Daftar Blog Saya

Minggu, 04 Maret 2018

Cupi Si Cupcake

Oleh Tri Ismiyati (Lampung Post, 04 Maret 2018)
Cupi Si Cupcake ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Cupi Si Cupcake ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post 
Cupi si cupcake kecil memekik girang di dalam etalase kaca. Seorang gadis kecil berkepang dua sedang berdiri di depannya.
“Ayo ambil aku!”
Cupcake cokelat berhias butter cream putih dan gula warna-warni itu berseru penuh semangat. Si gadis kecil masih kelihatan bingung. Dia melihat dari satu kue ke kue yang lain.
“Mama, aku mau kue yang ini!”
Telunjuk si gadis kecil terarah pada sepotong kue red velvet. Cupi berseru lagi, kali ini mengucapkan selamat jalan pada Vivi si red velvet merah.
“Ternyata sudah hampir sore, ya.”
Cupi mendengar suara lain di belakangnya. Rupanya Blacky si blackforest yang bicara. “Iya, sudah sore, ya. Kamu di sini sejak kapan, Blacky?” tanya Cupi penasaran.
Dia terkejut ketika Blacky bilang sudah dua hari dia berada di dalam etalase kaca itu. Padahal Cupi baru tadi pagi berada di sana, tapi rasanya sudah lama sekali. Cupcake terakhir yang menjadi temannya, si vanila, sudah diambil oleh seorang ibu siang tadi. Maka Cupi pun menjadi satu-satunya cupcake kecil yang tersisa.
“Jangan khawatir, Cupi,” kata Blacky. “Toko ini adalah toko kue paling enak di kota kita. Pasti nanti akan ada yang membawa kita.”
Cupi tersenyum lega mendengar kata-kata Blacky. Dia pun kembali ceria di dalam etalase kaca bening berisi macam-macam kue itu. Banyak orang yang lalu lalang di depan mereka. Toko kue yang baunya harum itu memang selalu ramai.
“Ayo ambil aku! Cupcake cokelat yang lezat!”
Cupi berseru lagi. Seorang nenek berbaju cokelat lewat di depannya. Nenek itu memandang dari balik kacamata, lalu berjalan lagi dan mengambil kue bolu. Ah, barangkali si nenek ingin kue yang lebih empuk.
Cupi tidak menyerah. Dia tetap ceria di dalam etalasenya. Cupi yakin dia adalah cupcake cokelat yang cantik dan lezat karena para koki toko telah membuatnya dengan sepenuh hati.
“Hai! Ayo bawa aku!”
Cupi berseru lagi dengan ceria. Seorang anak laki-laki berpipi gembul berdiri dengan wajah hampir menempel pada kaca etalase. Matanya yang kecil membulat lucu.
“Papa! Sini, Papa!”
Papa anak itu mendekat, ikut melongok ke dalam etalase. Si pipi gembul menunjuk-nunjuk Cupi. Cupi gembira sekali. Sepertinya, sebentar lagi anak itu akan membawanya. Tapi, Papa anak itu menggeleng.
“Kita harus cari kue ulang tahun untuk Mama, Nak. Cupcake ini terlalu kecil.”
Si pipi gembul menengok kembali ke dalam etalase kaca. Senyumnya mengembang. Tangan kecilnya menunjuk-nunjuk ke arah Blacky. Sang Papa ikut tersenyum. Diambilnya Blacky dari dalam etalase. Si pipi gembul bersorak gembira, begitu pun Blacky yang tampak gembira
“Selamat tinggal, Cupi!” serunya. “Semoga segera ada yang mengambilmu juga!”
Cupi membalas seruan Blacky dengan tak kalah kerasnya. Dia ikut gembira karena temannya telah dibawa sebagai kue ulang tahun. Tapi Cupi juga agak khawatir karena hari semakin sore. Sebentar lagi, toko itu pasti akan tutup.
“Aku harus tetap semangat!”
Cupi masih yakin akan ada yang membawanya hari itu. Pengunjung sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang. Cupi tidak lelah berseru ceria kepada mereka, menunjukkan dirinya yang paling mungil di antara kue-kue yang lain. Tapi belum ada juga yang mengambilnya dari dalam etalase.
Satu per satu pengunjung mulai keluar dengan membawa kue-kue lezat dari toko. Cupi hampir saja bersedih lagi. Tidak ada seorang pun yang ingin membawanya hari itu. Tiba-tiba saja, lonceng di atas pintu toko berdenting lagi. Seorang gadis kecil berkepang dua melangkah masuk dengan langkah malu-malu. Dia menoleh ke sana ke mari sebelum akhirnya berjalan mendekati etalase. Wajahnya hampir menempel pada kaca. Matanya yang jernih tampak ceria.
“Ambil aku! Ayo!”
Si gadis kecil masih mengamati isi etalase. Matanya mengerjap-ngerjap penuh semangat.
“Dia tidak akan mengambilmu.”
Tiba-tiba saja terdengar suara lain. Oh, rupanya itu suara Nana, si nastar nanas dalam stoples di atas etalase kaca. Cupi pun heran mendengar pendapat Nana.
“Gadis kecil itu sudah seminggu lebih selalu datang ke sini setiap sore. Tapi, dia tidak pernah membeli apa pun,” Cupi kembali memandang si gadis kecil. Padahal wajah gadis kecil itu gembira sekali melihat kue-kue di dalam etalase. Benarkah dia tidak akan mengambil apa pun?
Tiba-tiba si gadis kecil berjalan pergi. Kali ini Cupi benar-benar sedih. Sepertinya kata-kata Nana benar. Anak itu tidak akan membeli apa pun. Barangkali Cupi memang harus berada lebih lama lagi berada di dalam kaca.
“Aku mau kue yang itu.”
Mendadak pintu kaca etalase digeser membuka. Cupi terkejut. Tangan nona penjaga toko terulur ke dalam dan meraih dirinya. Dia baru sadar bahwa dirinya diambil ketika mendengar teriakan Nana yang memberinya ucapan selamat.
“Satu cupcake cokelat untukmu.”
Cupi yang telah dibungkus plastik mika putih berpindah ke tangan si gadis kecil. Si gadis kecil tersenyum gembira sambil mengucapkan terima kasih. Usai membayar dengan beberapa keping uang logam, si gadis kecil berjalan keluar toko dengan riang. Sesekali, terdengar ia bersenandung. Cupi pun ikut senang.
Langkah si gadis kecil terhenti di depan sebuah rumah reyot di pinggir kota. Rumah itu kelihatan sempit sekali. Si gadis kecil mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong baju lusuhnya. Oh, rupanya dia memasang sebatang lilin di atas tubuh Cupi. Gadis kecil itu lalu menyalakan api dengan hati-hati.
“Selamat ulang tahun, Ibu!”
Si gadis kecil membuka pintu. Ibu yang sedang menyulam di dalam rumah tampak terkejut. Matanya berkaca-kaca melihat Cupi dengan sebatang lilin menyala di atasnya.
“Aku mengumpulkan uang hasil berjualan koran untuk membeli kue ini. Ayo tiup lilinnya, Bu!”
Sang ibu tersenyum, lalu meniup lilin. Ibu memeluk si gadis dengan erat. Cupi ikut gembira karena dia bisa membuat orang lain berbahagia.

Perempuan dalam Karya Sastra

Oleh Junaidi Khab (Lampung Post, 04 Maret 2018)
Perempuan dalam Karya Sastra ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Perempuan dalam Karya Sastra ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post 
PADA Minggu, 28 Agustus 2016, cerita pendek (cerpen) karya N Mursidi berhasil tayang di salah satu koran Jogja. Ia menulis cerpen dengan judul Tiga Wanita yang Menangis untuk Sebuah Kematian (Harian Jogja).
Membaca karya ini, kita akan melewati jalan melankolis dan kesedihan yang tiada henti. Substansinya, sebuah konflik fisik atau batin dalam sebuah kisah sangat lumrah. Begitu pula dengan sosok perempuan yang menjadi ulasan empuk untuk dijadikan kambing hitam dalam cerpen Mursidi.
Sebuah pukulan batin yang benar-benar menyayat hati dan mengiris perasaan. Dengan diksi yang tentunya melalui olah naluri yang tajam tentang sebuah pernikahan yang tidak dikehendaki, Mursidi berhasil membawa pembaca—tentunya—ke alam lara yang meledak-ledak dan penuh empati yang tinggi.
Seorang Lusy yang sudah menanam cintanya selama tujuh tahun bersama Alex harus tumbang setelah kedatangan Handoko. Ayah Handoko memiliki piutang jasa penyembuhan ibu Lusy yang terkena kanker hati. Sehingga, ibu Lusy untuk membalas kebaikan ayah Handoko ia menikahkan anaknya dengan Handoko.
Dalam cerpen karya Mursidi ini, kita bisa menemukan dua dimensi pilu yang terus menghantui diri Lusy. Pertama, di saat malam bulan madu. Meski Lusy sudah berstatus sebagai istri Handoko, ia tak menemukan kebahagiaan di dalam dirinya.
Di saat akan ditiduri, ia merasa sakit di selangkangannya. Tak ada butiran kenikmatan. Ia merasa sangat perih. Namun, ia pura-pura melenguh. Padahal lenguhan itu palsu, tak ada gairah untuk tidur bersama Handoko.
Kedua, hatinya sangat teriris karena kondisi kejiwaan dan hobi anaknya sama seperti Handoko. Bahkan, di saat Handoko sakit, anaknya pun sakit. Begitu juga ketika Handoko sembuh, anaknya pun sembuh. Suatu kejadian di luar nalar yang makin membuat Lusy tidak senang hidup dengan Handoko.
Kisah-kisah kecut semacam itu kadang memang banyak dialami perempuan. Namun tidak semua dari mereka menceritakannya. Di sisi lain, kisah ini mungkin akan sangat penting bagi orang tua guna mencari kesepakatan untuk menikahkan anaknya. Bukan memilihkan orang yang tidak disukai. Sebab siksaan batin sudah tentu dialami oleh anak yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan lelaki yang tidak ia cintai, seperti halnya Lusy dengan Handoko.
Masyarakat mungkin beranggapan bahwa karya Mursidi ini menentang otoritas orang tua dalam menjodohkan anaknya. Orang tua kadang dengan tangan besinya menjodohkan anak gadisnya dengan lelaki pilihannya.
Jika dilihat lebih dalam, perilaku demikian sungguh memalukan. Seorang perempuan hanya barang rongsokan yang ditawarkan kepada tukang rombeng. Semua orang tua tentu menyadari pilu yang akan dihadapi anak gadis yang akan menikah dengan lelaki bukan pilihannya.
Namun keangkuhan dan rasa otoritas yang tinggi tetap tidak mampu dibendung, sehingga pernikahan yang tidak didasari rasa cinta pun terjadi. Kadang seorang perempuan menampilkan mimik bahagia, padahal tidak. Dengan kata lain, perempuan tetap dieksploitasi hak-haknya dengan melewati batas norma-norma, agama, dan tatanan sosial yang dibenturkan sebagai senjata ampuh untuk memaksakan kehendak orang tua.
Sebuah Komparasi
Begitu pula Mashdar Zainal, ia tak jauh berbeda dalam menorehkan ide-idenya melalui karya fiksi. Perempuan menjadi tumbal dalam kisahnya. Sosok perempuan memang unik, menarik, dan penuh dimensi eksotis untuk selalu dibicarakan.
Namun kisah pilu yang dibangun oleh Mashdar berbeda dengan kisah yang disajikan oleh Mursidi. Melalui cerpennya yang berjudul Ladang Ubi (KR, Minggu, 28 Agustus 2016), ia menampilkan sosok gadis yang selalu terasingkan, baik saat masih hidup dengan orang tuanya atau saat diadopsi oleh kerabat jauh yang tinggal di daerah lain.
Membicarakan tentang sosok perempuan memang tidak akan pernah akan ada habisnya. Para penulis fiksi berupa drama, cerpen, atau novel, selalu menjadikan sosok perempuan sebagai bumbu penyedap rasa karyanya. Begitu pula halnya Mursidi dan Mashdar Zainal yang menggunakan perempuan sebagai sembilu, guna menghasilkan karya yang benar-benar menyentuh perasaan para pembaca. Bahkan, bukan hanya karya dua penulis tersebut yang menjadikan sosok perempuan sebagai makanan empuk penikmat karya sastranya, tetapi penulis-penulis lainnya pun tak jauh berbeda.
Jika membandingkan dengan karya-karya lainnya, tentu setiap penulis dan karyanya memiliki karakter masing-masing, masih tergolong karya klise. Namun kisah yang dibangun dengan pilihan diksi yang tepat akan tampak menjadi sebuah karya yang aktual, sesuai dengan kondisi sosial saat ini.
Kisah-kisah yang dibangun pun tidak jauh dari persoalan kehidupan yang salah satunya memerankan sosok perempuan. Dilihat dari sudut pandang mana pun, perempuan memiliki eksotisme tersendiri. Sehingga, tak heran jika banyak penulis yang menautkan kisah-kisahnya dengan kehidupan perempuan.
Perempuan bukan hanya tokoh, baik sebagai orang pertama, kedua, ketiga, maupun sampingan, melainkan perempuan menjadi umpan demi menjadikan sebuah karya agar memiliki roh. Memang ada karya-karya yang lahir tanpa melibatkan sosok perempuan, tetapi hal itu masih bisa dihitung dengan jari. Kita dapat menyimpulkan bahwa sosok perempuan lebih tinggi daya tariknya dibanding lelaki dalam sebuah karya sastra. Sosok perempuan memiliki beberapa dimensi yang bisa dijadikan sebuah permenungan karena perangainya yang sangat sensitif.
Kadang, seorang penulis menjadikan sosok lelaki jika ada kaitannya dengan persoalan sosial, politik, dan budaya. Namun kaum perempuan tetap dibutuhkan; sebagai penyedap, penikmat, dan bahkan bisa menjadi racun yang melenakan hingga mematikan.
Begitulah sosok perempuan yang selalu menjadi tumbal (dieksploitasi) dalam sebuah karya menggunakan estetika dan moral yang tinggi. Oleh sebab itu karya yang mengeksploitasi dengan menjadi tumbal sosok kaum perempuan harus dijadikan sebagai kaca cermin bagi peradaban kehidupan umat manusia untuk berbenah diri dan membangun peradaban kemanusiaan yang universal.

Junaidi Khab, penulis lepas.

Membalikkan Takdir

Cerpen Syaalma Difatka Qurota’ayun (Lampung Post, 04 Maret 2018)
Membalikkan Takdir ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Membalikkan Takdir ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post 
“Mala, kamu sudah ngurus bidik misi untuk SNMPTN?” Sebuah suara mengagetkanku dari belakang, dan kudapati Kalma sedang menatap serius ke arahku.
“Belum Kal, kamu gimana? Bukannya kata Bu Indah sampai bulan September,” jawabku mengingat ucapan guru BK itu setiap kami tanya mengenai bantuan untuk kuliah.
“Belum Mal. Tapi, kata Mia anak IPA 1, mereka sudah selesai ngurusnya, tinggal tunggu pengumuman SNMPTN nanti. Enak banget mereka diurus semuanya sama guru-guru. Gak seperti kelas kita yang gak dianggep dan terbelakang,” ucap Kalma kesal sambil mengerucutkan bibirnya.
“Ya sudah kita tanya aja yuk ke BK!” ajakku sambil menarik tangannya dan bergegas ke luar kelas.
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga kecil yang bisa dibilang tidak berkecukupan dalam hal ekonomi. Kakak perempuanku bekerja paruh waktu di sebuah toko swalayan, sedangkan ayahku hanyalah seorang buruh tani. Ibuku sering sakit-sakitan, tapi kami tidak tahu apa penyakitnya karena ia tidak ingin dirawat di rumah sakit dan menghabiskan banyak biaya.
Satu-satunya impianku adalah berpendidikan tinggi agar dapat membalikkan takdir dan menjadi seseorang yang sukses dan membahagiakan kedua orang tuaku. Pilihan pertamaku adalah menjadi dokter, tetapi aku tidak terlalu yakin akan kemampuanku, dan akhirnya memilih farmasi pada pilihanku yang lainnya. Namun tetap saja, apa pun itu aku menginginkan pendidikan yang dapat mengubah takdir keluarga kami.
“Assalamualaikum, Bu, ini Aksamala dan Kalma,” ucapku diiringi salam seusai membuka pintu dan memasuki ruangan BK.
“Ada urusan apa anak IPA 4 ke sini? Buat onar lagi?” suara ketus itu malah menyambut kami tidak senang. Sejujurnya kelas kami tidak setiap hari membuat masalah. Dan lagi, itu semua karena hanya kelas kamilah yang dikucilkan dan seolah tidak dianggap oleh para guru.
“Kami mau nanya soal bidik misi, Bu. Sebentar lagi pendaftaran SNMPTN tutup, tapi kami masih belum diberitahu mengenai hal itu,” jawabku dengan nada kesal.
“Kalian dari mana saja? Kenapa tidak pernah ke sini?! Memangnya kalian sanggup mengisi semua persyaratan dalam waktu yang sebentar?” Guru itu malah membentak kami dengan wajah menyebalkan.
“Bu, kami sudah ke sini berkali-kali dan ibu bilang akan memberitahu kami nanti. Bahkan kemarin saat kami ke sini lagi, ruangan ini dikunci dan kami tidak diperbolehkan masuk,” jawabku sangat kesal. Sudah berkali-kali kami ke sini tapi dengan cueknya mereka tidak menggubris kami sama sekali.
“Kalian jangan bohong, kami ada di sini terus dengan ruangan ini tidak pernah terkunci. Lagipula kalian berdua berada di peringkat 70-an di sekolah atau mungkin hampir 100. Memangnya kalian tidak malu,” jawab guru yang sepertinya salah profesi itu.
“Untuk apa kami malu, Bu, kami kan mau belajar bukan berfoya-foya,” jawabku dengan nada bergetar dan mata yang mulai berair menahan marah. Guru itu tak menjawab atau bahkan mendengar ucapanku, ia hanya berjalan meninggalkan kami entah ke mana dan tak kembali lagi hingga bel masuk berbunyi.
“Udah Mal, sabar aja. Anggap saja kita mandiri dan tidak membutuhkan bantuan guru yang seperti itu,” ucap Kalma mencoba menenangkanku. Aku hanya mengangguk kecil dan memaksakan seulas senyum untuknya.
Akhirnya pendaftaran pun ditutup, dan kami berusaha keras tanpa bantuan dari para guru yang tidak mempedulikan kami. Ujian nasional kami lewati dengan tegang disertai usaha semaksimal mungkin. Hingga pengumuman SNMPTN pun keluar dan kembali membuat kami kecewa.
Aku belum ditakdirkan memasuki Universitas impianku hanya dengan mengandalkan nilai dan keberuntungan. Ini membuatku terpukul dan sempat berpikir untuk menyerah, tapi kuyakini ini hanyalah uji mentalku ‘tuk menjadi lebih kuat. Kali ini aku mencoba lagi dengan usaha yang melebihi sebelumnya, dan mencoba membuktikan bahwa aku bisa dengan usaha keras dan kegigihanku.
“Mala, gimana tadi soal SBMPTN-nya?” sebuah pesan singkat terpampang jelas di layar ponselku.
“Soalnya aja minta dingertiin, apalagi jawabannya. Mereka bekerja sama untuk memperkuat kepekaanku,” candaku pada Kalma yang cepat dibalas dengan emoticon cemberut olehnya.
Aku sudah belajar keras semampuku, walau merasa tidak yakin setelah melihat teman-temanku yang sangat yakin dengan bimbingan belajarnya. Kakakku bahkan sudah mengatakan padaku untuk bersiap menerima kenyataan terburuk bila aku tidak bisa kuliah tahun ini kalau aku tidak lulus pada tes kali ini.
Nilai ujian nasional kami sudah keluar dan ternyata nilaiku sangat pas-pasan. Ini membuatku semakin tidak percaya diri akan kelanjutan pendidikanku.
“Mala, pengumuman SBMPTN kapan?” tanya Kalma yang sudah merangkul bahuku dengan senyum manis terukir di wajah putihnya.
“Minggu depan Kal. Ngomong-ngomong kamu jadi kuliah di UNS?” tanyaku memastikan mengingat keberuntungannya yang dapat lulus pada SNMPTN dan masuk ke perguruan tinggi impiannya.
Dia mengangguk dan tersenyum senang,
“Tentu saja! Aku sudah mengharapkan jurusan Psikologi idamanku.” Aku hanya tertawa kecil melihat kelakuannya yang melompat kegirangan seolah baru menang undian miliaran rupiah.
***
“Udah buka pengumumannya, Dek?” Tanya kakakku membuyarkan lamunanku.
“Nanti kak, nunggu Kalma. Aku mau pinjam ponselnya untuk buka internet. Kan di poselku gak bisa.” Jawabku sambil menunjukkan sebuah ponsel tua hadiah ulang tahunku. Tepat saat kalimatku berakhir, suara ketukan diiringi seruan nyaring di pintu rumahku terdengar, dan dapat kupastikan itu adalah Kalma.
“Assalamualaikum, aku masuk ya. Ayo Mal cepetan aku penasaran!” serunya menghambur ke dalam rumahku tepat saat pintu rumah kubuka.
“Pelan, Kal, lagian kan aku yang mau lihat pengumumannya. Kenapa kamu yang histeris,” jawabku pelan sambil mengambil posisi nyaman di samping Kalma yang sudah terduduk manis di sampingku. Ia menyerahkan ponselnya dan menyuruhku untuk membuka sendiri pengumuman yang akan menentukan harapan atau kekecewaanku. Dengan mata terpejam aku menekan tombol enter dan secara perlahan menatap ponsel di hadapanku.
“MALA!” seruan Kalma seketika mengalihkan perhatianku tanpa sempat melihat pengumuman yang kutunggu.
“Masuk gak? Kalma, aku gak yakin! Gak masuk ya?” ucapku gugup dan menutup wajahku dengan kedua tanganku.
“Ini lihat!” serunya sambil menyodorkan ponselnya tepat ke depan wajahku. Aku menatapnya secara perlahan dan tak dapat berkata-kata karenanya. Tanganku spontan menutup mulutku seolah takut aku akan berteriak dan mengagetkan semua orang.
“Selamat Mala! Calon bu dokter dari UI!” seru Kalma gembira sambil memeluk tubuhku erat.
“Kenapa, Nak? Keterima di mana?!” seru ibuku menghambur mendekatiku. Ia mengusap pelan wajahku yang ternyata meneteskan air mata. Sungguh aku tidak percaya, ini sebuah keajaiban.
“Mala masuk kedokteran UI, Bu,” Mala mewakiliku menjawab dengan senyum yang masih terhias di wajahnya. Ia terlihat tak kalah gembira dariku, dan aku bersyukur ia adalah sahabatku. Ibu seketika menangis haru dan memeluk erat tubuhku seolah tidak ingin melepaskannya. Aku masih tak dapat berkata-kata, lidahku kelu dan aku takut bila tahu bahwa ternyata ini hanya mimpi.
“Berarti kamu siap-siap lagi urusin persyaratan daftar ulangnya,” ucap Kalma membuyarkan semua lamunanku, dan akhirnya dapat membuatku bersuara.
“Iya, Kal, nanti bantuin lagi ya. Mumpung kamu belum berangkat ke Solo,” ucapku pelan dengan suara yang bergetar.
“Tentu! Lagian juga kalau aku udah berangkat ke Solo, kita masih bisa saling berkomunikasi dan kalau perlu aku akan pulang saat kamu butuh bantuan,” jawabnya cepat sambil mencubit kedua pipi tembamku.
Aku mengangguk kecil dan tersenyum senang mendengar ucapannya. Seketika kuyakini diri bahwa ini bukanlah ilusiku semata, ini nyata.
Tepat sehari sebelum waktunya daftar ulang, ibuku kembali drop karena sakitnya. Uang pas-pasan yang sudah ditabung oleh ayah dan kakakku terpaksa digunakan untuk biaya pengobatan ibuku yang ternyata mengalami stroke ringan dan terpaksa dirawat dengan biaya yang cukup besar.
“Dek, daftar ulang terakhir hari apa?” tanya kakakku tiba-tiba tepat saat aku menghancurkan celengan kecil milikku satu-satunya.
“Lusa, Kak, waktunya hanya 5 hari. Ternyata uang yang kukumpulkan bahkan tidak mencapai seperempat uang yang diperlukan. Sepertinya aku tunda saja dulu kuliahnya. Kedokteran kan mahal,” jawabku lalu memaksakan seulas senyum. Kulihat matanya berkaca-kaca, dan akhirnya ia menangis dan meminta maaf.
“Maafkan kakak dek, kakak tidak bisa berbuat apa pun untukmu,” ucapnya bergetar lalu memelukku erat. Ya, sepertinya takdirku memang seperti ini.
“Mala, ada Kalma datang!” seru ayahku dari luar membuyarkan kesedihan kami.
“Iya, Yah, Mala ke sana!” jawabku cepat menghapus bulir air mata yang masih mengalir di pipiku dan bergegas menghampiri Kalma yang sudah menungguku di depan.
“Mala, hari ini daftar ulang kan? Setahuku online kan? Ayo!” ajaknya menarik tanganku untuk bergegas mendekatinya.
“Sepertinya kuliahku ditunda, uang untuk daftar ulangnya digunakan untuk pengobatan ibuku,” jawabku pelan lalu tersenyum kecil.
“Hei jangan murung gitu! Coba dulu daftar ulang, kan ada beasiswa untuk calon mahasiswa tidak mampu. Kamu bisa mengajukannya!” serunya memukul bahuku diiringi senyum ramahnya.
“Benarkah?” tanyaku bingung, dan ia mengangguk. Aku bahkan melupakannya, dan terlalu mudah putus asa sebelum mencari tahu lebih jauh. Kalma segera saja membantuku mengisikan data diriku dan mencoba mencari tahu mengenai persyaratan untuk mendaftarkan diriku pada program beasiswa tidak mampu. Kami segera mencatatnya dan hari itu juga aku menyiapkan semua yang diperlukan.
Kalma datang keesokan harinya dan kembali membantuku mengisikan semua persyaratan hingga selesai dan menunggu hingga hasilnya tiba. Kegugupan membuat waktu terasa sangat lama. Ibuku sudah mulai pulih dan bisa melakukan kegiatan sehari-harinya, dan akhirnya kini pengumuman pun tiba. Hari ini seusai melihat pengumuman penerimaan beasiswa, Kalma akan langsung berangkat ke Solo dan meninggalkanku. Jadi kuharap, aku tidak akan membuatnya khawatir lagi.
Persis seperti saat aku membuka pengumuman SBMPTN, kini aku dengan gugup menutup mataku dan perlahan membukanya untuk menatap kenyataan di hadapan wajahku. Kalma sedari tadi sudah memukul-mukul bahuku memaksaku untuk segera membuka mata, dan kini akan kuturuti kemauannya.
“Kal, beneran kan ini? Ini gak ada kerusakan sistem kan?” tanyaku tak percaya melihat tulisan dalam ponsel di hadapanku. Kulihat mata Kalma berkaca-kaca dan ia mengangguk pelan.
“Selamat ya Mal, kamu akan bener-bener jadi bu dokter! Gak perlu takut biaya lagi, asal kamu pertahanin IPK dan kegigihan kamu, kamu pasti bisa menggapai mimpimu,” ucapnya tepat setelah tanganku spontan memeluknya.
Aku tidak tahu apakah ini hanya mimpi panjang yang menghiburku ataukah kenyataan yang membahagiakanku. Tapi kuharap, aku benar-benar bisa membalikkan takdir karenanya.

Patamburu

Cerpen Agus Salim (Lampung Post, 25 Februari 2018)
Patamburu ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Patamburu ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Semalam aku bermimpi. Aku ada di sebuah taman mahaluas. Seperti tak berbatas. Bersembunyi di balik pohon apel. Mengintip dua sosok manusia. Laki-laki dan perempuan. Berdiri sambil bergandengan tangan di depan pohon apel yang lain. Dari lagak-lagaknya, sepertinya mereka sedang merencanakan perbuatan dosa besar.
Siapa mereka? Apa hubunganku dengan mereka? Pertanyaan itu aku jawab dengan berpindah tempat sembunyi. Agar bisa lebih dekat dengan mereka. Sehingga mataku bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Setelah benar-benar dekat, aku terkejut. Rupanya mereka. Sudar dan Istriku. Emosiku langsung menyerang ulu hati. Darah langsung mendidih. Berebut naik ke ujung kepala. Udara yang sebenarnya sejuk, tak berguna lagi bagi tubuh. Aku segera bertindak.
Saat aku melepaskan tinju ke arah kepala Sudar, tinjuku mental. Aneh. Bahkan mereka sama sekali tidak terusik dengan aksiku. Aku ulangi sekali lagi. Tapi tetap mental. Sepertinya Sudar telah memasang perisai gaib untuk melindungi pertemuan mereka.
Aku tak menyerah. Mulutku membaca mantra untuk memusnahkan perisai gaib itu. Berhasil. Mereka mulai menoleh kepadaku. Aku segera tarik lengan istriku. Sudar memberi perlawanan. Aku hajar dia dengan pukulan dan tendangan, berkali-kali. Aku berlagak seperti aktor Donnie Yen saat melumpuhkan musuhnya dengan jurus wing chun.
Sudar terpental. Terjungkal dan berguling-guling. Aku kejar tubuhnya. Aku beri pukulan beruntun lagi ke arah wajahnya. Sampai akhirnya dia pingsan. Tapi keanehan terjadi. Istriku tidak mengenal diriku. Aku yakin dia telah dikuasai guna-guna. Aku segera bertindak. Aku tekan kening istriku dengan ujung jempol kananku. Aku baca mantra penghilang guna-guna. Dia meronta kepanasan. Keningnya berasap. Dan, syukurlah, dia akhirnya tersadar. Aku lega.
Begitulah mimpi yang terjadi di dalam tidurku. Mimpi yang terasa begitu nyata. Atas alasan itulah malam ini kami, aku dan istriku, bertemu di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Dia sudah menangis sejak masuk ke dalam kamar. Aku yakin, dia menangis karena seharian penuh tidak aku acuhkan. Memang begitu kalau aku marah. Aku memperlakukannya seperti tidak ada. Dia paling tidak suka diperlakukan seperti itu.
“Coba kau katakan sejujurnya kepadaku. Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”
Dia tak menjawab dan terus menangis. Aku yakin dia bingung. Mendapatkan pertanyaan semacam itu, tanpa petunjuk apa-apa, pasti membuatnya berpikir keras untuk memahami apa yang aku maksud.
“Lebih baik kau katakan sejujurnya sekarang. Ketimbang suatu hari nanti aku tahu dari orang-orang.”
Dia tetap tak menjawab. Sibuk mengatur ritme tangisnya. Aku pikir, mungkin dia perlu waktu untuk menenangkan diri. Jadi, aku putuskan meninggalkannya. Aku beranjak dan melangkah menuju kamar sebelah. Pintunya sengaja tidak ditutup. Aku nonton TV sambil tiduran di sebelah anakku yang pulas. Tapi, tak lama kemudian, dia aku lihat berdiri di dekat daun pintu kamar anakku.
Menatapku dengan tatapan menyedihkan. Lalu melambaikan tangan kepadaku. Mengajakku pindah ke kamar kami. Aku menurut. Menyusuli kakinya yang lebih dulu melangkah. Kami ada di kamar kami lagi. Dia juga sudah tidak menangis lagi. Sepertinya, dia sudah siap menjawab pertanyaanku.
“Sesuatu apa yang kau inginkan dariku?” ah, dia malah balik bertanya.
“Sesuatu yang kau sembunyikan,” jawabku.
“Kau kira aku memiliki rahasia?”
“Siapa tahu?”
“Selalu begitu. Aku yakin ini pasti gara-gara mimpi.”
“Kau benar. Semalam aku bermimpi. Di dalam mimpi itu aku melihat kau bersama Sudar di sebuah taman yang dipenuhi pohon apel. Kalian begitu mesra sekali.”
“Hanya itu?”
“Ya. Tapi aku belum tenang sebelum kau jawab pertanyaanku. Aku sangat khawatir kau sudah terkena mantra guna-guna Sudar. Kau kan tahu, Sudar ahli dalam perkara itu?”
“Lalu, kau suruh aku jujur dalam perkara apa?”
“Perkara yang tidak aku tahu. Siapa tahu kau dan Sudar main-main saat aku tidak ada di rumah.”
“Sangkaanmu terlalu merendahkan aku. Kau selalu begitu. Selalu berpikir yang yang bukan-bukan tantang diriku hanya karena mimpi.”
“Aku hanya butuh jawaban kepastian. Biar aku tidak menderita dalam prasangka.”
“Aku harus menjawab apa, Mas?!”
Suaranya mulai meninggi. Aku tidak bisa melanjutkannya. Karena bisa membuat aku terpancing untuk meninggikan suara juga. Bisa-bisa kami bertengkar dan membuat anak-anak kami terbangun. Aku meninggalkannya lagi.
Aku pindah ke ruang kerja yang ada di kamar depan. Laptop memang sengaja aku biarkan dalam posisi stand by tadi. Aku tekan sebarang tombol untuk menyalakannya kembali. Di depan layar yang menyala aku merenungkan peristiwa itu. Tapi malah Wajah Sudar membayang-bayang di mata. Seperti sedang mengejekku. Aku panas. Ingin rasanya aku mendatangi rumahnya malam ini. Menggedor-gedor pintunya dengan kasar. Lalu mengajaknya bertarung sampai mampus. Akan aku hajar dia seperti yang kulakukan di dalam mimpi. Tapi, aku sadar, cara semacam itu salah. Aku bisa diperkarakan jika memukul orang hanya gara-gara mimpi. Bahkan akan ditertawakan. Aku ingin masalah cepat selesai dan tidak berlarut-larut. Aku tidak mau menderita terlalu lama dalam lingkaran prasangka buruk.
Aku tinggalkan ruang kerja. Pindah ke ruang tamu. Duduk di sofa panjang. Menyalakan rokok. Udara dingin dari luar mengirim gigil ke tubuh. Celaka, hasrat untuk bercinta tumbuh. Tapi, bagaimana aku bisa bercinta? Aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Rokok yang masih panjang aku benamkan di asbak. Aku hampiri dia kembali di dalam kamar.
Dia berbaring menghadap dinding. Aku duduk di sebelahnya. Aku tahu dia belum tidur. Dia tahu kalau aku ada di sebelahnya. Tapi enggan berbalik badan. Aku juga belum berselera meneruskan percakapan. Aku pandangi bagian belakang tubuhnya dengan tatapan yang seperti ingin menembus sampai bagian terdalam. Tapi, entah kenapa, pada saat seperti itu aku tiba-tiba merasa bersalah.
Ya, aku merasa bersalah. Sebab bukan baru kali ini aku memperlakukannya seperti sekarang ini. Bahkan berkali-kali. Aku sering marah tiba-tiba dan tidak memedulikannya hanya gara-gara mimpi. Mimpi yang kerap menyuguhkan cerita tentang dia dan Sudar.
Pernah suatu waktu aku bermimpi tentang mereka yang bercumbu di kamar ini. Yang membuat aku kemudian terjaga tiba-tiba dan langsung marah-marah. Bagaimana tidak marah? Di dalam mimpi itu aku lihat istriku bercumbu dalam keadaan hamil. Lalu dia berkata kepadaku bahwa anak yang ada di dalam kandungannya bukan anakku.
“Ini bukan anakmu.”
“Lalu anak siapa?”
“Anak lelaki itu.”
“Kau bercinta dengannya?”
“Ya.”
“Kenapa kau tega berbuat seperti itu padaku?!”
“Karena aku tidak mencintaimu.”
“Kenapa kau tidak mencintaiku?!”
“Karena kau bukan lelaki pilihanku.”
“Sekarang, pilihlah. Kau ingin hidup bersamaku atau bersamanya?”
“Aku ingin hidup bersama dia.”
Begitulah perdebatan kami yang terjadi di dalam mimpi itu. Saat aku marah, dia menangis. Tidak aku beri kesempatan dia menjelaskan sebelum aku selesai bicara. Tapi setelah itu aku menyesal saat dia bicara: Hanya karena mimpi kau tega menuduh aku seperti itu? Tidak apa-apa. Aku tidak akan melawan.Tuduhlah aku sesukamu. Yang penting aku tidak seperti yang kau sangkakan.
Aku juga heran, kenapa selalu Sudar dan istriku yang hadir ke dalam mimpiku. Aku pernah bertanya pada diri sendiri. Apakah ini semacam petunjuk? Atau hanya sekadar fitnah iblis yang dikirim lewat mimpi? Meski pada akhirnya aku tahu jawabannya, bahwa itu hanyalah fitnah iblis untuk membuat rumah tanggaku berantakan, aku tetap saja mencemburui istriku. Menuduhnya telah berselingkuh dengan Sudar hanya berdasarkan mimpi. Mungkin ini keterlaluan, tapi beginilah diriku. Wajar jika istriku menyebutku patamburu (pencemburu).
Sambil menunggu dia berbalik badan, aku hidupkan lampu duduk yang ada di meja dekat kasur kami. Aku ambil buku The Consolation of Philosophy dan membacanya. Tapi belum sempat aku menghabiskan paragraf kedua pada bab 4, dia bersuara, tapi tidak berbalik badan.
“Kenapa kau selalu perlakukan aku seperti ini.”
“Sudah kukatakan, karena aku telah bermimpi.”
“Coba katakan, prasangka buruk apa lagi yang ada di dalam kepalamu sekarang?”
“Apakah benih yang ada di dalam perutmu adalah benihku?”
“Keparat kau. Kau kira aku hamil karena perbuatan Sudar?’
“Aku tidak menuduhmu. Hanya bertanya saja. Apa itu salah?”
“Salah. Itu sama saja kau menuduhku. Sampai kapan kau mau berhenti berprasangka buruk?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak menginginkan mimpi itu. Tapi mimpi itu datang sendiri.”
“Sekarang, buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik. Tidak mungkin aku menyerahkan tubuhku pada lelaki lain. Apalagi pada Sudar yang mulutnya monyong seperti kera itu. Aku milikmu. Berhentilah jadi lelaki patamburu dan berprasangka buruk tentang aku hanya gara-gara mimpi.”
“Maafkan aku. Entahlah, kenapa aku bisa sampai jadi lelaki seperti ini. Mungkin karena aku terlalu mencintaimu. Maafkan aku.”
“Jika kau terus-terusan seperti itu, bisa-bisa aku tidak kuat dan meninggalkanmu sungguh-sungguh. Apa kau ingin itu terjadi?”
“Sudahlah, jangan mengancam seperti itu. Aku sudah minta maaf.”
“Kau selalu begitu.”
Aku membalik badannya.
“Aku memang begini.”
Aku berbaring. Wajah kami bertemu.
“Maka berhentilah menuduhku yang bukan-bukan.”
Aku memeluk tubuhnya.
“Aku selalu berusaha.”
Aku mencium keningnya.
“Kau selalu begitu.”
“Aku memang suka begini.”
Pertengkaran kami tutup dengan aksi berciuman. Tapi tidak sampai bercinta. Sebab setelah puas berciuman dia pamit tidur duluan karena tubuhnya kelelahan. Aku tidak mau memaksanya melayani berahiku.
Nah, pembaca yang budiman, begitulah akhir dari cerita ini. Aku memang sering mengalami masalah rumah tangga karena mimpi-mimpi. Aku menilai kalau diriku ini adalah lelaki yang sensitif. Tapi istriku bilang kalau aku ini patamburu. Apa pun istilahnya, aku butuh orang untuk menyelesaikan masalahku. Sebelum akhirnya bertambah parah dan berakibat pada perceraian. Sebab, tidak menutup kemungkinan, besok, atau besoknya lagi, atau entah kapan, aku akan bermimpi seperti itu lagi.
Aku sebenarnya kasihan kalau terus-menerus menuduhnya berselingkuh hanya karena mimpi. Jadi, apakah kalian bisa memberi saran atau masukan kepadaku? Jika ada, segeralah datang kepadaku. Aku akan beri imbalan besar jika saran atau masukan kalian berhasil menyelesaikan masalahku dan bisa melepaskan aku dari julukan patamburu. Aku janji.

Asoka J, 2018

Sepatu itu Ada dalam Hatiku

Cerpen Basuki Fitrianto (Lampung Post, 18 Februari 2018)
Sepatu itu Ada dalam Hatiku ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Sepatu itu Ada dalam Hatiku ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post 

Sepatu dengan ukuran 28 itu dulu milik anakku, bidadari kecilku. Warnanya pink, warna kesukaannya. Dia yang memilih sendiri ketika aku ajak ke toko sepatu pada suatu sore yang mendung. Entahlah kenapa dia suka warna pink, warna yang aku benci, warna yang menurutku terlalu lembek untuk ukuran lelaki pemarah seperti aku.
Ketika aku sarankan dan agak memaksa agar anakku memilih warna sepatu hitam atau merah, anakku menolak dengan wajah cemberut. Aku tak tahan jika melihat wajahnya menjadi begitu, meski aku kadang kasar padanya, kadang menampar pipinya jika dia rewel, hatiku akan bergetar jika dia diam dengan wajah menyimpan duka. Oh, anakku, apa kabarmu hari ini?
Sepatu itu kini tersimpan rapat dalam hatiku. Selalu terlihat bersih karena aku rajin membersihkan debu-debu yang menempel. Sesekali aku mencucinya dengan air mataku. Jika malam terasa ngelangut dan rindu menggebu-gebu, maka aku ambil sepatu itu dari dalam hatiku. Aku letakkan di atas pangkuan kedua tanganku. Aku pandangi sepasang sepatu itu. Aku belai-belai dengan lembutnya, penuh perasaan dan kasih sayang hingga air mata meleleh pelan. Kenapa semua ini bisa terjadi padaku, bidadariku? Apakah ini yang artinya takdir? Jika memang demikian, kenapa aku ditakdirkan jatuh ke dalam kelam?
Seperti malam ini saat di luar rumah hujan, aku rindu padamu. Rindu sekali. Aku keluarkan sepatumu dalam hatiku dengan sangat hati-hati. Aku letakkan di atas pangkuanku. Ah! Kau sungguh lucu dan menggemaskan saat kau mengenakan sepatu itu untuk pertama kalinya. Kau melenggak-lenggok seakan kau peragawati tercantik seluruh jagat raya ini. Rambut hitam panjangmu kau sibakkan ke kanan-ke kiri, lalu tersenyum padaku. Kau berjalan lagi. Aku menyaksikan semua gayamu dengan perasaan bangga sekaligus haru.
Kita berdua saat itu. Ibumu meninggalkan kita selamanya saat melahirkanmu. Itulah untuk pertama kali aku mengalami duka yang sungguh pedih.
“Selamat, anak sampean perempuan, tapi maaf, ibunya ndak ketulungan,” kata bidan puskesmas.
Terasa aneh memang, kabar gembira dan duka menjadi satu, lalu bagaimana aku harus menanggapi kabar seperti itu? Aku sangat sedih kehilangan ibumu, aku juga sangat gembira menerima kehadiranmu.
“Rawatlah anak kita baik-baik, Mas.”
Ah, aku teringat ibumu berkata seperti itu sebelum melahirkanmu. Betapa bodohnya aku, kenapa aku tak mempunyai firasat jika itu adalah wasiat terakhir ibumu? Aku hanya mengangguk dan membelai rambut ibumu ketika dia berpesan seperti itu.
Berhari-hari aku seperti anak kecil yang kehilangan kucing kesayangannya. Aku dan kau, anakku, mengurung di dalam rumah. Meski demikian aku harus tetap memperhatikanmu agar kau tetap bisa menghirup napas. Memberimu susu, memandikanmu, mengganti popokmu bila kau kencing dan buang air besar. Aku harus menjaga amanat ibumu, agar ibumu di atas sana tersenyum melihat kita saling mencintai.
Merawatmu sendirian tentulah tidak mudah, butuh kesabaran berlapis. Dan kadang persediaan sabar itu habis saat kau menangis tiada henti. Kepala seakan ingin meledak. Aku kebingungan kenapa kau menangis tiada henti? Lalu timbul niat ingin membunuhmu, mencekikmu agar suara tangismu hilang tertelan bumi, agar aku tak terganggu lagi dengan suara tangismu. Berkali-kali jika aku sudah muak dengan perjalanan hidup kita, aku selalu ingin mencekikmu, tapi berkali aku iba melihat wajah lucumu itu, iba melihat jari-jari mungilmu. “Oh, maafkan aku, anakku.” Aku lalu menciumimu dan kau seperti mengucapkan terima kasih ketika jari-jari mungilmu menyentuh wajahku.
***
Kesulitan demi kesulitan tak terasa berlalu, kesabaran demi kesabaran untuk merawatmu berjalan seiring dengan bertambah usiamu. Mawar itu tak lagi kuncup, kini sudah mekar dengan aroma memabukkan. Usiamu sudah enam tahun, kau mulai bisa menyanyi meski suaramu tak jelas dan aku tak tahu lagu apa yang sedang kau nyanyikan. Tapi semua tingkahmu itu sungguh menggemaskan.
“Ayah, aku mau nani.”
“Oh, ya? Mau nyanyi apa, Sayang?”
“Elangi…”
“Pelangi? Baik.”
Kau mulai menyanyi sambil berlenggaklenggok. Aku mendengarkan sesekali membetulkan kata-kata yang salah kau ucapkan. Lalu aku bertepuk tangan usai kau menyanyi.
“Suaramu bagus, kamu ingin jadi penyanyi?”
“Iya.”
Dan akhirnya kami berpelukan.
Kenangan yang mengharu-biru, kenangan yang selalu merobek-robek sekat hatiku. Kenapa aku tak bisa melepaskan semua kenangan itu? Kenapa aku tetap menyimpan sepatumu dalam hatiku, anakku? Bahkan selalu merawat dan menjaga sepatumu?
Kalian, kau dan ibumu adalah orang-orang yang sangat aku cintai.
“Napa Ayah nangis?” tanyamu dulu pada suatu malam.
Aku memelukmu erat. “Aku rindu Ibumu.”
“Ibu?”
Aku mengangguk dan menatapmu lekat.
“Aku unya Ibu? Pakah Ibu antik?”
“Iya, Ibu cantik sepertimu.”
Mengingat kenangan itu membuat aku bergetar. Sepatumu di atas pangkuan ikut bergetar. Aku merasa menjadi lelaki paling rapuh di jagat ini. Aku merasa sendirian menjalani hiruk-pikuk kekacauan jagat ini. Ah, anakku! Aku sekarang menjadi lelaki pembenci. Aku benci rumah sakit itu. Benci dengan orang-orang yang ada di dalam rumah sakit itu. Mereka bukan manusia, mereka setan berwajah manusia. Manusia harus punya hati, harus punya rasa iba, tapi sama sekali mereka tak punya!
Malam hari aku terbangun saat kau mengigau. Aku pegang keningmu. Panas! Kau mulai mengejang. Naluriku mengatakan ada yang tak beres dalam tubuhmu. Aku bergegas pergi ke tetangga sebelah minta tolong agar membawamu ke rumah sakit. Dengan menggunakan sepeda motor kita dan tetangga kita menerobos dinginnya malam menuju rumah sakit. Aku memelukmu erat sambil berdoa agar tak terjadi apa-apa pada dirimu. Sampai di rumah sakit aku langsung menggendongmu menuju UGD.
“Maaf, Bapak harus mendaftar dulu,” kata petugas rumah sakit.
Aku menyerahkanmu pada petugas rumah sakit dan langsung menuju loket pendaftaran pasien baru. Dan inilah malapetaka itu.
“Bapak harus membayar dulu biaya rumah sakit minimal separuhnya dulu.”
“Saya lupa bawa uang, Bu, nanti saya bayar,” kataku mengiba.
“Tapi peraturan rumah sakit seperti itu.”
“Tolonglah, tangani anakku dulu, suhu badannya tinggi.”
Mereka seperti robot, wajahnya polos tak punya empati sama sekali. Mereka tetap berpegang pada peraturan rumah sakit. Aku murka anakku! Sungguh keji mereka memperlakukanmu seperti itu.
“Anjing! Di mana hati kalian?!”
Aku kembali ke dalam dan mengambilmu. Bersama tetangga, kita berboncengan mencari rumah sakit lain. Aku lihat wajahmu semakin membiru. Laju motor seakan sangat lambat. Aku pegang keningmu. Dingin! Oh, apa yang terjadi pada dirimu anakku? Aku tak bisa mendengar suara napasmu. Berkali-kali aku berdoa semoga kau membaik. Aku kebingungan di atas jok motor, apa yang harus aku lakukan anakku? Dan saat itulah aku menangis. Aku memelukmu, inilah kali kedua aku merasakan pedih yang sangat dalam. Pedih yang tak mungkin bisa dihilangkan dari ingatan.
***
Sepatu berukuran 28 itu dulu milik anakku, bidadari kecilku. Warnanya pink, warna kesukaannya. Kini pemilik sepatu itu telah pergi menyusul ibunya di surga.

Solo, Rumah Mimpi, 2017.

Sebuah Kejutan

Cerpen Hernawaty (Analisa, 25 Februari 2018)
Sebuah Kejutan ilustrasi Toni Burhan - Analisa.jpg
Sebuah Kejutan ilustrasi Toni Burhan/Analisa
PENYAKIT kanker memisahkan Mama dariku dan Papa. Kami merasa sedih dan sangat kehilangan, terlebih Papa. Setelah Mama meninggal dunia, Papa pindah tugas ke Jakarta, saat itu aku berumur duabelas tahun. Karena Papa tak bisa menerima kepergian Mama, pindah ke Jakarta adalah jalan terbaik bagi kami.
Bagi Papa, Mama adalah segalanya. Mama cinta pertama Papa. Dengan kepergian Mama, Papa merasa dunia telah berakhir. Tetapi demi aku, Papa harus bangkit kembali dari kesedihannya. Papa teringat pesan Mama di saat-saat terakhirnya. Mama berpesan apa pun yang terjadi nanti Mama ingin Papa dan aku tetap menjalani hidup dengan bahagia seperti sebelumnya.
Awalnya aku tak ingin meninggalkan kota kelahiranku, tetapi Papa meyakinkanku ini adalah jalan terbaik bagi kami. Akhirnya kami pindah ke Jakarta dan memulai hidup baru tanpa Mama.
Kami tinggal di rumah dinas tempat Papa bekerja, sebuah rumah yang asri di kompleks perumahan. Aku merasa asing di tempat baruku, juga sekolah baru dan merasa tak nyaman, tetapi Papa sangat berharap aku bisa beradaptasi di tempat baru ini.
Karena sering sendirian dan tak ada yang mengasuhku, aku sering dititipkan Papa di rumah Tante Imah, tetangga kami. Om Darwin, suami Tante Imah adalah teman baik dan rekan kerja Papa di kantor. Tante Imah sangat baik dan sayang padaku. Aku seperti merasakan kehangatan Mama kembali.
Sejak dulu Tante Imah ingin punya anak perempuan karena dia telah mempunyai dua anak laki- laki, Hansen dan Vinsen. Hansen lebih tua setahun dariku sedangkan Vinsen sebaya denganku. Tante Imah sudah menganggapku seperti anak perempuannya sendiri. Demikian juga Hansen dan Vinsen, mereka sangat baik padaku dan menganggapku seperti adik perempuan mereka.
Mereka membuatku lupa akan kesedihanku setelah ditinggal Mama. Aku seperti menemukan sebuah keluarga yang hangat kembali. Aku sangat dekat dengan Hansen dan Vinsen. Kami pergi sekolah bersama, sering belajar bersama, main bersama, jalan bersama. Aku mulai bisa beradaptasi dan merasa nyaman di tempat baruku.
Seiring berjalannya waktu, kami tumbuh dewasa. Hansen sangat memperhatikanku sehingga kadang aku merasa hubungan kami bukan sekadar saudara tetapi seperti kekasih. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Dan parahnya aku menyukai dan menyayangi Hansen lebih daripada seorang saudara. Mungkinkah aku telah jatuh cinta pada Hansen?
Hansen dan Vinsen melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sedangkan aku melanjutkan kuliah di Jakarta. Selama Hansen dan Vinsen di luar negeri, kami tetap saling berhubungan dan saling berbagi cerita. Kadang aku merasa kesepian dan merindukan mereka.
Saat liburan Natal, mereka pulang ke Jakarta, senang sekali bisa berjumpa dan berkumpul lagi bersama mereka. Kami merayakan Natal bersama Papa, Om Darwin dan Tante Imah. Berkumpul seperti satu keluarga dan makan bersama.
Di malam Natal, Hansen memberikan kejutan padaku. Kado natal, sebuah kotak kecil. Sebuah kotak cincin tapi tak ada cincinnya. Hansen menyatakan cintanya padaku dan akan memberikan cincin untuk melamarku setelah ia tamat kuliah nanti. Betapa senangnya hatiku ternyata perasaanku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ternyata Hansen juga mencintaiku seperti aku mencintainya. Kami menjalani hari-hari penuh cinta.
Liburan Natal telah berakhir, Hansen dan Vinsen akan balik ke luar negeri melanjutkan kuliah. Aku mengantar mereka ke bandara. Di bandara, Hansen memberi kecupan di dahiku sambil berbisik, “Tunggu aku pulang ya, Sayang? Setamat kuliah nanti aku akan segera melamarmu.”
Selama dua tahun aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Hansen, aku tetap fokus pada kuliahku. Di tahun terakhir perkuliahanku aku mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai asisten manajer. Di sini, aku bertemu kembali dengan Iyan. Dia manajer di perusahaan ini. Iyan adalah asisten dosen yang pernah membimbingku di tempat aku kuliah saat tahun pertama aku masuk kuliah. Setelah tamat kuliah, Iyan bekerja di perusahaan ini.
Dulu Iyan pernah mengejarku tapi hatiku sudah berlabuh pada Hansen. Iyan masih seperti dulu penuh perhatian, ia mengajari dan membimbingku dalam pekerjaanku. Iyan mulai kembali mendekatiku dan menyatakan perasaannya padaku bahwa ia tak bisa melupakanku. Dan setelah kami berjumpa kembali, Iyan merasa ini takdir bahwa Tuhan mengirimku untuknya setelah sekian lama kami tak berjumpa dan akhirnya bertemu kembali. Aku hanya memberi jawaban sama seperti dulu, aku telah memiliki Hansen yang nanti akan melamarku setelah ia tamat kuliah. Tetapi kali ini Iyan bersikukuh, “Aku akan menunggu sampai hatimu terbuka untukku…”
Sudah tiga bulan Hansen tak memberi kabar, ia seperti hilang dari dunia ini. Aku terus berusaha mencari tahu kabarnya. Aku mencoba menghubungi Vinsen. Dari Vinsen, aku mendapat kabar bahwa Hansen sangat sibuk kuliah karena sudah tahun terakhir perkuliahan. Hansen ingin segera menyelesaikan perkuliahan agar bisa segera kembali ke Jakarta menemuiku. Padahal Vinsen tengah berbohong padaku, Hansen sebenarnya tak sibuk dalam perkuliahan tetapi sedang berjuang keras melawan kanker yang menyerangnya. Aku sangat senang mendengar kabar dari Vinsen dan merasa tenang.
Akhirnya aku mendapat kabar dari Tante Imah bahwa Hansen dan Vinsen akan pulang ke Jakarta. Betapa senangnya aku. Aku berdandan secantik mungkin, pergi ke bandara untuk menjemput mereka.
Setelah tunggu beberapa saat, hanya Vinsen yang keluar dari pintu kedatangan luar negeri. Jantungku mulai berdetak keras, kudekati Vinsen dan menanyakan di mana Hansen. Vinsen merogoh sesuatu di saku celananya. Dia mengeluarkan sebuah cincin dan memberikan kepadaku. Dia bilang bahwa Hansen menitipkan cincin ini untukku dan menyampaikan permohonan maaf padaku karena tak bisa memakaikan langsung di jari manisku.
Aku mulai bertanya-tanya, ada apa ini? Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Vinsen saat ia menceritakan bahwa selama tiga bulan Hansen mencoba melawan penyakit kanker yang menyerangnya. Demi aku, Hansen mencoba berbagai pengobatan tetapi akhirnya penyakit itu merenggut nyawanya. Hansen tidak ingin aku tahu, ia tak ingin aku bersedih. Dulu penyakit kanker merenggut nyawa Mama, sekarang giliran Hansen. Tuhan, tabahkanlah hamba-Mu ini…
Papa, Om Darwin, Tante Imah dan Vinsen terus menghiburku agar aku tidak larut dalam kesedihan. Setiap hari aku berkurung di kamar. Tak ingin bertemu siapa pun.
Tiba-tiba Papa mengetuk pintu kamarku, ada teman yang mencariku. Aku keluar dari kamar. Ternyata Iyan yang datang. Beberapa hari aku tak masuk kerja Iyan terus mencariku. Akhirnya Iyan tahu kejadian yang menimpaku. Iyan terus memberi semangat padaku. Ia tak ingin aku terus larut dalam kesedihan. Iyan terus menemaniku. Ia mencoba membuka hatiku untuk menerimanya.
Di hari Valentine Iyan mengajakku makan malam. Dia memberiku kejutan, ada Papa, Om Darwin, Tante Imah, juga Vinsen di sana. Iyan menyematkan sebuah cincin di jari manisku dan meminta izin pada Papa agar memperbolehkan dia menjagaku seterusnya.
Akhirnya aku menemukan pelabuhan terakhir hatiku. Bersama Iyan, aku menemukan hidupku kembali…

* Februari 2013

Tiga Plot antara Mei dan Imlek

Cerpen Ferry Fansuri (Analisa, 25 Februari 2018)
Tiga Plot antara Mei dan Imlek ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Tiga Plot antara Mei dan Imlek ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
Angpao Buat Aling
AIRMATA itu telah mengering di pelupuk mataku. Seiring luka menganga di hati reda saat memandang amplop Angpao berwarna merah ini. Imlek saat itu begitu meriah, tapi di sudut rumah tampak muram dan buram. Wajah-wajah murung itu bergetayangan tanpa henti. Teriakan Papa bercampur histeris. Koko Alim membahana, itu terjadi tiap kali mereka bertemu.
Aku hanya bisa menutup telinga rapat-rapat. Berharap kesunyian menemani, berdoa lenyap ketika membuka mata ini. Suara-suara itu tak pernah hilang, terus menelesup sela-sela gendang telinga. Adu mulut mereka berlangsung empat babak dalam satu malam.
Papa ingin koko Alim tak pergi dari rumah dan mau meneruskan usaha toko bangunan yang lama dirintis. Koko Alim menolak mentah-mentah. Dia tak ingin dagang, tapi masuk militer. Papa murka dan menampar koko Alim, orang Tionghoa itu harus dagang bukan jadi tentara. Apalagi koko Alim telah mengganti nama Tionghoa-nya menjadi Sanata.
“Kalo elu pergi dari rumah, garis keturunan dan warisan akan hilang!”
Koko Alim tetap pergi dan bersumpah tak akan kembali ke rumah ini, tak menengok sekalipun. Aku merasa kesepian dan merindu dirinya yang entah kemana dia. Hal yang tersisa dari dirinya hanya Angpao merah itu pemberian terakhir untukku.
“Kau pakai dan belanjakan, Ling.”
Kubawa Angpao itu untuk keluar ke arah pasar Santa. Tanpa rasa kuatir, biarpun Mei itu ibukota sedang membara. Kubelikan terusan rok dan sepatu warna merah kesukaanku. Bersama Kopaja itu aku menyusuri jalanan yang dipenuhi manusia-manusia garang berusaha memenuhi syahwat perutnya. Di depan sana sedang memerah dan berkobar, Kopaja itu terjebak dalam kerumunan yang tak mampu menggenggam kemaluan mereka.
Terasa gelap, kelam dan menyisakan pedih kala itu.
***
Kata orang, jangan berjalan malam di depan bekas Mall terbakar itu. Banyak penampakan. Konon korban-korban kerusuhan itu masih menderita dan tak mau pulang ke alamnya. Ada yang tidak sengaja pernah mendengar tangisan-tangisan serta jeritan semu dalam kegelapan saat melintas disana.
Saat malam-malam tertentu melintas Kopaja misterius di depan Mall bekas kerusuhan dulu. Ada yang melihat dalam Kopaja kosong melompong tanpa sopir, bergerak sendiri di tengah malam dan kemudian hilang diujung jalan.
Kabar burung menyebar, Kopaja hantu yang waktu itu terjebak dalam kerusuhan dan dibakar massa yang beringas. Berita beredar, ada korban malang di dalam. Seorang gadis mati terpanggang setelah diperkosa ramai-ramai oleh para penjarah. Cuma gara-gara melihat dia bermata sipit mungkin suka makan daging babi.
Mungkin itu hanya rumor belaka yang semata-mata dibuat sebagai pemanis basa-basi obrolan. Mengapa ketika malam itu saat naik Kopaja untuk pulang ke rumah, kudapati hanya diriku sendirian. Tanpa sopir dan penumpang lainnya melintas Mall tersebut lagi. Ditangan kananku masih menggenggam Angpao merah itu.
Wayang Potehi Koh Abun
Koh Abun tak pernah ketinggalan menonton wayang potehi, generasi kedua dari leluhurnya yang menyebrangi lautan dari Guandong ke Jawa Dwipa. Demi penghidupan lebih baik, lari dari peperangan saudara yang melanda dataran Tiongkok.
Menyaksikan wayang potehi tidak sekedar mengenang masa lalu para leluhur, tapi itu adalah jati diri seorang Tionghoa. Mau jauh kemana saja, budaya itu akan mengikuti sampai akar estafet generasi berikutnya.
Saat itu wayang potehi menggelar lakon legendaris Jenderal Sie Djien Kwie Tjeng See. Perayaan Imlek di Pecinan begitu semarak tapi koh Abun tampak layu. Pandangannya kosong menerawang dan menjelajah ruang waktu. Beberapa hari ini koh Abun tak fokus melayani pelanggan di toko bangunannya.
Koh, semen 1 sak”
Koh… koh?”
“Semen!”
Koh Abun mendadak budeg layaknya orang linglung. Terdiam lama sampai tetesan liur menetes di sela mulutnya. Semua pegawai takut untuk menegur dan dibiarkan berharihari, terulang dan lagi terulang.
Ini terjadi setelah peristiwa dia melakukan penamparan terhadap anak laki-lakinya-Alim. Minggat, hingga memutuskan tali anak dan bapak. Koh Abun menyesal akan sumpah serapahnya tidak mengganggap lagi Alim sebagai anaknya, karena tidak ada namanya mantan anak. Dia pergi dengan impiannya jadi tentara dan membawa impian koh Abun untuk meneruskan bisnis keluarga.
Sejak itu koh Abun mengutuk dirinya sendiri, kadang mengurung diri dikamar tak mau makan. Aling anak perempuan sempat kebingungan akan kelakuan Papanya dan tak tahu harus bagaimana. Seumpama pukulan godam yang menghantam kepala terus dan terus tak mau berhenti. Koh Abun hidup dalam kesunyian. Toko, rumah atau Aling tak digubris sama sekali. Dia jadi mayat hidup di rumahnya sendiri, mati rasa. Aling pun menangis meratapi nasib Papanya.
Semua tambah parah ketika koh Abun dikabari para tetangga. Aling terpanggang di bus Kopaja yang dibakar massa saat perjalanan pulang tak sengaja terjebak dalam kerusuhan. Bulan Mei jadi prahara bagi koh Abun, lengkap sudah penderitaannya. Toko bangunan dia tutup dan hanya berdiam diri di dalam rumah, tak sekalipun keluar.
***
Penjarahan itu terus merembet bagaikan epidemi penyakit menggeroti dikit demi dikit, Mei itu mulai membara menjalar. Tak kecuali rumah koh Abun habis dilalap kobaran api yang disulut para penjarah. Semua habis tak tersisa. Rumah dan toko luluh lantah. Rumor menyebar jika api yang tersulut bukan dari para penjarah. Ada yang melihat koh Abun menyiram bensin di sekujur tubuhnya dan membakar diri sendiri sebelum mereka tiba.
Imlek Terakhir
Gaduh dan riuh selalu memenuhi langit-langit rumah Koh Abun di seberang kampung ini. Pertengkaran demi percekcokan terus berlangsung. Adu mulut tak terelakkan. Suara keras cempreng Ko Abun bergesekan dengan nada menggelegar Sanata-anak lakinya.
“Lim, elu itu dari kaum minoritas dan harus dagang. Ini malah mau jadi tentara. Gila kau!”
“Pa, jangan panggil pakai nama Tionghoa itu lagi. Sanata, itu sekarang namaku.”
“Berani sekali elu tak menghormati adat leluhur kita dan sekarang berani merubah nama seenaknya. Mau jadi apa elu, Lim?”
“Aku malu Pa, pakai nama itu. Kaum kita selalu sembunyi dari mata sipit ini dan tak berani keluar membuat pembeda.”
“Apa salahnya kaum kita. Apa yang ada pada diri kita adalah hoki. Pokoknya kamu tidak boleh pergi dari rumah ini dan nerusin toko bangunan oei.
“Aku nggak mau, Pa. Besok aku harus berangkat pelatihan.”
Sanata tampak geram gigi gemeretuk menahan marah yang menelusup dalam ubun-ubun. Dia meraih tas ransel di kamar dan memasukkan seluruh pakaian di dalamnya. Di seberang daun pintu Aling mengendap-mengendap.
“Koko, mau kemana?”
“Jangan tinggalkan Aling sendirian!”
Sanata hanya terdiam layak disengat lebah. Dia hanya menatap adik perempuan satu-satunya. Sanata mengelus rambut poni Aling serta memeluknya seperti tak mau dilepas dan tak terasa airmata meleleh disela kelopak.
Di saat malam Imlek dimana keluarga Tionghoa berkumpul dan saling memberi angpao tapi ini Sanata harus pergi jauh. Keputusan untuk bergabung dalam militer ditentang Papa-nya keras, garis keturunan anak lelaki akan pupus. Penerus bisnis toko bangunan yang dirintis cucuran airmata dan darah, generasi ketiga musnah.
Diiringi langit pecah gempita petasan menyambut malam Imlek di kampung Pecinan-Jakarta, Sanata meninggalkan rumah kelahiran beserta kenangan di dalamnya. Semenjak itu, terhitung 5 tahun bergulir Sanata tak berucap satu kata pun dari mulut ke Papanya. Bagaikan ngilu menjalar di sekujur badannya. Rasa kangen akan Aling terus resah disesah gelisah, pulang malu dan tak pulang rindu.
***
Gemuruh asap membumbung di atas langit di bulan Mei itu. Di bawah gedung pencakar tampak gelombang panas bercampur racauan manusia-manusia yang ingin menumpahkan napsunya.
“Kapten Sanata, kami menunggu perintah!”
Suara diujung speaker handy talky terdengar serak parau dan nada bimbang.
Sanata berdiri di atas gedung beton tertinggi dari kota muram ini. Matanya memandang nanar ke bawah sana. Perihal yang terus diingatnya wajah Aling, pedih terasa saat menemukan mayatnya tersobek-sobek. Diperkosa ramai-ramai penjarah yang menyerbu rumahnya. Papanya terbakar hangus bersama puing-puing rumah itu tak tersisa. Perasaan kala itu terkoyak-koyak rasa bersalah tak bisa menyelamatkan mereka.
Terdiam beberapa detik di atas sana, Sanata mendekatkan mulutnya ke microphone itu.
“Eksekusi semua!! Lakukan tanpa jejak!!”

Surabaya, Februari 2018

Lus Senang Berlari

Cerpen Yetti A. KA (Padang Ekspres, 18 Februari 2018)
Lus Senang Berlari ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Lus Senang Berlari ilustrasi Orta/Padang Ekspres
LUS sangat senang berlari. Teman-teman meneriakinya, “Lus!” “Lus!” dan ia bersiaga untuk lari jika ada seorang guru yang mencoba mendekatinya. Kaki Lus panjang sekali. Mirip kaki burung bangau. Dengan kaki panjang itu ia tampak menjulang di antara teman seumurannya. Dan Lus hanya ingin berlari. Teman-teman Lus berada di kelas dan belajar matematika bersama bapak guru yang memegang rol kayu. Lus tidak suka rol kayu itu. Rol kayu bikin ia gemetar—kedua kakinya yang paling gemetar, padahal kaki itu harus membawanya terus berlari. Maka Lus tidak pernah mau masuk lagi ke kelas. Ia tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Lus anak bodoh, kata teman-temannya. Mulut Lus yang lebar tertawa. Anak-anak itu geram kepada Lus yang tertawa. Mereka melemparinya dengan kerikil atau potongan kayu dan Lus pun dengan cepat berlari dan berlari.
Teman-teman Lus tumbuh menjadi remaja. Dan Lus tetaplah Lus yang tidak akan pernah berubah. Ia mengenakan celana pendek dan itu terlihat tidak pantas lagi untuk kakinya yang panjang. Namun, Lus hidup dengan caranya sendiri. Ia tidak terikat dengan kepantasan atau ketidakpantasan. Lus tidak memikirkan apaapa selain kedua kakinya yang harus terus berlari. Dan mulutnya yang lebar itu semakin mudah tertawa. Teman-teman Lus yang sudah remaja itu makin senang mengganggu dan menjadikannya bahan lelucon dan hiburan. Lus senang diberi makanan. Lus pasti mendekat. Mulut Lus itu seperti tong sampah yang bisa diisi oleh apa pun. Teman-teman Lus memberi sebungkus roti. Lus menangkapnya dengan cepat dan setelah itu membawanya lari seperti seekor anjing mendapat sepotong tulang. Teman-teman Lus terpingkal. Mereka merasa itu lucu sekali. Cara Lus menangkap roti. Cara Lus membawanya lari. Di kelas, mereka jarang sekali bisa tertawa. Mereka tidak boleh membuat kegaduhan. Tugas-tugas harus dikerjakan tepat waktu. Jika tidak, mereka gagal naik kelas. Teman-teman Lus takut tidak naik kelas. Lus tidak pernah dihantui oleh ketakutan itu. Mulutnya yang lebar berdecap-decap menikmati roti. Muka teman-teman Lus di kelas mendadak pucat sebab kebanyakan dari mereka lupa belajar tadi malam dan tidak siap dengan kuis dadakan.
Lus memang paling suka bermain di sekitar sekolah. Selain karena teman-temannya berada di sana—sepanjang pagi hingga siang, Lus juga berkesempatan dapat makanan—baik itu makanan baru atau sisa-sisa orang. Lus tidak keberatan mendapatkan jenis makanan apa pun. Ia senang perutnya kenyang. Dan ia makin banyak tertawa. Tawa Lus bisa menghibur orang. Anakanak yang lebih kecil bersorak, “Orang gila!” “Orang gila!” Lus tidak gila. Ia hanya anak bodoh. Bukan karena ia tidak mau belajar, melainkan memang ada yang salah dengan isi kepalanya, sejak awal, sejak ibunya merasa ada janin Lus dalam rahimnya dan perempuan itu meninju-ninju perutnya sendiri dengan perasaan ngeri tanpa alasan yang terlalu jelas, tak terpahami, bahkan oleh suaminya sendiri.
Di rumah, saudara-saudara Lus sering menyebutnya idiot. Ibunya tidak pernah memarahi anak-anaknya yang bermulut kotor itu. Mereka tidak bersungguh-sungguh kok, pikirnya. Mereka hanya kesal saja karena Lus susah sekali diberi tahu tentang sesuatu. Kenapa kau ini, Lus? Lus terlalu sering bikin malu. Mereka juga punya perasaan dan apa yang mereka rasakan itu sebuah kejujuran. Memiliki saudara yang aneh memang sangat berat dan membebani. Mereka mesti menanggung ejekan.
“Jangan berisik, Idiot,” teriak kakak laki-laki Lus. Ia meluapkan kemarahan yang sudah menumpuk dalam dirinya.
Mulut Lus tidak bisa diam ketika berada di meja makan. Ia menggumam. Selalu menggumam saat mulutnya penuh makanan. Ibu mereka menatap lembut kepada anak laki-lakinya yang baru saja berteriak dan tak berkata apa-apa. Ia sudah lelah mengeluarkan suara, setiap harinya, setiap jam-jam yang penuh keributan, untuk enam orang anaknya. Mereka yang kadang melempar sesuatu sembarangan. Mereka yang ingin diperhatikan dengan memecahkan barang-barang. Enam orang anak—apa lagi yang ia miliki setelah itu selain tubuhnya yang makin kering dan runcing? Tubuh yang sewaktu-waktu menjelma gunting dan ia ingin memotong tirai-tirai, selimut, pakaian, handuk atau melubangi kain sofa. Ia ingin merusak apa saja yang ditemukan oleh matanya. Ia ingin hancur bersama kain-kain itu. Ia ingin dan ingin, tapi tak pernah mampu melakukannya.
Dan Lus tertawa mendengar teriakan kakaknya itu. Memang begitulah Lus. Ia tidak mengerti sama sekali kalau teriakan itu ditujukan kepadanya. Ia pikir kakaknya sedang meluapkan perasaan gembira sama seperti saat tim sepak bola kesayangannya baru saja memasukkan bola ke gawang lawan. Lus memang senang menonton bola—tentu bersama saudarasaudaranya. Dan ia selalu bersorak tiap tim mana pun yang memasukkan bola. Hidup Lus penuh kegembiraan dan seolah-olah tak ada yang bisa melukainya. Saudara-saudaranya tidak suka melihat Lus hanya bisa bergembira—bagaimana mungkin mereka terjerembap dalam rasa iri kepada Lus yang idiot itu? Mereka menggampar pipi Lus. Lus tentu tertawa-tawa. Mereka makin marah. Lus makin banyak tertawa.
Ibunya tetap hanya akan diam saja. Mulutnya yang kecil tertutup rapat. Ibunya tentu saja mencintai Lus—meski dengan caranya sendiri dan sulit dimengerti orang lain. Saat Lus lahir, ia menatap kedua mata yang ramah—mata bayi Lus—dan ia tahu anak itu seperti tengah membujuk hatinya. Dan di saat-saat tertentu ia hanya ingin mengingat mata bayi itu—terlebih ketika terjadi keributan di meja makan, sementara ia mengawasi di sudut dapur atau di dekat jendela. Anak sulungnya sekali lagi berkata, “Idiot!” Ia memejamkan mata—dan sebuah pertarungan terjadi dalam dirinya— dan sekuatnya ia tetap hanya ingin mengingat sepasang mata bayi itu agar ia tak perlu berkata apa-apa, agar ia tidak perlu menambah kemarahan dan membuat semua lebih buruk. Mata Lus mengerjap-ngerjap seakan mau berkata, “Lihat mataku yang sekarang, Ibu, jangan terus menatap ke masa lalu.” Itu sama sekali bukan suara Lus, melainkan suara dalam kepalanya—kepala Ibu Lus yang murung. Lus sendiri tak pernah meminta apa-apa. Lus tidak tahu apa-apa soal mata atau cinta. Satu-satunya suara yang paling sering keluar dari mulut itu adalah makan atau makanan atau gumamam yang tidak pernah jelas.
Lus tidak akan lama berada di meja makan. Setelah piringnya kosong, ia segera bangkit. Ibunya berkata, “Ini bukan saatnya lagi bermain.” Lus tertawa. Ia tidak pernah mengenal waktu yang tepat untuk melakukan ini dan itu. Kalau memungkinkan, dalam hidup ini, ia hanya ingin berlari—ditambah banyak makan. Ibunya tahu sekali soal itu. Namun, ia tetap saja ingin melontarkan sebuah nasihat tak berguna itu seakan-akan hari ini ia akan menemukan Lus yang berbeda dan sama sekali tidak dikenalnya. Dan ia tidak tahu apakah akan bahagia atau tidak jika itu terjadi.
“Idiot itu menyusahkan kita semua.” Terdengar lagi suara si anak sulung. Anak itu memang sangat mendominasi di meja makan setiap mereka makan bersama. Anak itu kadang sangat kelewatan. Ibunya tetap memilih tak bertindak apa-apa dan berkutat dengan apa yang ia ingin pikirkan saja. Ayah anak-anak itu sudah lama tidak ikut kegiatan makan malam bersama dalam rumah itu. Setiap sore ia berangkat ke peternakan ayam. Sepanjang malam ia menjaga ayam-ayam itu; memastikan listrik mengalir di tiap bola lampu. Ayam-ayam harus hangat sepanjang malam—terutama di musim hujan. Kalau tidak, ayam-ayam akan mati dan mereka bisa rugi besar dan tak mampu mengembalikan modal. Mereka bertahan hidup dengan usaha peternakan itu. Perut Lus yang lapar dan lapar dan minta diisi. Perut anak lelaki lainnya. Hanya saja, ayahnya paling tak suka perut Lus yang lapar itu. “Apakah di dalam perut itu ada seekor binatang?” hardik ayahnya. Bukan. Ibunya tahu ayah anak-anaknya itu bukan sedang mempermasalahkan berapa banyak Lus menghabiskan makanan yang mereka cari dengan susah payah, melainkan ia tak pernah bisa menerima dalam keluarganya ada seorang anak lelaki yang tidak beres. Lalu seperti ibunya, ayahnya itu juga memilih sendiri cara ia mencintai—tapi, sungguhkah itu cinta? Sungguhkah ini cinta, bisik ibunya mengembalikan pertanyaan itu ke dirinya sendiri dan ia begitu takut mendapati sebuah kenyataan paling jujur dalam hatinya.
Lus sudah pasti tidak mempermasalahkan apa pun. Itu sudah menjadi tabiat yang sama sekali tidak diragukan lagi. Ia mengabaikan teriakan kakak sulung atau seandai mendengarnya itu sama sekali tak penting baginya. Ia tak pernah memikirkan perasaan ibu atau ayahnya terhadap dirinya. Kaki Lus yang panjang melesat ke jalanan. Ia melewati anak-anak yang bergerombol di pinggir jalan—anak-anak yang, meski dilarang, kebanyakan tetap keluyuran di malam hari. Mereka berteriak, “Lus!” “Lus!” Lus bertambah gembira mendengar suara anak-anak itu. Waktu kecil, teman-temannya juga meneriakinya seperti itu. Sekarang teman-teman Lus sudah jarang berteriak. Mereka lebih senang melemparkan sesuatu dan Lus menyambarnya. Lus pun lebih suka permainan semacam itu. Sesuatu yang mereka lempar pasti sebongkah makanan—meski memang sesekali berupa benda yang sengaja dilempar untuk mempermainkan sekaligus menyakitinya. Anak-anak itu terus saja lupa bahwa Lus tak bisa disakiti oleh apa-apa. Anak-anak itu harus sering-sering diberi tahu. Maka ibu mereka berteriak dari teras meminta anak-anak itu berhenti mengurusi si idiot.
Di jalan, Lus berlari sendirian, tanpa ada lagi yang mengganggu. Ia berharap bertemu teman-teman remajanya yang melarikan diri dari kewajiban belajar menjelang ujian. Teman-temannya itu sudah lama tidak lagi bergembira bersamanya. Terakhir kali mereka melemparkan sebongkah roti kepadanya dan saat itu mereka terbahak-bahak. Hanya saja, itu sepertinya tak akan terulang lagi. Lus mulai belajar menyukai bintang-bintang di langit. Mereka adalah teman baru Lus. Sayangnya bintang-bintang yang ramai itu tak pernah melemparkan sebuah roti dan terbahak-bahak setelahnya seperti yang dilakukan teman-temannya.
Di rumah, ibunya menunggu Lus pulang. Dan ia bertanya kepada dirinya, “Sungguhkah aku menunggunya pulang?” Perempuan itu mencubiti kulit di tubuhnya, semua kulit di tubuhnya, untuk sesuatu yang tidak ia mengerti. Mulut Lus tertawa semakin lebar. Bintangbintang bertambah banyak di langit. Lus berlari sambil tertawa kepada bintang-bintang itu. Berlari tanpa henti. (*)

BRK, 2017
Yetti A.KA, buku kumpulan cerpen terbarunya, Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017).

Kutipan Second Chance Series: Reverse

“Tidak ada manusia yang memiliki sifat dan pemikiran yang sama. Jadi, cekcok itu anggap saja sebagai bumbu-bumbu biasa. Jangan langsung meyakini bahwa diri kita dan pasangan itu tidak cocok. Pahami pasangan, percaya padanya, dan bersama-sama saling mengembangkan.” (hlm. 16)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Awali hari baru dengan masakan penuh cinta. (hlm. 2)
  2. Manusia cuma bisa terima takdir. (hlm. 12)
  3. Kadang keluarga bukannya nggak setuju denga jalan yang kita pilih, mereka hanya khawatir dengan jalan hidup kita. (hlm. 135)
  4. Jalanin aja semua cita-cita kita. Kalau di ujung jalan bersinggungan, berarti kita jodoh. (hlm. 137)
  5. Berjalannya usia, kamu bisa berkembang. (hlm. 219)
  6. Ternyata manusia itu bisa berubah dan selalu berubah dari waktu ke waktu. (hlm. 222)
  7. Jalani saja apa yang ada di depanmu. Masa depan itu misterius. (hlm. 252)
  8. Hal terakhir yang bisa manusia lakukan pada akhirnya memang pasrah. (hlm. 271)
  9. Apa yang sudah diubah tidak bisa diotak-atik lagi. (hlm. 288)
  10. Biarkan sesuatu seperti apa adanya. (hlm. 289)
  11. Saat kita memilih untuk memutuskan sesuatu, kita sudah menggerakkan roda takdir. Ada hal-hal yang harus datang dan pergi. Itulah kehidupan. (hlm. 289)
  12. Memang terkadang, sesuatu dianggap berharga jika sudah hilang. (hlm. 309)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:;
  1. Sekarang orang berpikiran instan. Ingin terkenal di media social dulu, endorse banyak produk padahal karyanya sendiri masih sedikit. (hlm. 8)
  2. Perselingkuhan atau adanya orang lain di hati pasangan kita tentunya membuat luka yang begitu dalam buat kita. (hlm. 19)
  3. Mana ada cewek yang mau terima cinta laki-laki kasar macam kamu? (hlm. 125)
  4. Bagaimana jika dibentak oleh orang baik yang kita cintai? (hlm. 185)
  5. Hatiku juga berhak bilang suka atau nggak suka, kan? (hlm. 214)

Penulis di Kamar 04


Cerpen Badrul Munir Chair (Tribun Jabar, 25 Februari 2018)
Penulis di Kamar 04 ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Penulis di Kamar 04 ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar 
KECUALI namanya, hampir tidak ada yang kami ketahui tentang Bakdi. Di antara teman-teman Kos Rajawah, Bakdi adalah anak yang paling pendiam. Ia hanya sesekali menyupa kami ketika berpapasan di depan kos—yang itu jarang sekali terjadi karena ia sangat jarang keluar kamar. Interaksi yang ia lakukan dengan kami dapat dikatakan hanya sekadar basa-basi, sapaan singkat yang dijawab dengan singkat pula, pertanyaan basa-basi yang dijawab ala kadarnya. Nyaris seharian ia berada di dalam kamar. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Ia hanya keluar kamar untuk makan dan ke kamar mandi. Dan anehnya, walau Pak Kos mengatakan bahwa Bakdi adalah mahasiswa di kampus yang sama dengan kami, kami hampir tidak pemah melihatnya pergi ke kampus setiap pagi.  
Ada sepuluh kamar di Kos Rajawali, yang semuanya sudah terisi. Bangunan kos yang kami tempati merupakan bangunan tingkat, yang berdiri tepat di samping rumah pemiliknya. Masing-masing kamar diberi nomor. Kamar nomor satu sampai lima ada di lantai dasar, sementara lima kamar yang lain ada di atas. Aku menempati salah satu kamar di lantai dasar, di kamar nomor 05.
Setiap awal bulan, kami akan mengetuk pintu rumah induk semang, membayar uang listrik bulanan di luar biaya sewa kamar yang dibayar satu tahun di awal. Dan setahu kami, di antara teman-teman kos yang lain, Bakdi adalah anak kos yang cukup sering membuat Pak Kos jengkel. Jika setiap bulan kebanyakan dari kami datang ke rumah Pak Kos untuk membayar uang listrik, khusus untuk Bakdi, Pak Kos-lah yang mendatangi kamarnya, menagih uang listrik, karena Bakdi sering telat membayar. Dan setiap keluar dari kamar Bakdi, wajah Pak Kos tidak menunjukkan raut yang menyenangkan, yang kemungkinan besar karena beliau gagal menagih uang dari Bakdi.
Sebagai anak kos yang tinggal tepat di sebelah kamar Bakdi, secara tidak sengaja aku sering mendengar percakapan antara Pak Kos dengan Bakdi ketika Pak Kos datang menagih. Selalu saja ada alasan yang diutarakan Bakdi. Sementara Pak Kos, dengan sedikit pemakluman atau mungkin juga disertai dengan rasa terpaksa, memberikan jangka waktu selama beberapa hari bagi Bakdi untuk melunasi uang listrik yang bagi kami jumlahnya sebenarnya tidak seberapa.
Aku cukup sering berusaha menjalin hubungan akrab dengan Bakdi, berusaha mengajaknya berbicara yang bukan sekadar obrolan basa-basi. Tapi lebih sering usahaku berujung dengan kegagalan. Sikap dingin Bakdi membuatku tidak bisa memaksa untuk lebih akrab lagi dengannya. Sebenarnya, aku sangat berharap bisa akrab dengan Bakdi, sebab di antara anak yang lain, hanya kamilah yang merupakan teman satu angkatan. Namun kekakuan dan sifat tertutup Bakdi membuatku menyerah untuk lebih akrab dengannya.
***
SUATU hari, aku mendengar suara batuk dari kamar sebelah, dari kamar nomor 04 yang ditempati Bakdi. Suara batuknya terdengar sepanjang malam. Karena batuknya kurasa sudah cukup parah, aku mengetuk pintu kamar Bakdi, menawarinya untuk mencarikan obat atau memberinya tumpangan jika besok ia perlu ke klinik untuk berobat. Kutawarkan tumpangan kepadanya sebab aku tahu di antara anak-anak kos sini, Bakdilah satu-satunya anak kos yang tidak membawa motor. Mendengar tawaranku, Bakdi tersenyum menggeleng, dan mengucapkan terima kasih, mengatakan bahwa ia terserang batuk karena cuaca yang dingin. Aku berlalu dari depan kamar Bakdi—bahkan ia tidak mempersilakanku masuk—untuk kembali ke kamarku.
Keesokan harinya, pagi-pagi ketika aku sedang bersiap untuk berangkat ke kampus, kudengar batuk Bakdi semakin parah, dan kali ini disertai dengan suara mual seperti mau muntah. Benar saja, tidak lama setelahnya kudengar pintu kamar Bakdi dibuka dengan sedikit keras yang disusul dengan suara tubuh terjerembap ke lantai. Aku bergegas ke luar kamar, dan kulihat Bakdi sudah ambruk di depan kamarnya.
Beberapa anak kos yang kebetulan belum berangkat ke kampus pagi itu mengusulkan untuk segera membawa Bakdi ke klinik. Aku menuruti usulan mereka, memapah Bakdi dan mendudukkannya di jok belakang motorku untuk kubawa ke klinik, sementara anak kos yang lain terkesan lepas tangan, mungkin karena merasa tidak akrab dengan Bakdi, atau mungkin karena alasan yang lain.
***
“ANDA temannya?” tanya perawat klinik kampus yang menangani Bakdi. Aku mengangguk. “Asam lambungnya sudah parah,” kata perawat itu menjelaskan sakit yang diderita Bakdi. Selanjutnya, perawat itu mengatakan bahwa Bakdi harus dirawat setidaknya sampai sore, sampai satu botol infus yang diberikan padanya telah habis.
Aku memutuskan tidak masuk kuliah hari itu, menemani Bakdi di klinik. Kulihat tubuhnya sangat lemas, bahkan untuk merespons perawat yang menyuapinya makanan berupa bubur halus pun seakan-akan bibirnya sulit untuk digerakkan. Berkali-kali kulihat Bakdi merasa mual seperti mau muntah.
Sore harinya, Bakdi diperbolehkan pulang. Karena melihat Bakdi masih sangat lemah dan sepertinya sulit untuk diajak berbicara—bahkan dalam kondisi sehat sekalipun, aku tahu sangat sulit untuk mengajaknya berbicara—akulah yang membayar seluruh biaya perawatan Bakdi. Kuitansinya kusimpan untuk diberikan padanya ketika ia sudah sehat nanti. Sebelum pulang, perawat berpesan padaku untuk memberikan makanan bubur saja kepada Bakdi sampai mualnya benar-benar hilang, tidak boleh makan makanan yang lain.
Ketika tiba di kos, aku kembali memapah Bakdi, kali ini membawanya masuk ke kamarnya. Ketika pintu kamar Bakdi terbuka, aku cukup terkejut dan takjub melihat dinding kamar Bakdi dipenuhi dengan rak-rak yang terisi penuh dengan buku-buku. Hampir seluruh satu sisi dinding dipenuhi dengan buku, sementara di lantai dan dekat tempat tidurnya menumpuk puluhan buku lainnya.
“Terima kasih,” ucap Bakdi ketika tubuhnya sudah kubaringkan di atas tempat tidur.
“Istirahatlah, kau terlihat sangat lemas dan perlu banyak istirahat. Nanti malam kucarikan bubur,” ucapku.
“Sekali lagi terima kasih. Sudah tiga hari aku tidak makan, baru kemasukan makanan ketika disuapi bubur di klinik tadi,” ucap Bakdi dengan lirih, kalimat terpanjang yang diucapkannya sejak aku mengenalnya, sebuah pengakuan yang membuatku benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan tiga hari tanpa makan dan hanya mengurung diri di dalam kamar?
Semenjak hari itu, hubungan pertemanan kami benar-benar berubah.
***
AKU merawat Bakdi hingga benar-benar pulih, membelikan bubur untuknya sehari tiga kali. Bakdi menanyakan berapa biaya perawatan di klinik yang sudah kubayar kemarin, menanyakan harga bubur yang kubelikan untuknya. Mungkin dalam hatinya ia sedang menjumlahkan utang yang harus dibayarkannya kepadaku. Dan ketika aku hendak berpamitan setelah mengantarkan bubur untuknya, Bakdi mencegahku, “Tolong catat utangku, aku janji akan kubayar nanti, kalau honorku turun,” ujarnya, kali ini dengan suara lirih namun penuh dengan keyakinan.
Aku mengurungkan niatku untuk kembali ke kamar, menanggapi obrolan Bakdi. Dari Bakdi, dengan suara lirih karena belum benar-benar pulih dari sakitnya, sedikit banyak aku tahu tentang kisah hidupnya. Ia lahir dari keluarga sederhana. Ketika Bakdi meminta izin pada keluarganya untuk kuliah, bapaknva menyerahkan sebagian besar uang tabungan yang dimilikinya kepada Bakdi— yang ternyata hanya cukup untuk membayar uang pendaftaran kuliah dan uang kos selama setahun. Untuk biaya hidup bulanan, Bakdi segan untuk meminta pada orang tuanya, sebab ia tahu orang tuanya harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka di kampung halaman.
Suatu hari, ketika putus asa karena kehabisan uang, seorang seniornya di kampus menyarankan agar sebaiknya Bakdi menulis saja agar bisa menghasilkan uang. Dari seniornya itu pulalah Bakdi mendapat informasi mengenai jenis tulisan apa saja yang bisa menghasilkan uang jika dimuat di koran. Sejak saat itu, Bakdi menulis bermacam-macam tulisan dan mengirimkannya ke berbagai koran. Mula-mula ia menulis opini, kemudian cerita pendek dan puisi. Suatu hari ia membeli buku baru dari uang honornya, dan memutuskan menulis resensi buku itu untuk dikirimkan ke koran.
Ketika resensi yang ditulisnya dimuat di sebuah koran, penerbit buku itu mengirimkan hadiah berupa beberapa judul buku baru kepadanya, buku-buku yang kemudian diresensi lagi oleh Bakdi. Resensi satu buku menghasilkan lima buku. Resensi lima buku menghasilkan puluhan buku lainnya. Buku-buku yang diperolehnya dari kiriman penerbit terus berlipat ganda. Tidak heran jika hanya dalam waktu kurang dari setahun, koleksi bukunya sudah memenuhi hampir seluruh bagian kamar. Menyadari bahwa dari menulis ia bisa bertahan hidup—walau honornya sering terlambat datang sehingga tidak jarang ia kelaparan—akhirnya Bakdi memutuskan untuk menjadi penulis. Sepanjang hari ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, membaca buku atau menulis dengan menggunakan laptop yang berhasil dibelinya dari uang honor.
Kini aku bisa memahami alasan Bakdi lebih banyak nienghabiskan waktunya di dalam kamar. Semenjak kenal lebih dekat dengan Bakdi dan mengetahui tentang kisah hidupnya, entah kenapa aku sering cemas ketika Bakdi tidak terlihat selama beberapa hari. Setiap mendengar suara batuk dari kamar sebelah, aku benar-benar khawatir asam lambung Bakdi kembali kambuh. Sementara ketika seharian tidak kudengar suara apa pun dari dalam kamarnya, aku benar-benar khawatir sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Bakdi. Membayangkan dia sedang pingsan, atau jangan-jangan sudah mati.

Badrul Munir Chair lahir di Ambunten, Sumenep, 1 Oktober 1990. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi dimuat di sejumlah media massa. Bukunya yang sudah terbit antara lain kumpulan cerpen Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (2009); novel Kalompang (2014), dan kumpulan puisi Dunia yang Kita Kenal (2016). Saat ini tinggal di Semarang.

Bukan Pilih Kasih

Oleh Rosni Lim (Lampung Post, 25 Februari 2018)
Bukan Pilih Kasih ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post
Bukan Pilih Kasih ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Bu Herna sedang bingung. Darwin, putra bungsunya, akhir-akhir ini terkesan aneh. Dia menjadi suka marah-marah tanpa sebab yang jelas. Hal sepele saja membuatnya kesal dan merajuk. Bu Herna mencoba menebak, ada apa gerangan?
Darwin punya satu gadget untuk bermain game. Dua minggu lalu, gadget tersebut tak dapat digunakan karena rusak. Bu Herna berjanji memperbaiki gadget Darwin, tapi sampai dua minggu janji itu belum juga ditepati.
“Ma, belikan aku gadget yang baru saja,” pinta Darwin berharap. Selama dua minggu tidak bermain game, membuatnya bosan.
“Janganlah, Mama akan suruh teknisi memperbaikinya.”
“Tapi kapan, Ma? Aku bosan sekali sudah dua minggu tak ada kerjaan,” keluh Darwin.
“Ya kamu belajarlah, Win. Kan sebentar lagi ujian semester. Kebetulan tabletmu rusak, tangguhkan saja memperbaikinya. Dengan demikian, kamu punya banyak waktu untuk belajar,” kata Bu Herna.
Darwin melengos kesal. Dalam hati dia merasa mamanya tak adil. Untuk Elwin, abangnya Darwin, selalu dibelikan barang baru. Laptop baru, tablet baru, sampai ke HP Android baru. Sedangkan untuknya, selalu menerima barang bekas pakai dari abangnya. Bahkan baju seragam sekolah pun harus memakai bekas seragamnya Elwin. Karena tak dibelikan gadget baru dan gadget lamanya belum diperbaiki, Darwin menjadi uring-uringan. Bu Herna yang mulai mengerti kekesalan putra bungsunya itu, belum juga berniat membelikan yang baru. Dia berharap, Darwin bisa menggunakan waktunya yang sebelumnya bermain game untuk belajar. Bukankah beberapa hari lagi ujian semester?
Dua hari menjelang ujian, Darwin masih belum bersemangat belajar. Pikirannya terus melayang pada gadget-nya yang rusak dan keinginan untuk memiliki gadget baru.
Sore itu, Darwin berjalan ke kamarnya dan membuka lemari baju. Di bawah lemari baju itu dia menaruh celengan berisi duit yang disisihkannya dari uang jajan. Dibongkarnya celengan itu dan menghitung duit yang ada. Wah, lumayan, ternyata hampir lima ratus ribu rupiah tabungannya selama setahun.
Dengan tergesa-gesa, Darwin mengumpulkan uang kertas yang berserak di lantai. Diikatnya menjadi satu dan diselipkannya ke dalam saku celana. Dia berencana pergi ke kios ponsel yang terletak di ujung gang untuk membeli gadget baru. Gadget itu bisa digunakannya untuk bermain game.
Bu Herna curiga melihat putra bungsunya berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah sambil memegang saku celana. Beliau mengikuti langkah Darwin dari belakang. Ternyata tujuan Darwin adalah kios ponsel yang terletak di ujung gang.
Bu Herna melihat Darwin meminta penjaga kios mengeluarkan HP Android yang ditunjuknya. Melihat-lihatnya dan berbicara dengan penjaga kios. Tampaknya, Darwin sedang tawar-menawar harga dengan penjaga kios.
Dengan langkah perlahan, Bu Herna mendekati Darwin dan menepuk pundaknya dari belakang. “Darwin, ngapain kamu di sini? Ayo kita pulang!”
“Ma, aku lagi mau beli HP,” kata Darwin.
“Nanti Mama belikan, tapi jangan sekarang. Nanti, Darwin, setelah kamu menyelesaikan ujianmu di sekolah akan Mama belikan yang baru.”
“Tapi…”
“Ayo kita pulang!” tanpa menunggu Darwin menyelesaikan ucapannya, Bu Herna menarik tangan Darwin sambil meminta maaf pada penjaga kios ponsel.
Sesampainya di rumah, Bu Herna memberi penjelasan pada Darwin. Dia bukan tidak mau membelikan Darwin gadget baru, tapi tunggu sampai ujian selesai.
“Mama selalu pilih kasih. Untuk Bang Elwin, apa pun yang diminta langsung dibelikan. Semua yang baru. Mulai dari laptop, tablet, sampai HP,” kata Darwin hampir menangis.
“Mama tidak pilih kasih, Darwin,” kata Bu Herna. “Mama membelikan abangmu semua itu karena dia sudah kuliah dan membutuhkan barang-barang itu untuk keperluan kuliahnya. Sedangkan kamu kan masih kelas VI SD dan menggunakan tablet hanya untuk bermain game.”
“Itukah alasannya, Ma?” tanya Darwin tak jadi menangis.
“Iya, Darwin, itu alasan Mama,” jelas Bu Herna.
Darwin menunduk. Dia tak bersikeras lagi memaksa mamanya membelikan gadget baru. Dia hanya berharap, mamanya akan menepati janji, membelikannya gadget baru setelah dia menyelesaikan ujiannya di sekolah.