Daftar Blog Saya

Senin, 22 Januari 2018

Secangkir Kopi Luwak

Cerpen Ramadira (Jawa Pos, 21 Januari 2018)
Secangkir Kopi Luwak ilustrasi Bagus hariadi - Jawa Pos
Secangkir Kopi Luwak ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
RUSLAN berpikir, malam ini akan menjadi malam pertama baginya sebagai pembunuh dan menjadi malam terakhir kehidupan bagi Gazali sebagai korban.
***
GAZALI, lelaki yang sebentar lagi tiba itu adalah kekasihnya. Sudah enam tahun mereka menjalin hubungan setia penuh gairah. Namun, semuanya menguap dan kini menumbuhkan sakit hati yang tak bisa dibendung Ruslan. Gazali berkhianat. Gazali jatuh cinta pada orang lain, seorang perempuan. Roslia namanya.
Di dapur apartemennya, Ruslan mengasah pisau perlahan-lahan. Gesekan konstan mata pisau dengan batu asah itu menggema, gema lirih yang meneror seisi ruangan.
Ruslan baru saja menelepon Gazali, mengajaknya makan malam dan Gazali menyanggupi untuk datang tepat pukul delapan. Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Gazali baru saja pulang dari tugas di Semarang. Ruslan berjanji akan memasak sup asparagus kepiting kegemaran Gazali. Gazali senang dan berujar bahwa ia merindukan masakan spesial Ruslan.
Hubungan mereka bermula dari sebuah wawancara kerja. Sebagai manajer HRD, Ruslan berkesempatan mewawancarai Gazali yang melamar untuk mengisi posisi yang tengah lowong. Ruslan terpesona seketika pada Gazali. Aroma dari tubuh atletis Gazali begitu menggodanya. Wajah khas campuran Jawa dan Eropa pada Gazali membuat Ruslan berani mengatakan bahwa inilah lelaki tampan dengan kesempurnaan utuh yang dicarinya selama ini.
Gazali tentu saja berhasil mulus mendapatkan pekerjaan di perusahaan consumer goods multinasional itu. Pada kenyataannya Gazali tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki posisi yang dilamarnya. Namun, Ruslan mengabaikan profesionalitasnya kali ini. Pesona Gazali membuat Ruslan tak sanggup mengabaikannya. Gazali pun akhirnya bekerja dalam bimbingan dan perhatian penuh dari Ruslan.
Hasilnya, karier Gazali melesat mulus. Saat ini, ia menduduki posisi sebagai manajer pemasaran wilayah Pulau Jawa. Sejak semula, Gazali tahu dan sadar sepenuhnya bahwa ia bisa mendapatkan semua itu berkat jasa Ruslan. Tanpa penolakan, Gazali menerima cinta Ruslan setelah tiga bulan bekerja di perusahaan itu.
***
SORE tadi Ruslan berbelanja bahan untuk membuat sup asparagus di sebuah supermarket. Sehabis mengambil tiga ekor kepiting, tanpa sengaja ia melihat berbagai macam pisau yang dipajang di ujung peralatan dapur. Ia pun mengambil salah satunya: pisau berukuran panjang dua puluh senti, lebar empat senti dengan bagian tajam sisi bawah sekitar satu setengah senti.
Sebelumnya, Ruslan tak punya rencana membunuh Gazali. Namun, rekaman video Gazali mencumbu Roslia, yang juga karyawan di perusahaan itu membuat Ruslan murka. Rekaman dalam keping DVD itu ia peroleh dalam sebuah amplop tanpa nama pengirim. Selain rekaman video, amplop itu juga berisi foto-foto Gazali dan Roslia tengah berdua di pantai dengan kemesraan tiada tanding.
Ruslan belum tahu pasti apa motif si pengirim misterius. Meski begitu, perselingkuhan Gazali adalah sesuatu yang menyakitkan dan tidak bisa di terima dengan dalih apa pun. Tak hanya itu. Perjalanan hubungan mereka selama enam tahun dengan pengorbanan habis-habisan dari Ruslan, cukup membuat Ruslan merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia. Gazali telah berhasil mengelabuinya. Gazali menerima cintanya cuma karena ingin memuluskan kariernya di perusahaan, murni demi kepentingan pribadinya sendiri.
Ruslan dan Gazali adalah pasangan yang memiliki bakat dalam bersandiwara sehingga sampai saat ini tidak ada orang di perusahaan mengetahui bahwa mereka berdua memiliki hubungan spesial. Kedekatan mereka dianggap sebagai pertemanan biasa oleh orang-orang kantor. Dan Ruslan meyakini seutuhnya bahwa sampai kapan pun dirinya mampu menyembunyikan hubungan mereka berdua.
Adanya rekaman video dan foto perselingkuhan Gazali itu membuat Ruslan menjadi ragu. Jangan-jangan hubungan mereka telah diketahui oleh sesorang atau beberapa orang. Atau bisa jadi kiriman video dan foto Gazali dengan Roslia itu hanyalah akal-akalan Gazali untuk mengakhiri hubungan mereka. Pemikiran terakhir ini membuat Ruslan semakin murka.
Bisa dibilang ia adalah tipe laki-laki yang serius dalam menjalin hubungan. Ia akan memberikan apa pun demi mempertahankan pasangannya. Ia tak pernah luput memberikan hadiah dan kesenangan kepada Gazali. Setiap akhir pekan, ia selalu memasak dan menyajikan jenis makanan yang menjadi kesukaan kekasihnya itu. Walaupun awalnya Ruslan tidak menyukai semua masakan yang disukai Gazali namun lama-kelamaan ia manjadi suka. Apa pun itu, ia lakukan demi menyenangkan kekasihnya karena Ruslan merasa, Gazali terlahir di dunia memang untuk menjadi miliknya semata.
Mereka melewati hari di kantor sebagaimana biasa selaku profesional dan melewati malam dengan penuh gairah selayaknya hubungan sepasang kekasih yang saling mencinta di apartemen Ruslan. Mereka biasa menghabiskan malam saling mendekap sambil menonton TV atau sekadar menikmati pemandangan di luar, dari ketinggian apartemen. Apa pun itu, kopi adalah teman setia mereka.
Ruslan adalah seorang penggemar berat kopi. Mulanya Gazali tak menyukai kopi. Namun, berkat Ruslan, Gazali berubah menjadi pencinta kopi. Ruslan senang bukan kepalang mendapati kenyataan itu. Gazali rutin membawakan kopi luwak dari Lampung kesukaan Ruslan. Ia sangat mudah mendapatkannya, bahkan langsung dari kebun kopinya. Ia punya paman yang memiliki kebun dan pengolahan kopi tradisional di Lampung.
Dalam menikmati kopi, Ruslan selalu menggunakan cangkir kesayangannya: cangkir berbahan porselen hadiah dari Gazali. Gazali percaya bahwa kenikmatan kopi bergantung pada wadah yang digunakan. Cangkir berbahan porselen adalah wadah terbaik yang mampu mengikat aroma dan rasa original kopi yang dihidangkan. Dan Ruslan setuju itu. Baginya, aroma dan cita rasa kopi termahal di dunia itu akan terganggu jika menikmatinya dengan menggunakan wadah plastik atau stainless.
Namun, kini, semua kebersamaan itu akan segera berakhir. Semua rasa sayang, rasa memiliki, menguap entah ke mana. Jika memang kiriman video dan foto itu akal-akalan Gazali berarti Gazali memang ingin mencampakkan Ruslan, orang yang telah berjasa menyelamatkan dan membuat indah kehidupan Gazali. Habis manis, sepah dibuang! Dan untuk itu, Ruslan akan membuat perhitungan. Ia tak lagi memikirkan konsekuensinya. Baginya, semua ini harus segera diakhiri. Mengakhiri semuanya dengan satu-satunya cara: membunuh Gazali!
Kini, apartemen itu dipenuhi oleh bunyi gesekan pisau dan aroma sup asaparagus kepiting yang mulai mendidih di panci. Sementara itu, Ruslan terus saja mengasah pisaunya dan baru akan berhenti jika bel pintu berbunyi. Sebenarnya pisau itu sudah teramat tajam. Tapi tetap saja ia merasa belum mendapatkan ketajaman yang pas untuk membunuh Gazali.
Dalam rencananya, Gazali akan ia sambut dengan baik. Ia akan persilahkan Gazali duduk dan menyantap sup asparagus kepiting kesukaannya. Ia akan bertanya dengan nada yang sedapat mungkin tak mengandung amarah. Setelah Gazali selesai dengan santapannya, ia akan menanyakan mengapa Gazali bisa jatuh cinta pada orang lain. Apa kekurangan yang ada pada diri Ruslan hingga membuat Gazali berpaling. Ruslan meyakini semata bahwa Gazali tak akan memberikan jawaban yang diharapkan, ia akan pura-pura mengelak sampai Ruslan memperlihatkan video atau fotonya bersama Roslia.
Masih dalam bayangannya, setelah melihat video dan foto, Gazali akan mengakui semua dan dengan terpaksa meminta Ruslan untuk memutuskannya karena dia telah bersalah, mengkhianati hubungan mereka. Jika itu yang terjadi maka tak ada lagi yang menghalangi Ruslan untuk menghadiahkan kematian pada Gazali. Gazali sungguh pandai bersandiwara dan menganggap Ruslan bagian dari tokoh dalam sandiwara yang bebas dia permainkan. Ruslan menganggap itu suatu kekejaman yang harus segera dihentikan.
Pertama-tama, ia akan mengarahkan pisau itu langsung ke batang leher Gazali. Selanjutnya, Gazali akan mendapatkan hujaman pisau pada bagian-bagian lain sampai ia tak lagi bernapas.
Ruslan masih mengasah pisaunya. Suara azan Isya tiba-tiba berkumandang di TV dan sempat menyiutkan nyali Ruslan untuk membunuh karena mendadak terbayang neraka jahaman yang akan disediakan untuknya karena melakukan dosa besar. Ia menjadi gelisah. Ia tinggalkan pisaunya, ia matikan kompor di mana di atasnya sup asparagus sudah matang sempurna. Ia menuju ke sofa depan TV, mengambil kotak rokok dan mengeluarkan sebatang dari dalamnya untuk kemudian dia isap dalam-dalam. Asap rokok itu terus diisapnya kemudian diembuskannya bergulung-gulung memenuhi ruang apartemennya hingga aroma asap itu menyatu dengan aroma sup asparagus.
Ia belum bisa tenang. Untuk itu, ia bergegas mengambil cangkir porselen kemudian menyeduh kopi luwak kegemarannya. Kopi itu tersisa hanya cukup untuk satu porsi, secangkir kopi terakhir. Ia segera menuangkan kopi dan gula kemudian menyeduhnya dengan air panas. Ia lalu kembali ke sofa tempat duduknya sambil membawa segelas kopi panas. Baru ia merasa lumayan tenang meski masih menunggu detik-detik tragedi yang bakal menjadi berita terbesar sepanjang sejarah kotanya. Selama ini Ruslan dikenal sebagai orang baik, namun mendadak berubah menjadi pembunuh berdarah dingin yang menjadikan orang yang dikasihi sebagai korban. Untuk menghalau keraguan, ia kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa apa yang akan menjadi anggapan orang kota nanti tak perlu ia pedulikan karena bagaimanapun mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ini hanyalah urusan antara dia, Gazali, dan Tuhan. Sehabis membunuh Gazali, ia akan bertobat.
Kopi luwak bisa menenangkan hatinya. Ia meneguk cairan terakhir dari cangkir ketika tiba-tiba bel kamarnya berbunyi. Ia bergegas membukanya dan tampaklah Gazali dengan wajah berseri membawa setangkai mawar dan kopi dalam sebuah paper cup.
“Kubelikan kopi luwak dari Kedai Kopi Cinta untukmu,” katanya sambil menyebut tempat langganan mereka jika ingin menikmati kopi luwak pada saat stok kopi dari Lampung milik mereka habis. Rasa dan aroma kopi luwak di tempat itu hampir menyamai kopi luwak racikan mereka sendiri.
Gazali memeluk Ruslan dan Ruslan membalas ciuman Gazali pada pipinya. Gazali membaca kekhawatiran di wajah Ruslan saat ia mempersilahkan Gazali duduk. Gazali sempat bertanya ada apa dan Ruslan menjawab tidak ada apa-apa. Ia lalu bergegas ke dapur menyiapkan sop asparagus di meja makan. Gazali memuji aroma sup yang masih mengambang di udara ruangan sambil menuangkan kopi dari paper cup ke cangkir porselen kesayangan Ruslan.
Ruslan kembali dari dapur dan duduk di sofa berhadapan dengan Gazali. Gazali memberinya senyuman, sebuah senyum yang selalu merontokkan hati Ruslan. Selalu seperti itu. Ruslan mencoba menguatkan diri untuk tetap menjalankan aksi yang sudah dirancangnya dengan matang. Namun, tiba-tiba ia menjadi ragu.
Untuk mengalihkan kegugupannya, Ruslan menyambar cangkir porselen yang sudah terisi lagi. Dia mulai menyeruput kopi istimewa pemberian Gazali. Di saat bersamaan, Gazali minta izin untuk ke luar sebentar. Katanya mau membeli rokok. Gazali pun meninggalkan Ruslan yang tengah menikmati secangkir kopi yang sudah ia taburi serbuk arsenik. ***

Samarinda, 20–21 November 2017
RAMADIRA, menetap di Samarinda. Menyelesaikan studi formalnya di jurusan ilmu hubungan internasional. Belajar menulis dan mengarang cerita secara otodidak. Bukunya yang telah terbit kumpulan cerita Kucing Kiyoko (2011).

Desa Pancasila

Oleh Elisa DS (Kompas, 21 Januari 2018)
Desa Pancasila ilustrasi Regina Primalita - Kompas
Desa Pancasila ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Minggu kali ini, Lala, Lili, Ayah, dan Bunda dalam perjalanan menuju rumah Paman Ranu yang berada di Lamongan, Jawa Timur.
“Bunda, besok ke Wisata Bahari Lamongan, ya. Aku ingin main flying fox,” celetuk Lala.
“Ke Goa Maharani aja. Aku ingin lihat ular albino,” tukas Lili.
Lala melotot. “Tidak. Pokoknya ke Wisata Bahari Lamongan!”
“Goa Maharani. Titik!” Lili tak mau kalah.
Bunda geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua putrinya yang usianya hanya berselisih satu tahun itu.
“Kalian ini, apa nggak capek bertengkar terus?”Ayah yang sedang konsentrasi menyetir akhirnya angkat bicara.
Lala dan Lili diam sambil menekuk wajah.
Mobil yang dikemudikan ayah akhirnya sampai di rumah Paman Ranu. Paman Ranu menyambut dengan gembira.
“Lho, kenapa cemberut?” tanya paman Ranu saat menyalami Lala dan Lili.
“Biasa… adu mulut.” Ayah menceritakan penyebab pertengkaran mereka.
Paman Ranu manggut-manggut. “Begini aja, besok kalian ikut Paman ke Desa Pancasila.”
“Desa Pancasila?” tanya Lala dan Lili serempak. Mereka pun memberondong paman dengan pertanyaan.
“Lihat aja besok. Tidak seru kalau Paman cerita sekarang.”
Keesokan hari, Paman Ranu menepati janjinya. Kebetulan Desa Pancasila tak jauh dari rumah Paman Ranu.
“Kenapa namanya Desa Pancasila, Paman?” tanya Lili.
“Sebenarnya, Desa Pancasila yang berada di Kecamatan Turi ini bernama Desa Balun. Desa ini adalah sebuah perkampungan yang warganya tetap rukun meskipun memeluk agama yang berbeda,” jelas paman Ranu.
Tak berapa lama, mereka sampai di Desa Pancasila.
“Lho, masjid, gereja, dan pura kok dibangun berdekatan seperti itu, ya?” Lala melongo.
Paman Ranu mengangguk. “Inilah salah satu hal yang membuat Desa Baiun pantas menyandang nama Desa Pancasila. Selain ada tiga tempat ibadah dari agama yang berbeda dalam satu kompleks, warga desanya sangat menjunjung toleransi. Misalnya, umat Kristen dan Hindu rela menjaga parkir kendaraan hingga memastikan keamanan saat umat Islam melakukan takbir keliling. Dan, banyak contoh sikap toleransi lainnya di sini.”
Paman Ranu lalu berkata lagi, “Semua warga di sini saling menghormati dan menghargai perbedaan agama serta keyakinan yang dipeluknya. Berbeda pendapat itu biasa, tetapi menghargai orang lain itu luar biasa.”
“Dengar, tuh, Lala, Lili. Mereka semua warga di sini yang berbeda keyakinan dan latar belakang budayanya, bisa hidup rukun dan damai. Masa kalian yang saudara sekandung saja selalu tidak bisa akur?” Bunda menimpali.
Lala dan Lili tersipu. Mereka saling menoleh dan berpegangan tangan.
Pengalaman mengunjungi Desa Pancasila menyadarkan Lala dan Lili akan pentingnya hidup dengan rukun dan damai sesama umat manusia. *

Kupu-kupu Bersayap Merah Jambu

Oleh Faris Al Faisal (Suara Merdeka, 21 Januari 2018)
Kupu-kupu Bersayap Merah Jambu ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Kupu-kupu Bersayap Merah Jambu ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Pulang sekolah Zallumy terpana. Seekor kupu-kupu bersayap merah jambu hinggap di plafon ruang tamu rumahnya. Gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu bergegas masuk ke kamarnya. Diambilnya sebuah kamera telepon genggam.
“Diamlah di situ cantik, aku akan memotretmu,” ucap Zallumy di dalam hati. Langkahnya berjinjit-jinjit agar gerakannya tak membangunkan kupu-kupu yang sedang tidur.
Namun, serangga bersayap yang sering hinggap memeluk-meluk mahkota bunga itu terbang sebelum ia sempat mengabadikannya.
“Hei, ke mana perginya?”
Tanpa diketahui Zallumy, kupu-kupu itu keluar melalui celah-celah kusen, lalu menyelinap di balik rimbun pohon mangga gedong gincu yang sedang berbunga.
“Ah, di mana kau cantik?”
Zallumy kehilangan jejak. Ia masih mengira kupu-kupu itu di sekitar ruang tamu. Namun plafon rumahnya tampak putih kosong. Matanya yang lendut mulai mengitari ruangan rumahnya. Tak jua ditemukannya. Disibaknya tiap-tiap benda yang memungkinkan dijadikannya persembunyian, tetapi raib tak berjejak. Wajahnya mendadak muram. Gadis berwajah manis itu baru saja kehilangan kesempatan yang sangat langka. Memotret kupu-kupu bersayap merah jambu.
“Mengapa wajahmu cemberut begitu, Nak?” tanya Ayah dari belakang rumah. Tangannya membawa gunting pemotong rumput. Baru saja Ayah Zallumy selesai membersihkan halaman belakang dari rumput yang membelukar.
“Tadi ada kupu-kupu yang sangat cantik, bersayap merah jambu,” ujarnya memelas.
“Sayang sekali, Zallumy tak sempat memotretnya.”
Mendengar pengakuan Zallumy, Ayahnya mengerut-kerutkan dahinya.
Tiga buah garis tampak di dahinya.
“Bersayap merah jambu? Benarkah?”
“Zallumy melihatnya, Ayah.”
Ayah tak ingin mendebat gadis kecilnya. Ia tersenyum, ditaruhnya gunting pemotong itu di kotak peralatan, lalu dengan penuh kasih mengelus-elus rambut anaknya yang hitam panjang terurai.
“Zalumy kenapa Ayah?” terdengar suara Ibu dari balik kamar.
“Anak kita baru saja melihat kupu-kupu bersayap merah jambu, tapi buruannya keburu terbang sebelum sempat dipotret.”
“Oh, ya sudah. Lain hari semoga masih bisa menjumpai kupu-kupu bersayap merah jambu itu. Ayo ganti pakaianmu, kita makan siang dulu.”
***
Zallumy adalah gadis kecil pecinta kupu-kupu. Ratusan kupu-kupu sudah dipotretnya dengan kamera telepon genggam pemberian Kakak laki-lakinya yang sudah bekerja. Benda untuk memotret itu dihadiahkan pada ulang tahunnya yang ke-10 lalu. Dari mulai kupu-kupu bersayap lebar, bersayap menyerupai angka 88, bersayap seperti mata burung hantu ataupun bersayap biru metalik macam Blue Morpho Butterfly. Tetapi kupu-kupu bersayap merah jambu merupakan pengecualian.
Ia memang pernah melihat kupu-kupu bersayap merah jambu, tetapi hanya kupukupu plastik yang biasa ditempel di bando rambut anak-anak perempuan. Bahkan di dalam kamarnya banyak sekali aksesori berbentuk kupu-kupu bersayap merah jambu. Berbagai penjepit rambut, bros, dompet, sandal, dan kostum peri tongkatnya.
***
Malam harinya, Ayah diam-diam memikirkan peristiwa siang tadi. Ia membaca buku-buku yang berkaitan erat dengan serangga yang menyukai nektar itu. Begitu pula Zallumy, di dalam kamarnya ia gelisah. Kupu-kupu bersayap merah jambu itu membuat tidurnya tidak nyenyak.
Esoknya saat Zallumy bersiap berangkat ke sekolah, Ayah yang juga bersiap ke tempat kerja mengajaknya berbincang.
“Kita akan memanggil kupu-kupu bersayap merah jambu itu ke rumah ini.”
“Benarkah, Ayah? Bagaimana caranya?” “Pulang sekolah nanti bantu Ayah menanam bunga di halaman rumah kita.”
“Maksudnya bagaimana?”
“Sudah, berangkat sekolah dulu, nanti terlambat.”
Sebenarnya Zallumy masih penasaran, tapi ia mesti segera ke sekolah. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, pikirannya belum bisa lepas dari kupu-kupu langka itu. Di kelasnya ia bercerita kepada temantemannya tentang kupu-kupu bersayap merah jambu tersebut.
“Apa kamu tidak sedang bermimpi?” tanya Nazma.
“Barangkali kamu terobsesi dengan peri tongkat yang bersayap merah jambu itu,” timpal Zain.
“Ini sungguhan!” kata Zallumy meyakinkan Ziyad, Hafsah, dan Zahra.
“Kalau pun memang ada kupu-kupu bersayap merah jambu, itu barangkali hanya ada di dunia peri.” Kawan-kawannya itu tertawa tergelak dan tak satu pun memercayainya.
Zallumy hampir menangis mendapatkan tanggapan dari teman sekelasnya. Bahkan ia sempat mengadu kepada Ibu Salamah, wali kelasnya.
“Aduh Zallumy, sayang sekali Ibu Salamah baru mendengar ada kupu-kupu bersayap merah jambu. Mungkin ada atau juga fiksi belaka.”
Zallumy tak puas. Dalam hati ia berjanji akan membuktikannya jika kupu-kupu bersayap merah jambu itu ada.
***
Siang itu Zallumy pulang sekolah dengan hati sedih. Tak ada satu pun orang percaya dengan ceritanya.
“Sudahlah Nak, nanti kita buktikan,” ucap Ayah saat mendengar aduan anaknya.
Setelah berganti pakaian dan makan siang, seperti sudah disepakati Zallumy akan membantu Ayah menanam bunga.
Sementara Ibu di dapur menyiapkan pisang goreng dan teh manis hangat untuk keduanya. Mereka mulai menanam beberapa bunga seperti pacar air, asoka, zinnia, sakura, dan kembang sepatu. Bungabunga itu didapatkan Ayah dari pasar bunga.
“Kita akan membuat taman bunga di halaman rumah ini,” kata Ayah.
“Untuk tempat bermain kupu-kupu, Ayah?” ujar Zallumy lugu.
“Ya, bisa juga. Namun, apa kamu pernah mendengar kupu-kupu suka dengan bunga-bunga?”
“Mengisap madu bunga dengan proboscis, yaitu mulut penghisap yang menyerupai belalai.”
“Ya, tetapi bukan hanya itu. Apa lagi?”
“Kupu-kupu juga membantu penyerbukan bunga-bunga, Ayah.”
“Nah, karena itu dengan bunga-bunga yang kita tanam ini akan mengundang kupu-kupu itu agar mau berada di taman ini.”
Zallumy manggut-manggut dan mulai mengerti arah pembicaraan Ayah pagi tadi.
“Sudah selesai rupanya, ayo dicicipi dulu pisang goreng dan teh manisnya. Mumpung masih hangat,” ucap Ibu sambil membawa makanan dan teh manis.
***
Dua bulan kemudian, bunga-bunga tumbuh dan menghasilkan bunga yang sangat indah.
“Ayah, Ibu, lihat!” seru Zallumy gembira. Dua ekor kupu-kupu beterbangan di atas bunga-bunga di taman rumahnya. Satu berwarna biru dan satunya lagi bersayap merah jambu.
“Benarkah?” Ayah dan Ibu segera menghambur ke halaman.
Dan sesuatu yang paling ajaib, kupukupu bersayap merah jambu itu hinggap di dada Zallumy. Sementara kupu-kupu yang berwarna biru mendarat lembut di rambutnya.
Cekrek, cekrek, cekrek! Ayah segera mengabadikannya dengan kamera telepon genggam yang sempat ia ambil sebelum menghambur ke taman bunga itu.
“Hore, hore, hore, Zallumy berfoto dengan kupu-kupu bersayap biru dan merah jambu!”
***
Di sekolahnya, foto itu ditunjukkan pada teman-temannya bahkan juga kepada Ibu Salamah.
“Seekor kupu-kupu bersayap biru dan merah jambu? Ah, cantik sekali Zallumy.
Mirip Papilio rumanzovia betina, yang juga memiliki sayap berwarna merah jambu dengan bintik ungu.”
“Apa sekarang Ibu Salamah percaya ada kupu-kupu bersayap merah jambu?”
“Setelah mendengarmu bercerita tentang kupu-kupu bersayap merah jambu, Ibu mempelajari jenis kupu-kupu di dunia. Dan seperti katamu, kupu-kupu bersayap merah jambu memang ada.”
“Bahkan kita dapat mengundangnya ke sini, ke sekolah kita.”
“Bagaimana caranya, Zallumy?” tanya Bu Salamah penasaran.
“Kita buat taman bunga di halaman sekolah.
Kupu-kupu akan betah jika ada bunga-bunga.” Ibu Salamah tersenyum bangga. Esoknya di halaman sekolah itu ditanami bunga-bunga berwarna-warni untuk mengundang bidadari taman tersebut. (58)

Asrama Serigala

Cerpen Rahmy Madina (Suara Merdeka, 21 Januari 2018)
Asrama Serigala ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka
Asrama Serigala ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Derap kaki dan lolongan serigala yang kudengar, meski bukan saat purnama, membuatku agak memercayai dongeng yang beredar di kampung. Selama ini aku tidak pernah merisaukan kebenaran dongeng. Selain sebagai pengantar tidur anak-anak, dongeng ada hanya untuk mengenang cerita tentang sebuah peristiwa di suatu tempat.
Namun setelah malam itu, lambatlaun aku mengulang pertanyaan-pertanyaan konyolku. Jangan-jangan, tempat ini benar berserigala?
Suami-istri berusia lebih dari setengah abad itu seperti tak meyakinkan jika memelihara bahkan sekadar bayi serigala. Apalagi yang sudah bisa melolong panjang. Mereka sudah cukup mengerti jawaban dasar atas pertanyaan: apa makanan serigala?
Apalagi kos ini seolah potongan surga. Kalian tidak akan berpikir dua kali saat melihat tempat seindah ini, meski harga yang mereka tawarkan tidak murah. Delapan ratus ribu per bulan. Itu pun belum termasuk uang listrik. Namun untuk tempat yang memiliki ketenangan berlapis-lapis, suara gemericik air sungai dan air terjun buatan, dedaunan yang elok, pekarangan luas yang hampir tak pernah kotor karena sang pemilik rajin betul membersihkan, percayalah, kalian tak akan sanggup menolak.
Aku menepis bisik-bisik sekitar yang seolah berusaha meyakinkan di dalamnya tinggal serigala! Karena itulah, mereka menamai kos ini sebagai asrama serigala.
“Sebaiknya jangan! Kami sering mendengar serigala itu melolong. Hampir setiap malam, lepas tanggal 15. Kalau kamu ingin selamat, cari tempat lain. Rumah itu jebakan! Tempat itu tak lain asrama serigala!”
“Benar, telinga kami saksinya! Kalau sekadar kos bagus, kami tahu tempat lain yang jauh lebih murah ketimbang asrama serigala.”
Sekali lagi, aku tidak mudah percaya apa pun kata mereka. Dan aku memutuskan tetap tinggal di tempat ini.
Kamarku paling strategis; di tengah-tengah, seperti kue ulang tahun. Pun katanya, kamar paling istimewa. Ada jendela di setiap sisi dinding, yang bisa membuatku mudah melihat semua sisi asrama. Semua bangunan berada di balik gerbang tinggi. Delapan kamar berdiri laiknya rumah petak, terpisah satu sama lain. Membuat kami, para penghuni, jarang saling sapa.
Namun aku kenal orang yang menempati kamar di sebelah kanan kamarku. Rere. Dia keturunan Padang yang bekerja sebagai dosen luar biasa. Kami sering bertukar sapa. Dia orang pertama yang membuat aku percaya, tempat ini asrama serigala.
Berawal dari malam yang panjang. Aku melihat gumpalan bulu yang tinggi dan bertaring mengetuk pintu kamar Rere dengan sedikit erangan. Aku mengintip dari balik tirai jendela sambil bergidik ketakutan. Keringat dingin mengucur dan membasahi kausku yang tipis. Sekuat tenaga aku membungkam mulut agar tidak sedikit pun bersuara.
Namun seolah kenal, Rere menatap mata kuning menyala itu sambil tersenyum sinis. Serigala itu berbisik ke telinga Rere dan berakhir dengan lolongan. Sekuat tenaga Rere menolak dan melawan serigala itu! Gila!
Aku makin ketakutan. Nahas, keesokan hari, aku justru melihat Rere berubah menjadi serigala! Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi berani menyapa.
***
Aku melihat dengan mata kepala sendiri mereka berubah menjadi serigala. Mengherankan, ibu dan bapak kos tak pernah terlihat di luar selama serigala-serigala itu berkeliaran. Aku curiga, jangan-jangan mereka menjadikan kami tumbal bagi para serigala. Mereka hilir-mudik, ke sana kemari dengan tatapan tajam dan moncong panjang.
Aku ketakutan. Aku masih menunggu hingga sekarang, akankah serigala itu mengetuk pintuku juga? Kalau iya, aku siap menghadapi mereka dengan alat-alat dan perkakas dapur seadanya.
Aku harus bertahan paling tidak sampai menemukan tempat baru. Untung, ini Sabtu! Hidup bersama kawanan serigala adalah mimpi buruk. Orang yang belum terinfeksi selain aku adalah Mbak Mira yang tinggal di kamar paling belakang. Dia mahasiswa jurusan seni, sekampus denganku.
Aku masih bisa menggapai kamarnya dari jendela samping kiri. Kami harus secepatnya menyelamatkan diri. Bau anyir darah dan lolongan masih terus terdengar, meski bukan purnama.
“Mbak Mira?” Aku lirih memanggil dia, yang sebenarnya belum kukenal. Sudah hampir dua hari ini aku tak melihat dia keluar kamar. Sama seperti aku. “Mbak! Mbak Mira.”
Gorden itu akhirnya terbuka. Mbak Mira menunjukkan mata waswas. Ternyata dia juga ketakutan. Aku masih punya persediaan makanan, beras, telur, sayur, dan roti. Entah Mbak Mira. Aku khawatir dia menderita di dalam kamarnya. Kami masih mengintai, takut tatap kami terbalas tatap mata kuning milik serigala-serigala itu.
“Mbak, kita harus keluar.”
Mbak Mira mengangguk.
“Mau pindah ke mana kamu?”
“Belum tahu. Mbak?”
Mbak Mira memastikan keadaan, kemudian balas menatapku.
“Tadi malam Rere memintaku pergi lewat telepon. Dia sudah lebih dulu pergi.”
“Mbak Rere pergi? Bukankah dia?”
“Kamu tenang saja. Dia baik-baik saja dan bisa menjaga diri. Aku dengar ada kos yang nyaman. Masih ada tiga kamar kosong. Rere yang mencarikan. Kamu mau pindah?”
Aku mengangguk. Sudah jelas aku mau. Aku tidak akan membiarkan diri jadi santapan mereka.
“Kapan?”
“Lusa. Serigala-serigala itu akan pergi ke atas bukit. Entah melaksanakan ritual apa. Kita bisa memanfaatkan saat itu untuk pergi dari sini.”
“Yang lain?”
“Biarkan. Mereka memilih bertahan. Kemasi barang-barangmu! Kamu sudah makan?”
Sekali lagi aku mengangguk. “Sudah.”
“Baiklah. Semoga selamat.”
Kalimat terakhir itu kuterka sebagai doa dan permohonan bagi Mbak Mira sendiri. Tentu saja kami berharap selamat. Besok, semua barang sudah harus terkemas rapi. Untung, tak ada satu kardus pun aku buang. Seharusnya aku lebih percaya dan mendengar mereka yang sudah tinggal lama di kampung ini. Tempat ini tak lebih dari asrama serigala.
***
Sore, ketika langit mendung dan Mbak Mira memintaku lebih berhatihati, ada yang mengetuk pintu kamarku. Tadi pagi aku sudah melihat bapak dan ibu kos membersihkan pekarangan dari daun-daun kering yang jatuh atau tahi burung yang mendarat di tempat jemuran.
Aku memperhatikan mereka dari balik tirai jendela. Mereka sama sekali tidak curiga atau ketakutan. Diamdiam aku menjadikan mereka sebagai umpan. Kalau sampai mereka termakan, artinya serigala itu masih berkeliaran. Nyatanya tidak. Barangkali mereka tahu kapan serigala- serigala itu datang dan pergi. Licik sekali!
Aku bergidik ngeri sambil memperhatikan pintu yang terketuk. Pasalnya, serigala itu mahir mengetuk pintu. Aku tak mau jadi santapan mereka, sementara aku dan Mbak Mira bahkan sudah siap pergi. Sambil tetap waspada dan dengan tangan kanan memegang sapu, aku menghampiri pintu dan membuka perlahan. Aku agak terkesiap dan terloncat ke belakang. Perempuan itu berdiri sambil menyungging senyuman menakutkan!
“Ya ampun, Ibu! Saya kira serigala yang datang,” ucapku lega. Tak sengaja aku menangkap tatapan para penghuni kos, yang kutahu sudah berubah menjadi serigala.
Ibu kosku terkekeh sambil menatapku keheranan. “Mana ada serigala, Neng. Tempat ini aman.”
Aku justru lebih heran. Bagaimana bisa dia tak mendengar lolongan? Tulikah perempuan ini? Namun aku tidak pernah harus setengah berteriak saat berbicara dengan dia. Dia mendengarku! Aku masih memperhatikan dia yang belum melepaskan tatapan dariku, kemudian mendekat dan berbisik lirih, “Serahkan jiwamu padaku, kau akan selamat.”
Aku tangkas mendorong dia menjauh dan berniat menutup pintu kamar. Namun tiba-tiba saja mulut ibu kos berubah menjadi moncong panjang yang siap mengerkah. Ya, Tuhan! Rupanya dia wanita serigala! Aku menangkis serangan pertama dan bersiap melindungi diri dari gigitannya. Rupanya ini yang dia minta dari Rere! Pantas Rere tidak memberikan.
Sore itu, aku berkelahi dengan hebat melawan serigala. Gigitan kubalas gigitan, cakaran kubalas cakaran! Kudorong dia sekuat tenaga sampai tersungkur dan berlari masuk ke dalam rumah! Napasku tersengal.
Begitu aku menoleh, Mbak Mira langsung menutup jendela. Tidak ada yang terjadi. Aku tetap sebagai aku. Aku tidak berubah!
Malam itu aku tertidur dalam keadaan luka. Setiap saat aku mengerang kesakitan. Serigala itu pasti sudah ketakutan. Pintu rumahnya tidak sekali saja terbuka. Bagaimanapun aku tak mungkin memberikan jiwaku. Kalau sampai dia meminta sekali lagi, aku akan bertarung sampai dia mati!
Keesokan hari, aku merasa lebih sehat. Perih dan bau anyir darah itu menghilang. Aku mengerjap beberapa kali, menatap lantai kamar sambil bergumam, “Cuma mimpi.”
Serigala itu tak nyata. Terbukti, aku sudah tak berluka. Masih sambil tiduran aku mengamati kedua tanganku. Ya, Tuhan! Bulu lebat tumbuh di seluruh tangan, kaki, dan tubuhku, menggantikan luka-luka itu.
Pagi itu aku terbangun sebagai serigala. Mataku kuning menyala, persis mata mereka! Aku kalang-kabut, tak tahu harus berbuat apa. Mataku nanar menatap cakar yang tumbuh di kedua tangan dan kakiku. Namun ketika aku menangis, yang keluar hanya lolongan. Astaga! Satu-satunya lolongan yang aku dengar justru dari moncongku! (44)

Rahmy Madina, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, kini bekerja dan bermomisili di Jakarta.

Pesan Ibu

Cerpen Irfan Maulana Yusuf (Pikiran Rakyat, 21 Januari 2018)
Pesan ilustrasi Rifki Syarani - Pikiran Rakyat.jpg
Pesan ilustrasi Rifki Syarani/Pikiran Rakyat
AKU kembali ke tempat itu, dan berjongkok mengusap kepalanya.
“Ibu, aku tak kuasa.” Napasku tersendat, tangisku terisak. Tak ada tangan yang mampu kugenggam, tak ada pundak untuk bersandar, dan tak ada tubuh yang untuk kupeluk. Aku benar-benar sendiri.
Teringat saat itu…
Hujan merincik menimbulkan suara damai yang sejuk. Dengan butiran mutira yang terus meluncur berjatuhan. Ibu tertatih berjalan mendekatiku. Tanpa baju. Ya, memang seperti itu.
Ibu sudah sakit parah, sangat parah menurutku. Satu dari dua payudaranya sudah membusuk.
Tak mampu menahan sakit jika sesuatu menyentuhnya. Ibu lebih memilih tidak memakai baju, hanya di depan keluarga. Ibu duduk tepat di sampingku, wajahku masih tertutup jari-jari putih dan kecil seperti ranting di musim kemarau.
“Kenapa kamu menangis Lily?” tanya ibu seraya mengusapkan tangannya ke kepalaku. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Katakanlah,” ucapnya Iembut.
Aku mulai menatap mata ibu yang lembut dengan tatapan hangatnya.
“Sebentar lagi Idul Fitri, bu, aku iri sama teman-teman yang membuat macam-macam kue bersama ibunya,” jawabku lirih
“Ya sudah, kita buat kue saja sekarang,” ajak ibu antusias.Tak sadar dengan keadaannya, seakan semuanya baik-baik saja.
Hari itu, 3 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri aku dan ibu membuat kue di dapur rumah yang cukup sempit. Ibu tetap memilih untuk tidak memakai baju. Hanya kami berdua saat itu, kakak-kakakku sudah menikah dan bapa sedang bekerja (berjualan koran).
“Tapi ibu baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Oh tentu saja,” jawab ibu ceria. Walau aku tahu ia sedang menahan rasa sakit. Karena sesekali ia membelakangiku untuk merintih. Aku tak kuasa menahan air mata. Tapi ibu tetap terlihat baik-baik saja sampai kue berjejer di dalam kaleng bekas kue-kue instan.
Malamnya, ibu tertidur pulas. Mungkin karena lelah setelah seharian membuatkanku kue. Aku ingin melihat wajah ibu, sekarang juga.
Aku buka tirai kamar ibu yang terbuat dari kain lusuh bekas berwarna cokelat kekuning-kuningan karena luntur. Dan, ini pemandangan setiap malam sekaligus pekerjaanku. Seperti biasa aku ambil 2 lembar tisu dan kugelar di atas telapak tangan. Perlahan aku duduk di samping ibu.
Belatung itu bermunculan, keluar dari payudara ibu yang membusuk. Tangisku tak dapat kutahan. Aku ambil satu persatu belatung tersebut dengan perlahan dan menyimpannya di atas tisu. Butiran air mata turut membasahi pipi. Dan itu memang keseharinku.
Malam takbiran tiba. Gema takbir menggelegar di seluruh penjuru. Lagi-lagi, hanya aku dan ibu di rumah. Yang lain akan datang setelah malam semakin mencekam. Saat itu, ibu memanggilku.
“Lily, sini, Nak. Temani ibu.” Aku segera menuju kamar ibu, dan ibu menyuruhku untuk berbaring tepat di sampingnya. Ibu meraih lenganku dan meletakkannya di atas pinggangnya. Jari-jari ibu yang lemah mulai merasuk ke sela-sela rambutku yang pirang.
“Nanti kalo ibu sudah sembuh, kita jalan-jalan ya. Ibu akan membeikanmu boneka yang lucu.”
Ucap ibu lirih namun penuh harap. Aku hanya tersenyum memandangnya.
“Ibu,” kataku menengadah.
“Iya Lily?” jawabnya Iembut.
“Kenapa kakak-kakak tak pernah ada yang datang untuk hanya sekadar merawat ibu?” tanyaku kesal.
“Mereka sudah punya kesibukan masing-masing Lily,” jawabnya tegar.
“Lalu kenapa ayah hanya berjualan koran? Penghasilannya kan sedikit dan tidak cukup untuk biaya operasi ibu. Kak Adam juga sudah sukses, kenapa dia tiak memberikan sebagian uangnya untuk biaya pengobtan ibu?” Air mataku mulai berlinang, penuh amarah.
“Lily, kamu tidak usah memikirkan hal sejauh itu. Kamu masih belum mengerti.” Ibu masih menjawabnya dengan tenang.
“Tapi aku benci mereka ibu! Mereka jahat sama ibu!” Aku mulai membentak.
“Hey… anak ibu tidak boleh begini. Lily… sejahat apa pun orang terhadap kita, kita tidak boleh membencinya. Tetaplah berperilaku baik dan santun. Karena membenci itu bukan cara untuk memecahkan masalah. Ingat selalu pesan ibu, Lily, semua akan baik kepada kita jika kita baik kepada mereka,” ucap ibu menasihati.
“Tapi ibu sudah baik sama mereka, dan mereka tetap jahat sama ibu, gak peduli sama ibu.” Jawabku dengan sedikit menekan.
“Lily, apa pun yang terjadi kepadamu. Saat ini, ataupun suatu saat nanti. Selalu ingat pesan ibu, jangan pernah membenci siapa pun. Selalu berperilaku baik kepada siapa pun. Mengerti ?”
Menekan namun tetap lembut di telinga. Aku tersenyum terpaksa. Tapi aku hanyut oleh ucpan ibu. Bagaimanapun itu pesan ibu.
Di Hari Raya Idul Fitri, aku bangun sangat pagi. Saat  itu pukul 4:00, sangat pagi menurutku. Aku sengaja membersihkan rumah terlebih dahulu, lalu mandi. Selesai mandi aku masuk kamar ibu, ia masih tertidur pulas. Tapi aku harus membangunkannya, karena ini adalah hari yang kita tunggu-tunggu. Kugoyangkan tubuh ibu perlahan, ibu tak bangun. Kucoba agak kuat, ibu masih belum bangun. Aku mulai resah, aku ingin sekali berpikir positif saat itu. Namun feeling ini memang memberontak. Aku cek pernapasan ibu, dan itu saatnya aku tahu bahwa ibu telah pergi.
Tepat di hari yang kita tunggu-tunggu ibu tak pernah bangun lagi. Hari yang kita rencanakan untuk menghabiskan waktu dengan balapan makan kue, jalan-jalan, nonton bareng dan ibu juga janji akan membelikanku boneka lucu ketika ia sembuh nanti. Tapi kini ibu sudah pergi.
Aku seperti orang gila saat itu, meraung, berteriak, mengamuk dan memukul siapa saja yang mendekati ibu.
“Ibu pasti bercanda kan? Ibu bilang ibu akan sembuh dan membelikanku boneka lucu, kita kan mau balapan makan kue hari ini, mau jalan-jalan… Aaaaaaaahhhh ibuuuuuuuu !!!” Aku tak kuasa menahan semua itu.
“Lily, sudahh.” Bapak dan kakak-kakakku berusaha menenangkan.
“Diam kalian, kalian tidak sayang kepada ibu. Hanya aku yang mengurusi ibu ketika sakit. Kalian jahat!! Ibu kesakitan kalian gak pernah ada, sampai belatung menggerogoti tubuhnya pun kalian entah di mana!”
“Lily…” Tetangga juga ikut melerai kesedihanku.
“DIAM! IBU TIDAK MATI!!”
Kakak-kakakku menyesal dan bapak terpukul. Ingin sekali aku membenci mereka namun larangan ibu adalah peraturan bagiku.
Aku tak tahan menahan tangis ketika bayang-bayang itu berkeliaran. Tangisku lepas di atas makam ibu. Selalu ingin memeluk ibu walau terhalang gundukan tanah. Ibu, aku sangat rindu.
Sepasang tangan lembut membangunkanku dari makam ibu. Merengkuh dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisku kembali meledak di atas dadanya yang bidang, hangat dalam pelukan.
Dia adalah suamiku, teman hidupku, pengganti ibu. Yang ibu tunjukan kepadaku. Keluargaku satu-satunya. Setelah kakak dan bapakku meninggalkanku ketik aku beranjak dewasa.
“Jadiah wanita solehah dan murah hati, niscaya kamu akan mendapatkan pasangan yang soleh dan murah hati juga. Jangan berkecil hati dengan kedaanmu saat ini, Tuhan telah mengatur semuanya. Dan tentu, Tuhan adalah sutradara paling hebat yang selalu membuat cerita indah dengan happy ending. Suatu saat jodohmu akan meenjemputmu dan menjagamu.” Pesan terakhir ibu di malam takbiran yang menjadi motivasi hidupku. Yang membuatku menjadi pekerja keras yang tak kenal lelah. Sampai akhirnya seseorang yang soleh nan murah hati seperti apa yang telah ibu katakan menjemput dan meminangku. Dan mengubah jalan hidupku.
“Ini adalah skenario Tuhan.” Akupun tak pernah melupakan kata-kata itu. Makasih ibu. ***

Tim Sukses

Cerpen Siti Siamah (Kedaulatan Rakyat, 21 januari 2018)
Tim Sukses ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Tim Sukses ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
KABUL girang, karena dirinya akan menjadi tim sukses lagi dalam pilkada mendatang. Menjadi tim sukses baginya sama dengan meraup banyak uang tanpa kerja keras. Urusan apakah uang yang diraup itu halal atau haram tak pernah dirisaukan. Kabul teringat pengalamannya menjadi tim sukses lima tahun silam.
“Aku sangat percaya kepada kamu. Jadi kamu kutugaskan sebagai bendahara tim sukses. Semua uang yang akan dibagikan kepada rakyat menjelang hari pemungutan suara nanti, kamu yang pegang,” tutur kawannya yang datang sendirian di rumahnya. Pertemuan empat mata yang dianggapnya sangat berharga. Betapa tidak, rencananya, kawannya akan menyerahkan uang 50 miliar kepadanya, untuk dibagikan kepada anggota tim sukses yang dipercaya untuk membagikan uang itu kepada rakyat.
Kabul mengangguk mantap. Hatinya bersorak gembira. Dibayangkan dirinya akan menguasai uang 50 miliar, sungguh pengalaman yang luar biasa. Kalau dirinya bisa mencatut 25 persen saja uang itu, artinya dia akan memiliki 12,5 miliar. Kalau jumlah itu terlalu banyak, dirinya mungkin cukup mencatut 10 persen yang artinya 5 miliar.
Kabul yakin, mencatut 10 persen uang yang seharusnya dibagikan kepada rakyat bukan hal sulit bagi dirinya. Lagi pula, dirinya dipercaya oleh kawannya. Kalau misalnya kawannya nanti kalah pilkada, mustahil mempermasalahkan uang yang sudah dipercayakan kepadanya. Sebaliknya, kalau kawannya menang pilkada lagi, masalah uang itu tak akan pernah dipersoalkan.
***
Kabul tersenyum-senyum sendiri sambil menerawang di beranda rumahnya, ketika sore menjelang petang. Istrinya melihatnya dengan curiga.
“Sejak tadi kamu nampak sangat gembira, memangnya kamu jatuh cinta lagi kepada perempuan lain?” tanya istrinya sambil duduk di sampingnya.
Kabul bersungut-sungut. “Kamu ternyata tidak pernah berubah, Bu. Sejak dulu selalu cemburu buta.”
Istrinya mencubit lengannya. “Ya, siapa tahu ada perempuan lain yang berhasil kamu goda.”
Kabul tergelak. Lalu membisikkan tentang sesuatu yang membuatnya sangat gembira. “Aku sangat gembira, karena akan menjadi tim sukses lagi, Bu. Bahkan Bupati sudah bilang bahwa aku akan dijadikan bendahara tim suksesnya.”
Istrinya tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Dibayangkannya setumpuk uang dihitung di kamar, lalu sebagian digunakan untuk membeli mobil baru dan sebagian disimpannya di bank.
“Bupati sangat mempercayaiku, Bu. Maklumlah, dulu dia menang karena mempercayaiku. Maka wajar saja kalau sekarang aku kembali dipercaya agar dia bisa menang lagi.” Kabul berbisik lagi di dekat telinga istrinya.
“Nanti setelah pilkada, kita beli mobil baru ya? Awas kalau tidak.” Istrinya bicara dengan membayangkan sedang menyetir mobil baru menuju pasar untuk berbelanja.
“Beres, pokoknya setelah pilkada, kita pasti punya mobil baru dan banyak simpanan di bank.” Kabul menukas dengan mantap.
***
Sepekan menjelang pilkada, Kabul betul-betul dipercaya sebagai bendahara tim sukses untuk memegang uang 50 miliar yang akan dibagikan kepada rakyat. Uang itu ditaruh di dalam koper besar. Bupati sendiri yang mengantarkan uang itu ke rumah Kabul, menjelang petang, tanpa pengawal. Bahkan Bupati menyamar dengan memakai rompi tukang parkir, agar tak ada aparat pengawas pilkada yang melihatnya membawa banyak uang. Apa jadinya kalau aparat menangkapnya sedang membawa banyak uang, menjelang pilkada? Pasti akan menjadi berita yang sensasional.
“Semua anggota tim sukses yang bertugas membagi-bagikan uang kepada rakyat, besok pagi akan kusuruh berkumpul di rumahmu ini. Mereka kupilih sendiri. Mereka sama dengan kamu, layak dipercaya. Kalau aku menang lagi, nanti kamu akan kubelikan mobil baru.” Bupati bertutur sebelum meninggalkan rumah Kabul.
Kabul betul-betul merasa seperti mendapat rezeki nomplok. Malam tiba, seperti biasanya. Kabul dan istrinya tidur nyenyak. Tidak ada firasat apa pun. Tapi menjelang Subuh, Kabul dan istrinya terbangun karena merasa panas seperti ada api yang berkobar di dekatnya. Ternyata memang api sudah berkobar membakar rumahnya. Kabul dan istrinya terlambat untuk lari keluar menghindari jilatan api yang makin berkobar-kobar. Kabul dan istrinya tewas terbakar hingga hangus. Koper besar berisi uang 50 miliar yang disimpannya di bawah kolong tempat tidur juga ikut terbakar hingga hangus.
Kabul dan istrinya tidak tahu bahwa rumahnya terbakar karena memang ada tim sukses lain dari kubu lawan yang membakarnya. Pertarungan politik memang kadang sangat kejam. n-e

Kandang Roda, 2018
*) Siti Siamah., menetap di Bogor. Menulis cerpen, novel, puisi, esai, opini dan peneliti di Global Data Reform.

Yang Mereda

Cerpen Niken Kinanti (Lampung Post, 21 Januari 2018)
Yang Mereda ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Yang Mereda ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Sebentar lagi ia akan menuju empat puluh tahun. Menuju umur empat puluh, kali ini ia memperlihatkanku sebuah hadiah yang ia rancang sendiri. Ia menghadiahi dirinya sendiri dengan beberapa puisi tentang perjalanan hidupnya. Dalam percakapan kami di beranda, ia berapi-api bahwa buku yang ia tulis sekarang, akan menjadi tonggak puncaknya dalam merentang waktu kepenyairannya.
Saat itu aku membuatkannya secangkir the chamomille, dengan roti bakar yang berselai nanas. Aku selalu ingat kesukaannya mulai dari makanan, minuman, baju, musik favorit maupun buku bacaan. Buku itu masih di tanganku, berisi sampul warna kelabu dan sketsa-sketsa yang saling berselingan di antara kata-kata puitis yang ia sematkan.
“Buku ini isinya apa?” tanyaku kepadanya.
Ia mendekatiku dan membolak-balik bukunya sendiri, “Seperti himpunan dokumentasi perjalananku, kisah kita, dan beberapa cerita.”
“Apa kau yakin sudah menuliskan semuanya? Tentang kita?” tanyaku padanya.
“Ya, tentu. Aku tuliskan semua yang pernah kita lalui di buku ini. Menurutku, cara yang paling bagus menuliskan kisah kita adalah dalam bentuk puisi. Karena puisi banyak bercerita mengenai ruang, waktu, dan peristiwa yang berlalu, tetapi tak ingin kita lupakan. Bukankah kau setuju dengan ideku ini?”
Aku mengernyitkan dahi, “Kau ingat saat kita muda? Kau adalah lelaki yang nakal dan ugal-ugalan.”
Ia terkekeh, “Itu dulu, sayang. Sekarang aku adalah orang yang berbeda, sekarang aku romantis dan kalem.”
Aku membolak-balik buku itu. Dalam beberapa manuskrip sebelumnya yang ia tulis, ia menjelma menjadi remaja yang baru bangun di siang hari. Kata-kata yang ia tuliskan sebelumnya sudah cukup menjelaskan bahwa ia memiliki kehalusan rasa, gejolak darah muda yang membara, deru dan dendam, sentimentalitas yang masih ia pelihara dan beberapa keharuan serta airmata.
“Kau banyak memakai metafora,” kataku membuat pernyataan.
“Metafora inilah yang membuatku menjadi juara,” ungkapnya pelan lalu mencubit hidungku.
“Sudah kukuasai kata-kata yang menceritakan jagad pewayangan dan gemerlapnya Jakarta. Meski orang-orang malah mengkritik puisiku yang nakal dan banyak akal. Padahal sebenarnya puisiku adalah puisi lugu seperti kanak-kanak yang bertingkah menggelikan.”
Aku membuka baris pertama yang ia tulis di halaman dua. Di situ ia menyebut namaku berkali-kali. Kata-kata membuatku kembali pada masa lalu, pada awal kami saling jatuh cinta. Betapa menyenangkan saat-saat itu karena cinta datang dengan keberanian yang sungguh-sungguh dan geliat yang mesra. Ia melamar dan menikahiku dengan janji suci yang satu, yang tak akan terbilang dua. Rupanya begitulah caranya memberikan penghormatan dan persembahan kepadaku, sebagai yang pertama.
“Karena perempuan ibarat buku yang bisa ditulis di halaman pertama,” tambahnya ketika melihatku terpaku lama oleh tulisannya.
Kubaca lagi tulisannya mengenai perjumpaan kami di sebuah tempat, kafe di tengah kota. Ia memesan teh chammomille dan aku memesan jeruk hangat saat hari menuju senja. Ingatan itu kembali datang. Disela suara rintik hujan, ia memperkenalkan diri dan berjanji akan menemuiku lagi. Rupanya hari itu adalah tonggak kami berdua membina rumah tangga. Selebihnya, tersemai kisah dan kasih keluarga.
Hari berlalu dan pernikahan kami bukanlah untung rugi. Sebab jejak dan keceriaan anak-anak yang mengisi ruang-ruang kamar dan sering menggema itulah energi tak terperi dari perjalanan cinta. Kami tak pernah ingin beranjak meski nantinya akan melewati setengah abad. Kami selalu ingin bertemu dan saling menatap, menjadi puisi-puisi yang terus abadi.
“Apalah artinya sebuah nama, apalah artinya sebuah angka.” ucapku padanya.
Ia tersenyum padaku, “Angka itu hitungan, misalkan saja jumlah pelukanku padamu.”
Aku bernapas panjang, mengambil jeda. Ia selalu saja hadir dengan hati yang terbuka padaku, di tengah Jakarta yang macet dan sesak. Ia hadir dan mencipta cerita setiap hari. Ia berjanji akan selalu melangkah bersama untuk menapaki sisa hidup kami. Ia menggenggam tanganku untuk bisa melompat bersama setiap harinya. Betapa syahdunya.
“Buku ini membuatku terperangkap dalam kenangan,” katanya cepat. “Tapi menjadi terperangkap dalam kata-kata adalah hal-hal yang menyenangkan sekaligus menjadi siksa. Aku tak ingin menyesali perjalanan kita. Justru kita perlu merayakan, bukan malah ditangisi, disesali atau bahkan dimaki.”
“Apakah kau terperangkap karena berumah tangga?” tanyaku menyelidik.
“Bukan. Justru rumah membuatku kembali dan ingin menghuni di sana selamanya. Kalau aku pergi, aku tak akan meninggalkanmu. Kalau aku pulang, aku akan dengan senang hari rebahan di dalamnya.”
Aku tersenyum melihat ia yang tertawa riang. Meski ia kadang berbicara dengan penuh kerewelan, tapi setidaknya ia adalah kawan dan suami yang membuatku bahagia. Rambutnya yang mulai memutih, rupanya tetap bisa membuatnya dimabuk cinta. Seolah semua tempat seperti tanah, ubin, aspal, tangga, dan meja adalah nostalgia merajut cinta.
“Ini adalah kado yang sempurna,” kataku. “Ini kado yang kau maksudkan untuk mengucap terima kasih, tapi dengan bahasa yang sederhana.”
Ia tersenyum dengan lesung pipit, “Apa yang bisa diberikan seorang penyair kepada kekasih, kecuali kado berupa puisi?”
“Puisi yang menceritakan Jakarta yang kumuh? Yang setiap hari macet? Yang selalu penuh oleh para pencari kerja?”
“Tak selamanya seperti itu. Kita hidup di sini mungkin sampai mati. Lihat Ciliwung. Lihat sampan kayu di kali itu. Lihat ondel-ondel di sana. Terlalu banyak tempat yang tak bisa kita datangi.”
“Apakah kau akan tetap mengajakku berkeliling Jakarta?”
“Ya, tentu. Jakarta tetap berada di tempatnya, dan kita tak akan kemana-mana.” Ucapnya yakin.
Ia memegang tanganku. Ia menatap penuh dengan sorot matanya yang tajam. Pada saat itu kurasa waktu telah terhenti di tempat kami. Seperti tak ada suara dari air mancur di taman belakang, tak ada suara derit bangku yang sering mengganggu, dan tak ada cicit burung di dahan mangga. Waktu seperti terhenti. Viola! Ia adalah penulis yang baik sekaligus pemuja yang ulung. Aku tak ingat berapa banyak bualan yang ia lontarkan dari kata-kata yang ia tuliskan. Mungkin benar ia adalah manusia yang tercipta lihai memainkan kata yang romantis dan dramatis. Kata-kata yang bermunculan dari pikirannya, ia semaikan ke dalam buku-buku yang sudah terjual beratus ribu.
Cinta menemukan jalannya sendiri tanpa kami berkomunikasi lewat gawai dan teknologi. Tak perlu melalui pesan dan jaringan sinyal seperti yang orang-orang sering lakukan. Hal-hal tak wajar yang ternyata kami jauhi dari percintaan urban sekarang ini. Kami lebih sering menyampaikan rindu dengan bahasa langsung. Suara dan wajah kami tak pernah bisa menggantikan digdayanya aplikasi.
Buku yang sebentar lagi akan ia luncurkan di taman utama ibu kota berisi kesaksian jujurnya dalam mencintai dan mengayomiku. Ia menuntunku mengembara, melancong dan mengisi sisa usia. Ia menerjemahkan umur sebagai angka yang mewakili peristiwa. Dan bersamaku, ia ingin menuju destinasi yang bahkan tak tertera di peta. Ia ingin membawaku bersamanya menuju semua tujuan yang tak mungkin dipikirkan manusia.
Aku memandangi buku itu ketika perasaan gamang menggelayut seperti mendung yang tiba-tiba datang. Aku didera perasaan bosan yang menyeruak, lekat, dan dalam. Sepertinya sekarang aku lelah dan mungkin saja aku perlu menyiapkan jalur lain yang kutandai di peta. Aku hanya ingin hidup damai tanpa bualan kata-kata. Aku ingin mengakhiri kata-kata dengan kehadiran cawan dan piring di rumah yang lainnya. Sungguh, aku ingin terbang dan lari dari kata-kata yang sudah ia tuliskan, hingga hidupku mereda.

Si Belly

Oleh Suwanda (Lampung Post, 21 Januari 2018)
Si Belly ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post
Si Belly ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
“Uhuk… Uhukkk…” Belly ter-batuk-batuk.
Belly adalah sepeda mini berwarna merah muda bergambar Hello Kitty dengan keranjang kecil berwarna putih yang berhias pita merah muda. Di setang sebelah kanan menempel bel berwarna emas dan di ujung kedua setangnya terdapat rumbai-rumbai berwarna merah muda.
“Uhhh… Banyak sekali debu di sini.” Belly menggerutu sambil membersihkan debu di tubuhnya. Belly melihat sekelilingnya. Penuh barang-barang. Tiba-tiba Belly menangis sesenggukan. Ia takut berada di tempat yang gelap. Apalagi, di tempat itu tidak ada yang dikenalnya.
“Huuu… Kenapa aku ada di sini? Tempat ini kotor sekali,” isak Belly.
“Hei, kamu siapa?” tanya sebuah monitor komputer.
“Boleh kami kenalan denganmu?” sebuah lemari menambahi.
“Aku ada di mana?” Belly masih sesenggukan.
“Kamu ada di gudang, tempat barang-barang tak terpakai,” jawab monitor komputer.
“Iya, Kenalkan, namaku Alma. Ini Moni dan Memei,” Almari itu mengenalkan diri sambil menunjuk kedua temannya.
“Tenanglah. Kamu di sini tidak sendirian kok. Ada kami yang siap membantumu.”
“Iya. Kamu jangan sedih. Walau tempat ini kotor, kita bisa bermain bersama,” Memei, si meja yang kakinya tinggal tiga ikut menyapa dengan riang.
“Terima kasih. Namaku Belly,” tangis Belly mulai mereda.
“Kenapa kamu bisa di sini? Ini kan gudang?” tanya Memei.
Belly lalu bercerita. Kemarin Ane dibelikan sepeda baru oleh Papa dan Mamanya. Menurut papa Ane, sepeda itu lebih bagus dari diriku dan model terbaru. Padahal Belly merasa dia lebih bagus daripada sepeda baru itu.
“Tenanglah, Bel. Memang tugas kita membantu manusia. Dulu kami juga membantu keluarga Ane. Ketika mereka membeli yang baru lalu menyimpan kami di sini. Awalnya kami merasa sedih. Kami merasa tak berguna lagi. Tapi lama-lama kami sadar. Tidak mungkin selamanya kami akan bersama mereka,” Moni menjelaskan panjang lebar. Belly hanya mengangguk. Tapi sebenarnya, Belly masih sangat sedih sekali.
Sudah lima hari Belly berada di gudang. Teman-teman barunya selalu berusaha menghibur dan mengajaknya bermain. Tapi ia masih enggan untuk ikut bermain. Ia masih sedih. Ia ingin sekali Ane mengendarainya pergi ke taman.
Kreeekkkkk…. Pintu gudang terbuka. Sesosok wajah menyembul dari balik pintu. Itu Ane, gumam Belly. Mau apa dia datang ke sini, Belly bertanya-tanya dalam hati.
Ane menghampiri Belly. Lalu mengelus-elus Belly sejenak. Ane membawa Belly keluar dari gudang. Menuju pohoh mangga yang tumbuh rindang di halaman samping. Di sana sudah ada ember hitam berisi air dan sikat kecil yang biasa digunakan Ane untuk membersihkan Belly.
Hore! Ane ternyata masih sayang padaku, teriak Belly dalam hati. Ane membersihkan debu yang menempel di tubuh Belly. Kemudian mencucinya hingga terlihat bersih dan mengilap.
“Hai, Kak Ane!” sapa Andrena, sepupu Ane. Andrena mengamati Belly.
“Wah… Sepedanya keren, Kak. Boleh aku mencobanya?” tanya Andrena penuh harap.
“Tentu saja boleh,” jawab Ane dengan ramah.
Andrena mengitari pohon mangga dengan mengendarai Belly.
“Andrena! Ayo kita pergi sekarang,” teriak Ane sambil mengendarai sepeda barunya.
“Ayo! Siapa takut,” jawab Andrena penuh semangat. Mereka mengendarai sepeda beriringan. Andrena mengendarai Belly, dan Ane mengendarai sepeda barunya.
Belly sedih, ia tidak suka kalau Ane memberinya pada Andrena. Andrena kan anak yang ceroboh. Ia tidak perhatian dengan barang-barang yang dimilikinya, Belly menangis sesenggukan.
Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah papan. Halamannya ditumbuhi bunga berwarna-warni yang indah sekali. Seorang anak kecil bergegas menyambut mereka.
“Hei, Elsie. Apa kabar?” sapa Ane ketika memasuki halaman rumah itu.
“Hei, Kak Ane. Baik-baik saja. Ayo masuk,” jawab Elsie dengan riang. Ia sedikit terkejut melihat kedatangan Ane dan Andrena.
Mereka bertiga begitu asyik mengobrol di dalam rumah. Tapi, tak lama kemudian mereka keluar dan berjalan mendekati Belly.
“Sepeda ini untukmu, Elsie,” ucap Ane sambil mengelus-elus Belly. Gadis cilik itu hanya diam. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Terima kasih, kak Ane. Kakak baik sekali padaku,” Elsie membuka suara. Ia mengelus-elus Belly sambil mengusap air matanya dengan jarinya. Seketika Elsie memeluk Ane dengan erat.
“Sepeda ini pasti sangat bermanfaat untukmu, Elsie. Aku yakin, kau tidak akan terlambat lagi datang ke sekolah. Dan mulai sekarang, kau bisa berkeliling kompleks menjajakan kue buatan ibumu dengan sepeda ini.”
“Iya, Kak Ane. Sepeda ini akan aku rawat dengan baik,” kata Elsie. Belly sangat terharu mendengar ucapan Elsie. Belly berjanji akan membantu Elsie. Kini Belly bahagia, karena sudah menemukan teman baru yang baik hati.