Daftar Blog Saya

Rabu, 06 Desember 2017

Lihat Kebunku

Oleh Pupuy Hurriyah (Kompas, 03 Desember 2017)
Lihat Kebunku ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Lihat Kebunku ilustrasi Regina Primalita/Kompas
SETIAP kali Hilma hendak pulang dari rumah Nenek di Desa Pingku, Parung Panjang, Bogor, Nenek selalu memberi oleh-oleh berupa tanaman. “Ini untuk ditanam di kebun rumah,” begitu ucap Nenek.
“Tanaman di kebun rumah sudah banyak, Nek. Ibu menanam banyak bunga di kebun,” jelas Hilma.
Nenek tersenyum. “Tetapi, tanaman seperti ini belum ada di kebun rumah, bukan?”
Lagi-lagi Hilma mengangguk. Setiap kali Nenek memberikan tanaman, pasti tanaman itu memang belum ada di kebun rumah.
“Tanaman Nenek langka-langka, deh.” Hilma mengingat-ingat beberapa tanaman yang pernah Nenek berikan. Ada kumis kucing, daun jarak pagar, daun sirih, serai, daun pandan,dan daun mangkokan.
“Untuk itu, kita memang harus membudidayakan tanaman langka tersebut, Hilma. Agar tidak punah,” jelas Nenek yang kali ini memberikan tanaman lidah buaya.
“Tapi, bentuk tanaman langka tidak menarik, Nek.” Hilma menggerakkan bahu. “Tidak seperti tanaman bunga anggrek, bunga matahari, atau bunga mawar. Tanamannya berwarna-warni cerah.”
“Ya, memang seperti itu adanya,” senyum Nenek. “Tetapi, tanaman langka itu mempunyai banyak manfaat untuk macam-macam keperluan.”
Hilma mulai tertarik. “Manfaatnya untuk apa saja, Nek?”
“Lihat tanaman lidah buaya ini,” kata Nenek. “Nah! Tanaman yang memiliki daun panjang dengan daging daunnya yang tebal ini bermanfaat untuk menyuburkan rambut. Caranya daun tebalnya dibelah lalu dioleskan pada kulit rambut.”
“Wah! Asyiiik, dong. Nanti di rumah Hilma coba pakai lidah buaya agar rambut Hilma tebal,” ujar Hilma senang.
Saat Hilma sudah pulang ke rumahnya di Jakarta, Hilma baru menyadari, ternyata keluarganya selama ini sangat merasakan manfaat dari tanaman-tanaman langka pemberian nenek yang ditanam di kebun rumah.
Sekarang, Ibu tidak pernah lagi membeli obat pembasmi nyamuk. Karena tanaman serai yang ada di kebun rumah bermanfaat sebagai obat pengusir nyamuk. Ibu memotong batang-batang sereh menjadi potongan-potongan kecil, lalu ditempatkan pada mangkuk-mangkuk kecil di setiap ruangan. Hmm, ruangan menjadi aman dari nyamuk.
“Hilma, tolong ambilkan dua lembar daun pandan. Ibu mau buat bubur kacang hijau,” ujar Ibu di sore hari itu.
Hilma manggut-manggut sendiri. Untung ada tanaman daun pandan di kebun rumah. Jadi bubur kacang hijau buatan Ibu menjadi sedap beraroma daun pandan, gumamnya dalam hati.
“Lihat Kebunku….” Hilma bersenandung saat hendak memetik daun pandan di kebun rumahnya. Ia merasa kebun rumahnya terasa lebih indah. Sebab di sana, aneka tanaman hias bersanding dengan tanaman langka yang penuh manfaat.

Anak Wali Kota

Cernak Fery Yanni (Suara Merdeka, 03 Desember 2017)
Anak Wali Kota ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Anak Wali Kota ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Hari ini Reza datang terlambat, padahal bel tanda masuk sudah lama berbunyi. Pelajaran pun sudah dimulai sejak tadi. Dengan santai Reza berjalan masuk kelas tanpa mengetuk pintu, mengucap salam, ataupun meminta izin duduk. Reza berjalan menuju bangkunya.
“Reza, mengapa tidak mengetuk pintu atau mengucap salam?” tegur Pak Guru melihat Reza yang langsung nyelonong masuk kelas saja.
“Memangnya kenapa?” tanya Reza balik dengan sikap menantang.
“Harusnya kamu mengetuk pintu dan mengucapkan salam dulu sebelum masuk kelas,” jawab Pak Guru dengan sabar.
“Bapak ingin saya hormati? Emang Bapak ini siapa? Bapak tidak kenal saya? Saya ini anak wali kota. Jadi saya bebas melakukan apa saja yang saya mau!” ucap Reza dengan congkaknya.
Pak Guru, yang termasuk guru baru di sekolah ini, menghela nafas dan memilih diam daripada terjadi ribut-ribut di kelas. Pak Guru tidak mau timbul masalah. Pak Guru adalah guru baru, jika timbul masalah dengan anak wali kota ini, bisa-bisa dirinya akan dipecat. Dan Reza dengan angkuhnya duduk, namun tidak mau mengikuti pelajaran dengan serius. Bahkan Reza menolak mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan oleh Pak Guru.
Saat istirahat, Reza ingin jajan di kantin. Rupanya antrean anak-anak yang ingin jajan sudah banyak. Dan seharusnya Reza juga harus mengantre. Namun…
“Hei! Minggir!” Reza mendorong seorang anak yang sedang mengantre paling depan hingga anak itu terjatuh.
“Reza, apa-apaan, sih? Antre, dong! Jangan main dorong saja!” seorang anak menegurnya.
“Eh, kamu berani, ya? Kamu tidak tahu siapa aku? Aku ini anak wali kota. Jadi kamu jangan berani macam-macam, ya!” kata Reza marah-marah.
Dia tidak menyangka ada yang berani sama dirinya. Padahal dia kan anak wali kota.
Sambil mengangkat dagunya, Reza melangkah meninggalkan anak-anak lain yang menggerutu.
“Minggir!”
Lagi-lagi Reza yang sedang kesal karena ada seorang anak yang berani melawannya di kantin tadi, menyeruak mendorong anak-anak yang ada di pintu kelas karena dia ingin masuk ke kelas. Tentu saja ini membuat anak-anak lain marah-marah. Tapi lagi-lagi Reza menyombongkan diri karena dirinya anak seprang wali kota yang membuat anak-anak lain langsung terdiam.
***
“Hei!Pak Wali Kota datang!”
Seru anak-anak ketika melihat Pak Wali Kota berjalan memasuki ruangan kepala sekolah.
“Nah, ayahku datang. Kalian akan tahu sendiri akibatnya, karena selama ini kalian berani sama aku,” Reza tertawa penuh kemenangan.
Tak lama kemudian, Ibu Guru memanggil Reza karena ditunggu Bapak Kepala Sekolah dan Bapak Wali Kota.
Dengan langkah mantap dan tersenyum bangga, Reza berjalan menuju ruang kepala sekolah. Dia merasa bahwa ini adalah saatnya mengadukan pada ayahnya tentang sikap teman-temannya selama ini.
Di ruang kepala sekolah, tampak Bapak Kepala Sekolah, Bapak Wali Kota, dan Pak Guru sudah menunggu.
“Ayah! Akhirnya ayah datang juga. Lihat! Semua bersikap seenaknya sendiri pada Reza…” Reza langsung mengadu. Bapak Kepala Sekolah dan Pak Guru langsung melotot.
“Reza, Ayah sudah tahu semua yang terjadi. Kamu seharusnya tidak boleh bersikap seperti itu. Kamu memang anak wali kota, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya sendiri. Kamu tetap harus disiplin dan sopan. Ingat itu!” kata Bapak Wali Kota panjang lebar.
Reza hanya bisa menunduk.
“Sekarang kamu harus minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi!” perintah Bapak Wali Kota.
“Tapi, Yah…” Reza sudah mau protes.
Tapi melihat tatapan tajam dari ayahnya, akhirnya Reza meminta maaf kepada Bapak Kepala Sekolah dan Bapak Guru, serta berjanji akan mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Dan dia juga akan meminta maaf kepada teman-temannya. Dia tidak akan bersikap sombong lagi terhadap teman-temannya. (58)