Daftar Blog Saya

Senin, 15 Januari 2018

Belenggu, Gadis Pantai, Bunga Desa, dan Lainnya

Puisi-puisi Kurliyadi (Media Indonesia, 14 Januari 2018)
Belenggu, Gadis Pantai, Bunga Desa, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Belenggu, Gadis Pantai, Bunga Desa, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Belenggu


bisakah air mata ini pulang ke matamu
sedang hari berlari ingin bertamu
menemuiku sehabis hujan mengguyur deras
membalas musim sebelum berkemas

tidak usah kau belenggu aku di matamu
bicaralah walau sekata kau mampu
aku ingin kita bersepeda menemukan puisi
sebelum kau pergi dengan kalung belati

aku ingin kita kembali pulang
ke timur adalah tujuan perang
dengan hidup yang mulai gersang
oleh bara puisi yang terus terbuang

jangan katakan ini adalah rayuan
sebab aku bukan penyair yang cemburuan
jika salah aku ingin dimaafkan
mari pulang ke pangkuan doa impian

2015

Gadis Pantai

: parangtritis

rambut merah kehitaman seperti kopi bercahaya
bagai rembulan di malam sunyi, diurai angin, wangi
rempah dan amis gelombang
panjang mendepai waktu yang kesulitan pulang

keningnya bening tanpa rindu, aku melihat peta
juga sarang doa ditanamnya sampai bergetah

matanya manja memanggil syahwat para lelaki di
tanduk kesepian
tajam menusuk siapa saja yang ingin datang
membayar upah setelah persetujuan lalu terpuaskan

hidung mangirnya mengeja senja menjadi rumus
musim
tindikan seperti artis india
tangannya melambai aduhai

telinga mungil giwangnya bercahaya sampai ke dalam
samudra
ia tersenyum menginapkan apa saja di dalam hati
meski bukan halal tapi inilah hidup dalam
perlawanan mati

bibirnya wangi anggur dan bir mahal
hanya saja aku tak boleh berfi kir
bahwa manisnya sudah terbuang dan anyir rasanya
sisa dari nama-nama yang hanya menitipkan syahwat
dari buah kehinaan perjalanan sang musafi r

2015

Bunga Desa

mariyem

wajahmu mentari dari timur bercahaya
keranjang kecil di pinggang, berlari menuju ampuan
jua
bayanganmu beribadah di hulu perihal alam
sampir dan kudung meliliti tubuhmu warna geligir
pagi
menahan terpaan angin dan serpihan ombak ke batubatu
bertahanlah di kampung ini dengan segala yang bau
dapur dan ladang tanah
emak adalah kapur sirih di titipkan tuhan untuk
dijaga
walau renta, uban telah sempurna tumbuh bersandar
sebab tanda
bahwa wanita sepertimu tetap akan menunduk :
mengekalkan sabar di qiblat ketabahan

suhana
perkenalkan dirimu kepada dunia
darah dan anakmu sebagai pulangnya usia
suamimu pergi melaut terus pergi tak ingin pulang
sebab katanya dia lelaki sudah ingin disebut pejuang
harga mati bagi warisan nenek moyang berkalung
karang
suatu saat, di mana doa dan usaha ujung air mata
paling tajam
untuk sebuah niat menjadi seorang perempuan
yang terus ingin terbang walau kulit dan wajah sudah
kehitaman
bekas ciuman matahari dan debu yang menderi di
sepanjang perjalanan

2016

Doa Hamba Sahaya


jika bukan karena cinta dan hidup
aku sudah redup tak degup
dalam kebisingan qunut umur
yang terus berlanjut ke bilik uzur
mengatakan pada pintu doa
lebih i’tizal dari bisa air mata
menanam nama-Mu sambil terpejam
hanya bayang harapan beradu karam

lihat tubuhku, hanya rindu berkarat
menunggu tahiyat cinta bermunajat
menghitung cara untuk lebih dekat
pada-Mu yang mahazat
perancang warna nasib sebagai pengingat
padaku padamu yang terus bermukim di maksiat
karena aku adalah tanah belum gembur
ditanami godaan yang menjamur
khilaf waktu ibadah sering terkubur
sibuk berhias di cermin dunia yang kufur

maka jalan tempat kembali
hanya bersujud pada ilahi
merancang harapan doa kembali
kepada hidup telah tersesali
tidak lagi mengulang yang lalu, lali
padahal maut berdiri di dada sebelah kiri
tak terbaca kapan tiba menghampiri
sebagai akhir kembali ditimbangi
berat amal baik buruk terkecuali
di pintu mana aku masuk surga neraka air api
sebab aku hanya bisa menangisi
bagaimana anak cucu nasibnya kemudian hari

lahir kembali pecah abadi, 2016

Photograph


bertanya pada siapa angin akan menemukan kita
gambar mata jaman terlihat di sudut ruang tubuhku
semakin dekat dan tajam
aku melupa akan cinta dan hakikat pada muasal siapa
ia akan kembali sebagai kisah dari bara doa

cinta pernah mengajarkan aku jalan pulang
ke taman hati
di mana taman itu penuh bunga juga sesuap
keabadian janji
kita adalah penunggu dari tetes rindu yang bercahaya
menyandarkan ruang pasti
sejak perjumpaan itu aku kembali meneruskan mimpi

di lubang pandanganmu, jiwa dan napas semakin
dingin
membaca cuaca dan mencari selimut sebagai
kepulangan tiada henti

2016

Urang Kenekes


hanya di gunung kendeng suara hari bau musim
di lebak dekat akar sungai cibaduy
pertemuan aliran Barat ke Timur
tarekat batin dijemur atas warna semesta
sebab kepercayaan telah ada sejak matahari ada

abad 15 hanya pada lelembut, roh halus dan segalagalanya
bermula
di dekat mata air sungai ciujung cisemet keramatmu
nama arca domas
setahun di bulan kelima ada pemberangkatan
ada batu lumping sebab petunjuk panen gagal atau
meruah
mendaki bukit entah atas pilihan siapa
hanya permulaan, pandangan jauh menulis umpama

kepada giring pu’un segala hal terima kasih
entah di bagian urang kejereoan dan penamping
kesepakatan tanah keramat jika sudah melebihi batas

di sini tidak ada mesin otak dan sorot lampu, gemulai
malam hari
dan ramai para penukar janji dan pastinya
kemerderkaan
tak ada suara klakson kemacetan atau banjir kematian
hidup
hujan merupakan ruwah untuk hewan dan tumbuhan

gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak
betapa indahnya alam ini, wangi hingga aceh dan
tembuni sejarah
hanya buyut sebagai batas kita melangkah
taat Tuhan, tanah dan yang ada tetap terjaga usianya
hingga sabda itu datang memulai matahari dari timur
ke senja :
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksa
lojor teu meunang dipotong
pendek teu meunang disambung

hanya di gunung kendeng suara hari bau musim
anak masa depan akan datang sebagai tuan di rumah
tuhanmu sendiri

2016
* suatu kalimat kokolot Baduy, Jaro Dainah
* dalam bahasa Indonesia berarti tabu atau larangan


Kurliyadi lahir di kepulauan Giligenting Sumenep Madura, salah satu alumnus Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar Pangarangan Sumenep. Antologi bersamanya, antara lain Nyanyian Langit (Ababil 2006), Indonesia Dalam Titik 13 ( Lintas Penyair Indonesia, 2013), Jejak Sajak di Mahakam (art. lanjong foundation, 2013), Goresan-Goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda (2014), Dalam Remang Kumengejar Mimpi (KOMCIBA, Pena House 2015), Sajak Puncak (Forum Sastra Bekasi 2015), Dri NegriPoci 6 (Radja Ketjil 2015).

Rumah yang Mengasuhku, Dunia yang Rawan dan Penyedih

Puisi-puisi Nur Wahida Idris (Jawa Pos, 14 Januari 2018)
Rumah yang Mengasuhku, Dunia yang Rawan dan Penyedih ilustrasi Google.jpg
Rumah yang Mengasuhku, Dunia yang Rawan dan Penyedih ilustrasi Google

Rumah yang Mengasuhku

kepada: tsabit, tahya, nahya

1.
kefakiran,
serahkan pada jalan-jalan
apakah diinginkannya kakiku untuk berlalu atau singgah
ke rumah-rumah yang mengasuhku

di warung-warung penggembira
di setiap hati rawan yang menginginkan bualan
bagi pertemuan dan perpisahan
jalan-jalan kebebasan menyambut para tawanan
hatiku yang ditololkan mengingat rumah
tempat aku mengaji dan melatih tungkai kaki

2.
kubawa pulang kelemahan hatiku
ke loloan, rumah yang tegak dalam ucapan
dan keteguhan hati nenek-moyang
menggenggam bara api
ini kelemahan hatiku, ibu
serupa tepung yang getas
buatlah jadi adonan kue ladram jinten hitam
harumnya kemuliaan takbir dan hari lebaran
menjadi hidangan di meja setiap rumah
menyambut orang-orang datang untuk bersalaman
salamun alaikum…
aku mensyukuri kue ladram yang terhidang
di hadapan jiwa-jiwa gembira
mensyukuri setiap gigitan dan kunyahan orang-orang
yang terlerai
dari kebencian dan sakit hati
bahagia membayangkan tangan anak-anak
memasukkannya ke kantong baju mereka
yang selalu berharap fi trah
dalam setiap genggaman dan ucapan
salamun alaikum…

19 Oktober 2015

Dunia yang Rawan dan Penyedih


aku teringat tatapan tiap pasang mata yang jatuh cinta padaku
yang menyakiti dirinya karena mengingkari derita itu

apakah aku punya harapan untukmu,
untuk dunia yang rawan dan penyedih ini?
dunia tidak akan membantuku memahamimu
ia hanya bisa mengganguk atau menggeleng
untuk kebodohan, ketergesaan, kekikiran dan keluhankeluhanku

apa yang kuinginkan darimu?
Sungguh, tak ada yang benar-benar kuinginkan darimu
matahari, bulan, dan guguran daun
tahu ke mana mereka harus pergi
dan burung-burung pulang dengan perut kenyang di
setiap senja *)

apa lalu yang kupunya untukmu?
tak ada sesungguhnya yang kupunya untukmu
duh, mataku
anganan mungkin bisa kubangun dalam sekejap
tapi harapan-harapan itu tidak akan menjadi penjaga
yang baik
bagi kandang ternak kecemasanmu

aku teringat nyala api yang bergolak di tepi jurang itu
aku teringat ketakutanku di bawah langit penuh huruf
yang tak terbaca, tak menjadi kalimat di lidahku
aku teringat pada sang kekasih yang menuntunku
untuk menjauh dari keramain itu
aku tak ingin cemas
tidak kuinginkan harapan merenggutku
dari terik matahari, cahaya bulan
dan kemuliaan daun-daun yang berguguran

November 2017


Catatan:
*) HR Tirmidzi


NUR WAHIDA IDRIS, lahir di Ketugtug, Loloan Timur, Negara, 28 April 1976. Buku puisinya Mata Air Akar Pohon. Sekarang tinggal di Bantul, Jogjakarta, mengelola Akar Indonesia dan Komunitas Rumahlebah.

Di Tangan Jokpin Puisi Membiak

Oleh Samsudin Adlawi (Jawa Pos, 14 Januari 2018)
Telepon Genggam ilustrasi Basabasi.jpg
Telepon Genggam ilustrasi Basabasi
Jokpin sering mengolah perkara menjadi beberapa sajak. Dengan narasi dan angle yang berbeda-beda. Bahkan, dia tidak menabukan terjadinya pengulangan.
***
PERTENGAHAN 2017 saya mendapat kejutan. Yang tidak bisa saya lupakan. Sampai sekarang. Yakni, sebuah paket berisi tiga buku sekaligus.
Tiga buku puisi itu dikirim langsung oleh penulisnya. Salah satu penyair top Indonesia. Peraih pelbagai penghargaan sastra. Di halaman pertama ada pesan lengkap dengan nama dan tanda tangan sang penyair: Untuk Samsudin Adlawi, Selamat Beribadah Puisi, Joko Pinurbo. Tulisan tangan itu diakhiri dengan tanggal pengiriman bukunya: jokpin, 7/6/2017.
Terus terang, saya sangat terkejut. Tidak menyangka bakal dikirimi buku puisi oleh Jokpin. Tiga buku lagi. Siapa yang tidak tersanjung mendapat hadiah buku puisi dari penyair yang dikaguminya.
Apalagi, secara face-to-face, saya belum pernah berkenalan dengan penyair yang bahasa dan logika puisinya sangat sederhana itu. Tapi, secara karya, sudah lama saya mengakrabinya.
Saya benar-benar kesengsem sama puisi-puisi Jokpin. Dia lihai membalut peng indraan terhadap fenomena di sekitarnya dengan keluguan bahasa puisi. Makanya, secara khusus, saya membahas salah satu puisi Jokpin, Pemeluk Agama, di kolom Bahasa! Majalah Tempo (2 Mei 2016) dengan judul Pinurbo Memeluk Agama.
Inilah tiga buku yang dikirim Jokpin kepada saya: Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (MIAATDM), Telepon Genggam (TG), dan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (SMIP). Buku pertama dan ketiga sudah cetak ulang. Buku MIAATDM dicetak pertama pada Agustus 2016 dan dicetak lagi pada April 2017. Adapun buku SMIP kali pertama dicetak pada Juni 2016, lalu dicetak lagi April 2017. Sedangkan TG baru dicetak pada Juni 2017.
Puisi-puisi dalam tiga buku itu merupakan karya lawas Jokpin. MIAATDM menjadi wadah sehimpunan karya puisi yang digubah Jokpin mulai 1980-an hingga 2012. Sebagian besar malah pernah dimuat dalam sejumlah buku Jokpin, mulai Celana (1999) sampai Tahilalat (2012). Buku SMIP juga sama.
Memuat 121 puisi Jokpin dari kurun 1989 hingga 2012. “Sebagaimana biasa, saya melakukan perbaikan di sana-sini,” tulis Jokpin dalam pengantar bukunya itu. Meski demikian, tidak akan pernah bosan membaca puisi-puisi Jokpin. Sekalipun dimuat ulang di sejumlah buku.
Namun, dalam tulisan ini saya memilih hanya berfokus pada kreativitas Jokpin. Bukan pada teori dan gaya penulisan puisi peraih penghargaan South East Asian (SEA) Write Award pada 2014 itu. Teori dan gaya penulisan puisi Jokpin sudah “selesai”. Sering dibahas para kritikus dan sesama penyair.
Kreativitas yang saya maksud di sini adalah keusilan Jokpin dalam mengutak-atik sebuah objek. Dia sering mengolah perkara menjadi beberapa sajak. Dengan narasi dan angle yang berbeda-beda. Bahkan, dia tidak menabukan terjadinya pengulangan. “Pengulangan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan disingkiri,” tulis Jokpin di catatan penutup (halaman 80) buku puisinya, Telepon Genggam.
Atas kreativitasnya mengutak-atik subjek itu, di tangan Jokpin sebuah puisi bisa berkembang biak. Beranak pinak. Puisi Telepon Genggam (2002–2003), misalnya, telah melahirkan (puisi) telepon lainnya. Yakni Telepon Tengah Malam yang dia tulis pada 2004. Atau selisih setahun setelah lahirnya Telepon Genggam.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2005, Telepon Genggam Jokpin membiak lagi, menghasilkan puisi Pesan dari Ayah.
Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam telepon genggamku terkejut mendapat kiriman pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.” Demikian bait keempat puisi Pesan dari Ayah.
Bukan hanya Telepon Genggam, sejumlah puisi Jokpin lainnya juga sudah beranak pinak. Salah satu puisi hasil kembang biak dari puisi Jokpin sebelumnya adalah puisi Mandi dan Mandi Malam.
Dua puisi itu ditulis Jokpin pada tahun yang sama: 2003. Lalu, ada puisi Laki-Laki tanpa Celana yang ditulis lumayan lama. Yakni 2002 hingga 2003. Jokpin tak sungkan mengakui bahwa puisi Laki-Laki tanpa Celana dipicu puisi Celana 1 sampai 3 yang dia gubah pada 1996. Juga puisi Tanpa Celana Aku Datang Menjemputmu (2002).
Setelah membaca selama beberapa bulan, saya tak lagi dihantui tekateki: Apa maksud Jokpin mengirimi saya tiga buku puisinya sekaligus. Saya sudah berhasil memecahkan teka-teki. Yakni, di tangan Jokpin puisi bisa berkembang biak. (*)

Buku : Telepon Genggam
Penulis : Joko Pinurbo
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Juni 2017
Tebal : 84 halaman


SAMSUDIN ADLAWI. Penyair dan ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Banyuwangi.

Sorot Mata Syaila

Cerpen M. Shoim Anwar (Jawa Pos, 14 Januari 2018)
Sorot Mata Syaila ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Sorot Mata Syaila ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
DI Bandara Internasional Abu Dhabi, pukul satu dini hari, detak jantungku makin kencang. Pipi perempuan itu perlahan-lahan menyentuh pundakku. Terasa makin dekat dan hangat. Mulanya dia masih berusaha menegakkan kepalanya kembali beberapa kali, tapi makin lama kesadarannya makin menipis. Pipi itu akhirnya benar-benar menempel dengan pasti. Sebuah penyerahan yang lembut. Ujung hijabnya menyentuh hidungku. Terasa ada aroma parfum Alfa Zahrah. Gaun panjang terusan warna hitam yang dikenakan, abaya, ikut meluruh ke tubuh kiriku.
Aku tak berani bergerak. Ada baiknya berdiam agar dia tak terbangun dengan tiba-tiba. Ini pasti di luar kesadarannya. Malam telah melarut dan payah pun membalut. Hembus napasnya terdengar makin teratur. Tangan perempuan itu menyilang di pangkuannya. Lengan bajunya mengingsut naik. Bulu-bulu panjang tampak tumbuh merebah di lengan. Kulitnya bersih dan cerah membuat bulu-bulu itu tampak dari pangkal tumbuhnya hingga ujung. Sementara kuku-kukunya dipotong agak meruncing, warnanya merah muda seperti buah kurma menua di pohonnya.
Di negeri Uni Emirat Arab ini aku mesti berganti pesawat. Enam jam para penumpang harus menanti. Penerbangan masih harus kutempuh sekitar sembilan jam lagi dengan maskapai Etihad Airways nomor penerbangan EY 474. Jarak masih membentang sekitar 5.594 km lagi. Para penumpang, baik yang transit maupun baru, memenuhi lantai dua. Mereka menanti jadwal masing-masing. Kursi-kursi telah penuh. Sebagian penumpang, sepertinya para pembantu rumah tangga, duduk di lantai. Perempuan yang bersandar di pundakku makin nyaman dalam tidurnya. Beberapa orang sepertinya tersenyum ketika melihat pemandangan itu.
Aku duduk di deretan kursi menghadap ke Sky Bar dan gate 7-8. Lorong menuju ke toilet ada di depan sana. Perempuan itu mulanya mondar-mandir mencari tempat duduk sambil menyeret koper kecil warna cokelat. Sudah beberapa kali dia lewat sambil melihat tempat duduk di dekatku. Kebetulan kursi di sebelah kiriku agak longgar. Aku merasa harus berbagi. Akhirnya aku mengingsut dan mempersilakannya duduk.
Awalnya aku merasa ragu. Maklum di belahan dunia Arab antara laki-laki dan perempuan umumnya dipisahkan dengan ketat. Tapi ini di Abu Dhabi, bukan Kota Suci Makkah atau Madinah yang memerlukan waktu sekitar dua jam dengan pesawat ke sana. Meski awalnya aku tak yakin, perempuan itu akhirnya duduk di sebelahku. Aku membantu menata koper di depannya.
“Syukran,” dia mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat aku mencoba menyesuaikan. Laki-laki tua berjenggot panjang di sebelah kirinya juga mengingsutkan duduknya. Sementara lelaki berkulit gelap di sebelah kananku tetap menyandarkan kepalanya di kursi, mendongak dengan mata tertutup dan mulutnya membuka seperti buaya memasang perangkap agar ada mangsa yang masuk. Orang-orang yang duduk ber deret di kursi depan sudah tidak lagi memperhatikan. Kaki mereka kembali berselonjor. Beberapa saat situasi pun tenang kembali.
“Ismii Matalir,” aku memperkenalkan na ma ku. Bukan nama resmi, tapi nama panggilan waktu kecil.
Perempuan itu memandangku. Mungkin dia merasa aneh mendengarnya.
“Maasmuka? Mat…alir?”
Aku mengangguk.
“Ana min Indonesia,” aku melanjutkan. Dia tersenyum dan manggut-manggut. Beberapa saat aku masih memandang ke arahnya. Perempuan muda itu berhidung mancung dan beralis tebal. Kulit mukanya cerah dengan bibir mengilat semu merah. Bulu-bulu lembut di atas bibirnya menguat meski tampak samar.
“Ilaa ayn tadzhab?” aku bertanya ke mana dia pergi.
“Pakistan.”
Kami saling tersenyum. Koper di depannya aku rapikan lagi agar tidak menghalangi orang lewat. Kami berbasa-basi beberapa saat. Dia lalu melihat-lihat telepon selulernya, kemudian menoleh ke arahku kembali.
“Wa anti maasmuki?” aku tanya namanya, meski sadar itu terlalu bernafsu. Dia tak segera menjawab. Aku tetap memandangnya.
“Syaila,” jawabnya kemudian. Nama itu terdengar indah di telingaku. Artinya adalah kobaran api.
Perempuan dari segala penjuru dunia memang boleh datang ke Abu Dhabi. Mereka tidak sedikit yang memakai celana pendek dan kaus oblong. Agak kontras dengan mereka yang memakai cadar. Perempuan muda berhijab dengan wajah terbuka juga lazim dijumpai. Para pramugari milik negeri ini malah memakai span ketat di atas lutut dan baret dengan rambut terbuka. Meski tidak bercadar, pakaian Syaila bagiku sudah nyaris sempurna menutup tubuhnya.
Syaila menanyakan nama maskapai dan kota tujuanku. Dia tahu kalau pesawatku akan take off lebih dulu dibanding dia. Lama-lama pembicaraan kami mulai jarang. Bukan bahan omongan yang mulai habis, tapi bahasa Arabku yang kedodoran sehingga tak bisa mengungkapkan apa yang akan kukatakan. Rasa kantuk mulai menyerang. Detik-detik inilah aku mengetahui Syaila juga mulai di se rang kantuk.
Sekarang aku berpikir persoalanku sendiri. Aku berharap penerbanganku terlambat, bila perlu ditunda dalam waktu yang panjang. Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.
Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.
Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.
Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pengacara yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi tuannya.
Kembali aku melihat-lihat ke sekitar. Arsitektur bandara ini membuatku serasa bernaung di bawah pohon kurma raksasa. Pilar tunggal yang besar berada di tengah dari lantai satu hingga lantai dua. Ujung pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma dan sekaligus membentuk langit-langit secara melingkar dengan motif ornamen segi enam. Stan-stan penjual makanan ringan, minuman, dan sovenir juga ditata melingkar. Di bawah pilar dipajang dagangan sebangsa parfum, alat kecantikan, jam tangan, serta perhiasan dengan harga mahal.
Malam telah bergeser ke dini hari. Orang-orang seperti membeku di kursinya. Kepala Syaila bergerak-gerak. Sepertinya perempuan itu mulai terbangun. Terdengar desah napasnya disertai lenguh yang lembut. Perlahan dia mengangkat kepala dari pundakku. Dia berkedip-kedip melihatku agak lama. Seperti meyakinkan sesuatu yang telah lama hilang. Ekspresinya datar. Aku pun menatapnya. Tanpa bicara apa-apa.
Tangan kanan Syaila perlahan merambat ke pegangan koper. Sambil tetap melihatku, dia bangkit. Matanya berkedip-kedip. Koper itu didorongnya ke depan, lalu melangkah. Beberapa detik setelah itu dia berhenti. Pandangannya masih diarahkan kepadaku. Syaila mengangguk. Mungkin sebagai isyarat pamit. Aku pun mengangguk. Posisi kopernya berganti di belakang. Perempuan itu melangkah lagi. Ada rasa kehilangan melepas kepergiannya.
Baru beberapa langkah berjalan, Syaila kembali membalikkan pandangan. Dia mengangguk. Aku membalas. Tapi dia tak segera beranjak. Seperti ada isyarat lain untukku. Aku pun berdiri. Syaila melangkah lagi. Ada kegamangan dalam diriku. Kali ini aku mulai menangkap maksudnya saat perempuan itu kembali menoleh dan mengangguk dua kali. Aku berjalan ke arahnya. Syaila melanjutkan langkah ketika mengetahui aku mengikuti. Terasa ada dorongan yang makin kuat. Aku meniti di belakang langkahnya.
Syaila menuruni tangga ke lantai satu. Aku membuntut. Dia berbelok ke kiri, menuju ke lorong yang makin sepi karena stan-stan di kanan kiri semuanya tutup. Suasana bertambah senyap. Sesekali perempuan itu menoleh ke arahku dan mengangguk. Sebuah isyarat agar aku terus mengikuti. Lampu-lampu makin meredup. Bunyi sepatu perempuan itu makin jelas. Detaknya memantul ke dinding-dinding lorong yang makin panjang. Abaya hitam yang dikenakan membuatnya makin samar dalam keremangan.
Sampai di pertigaan Syaila berhenti sejenak. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Ketika jarak antara kami tinggal dua tiga langkah, perempuan itu berbelok ke kanan dan mempercepat langkahnya. Aku seperti tersedot mengikuti arusnya. Ternyata ini bukan lantai terakhir. Di ujung lorong ada tangga ke bawah. Dengan langkah makin cepat Syaila meluncur turun. Udara terasa makin pengap dan bau apak mengambang. Lantai tak lagi rata. Di sana-sini ada bekas genangan air. Kesenyapan hampir sempurna membalut. Detak sepatu itu terdengar makin cepat.
“Syaila…,” aku memanggil. Dia menoleh sejenak dan mengangguk. Langkahku makin cepat karena harus mengikutinya. Suasana makin meredup, tinggal satu dua lampu yang tersisa di kejauhan sana. Ada kelepak melintas di depanku. Tubuh Syaila makin samar dibalut remang. Seperti ada kekuatan yang menyedot langkahku untuk terus mengalir. Pantulan detak sepatu Syaila makin menggema dari sudut ke sudut. Lorong ini terasa makin sempit dan berkelok-kelok menyerupai labirin.
“Syaila…,” aku menyeru. Tubuh perempuan itu makin menghablur. Yang kudengar kembali adalah gema suaraku yang memantul-mantul makin keras. Lorong semakin berliku-liku. Syaila tampak seperti bayangan melayang-layang dalam remang. Tiba-tiba ada kabut dingin yang datang. Kembali kuseru nama Syaila. Dalam keremangan samar-samar tampak dia menoleh dan berhenti. Aku melihat bola mata perempuan itu merona dalam kegelapan, berpendar mengeluarkan cahaya kebiruan. Seperti sepasang mata kucing hitam saat di sorot cahaya di kegelapan.
Kembali aku menyeru. Tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Sorot sepasang mata Syaila makin kuat menembus kabut. Seperti juga seekor kucing hitam, sosok itu melayang dan menyambarku. Aku terjatuh. Tengkurap di lantai lorong yang basah. Ada bunyi kelepak yang datang menyerbu. Makin riuh di telingaku. Aku membeku.
Beberapa saat kemudian lamat-lamat ganti terdengar suara merintih-rintih memanggilku. Aku berusaha merayap mendekat. Kata-kata “papa” yang disuarakan makin jelas. Sepertinya ada beberapa suara yang memanggilku. Semuanya merintih dengan nada kesakitan.
Lorong ini bukan saja basah, tapi semakin becek dan pesing. Ada tetesan air dari pipa di langit-langit. Aku merayap terengah-engah. Tampak seberkas cahaya di sana. Sampai di tikungan lorong aku mendongak. Cahaya menyorot ke sana. Ah, aku terkejut! Aku melihat istri pertama beserta kedua anakku digantung. Leher mereka dijerat, kaki dan tangannya diserimpung seperti kepompong. Di sebelah mereka aku juga melihat hal yang sama. Istri keduaku beserta dua anaknya juga mengalami hal serupa. Dua orang istri dan empat orang anakku bergelantungan tak berdaya. Seperti menunggu ajal yang segera tiba, mereka merintih-rintih kesakitan.
Aku berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau sekadar ilusi. Di lorong terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak berdaya menolong istri-istri dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut. Mereka digantung seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali ini adalah ujung dari hidup kami semua. Aku ingin meronta, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun terserimpung di lantai lorong yang becek dan pesing.
Lalu di manakah Syaila? Perempuan itu telah melenyap bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang. Sebagai kucing hitam, dia membenam dalam kelam. Aku tersuruk di sini. Menatap kedua istri dan empat anakku yang hampir beku. Seluruh tubuhku juga kaku dan beku. Kelepak itu pun datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku untuk dimangsa inci demi inci. ***

Abu Dhabi-Surabaya, 1 Januari 2018
SHOIM ANWAR adalah sastrawan dan dosen di Surabaya, doktor bidang pendidikan bahasa dan sastra. Buku kumpulan cerpennya, antara lain, Oknum, Musyawarah Para Bajingan, Pot dalam Otak Kepala Desa, Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap Rokok di Jilbab Santi, dan Kutunggu di Jarwal