Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Ongki Arista UA (Rakyat Sumbar, 23 Desember 2017) Pantai Tatapan ilustrasi Rakyat SumbarDULU, ketika waktu tak pernah tepat, tak pernah
benar, tak pernah memihak, tak pernah berbohong dan tak pernah terkubur,
kau tak muncul bersama detik atau jam, atau hari atau bulan. Kenapa kau
tak ikut waktu berlayar, padahal aku telah menunggumu di pinggir
pantai, tempat para pelayar biasanya berhenti meski sedetik, meramaikan
waktu, tanyaku tak terselesaikan.
“Mengapa kau tak datang?”
Tanyaku tak pernah berubah, dari tempat dan waktu ke tempat dan waktu
yang lain. Tak ada jawab, hingga tak ada tanya. Tanyaku hanya terjawab
dengan tanyaku di waktu dan tempat yang lain hingga tak muncul lagi
menjadi sebuah tanya. Lalu aku diam saja, berpikir untuk tidak bertanya
tentangnya yang tak kunjung datang menghantuiku di pantai, menjawab
tanya meski sedetik.
Pantai itu bernama “Tatapan”.
Di sana banyak makna merasuki pasir-pasir. Kadang pasir-pasir
membantuku berdoa kau datang dan bersama menjadi pasir-pasir yang abadi
bersama pantai tatapan itu, lalu kita bisa menari sepuasnya bersama
angin pantai itu. Aku tahu, kau tak suka menjadi pasir, kau lebih suka
menjadi laut yang bergemuruh memainkan gelombang. Aku tahu kau tak mau
menjadi pasir yang mudah diombang-ambingkan gelombang pantai, yang
gemulai bagai tarian di sisiku. Kau memilih menjadi gelombang lautan
yang ganas itu.
Apakah karena pasir-pasir itu kau tak mau datang? Aku tak punya teman
selain pasir itu. Hanya pasir-pasir itu yang setia mendoakanmu datang.
Aku tak mungkin datang pada pantai yang tak berpasir. Selain aku tak
punya ongkos bepergian, aku juga tak yakin ada pantai yang tak berpasir.
Datanglah! Jika kau tak suka pasir, tak suka meski sedetik melihatnya,
ayolah! Bayangkan yang lain, lalu datang ke pantai ini.
Aku melihatmu, terus melihatmu. Kau menenteng sebuah tas kresek dan
berkali-kali kau berhenti dan meletakkan kresek itu, lalu melanjutkan
langkahmu mendekat ke arahku. Semakin dekat kau menuju ke arahku,
semakin jelas kulihat kau. Aku kira itu kau, ternyata bukan kau. Mataku
saja yang mendahului kau datang hari ini. Datang malam ini. Datang
bersama harapku yang telah menua di sepanjang waktu.
Entah bagaimana caranya, aku menunggumu datang, meski waktu tak
pernah tepat bagimu untuk datang, meski terlambat dan meski tak mungkin.
“Apa yang kau tunggu?” Ombak menyapa, membasahi jemari kaki, mengulum
telapak kaki dengan pasir-pasir yang terbawa ombak yang berlari dari
tengah lautan sana.
“Aku menunggu kekasihku.”
“Sejak kapan kau punya kekasih?” tanyanya semakin mendekat, mengulum kakiku, lebih dalam dari sebelumnya.
“Aku tidak tahu sejak kapan.”
Kau tidak tahu kalau cinta lebih penting diingat rindunya daripada kapan jadinya, bisikku.
“Bagaimana cara kau menunggu kekasihmu?”
“Diam bersama pasir di sepanjang pantai lalu mengajaknya berdo’a.”
***
SEJAK itu, aku sadar. Pasir hanyalah dan tetaplah pasir. Menunggu
yang tak pasti ialah tetap saja ketidakpastian, tetap saja hal gila,
tetap saja menunggu, buang-buang waktu, buang-buang harapan.
Sejak itu aku sadar, aku tak punya kekasih selain dalam khayal yang
begitu nyata, dalam mimpi yang nyata melebihi kenyataan. Ia berjanji
datang di pantai ini. Jelas sekali tatapannya di pantai yang basah ini.
Aku tak mungkin menganggapnya mimpi, karena nyata sekali dan aku tak
mungkin menganggapnya nyata, karena itu memang nyata sebuah khayalan
yang mengeras membentuk mimpi.
Itu tak nyata, tak lama, tak serius dan tak pasti akan nyata terjadi.
Aku tak dapat meyakini sesuatu datang melebihi mimpi jika itu memang
benarlah mimpi dan aku juga tak akan mengingkarinya sebagai kenyataan
karena telah merenggut miliaran konsentrasi dalam hidupku untuk
membuatnya nyata selama bertahun-tahun.
Aku pergi meninggalkan pantai, mengusir pasir-pasir yang terlalu
semangat mendoakan mimpi itu. Langkahku mulai tak karuan. Aku tertatih
karena lelah menunggu lalu kembali tidur untuk memimpikannya,
mengembalikan kenyataan. Kini akan aku ajak dia keluar dari mimpiku. Aku
akan paksa dia tidak hanya menjadi mimpi belaka.
Akan aku sambut nanti. Tapi kapan? Tentu aku tak tahu. Aku hanya
tukang tidur, yang yakin, mimpi akan menjadi nyata. Aku tidur, lalu
memaksanya nyata, datang dalam mimpi dan nanti aku akan membawanya
keluar menjadi nyata, lebih nyata lagi. Aku seperti ini karena ingin
mempertanggungjawabkannya. Aku laki-laki yang selalu berjanji
mengabulkan mimpi-mimpi dalam hidup ini.
“Aku datang, Ayo bangun!” Aku tak segera membuka mata. Tidurku
terganggu. Kenapa yang datang bukan perempuan? Gadis? Atau serupa gadis
yang aku tunggu? Ke mana gadis itu? Ke mana tadi? Ke mana mimpiku?
“Ah!”
Aku melihat wajah lelaki, bukan dia gadis itu. Aku memutar-mutar
tubuh, membuka mata pada benda-benda di sekelilingku. Aku tak menemukan
apa-apa. Aku pun tidur kembali. Aku tak mampu menahan kenyataan tanpa
dia di mimpiku nyata. Lebih baik aku tak nyata saja. Aku kembali tidur,
setidur-tidurnya meski di ujung akan terbangun kembali.
Meski tak nyata, cerita tidur selalu lebih indah daripada kenyataan
yang tidak pernah seperti indahnya mimpi. Aku memilih tidur, jika tidak
bisa, aku memaksa untuk tidur. Mimpi yang diharap tak kunjung muncul.
Aku memaksanya. Aku mencari mimpiku, bagai nomor lagu yang dicari pada
kaset dan vcd dengan remote control. Aku memencet tombol-tombol next, berkali-kali.
“Eh kelewatan!”
Itulah tidur dan mimpiku. Ia penanda sebuah keterlewatan, keterlambatan, kehilangan, ketidaktercapaian, kepalsuan dan kenyataan.
Kadang, mimpi itu benar-benar nyata, untuk menjemputnya, aku harus
tidur, tapi bagaimana mungkin kenyataan hadir dalam tidur-tidur yang
begitu pulas meski berselimut mimpi menjadi presiden sekalipun? (*)
Cerpen Kim Al Ghozali AM (Rakyat Sumbar, 23 Desember 2017) Doa di Masa Darurat ilustrasi Rakyat SumbarIA memang begitu percaya pada kekuatan doa, meski ia
sendiri sama sekali tidak rajin dan berdoa hanya pada waktu tertentu.
Terakhir kali ia berdoa ketika berada di atas kapal di tengah-tengah
laut, dan kapal yang ditumpanginya itu sedang diombang-ambing ombak
dahsyat. Ketakutan menguasai dirinya, rasa khawatir yang hebat
menggerakkan bibirnya untuk berdoa, berdoa demi keselamatannya, untuk
lepas dari maut yang tak dikehendaki itu.
Ia berdoa dalam keadaan berada di tengah-tengah antara harapan dan
keputusasaan. Ia berdoa karena begitu ngeri melihat ombak yang akan
menerkam tubuhnya, melihat laut yang ganas yang akan menjadi kuburan
bagi kematiannya. Dan beberapa saat setelah berdoa ombak itu tenang
kembali, kapal yang ditumpanginya selamat dan ia bisa melanjutkan hidup.
Ia percaya selamatnya kapal dari ombak yang mengamuk itu tak lepas dari
peran doa dirinya. Ia begitu mempercayai itu, meski tentu saja tidak
hanya dia seorang yang berdoa di dalam kapal itu. Ada begitu banyak
penumpang dan semuanya beragama. Tentu semua orang yang beragama akan
berdoa ketika ada bahaya yang mengancam.
Ia mempercayai kekuatan doa sebagaimana semua orang yang beragama,
tapi jelas ia bukan orang yang rajin berdoa. Berdoa hanya dibutuhkan
saat-saat genting, bukan dalam masa tenang, katanya.
Dan ia memang telah beberapa kali membuktikan sendiri keajaiban
doanya. Sebelum peristiwa di kapal laut itu, ia pernah menjadi mata-mata
di masa darurat. Ia menjadi pemuda yang bergabung dengan tokoh-tokoh
pro-republik, menyusun gerakan-gerakan bawah tanah untuk kemerdekaan
bangsanya. Dan pada sekali waktu ia tertangkap pasukan musuh, dipenjara
dan disiksa. Pada waktu yang ditentukan ia akan menjalani hukuman mati,
dipenggal kepalanya. Saat-saat seperti itulah ia berdoa terus menerus.
Ia begitu takut membayangkan kematiannya, mengingat umurnya yang masih
begitu muda ia masih ingin hidup panjang. Meskipun menyadari konsekuensi
perjuangan, toh ia tak ingin dirinya segera berlalu berada di dunia. Ia
terus berdoa untuk keselamatannya, untuk cita-cita kemerdakaan
bangsanya.
Tiga hari sebelum hari akhir itu tiba, tiba-tiba dari luar penjara
menggema kemerdekaan untuk bangsanya. Ia terbebas dari kurungan. Ia
selamat dari samurai yang lapar, selamat dari kematian yang ditentukan
musuhnya. Dan ia meneruskan hidupnya sampai kemudian hari, juga akhirnya
memilih jalan lain yang sukar, yang membawanya pada suatu kedaruratan
yang lain.
Sekarang ia hanya bisa mengenang semua itu. Mengenang perjuangan dan
keadaan sulit di masa-masa lewat, mengenang gema kemerdekaan bangsanya,
mengenang kekuatan doanya, bahkan masa kecilnya di kampung jauh. Ia
hanya mengenang dan mengenang, segala sesuatu yang sudah sangat jauh,
kehidupan di luar ruang pengap itu.
Apabila pagi tiba, sebentar ia berdiri menengok keluar lewat jendela
satu-satunya di penjara itu. Kemudian ia tersenyum, entah tersenyum pada
apa atau siapa, sebelum akhirnya kembali duduk dan wajahnya begitu
murung. Lalu pikirannya bergerilya, memutar adegan demi adegan kehidupan
yang dulu pernah dimainkannya.
“Aku percaya doa mampu membebaskanku dari sini,” ucapnya pada diri
sendiri. Tak ada orang yang hirau pada ucapan itu, tidak teman sesama
penghuni penjara, tidak pula para penjaga penjara yang mendengarkan.
Ini tahun ketiga ia menjadi penghuni penjara yang dibangun di masa
kolonial itu. Jika sebelumnya ia dipenjara oleh musuh, kini ia dipenjara
oleh saudara sebangsanya. Tahanan politik. Penjara para pemberontak!
Tahun ketiga di mana semuanya akan segera berakhir.
Sahabat-sahabatnya telah dijemput para petugas beberapa bulan
sebelumnya, dibawa ke suatu tempat dan timah panas telah menjebol
dadanya. Kini ia menjadi satu-satunya orang penting yang tersisa dalam
penjara itu. Dan ia terus berdoa, dengan redaksi dan keyakinan yang sama
selayaknya saat peristiwa di kapal atau ketika ditangkap musuh pada
masa-masa darurat.
Hingga pada suatu malam ia didatangi beberapa orang petugas dan
dibawa keluar, ke sebuah tempat di mana tanahnya akan menerima darah
segarnya yang menetes. Dan ia tetap berdoa. Wajahnya begitu sedih, tapi
mulutnya tetap menggamitkan kata-kata yang pernah diajarkan ibunya
sewaktu kanak.
Dan seumur hidupnya ia memang percaya pada kekuatan doa, sampai
matanya tertutup setelah tiga benda keras menerjang dadanya, menerjang
keyakinannya. (*)
Biodata:
KIM AL GHOZALI AM. Cerpen
dan puisinya tersebar di berbagai koran di Indonesia, di media online
dan banyak antologi. Buku puisinya yang telah terbit: Api Kata (Basabasi, 2017).
Cerpen Risda Nur Widia (Koran Tempo, 30-31 Desember 2017) Pada Kota Serupa Sajak Chairil Anwar ilustrasi Yuyun Nurrachman/Koran Tempo
Mungkin kau pernah melihat film atau mendengar kisah tentang seekor
anjing jenis Akita Inu, kelahiran Ôdate: Prefektur Akita. Anjing setia
yang menunggu tuannya: Profesor Ueno; yang setiap hari bekerja
pergi-pulang dari Stasiun Sibuya dan mendadak meninggal di perjalanan:
tak kembali. [1] Anjing itu menunggu dengan harapan dirinya bertemu
majikannya. Kenyataannya anjing itu tak pernah bertemu hingga ajal
menjemput. Hawa dingin membunuh anjing itu. Mungkin seperti itulah aku
hari ini: berdiri di menara setinggi 170 meter pada distrik Gunwharf
Quays, Spinnaker Tower, Portsmouth, pada pengujung tahun. Kedatanganku
hari ini menunggumu: orang asing yang kukenal lima tahun lalu, dan aku
telah banyak menaruh harapan padamu.
Aku tak ingin bernasib seperti anjing tersebut. Namun bila dipikir: Sedikit gila kedatanganku ke kota yang terletak di bagian selatan London.
Baru dua kali aku ke sini. Dan hari ini adalah kesempatan kedua. Aku
datang hanya berbekal yang semuanya pas-pasan. Bahasa Inggris yang tak
lancar, dan nama-nama jalan atau tempat yang sedikit aku tahu dari film
serta buku. Hal besar yang membuatku datang ke Gunwharf Quays ialah
harapan. Ada janji diantaranya. Selebihnya kenekatan pria sinting yang
ingin menemuimu di akhir tahun ini. Aku menatap langit kota Portsmouth
yang biru. Gunwharf Quays yang terletak persis di tepi pelabuhan
Portsmouth Harbour menjelma seperti puisi berjudul Senja di Pelabuhan Kecil. [2] Seperti hari itu-lima tahun lalu-saat pertama bertemu denganmu.
Mataku tabah menyisir kerumunan orang yang menghabiskan waktu akhir
tahun di tepi laut Britania. Semuanya berpasangan. Mereka berdecak
dengan pembahasan yang entah. Portsmouth Harbour memang satu-satunya
tempat ramai di kota yang hanya memiliki 400-an penduduk. Gunwharf Quays
dapat dikatakan jantung kota Porstmouth. Selain sebagai dermaga, tempat
ini merupakan pusat perbelanjaan dengan konsep terbuka. Jumlah toko
bisa mencapai angka 95-termasuk 25 restoran bila memasuki akhir pekan.
Namun di antara keramaian tahun baru, aku tak menemukanmu: sesosok
wanita dengan pipi cembung, mata tipis yang nyaris tenggelam bila
tertawa, dan senyum manis serupa Strawberry Cheesecake Bite.
“Masih satu setengah jam lagi,” kataku. “Semoga kau masih ingat janji kita lima tahun lalu.”
Aku mengerling ke arah jam yang melilit tangan kiri. Pukul 17.30.
Langit di tepi pelabuhan Portsmouth Harbour meremang. Cahaya jingga
menindih langit kota yang sebelumnya biru. Lampu-lampu putih-keperakan
mulai menyala dengan terangnya; tidak mencolok mata di sela kafe-kafe
kecil di Gunwharf Quays. Dari menara setinggi 170 meter, cahaya-cahaya
kecil itu mengingatkanku pada kunang-kunang. Hatiku singup ketika
mengingat kedatanganku ke kota ini hanya berbekal harapan kosong. Aku
meraba tas kecilku; mengambil novel berjudul: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu [3]; buku yang sebenarnya sengaja aku bawa untukmu.
Tak ingin jengah dilahap bosan, aku membaca novel itu. Sepasang
mataku mengurai satu persatu kata yang menjelma kalimat. Namun
konsentrasiku selalu pecah di kerumunan orang. Rasanya aku tak ingin
melewatkan pandang mengiringi kedatanganmu dari keramaian. Kenyataannya:
kau belum tampak. Kau menjelma pengertian yang sulit aku urai seperti
dalam buku-buku sejarah; yang sering menghabiskan waktuku setiap malam.
Sekali lagi aku melengos pada jam tanganku. Gelisah ternyata lebih
pandai menyamak waktu. Sudah tiga puluh menit berlalu. Jadi aku masih
memiliki satu jam lagi menunggumu di Spinnaker Tower sebelum tahun yang
baru tiba.
***
Kedatanganku ini memang tanpa janji baik pesan singkat, e-mail,
atau surat. Kehadiranku persis seperti yang kami janjikan lima tahun
lalu. Ini dapat dikatakan sebagai upaya mengingat arti seseorang dalam
hidup kami. Begitulah. Aku tiba pagi tadi dalam kecemasan kau
melupakanku. Aku menarik napas panjang. Udara pesisir Portsmouth Harbour
yang asin menggumpal di dadaku. Perjalanan panjang dari
Indonesia-London bukanlah waktu singkat. Bahkan sepanjang perjalanan di
tubuh pesawat hingga mendarat di Heathrow International Airport, masygul
terus menggelayut.
Aku ingat dahulu bertemu denganmu di tepi Sungai Thames. Perjumpaan
tidak sengaja. Waktu itu-pada kedatangan pertamaku-wajahku terlihat
pasi. Apabila dibandingkan pasti mirip kisah dalam Alkitab yang
dituturkan oleh Yesus kepada murid-muridnya, tentang: seekor domba yang
terpisah dari 99 domba lainnya di tengah padang. [4] Peta yang detail
tidak berhasil menyelamatkanku dari sesat. Dan kau menjelma menjadi
seorang penggembala yang menemukanku. Kau melihat kepanikanku dan
menawarkan bantuan. Aku terkejut-sekaligus bersyukur-ketika itu. Yang
membuatku tenang, kau adalah orang senegara denganku.
“Kau tersesat?” katamu. “Kau orang Indonesia?”
Mendengar suara lembut dan bahasa yang tak asing cepat menyeret
perhatianku. Aku mengerling ke arah suara itu. Aku mendapati dirimu
tersenyum dengan sepasang mata yang nyaris tenggelam. Selain itu aku
menemukan pipi kenyalmu yang cembung, dan senyum manis yang sampai hari
ini sulit aku lupakan. Aku-waktu itu-menatapmu antara linglung dan malu.
Rasanya aku tak ingin diselamatkan oleh wanita secantik dirimu. Namun
kenyataannya aku bisa tenggelam dalam liang sesaat Lucifer [5] di sepertiga malam.
“Kau mau ke mana?”
“Porstmouth.”
“Porstmouth?” katamu mengulangi. “Kota itu berada di ujung selatan London.”
Aku melirik peta. Benar. Letak Portsmouth jauh dari pusat kota. Aku
membuang sepasang mata ke arahmu. Kau melihatku santai. Kau malah
mengajakku berkenalan. Kau melampirkan sepucuk tanganmu di hadapanku.
Aku menyambutnya. Aku rasakan lembut telapak tanganmu. Pada saat
itu-ketika sekali lagi menatapmu-aku melihat sosok Clíodhna atau Queen
of the Banshees [6].
“Aku Rinda. Dari Aceh. Aku sudah lama tinggal di sini. Kuliah. Kau?”
“Tarno. Dari Jogja. Ini pertama aku ke sini.”
“Sedang liburan?”
Aku menggeleng dan menjelaskan kedatanganku menemui seseorang penting
di kota Portsmouth. Aku di sini mutlak karena pekerjaan sebagai seorang
wartawan dari Indonesia. Seperti mengenal lama, kau mengajakku
berangkat bersama menuju Portsmouth. Ketika itu kau juga memiliki tugas
kuliah menulis artikel mengenai kehidupan orang-orang di ujung selatan
London.
Kau menyarankanku menaiki minibus menuju Portsmouth: “Dengan minibus kita bisa lebih menikmati isi kota.”
Karena memiliki banyak waktu, aku mengiyakan ajakan itu. Kami memesan
minibus. Kami pergi dengan kecepatan sedang menuju wilayah Hampshire.
Sepanjang jalan pohon-pohon tumbuh menghijau. Satu jam kami terkurung.
Hingga kemudian kau menyuruh sopir berhenti di suatu bukit. Kau
menjelaskan kami sedang berada di posisi paling tinggi kota. Kau
menyebut apabila melewatinya malam hari: Perpadauan cahaya lampu kota dan laut menjelma surga kecil di bumi.
“Di Portsdown Hill ketika malam, kita seperti melihat pecahan taman Eden,” ucapmu. “Kau harus melewati jalan ini ketika malam.”
“Oh, mungkin apabila di Jogja seperti Bukit Bintang.”
Kau tertarik dengan nama itu. Lalu aku menjelaskan letak Bukit
Bintang. Aku berjanji mengantarkanmu ke sana apabila berkunjung ke
Jogja. Hanya 30 menit kami menikmati kota Portsmouth dari bukit. Gerimis
turun. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dan memesan dua kamar
hotel di distrik Southsea Common. Beberapa hari kami disibukkan dengan
urusan masing-masing. Ketika pekerjaan selesai, kami kembali membuat
janji: bertemu. Kami meluangkan waktu berdua. Kami mendatangi
tempat-tempat yang sebelumnya hanya aku tahu di internet. Kau menjadi
peta baruku. Seperti ketika kami mengunjungi Old Porstmouth: benteng
yang dibangun untuk mempertahankan pelabuhan pada perang dunia kedua.
Selain itu kami mengunjungi Historica Dockyard. Kau menjelaskan
mengenai dok kapal raksasa yang masih aktif. Di sana aku menemukan
kapal-kapal pribadi. Namun paling mencolok adalah kapal perang milik
angkatan laut Inggris yang masih aktif digunakan. Tidak hanya kapal
perang yang aktif; di Historica Dockyard terdapat kapal perang Inggris
bernama HMS Victory. Kapal itu sudah tidak bisa digunakan lagi dan
menjadi museum. Kapal besar itu tinggal menyisakan kejayaan dari
beratnya yang lebih dari 3.000 ton. Kau menjelaskan: Kapal itu dahulu dikemudikan Laksamana Nelson
[7]. HMS Victory terkenal karena digunakan pada perang laut Trafalgar
melawan Spanyol dan Prancis di tahun 1805. Kapal itu merupakan benda
favorit raja Henry ke-8.
Aku terdiam mendengarkan kisahmu. Aku terpesona dengan kecerdasanmu
mengenai benda-benda tua. Lantas ketika senja sudah matang, kau
mengajakku ke Spinnaker Tower. “Kau harus melihat bagaimana senja
tenggelam di kota ini. Senja di kota ini mirip dengan lirik puisi Senja di Pelabuhan Kecil,” katamu.
Kami naik ke menara serupa layar. Benar. Terdapat senja yang begitu murung. Kau berkata lagi: “Rasanya sedih berpisah denganmu.”
“Aku juga.”
“Kira-kira apakah kita bisa bertemu lagi?”
“Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sini kelak?”
Kau terdiam lantas berkata, “Bagaimana lima tahun lagi kita bertemu
di sini. Ketika tahun baru. Kita tak perlu bertukar alamat atau apapun
yang dapat menghubungkan. Kita bekerja dengan filing. Kita lihat
seberapa penting diri kita mengartikan seseorang selama lima tahun itu.”
Aku mengangguk. Setelah itu aku mencium bibirmu panjang. Hingga tak dapat aku lupakan selama lima tahun terakhir.
***
Rasanya begitu konyol datang ke kota ini. Aku seperti pungguk yang
terlalu tinggi merindukan bulan. Apalagi ketika aku mengingat telah
mengorbankan banyak hal. Termasuk-seminggu sebelum datang ke kota
ini-memutuskan jalinan cinta dengan kekasihku yang berjalan cukup lama.
Aku-sedikit sengit-menghempaskan mataku ke arah laut yang keperakan.
Malam ini bulan memantulkan tubuh bulat pucatnya di atas permukaan laut.
Syahdan aku berpikir: Mungkin kau telah melupakanku?
Aku benar-benar datang ke kota ini dengan harapan kosong. Ketika
menyadari kini telah lima tahun lebih satu setengah jam berlalu, dan
tahun yang lama sudah berlalu. Aku mengutuki pendeknya akalku. Aku
mengemas novel bacaanku. Aku bergegas pergi meninggalkan Spinnaker
Tower. Ketika pintu lift terbuka, sebuah suara memanggilku: ‘Tarno.’ Dan aku termenung tak tahu berbuat apa.
Catatan:
[1] Kisah Hachiko
[2] Puisi Senja di Pelabuhan Kecil, adalah karya Chairil Anwar
[3] Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, adalah karya Phutut Ea
[4] Perumpamaan tentang domba yang hilang adalah sebuah perumpamaan
yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-muridnya. Kisah ini tercantum di
dalam Matius18:12-14 dan Lukas15:3-7.
[5] Lucifer adalah nama yang seringkali diberikan kepada Iblis dalam
keyakinan Kristen karena penafsiran tertentu atas sebuah ayat dalam
Kitab Yesaya. Secara lebih khusus, diyakini bahwa inilah nama Iblis
sebelum ia diusir dari surga.
[6] Clíodhna atau Queen of the Banshees, adalah dewi/peri perang yang memiliki wajah cantik dari mitologi Irlandia
[7] Laksamana Nelson, adalah seorang laksamana Inggris yang terkenal
karena jasa-jasanya dalam Perang Napoleon, terutama dalam Pertempuran
Trafalgar, di mana ia wafat. Ia menjadi pahlawan angkatan laut terbesar
dalam sejarah Britania Raya, melebihi Robert Blake dalam ketenaran.
Risda Nur Widia. Cerpennya tersiar di berbagai media. Buku cerpennya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016).
Cerpen Khairul Anam (Rakyat Sumbar, 30-31 Desember 2017) Pekerjaan Gelap ilustrasi Rakyat SumbarKAU keluar menghampiri suamimu yang sedang duduk di
beranda rumah. Suamimu masih sibuk dengan bukunya. Sedangkan kau, datang
dengan kegelisahan yang melililitmu sedari tadi.
Kau duduk di sebelahnya, tatapanmu berjalan di seluruh tubuh suamimu.
Dia tenggelam dalam lautan kata, atau mungkin menyengaja menyelam di
dalamnya. Hingga dia tak menyadari kedatanganmu. Kau mendesah, mencoba
mencari perhatiannya. Usahamu berhasil, dia menoleh lantas menutup
bukunya.
“Cobalah cari kerja, Sayang. Berjualan koran saja tidak cukup,” katamu lirih, takut menyinggung perasaannya.
“Aku tahu apa yang kau khawatirkan, Sayang. Aku sudah berusaha.
Tunggu saja waktunya.” Tangannya menyentuh perutmu yang semakin
membuncit. Dia mengusap penuh kasih sayang, bibirnya bergerak-gerak
membacakan doa. Kau tersenyum, terharu. Kepala dengan rambut panjang
yang tergerai, kau letakkan di pundaknya. Kau dekap mesra tangannya.
Malam menjelang. Dapur berasap, gemercik suara radio suamimu menemani
jemari-jemarimu memasak. Kautuangkan air pada panci alumanium yang
kaubeli dari pasar loakan. Hidup sederhana, kau hanya membeli
barang-barang bekas untuk menyambung hidupmu.
Masakan sudah matang. Kau membawakan mangkok berisi sayuran dan tempe
goreng pada piring kecil ke ruang tengah. Suamimu sibuk dengan pena dan
buku yang tidak kau tahu apa isi buku itu.
“Berhentilah. Ayo makan dulu.” Senyumnya mengiyakan ajakanmu. Dia berhenti, lalu mengambil nasi, sayur dan tempe.
Kau makan berdua dengan suamimu. Cerita tentang penjualan koran tadi,
menemani kesepian kalian di rumah yang terbuat hanya dari kayu bekas
rumah-rumah yang dirobohkan kemarin gara-gara tanahnya tidak
bersertifikat.
Kehamilanmu sudah menginjak sembilan bulan. Beberapa hari ke depan,
mungkin kau sudah melahirkan. Sudah tiga hari, suamimu tidak pulang. Kau
sangat gelisah, kepalamu pusing tapi usahamu untuk tetap kuat menyangga
anakmu sungguh perlu diapresiasi.
Benar, tiga hari kemudian, kau dibawa ke rumah sakit oleh tetangga.
Tanpa ada halangan apa pun, bayimu lahir sempurna. Kau terkejut, ketika
suamimu berjalan di belakang suster yang menggendong bayimu.
Suamimu datang dan hanya memberi uang seratus ribu rupiah. “Kau pergi
ke mana saja dan lalu pulang hanya membawa uang segini?” katamu kesal.
Kali ini, amarahmu begitu meledak, akal sehat dan nuranimu sudah
terbakar hangus oleh api amarahmu.
“Pergi saja kamu. Aku tak sudi melihatmu. Aku sudah muak hidup miskin
bersamamu. Biarkan aku di sini, biar aku yang menanggung biaya semua
rumah sakit ini. Pergilah.” Baru kali ini kau membentak suamimu dengan
sangat keras. Suamimu berdiri, menuruti keinginanmu. Dia sempat melihat
bayimu, yang dulu kaujanjikan akan memberikan nama Alan. Alan menangis
seiring langkah ayahnya keluar dari kamar.
***
Keberuntungan berpihak padamu. Ada yang rela membayar semua biaya
persalinanmu. Bayimu juga tumbuh sehat. Banyak kerabat, saudara dan
teman-temanmu yang datang menjengukmu. Sejenak, kenangan tentang suamimu
kaulupakan. Kau belum benar-benar bercerai dengannya, tetapi kau
memilih menganggapnya tiada.
Tiga hari berlalu, tiba-tiba ada kerinduan yang memercik di hatimu.
Kau rindu saat hangat-hangatnya bercengkerama dengan suami, kau rindu
saat kau bercanda ria dengan suamimu. Kau rindu semuanya tentang
suamimu.
Berulang kali kautanyakan pada teman-temanmu dan teman suamimu, namun
tak ada yang tahu keberadaan suamimu. Kau menangis terpekur di beranda.
Alan kecil kaupeluk erat.
Suatu malam, saat hujan deras dan angin kencang menerpa rumahmu.
Datang seorang lelaki yang seumuran suamimu. Kau tak mengenalnya, dan
sangat asing.
Dia datang dengan raut wajah yang menyedihkan. Tak ada kebahagiaan
yang memancar dari setiap sudut wajahnya. Dia duduk, mengatupkan payung.
Senyum ramah dan salam yang penuh kelembutan, menyapamu yang terbengong
di bingkai pintu.
“Maaf Anda siapa ya?” tanya ragu penuh ketakutan.
“Tenanglah. Aku tidak akan menjahatimu. Aku hanya ingin menyampaikan wasiat untukmu.”
“Suamimu meninggal dua hari setelah kelahiran anakmu. Dia
meninggalkan banyak harta yang selama ini dia sembunyikan darimu. Dia
sebenarnya adalah penulis. Pekerjaan terangnya adalah penjual koran,
sedangkan pekerjaan gelapnya adalah penulis. Puluhan buku best seller yang
ada di rak utama toko buku itu semua miliknya. Dia memakai nama Alan.
Supaya orang tidak mengenalinya, terlebih kamu.” Orang itu menghela
napas. Matamu mulai berkaca-kaca.
“Tapi mengapa dia sejahat itu, mengapa dia tidak memberitahuku tentang semua ini?”
“Bukan dia yang salah, tetapi kau sendirilah yang memintanya.
Ingatkah waktu sebelum menikah. Kau katakan padanya kalau kau ingin
hidup sederhana dengannya hingga nyawa tak lagi ada di raga. Ingatkah
kau bilang ingin mengajarkan anak-anakmu kesederhanaan agar anakmu tidak
seenaknya dengan orang lain. Dan ingatkah kau, janji yang kauucap akan
menerima suamimu apa adanya, kenapa kau melupakan semuanya? Suamimu
takut, bila ia menunjukkan kekayaanya maka kau akan marah, karena tidak
mewujudkan harapanmu. Kau juga tidak mau tahu, dia mempunyai penyakit
paru-paru akut yang selama ini dia pendam sendiri. Tiga hari sebelum
kelahiranmu anakmu, dia melakukan cuci darah untuk bisa menyambung hidup
dan melihat anaknya. Tetapi setelah bertemu, kau usir dia. Untuk kau
dia bertahan hidup selama ini. Mengapa kau tidak mau tahu?”
Tangismu pecah. Teriakanmu mengalahkan gemuruh awan dan gemercik
hujan. Kau menangis sejadi-jadinya, menyesali semuanya. Tapi sudah
terlambat. (*)
KHAIRUL ANAM. Suka menulis cerpen, novel dan puisi. Karya-karyanya dimuat di koran daerahnya. Novel tunggalnya berjudul “Cahaya-Nya” (2016).
Cerpen Sri Mutia (Rakyat Sumbar, 30-31 Desember 2017) Kutub Mimpi ilustrasi Ani/Rakyat SumbarBERTEMU tak sesulit yang kaubayangkan. Jika dalam kehidupan nyata kau tak bisa mendekapnya, maka biarkan itu terjadi dalam mimpi. Simple bukan?
Kau tak perlu mengukur berapa jauh jarak, pun berapa besar rindu yang
kausimpan. Kau akan selalu berbagi senyum dengannya, lalu memadu kasih
walau sekejap saja. Ya, walau hanya mimpi.
***
Di bawah pohon cemara dekat jalan, terlihat bayangan dua orang gadis
sedang bicara. Tampak jelas, karena saat itu bola emas terdiam tepat di
atas kepala. Mereka sepertinya bersekolah di tempat yang sama, dengan
menggunakan seragam serupa, mereka melangsungkan pembicaraan dengan
hangat.
“Aku tak percaya dengan mimpi dan aku pun tak pernah ingin bermimpi,”
ujar salah seorang gadis yang duduk di tempat itu. “Bagaimana bisa? Kau
harapan keluargamu, Hagel,” balas seorangnya lagi.
“Ya, aku memang harapan keluargaku, tapi aku bukanlah segalanya bagi
mereka. Jika mereka mengharapkanku, kenapa mereka membuatku tak bisa
bermimpi?” Gadis yang bernama Hagel itu menjelaskan alasannya begitu
keras. Ia bahkan tak sengaja membangunkan seseorang yang sedari tadi
menikmati dunia mimpi, tertidur, di belakang pohon cemara itu.
“Ada apa denganmu, gadis? Kau seakan tak bisa menghargaiku yang
sedang memimpikan dunia penuh dengan penerimaan ini,” ucap lelaki itu.
“Hei, bukan aku yang membangunkanmu, tapi kau sendirilah yang
terbangun. Lagian bagiku lebih baik kau bangun, jika tidak, kau akan
terhibur dengan mimpi belakamu itu saja,” jelas gadis berambut pirang
itu, sambil berlalu meninggalkan temannya serta lelaki tersebut.
“Aku Bima Antarka. Panggil saja Arka. Salah seorang pengamen di
daerah ini. Ayahku sangat bermimpi untuk mendarat di Antartika, makanya
aku diberi nama Antarka sebagai singkatan Antartika,” laki-laki itu
memperkenalkan diri dengan ramah.
“Aku Selena Aurora, panggil Aurora saja,” balas gadis itu.
“Indah sekali namamu, Selena yang berarti bulan dan Aurora rangkaian
warna di daerah kutub. Sungguh memesona jika dipadukan. Kau tahu? Aku
tak ingin melewatkan perkenalan dengan siapa pun, jadi bolehkah aku
mengenal temanmu yang galak itu juga?” pinta laki-laki itu.
“Dia Hagel, gadis cuek, dan mungkin gadis satu-satunya yang tak punya
mimpi, pun mengalaminya. Entah apalah yang ia rasakan, sampai-sampai ia
tak bisa bermimpi sedetik pun. Ayahnya terlalu mengatur hidupnya, jadi
ia tak perlu untuk bermimipi karena itu akan sia-sia saja, katanya. Eh,
maaf jika aku berlebihan,” gadis itu menghentikan penjelasannya. Tak
menyangka akan menceritakan sikap Hagel, sahabatnya itu kepada orang
yang belum kenal dekat dengannya.
“Aku lebih kenal dengan sikapnya dibanding wajahnya. Bagiku dia gadis unik bukan aneh. Hmm, bisakah kau membantuku?”
Gadis itu tertegun, lalu berkata, “Ya. Apa yang bisa kubantu?” tanyanya.
“Katakan padanya kalau aku pernah memimpikannya, dan suatu saat
nanti, dia juga akan memimpikanku tanpa kupinta,” kata lelaki itu,
kemudian berlalu. Langit mulai memamerkan cahaya jingga. Lampu jalanan
sudah mulai hidup, pertanda senja itu sebentar lagi akan berganti hitam.
Gadis bernama Aurora itu masih duduk di tempat yang sama. Ribuan
pertanyaan menghantui pikirannya. Ia terheran. “Secepat itukah laki-laki
menyukai wanita?” tanyanya. Sungguh membingungkan bagi gadis polos itu.
“Huh, aneh sekali mereka berdua. Membuatku gila hari ini,” tambahnya
lagi.
“Hei, Nak! Kaulah yang lebih aneh aku rasa. Anak sekolahan dari tadi
sudah sampai di rumahnya, kenapa kau masih di jalanan dengan memakai
seragam sekolahmu ini?” Lelaki pengemis itu mengejutkan Aurora.
“Rumahku di jalanan ini, Pak. Jadi tak perlu bergegas pulang seperti
anak yang lain. Orang tuaku pengemis di sekitar jalanan ini juga, aku
selalu menunggu mereka di sini, lalu kami pulang bersama-sama layaknya
sebuah keluarga utuh dan bahagia,” jelasnya sopan pada lelaki itu.
“Aku sangat terkejut mendengar jawabanmu, kebanyakan anak muda saat
ini tak mudah berkata jujur, mereka rela berbohong hanya karena secuil
gengsi. Tapi aku tak menemukannya pada dirimu. Bolehkah aku tahu siapa
namamu, Nak?” tanya lelaki setengah baya itu dengan penasaran.
“Aurora, Pak,” jawabnya. Setelah ia menyebutkan namanya, ia pamit
kepada Bapak itu, karena orang tuanya telah terlihat di ujung jalan
sana.
***
“Aurora! Sudahkah kau meyakinkan Hagel betapa pentingnya bermimpi?” ucap Ibu gadis itu.
“Sudah, Bu. Tapi ia masih tetap pada jawaban yang sama, dengan alasan ulah keluarganya,” jawab Aurora.
“Kalau seperti itu, bukankah kau juga akan menjadi sepertinya? Gadis
tanpa mimpi dengan alasan orang tua miskin dan tak akan bisa membuat
mimpinya menjadi nyata?” Ibu menatap anak gadisnya itu.
“Kalaulah benar karena hidup miskin ini membuatku tak bisa bermimpi,
kenapa pelangi tetap hadir dan bersikeras memanjakan setiap mata yang
melihatnya? Padahal saat itu langit masih kelabu? Begitupun denganku,
Ibu. Hal yang terpenting dalam hidup ini adalah penerimaan atas hadiah
dari yang Maha Pemberi. Duka maupun lara. Aku akan menjadi pelangi yang
tetap berwarna indah bersama mimpiku, walau hidup kita penuh dengan
warna kelabu.” Dilukisnya senyuman pada bibir tipisnya itu sambil
meletakkan kepala ke atas pangkuan ibunya. Itulah Aurora, gadis yang
berharap semua mimpinya menjadi nyata.
Suasana kota di pagi itu cukup ekstrem. Seseorang yang tertidur bisa
saja terbangun dibuatnya. Begitupun Aurora, dengan alarm alami dari
paduan suara alat transportasi di jalanan membuat mimpinya tak lagi
bersambung. Setiap kali ia bangun, ia tak lagi mendapati wajah orang
tuanya. Mereka telah berangkat kerja saat subuh menyapa.
Begitulah nasib Aurora, anak pengemis itu. Ia harus berusaha menjadi
penulis handal agar bisa mendapatkan uang dari tulisannya, lalu ia akan
merasa sangat kenyang jika ia bisa membeli roti untuk sarapan paginya.
Dengan sigap ia mandi, lalu berangkat ke sekolah. Di persimpangan
jalan dekat lampu merah, ia berhenti tepat di sebuah toko koran yang
berukuran kecil. Toko itu, tempat ia biasa memastikan karyanya
diterbitkan atau tidak. Hari itu keberuntungan tak berpihak kepadanya.
Ia harus berpuasa, karena karyanya tidak dimuat. Hal tersebut membuatnya
tak bisa memperoleh uang untuk membeli roti pagi itu. Walau sebenarnya
ia sedih, tapi ia tetap melukis senyuman di bibirnya itu. Seakan-akan
tak ingin memberikan kesan sedang memikul beban yang berat bagi orang
lain.
Setiba di sekolah Hagel, teman akrabnya itu langsung mengejutkannya.
“Selamat pagi, Aurora! Ke kantin yuk! Biar aku yang bayar,” ajaknya.
“Tenang saja, hari ini aku tak melihat karyamu terlampir di koran
rumahku. So, aku yakin kamu belum sarapan, bukan?” ucapnya lagi.
Aurora hanya terdiam dengan senyum kecil yang tetap ia pertahankan di
bibirnya. Tak sempat ia menyahuti ajakan sahabatnya itu, Hagel langsung
menarik tangannya.
Sesampainya di kantin, Hagel memesan roti panggang dengan saus
cokelat. Saat menikmati hidangan tersebut Aurora memulai pembicaraan
mengenai laki-laki yang berkenalan dengannya kemarin.
“Hagel, kamu tahu kan lelaki yang mendatangi kita kemarin? Namanya
Arka. Oh, Iya dia minta tolong buat sampaikan sesuatu ke kamu. Katanya
dia pernah memimpikanmu sebelumnya, dan nanti pasti kamu akan
memimpikannya juga,” cerita gadis itu.
Dengan perasaan aneh Hagel menjawab, “Ha? Dia gila ya? Ketemu saja
baru kemarin. Kok dia sudah mengenaliku? Dalam mimpi lagi. Aneh. Hm,
sudahlah tak usah dipedulikan. Itu kan hanya mimpi. Oh, iya sepulang
sekolah nanti kita makan ice cream di tempat kemarin, ya. Aku akan membelikannya untukmu,” ajaknya.
“Baiklah,” jawab Aurora singkat.
Kring… kring… kring…! Jam pelajaran berakhir. Secepat kilat siswa SMA
Langit Impian berhamburan keluar. Begitupun Aurora dan Hagel. Tak ingin
membuang waktu terlalu lama untuk hal yang menyenangkan itu. Mereka
cepat-cepat menuju tempat kemarin untuk menghabiskan waktu memakan ice cream rasa berbeda.
“Kau sudah memimpikanku?” Tiba-tiba lelaki kemarin itu muncul lagi. Tersenyum dan mengambil tempat di antara kedua gadis itu.
“Aku tidak akan memimpikanmu, wahai Arka,” jawab Hagel.
“Baiklah kalau tak ingin memimpikanku, tapi bolehkah kita berteman?” tanya lelaki itu.
“Hmm, bisakah kau berjanji untuk tidak mengatakan mimpi lagi di dekatku?” pinta Hagel.
“Oke, aku akan mengingat itu. Sekarang kita bertiga teman, bukan?” Lelaki itu seperti berharap.
“Hmm, ya.” Hagel hanya mendehem, sedang Aurora tetap diam dan menikmati ice cream rasa cokelat strawbery di tangannya itu.
Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Rezeki serta pertemuan itu
telah dirancang seindah mungkin oleh sang pembuat cerita terbaik. Hari
ini Aurora mendapatkan makan gratis sekaligus mendapatkan teman baru.
Sejak pertemanan itu terjalin, mereka selalu bertemu setiap harinya.
Warna-warni kebersamaan selalu menyelimuti pertemanan itu. Hingga suatu
hari di kala mereka asyik tertawa di tempat biasa, ada seorang laki-laki
yang menyampaikan pesan kepada Aurora yang berisi permintaan ibunya
agar dia cepat pulang. Gadis yang memiliki pribadi patuh itu pun pamit
kepada kedua sahabatnya, dan berlalu.
Anehnya, sejak hari itu Aurora tak lagi terlihat batang hidungnya di
sekolah. Karena rasa penasaran Hagel tak lagi tertahan, ia pun pergi
menemui Aurora ke rumahnya. Namun sayang, ia tak menemukan seorang pun
ada di rumah kecil itu. Saat yang bersamaan Hagel pun mengingat Arka. Ia
membutuhkan teman untuk bercerita. Lalu, pergilah ia menemui Arka.
Diungkapkannya semua rasa gundah yang ia punya, sedang Arka menjadi
pendengar dan sedikit pemberi perhatian pada Hagel. Setiap hari Hagel
dan Arka tetap bertemu dan berbagi cerita. Pada akhirnya gadis itu
mengungkapkan kalau ia sudah memimpikan Arka. Entah perasaan apakah yang
ia miliki sekarang, sahabat atau cintakah?
“Bukankah sudah kukatakan kau akan memimpikanku juga,” ejek Arka.
Hagel pun merasa lega, ternyata ia sudah bisa menikmati mimpi seperti
yang dikatakan Aurora dulu. Namun, ia belum merasa seutuhnya bahagia
karena mimpi itu belum ia dapati di kehidupan nyata. Ia belum memiliki
cintanya Arka.
***
Langit biru kini telah terlihat kembali. Setelah hujan yang konser
beberapa hari lalu. Walau begitu, Hagel tetap merasa sedih, karena
sahabatnya tak kunjung datang untuk menyampaikan kabarnya lagi.
“Hagel! Apa kabar?” sapa seseorang yang tak lain itu Aurora. Hagel
tak bisa menahan rasa rindunya, ia langsung memeluk sahabatnya itu.
“Ke mana saja kamu? Kau tahu, aku sudah bisa bermimipi. Ya, bermimpi
tentangmu, dan hari ini mimpiku telah ada di dunia nyata. Bermimpi itu
enak sekali ya?” jelasnya dengan gembira.
“Ibuku sakit, Gel. Jadi aku harus menjaganya. Kemarin saat kau ke
rumahku, aku tahu itu. Aku ada di dalam rumah. Tapi aku tak ingin kau
merasa cemas, makanya aku tak menyahut. Oh, iya bagaimana dengan Arka?”
tanya Aurora.
“Dia juga sangat merindukanmu. Ra, kamu tahu tidak, aku juga telah
memimpikan Arka. Perkataannya benar. Kok bisa ya? Entahlah, mungkin aku
jatuh cinta padanya,” kelihatannya Hagel sangat berharap Arka
mencintainya.
Aurora memeluk sahabatnya yang telah bisa bermimpi itu.
“Aku harus pulang duluan, Gel. Hari ini aku hanya meminta izin ke
sekolah untuk libur beberapa waktu,” jelas Aurora sambil melepaskan
pelukannya.
Sebenarnya Hagel belum puas melepas kerinduannya, tapi ia juga tak
mau merepotkan Aurora, karena Aurora harus merawat ibunya. “Baiklah.
Titip salam buat ibumu, ya?” ucap Hagel. Aurora hanya mengangguk dan
berlalu.
Sebelum pulang ke rumahnya, Aurora menyempatkan diri untuk menikmati
waktunya di tempat biasa. Ia menangis, karena sungguh dari awal ia telah
menyukai Arka. Tapi apa boleh buat, itu sudah menjadi mimpi sahabatnya,
Hagel. Ia tak mau membuat Hagel menjadi gadis yang tak mempunyai mimpi
lagi. Setidaknya dari hal itu Hagel bisa bermimpi yang lebih indah, dan
membuatnya lebih terarah nantinya. Itulah yang terbesit dalam pikiran
gadis itu.
“Aurora! Senang bertemu denganmu kembali. Aku sudah mengetahui
semuanya dari Hagel. Kau tahu, aku sangat merindukanmu,” ucap Arka yang
mendekati Aurora.
“Iya, terima kasih sudah merindukanku,” jawab Aurora polos.
“Kau tahu Aurora, kau sudah berhasil menjadi teman terbaik untuk
Hagel, kau telah membuatnya bermimipi, dan kau juga telah berhasil
memenangkan hatiku, karena kau telah membuatku selalu bermimpi
tentangmu. Aku sangat menyukai pribadimu. Kau masih ingat bukan, bapak
yang menyapamu waktu langit mulai menghitam awal kita bertemu? Dia
ayahku. Dia selalu mengharapkanmu ada dalam hidupku, begitupun
keingananku,” jelas Arka sambil memegang tangan Aurora.
Gadis itu sangat terkejut dan bertanya, “Lalu, bagaimana dengan
Hagel? Bukankah kau mencintainya? Bahkan kau sudah memimpikannya sebelum
kenal dekat dengannya?”
Arka langsung tersenyum.
“Itu bohong. Sebenarnya aku hanya melakukan permintaanmu padanya kala
itu. Aku mencoba bermimpi tentang dunia dan penerimaannya terhadap
takdir, lalu kubayangkan seseorang dengan wajah Hagel menerimaku menjadi
sahabatnya dan membantumu untuk membuatnya bisa bermimipi,” jelas Arka
lagi.
Udara seakan terhenti bagi Hagel, ia tak tahan mendengar penjelasan
lelaki yang dicintainya itu. Ia berlari, tak sengaja ia menginjak kaleng
minuman dan membuat Aurora sadar akan kehadirannya. Hagel terus
berlari, sedang Aurora spontan mengejarnya.
Kedua gadis itu berkejaran, saat Hagel melintasi jalan dan sudah
sampai ke seberang, Aurora masih berada di bibir jalan. Mobil-mobil itu
sangat egois, mereka tak memberikan pejalan kaki masa untuk menyeberang.
Aurora tak mempedulikan hal tersebut, ia melanjutkan langkah kakinya.
Tiba-tiba ia terhenti, lalu tumbang dan terdampar ke bibir jalan
kembali. Darahlah yang mewarnai pertemuan kali ini.
Sejak itu, Hagel benar-benar tak bisa bertemu dengan Aurora dan Arka
lagi. Mereka sama-sama pergi. Aurora pergi ke dunia lain sedang Arka
pergi ke kampung ayahnya untuk menenangkan diri. Di sana ia mengikuti
setiap acara motivasi. Sengaja ia ikuti, agar tak selalu berada dalam
keterpurukannya. Setelah kepergian Aurora, Arka benar-benar tak bisa
bermimpi. Kalau pun ia bermimpi, kepergian Auroralah yang selalu hadir
di mimpinya itu. Ia begitu tersiksa.
Suatu hari, kampung tempat yang ia diami mengadakan acara motivasi
hidup tentang meraih mimpi. Seperti biasanya Arka mengikuti motivasi
tersebut. Ia menyimak segala hal yang dikatakan ustaz saat motivasi itu
berlangsung. Pada akhir sesi, biasanya selalu dibuka sesi tanya jawab.
Maka bertanyalah ia, “Ustaz, apabila Ustaz mempunyai mimpi, apakah yang
akan Ustaz lakukan?”
Sang ustadz menjawab, “Saya akan meraihnya sekuat hati.” Keesokan
hari setelah acara motivasi, hebohlah semua warga kampung itu. Mereka
menemukan mayat seorang laki-laki tergantung di atas pohon, yang tak
lain itu adalah Arka. Hal yang lebih mengejutkan lagi, di lehernya ia
gantungakan tulisan yang berisi ungkapan terima kasih kepada ustad
karena telah memberinya jalan untuk merealitakan mimpinya itu, tak lain
bertemu dengan Auroranya yang telah pergi.
Tak hanya rezeki dan pertemuan. Perpisahan juga hal yang kebetulan
jika dibayangkan. Hanya saja berpisah, jauh terasa lebih sulit dibanding
bertemu. Mimpi. Hanya mimpilah yang dapat memberi kita ruang untuk
bertemu kembali. Bermimpilah! Mimpikan aku, maka kita akan selalu
bertemu walau tak saling memiliki lagi. Mimpikan juga masa depanmu, mana
tahu itu lebih baik untuk kau miliki daripada aku. Karena skenario-Nya
akan tetap menjadi yang terbaik. Bermimpilah. Dari Arka Selembar tulisan tertempel di batang pohon tempat pertama kali pertemuan terjalin. (*)
Oleh Rohmah Jimi Sholihah (Suara Merdeka, 31 Desember 2017) Abil dan Kakek Penyelamat ilustrasi Suara Merdeka
Sejaka kecil Abil memang berbeda dari Kak Puri, kakak perempuannya.
Ia sangat pemalas, apalagi jika disuruh untuk belajar. Pusing dan
mengantuk adalah alasan andalannya jika Mama atau Kak Puri terlihat
membawakan buku bacaan. Abil lebih suka menghabiskan waktu di depan
televisi atau main game. Padahal kini ia sudah duduk di bangku kelas I SD. Namun membedakan huruf b dan d saja ia masih bingung.
“Ih nggak malu ya sama Kak Puri, dulu Kak Puri masih TK Saja Sudah lancar baca,” ledek Kak Puri.
“Enggak tuh, malah enak di sekolahan dibacain Bu Guru terus, weeek,” balas Abil sambil menjulurkan lidahnya.
“Tapi kan nggak selamanya Bu Guru bacain Abil terus,” tegur Mama.
“Iya nanti lama-lama pasti Abil bisa baca sendiri kok,” balas Abil.
“Hoaaaamm Abil ngantuk, mau tidur dulu, daa Mama daa Kak Puri,”
lanjut Abil sebelum Mama selesai bicara. Padahal sesampainya di kamar,
saat Kak Puri membuntutinya, bukannya tidur Abil justru asyik bermain game. Mama hanya bisa menggelengkan kepala.
***
Hari Sabtu tanggal di kalender berwarna merah, itu artinya keluarga
Abil punya waktu dua hari untuk liburan. Abil sekeluarga merencanakan
berlibur di rumah Nenek, karena sudah hampir tiga bulan mereka tidak
mengunjungi Nenek. Abil senang, itu berarti ia tidak dipaksa untuk
belajar dan bertemu dengan huruf-huruf menyebalkan di buku bacaan
tersebut. Meskipun pemalas, Abil adalah anak yang pemberani. Ia tidak
minta ditemani Kak Puri saat ingin bersepeda di sekitar rumah Nenek.
“Jangan jauh-jauh ya, Bil,” pesan Nenek.
“Tenang Nek, Abil sudah hafal jalan kok,” ujar Abil.
“Iya, Nenek hanya khawatir kamu salah masuk gang, karena di sini banyak gang. Nanti kalau kamu tersesat bagaimana?” tanya Nenek.
“Tenang Nek, Abil kan anak pemberani,” ujar Abil.
Nenek tidak kuasa untuk melarang Abil yang sudah ngotot ingin
bersepeda. Saking asyiknya bermain, Abil tidak sadar jika cuaca mulai
gelap. Langit biru tersapu dengan awan hitam, ditambah angin kencang
yang menakutkan. Abil pun langsung bergegas memutar sepedanya.
“Nah itu dia rumah Nenek,” ujar Abil kepada dirinya sendiri setelah melihat rumah warna abuabu.
Namun ketika sampai di depan rumah itu, Abil bingung karena ternyata
salah rumah. Tidak ada mobil Papa yang terparkir ataupun anggota
keluarganya yang berada di sana. Semuanya asing. Abil pun kembali
mengayuh sepedanya sebelum hujan turun. Hampir seperempat jam Abil
memutari gang, namun tak kunjung menemukan rumah Nenek. Beruntung ia
tadi diam-diam mengambil telepon genggam milik Kak Puri, ia pun
menelepon Mama.
“Aduh, Abil, tadi kan sudah diingatkan Nenek. Kamu di mana, Nak?” tanya Mama.
“Abil juga tidak tahu, Ma,” jawab Abil takut.
“Sudah begini saja, setiap gang di situ pasti ada papan namanya. Kamu di gang mana, Nak? Biar Mama jemput,” tanya Mama lagi.
“Aduh, Ma, Abil kan belum bisa membaca. Pokoknya ada rumah warna
abu-abu mirip rumah Nenek dan ada pohon jambu yang besar,” jawab Abil.
“Abil… Abil… Pohon jambu kan nggak cuma satu,” balas Mama.
Tuttt tuuuttt tuuut. Telepon terputus, ternyata baterainya habis. Tik
tik tik, tetes hujan perlahan turun. Abil makin risau, karena tidak
menemui seorang pun di sekitar gang. Cuaca yang menyeramkan seperti ini
kebanyakan orang akan memilih menutup pintu rumah rapat-rapat. Abil pun
tidak menyerah, ia terus mengayuh sepedanya meskipun hujan perlahan
turun, hingga ada suara di belakangnya memanggilnya.
“Nak, kamu tidak tahu kalau sedang hujan ya?” tegur seorang laki-laki
tua yang tergopoh- gopoh dan memayungi tubuh Abil yang mulai basah.
“Saya lupa jalan pulang ke rumah Nenek, Kek,” kata Abil.
“Lho, kan kamu bisa menghubungi lewat telepon,” ujar Kakek sambil menunjuk telepon genggam yang menyembul di saku baju Abil.
“Iya saya sudah menghubungi Mama, Kek, tapi saya nggak bisa membaca, jadi saya tidak tahu ini di gang mana,” ujar Abil terbata.
Kakek tua itu pun tertawa terbahak-bahak. “Waduh, masa kamu kalah
sama Kakek, Kakek saja walaupun sudah ompong dan keriput begini lancar
membaca lho,” ujar Kakek.
Abil pun menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum malu. Beruntung
si Kakek ternyata mengenal Nenek Abil, sehingga ia bersedia mengantar
Abil pulang. Di depan rumah, Nenek, Papa, Mama, dan Kak Puri tampak lega
setelah Abil menampakkan batang hidungnya. Mereka pun berterima kasih
kepada si Kakek yang ternyata bernama Kakek Nyoman.
“Ingat, harus belajar membaca. Hari gini kok nggak bisa baca, malu sama kucing itu lho,” ledek Kakek.
“Iya Kek,” jawab Abil sambil mengangkat tangan, hormat kepada si Kakek.
Di dalam hatinya ia berjanji akan rajin untuk berlatih membaca,
meskipun memusingkan kepala, ia yakin usahanya tidak akan sia-sia.
Setiap ia merasa malas dengan buku bacaannya, ia akan teringat nasihat
kakek ompong yang menjadi penyelamatnya. (58)
Oleh Elisa DS (Kompas, 31 Desember 2017) Hutan Mangrove Pamurbaya ilustrasi Regina Primalita/Kompas
“SEBENARNYA, kita mau ke mana, Kak?” tanya Meta.
“Rahasia.” Kak Lia mengedipkan matanya. “Ayo berangkat.”
Sebentar kemudian, mereka berdua sudah melaju di atas motor. Semalam,
Kak Lia berjanji membantu Meta dalam mengumpulkan bahan tulisan untuk
tugas mengarang bertemakan Hari Cinta Satwa dan Puspa Nasional di
sekolah Meta.
Setelah kurang lebih satu jam melintasi jalan-jalan di pusat kota
Surabaya hingga mengarah ke bagian Timur Kota Pahlawan ini, Kak Lia lalu
menghentikan motornya. Di depan mereka terbentang perairan luas yang
dipenuhi pepohonan hijau.
“Tempat apa ini, Kak?” Meta mengedarkan pandangan.
“Ekowisata Hutan Mangrove Pamurbaya.”
Meta hanya melongo mendengarnya.
Kak Lia lalu berkata lagi, “Ekowisata adalah kegiatan pariwisata yang
berwawasan lingkungan, mangrove itu bakau, sedangkan Pamurbaya
singkatan dari Pantai Timur Surabaya. Gimana, siap untuk mencatat?”
Meta pun mengangguk. “Siap. Meta ingin tahu jenis tanaman yang ada di kawasan ini, Kak.”
“Ada berbagai jenis tanaman yang bisa dijumpai di sini, seperti
bakau, api-api, pidada, ketapang, dan nipah. Selain itu, banyak pula
tumbuhan non bakau introduksi, yaitu hasil kegiatan reboisasi atau
penghijauan kembali. Di antaranya waru laut, tanjang, nyamplung, dan
bintaro,” tutur Kak Lia.
“Kalau satwanya apa saja, Kak?”
“Di Mangrove Pamurbaya, kita bisa menjumpai monyet ekor panjang yang
hidup secara berkoloni atau berkelompok. Mereka memiliki peranan penting
karena membantu penyebaran biji-bijian bakau. Beberapa jenis reptil
seperti ular sanca, biawak, dan ular tambak juga menghuni kawasan hijau
ini.”
Kak Lia lalu mengajak Meta bergabung dcngan pengunjung lain menuju perahu yang akan mengantar pengunjung berkeliling.
Beberapa burung keluar dari semak-semak, lalu terbang saat mereka melintas.
“Wah, banyak juga burungnya.” Meta berdecak kagum.
“Iya, Pamurbaya menjadi tempat tinggal aneka jenis burung, seperti
sikatan bakau dan burung khas Jawa, misalnya cerek jawa dan bubut jawa.
Beberapa ikan komoditas tambak seperti mujaer, manyung, dan sembilang
banyak dijumpai di sini.”
“Kak Lia hebat. Tahu seluk beluk ekowisata hutan mangrove ini.”
Kak Lia tersenyum. “Kampus kakak beberapa kali mengadakan reboisasi ke sini.”
“Kenapa harus direboisasi, Kak? Bukankah masih banyak pohon bakau di Pamurbaya?” tanya Meta.
“Tumbuhan itu sama dengan hewan dan manusia, punya batasan umur.
Jadi, reboisasi diperlukan agar kawasan mangrove yang menjadi tempat
hidup aneka satwa ini bisa dilestarikan keberadaannya.”
Meta manggut-manggut. Ia ingin mengikuti jejak Kak Lia untuk ikut
andil dalam menjaga keberlangsungan hidup kawasan hutan mangrove
Pamurbaya. [*]
Cerpen Warih Wisatsana (Kompas, 31 Desember 2017) Kisah Amour dan Liberte ilustrasi Ekwan Marianto/Kompas
Bahkan jauh sebelum “boarding”, sewaktu masih antre di pemeriksaan x-ray
bagasi, pandanganku tertuju padanya dan tak bisa lepas lagi. Matanya
sedikit biru, roman wajahnya Timur Tengah dengan bekas torehan luka di
dahi, seketika membuatnya terlihat berbeda. Padahal, dini hari itu, di
ruang tunggu Gate 08 Bandara Internasional Ngurah Rai, ada
sekian orang lintas bangsa dengan aneka ciri yang tak kalah menarik,
entah lelaki sejazirah dengannya dari Irak, Kuwait, boleh jadi dari
Lebanon, Suriah, atau siapa tahu pula pelarian kombatan Afghanistan.
Belum lagi pasangan orang Perancis dan turunan Cina-Indonesia yang
pastilah tengah mengalami “amour”, berpeluk kecup tak henti.
Kami semua sudah cukup lama menunggu, kini pemeriksaan terakhir boarding pass
dan paspor. Lima belas menit lagi pesawat siap terbang lintas benua,
transit di Doha dan berakhir di Zaventem, Brussels. Sekilas aku menoleh
ke belakang, antrean kelas ekonomi; rupanya ia tak membawa koper atau
bagasi lain, kecuali ransel biru yang kelihatan masih baru. Tidak
berbeda denganku, mengenakan jaket penghangat, menghalau musim dingin di
negeri Eropa nanti, berikut syal berwarna kelabu yang terlilit rapi
menutupi lehernya yang kukuh itu. Ada semburat tato sekilas terlihat,
seperti bunga zaitun atau ranting pohon kurma, tak pasti. Namun yang
jelas, bukan bunga sakura, bunga botan, atau ekor naga, pertanda anggota
sindikat Yakuza, mafioso yang bengis itu.
“Baru pertama kali, ya, terbang dengan Qatar Airways ke Eropa?” sergah seseorang di belakangku. Ternyata si bule amour
itu, senyumnya ringan dan hangat. Bahasa Indonesianya terbilang fasih,
menjelaskan kemudian bahwa ia bermaksud kembali ke Paris bersama
istrinya—yang belakangan aku tahu bahwa perempuan cantik glamorousis itu turunan Hainan-Manado.
“Sudah berkali,” jawabku sekenanya. Ia pastilah sangsi, wajahnya
mencerminkan itu. Ya, ini memang kali kedua perjalananku ke Eropa,
setelah pertama kali 20 tahun lalu, semasa muda dulu. Ya, pikiranku
melayang antara genangan kenangan yang kini datang berulang justru di
tengah antrean menuju pesawat yang akan membawaku pada kenyataan lain
yang tak terbayangkan. Sesekali tersadar, menoleh ke belakang, mataku
terus dirundung sosok lelaki Timur Tengah itu, dirundung keinginan tahu,
rahasia apakah yang sebenarnya ia bawa.
Makin kucuri pandang, makin kuyakin bahwa lelaki yang tampak tenang
dan dingin itu tengah menyimpan maksud-maksud tertentu. Entah kenapa aku
mulai merasa gelisah, pikiranku melintas kemana-mana. Mungkin saja
karena dipicu kabar belakangan ini di media sosial dan televisi tentang
perang berkepanjangan antara tentara Irak dan pasukan ISIS,
memperebutkan kota Allepo. Juga lintasan bayangan dengan bom bunuh diri
di bandara dan stasiun metro di Belgia, teror beruntun di Paris dan
Jerman yang menewaskan ratusan korban tak bersalah. Atau penampakan
reruntuhan kota Raqqa di Suriah yang berulang hadir melalui video di
Youtube atau foto-foto dengan korban berserak di Facebook dan media
sosial lainnya. Berkelindan pula peristiwa ledakan bom bunuh diri di
Terminal Kampung Melayu, Jakarta.
Harus jujur diakui, sesungguhnya aku memang takut terbang. Padahal,
sebelumnya, biasa saja, seperti naik bus lintas kota, aku biasa saja
naik pesawat, hingga suatu hari terbang ke Bima dengan pesawat Merpati
jenis Fokker dan nyaris di bandara tergelincir menabrak seekor sapi yang
tengah melintas dengan langgam anggunnya. Sejak itu pulalah, entah
bagaimana, selalu aku merasa cemas tak bernalar dan keringat dingin
menetes bila mendapat undangan bepergian keluar kota menggunakan pesawat
terbang. Bahkan, pada puncak kecemasan psikomatis ini, berhari-hari
sebelum berangkat, derita sudah datang berulang berupa batuk, sesak
napas, dan keringat dingin menyertai tidur yang tak nyenyak.
Demikian pula sebelum aku terbang ke Eropa kali ini, siksaan itu
mendera lahir batin. Namun, tak ada jalan, aku harus terbang untuk
mengantar terakhir kali Ibu angkat, Nyonya Wietske Gils, yang kebaikan
dan budinya pastilah tak bisa kubalas, bahkan hingga akhir hidupku
nanti. Betapa tidak, hanya berkenalan tak sengaja di Pantai Kuta,
berlanjut berkorespondensi melalui e-mail dan media sosial, ia
tak putus mengirimkan uang bulanan dengan alasan biaya sekolah anakku
satu-satunya. Itu sudah 15 tahun berjalan, hingga kemudian kudengar
kabar bahwa dirinya sakit dan berpulang.
Pesawat Airbus A350 ini sungguh memang berbeda dengan pesawat 15
tahun lalu yang kutumpangi untuk terakhir kali, apalagi dibandingkan
Fokker sialan itu. Ruangnya besar, pramugarinya wangi dan ramah sekali,
serta makan-minum mengalir sejurus permintaan penumpang. Namun, meski
begitu, rasa kecut dan cemasku tetap saja mendesir dalam diri, naik
turun beruntun sejalan dengan guncangan pada pesawat yang datang
berulang, berikut peringatan agar segera menggunakan sabuk pengaman
serta tak boleh menggunakan kamar kecil.
Bukan semata turbulensi yang mengguncang hatiku, di mana keringat
dingin mulai membasahi telapak tangan dan kaki, serta bikin kuyup tubuh
dan nyaliku, melainkan pula pikiran yang terus menerus dirundung sosok
lelaki Timur Tengah itu. Entah kenapa, ketika ia mulai mencuri-curi
pandang padaku dari kursinya, serta berkali ke kamar kecil melintasi
dudukku, aku makin yakin ia bermaksud meledakkan pesawat atau setidaknya
membajaknya. Sesekali kutolak pikiran itu, tetapi makin merundung dan
meyakinkanku bahwa di pesawat ini ada sejumlah kawan komplotannya.
Pesawat landing dini hari di Doha, kuhitung setidaknya
terbang 9 jam 25 menit dari Bandara Ngurah Rai, Bali. Orang-orang
terbangun dan mulai meninggalkan pesawat sambil membawa bagasi
masing-masing. Pilot serta pramugari memberi salam di pintu, entah
selamat datang atau selamat jalan, aku tak bisa pastikan, masih saja
nanar diguncang pikiran, dibentur kecemasan.
Mungkin karena melihat aku kelelahan dan nerveous berlebih, sewaktu transit dan menunggu pesawat berikut, si Perancis amour
itu, setengah memaksa, mengajakku berbincang. Bertanya ini-itu, kujawab
seramah mungkin, hingga akhirnya sampai ke topik percakapan tentang
adanya lingkaran rantai prasangka yang harus diputus dengan kesadaran
universal yang disebut kemanusiaan.
Baginya, agen-agen pencerahan adalah para kartunis majalah Charlie Hebdo
yang berani menelanjangi kemunafikan dan hipokritisme masyarakat secara
terang-terangan, bahkan dengan bahasa yang vulgar. Tujuannya adalah
sesuatu yang idealis, mengangkat harkat kemanusiaan agar menjadi bagian
realitas dari masyarakat global yang kian beradab. Sempat aku berbantah
dan tak menyetujui kevulgaran para kartunis itu yang memperolok siapa
dan apa saja, bahkan hingga Nabi, junjungan umat yang meyakini
kesuciannya. Dan, ia menyebutnya sebagai martir, ketika para kartunis
itu dibantai oleh para teroris di kantor redaksinya.
“Ya, provokasi, kan, bisa menjadi alat intelektual, mengkritisi
politik, bahkan mengolok-olok kaum moralis yang fanatik religius,”
tandasnya, sembari membanggakan bahwa praktik kebebasan atau liberté
memang sudah menjadi bagian historis dan sosial kultural masyarakat
negerinya hingga kini. Sedangkan pasangannya, perempuan Hainan-Manado
yang jelita itu, hanya berdiam dan memandangnya penuh kekaguman.
Aku malas berbantah, lagi pula soal Tuhan, iman, dan kemanusiaan,
sering kali berlapis-lapis kemungkinannya, masing-masing tergantung
pengalaman pribadi berikut latar kehidupan sehari-hari. Kataku
mengakhiri percapakan, “Kemanusiaan bagi orang borjuis beda arti dan
praktiknya dibandingkan pemahaman orang miskin di pedusunan atau di
bawah jembatan. Tanpa keadilan, kemanusiaan hanya seruan indah, seperti
janji yang melukai.”
Pikiranku dan pandanganku masih saja dirundung lelaki Timur Tengah
itu. Demikian pula ketika kami memasuki pesawat Airbus A350 lainnya yang
kemudian menerbangkan kami ke Eropa musim dingin, meninggalkan
keajaiban Doha di hamparan gurun pasir ini.
Lelaki dengan gurat luka di dahi itu, kini tepat duduk di seberangku.
Ia terlihat tenang, hening, memejamkan mata, sementara aku berusaha tak
menoleh padanya. Aku gelisah, resah, sesekali menggeserkan tubuh dengan
tetap memakai sabuk pengaman. Pikiranku makin dirundung dugaan bahwa ia
dan komplotannya sebentar lagi akan membajak atau bahkan meledakkan
pesawat ini. Aku mencoba beranjak ke kamar kecil berulang, kembali
duduk, dan beranjak lagi, hingga seorang pramugari menanyakan apa ada
yang perlu ia bantu.
Cuaca memang sudah mulai terang, Doha-Brussels akan ditempuh dalam
waktu 6 jam lebih, sekitar pukul 14.40 waktu Brussels, pesawat akan
landing. Demikian pilot menyampaikan, juga pramugari, berseling dengan
pikiranku sendiri, yang memang berharap segera saja sampai di bandara
dan segera pula dapat menuju Louvain, sebuah kota kecil, 31 kilometer
dari Brussels, tempat Ibu angkatku akan dimakamkan hari ini.
Lelaki Timur Tengah itu terbatuk, ia meminta wine kepada pramugari.
Aneh juga, pikirku. Bukankah itu haram? Atau jangan-jangan ia
berpura-pura, menyamarkan sosok dirinya yang sebenarnya, seorang teroris
yang siap berbuat apa saja demi janji surgawi. Peluh dinginku memang
sudah henti dari tadi, tetapi pikiranku makin kacau. Apakah ini pertanda
jetleg? Atau memang ketakutan yang lama tersembunyi dalam diri
oleh timbunan informasi tentang surga dan neraka, tentang ajaran masa
kecil, tentang perang tak berbentuk yang berulang hadir melalui media
sosial, melalui internet, melalui rekayasa pikiran buruk, atau bahkan
sosok-sosok asing yang datang kemana saja, entah dari mana.
Tepat sebagaimana yang disampaikan pilot, pesawat men- darat di
Bandara Internasional Brussels di Zaventem. Udara dingin menyergap,
rinai salju menyapa. Segera kami digiring memasuki gedung terminal
bandara dan terbentuk pulalah antrean di depan petugas imigrasi, yang
sekali lagi akan memeriksa paspor berikut visa atau catatan lain penguat
alasan kedatangan penumpang maskapai ini.
Belum sempat mengambil antrean, aku seperti tersadar karena ada di
ruang lain di sebuah negeri yang nun jauh ini. Tersadar pula bahwa
pasporku tidak ada di saku baju, saku jaket, atau di dalam tas,
berulang—yang entah sudah kali ke berapa kuperiksa kembali untuk
memastikan keberadaannya. Aku nanar, keringat dingin menetes kembali.
Napasku seperti tercekik, setengah terbata, kutanya beberapa orang di
dekatku, dan mereka hanya mengangkat bahu atau berkata tidak tahu.
Aku makin dirundung pikiranku, kecemasanku, mencoba melepas diri dari antrean dan kerumunan. Tiba-tiba teringat si amour
dan gadisnya. Oh, pastilah mereka tahu. Ya, semoga tahu. Atau
setidaknya membantuku untuk menjelaskan kepada petugas imigrasi bahwa
aku sungguh-sungguh telah memiliki paspor. Nah, itu mereka! Rupanya
tengah menuju antrean bagi pemilik paspor dari Eropa, Amerika, atau
negara tertentu, bukan “All Passport” untuk negeri-negeri dunia ketiga,
seperti Indonesia. Seketika pula kuhampiri dan kutanya, “Mister, apakah
Anda melihat paspor saya, have you seen my passport?”
Tuan Amour itu memandang saya, seperti merasa lucu, sambil mengangkat
bahu, menjawab sekenanya, “Ya, mungkin tertinggal di pesawat.” Ia
berlalu terburu sambil berbisik pada pasangannya, “Quel homme moindre! Pas étonnant que vous ne connaissiez pas l’égalité, pas même la liberté!”
Nyaris saja aku ingin mengejarnya dan hendak memukulnya, apa
dikiranya aku tak tahu artinya?! Sialan, berengsek, masa aku dikiranya
orang kampung, dungu, dan buta sejarah, tak tahu apa itu liberté, égalité.
Sesaat tanganku hendak terayun, seseorang menyentuh bahuku. Seketika
itu aku berpaling ke belakang, nyaris bersamaan terdengar suara,
“Mister, ini paspormu. Tadi kutemukan di lantai.” Wajah lelaki Timur
Tengah itu begitu dekat, begitu dekat dengan tatapku. Senyumnya ringan
tipis, mata birunya menyiratkan kilau tulus.
Warih Wisatsana, lebih dikenal sebagai
penyair dan kurator. Ia pernah menjadi wartawan dan membuka koran
dwimingguan di Denpasar, walau kemudian lebih memilih menjadi penyair.
Puisi-puisinya termuat dalam antologi tunggal Ikan Terbang tak Berkawan. Kini menetap di Denpasar dan melahirkan penulis-penulis andal di Komunitas Sahaja.