Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Banyak yang mengeluh tentang kondisinya. Mereka ingin segera bangkit dan
meraih sukses. Namun ada sebuah "penyakit" yang menjadikan mereka
kesulitan meraih sukses.
Penyakit itu adalah suka menyalahkan orang lain bukan dirinya.
Dia menuduh orang lain, kondisi, atau apa pun selain dirinya. Jika
menghadapi kesulitan dan kekecewaan, dia melih memilih mencari kambang
hitam, bukan bertanya apa kesalahan dia.
Jika Anda ingin sukses, langkah pertama adalah melihat diri Anda.
Seperti yang dikatakan oleh mbahnya pengembangan diri Napolleon Hill:
"Tidak ada orang yang memiliki sebuah peluang untuk menikmati sukses
permanen sampai dia mulai melihat ke cermin untuk mengetahui penyebab
sebenarnya semua kesalahannya." ~ Napoleon Hill
Jadi, penyebab semua kondisi Anda adalah ... lihat di cermin. Orang itu.
Kegagalan saya, penyebabnya adalah saya.
Kegagalan Anda, penyebabnya adalah Anda.
Jika Anda masih suka menyalahkan orang lain, suka protes, suka komplain, dan sebagainya, akan sangat sulit meraih sukses.
Dia menambahkan:
The most successful men and women on earth have had to correct certain
weak spots in their personalities before they began to succeed. ~
Napoleon Hill
Yang artinya kira-kira: orang-orang yang paling sukses di bumi sudah
memperbaiki titik kelemahan tertentu dalam kepribadiannya sebelum dia
memulai sukses.
Ya, kepribadian yang tidak menyenangkan misalnya. Bahkan saat Anda dalam
posisi benar, akan merusak keberhasilannya. Mungkin orang lain berbuat
salah, namun saat kita menyikapi dengan salah, maka kita juga sama
melakukan sebuah kesalahan.
Berapa harga yang harus dibayar demi sebuah cita-cita? (hlm. 7)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Selalu menyenangkan bersama sosok yang familier. (hlm. 31)
Membuat kue memang bikin senang, ya? Menghilangkan stress. (hlm. 81)
Terkadang mungkin memang kita harus bekerja sampai busuk dulu untuk mencapai sesuatu. (hlm. 109)
Mengenang masa lalu selalu menyenangkan. (hlm. 132)
Kalau berhasil bikin wanita tertawa, berarti kamu berhasil membuat dia menyukaimu. (hlm. 161)
Semua hal selalu berakhir baik-baik saja. Kalau belum baik, berarti itu belum akhirnya. (hlm. 166)
Selalu kerjakan segala sesuatu sampai tuntas. (hlm. 167)
Semua kerjaan, semenyenangkan apa pun, pasti ada satu titik akan melelahkan. (hlm. 201)
Apa pun dan siapa pun yang berjodoh selalu bisa menemukan jalan menuju satu sama lain. (hlm. 217)
Belajar bisa dari banyak orang. (hlm. 227)
Kita semua punya peran dan kita boleh memilih. (hlm. 266)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Politik adalah tempat kepentingan yang berbeda-beda diakomodir.
Seperti memiliki satu pizza yang hendak dimakan banyak orang.
Potongan-potongannya dibagikan ke sana-sini. (hlm. 10)
Menciptakan perubahan jauh lebih mudah dilakukan buka ketika kita punya uang, melainkan ketika kita punya kekuatan. (hlm. 17)
Nggak semua hal itu hitam dan putih lah. (hlm. 26)
Kalau sudah kacau lebih baik dikacaukan sekalian. (hlm. 89)
Perempuan kan bukan aksesori. Tapi kadang mereka sendiri sih yang membuat seolah-olah perempuan itu cuma aksesori. (hlm. 105)
Gue lagi pusing mikirin Negara nih, lo masih aja mikirin ketoprak. (hlm. 121)
Dasar manusia, semakin dilarang semakin ingin dilakukan. (hlm. 135)
Katanya, orang yang jatuh cinta dan patah hati suka melakukan hal-hal yang tidak waras. (hlm. 150)
Kita bisa mencapai apa yang kita mau tanpa kehilangan integritas, tapi butuh usaha yang lebih keras. (hlm. 180)
Wajar kalau mengeluh. Kita manusia kan memang begitu. (hlm. 181)
Kalau memilih benar-benar bisa membuat perubahan, mereka nggak akan membolehkan kita melakukannya. (hlm. 197)
Oleh Teguh Afandi (Koran Tempo, 21-22 Oktober 2017) Lengking Burung Kasuari iustrasi Gramedia Pustaka Utama
Novel ini diperbincangkan setelah menjadi naskah unggulan Sayembara
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 dan masuk lima besar Kusala Sastra
Khatulistiwa 2017. Kombinasi bergengsi dalam khazanah sastra Indonesia.
Apalagi bila menengok nama Nunuk Y. Kusmiana yang terbilang baru sebagai
penulis sastra.
Kekuatan terbesar novel ini adalah penggunaan latar lokasi yang
memikat. Nunuk mengungkapkan kenangan masa kecilnya ketika mengikuti
orang tuanya pindah tugas ke Papua, setahun setelah Operasi Trikora.
Kala itu, situasi politik dan ekonomi di sana belum stabil. Ayahnya
termasuk kelompok tentara yang pertama dikirim ke Papua setelah Presiden
Sukarno mencanangkan Trikora.
Nunuk membuka kisah melalui bocah kecil bernama Kinasih Andarwati
alias Asih dengan sebuah misteri bernama tukang potong kep. Dia adalah
seorang lelaki yang membawa parang serta kerap memotong kepala anak-anak
dan disimpan di karung. Konon, kepala itu akan digunakan sebagai
fondasi jembatan. Sejenis dongeng yang diciptakan untuk menakut-nakuti
bocah, membuatnya menuruti perkataan orang tua.
Asih membawa kita menengok Papua dan persinggungan budaya antara
pendatang dan penduduk lokal. Termasuk bagaimana dia berkawan akrab
dengan bocah seusianya bernama Sendy. Sendy adalah teman pertamanya di
Papua. Asih menganggap penting untuk menjadi teman sepadan baginya.
Melalui kacamata anak-anak, Nunuk membuka kenangan masa kecilnya dan
bagaimana perkembangan sosial Papua. Dari Asih dan Sendy yang memanen
buah karsen di kandang babi hingga kemudian bertemu dengan peliharaan
Sendy, si burung kasuari. Juga gambaran Tante Tamb, tetangga di depan
rumah Asih, yang kerap memanfaatkan kepolosan bocah itu. Tante Tamb
sering mengendap-endap untuk mencuri bumbu dapur, minyak tanah, dan es
batu dari rumah keluarga Asih.
Keluarga Asih telah membawa budaya baru yang berdampak besar terhadap
budaya di sekitar perumahan mereka. Ibu Asih membuka toko kelontong,
berbisnis minyak tanah, dan juga menjual es batu. Kekurangannya, Nunuk
tidak menjabarkan lebih detail apa dampak budaya yang dimaksud.
Pengaruh keluarga Asih terhadap lingkungan sekitar sejatinya adalah
sekadar gambaran mikro dari proses Jawanisasi di Papua. Contoh yang
cukup kentara ialah perihal dongeng tukang potong kep yang bersumber
dari cerita tanah Jawa. Secara tidak langsung, penulis ingin
menyampaikan bahwa budaya Jawa soal tumbal kepala anak-anak yang kerap
muncul di tengah pembangunan jembatan juga menyebar ke Pulau Papua.
Siapa lagi pembawanya, selain para tentara atau perantau dari Jawa.
Salah satunya tentu keluarga Asih.
Nunuk memang tidak sedang menulis novel yang mengeksplorasi budaya Papua. Lengking Burung Kasuari hanya meminjam lokasi Papua. Ia lebih banyak menarasikan kenangan masa kecil di Papua. Sebelum Nunuk, kita lebih dulu mengenal Seri Kenangan
milik N.H. Dini yang jauh lebih kompleks dan komplet dalam mendedah
kenangan masa kecil penulisnya. Dini tidak lupa menyinggung pergerakan
sosial di sekelilingnya, yang menjadikan novel kenangan sejenis ini
tidak hanya rentetan kisah masa kecil.
Sepanjang novel, masih banyak pertanyaan yang belum tuntas dijawab
Nunuk. Selain tidak hadirnya rasa Papua, Nunuk melupakan bagaimana nasib
tukang potong kep yang disajikan di awal. Sosok misterius ini hanya
disinggung di beberapa halaman awal, kemudian pembaca digiring ke
fragmen-fragmen geli, lucu, dan manis masa kecil Asih. Dan baru dibuka
kembali menjelang kepindahan keluarga Asih. Itu pun dengan beberapa
baris saja.
Nunuk terlena menggali kenangan tanpa berusaha setia pada alur yang
disajikan kepada pembaca. Papua yang dikisahkan dari kacamata Asih juga
masih kurang kuat. Kita hanya meraba-raba Papua kala itu sedang giat
membangun jembatan, mengaspal jalan, dan memasukkan benda-benda modern,
termasuk kulkas, ke pelosok Papua. Lengking Burung Kasuari menjadi naskah unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 bersama tiga naskah lainnya, yakni Tanah Surga Merah, Curriculumvitae, dan 24 Jam Bersama Gaspar. Adapun juara pertamanya adalah novel Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeovien-nazabrizkie.
Kantor berita Antara menyebutkan, dewan juri sayembara yang terdiri
atas Bramantio, Seno Gumira Ajidarma, dan Zen Hae memutuskan tidak ada
pemenang kedua dan ketiga. Alasannya, ada perbedaan mutu yang tajam
antara pemenang pertama dan 316 naskah lain yang berkompetisi.
Cerpen Budi Afandi (Suara NTB, 30 September 2017) Badut Sugul ilustrasi Suara NTB
Sugul mengayunkan bilah bambu di tangan kanannya sambil memaki
anak-anak yang asik bermain layang-layang. Tiap kali ia memaki, tiap
kali itu pula anak-anak menimpalinya dengan tawa dan cemooh. Seorang
anak mengacungkan cermin ke arah Sugul, cermin yang memantulkan cahaya
siang ke tubuh Sugul. Pantulan cahaya itu bergerak tak beraturan, kadang
terlihat di dada, sebentar pindah ke kaki, sebentar pindah ke wajah
Sugul.
“SETAN-setan cebol!” Sugul memekik seraya tangannya bergerak
serampangan seperti berusaha menahan pantulan cahaya yang menyasar
tubuhnya.
“Ayo kemari badut!” teriak seorang anak.
Mendengar tantangan itu Sugul segera mengambil ancang-ancang. Kakinya
membentuk kuda-kuda laiknya petarung yang siap menerjang lawan. Melihat
hal itu, anak-anak yang tadinya tampak gembira langsung diam, mereka
saling pandang. Pada detik itu Sugul sudah benar-benar siap mengambil
langkah pertama, namun sebuah pantulan cahaya singgah tepat di wajahnya.
Dan seketika itu pula Sugul memutar tubuhnya, berlari menuju pintu
rumah. Ia membanting pintu, menguncinya dan hanya bisa mendengar pekik
kemenangan anak-anak di tanah lapang di depan rumahnya.
***
Sugul lahir di keluarga badut pesta. Pekerjaan yang kerap membuatnya
turut bergembira bersama anak-anak yang dihibur ayah dan kakaknya.
Pekerjaan yang membuatnya begitu menyukai dunia anak-anak. Tapi sekarang
Sugul seakan tidak menyukai anak-anak, terutama anak-anak yang saban
hari bermain layang-layang di dekat rumahnya. Tiap melihat mereka, Sugul
langsung kehilangan kendali seperti sapi yang baru menyadari hendak
disembelih. Ia tidak suka melihat anak-anak bermain layang-layang, dan
ketidaksukaannya menjelma menjadi amarah saat anak-anak menolak berhenti
bermain layang-layang.
Layang-layang selalu mengingatkan Sugul pada wajah Demok, kakak
perempuannya yang meninggal dalam kecelakaan sepeda motor dua belas
tahun lalu. Saat itu ayahnya dan Demok sedang dalam perjalanan ke kota
untuk membeli keperluan bekerja. Dalam perjalanan itu, seutas benang
dari layang-layang yang putus melintang di tengah jalan dan mengenai
leher ayahnya yang sedang melaju. Entah kerena terkejut, ayahnya
kehilangan kendali atas sepeda motornya sehingga terjadilah kecelakaan.
Ayahnya memang selamat, tapi Demok meninggal dengan kepala pecah
terlindas truk.
Sugul akan melakukan apapun untuk mengusir anak-anak yang bermain
layang-layang di dekat rumahnya. Ia pernah mengancam mereka dengan bilah
bambu, pernah juga melempari mereka dengan kerikil.
Sugul membenci layang-layang, benci pula pada anak-anak yang tak mau
berhenti bermain layang-layang. Tapi kebencian itu tidak mampu
mengalahkan rasa takutnya pada cermin.
***
“Ayo kita cari tempat makan lainnya,” kata Sugul kepada Ratimah, wanita yang telah membuatnya jatuh hati.
Untuk kesekian kalinya Sugul mengajak Ratimah berpindah rumah makan
saat mereka baru tiba dan duduk di sebuah rumah makan. Hal itu membuat
Ratimah kesal, terlebih ketika Sugul akhirnya memilih membeli nasi
bungkus dan mengajaknya makan di taman.
“Takut kok pada cermin,” kata Ratimah.
“Bukan takut,” timpal Sugul. “Tak suka saja.”
“Tetap saja aneh.”
“Yang aneh itu rumah makan yang repot-repot memasang cermin,” timpal Sugul.
“Itu biasa.”
“Buatmu,” ucap Sugul.
“Kenapa?”
Sugul menatap Ratimah. Ia menarik napas panjang sebelum merebahkan badan di rerumputan dan memejamkan mata.
***
Siang itu Sugul hanya bisa duduk di kursi dengan tangan kanan yang
terus memegang bilah bambu. Kepalanya menunduk. Ia menatap jari-jari
kakinya. Tetiba ia merasa begitu membenci Ratimah.
Suara tawa dan cemooh anak-anak masih terdengar memadati udara di
sekitarnya. Bayangan layang-layang mulai muncul dalam kepalanya,
layang-layang itu menggelantung bersama wajah Demok.
Sugul menarik napas panjang, meletakkan bambu di samping kursi,
berdiri dan berjalan menuju gudang. Tawa anak-anak masih terdengar saat
Sugul membuka pintu gudang, pun begitu saat hidungnya menangkap aroma
debu dan benda-benda lapuk.
Perlahan Sugul menatap benda-benda yang diselimuti kain usang. Ia teringat saat ayahnya mulai menurunkan cermin-cermin di rumah.
“Di sana ada kakak,” Sugul menunjuk-nunjuk cermin kecil di atas meja sambil mendekap ayahnya.
“Di sana juga ada kakak,” Sugul menunjuk cermin besar di tembok kamar.
“Di sana juga,” Sugul membenamkan wajahnya semakin dalam seraya mengacung-acungkan tangan kirinya ke berbagai arah.
“Iya,” timpal ayahnya.
“Kalau itu kakakmu,” lanjutnya, “Kenapa kau takut?”
“Itu kakak,” ucap Sugul tersengal, “Aku ingat baju itu.”
“Iya,” sambut ayahnya. “Kakakmu sedang apa di sana?” kata ayahnya dengan nada bercanda.
Sugul menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah mendekati sebuah benda
besar yang diselubungi kain cokelat yang dipenuhi lapisan debu. Tubuh
Sugul bergetar saat tangan kanannya bergerak meraih kain cokelat itu.
Sesaat tangannya berhenti ketika sudah begitu dekat dengan kain cokelat
yang membungkus benda itu.
Sugul memejamkan mata. Suara anak-anak kembali terdengar. Bayangan
wajah anak-anak yang tertawa girang langsung berbaur dengan bayangkan
wajah Demok yang menggelantung di setiap layang-layang.
Sugul membuka mata, menarik napas panjang kemudian menarik kain yang menyelubungi benda besar yang adalah sebuah cermin.
“Dalam cermin-cermin itu, kakak sedang merias wajahnya,” ucap Sugul pada ayahnya ketika itu.
Sugul menghempaskan badannya ke dinding. Matanya memerah menatap
sosok dalam cermin di depannya. Perempuan dengan rambut hitam legam
terurai. Perempuan yang sedang menghadap ke sebuah cermin besar.
Perempuan itu sedang merias wajahnya. Dari cermin di depan perempuan
itu, Sugul bisa melihat perempuan itu membuat titik-titik merah di bawah
kedua matanya. Lalu membuat garis melengkung ke bawah di kedua sisi
bibirnya, bibir sedih di wajah seorang badut. Dan begitu bibir sedih itu
sempurna, seulas senyum bersembunyi di dalamnya.
Sugul menegakkan tubuhnya, mendekatkan tangan kanannya ke permukaan
cermin. Saat jari tangan kanannya menyentuh permukaan cermin, perempuan
dalam cermin juga sedang menyentuh permukaan cermin di depannya, tepat
di mana wajah Sugul terlihat. Seketika itu juga Sugul dapat merasakan
jari-jari tangan perempuan itu. Perempuan dengan wajah badut menangis.
Perempuan yang mengenakan baju badut yang biasanya dikenakan Demok.
Perempuan yang kini mengoleskan bedak tebal di wajah Sugul sambil terus
mengatakan, “anak-anak itu sudah menunggumu.” Dan Sugul tahu, suara itu bukanlah suara kakaknya.
Mataram-Jakarta, 2013-2017
Budi Afandi lahir di Dusun Bilatepung, Desa Beleka, Lombok Barat, 20 Juni 1983. Kumpulan cerpennya adalah Badja Matya Mantra (2013) dan Kebaikan Istri (2017).
Cerpen Made Adnyana Ole (Kompas, 22 Oktober 2017) Lelaki Garam ilustrasi Meuz Prast/Kompas
Pada saat bersamaan ketika lelaki itu mengibaskan ujung kerah kemeja
di sisi bahu yang basah oleh keringat, Jenawi tanpa sadar menjulurkan
sedikit ujung lidah untuk melontarkan biji jambu yang tertinggal di
mulut sehabis meneguk jus campur buah lokal. Tepat saat itulah lidahnya
mencecap rasa asin yang menggetarkan hati, asin yang dirindukannya sejak
bertahun-tahun lalu.
Ia merasakan angin aneh berembus dari tubuh lelaki itu, angin dengan
kandungan uap garam yang basah. Uap itu mungkin meruap dari keringat
yang terbang ketika ujung kerah kemeja lelaki itu dikibaskan. Mereka
sama-sama berdiri di tepi danau, di pinggiran acara Festival Wisata Air
yang digelar Dinas Pariwisata. Jadi, tak mungkin ada embusan uap garam
dari danau, kecuali dari tubuh lelaki dengan kejanggalan yang menyiksa:
keringat berlebih di udara sejuk sekali pun.
Jenawi serasa mabuk. Dan dengan dorongan sensasi asin ia dekati
lelaki itu, lelaki yang melamun sendiri di bibir danau, di antara
tonggak bambu tempat nelayan mengikat jukung kayu. Begitu dekat, Jenawi
ingin meraih tengkuk lelaki itu seperti mengetuk tengkuk seorang teman
yang kebetulan ditemukan di tempat asing. Tapi berdebarlah jantung
Jenawi saat tak terduga lelaki itu berbalik. Lelaki itu merentangkan
kedua tangan dengan tingkah hendak menangkap tubuh Jenawi. Dan seperti
sihir, tubuh Jenawi meluncur lalu terjerembab tepat di antara dua
rentang tangan lelaki itu. Tubuh Jenawi tertangkap, lelaki itu
menangkapnya.
Mereka berpelukan. Tepat di atas bahu lelaki itu, mulut Jenawi tak
henti menyembulkan ujung lidah, menikmati uap asin yang seperti meletus
dari setiap pori tubuh lelaki yang memeluknya, lelaki yang dipeluknya.
Saat pelukan merenggang, Jenawi sempat melirik dan melihat lelaki itu
juga menjulurkan lidah, seperti mencecap sesuatu, mencecap dengan penuh
perasaan, kadang dengan mata yang pejam.
Begitulah awal bertemunya Jenawi, sebulan lalu, dengan Ripah, lelaki
itu. Jenawi datang ke festival diundang selaku pengusaha restoran. Ripah
datang selaku pengusaha hotel. Keramaian mempertemukan mereka, tapi
pertemuan itu ia rasa seperti pertemuan gaib antara mimpi dan kenyataan.
Ia pikir, pertemuan itu layak bagi seorang perempuan lajang meski
usianya hampir 35 tahun. Ripah mungkin lebih tua lima tahun. Jika boleh
berkhayal, ia ingin pertemuan itu bagai pertemuan sepasang burung yang
tak perlu saling kenal tapi kemudian bercumbu dengan bebas di hutan
senyap.
Sebulan lewat, Jenawi merasa seperti burung. Burung perindu,
bernyanyi selalu, memanggil pasangan yang entah di mana. Sungguh bukan
Ripah dan pelukan itu yang dirindukannya. Tapi asin itu. Asin dengan
satu rasa nan sama dengan asin yang pernah ia nikmati di masa kanak.
Asin uap garam itu, dulu, selalu meruap dari tubuh lelaki berotot liat
berkulit hangus yang ia panggil ayah. Lelaki itu penjual garam. Datang
setiap Rabu ke desanya, ke Desa Uli, sebuah desa tani di lereng Bukit
Bedugul. Lelaki itu selalu ditunggu, tentu karena dia satu-satunya
penjaja garam ke desa itu. Lebih-lebih bagi warga Desa Uli, garam
sematalah bahan makanan yang harus mereka beli. Semua bahan lain diambil
cuma-cuma dari alam desa yang raya.
Jenawi satu-satunya anak desa yang menunggu penjaja garam itu dengan
getar harap di setiap Rabu. Selalu di setiap Rabu pagi, ia keluar rumah,
memandang lurus ke ujung jalan setapak. Ia tak pernah kecewa, lelaki
itu menyembul dari tikungan di bawah rimbun sukun dan semak di
kiri-kanan. Suara langkahnya jelas, karena beban berat di bahu
menyebabkan kedua kakinya menginjak daun kering yang terserak di jalan
dengan tekanan yang cukup keras.
“Ayah datang!”
Jenawi menyambutnya dengan lengking girang kanak-kanak. Lelaki itu
mempercepat langkah sehingga dua keranjang berisi garam yang sedang
dipanggul dengan sepotong bambu di pundak berayun seakan hendak jatuh.
Keranjang itu tak jatuh. Tali ijuk terlalu kuat menggantungnya dan
sangat erat mengikat di kedua ujung bambu. Kalau pun akhirnya keranjang
itu dilepaskan ke tanah, tentu karena lelaki itu menurunkannya dengan
sengaja, agar kedua tangannya leluasa merangkul tubuh mungil Jenawi.
Jenawi lalu menggeliat di dada lelaki itu, sambil selalu menjulurkan
lidah, mencecap uap garam yang meletus di setiap pori tubuh lelaki yang
selalu tampak hangus terbakar itu.
Selalu sebelum keliling menjajakan garam, lelaki itu jeda di rumah
Jenawi. Usai keliling, saat sore sebelum gelap, lelaki itu datang lagi,
bercanda dengan Jenawi, dan tidur bersama ibunya setelah sore berubah
gelap. Lelaki itu menginap hingga Sabtu dan pergi di Minggu pagi. Rabu
pagi berikutnya ia datang lagi. Selalu begitu. Dan Jenawi tak pernah
hirau siapa sesungguhnya lelaki itu.
“Dia bukan suami ibu. Tapi panggil saja dia ayah!” kata ibunya suatu
pagi. Jenawi tak peduli, tapi ia mengangguk. Sama tak pedulinya ia
ketika sejumlah orang desa mengejeknya dengan cerita-cerita sok tahu.
“Kau anak malang, Jenawi. Lahir tanpa ayah, tapi dipelihara tukang garam, bukan ayah, tapi sebenarnya ayah!”
Jenawi berkali dengar cerita itu. Ibunya menjalin asmara dengan
penjual garam lalu hamil. Ibunya menolak menikah. Jenawi tetap lahir.
Ibunya diusir dari rumah keluarga. Dibantu lelaki penjual garam, ibunya
mendirikan rumah kecil di atas tegalan agak tinggi, sehingga dari rumah
itu akan tampak dengan indah lekuk sungai dan tera sawah di lembah
pedesaan. Bagi Jenawi, rumahnya adalah tempat paling indah. Apalagi
terdapat pohon asam yang rajin berbuah di halaman. Ia biasa naik dan
duduk di atas cabang besar. Dari atas cabang ia tak hanya bisa melihat
liku sungai dan sawah berundak di bawah, tapi juga laut dan sebuah
tanjung luas di tempat yang jauh di selatan.
“Di situlah rumah Ayah, Jenawi. Di kaki pulau itu!” kata lelaki itu
suatu sore ketika mereka duduk di cabang asam yang tinggi. Tangan lelaki
itu menunjuk sebuah tanjung, daratan yang tampak kelabu, menjorok ke
laut di ujung selatan Pulau Bali. “Di tepi tanjung itu, di atas pasir
putih, Ayah membuat garam dari air laut yang bening!”
“Kapan Ayah mengajak Jenawi ke sana?”
“Ayah ingin sekali mengajakmu tinggal di sana, tentu bersama ibumu.
Tapi ibumu menolak. Katanya ia lebih bahagia di desa ini, di rumah ini,”
jawab lelaki itu.
Wajah lelaki itu seketika memerah dan keringatnya melimpah. Keringat
berlebih memang selalu terbit di tubuhnya jika lelaki itu bicara soal
perasaan, mungkin rasa cinta dan sedih yang saling bertabrakan di
hatinya. Seperti biasa pada saat seperti itu Jenawi akan menyembulkan
lidah lalu mencecap asin dari uap keringat tubuh lelaki itu. Jenawi
memetik buah asam matang, dikupas segera, lalu daging asam lunak
dilumurkan ke wajah lelaki itu. Lelaki itu akan mengeluarkan lidah dan
berupaya menjilat lumuran asam di sekitar bibir dengan mata terpejam.
Lelaki itu menyukai asam, tentu saja. Di Minggu pagi, lelaki itu selalu
mengisi keranjangnya dengan buah asam untuk dibawa pulang ke tanjung
selatan, ke rumahnya, tempat ia bertani garam.
Jenawi ingat, pada Minggu yang dini, lelaki itu menjejali kedua
keranjangnya dengan buah asam matang. Dan ketika hendak beranjak pergi
di pagi hari, ia didatangi kepala desa. Mereka bicara agak lama, tapi
intinya lelaki itu diusir.
“Di desa ini akan dibangun pasar modern yang menyediakan semua
kebutuhan warga. Jadi, sesuai kesepakatan kami dengan investor, penjual
barang apa pun, termasuk garam, tak diizinkan masuk desa ini, apalagi ke
rumah-rumah,” kata kepala desa.
Lelaki itu mengangguk lalu bersiap pergi. Sebelum meninggalkan
halaman rumah, lelaki itu memeluk Jenawi. “Ayah tetap akan datang, bukan
untuk jual garam, tapi untuk menemui Jenawi dan ibumu!” ujarnya.
Namun lelaki itu tak pernah datang. Jenawi terus menunggu sambil
menyaksikan Desa Uli berubah. Jalan diperlebar, jembatan dibangun,
lalu-lalang orang entah dari mana lewat setiap saat di desa itu. Toko
modern berjejaring dibangun di setiap sudut tikungan. Kemudian ada hotel
dan rumah makan. Kebutuhan warga berubah. Yang harus dibeli bukan lagi
semata garam, tapi berbagai barang yang tak mereka perlukan.
Jenawi dan ibunya tak mau tertinggal. Rumah dengan pohon asam di
halaman disulap jadi warung dengan menu masakan lokal. Awalnya Jenawi
hanya membantu, namun setamat kuliah pariwisata ia mengelola warung
secara penuh. Statusnya ia tingkatkan jadi restoran. Ia memimpin ritual
memasak dan melayani pelanggan yang tak pernah sepi, siang dan malam.
Menu restoran itu tak terlalu enak. Jenawi tahu. Pelanggan datang
sebenarnya hanya terpesona alam di sekitar restoran, terutama pohon asam
yang makin besar dan kokoh di halaman. Apalagi saat malam, dari pohon
asam itu akan tampak pemandangan jutaan lampu seperti kunang-kunang di
sebuah tanjung di kejauhan, di ujung selatan Pulau Bali.
“Di sanalah rumah ayah saya, di sela lampu-lampu di tanjung itu. Dulu
tanjung itu gelap, kini telah benderang,” kata Jenawi jika melihat
pelanggan duduk di bawah pohon asam sambil memandang jauh ke selatan.
Jika restoran sudah tutup, Jenawi pun lebih sering duduk di bawah pohon
asam, kadang hingga tengah malam, sambil memandang tanjung kelap-kelip
di kejauhan. Dengan begitu ia telah merawat rindunya pada uap asin dari
tubuh lelaki yang ia panggil ayah, tentu rasa asin yang menggetarkan
hati, yang tak pernah ia dapatkan dari garam di pasar mana pun yang
pernah dibelinya untuk menu restoran.
Kini asin seperti itu didapat dari tubuh Ripah. Setiap duduk di bawah
pohon asam, ia ingat lelaki penjual garam sekaligus ingat Ripah dan
ingin menemuinya sekali lagi, dua kali lagi, atau seterusnya, bukan
hanya di tepi danau, tapi di sebuah tempat yang amat sunyi, sehingga ia
bisa melumat seluruh asin di tubuh lelaki itu. Dan suatu malam,
kerinduannya tak bisa ditahan. Ia menelepon Ripah.
“Bisakah kita bertemu di tepi danau itu lagi?” sergah Jenawi saat
hubungan telepon tersambung, bahkan sebelum Ripah sempat mengucap salam.
“Tentu saja. Datanglah malam ini juga!” jawab Ripah.
Jenawi tak tahu, saat ia menelepon, Ripah sudah berdiri di tepi
danau, di tempat mereka dulu berpelukan. Sejak bertemu Jenawi, lelaki
itu hampir setiap hari berdiri di tempat itu, kadang dari pagi hingga
tengah malam. Selain menemu sejuk karena belakangan tubuhnya selalu
berkeringat secara berlebih, ia juga ingin menyingkir dari hiruk-pikuk
perusahaan. Sudah sejak lama ia kerja tanpa henti, tepatnya sejak ia
memelihara dendam dan ambisi untuk jadi pengusaha kaya, melebihi
kekayaan pengusaha asing yang terus berebut membangun hotel di kawasan
tanjung selatan tempat ia lahir.
Tiga istrinya secara bergiliran menelepon. Penduduk tepi danau
menganggap ia tak waras, karena selalu tampak menjulurkan lidah, seolah
ingin mencecap sesuatu. Padahal ia memang ingin mencecap sisa uap asam
yang meruap dari tubuh Jenawi saat ia peluk di tempat itu sebulan lalu.
Ia rindu asam tubuh Jenawi, seperti juga ia rindu pada asam yang ia
cecap dari embus keringat ayahnya, dulu, di setiap Minggu sore, pada
setiap ayahnya baru datang dari menjajakan garam di desa pegunungan.
Ripah tak bisa lupa bagaimana ia kehilangan ayah sekaligus kehilangan
uap asam itu. Pada Minggu sore, sejumlah laki-laki mendatangi ibunya di
ladang garam. Perawakan mereka tegap seperti tentara, namun dari apa
yang dibicarakan kentara sekali mereka calo tanah.Mereka sudah
berkali-kali datang. Tujuannya sama, memaksa ayah dan ibunya melepaskan
ladang garam untuk dibeli konglomerat dari Jakarta. Ladang garam yang
diapit laut dan bukit landai itu hendak disulap jadi hotel paling mewah
di Bali.
Ayahnya datang tepat ketika seorang dari sejumlah laki-laki itu
membentak ibunya. Ripah tak akan pernah lupa, saat itu ayahnya datang
dari menjajakan garam dengan wajah sangat sedih sambil memanggul dua
keranjang penuh buah asam. Ayahnya kalap dan langsung mengamuk. Ia
menerjang dan mengayunkan keranjang ke tubuh laki-laki yang membentak
ibunya. Lalu terdengar ledakan. Ayahnya rebah. Darah dan buah asam
berserakan di atas ladang garam.
MADE ADNYANA OLE, lahir di Tabanan, kini tinggal di Singaraja, Bali utara. Menulis cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya Padi Dumadi (2007) dan kumpulan puisinya Dongeng dari Utara (2014). Dua cerpennya masing-masing terdapat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan 2016.
Cerpen Majenis Panggar Besi (Media Indonesia, 22 Oktober 2017) Bulan yang Menelan Kekasihku ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Seperti telah diceritakan dalam kisah yang lebih panjang, tentang
sebuah bangku kereta yang selalu kosong, meski ada dalam catatan
manifest kereta bahwa kursi itu tiketnya telah terbeli oleh sepasang
suami istri. Pasangan yang sama, dari hari ke hari dari tahun ke tahun
selalu tercatat sebagai penumpang kereta tersebut dengan nomor gerbong
dan kursi yang sama. Tapi bila engkau mendatangi kursi tersebut, engkau
hanya akan mendapatkan kursi kosong. Gerbong enam, dengan nomor kursi
dua puluh tiga.
Kisah tentang bangku kosong itu jauh dari kesan mistis, karena sudah
seperti tradisi turun-temurun, dalam delapan puluh enam tahun terakhir
ini pasangan-pasangan muda yang dilanda mabuk asmara akan berebut untuk
menempati kursi kosong tersebut. Konon, pasangan yang duduk di kursi
tersebut cintanya akan abadi, sementara yang lajang akan bertemu
jodohnya di kursi sebelahnya seiring berputarnya roda kereta. Kursi yang
dalam catatan manifest kereta selalu terdaftar atas nama yang sama.
***
Senja mulai berjatuhan pada pucuk-pucuk pinus di luar jendela sana.
Aku merapatkan kardigan, secara impulsif saja sebenarnya. Sebab udara
dalam ruangan ini tidak dingin sama sekali. Aku tengah duduk di kursi
penumpang sebuah kereta ekonomi yang sedang tidak berjalan.
Dan aku tidak benar-benar tahu, apa penyebab tertahannya kereta api
Sritanjung tujuan Yogyakarta-Banyuwangi ini. Mungkin kres—istilah orang
Banyuwangi untuk menyebut tertahannya kereta yang berilang dengan kereta
lain. Atau mungkin seperti jawaban seorang ayah kepada anaknya yang
berumur empat tahunan, bahwa ban keretanya sedang kempes.
Stasiun Mrawan, stasiun kereta api yang terletak di antara dua buah
terowongan kereta api yang digali menembus tubuh Gunung Gumitir. Ingin
rasanya menjadi muda kembali, lalu menikmati senja sambil duduk di badan
rel kereta api, menunggu kereta yang dari arah berlawanan, kemudian
berlari menuju pintu terdekat kereta, berebut dan berdesakan dengan
penumpang lain, karena takut tertinggal kereta. Sayangnya aku sudah
terlalu tua, sangat terlalu tua untuk itu. Aku hanya mampu membayangkan
hal-hal yang demikian.
Ada banyak hal yang akan selalu tak terjangkau oleh tangan kita. Sama
seperti kereta Sritanjung ini, yang setia dengan kelas ekonomi. Tak
peduli berapa banyak uang dalam dompetmu, satu-satunya kereta api yang
menghubungkan Yogyakarta secara langsung dengan Banyuwangi ya hanya
Sritanjung. Kereta ini telah sama legendarisnya dengan namanya, sebab
seperti telah diceritakan pada kisah yang lebih tua, Sritanjung adalah
bagian tak terpisahkan dari sejarah masyarakat Blambangan.
***
Stasiun Lempuyangan, pagi hari. Kamis kemarin adik keduaku lahir
dengan selamat, anak perempuan pertama dalam keluarga kecil kami. Akhir
pekan ini aku pulang untuk menengoknya. Peluit panjang tanda kereta
berangkat telah berbunyi. Saat segenap pikiranku tercurah pada kegiatan
memasukan bagasi pada tempat yang telah disediakan, seseorang menginjak
kakiku yang bersepatu kanvas dengan sepatunya yang ber-hak tinggi
lancip. Nyeri pada ibu jari kakiku membuat aku harus terpejam sebentar.
“Maaf, Mas. Gak sengaja.”
Kutolehkan kepalaku pada arah suara, saat itulah aku merasa tersengat
lebah. Ketika melihat ekspresi wajahnya yang bimbang antara ingin
tersenyum dan khawatir sebab merasa bersalah. Waktu seolah terheti,
hingga tak berarti lagi masa lalu dan masa depan, yang ada hanyalah
detik ini saat aku menatap di kedalaman bening matanya. Tergagap aku
menjawab, “Gak apa-apa, memang kakiku yang menghadang lajur jalan.”
“Bengkak ya kakinya?”
“Biarlah, lagipula sepatu ini kebesaran. Bengkaknya akan membuat ukurannya jadi pas.”
Di titik inilah aku percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan cinta untuk
kita, hanya masalah waktu, bahkan tanpa kita sadari bahwa ia menanti
kita di sepanjang umurnya. Kubaui wangi tubuhnya yang dihantar angin
kepadaku, wangi yang selalu kucium semasa kanak dulu. Tak diragukan
lagi.
Angin yang sama berbelok dan menggebah pohon besar di luar jendela
sana, pohon dengan seribu dahan dan seribu daun di setiap rantingnya,
hingga bunga-bunganya yang kuning mungil menghujani gerbong kereta.
Perlahan, pohon dengan seribu dahan itu menjauh, kemudian lenyap dari
pandangan. Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku
terjaga. Puri lelap pada salah satu bahuku. Gerak itu rasanya selalu
sama sejak aku kecil: terdiri dari tujuh ketukan dan pada hitungan
keempat jatuh hentakan terkuat, berasal dari gerus roda di bawah kursiku
dengan sambungan rel. Dan goncangan pada gerbong yang membuat bahuku
berayun kanan-kiri, juga gemerutuk gelas pada meja dan sendok logam pada
piring aluminium, serta ngilu menahan kencing, bau mulut yang lama
mengatup adalah rasa yang abadi setiap perjalanan [1]. Dan aku percaya,
bahwa cinta pada pandangan pertama itu bukanlah mitos belaka.
“Puri.”
“Hmmm…”
“Pernah baca Louise MacNeice?”
“Aku baru dengar namanya darimu.”
“Aku hafal beberapa syairnya malah.”
“Bacakan satu untukku.”
“September telah tiba, bulannya. Yang semangat hidupnya melonjak di
musim gugur, yang lebih menyukai pepohonan tanpa daun serta perapian
yang menyala. Maka kupersembahkan bulan ini dan berikutnya. Walau
seluruh bulan dalam tahunku mestinya sudah jadi miliknya yang telah
mendatangkan begitu banyak hari-hari yang tak tertahankan dan
membingungkan, namun sekaligus begitu lebih banyak kebahagiaan. Yang
telah meninggalkan suatu aroma dalam hidupku. Menari berulang-ulang
dengan bayang-bayangnya. Yang uraian rambutnya membebat semua air
terjunku. Yang meninggalkan kenangan akan kecupan-kecupan yang tak
terlupakan di segenap penjuru kota London.” [2]
Dan sepanjang jalur kereta Yogyakarta-Banyuwangi kala itu penuh oleh kenangan akan kecupan-kecupan yang tak terlupakan.
***
“Samuel Kristianson Hartono, saya serahkan buah hati kami, Puri
Victoria Tarko yang akan mendampingi hidupmu baik dalam suka maupun
duka. Sayangilah dia, cintailah dia, dengan segenap hati dan pikiran,
sama seperti kamu menyanyangi kedua orang tuamu. Kasihilah dia sama
seperti Tuhan Yesus telah mengasihi kamu,” kata Papa.
Setelah menjalani ibadah, tiba saatnya kami mengucapkan janji
pernikahan. Kami pun berdiri menuju depan altar. Dengan didampingi
Pendeta dan majelis gereja, aku dan Puri bergantian mengucapkan janji
pernikahan.
“Apakah saudara-saudara siap menjalankan pernikahan dalam iman Kristen?” tanya Pendeta.
“Kami bersedia,” jawab kami bersamaan.
“Saudara Samuel Kristianson Hartono, di hadapan petugas negara,
perkawinan kalian sudah dicatat dan sah di muka hukum,” kata Pendeta.
“Saya Samuel Kristianson Hartono, saya berjanji kepadamu, Puri
Victoria Tarko, akan menikahimu dan menyayangimu sekarang sampai
selama-lamanya sebagai istri satu-satunya. Saya siap mengasihimu seperti
Tuhan Yesus mengasihi saya. Saya akan setia dan menghormatimu sebagai
pendampingku,” ucapku sambil terbata-bata.
“Saya Puri Victoria Tarko, berjanji di hadapan Tuhan dan saudara
seiman, saya menerima Samuel Kristianson Hartono sebagai suami
satu-satunya mulai saat ini hingga selamanya,” timpal Puri.
“Apa yang telah disatukan Tuhan, tidak bisa diceraikan oleh manusia.
Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” Tegas Pendeta yang berarti telah
mengesahkan pernikahan kami.
***
Tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang rindu yang tak terungkap.
Tak ada yang lebih pedih dibanding cinta satu malam. Pernikahan yang
hanya berusia satu malam. Bahkan kami belum sempat menikmati malam
pengantin ketika gawai Sam berdering, memecah keheningan kamar
pengantin. Memutuskan ciuman panjang yang aku dan Sam rekatkan kepada
bibir yang lain.
“Hand phone sialan!”
Mimik wajah Sam agak memucat ketika obrolan dimulai, aku memeluknya dari belakang, “Ada apa, Sam?”
Sam merapatkan telunjuk pada bibir sebagai jawaban. Lalu perlahan
melepaskan pelukanku, berjalan menuju pintu, membukanya, melangkah
keluar dan mengayunkan pintu menutup yang diikuti bunyi cklik. Itulah
terakhir kali aku menghirup aroma tubuh suamiku. 14 Mei 1998, aku masih
ingat betul tanggalnya. Dan sekarang, aku telah demikian dekat dengan
kematian. Duduk menikmati senja, yang dihadirkan sebuah jendela kereta.
Malam itu hadir kepadaku melalui mimpi-mimpi. Aku tetap pengantin tak
terjamah, menunggu suami yang raib kepada entah.
Di mana kamu, Sam? Empat puluh sembilan tahun bukanlah waktu yang
sedikit untuk sebuah penantian dan pencarian. Mimpi yang selalu
berulang, di mana aku melihatmu menatapku di balik jendela kereta api
yang melaju pelan menjauhiku, bibirmu berusaha menyampaikan sesuatu,
tapi kereta telah menjadi lebih laju sebelum sempat kucerna gerak
bibirmu.
Usiaku telah habis dimakan penantian, satu demi satu ubanku lerai ke
tanah. Hari ini hari ulang tahun ke empat puluh sembilan pernikahan
kita, aku setia menunggumu di gerbong kereta Sritanjung yang
mempertemukan kita ini. Karena aku percaya, kau tak akan mengecewakanku.
Tak peduli dalam keadaan hidup dan mati, kau akan selalu menepati
janji.
“Suatu saat nanti, bila kau merindukanku, tunggulah aku di gerbong
kereta ini. Aku akan datang, tak peduli sebagai manusia ataupun setan.”
Senja telah berganti malam. Kereta belum juga berjalan. Aku merasakan
dingin yang tak ada hubungannya dengan cuaca. Dari kaca jendela
terpantul cahaya stasiun kecil itu, aku tak bisa ingat lagi berapa kali
aku melewati stasiun ini, sama seperti aku tak bisa lagi mengingat
berapa pincuk [3] pecel Garahan yang telah aku pindahkan ke dalam perutku dalam empat puluh sembilan tahun pencarian-penantianku.
Kututup jendela kereta yang terbuka, berderit. Keras. Jendela ini
agak macet. Tapi gerakan fisik sekecil itu pun ternyata sudah terlalu
berat untukku, secara naluri aku meraih sandaran bangku dan duduk
perlahan. Kepalaku agak limbung dan rasanya mau pingsan. Lalu seketika,
rasa sakit itu mencengkeram dadaku seperti tusukan besi panas.
Aku memejam menahan rasa sakit, kubuka mulutku untuk menjeritkan rasa
sakit ini, tapi sepertinya suaraku tak pernah benar-benar keluar dari
mulutku. Aku merasa keberadaanku kini telah menyusut menjadi segumpal
rasa sakit ini saja, panas yang menelanku sepenuhnya. Sayup-sayup aku
mendengar suaramu, Sam. Lalu dengan mengendap-endap, muncullah bebauan
dan suara lain.
Aroma angin yang bertiup saat pertama kali kita bertemu di gerbong
kereta ini, saat aku tak sengaja menginjak kakimu. Sebuah pohon dengan
seribu dahan, dengan seribu ranting pada tiap dahan dan seribu daun pada
tiap rantingnya. Kenangan yang tak akan pernah hilang. Aku membuka
mata, rasa sakit sudah lenyap. Di luar sana, matahari telah benar-benar
ditelan malam. Tidak apa, tidak penting.
Dia datang. Menjemputku.
Sam, ia ada di sana.
Payakumbuh, 2017
[1] Ayu Utami, dalam Larung.
[2] Salah satu sajak Louise McNeice, dalam Autumn Journal.
[3] Pincuk adalah tempat makan pengganti piring yang dibuat dari daun
pisang yang dilipat dengan cara tertentu dan direkatkan dengan tusukan
lidi.
Cerpen Dahlia Rasyad (Jawa Pos, 22 Oktober 2017) Ular Sawit ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosSEBELAS orang turun dari mobil pick-up mendekati bivak-bivak terpal di dalam kebun itu. Salah seorang, yang berbaju kaus pemain golf, memimpin kawanan.
“Pokoknya kami tidak mau tahu. Kalian harus angkat kaki sekarang juga dari kebun ini!”
Ia menyergah dengan ayunan tangan, mendelik pada Sang Tumenggung [1]
sembari menyuruh sepuluh centengnya untuk bergerak. Mereka
menyibak-sibakkan bara tungku dengan kaki, mencabut kayu-kayu palang
yang terikat di terpal sudung [2], dan membongkar papan yang
menjadi alasnya. Orang-orang rimba itu tahu, saat pokok-pokok sawit
sudah mulai masak, orang-orang itu akan datang untuk mengusir.
“Silakan saja panen, kami tak akan mengganggu.”
“Kalian pikir kami tidak tahu. Kalian tahu betul kapan harus tegak sudung di
sini. Kalian ini macam kucing jantan yang mengencingi lahan orang lalu
mengklaim milik kalian. Pindah sana ke areal yang sudah tidak produktif
lagi!”
Si Tumenggung hanya diam dengan kekhawatiran yang dalam. Anak-anak rimba dan orang tuanya menyingkir melihat sudung-sudung mereka
dibongkar. Setelah asap yang menelan nyawa, mereka kini harus memikul
beban kelaparan setiap hari. Seakan malas berdebat dengan Orang Rimba
yang selalu berdalihkan lapar dan nenek moyang, para kacung itu menumpuk
kayu-kayu sudung mereka di tepi jalan.
“Ke mana kami harus pindah?”
“Ke sana, ke areal yang sudah mati,” tunjuk si asisten ke arah utara.
Sudah kerap terjadi, di tahun-tahun lalu saat tandan-tandan sawit dipanen dan sudung-sudung mereka tepat di bawah pokoknya, tandan-tandan itu menimpa sudung hingga
mereka menuntut ganti rugi, mengancam para tukang petik yang tak jarang
berakhir dengan acungan parang. Dapatlah ditebak, kalau bukan cari duit
untuk makan.
Seakan tak pernah terjadi apa-apa, mereka pindah ke kebun yang masih
produktif untuk mencari riba bala. Jangankan hanya pindah, tusuk-menusuk
dan teluh-meneluh pun mereka lakukan demi sebatang jernang [3].
Setiap rombong memang punya wilayah jelajah dan wilayah berburu
sendiri. Walau tak ada hukum tertulis yang mengatur itu, pembagian
wilayah jelajah tercipta berdasarkan kesepakatan adat antar tiap
kelompok yang dipimpin masing-masing Tumenggung. Batas-batas wilayah
jelajah mereka tandai dengan batas-batas alam, semisal sungai, rawa, dan
pohon-pohon sialang, yang mana pohon-pohon itu mereka lukai kulitnya
untuk membuat tanda. Dan, bagi siapa yang melanggar akan dikenakan
denda.
Sejak hutan dibakar habis lalu muncul bibit-bibit sawit di seluruh
lahan, mereka sudah tak tahu lagi harus ke mana. Mengambil wilayah
jelajah di pedalaman hutan yang masih lebat sudah tak mungkin.
Orang-orang rimba lainnya yang masih sangat bersetia dengan adat tak mau
lagi berbagi wilayah berburu. Selain memang sudah sempit, mereka yang
di kebun dan yang menerima bantuan rumah permanen dianggap sudah
menentukan pilihan. Mereka tak lagi memegang adat Anak Dalam secara
penuh.
Namun jiwa mereka untuk berburu masih bergejolak sehingga banyak yang
memilih terus hidup berpindah-pindah di areal kebun. Meski kelaparan
karena tak ada lagi binatang buruan, mereka rela mengemis di
kedai-kedai, memunguti makanan sisa yang tak habis dimakan orang.
Tak ada yang bisa dijelaskan kenapa mereka tak mengambil rumah
bantuan dan hidup layak dengan ladang dan ternak. Berburu dan
berpindah-pindah adalah kebahagiaan mereka, jiwa mereka. Hanya saja,
terkadang bila tikus dan ular yang bersembunyi di balik tumpukan pelepah
sawit sudah tak ada, terpikirkan untuk menerima saja ladang dan rumah
itu.
“Baiklah, kami pindah.”
Mereka digiring ke lahan yang sudah tidak produktif lagi di sebelah
utara kebun. Tak lama kemudian tiba-tiba salah satu centeng bernama
Hamid pamit untuk buang air besar. Ia berbalik ke belakang untuk mencari
tempat semak. Dan setelah rombongan jauh di depan, centeng asal Muaro
Bungo itu tak juga muncul.
“Sul, ke mana Hamid tadi? Kau carilah dia dan cepat balik sini,” suruh si asisten pemantau kepala centeng.
Orang yang disuruh ke arah Hamid tadi pergi. Tapi hingga nyaris magrib, Hamid belum kembali.
Rombong-rombong Orang Rimba sudah jauh ke utara, berduyun-duyun membawa kayu terpal sudung mereka
sekitar dua kilometer jaraknya dari areal semula. Si asisten menyuruh
semua anak buahnya berpencar mencari Hamid, meninggalkan giringan yang
telah jauh berjalan.
Namun, sampai hari ketiga Hamid belum juga ketemu. Si asisten
pemantau terpaksa mengajak seluruh rombong Orang Rimba untuk mencari.
Dengan iming-iming upah, semua anak, lelaki dan para Tumenggung ikut
turun ke kebun menelusuri pohon-pohon sawit yang mati dan yang masih
hidup. Bagi siapa yang menemukan Hamid akan diberi uang. Sambil
menelusuri mereka mengais-kais pelepah busuk yang biasa menjadi lubang
dekam ular-ular, kalau-kalau binatang buruan yang kini menjadi
satu-satunya makanan bergizi mereka itu bisa didapat.
Berbekal kayu, bambu, parang, dan ketapel, mereka mencari ke segala
arah, memijakkan kaki penuh di atas tumpukan pelepah dan tanah, membabas
belukar-belukar yang meninggi sambil meneriakkan nama si orang hilang.
Namun sampai jauh mereka menyusur tak juga terdengar sahutan, jejak
pakaiannya pun tak ada.
Banyak yang menyangka kalau Hamid mungkin tak sengaja mendatangi sudung seorang
gadis di pedalaman hutan, lalu karena tak minta izin pada
Tumenggung-nya ia dikenakan sanksi dikurung di wilayah jelajah. Tapi itu
lebih kecil kemungkinannya karena pedalaman hutan tempat di mana
sebagian Orang Rimba masih kuat memegang adat sangatlah jauh dan
berliku, tak mungkin ditempuh dengan kendaraan. Ada juga yang menyangka
kalau ia telah kena gendam dan terbengkalai di sudut entah. Namun tak
satu pun yang benar.
Setelah obrolan tentang buruh-buruh sawit, kilang-kilang pengolahan,
harga per kilogram tandan buah segar dan ton-ton minyak sawit mentah
yang dihasilkan, lenyapnya Hamid menjadi hal yang terus dipertanyakan.
Di pasar, di ladang, di kedai-kedai dan sudung-sudung debuan.
Sampai hari ketujuh tanda tanya itu akhirnya terjawab tatkala seorang
anak dari Rombong Kuyot memekik sepanjang larinya dari sebuah pohon
sawit yang sudah lama rebah di pinggir areal.
Terkesiap Datuk Rottuy mendengar pengakuannya!
“Di… di sana Datuk… di batas pohon jati pinggir kebun.”
Bocah delapan tahun yang masih telanjang bulat itu menuntun. Bersama
sang datuk dan si asisten ia menuju ke pinggir tengah areal sebelah
barat. Diikuti beberapa lelaki rimba dari beberapa rombong di dekat sana
mereka pun berkumpul di sebuah kawasan sawit yang telah tumbang. Sebuah
rawa berlumpur serupa gorong-gorong terbentuk dari lubang-lubang bekas
sawit yang tercerabut. Tanah tepiannya bergambut dengan air yang sangat
pekat dan berminyak. Ada sebuah batang sawit besar yang rebah dengan
pesona lapuknya ditumbuhi daun-daun paku. Di balik batang itulah seekor
ular sebesar tengkuk unta mendengkur dengan perutnya yang kembung!
“Astaga… As-Su’ala.” [4]
Orang sepuh itu sama sekali tak mengira kalau di kebun itu ada
binatang buas yang bisa mengancam. Dari hasil penerawangannya ia hanya
melihat kalajengking dan orang-orang bersafari yang meninjau
wilayah-wilayah berhutan.
“Ular jadi-jadian maksud, Datuk?” tanya si asisten.
“Bisa jadi. Dilihat dari gemuknya ular ini.”
“Lalu bagaimana mengusirnya?”
“Aku coba, tapi setelah kupastikan dulu apa benar ular ini jelmaan dukun hitam atau bukan. Kalau bukan, kita bagi-bagikan saja.”
Titisan dukun sakti yang konon pernah ada di kelompok besar suku
rimba itu memang menjadi andalan banyak rombong Anak Dalam. Ia masih
juga kerap didatangi orang-orang di bagian luar kebun, bahkan
orang-orang desa bersuku lain yang ingin beroleh kemustajaban dari
ilmunya, atau berguru kekuatan gaib dan sahir-sahir sakti lainnya. Salah
satunya adalah Cikay, bujang tanggung dari Rombong Tariq yang kini tak
tahu di mana rimbanya.
Sejak mendalami ilmu menghilang dan berubah wujud tiga tahun silam,
ia tak pernah terlihat lagi di areal dan hutan dalam. Juga tak terdengar
rumor di desa-desa pinggiran tentang ulah rusuh seorang sakti, bahkan
Datuk Rottuy sendiri tak bisa menerawang lagi keberadaannya.
“Kemungkinan ia telah melanggar pantangan untuk tidak menjahati sesama Orang Rimba dengan maling buruannya,” begitu sangkanya.
Ular yang diyakininya jelmaan dukun itu persis ular mitos Suja’ul Aqra. Laiknya burung phoenix dan
naga, mata ular itu memancarkan nyala api meski tanpa tangan dan kuku
besi, tiada pula membawa alat pemukul yang berat sekali. Ular yang konon
bertugas menenggak umat yang tak pernah salat itu mampu melumat puluhan
manusia dalam sekali telan hingga tubuh mereka hancur serupa daging
giling!
Tapi, ah, itu sama sekali bukan ular mitos ataupun jelmaan jin. Itu ular betulan…
“Hanya induk tedung yang kanibal,” ujarnya.
Tibalah pesta daging itu. Segenap rombong berdatangan membawa wadah
plastik dan daun jati untuk menerima irisan daging ular juara. Seperti
rezeki dari langit, ular itu tak pernah diduga mendekam di dalam sana
sudah lama. Selama ini mereka hanya menemukan ular-ular welang anakan
dan indukan yang kecil bantat. Tikus sawit pun sudah tak banyak lagi,
sementara lubang-lubang sawit tak ada yang terlewatkan, habis
dikais-kais. Sudah karuan apa yang akan mereka lakukan dengan ular sanca
itu. Daging putihnya yang empuk akan diiris-iris untuk dijadikan
santapan.
Namun Datuk Rottuy meminta bagian kepalanya untuk ia jadikan jimat.
Setelah satu abad lebih tak melihat binatang-binatang buas yang besar
akhirnya ia mendapat tengkorak ular!
Dengan satu tebasan kepala ular itu putus. Datuk Rottuy segera
membungkusnya dengan kain sarung yang didapatnya dari sumbangan orang
kampung. Setelah menepikan ia lalu mulai membelah.
Terbelalaklah semua. Isi perut itu ternyata tubuh Hamid!
Mata liar orang-orang yang kelaparan sedikit bergetar meski tanpa
kedip melihat sebongkah tubuh membengkak biru yang masih berselimut
celana baju itu. Kepala Hamid tertutup lendir keputihan yang sangat
kental. Seperti bubur sagu.
“Astaga…”
Si asisten muntah. Mayat Hamid yang masih utuh itu mereka usung dengan keranda untuk dibawa ke rumah duka.
“Kalau masih ada yang mau daging ini, tetap akan kita iris.”
“Iya, Datuk. Kami masih mau.”
Jangankan ular yang memamah apa saja, tikus busuk dan cicak hutan pun mereka telan untuk menyumpal perut yang lapar.
Setelah habis membagi-bagikan tubuh ular itu, Datuk Rottuy lalu
membawa pulang buntalan kepala ular. Sudah dipikirkan apa yang akan ia
lakukan untuk membuat jimat. Ia akan merebusnya agar dagingnya terlepas
dan air rebusan ia minum dengan jampi-jampi leluhur. Setelah tengkorak
kering lalu akan digantungkan di leher sebagai kalung yang menangkal
segala gangguan jahat dari mana pun.
Namun, ketika sampai di sudung, saat buntalan sarung dibuka,
alangkah terkejutnya ia melihat kepala ular itu bukan lagi kepala si
reptil melata, tetapi kepala manusia…
Sungguh, kepala itu masih sangat dikenalinya. Beragam pikiran
melintasi; tentang marwah leluhur, tentang hutan gantungan, tentang masa
depan Anak Dalam. Dengan pandangan redup sembari menutup potongan
kepala ia akhirnya tertunduk. Kesaktiannya kini sudah tak berdaya lagi.
***
Keterangan:
[1] Pemimpin rombong yang terdiri atas anak, cucu, dan menantu-menantu.
[2] Bivak atau pondok dari batang kayu, tanpa dinding ataupun tirai
penutup, hanya terpal sebagai atap. Sudung ada yang berkaki, ada yang
tidak, dengan alas kepingan papan.
[3] Sejenis rotan yang tumbuh di hutan, dan getah buahnya dimanfaatkan sebagai bahan baku pewarna.
[4] Penyihir dari golongan jin.
DAHLIA RASYAD, menulis dua buku fiksi dan kini tinggal di Jogjakarta.
Cernak Rohmah Jimi Sholihah (Suara Merdeka, 22 Oktober 2017) Pengalaman Berharga ilustrasi Suara Merdeka
“Menggambar lagi menggambar lagi,” gerutu Nayla dengan muka masam.
Pelajaran yang sebagian besar anak-anak menyukainya, justru sangat
tidak disukai oleh Nayla. Baginya, menggambar adalah sesuatu yang
membosankan, tidak menarik, dan tidak ada manfaatnya. Berbeda halnya
pelajaran Matematika, IPA, dan IPS. Tentu, karena Nayla selalu mendapat
nilai mendekati sempurna dan terbaik di antara teman-temannya.
Sore ini Nayla kesal. Ia lagi-lagi mendapat tugas menggambar tentang
cita-citanya. Ia ingin menjadi seorang dokter. Selain karena Mama dan
Papanya berprofesi sebagai dokter, beberapa waktu yang lalu ia mendapat
juara dalam ajang pemilihan dokter kecil. Namun, jangankan menggambar
seorang dokter yang tengah memeriksa pasien, menggambar bunga saja peyot
di mana-mana. Nayla selalu jadi bahan ejekan teman-temannya karena
kelemahannya itu.
“Aha….” Nayla kemudian mendapatkan ide cemerlang.
“Ma, Mama bilang semua foto Mama waktu kecil sudah tidak bersisa
karena musibah kebakaran, ya kan?” tanya Nayla mendekati Mama yang
sedang membaca buku.
“Yap betul, terus?” tanya Mama.
“Nay ingin tahu wajah Mama waktu kecil seperti apa, Mama kan pintar menggambar. Mama gambar ya,” pinta Nayla.
“Kebetulan Mama sedang tidak begitu banyak pekerjaan, jadi bolehlah,” jawab Mama.
“Tapi gambarnya Mama pakai seragam dokter ya, seperti pekerjaan Mama sekarang,” jelas Nayla.
“Jadi cita-cita Mama waktu kecil nih?” tanya Mama.
Nayla mengangguk.
“Nay, Nay… Kamu aneh-aneh saja,” ujar Mama tanpa curiga.
Nayla tersenyum riang, ia terpaksa berbohong pada Mama karena jika
jujur pasti Mama akan memaksanya untuk menggambar sendiri. Kini Nayla
tidak lagi khawatir dan memikirkan hari esok, dan saatnya ia tertidur
pulas.
***
Sepanjang malam Nayla memimpikan Ibu Mariana yang memberikan nilai
sempurna pada gambarnya. Teman-temannya pun bertepuk tangan bangga,
hingga Nayla terbangun dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00.
“Aduh Nayla, maafin Mama. Semalam Mama membuatkan gambar yang kamu
minta, Mama kesiangan dan terlambat membangunkanmu,” ucap Mama.
“Nggak apa-apa, Ma,” ujar Nayla sambil meraih handuk dan segera mandi.
Nayla pun hanya punya waktu meminum segelas susu tanpa sarapan. Ia
tidak ingin terlambat di pelajaran Ibu Mariana. Benar saja, lima menit
setelah ia datang, Ibu Mariana sudah menuju kelas.
Ibu Mariana meminta ketua kelas untuk mengumpulkan pekerjaan
menggambar di meja guru. Setelah itu, satu per satu dari anak-anak
dipanggil untuk kemudian menceritakan tentang gambar masing-masing. Ada
yang ingin jadi pilot, guru, masinis, perawat bahkan artis. Kini giliran
Nayla yang maju.
“Teman-teman, kalau aku besar nanti aku ingin jadi dokter. Dokter itu
tugas yang mulia karena membantu orang yang sedang sakit. Ada
macam-macam dokter di rumah sakit, dan Nayla ingin menjadi salah
satunya. Nayla ingin jadi dokter gigi,” ujar Nayla bersemangat.
Namun bukannya tepuk tangan, beberapa temannya justru terlihat
menertawakannya. Padahal, menurut Nayla, tidak ada yang lucu pada
ceritanya.
“Nayla ingin jadi dokter gigi?” tanya Ibu Mariana.
Nayla mengangguk mantap.
“Tapi kenapa Nayla menggambar seperti ini?” tanya Ibu Mariana sambil menunjukkan gambar Nayla yang terpajang di papan tulis.
Tampak di buku gambarnya, seorang anak kecil dengan baju dokter
memegang patung organ dalam manusia, ada jantung, hati, dan paru-paru.
Nayla tersentak kaget.
“Itu bukan punya saya, Bu,” protes Nayla.
“Gambar Nayla kan biasanya jelek, pasti itu yang menggambar orang lain, bukan Nayla,” teriak Ody.
“Huuuu…. Katanya peringkat pertama, juara dokter kecil lagi, tapi kok nggak jujur,” timpal Angga.
Muka Nayla memerah, Ibu Mariana segera mengalihkan perhatian
anak-anak pada tugas berikutnya. Nayla menangis sejadi-jadinya di kantor
guru, ia meminta maaf pada Ibu Mariana dan menjelaskan jika gambar yang
dikumpulkan memang benar bukan hasil karyanya. Karena malu kembali ke
kelas, Nayla akhirnya meminta izin untuk pulang. Mama yang hari ini
bebas tugas kaget melihat Nayla pulang lebih awal dengan wajah pucat.
“Nayla sakit?” tanya Mama.
Nayla menangis dipelukan Mama, ia kemudian menjelaskan apa yang terjadi di sekolah.
“Maaf sayang, Mama tidak bermaksud untuk mempermalukan Nayla. Memang
sekarang Mama berprofesi sebagai dokter gigi, tapi cita-cita Mama sejak
kecil sebetulnya adalah jadi dokter bedah. Makanya Mama menggambar
seperti itu,” ujar Mama.
“Iya, Ma, Nayla yang salah. Nayla minta maaf karena sudah berbohong,” ucap Nayla sambil terisak.
Sambil mengusap rambut panjang Nayla yang tergerai, Mama mengangguk lalu memberinya nasihat.
“Tidak ada orang yang sempurna, Nak, pasti setiap orang punya
kekurangan. Kalaupun Nayla pandai dan dapat peringkat pertama di kelas,
tidak masalah kalau dalam hal menggambar Nayla kurang menguasai,”
nasihat Mama.
Nayla lalu menghapus air matanya. Ia akan melupakan kejadian hari
ini. Meskipun masih malu, ia tetap tersenyum saat bertemu
teman-temannya.
Baginya, kejadian yang sudah berlalu bisa ia jadikan pengalaman berharga yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya. (58)
Cerpen Syahirul Alim Ritonga (Suara Merdeka, 22 Oktober 2017) Surat untuk Presiden ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
“Keluar kau, Kardi!” teriak Wahyu yang kemudian diikuti suara pintu
digedor sepenuh tenaga. Teriakan Wahyu benar-benar merusak ketenangan
pagi itu. “Keluar kau atau kudobrak pintu ini,” ancamnya sembari terus
menggedor.
Sontak keributan yang dibuat Wahyu memanggil warga untuk datang
melihat. Mereka saling berbisik dan menerka, apa gerangan yang
menyebabkan Wahyu kalap pagi-pagi begini. Baru saja dia hendak
mendobrak, pintu terbuka dan muncullah wajah Kardi yang kebingungan
melihat halaman rumahnya mendadak seperti bioskop, penuh warga.
“Ada apa ini, Wahyu?”
Kardi keluar dengan pakaian lengkap hendak berangkat kerja. Burung
merpati yang menjadi lambang perusahaan pos nasional tersemat di
lengannya.
“Ini semua gara-gara kamu dan teman-temanmu, Kar!” Wahyu menunjuk-nunjuk wajah Kardi.
“Lo, tenang dulu, Yu. Jangan emosi. Aja kesusu nuduh orang. La, aku ini salah apa?”
“Sudah tiga minggu aku menulis surat kepada Presiden. Tapi sampai
hari ini belum dibalas. Pasti kalian tidak menyampaikan suratku kan!”
“Lo, kami profesional, Yu. Bahkan kau tahu, aku sudah memastikan suratmu sampai ke tujuan.”
Kardi tak habis pikir, mengapa Wahyu menuduh seperti itu. Akan tetapi
di satu sisi, ia semakin kasihan melihat sahabatnya itu. Bagi Wahyu,
surat kepada Presiden adalah harapan satu-satunya untuk menyelamatkan
tanahnya dari ancaman pembangunan hotel.
Kardi masih ingat betapa kalap temannya itu saat melihat beberapa
pekerja mengukur-ukur luas pekarangannya. Pembangun hotel itu mulai
bekerja tanpa seizin Wahyu, setelah berkali-kali merayu dia menjual
tanah di depan rumah, tetapi tidak juga berhasil.
“Bagaimana mungkin aku menjual tanah di depan rumahku itu, Kar. Kau tahu, itu kenangan terbesar Marni,” ucap Wahyu suatu malam.
Kecintaan Wahyu kepada Marni memang sangat besar. Di pekarangan depan
rumah itulah dulu Marni menanam bunga-bunga indah dan aneka pohon yang
dia rawat dengan telaten. “Marni pernah berkata, bunga dan pohon di
pekarangan itu adalah tempat bermain anak kami kelak,” curhat Wahyu
suatu hari.
Namun, nahas, belum sempat mereka diamanahi buah hati, Marni
meninggal akibat kecelakaan. Wajar bila Wahyu menolak tawaran dari
pengusaha hotel. Saat melihat pekarangan itu, ia selalu teringat kepada
Marni. Mereka sudah melaporkan pembangunan itu ke pihak RT dan RW. Namun
mereka malah menyalahkan Wahyu. Mereka berkata, Wahyu bodoh menolak
tawaran begitu tinggi.
Wahyu juga sudah melaporkan perbuatan pembangun hotel itu ke aparat
keamanan. Ketika itu dikatakan, kasus itu akan segera diproses. Wahyu
akhirnya sadar, kata “memproses” itu sungguh ambigu. Bahkan hingga detik
ini, jika ditanya mengenai perkembangan penanganan kasus itu, aparat
keamanan akan berkata sedang memproses.
Kardi tidak sampai hati melihat Wahyu terduduk lemas di kursi ruang
tunggu kantor aparat keamanan selepas mendengar kabar untuk kali
kesekian bahwa kasus itu sedang diproses.
“Aku tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa, Kar,” ucap Wahyu saat mengatakan niat mengirim surat ke Presiden.
Sore itu, mereka berdua duduk sambil memandangi pekarangan
peninggalan Marni. Ranting pepohonan itu bergerak mengikuti tiupan angin
sore. Sementara di beberapa titik bisa terlihat jelas bekas galian yang
akan dijadikan patok pembangunan.
Kardi masih ingat, saat Wahyu menyerahkan surat itu sambil berkaca-kaca beberapa minggu lalu. “Aku titip harapanku padamu, Kar.”
Tak kuasa hati Kardi menahan air mata. Kedua sahabat itu menangis
sejadi-jadinya. Orang-orang yang lalu lalang pun melihat mereka dengan
tatapan aneh.
Kardi pun memperlakukan surat itu secara spesial. Saat menyortir
surat, dia pisahkan surat Wahyu dari surat-surat lain. Ketika dikirim ke
Ibu Kota, dia minta temannya yang bekerja di sana memastikan surat itu
baik-baik saja dan sampai ke tujuannya: rumah Presiden.
Maka pagi ini, ketika Wahyu dengan emosi menggedor-gedor pintu
rumahnya dan menuduh dia mengkhianati, bukan amarah yang muncul di hati
Kardi. Namun rasa iba. Sudah sedemikian frustrasikah sahabatnya itu
sampai kehilangan akal sehat? Dia merangkul Wahyu sambil mengelus-elus
pundaknya. Maka pecahlah tangis Wahyu pagi itu.
“Mereka sudah membangun tembok di pekaranganku, Kar. Pohon
peninggalan Marni juga sudah mereka tebang,” Wahyu bercerita sambil
terisak-isak.
“Mungkin memang sebaiknya kaujual saja pekarangan itu. Jangan
khawatir, Sahabat, keikhlasan dan perjuanganmu akan diganjar pertemuan
dengan Marni di tempat yang lebih kekal kelak,” ujar Kardi sambil
menggigit bibir, menahan haru.
Sembari sesenggukan, Wahyu mengangguk perlahan.
Sesampai di kantor, kejadian pagi itu masih membayangi Kardi.
Alangkah terkejut dia saat menyortir surat yang datang, ada sebuah
amplop berlambang kepresidenan ditujukan ke alamat Wahyu. Dia girang
bukan kepalang. Namun dia ingin melihat isi surat itu sebelum memberikan
kepada Wahyu. Dia tidak ingin sahabatnya kecewa.
Perlahan dia buka dan baca surat itu. Di surat itu tertulis,
“Ikhlaskan saja. Itu semua demi pembangunan dan peningkatan ekonomi.”
(44)
– Syahirul Alim Ritonga, mahasiswa Teknik Mesin UGM, anggota FLP Yogyakarta.