkena panas dan hujan yang tak jauh dari
pemakaman. Langit senja yang menghadirkan warna jingga khasnya,
menemaniku sore itu.
Tiba-tiba, sebuah tangan mengulurkan selembar sapu tangan berwama
pink bermotif bunga ke arahku. Kuperhatikan sapu tangan itu sama seperti
sapu tangan yang dulu pernah kuberikan pada kekasihku saat ulang
tahunnya.
Senja yang mulai berganti malam, menarik halus warna jingganya
membuat siluet seseorang itu menjadi samar-samar, ditambah mataku yang
baru mengeluarkan air mata semakin menambah kekaburan akan sosok orang
itu.
Saat aku mulai menyadari bahwa sosok itu adalah Adina kekasihku,
entah mengapa bulir bening itu kembali menetes membasahi pipi. Ia dengan
sabar mengusap air mata yang jatuh dengan perlahan, usapan lembutnya
tak hanya menyapu air mata tapi seakan menyapu semua rasa gelisah dan
bersalah yang aku alami saat itu.
Minggu-minggu berikutnya hubunganku berjalan seperti dulu lagi. Aku
merasa seperti seseorang yang telah mati namun diberi kesempatan untuk
hidup kembali. Aku kembali bernyawa.
Adina, yang telah berkawan baik dengan pria itu mengisahkan bahwa
ternyata istrinya tebh lama mengidap penyakit kanker otak yang sudah
amat parah, ia sering mimisan dan muntah darah yang membuatnya sering
pergi ke kamar mandi agar semua orang tidak tahu perihal penyakitnya.
Termasuk suaminya.
Hingga setiap malam ketika hendak tidur ia meminta tidur di ranjang
sebelah kiri, dengan alasan tiap malam ia sering ke kamar mandi untuk
buang air kecil sehingga ia meminta suaminya tidur di ranjang sebelah
kanan karena takut membangunkan suaminya.
Semua rencananya berlangsung dengan rapi. Tak seorang pun menyadari
bahwa ia sebenarnya tengah menderita menahan sakit. Mungkin karena
kebahagiaan yang diberikan suaminya, sehingga ia tak pernah menampilkan
kesan seperti orang sakit di wajahnya.
Namun pada suatu hari ia benar-benar tak dapat lagi menahan rasa
sakitnya. Ia jatuh pingsan saat menghidangkan sarapan pagi untuk
suaminya. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit, namun sayang sudah
terbmbat. Penyakitnya berhasil mengalahkan tubuh lemahnya. Ia pergi
dengan damai.
Sadar bahwa ia terlambat menyadari apa yang dialami istrinya, ia kini
dirundung rasa bersabh dan menyesal. Setiap sore ia selalu
mengagendakan untuk mengunjungi makam istrinya dengan membawa
balon-balon dan surat permintaan maaf, persis seperti yang dilakukannya
dahulu ketika istrinya masih hidup. ***
Cerpen Diyana Mareta Hermawati (Radar Surabaya, 25 Februari 2018) Es Lilin Mbak Erna ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Bagaimana kau merancang mimpi? Kau jelas tahu mimpi apa yang ingin
diwujudkan. Semisal setelah besar nanti kau ingin menjadi dokter, guru,
atau polisi. Kau juga tahu bagaimana mewujudkan mimpi itu. Mama akan
menyemangati dan memintamu belajar dengan rajin sejak kecil. Ayahmu juga
akan ikut serta walau sekadar memuji kehebatanmu di depan
teman-temannya. Orang tuamu akan membiayaimu dengan susah payah. Namun,
aku bukan kau yang dengan mudah mewujudkan mimpi. Mamaku seorang
penyakitan. Beberapa penyakit bersarang di tubuhnya, seperti kolesterol
dan diabetes. Ayahku bukan pekerja kantoran. Dia hanya seorang kuli
bangunan yang pekerjaannya tak tetap. Bagi keluargaku uang adalah barang
langka; untuk makan, bayar listrik, mengurusi mama yang penyakitan,
mewujudkan mimpiku dan lainnya.
Bagiku, mewujudkan mimpi layaknya menggenggam langit ke tujuh.
Mustahil. Meski pepatah mengatakan; tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina,
tapi untuk menyelesaikan sekolahku saja tak mudah. Uang SPP tak kunjung
lunas. Jadi, bagaimana mewujudkan mimpiku sendiri? Sulit! Perkara uang
dan uang membuat keluargaku harus berpikir cepat. Uang keperluan ini dan
itu. Semua melilit tubuhku. Sesak.
Barangkali aku harus bekerja membantu ayah, menghasilkan uang. Mama
terobati dan mimpiku bisa terwujud. Namun, tak habis pikir jemari lembut
mama mendarat kasar di pipiku. Sebabnya hanya es lilin buatan Mbak Erna
tetanggaku. Kujual habis di sekolah setiap harinya. Es lilinnya manis
dan enak. Tapi, bukan sebab rasanya yang membuat mama marah. Kami—orang
tuaku—masih sanggup menyekolahkanku, katanya. Tapi, itu bohong! SPP-ku
tak kunjung lunas. Surat peringatan sudah berkali-kali dikirim ke rumah.
Saat itu pikiranku tak bisa berpikir jernih. Lepas ditampar mama, aku
lari dari rumah. Pergi tanpa bekal ke perbatasan desa. Di sebuah kolong
jembatan rel kereta api, aku tertidur. Seharian tubuhku tergeletak.
Lupa akan rumah. Lupa akan mimpi yang mengakar di tubuhku.
Suara jangkrik yang menemani mengingatkanku pada radio butut milik
ayah yang disimpan di ruang tengah rumah. Suara air sungai yang mengalir
lambat terdengar layaknya suara mama kala kesakitan sebab penyakitnya.
Aku membereskan pakaian yang lusuh. Beranjak, sesaat suara kereta api
melintas di atasku. Decitan rel terdengar jelas di telinga. Lepas
kereta berlalu aku, segera pergi. Perbatasan desaku dekat dengan
lapangan luas. Setiap menjelang sore lapangan akan ramai oleh anak
seusiaku. Bergerombol. Mereka membawa bola plastik dan bermain sampai
magrib.
Tunggu!
Jika aku pulang. Akankah mama menerimaku lagi? Dia menampar sebab
sekotak es lilin Mbak Erna yang kujual di sekolah. Padahal jika
dihitung, menjual es lilin di sekolah bisa laku. Meski keuntungan yang
kudapat tidak lebih dari sepuluh ribu. Namun, jika dikumpulkan mungkin
bisa menutupi kekurangan uang di keluargaku.
“Woy!”
Suara keras menghentikan langkahku. Aku cukup mengenali suara itu. Suara tak asing yang sering kudengar setiap hari.
“Kamu miskin! Kamu tidak mungkin jadi dokter! Mimpimu terlalu tinggi.”
Batinku ingin memakinya. Namun, aku ingat perkataan ayah bahwa hidup
itu keras. Sejauh mana kamu melangkah, pasti ada rintangan. Entah itu
tanah yang tiba-tiba longsor sebab pohon yang gundul, hujan deras tanpa
kita membawa payung, sandal yang putus di tengah-tengah jalan, dompet
hilang, dan bahkan makian orang terdekat bisa jadi bumerang bagi kita,
kata ayah begitu. Dia selalu berkata begitu saat aku muak akan kehidupan
yang tak berbeda, seakan berhenti di satu titik, kekurangan, ya, kami
memang miskin.
“Wah, kamu tidak mendengar perkataanku, ya?”
Dia terus memaki. Merecoki gendang telinga dengan perkataannya yang
tak bermutu. Jika ada lagi kawannya yang memaki, telingaku bisa jadi
panggung hiburan. Ramai dengan makian mereka. Memang bocah itu dari
kalangan berada. Ibunya seorang bidan di desaku. Ayahnya seorang polisi.
Dia benar-benar dari kalangan terhormat, sayang ucapannya tak dijaga,
orang lain bisa sakit hati karena ucapannya.
“Kamu tuli, ya?”
“Woy!”
Kesabaranku hampir habis. Dia benar-benar membuat gendang telingaku ramai dengan perkataannya yang mengiang tak hilang.
“Kamu tidak akan menjadi dokter!” teriaknya sekali lagi.
Kubiarkan perkataannya jadi angin lalu. Langkah kakiku berhenti di ujung ubin rumah. Mama berdiri di pintu, kaget melihat
“Belajarlah dengan giat!”
Belajar dengan giat tak akan membuat SPP-ku terlunasi. Hanya uang!
Uang yang akan membuat SPP-ku terlunasi. Diabetes mamaku tinggi lagi
minggu lalu. Uang yang harusnya dibayarkan SPP dibayarkan obat mama.
Sekolah tak butuh obat! Tapi, butuh uang.
Katanya, mimpi selalu indah dan akan lebih indah saat mimpi itu
terwujud. Setelah kejadian mama menamparku sebab es lilin Mbak Erna.
Keesokan harinya, aku masih menjual es lilin di sekolah. Namun, aku
rahasiakan dari mama dan ayah dan buat perjanjian dengan Mbak Erna.
Kubilang saja es lilin yang kubawa setiap hari akan habis. Sebab uang,
dia sepakat. Terkadang uang membawa hal baik lainnya. Seperti,
keberuntunganku menjual es lilin tanpa diketahui mama dan ayah.
Puluhan es lilin telah kujual. Recehan uang terkumpul. SPP bisa
kucicil. Meski di setiap harinya tak sedikit es lilin yang mencair,
sebab panas yang menyengat. Pernah sekali aku dimaki oleh seorang
pembeli. “Kau jual es lilin atau minuman!” Sebab waktu itu tak seperti
biasanya, hari benar-benar panas dan sebagian es lilinku mencair. Tapi,
es lilin itu tetap habis juga.
Ketika mama memberikan uang yang katanya untuk bayar SPP. Aku tak
memberikannya pada aparat sekolah. Aku masukkan uang itu pada toples
bekas makanan. Diam-diam aku meminta toples bekas makanan dari Mbak
Erna.
Kau tak akan tahan jadi aku, bocah yang dilahirkan dari rahim seorang
ibu penyakitan dan ayah kuli bangunan. Setiap hari saat pergi ke
sekolah tubuhmu akan menggigil kedinginan, sebab langit yang masih
berkabut. Kau akan keberatan membawa sekotak es lilin. Pundakmu akan
sakit sebelah. Di sekolah kau tak akan bisa bermain dengan kawanmu. Kau
harus berteriak, “Es lilin! Es lilin!” saat menjajakan es lilin. Hanya
demi mewujudkan mimpi!
***
Aku membenarkan jas putih yang kukenakan. Mengusap hidup yang terasa
mampet sebelah karena pendingin ruangan. Kurapihkan meja kerja. Anak di
hadapanku memandangiku. Wajahnya unik. Matanya kecil. Senyumnya manis.
Dia memegang boneka beruang kecil di tangan kanannya. Perempuan di
sampingnya tersenyum.
“Dok,” ujar perempuan di sampingnya.
Aku mengangguk, “Ya, Anda tidak apa-apa. Ini resep obat untuk Anda. Semoga lekas sembuh.”
“Setelah besar, aku ingin jadi dokter,” ujar anak itu.
Tiba-tiba dia mengingatkanku pada masa kelam bersama sekotak es lilin
yang setiap hari memberikan sepeser uang untuk mencicil mimpi.
Percayalah, keajaiban selalu datang pada orang yang mempercayainya.
Barangkali mama di sana bilang padaku, “Sudah Mama katakan, Mama sanggup
membiayaimu sekolah.” Kemudian, ingatanku mencair layaknya es lilin
yang sempat mencair sebab terik mentari waktu itu. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.