Daftar Blog Saya

Kamis, 27 April 2017

Semua Saling Membutuhkan


Semua Saling Membutuhkan ilustrasi Suara Merdeka
Semua Saling Membutuhkan ilustrasi Suara Merdeka
Raja Bimasakti mengumpulkan penghuni galaksi di Kerajaan Alam Semesta. Dari Matahari, Bumi, Bulan serta Planet, Hujan, dan Awan, semua diundang untuk membahas kekacauan ekosistem. Selama bertahun-tahun tidak turun hujan yang menyebabkan musim kemarau panjang. Sungai-sungai kering, sumur-sumur menyisakan sedikit air. Tumbuhan banyak yang mati. Akibatnya terjadi kelaparan dan kematian mahluk hidup di darat dan laut. Lebih parahnya lagi Bulan juga sudah tidak mau bercahaya, sehingga menggelapkan Bumi saat malam hari.
Sebelum terjadi kekacauan dan kehancuran alam semesta, Raja Bimasakti mencoba mendamaikan perseteruan antara Matahari dengan Hujan, Awan, dan Bulan serta Bumi. Setelah semua hadir, Raja Bimasakti memulai menginterogasi.
“Wahai Hujan, kenapa kamu tidak mau turun lagi ke Bumi?” tanya Raja Bimasakti.
“Maafkan saya yang mulia. Ini semua karena hasutan Matahari kepada manusia. Dia mengatakan tanpa cahaya dari dirinya maka tidak akan ada Hujan, sehingga manusia mengumpat saat sering turun Hujan. Tidak ada lagi ucapan syukur. Sejak saat itu, saya sakit hati dan tidak mau lagi turun ke Bumi. Saya tetap tinggal di awan,” ucap kesal Hujan.
“Betul itu yang mulia,” imbuh Awan membela Hujan.
“Wahai Matahari, apakah betul yang dikatakan Hujan?” tanya Raja Bimasakti.
“Iya Raja, saya memang pernah mengatakan itu. Bukankah itu kenyataan? Terjadinya Hujan diawali oleh panas dariku, membuat air yang ada di permukaan Bumi menguap. Terbentuklah Awan dari uap-uap tersebut. Angin membuat Awan kecil berkumpul menjadi besar. Karena kandungan air di Awan yang sudah besar dan tidak bisa ditampung lagi maka turunlah Hujan. Tanpa panas dariku tidak akan ada kamu, Hujan!” kata Matahari angkuh.
Penjelasan dari Matahari bukan menyelesaikan masalah, melainkan justru membuat makin keruh keadaan. Semua yang hadir bertambah kesal karena kesombongan Matahari.
“Berikutnya giliranmu Bulan. Kenapa kamu tidak lagi memancarkan cahaya?” tanya Raja Bimasakti.
Dengan agak terbata-bata dan bercerita putus-putus, Bulan menjelaskan peristiwa yang terjadi pada dirinya.
“Maafkan saya yang mulia. Dia juga menghasut manusia supaya tidak lagi memuji keindahan cahayaku. Saya dianggap telah mencuri cahaya dari Matahari. Hasutan itu membuat manusia enggan menuliskan keindahan cahayaku di dalam puisinya. Saya malu dan sakit hati. Sejak itu saya tidak mau lagi menerima pantulan cahaya darinya,” kata Bulan sambil sesenggukan.
“Betul cerita Bulan wahai Raja,” sambung Bumi yang semakin geram melihat tingkah Matahari yang menjengkelkan.
“Begini aku jelaskan dulu saudara-saudaraku. Kalau Bulan tidak bercahaya itu betul bukan fitnah. Bulan memang tidak bercahaya, namun memantulkan cahaya dariku. Hal ini bisa terjadi karena ada kalanya ketika orbit dari Bulan, Bumi, dan Matahari sesuai, maka cahaya dariku bisa menerpa sebagian permukaan Bulan. Permukaan Bulan yang terkena cahaya dariku itulah yang menyebabkan Bulan terlihat seolah-olah mengeluarkan cahaya. Lalu, salah saya di mana?” bentak Matahari kepada Bulan.
Sejenak semua diam, tegang, dan kaku. Tidak ada sepatah kata pun keluar. Semua memasang raut wajah sangat serius. Raja Bimasakti mencoba menengahi mereka dan mencairkan suasana.
”Apa yang kamu katakan itu benar Matahari. Cahayamu memang bermanfaat bagi alam semesta. Seperti proses fotosintesa tumbuhan, menguapkan air sebelum terjadinya Hujan, dan cahayamu yang membuat seolah-olah Bulan bercahaya. Tapi, tidak seharusnya kamu bersikap sombong dan angkuh, karena semua mempunyai manfaat sesuai dengan fungsinya. Seperti temanmu Hujan yang berguna untuk air minum manusia, hewan, dan menyuburkan tanaman. Awan berguna untuk menampung uap air sebelum terjadinya Hujan. Bumi berguna untuk tempat kehidupan. Sementara Bulan sebagai pelindung Bumi dari hantaman komet dan memberi penerangan saat malam hari. Kalau saja ada satu penghuni galaksi yang tidak sejalan, hancurlah alam semesta ini dan kamu pun ikut hancur Matahari,” kata Raja Galaksi tegas.
“Kau tidak adil wahai Raja! Membela yang lain dan hanya menyalahkanku,” jawab Matahari ketus, sesaat sebelum pergi meninggalkan perkumpulan dan tanpa pamit.
***
Bertahun-tahun dilanda kekeringan dan tidak ada Hujan membuat manusia menderita. Mereka mulai menyadari telah dihasut Matahari agar membenci Hujan, Awan, dan Bumi serta Bulan. Sebagai bentuk kemarahan, manusia menjauhi cahaya Matahari. Mereka memilih tinggal di gua yang gelap. Setelah semua manusia pergi menjauhi Matahari dan tidak mau memujinya lagi, Matahari tinggal sendiri dan hanya berteman sepi. Matahari mulai merasakan hidup sendirian itu hampa. Ia pun sadar dan menyesali akan kesalahannya. Sebelum kehancuran melanda, Matahari segera menghadap Raja Bimasakti dan menemui saudara-saudaranya.
“Maafkan saya yang mulia dan saudara-saudaraku. Saya telah menghasut manusia untuk membenci saudaraku semua. Saya berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi,” ucap penyesalan Matahari.
“Matahari, semoga kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Jangan karena keegoisan dan kesombonganmu, mengakibatkan bencana pada alam semesta ini.” jawab Raja yang diiyakan oleh saudara-saudaranya dengan penuh keikhlasan.
Akhirnya, mereka kembali menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tidak ada lagi yang merasa paling bermanfaat. Mereka sadar satu sama lain saling membutuhkan demi berlangsungnya Kerajaan Alam Semesta. (58)

Pertemuan Taman Lumpini


Pertemuan Taman Lumpini ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Pertemuan Taman Lumpini ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
BETAPA teduh bayangan pohon jatuh di permukaan danau. Dewi Laksmi, gadis penari ternama dari Jawa, memenuhi ajakan Samad, manajer hotel megah di Bangkok, tempatnya menginap, untuk mengunjungi Taman Lumpini. Mereka duduk santai menikmati keteduhan pepohonan, yang sebagiannya dibawa dari Jawa atas permintaan Raja Rama V. Tiga kali Dewi Laksmi diundang menari di Kedutaan Besar Indonesia. Tetapi baru kali ini seorang manajer hotel keturunan Jawa mengajaknya ke Taman Lumpini. Dari taman inilah masa lalu kehidupan Samad dimulai seabad silam.
“Leluhurku membangun taman ini,” kata Samad, serius. “Mereka didatangkan dari Tanah Jawa, dan kakek buyutku dari Kota Kendal. Ketika taman ini selesai, mereka tak kembali ke Tanah Air. Mereka tinggal di Sathorn, dan beranak-pinak. Aku generasi keempat.”
“Kau merindukan tanah leluhurmu?”
“Tentu. Nonton tarianmu semalam di kedutaan, aku merasa berada di bumi kelahiran leluhur kami,” kata Samad, lelaki tiga puluh tahun yang masih bujangan itu. Ia tinggal di Kampung Jawa, di antara orang-orang yang selalu merindukan bumi asal leluhur mereka. “Apa nama tarianmu?”
“Bedhaya Ketawang. Tari yang menceritakan pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Pantai Selatan.”
“Mengapa gerakan tari, gamelan iringannya sangat lembut dan lamban?”
“Memang tarian ini mengutamakan kehalusan budi untuk menggambarkan perasaan luhur, menahan hawa nafsu. Tarian ini menggambarkan tokoh yang teguh hati, jujur dan berkharisma.”
Apa semua perempuan di tanah leluhurku memiliki daya pikat kehalusan budi serupa para penari bedhaya? Di Taman Lumpini, Samad seringkali menyendiri. Ia memerlukan keheningan bila waktu luang, merenung seorang diri setelah ditanya orangtua: kapan nikah? Ia ingin menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari tanah leluhurnya, yang menuntaskan rasa rindu pada kehidupan kakek buyutnya. Ketika ia mendengar kabar di Kedutaan Besar Indonesia akan dipergelarkan tari klasik dari Jawa, ia mengajukan permohonan agar tari itu dipergelarkan juga di ruang pertunjukan hotel tempatnya bekerja. Tiket habis dipesan seminggu sebelum Dewi Laksmi dan delapan penari bedhaya lainnya mendarat di bandara Suvarnabhumi. Samad menjemput para penari ke bandara, mengatur kamar hotel, dan mengantar ke Kedutaan Besar Indonesia. Dari beberapa kali pertemuan inilah ia mengenal akrab Dewi Laksmi.
Samad terpikat oleh keramahan Dewi Laksmi, seorang di antara sembilan penari bedhaya yang tampil di Kedutaan Besar Indonesia. Keesokan hari setelah pementasan, Samad mengajak Dewi Laksmi ke Taman Lumpini. Ia berharap, gadis penari itu akan mengisi rongga kosong dirinya. Tarian yang dipentaskan Dewi Laksmi seperti menghadirkan kepingan jiwa Samad yang tak lengkap. Dewi Laksmi seperti menjawab teka-tekinya sebagai lelaki berumur 30-an, manajer hotel, untuk menyempurnakan hidup berumah tangga. Ia masih sangat merindukan bisa menikahi gadis yang berasal dari bumi kakek buyutnya.
***
Tak banyak waktu Samad untuk bersama Dewi Laksmi di Taman Lumpini. Sebelum matahari terbenam, Dewi Laksmi mesti kembali ke hotel untuk berdandan, dan pentas di ruang pertunjukan. Samad mesti mencari-cari kesempatan untuk mencuri perhatian Dewi Laksmi. Besok pagi Dewi Laksmi dan delapan penari bedhaya lainnya akan pulang ke tanah air mereka.
Bayang-bayang pepohonan di Taman Lumpini mengabur di permukaan danau. Sesekali seekor biawak muncul dari permukaan danau, melata di rerumputan, dan mencebur lagi ke dalam air. Tak menampakkan diri lagi. Apakah aku akan berperilaku serupa biawak itu, muncul ke hadapan Dewi Laksmi, dan setelah itu menceburkan diri dalam kehidupanku sebagaimana sediakala?
“Bila aku berkunjung ke kota Kendal, tanah leluhurku, apa kau mau mengantarku?” tanya Samad penuh harap. “Aku ingin merasakan sayur asam dan oseng-oseng kacang panjang yang biasa dimasak ibuku di sini.”
“Kalau aku punya waktu, tentu akan saya antar kau ke kota asal leluhurmu. Kau bisa menikmati sayur asam dan oseng-oseng kacang panjang itu di warung-warung makan. Kalau kau mendarat di bandara kotaku, satu jam perjalanan dengan taksi akan sampai ke kota Kendal.”
“Apa aku bisa nonton tari bedhaya di kota leluhurku?”
Dewi Laksmi menggeleng. Memandangi Samad dengan perasaan tulus, agak iba, “Kau hanya bisa nonton tari Bedhaya Ketawang di keraton Solo dan Yogya.”
“Tari yang kau pentaskan nanti malam juga berasal dari keraton?”
“Ya. Bedhaya Harjuna Wijaya berasal dari keraton Yogya. Lebih memikat. Ada adegan pertempuran dengan saling hunus keris, simbol pergolakan batin manusia dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Tari ini mencitrakan Harjuna sebagai tokoh yang sempurna.”
Sebelum meninggalkan Taman Lumpini, mereka melintasi burung-burung di hamparan rerumputan, yang sebagian terbang berkitar-kitar di atas danau. Samad merasa perlu bicara dengan Dewi Laksmi, “Aku minta pendapatmu, bagaimana kalau aku nikah dengan gadis yang berasal dari tanah leluhur kakek buyutku?”
“Kalau memang itu jodoh, mengapa tak kau lakukan?”
Samad teringat akan permintaan ibunya, untuk segera menikah dengan sesama keturunan Jawa di kampung sendiri, yang sudah sangat mereka kenal dalam pergaulan sehari-hari. Tidak mencari-cari jauh dari Sathorn. Tetapi permintaan ibu ini tak membahagiakan batin Samad. Ia merasa akan menemukan jodohnya seorang gadis yang membawanya pada tanah kelahiran kakek buyutnya dulu.
“Bagaimana jika yang ingin kunikahi itu seorang penari?” Samad menggoda perasaan Dewi Laksmi.
Melangkah pelan meninggalkan Taman Lumpini, Dewi Laksmi serius memandangi Samad, bujangan yang terguncang jati dirinya, dan merasa asing dengan bumi tempat kelahirannya. “Kalau kau menikahi seorang penari, harus memberi kesempatan pada istrimu, untuk pentas ke mana pun.”
Senyum Dewi Laksmi tak dapat ditafsir Samad. Lelaki itu cemas, dan merasakan keindahan senyum gadis penari itu yang bisa saja bermakna penolakan. Atau, bahkan, senyum itu merupakan jawaban yang tertunda?
***
Gemerlap lampu di Taman Lumpini, larut malam, seorang diri duduk di bangku, Samad mengenang kembali kehadiran Dewi Laksmi. Duduk di bawah bayang pohon, lelaki itu berpikir: Dewi Laksmi telah mengisi kekeroposan jiwanya. Pergelaran tari Bedhaya Harjuna Wijaya di ruang pertunjukan hotel telah menyempurnakan jati dirinya. Ia terhanyut kelembutan tari dan tergoda untuk mengunjungi tanah leluhurnya.
“Kau mesti ke keraton Yogya untuk bisa nonton pergelaran tari Bedhaya Harjuna Wijaya, atau ke keraton Solo untuk menikmati tari Bedhaya Ketawang. Para penari keraton mementaskan bedhaya di hadapan raja, sakral, dan agung.”
“Aku sungguh beruntung bisa menyaksikannya di sini,” balas Samad. Lagi-lagi ia ingin menggoda Dewi Laksmi, yang baru saja selesai menari. Tercium harum tubuhnya. “Tapi kalau aku berkesempatan melamarmu, tentu akan kesampaian nonton tari bedhaya di kedua kraton itu.”
Dewi Laksmi tersenyum. Tak mudah untuk memaknai senyum tipis itu: peluang atau penampikan? Gadis itu tak lagi mengenakan pakaian tari. Ia kembali pada penampilan kesehariannya. Lagi-lagi Samad tersadar, kesempatannya mendekat gadis penari itu sangat terbatas. Esok pagi ia dan delapan teman penari bedhaya kembali ke tanah air mereka.
Samad berkesempatan mengantar Dewi Laksmi ke bandara Suvarnabhumi. Dewi Laksmi mengisahkan perilaku Somchai, penari Khon, yang pernah merayunya di Kuil Wat Pho pada kunjungannya yang kedua ke Bangkok.
“Rayuan Somchai hanyalah sebuah permainan. Terhadap penari lain, Oka Swasti, Somchai melakukan rayuan yang sama,” kata Dewi Laksmi. “Kau tak bisa dibandingkan dengan Somchai. Kau laki-laki yang tulus, Somchai lelaki culas. Karena itu, aku mesti berterus terang padamu. Aku sudah dilamar. Tak lama lagi kami nikah.”
Di bandara Suvarnabhumi Samad mencoba untuk tabah. Tersenyum ramah pada rombongan tari Dewi Laksmi ketika melepas mereka pulang ke tanah air. Ia tegakkan punggung dan luruskan pandangan. Seorang manajer hotel besar di Bangkok, pantang menampakkan kekeroposan jiwanya. Ia tak memadamkan harapan untuk menemui Dewi Laksmi. Apakah aku akan diterimanya bila berkunjung ke tanah leluhurku, singgah ke rumah Dewi Laksmi?
Kini, duduk seorang diri di Taman Lumpini, Samad kembali menimbang-nimbang, akan mengikuti kehendak kedua orangtuanya, menikahi gadis dari Kampung Jawa, atau memburu gadis penari itu untuk menyempurnakan jati dirinya? Tetapi ia tak dapat memungkiri kata hatinya, untuk memburu Dewi Laksmi, gadis penari itu, sampai ke tanah leluhurnya. Keinginan ini tak dapat dihentikannya lagi. Ia merasa menemukan kesempurnaan jiwa pada tarian dan pribadi Dewi Laksmi. Gadis penari itu membukakan diri serupa alur sungai bagi mata air yang memancar dari kedalaman jiwa Samad. ***

2017
S Prasetyo Utomo ialah sastrawan kelahiran 1961. Pada 2007, ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa. Buku fi ksinya ialah Bidadari Meniti Pelangi (2005).

Uban di Kepala Ibu

Uban di Kepala Ibu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Uban di Kepala Ibu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
 SORE itu saya menyisir rambut ibu, yang selama ini begitu saya kagumi karena tak pernah sekali pun berubah menjadi uban. Berbeda dengan rambut di kepala saya, yang meski baru sepertiga dari usia ibu sudah mulai ditumbuhi rona putih di helaian dalam rambut.
“Ibu, rambut ibu benar-benar kuat,” kata saya.
“Rambut itu simbol kekuatan perempuan. Ibu juga tak pernah sekali pun mengumbah rambut dengan shampo-shampo sepertimu,” jawab ibu.
“Tapi rambut ibu begitu bersih,” saya kembali memberondong.
Ibu saya terkekeh. Kemudian meraih sisir yang saya pergunakan untuk meluruskan rambut ibu, dia menggelung rambut. Kemudian berbalik menatap wajah saya.
“Yang namanya barang-barang pabrikan itu selalu berefek buruk,” setelah menggelung ibu beranjak dari bangku. Semburat senja membuat rambut ibu berkilau.
Saya akui ibu adalah perempuan kolot yang menolak segala macam kemajuan, kecuali listrik dan televisi yang menayangkan gambar bersuara. Itu pun karena radio sudah tak memberi slot sandiwara. Ibu sejak dahulu hanya membasuh rambutnya dengan tumbukan lidah buaya dan sekam arang. Ibu tak suka segala jenis shampo.
Terbukti benar, bahwa sampai sekarang rambut ibu kuat tak rontok. Hitam tak beruban. Dan legam sempurna. Saya iri kepada ibu. Tapi untuk memulai laku semacam ibu sudah barang tentu terlambat.
“Bawa ini,” ibu menyodorkan dua papah lidah buaya. “Rambutmu sudah kering. Butuh nutrisi dari ini.”
Dari kunjungan sore itu ke rumah ibu, saya beroleh nutrisi alami yang sekiranya mengembalikan keparipurnaan rambut saya.
***
Waktu bergulir dan berganti. Yang tidak berubah adalah kebiasaan saya mencuci rambut dengan produk kimiawi. Lidah buaya dari ibu teronggok di pojokan troli kulkas bersama aneka sayuran. Saya sudah tidak punya waktu seperti ibu, yang meremukkan sendiri lidah buaya untuk rambutnya sendiri. Manusia seperti saya mungkin ditakdirkan untuk takluk pada kepraktisan.
Saya hampir terlupa akan lidah buaya dari ibu, hingga telepon dari ayah yang menjadi pengingat. Ibu sakit.
Saya gegas ke rumah sakit. Dan di sana saya saksikan ibu terbaring lemah di atas dipan yang serba putih. Kepala ibu dibungkus perban. Ada benjolan besar dalam tengkorak kepala ibu. Mau tidak mau, rambut yang paling dikagumi ibu, terpaksa harus dicukur sebagian. Belum lagi pengaruh obat dosis keras yang juga merontokkan keperkasaan akar rambut ibu.
“Rambutmu sekarang yang lebih bagus” kata ibu. “Obat benar-benar merusak rambut ibu. Ibu jadi tak berdaya.”
Ibu berusaha menawarkan kelakar. Kalimat ibu terdengar seperti sebentuk sayatan yang menggerus hati. Saya tersenyum. Namun air mata tak bisa saya hentikan meluruh di pipi. Ada pilu yang pijarnya melebihi kelam rambut ibu.
Sebulan penuh ibu terbaring di dipan. Rambutnya tak sekali pun ditampilkan. Saya tak tahu apakah rambut ibu kembali segar seperti semula atau tumbuh uban. Setelah ibu sembuh, semuanya akan terbuka. Setelah perban lepas.
***
“Rambut ibu sekarang buruk,” ibu berkaca dan menyaksikan rambutnya kini pendek, kusam, dan mulai memutih.
“Tidak apa-apa, ibu. Yang penting ibu kembali sehat,” jawab saya.
Ibu berdeham pelan. Tampak betul kekecewaan di wajah ibu. Meskipun sudah berkali-kali saya ingatkan dan dijawab oleh ibu dengan iya, tapi tak juga kembali semangat ibu yang dahulu. Perkara rambut bagi ibu ternyata lebih penting dari sakit. Sudah saya usulkan untuk menutupi dengan kain agar tak malu, tapi ibu tetap tak mau.
Ibu tak juga membalik. Tubuhnya tak lagi segesit dahulu. Apa-apa harus dibantu oleh ayah. Entah karena penyakit di kepala ibu yang belum tuntas diangkat atau justru karena pikiran ibu perihal rambutnya yang memperparah.
Sering kali saya saksikan ibu duduk di tubir ranjang menghadap jendela kamar. Dia memegang sisir dan selingkar cermin rias. Dia melakukan gerakan menyisir-nyisir. Seolah rambutnya yang panjang masih bersarang di kepalanya. Dua-tiga gerakan menyisir, kemudian ibu tersadar. Rambutnya kini pendek. Dia membanting sisir dan cermin. Kemudian tergugu oleh kesedihan yang menyusup.
Puncaknya, ibu kembali dilarikan ke rumah sakit untuk kedua kali. Tubuh ibu kejang-kejang dan panas tinggi. Mukanya pucat dan memuntahkan kembali apa-apa yang saya suapkan ke dalam tubuh ibu.
“Ibu yang kuat ya,” saya membisikkan kalimat di telinga ibu.
Ibu mengangguk sangat lemas. “Kamu lihat sendiri bukan. Rambut adalah sumber kekuatan perempuan. Simbol perlawanan. Setelah dia rontok, tubuh ibu pun rontok satu demi satu.”
Saya menangis sambil memeluk ibu. Beberapa helai rambut ibu yang pendek dan memutih rontok dan jatuh di paha saya. – g

*) Teguh Affandi, lahir di Blora 26 Juli 1990. Menulis cerpen, esai,dan ulasan buku di berbagai media massa. Memperoleh Green Pen Award Perhutani. Peraih Pena Emas dari PPSDMS Nurul Fikri. Sekarang berdomisili di Jakarta.