Daftar Blog Saya

Minggu, 22 Oktober 2017

Cara Meraih Sukses Permanen

Assalamu'alaikum wr wb

Banyak yang mengeluh tentang kondisinya. Mereka ingin segera bangkit dan meraih sukses. Namun ada sebuah "penyakit" yang menjadikan mereka kesulitan meraih sukses.

Penyakit itu adalah suka menyalahkan orang lain bukan dirinya.

Dia menuduh orang lain, kondisi, atau apa pun selain dirinya. Jika menghadapi kesulitan dan kekecewaan, dia melih memilih mencari kambang hitam, bukan bertanya apa kesalahan dia.

Jika Anda ingin sukses, langkah pertama adalah melihat diri Anda. Seperti yang dikatakan oleh mbahnya pengembangan diri Napolleon Hill:

"Tidak ada orang yang memiliki sebuah peluang untuk menikmati sukses permanen sampai dia mulai melihat ke cermin untuk mengetahui penyebab sebenarnya semua kesalahannya." ~ Napoleon Hill

Jadi, penyebab semua kondisi Anda adalah ... lihat di cermin. Orang itu.

Kegagalan saya, penyebabnya adalah saya.
Kegagalan Anda, penyebabnya adalah Anda.

Jika Anda masih suka menyalahkan orang lain, suka protes, suka komplain, dan sebagainya, akan sangat sulit meraih sukses.

Dia menambahkan:

The most successful men and women on earth have had to correct certain weak spots in their personalities before they began to succeed. ~ Napoleon Hill

Yang artinya kira-kira: orang-orang yang paling sukses di bumi sudah memperbaiki titik kelemahan tertentu dalam kepribadiannya sebelum dia memulai sukses.

Ya, kepribadian yang tidak menyenangkan misalnya. Bahkan saat Anda dalam posisi benar, akan merusak keberhasilannya. Mungkin orang lain berbuat salah, namun saat kita menyikapi dengan salah, maka kita juga sama melakukan sebuah kesalahan.

Semoga bermanfaat.

Kutipan Sophismata

Berapa harga yang harus dibayar demi sebuah cita-cita? (hlm. 7)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Selalu menyenangkan bersama sosok yang familier. (hlm. 31)
  2. Membuat kue memang bikin senang, ya? Menghilangkan stress. (hlm. 81)
  3. Terkadang mungkin memang kita harus bekerja sampai busuk dulu untuk mencapai sesuatu. (hlm. 109)
  4. Mengenang masa lalu selalu menyenangkan. (hlm. 132)
  5. Kalau berhasil bikin wanita tertawa, berarti kamu berhasil membuat dia menyukaimu. (hlm. 161)
  6. Semua hal selalu berakhir baik-baik saja. Kalau belum baik, berarti itu belum akhirnya. (hlm. 166)
  7. Selalu kerjakan segala sesuatu sampai tuntas. (hlm. 167)
  8. Semua kerjaan, semenyenangkan apa pun, pasti ada satu titik akan melelahkan. (hlm. 201)
  9. Apa pun dan siapa pun yang berjodoh selalu bisa menemukan jalan menuju satu sama lain. (hlm. 217)
  10. Belajar bisa dari banyak orang. (hlm. 227)
  11. Kita semua punya peran dan kita boleh memilih. (hlm. 266)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Politik adalah tempat kepentingan yang berbeda-beda diakomodir. Seperti memiliki satu pizza yang hendak dimakan banyak orang. Potongan-potongannya dibagikan ke sana-sini. (hlm. 10)
  2. Menciptakan perubahan jauh lebih mudah dilakukan buka ketika kita punya uang, melainkan ketika kita punya kekuatan. (hlm. 17)
  3. Nggak semua hal itu hitam dan putih lah. (hlm. 26)
  4. Kalau sudah kacau lebih baik dikacaukan sekalian. (hlm. 89)
  5. Perempuan kan bukan aksesori. Tapi kadang mereka sendiri sih yang membuat seolah-olah perempuan itu cuma aksesori. (hlm. 105)
  6. Gue lagi pusing mikirin Negara nih, lo masih aja mikirin ketoprak. (hlm. 121)
  7. Dasar manusia, semakin dilarang semakin ingin dilakukan. (hlm. 135)
  8. Katanya, orang yang jatuh cinta dan patah hati suka melakukan hal-hal yang tidak waras. (hlm. 150)
  9. Kita bisa mencapai apa yang kita mau tanpa kehilangan integritas, tapi butuh usaha yang lebih keras. (hlm. 180)
  10. Wajar kalau mengeluh. Kita manusia kan memang begitu. (hlm. 181)
  11. Kalau memilih benar-benar bisa membuat perubahan, mereka nggak akan membolehkan kita melakukannya. (hlm. 197)

Papua dari Mata Bocah


Oleh Teguh Afandi (Koran Tempo, 21-22 Oktober 2017)
Lengking Burung Kasuari iustrasi Gramedia.jpg
Lengking Burung Kasuari iustrasi Gramedia Pustaka Utama
Novel ini diperbincangkan setelah menjadi naskah unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 dan masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Kombinasi bergengsi dalam khazanah sastra Indonesia. Apalagi bila menengok nama Nunuk Y. Kusmiana yang terbilang baru sebagai penulis sastra.
Kekuatan terbesar novel ini adalah penggunaan latar lokasi yang memikat. Nunuk mengungkapkan kenangan masa kecilnya ketika mengikuti orang tuanya pindah tugas ke Papua, setahun setelah Operasi Trikora. Kala itu, situasi politik dan ekonomi di sana belum stabil. Ayahnya termasuk kelompok tentara yang pertama dikirim ke Papua setelah Presiden Sukarno mencanangkan Trikora.
Nunuk membuka kisah melalui bocah kecil bernama Kinasih Andarwati alias Asih dengan sebuah misteri bernama tukang potong kep. Dia adalah seorang lelaki yang membawa parang serta kerap memotong kepala anak-anak dan disimpan di karung. Konon, kepala itu akan digunakan sebagai fondasi jembatan. Sejenis dongeng yang diciptakan untuk menakut-nakuti bocah, membuatnya menuruti perkataan orang tua.
Asih membawa kita menengok Papua dan persinggungan budaya antara pendatang dan penduduk lokal. Termasuk bagaimana dia berkawan akrab dengan bocah seusianya bernama Sendy. Sendy adalah teman pertamanya di Papua. Asih menganggap penting untuk menjadi teman sepadan baginya.
Melalui kacamata anak-anak, Nunuk membuka kenangan masa kecilnya dan bagaimana perkembangan sosial Papua. Dari Asih dan Sendy yang memanen buah karsen di kandang babi hingga kemudian bertemu dengan peliharaan Sendy, si burung kasuari. Juga gambaran Tante Tamb, tetangga di depan rumah Asih, yang kerap memanfaatkan kepolosan bocah itu. Tante Tamb sering mengendap-endap untuk mencuri bumbu dapur, minyak tanah, dan es batu dari rumah keluarga Asih.
Keluarga Asih telah membawa budaya baru yang berdampak besar terhadap budaya di sekitar perumahan mereka. Ibu Asih membuka toko kelontong, berbisnis minyak tanah, dan juga menjual es batu. Kekurangannya, Nunuk tidak menjabarkan lebih detail apa dampak budaya yang dimaksud.
Pengaruh keluarga Asih terhadap lingkungan sekitar sejatinya adalah sekadar gambaran mikro dari proses Jawanisasi di Papua. Contoh yang cukup kentara ialah perihal dongeng tukang potong kep yang bersumber dari cerita tanah Jawa. Secara tidak langsung, penulis ingin menyampaikan bahwa budaya Jawa soal tumbal kepala anak-anak yang kerap muncul di tengah pembangunan jembatan juga menyebar ke Pulau Papua. Siapa lagi pembawanya, selain para tentara atau perantau dari Jawa. Salah satunya tentu keluarga Asih.
Nunuk memang tidak sedang menulis novel yang mengeksplorasi budaya Papua. Lengking Burung Kasuari hanya meminjam lokasi Papua. Ia lebih banyak menarasikan kenangan masa kecil di Papua. Sebelum Nunuk, kita lebih dulu mengenal Seri Kenangan milik N.H. Dini yang jauh lebih kompleks dan komplet dalam mendedah kenangan masa kecil penulisnya. Dini tidak lupa menyinggung pergerakan sosial di sekelilingnya, yang menjadikan novel kenangan sejenis ini tidak hanya rentetan kisah masa kecil.
Sepanjang novel, masih banyak pertanyaan yang belum tuntas dijawab Nunuk. Selain tidak hadirnya rasa Papua, Nunuk melupakan bagaimana nasib tukang potong kep yang disajikan di awal. Sosok misterius ini hanya disinggung di beberapa halaman awal, kemudian pembaca digiring ke fragmen-fragmen geli, lucu, dan manis masa kecil Asih. Dan baru dibuka kembali menjelang kepindahan keluarga Asih. Itu pun dengan beberapa baris saja.
Nunuk terlena menggali kenangan tanpa berusaha setia pada alur yang disajikan kepada pembaca. Papua yang dikisahkan dari kacamata Asih juga masih kurang kuat. Kita hanya meraba-raba Papua kala itu sedang giat membangun jembatan, mengaspal jalan, dan memasukkan benda-benda modern, termasuk kulkas, ke pelosok Papua.
Lengking Burung Kasuari menjadi naskah unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 bersama tiga naskah lainnya, yakni Tanah Surga Merah, Curriculumvitae, dan 24 Jam Bersama Gaspar. Adapun juara pertamanya adalah novel Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeovien-nazabrizkie.
Kantor berita Antara menyebutkan, dewan juri sayembara yang terdiri atas Bramantio, Seno Gumira Ajidarma, dan Zen Hae memutuskan tidak ada pemenang kedua dan ketiga. Alasannya, ada perbedaan mutu yang tajam antara pemenang pertama dan 316 naskah lain yang berkompetisi.
JUDUL Lengking Burung Kasuari
PENULIS Nunuk Y. Kusmiana
PENERBIT Gramedia Pustaka Utama
EDISI Pertama, 2017
TEBAL 224 Halaman

Teguh Afandi, editor dan pegiat @KlubBaca

Badut Sugul


Cerpen Budi Afandi (Suara NTB, 30 September 2017)
Badut Sugul ilustrasi Suara NTB.jpg
Badut Sugul ilustrasi Suara NTB
Sugul mengayunkan bilah bambu di tangan kanannya sambil memaki anak-anak yang asik bermain layang-layang. Tiap kali ia memaki, tiap kali itu pula anak-anak menimpalinya dengan tawa dan cemooh. Seorang anak mengacungkan cermin ke arah Sugul, cermin yang memantulkan cahaya siang ke tubuh Sugul. Pantulan cahaya itu bergerak tak beraturan, kadang terlihat di dada, sebentar pindah ke kaki, sebentar pindah ke wajah Sugul.
“SETAN-setan cebol!” Sugul memekik seraya tangannya bergerak serampangan seperti berusaha menahan pantulan cahaya yang menyasar tubuhnya.
“Ayo kemari badut!” teriak seorang anak.
Mendengar tantangan itu Sugul segera mengambil ancang-ancang. Kakinya membentuk kuda-kuda laiknya petarung yang siap menerjang lawan. Melihat hal itu, anak-anak yang tadinya tampak gembira langsung diam, mereka saling pandang. Pada detik itu Sugul sudah benar-benar siap mengambil langkah pertama, namun sebuah pantulan cahaya singgah tepat di wajahnya. Dan seketika itu pula Sugul memutar tubuhnya, berlari menuju pintu rumah. Ia membanting pintu, menguncinya dan hanya bisa mendengar pekik kemenangan anak-anak di tanah lapang di depan rumahnya.
***
Sugul lahir di keluarga badut pesta. Pekerjaan yang kerap membuatnya turut bergembira bersama anak-anak yang dihibur ayah dan kakaknya. Pekerjaan yang membuatnya begitu menyukai dunia anak-anak. Tapi sekarang Sugul seakan tidak menyukai anak-anak, terutama anak-anak yang saban hari bermain layang-layang di dekat rumahnya. Tiap melihat mereka, Sugul langsung kehilangan kendali seperti sapi yang baru menyadari hendak disembelih. Ia tidak suka melihat anak-anak bermain layang-layang, dan ketidaksukaannya menjelma menjadi amarah saat anak-anak menolak berhenti bermain layang-layang.
Layang-layang selalu mengingatkan Sugul pada wajah Demok, kakak perempuannya yang meninggal dalam kecelakaan sepeda motor dua belas tahun lalu. Saat itu ayahnya dan Demok sedang dalam perjalanan ke kota untuk membeli keperluan bekerja. Dalam perjalanan itu, seutas benang dari layang-layang yang putus melintang di tengah jalan dan mengenai leher ayahnya yang sedang melaju. Entah kerena terkejut, ayahnya kehilangan kendali atas sepeda motornya sehingga terjadilah kecelakaan. Ayahnya memang selamat, tapi Demok meninggal dengan kepala pecah terlindas truk.
Sugul akan melakukan apapun untuk mengusir anak-anak yang bermain layang-layang di dekat rumahnya. Ia pernah mengancam mereka dengan bilah bambu, pernah juga melempari mereka dengan kerikil.
Sugul membenci layang-layang, benci pula pada anak-anak yang tak mau berhenti bermain layang-layang. Tapi kebencian itu tidak mampu mengalahkan rasa takutnya pada cermin.
***
“Ayo kita cari tempat makan lainnya,” kata Sugul kepada Ratimah, wanita yang telah membuatnya jatuh hati.
Untuk kesekian kalinya Sugul mengajak Ratimah berpindah rumah makan saat mereka baru tiba dan duduk di sebuah rumah makan. Hal itu membuat Ratimah kesal, terlebih ketika Sugul akhirnya memilih membeli nasi bungkus dan mengajaknya makan di taman.
“Takut kok pada cermin,” kata Ratimah.
“Bukan takut,” timpal Sugul. “Tak suka saja.”
“Tetap saja aneh.”
“Yang aneh itu rumah makan yang repot-repot memasang cermin,” timpal Sugul.
“Itu biasa.”
“Buatmu,” ucap Sugul.
“Kenapa?”
Sugul menatap Ratimah. Ia menarik napas panjang sebelum merebahkan badan di rerumputan dan memejamkan mata.
***
Siang itu Sugul hanya bisa duduk di kursi dengan tangan kanan yang terus memegang bilah bambu. Kepalanya menunduk. Ia menatap jari-jari kakinya. Tetiba ia merasa begitu membenci Ratimah.
Suara tawa dan cemooh anak-anak masih terdengar memadati udara di sekitarnya. Bayangan layang-layang mulai muncul dalam kepalanya, layang-layang itu menggelantung bersama wajah Demok.
Sugul menarik napas panjang, meletakkan bambu di samping kursi, berdiri dan berjalan menuju gudang. Tawa anak-anak masih terdengar saat Sugul membuka pintu gudang, pun begitu saat hidungnya menangkap aroma debu dan benda-benda lapuk.
Perlahan Sugul menatap benda-benda yang diselimuti kain usang. Ia teringat saat ayahnya mulai menurunkan cermin-cermin di rumah.
“Di sana ada kakak,” Sugul menunjuk-nunjuk cermin kecil di atas meja sambil mendekap ayahnya.
“Di sana juga ada kakak,” Sugul menunjuk cermin besar di tembok kamar.
“Di sana juga,” Sugul membenamkan wajahnya semakin dalam seraya mengacung-acungkan tangan kirinya ke berbagai arah.
“Iya,” timpal ayahnya.
“Kalau itu kakakmu,” lanjutnya, “Kenapa kau takut?”
“Itu kakak,” ucap Sugul tersengal, “Aku ingat baju itu.”
“Iya,” sambut ayahnya. “Kakakmu sedang apa di sana?” kata ayahnya dengan nada bercanda.
Sugul menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah mendekati sebuah benda besar yang diselubungi kain cokelat yang dipenuhi lapisan debu. Tubuh Sugul bergetar saat tangan kanannya bergerak meraih kain cokelat itu. Sesaat tangannya berhenti ketika sudah begitu dekat dengan kain cokelat yang membungkus benda itu.
Sugul memejamkan mata. Suara anak-anak kembali terdengar. Bayangan wajah anak-anak yang tertawa girang langsung berbaur dengan bayangkan wajah Demok yang menggelantung di setiap layang-layang.
Sugul membuka mata, menarik napas panjang kemudian menarik kain yang menyelubungi benda besar yang adalah sebuah cermin.
“Dalam cermin-cermin itu, kakak sedang merias wajahnya,” ucap Sugul pada ayahnya ketika itu.
Sugul menghempaskan badannya ke dinding. Matanya memerah menatap sosok dalam cermin di depannya. Perempuan dengan rambut hitam legam terurai. Perempuan yang sedang menghadap ke sebuah cermin besar.
Perempuan itu sedang merias wajahnya. Dari cermin di depan perempuan itu, Sugul bisa melihat perempuan itu membuat titik-titik merah di bawah kedua matanya. Lalu membuat garis melengkung ke bawah di kedua sisi bibirnya, bibir sedih di wajah seorang badut. Dan begitu bibir sedih itu sempurna, seulas senyum bersembunyi di dalamnya.
Sugul menegakkan tubuhnya, mendekatkan tangan kanannya ke permukaan cermin. Saat jari tangan kanannya menyentuh permukaan cermin, perempuan dalam cermin juga sedang menyentuh permukaan cermin di depannya, tepat di mana wajah Sugul terlihat. Seketika itu juga Sugul dapat merasakan jari-jari tangan perempuan itu. Perempuan dengan wajah badut menangis. Perempuan yang mengenakan baju badut yang biasanya dikenakan Demok. Perempuan yang kini mengoleskan bedak tebal di wajah Sugul sambil terus mengatakan, “anak-anak itu sudah menunggumu.” Dan Sugul tahu, suara itu bukanlah suara kakaknya.

Mataram-Jakarta, 2013-2017
Budi Afandi lahir di Dusun Bilatepung, Desa Beleka, Lombok Barat, 20 Juni 1983. Kumpulan cerpennya adalah Badja Matya Mantra (2013) dan Kebaikan Istri (2017).

Lelaki Garam


Cerpen Made Adnyana Ole (Kompas, 22 Oktober 2017)
Lelaki Garam ilustrasi Meuz Prast - Kompas.jpg
Lelaki Garam ilustrasi Meuz Prast/Kompas
Pada saat bersamaan ketika lelaki itu mengibaskan ujung kerah kemeja di sisi bahu yang basah oleh keringat, Jenawi tanpa sadar menjulurkan sedikit ujung lidah untuk melontarkan biji jambu yang tertinggal di mulut sehabis meneguk jus campur buah lokal. Tepat saat itulah lidahnya mencecap rasa asin yang menggetarkan hati, asin yang dirindukannya sejak bertahun-tahun lalu.
Ia merasakan angin aneh berembus dari tubuh lelaki itu, angin dengan kandungan uap garam yang basah. Uap itu mungkin meruap dari keringat yang terbang ketika ujung kerah kemeja lelaki itu dikibaskan. Mereka sama-sama berdiri di tepi danau, di pinggiran acara Festival Wisata Air yang digelar Dinas Pariwisata. Jadi, tak mungkin ada embusan uap garam dari danau, kecuali dari tubuh lelaki dengan kejanggalan yang menyiksa: keringat berlebih di udara sejuk sekali pun.
Jenawi serasa mabuk. Dan dengan dorongan sensasi asin ia dekati lelaki itu, lelaki yang melamun sendiri di bibir danau, di antara tonggak bambu tempat nelayan mengikat jukung kayu. Begitu dekat, Jenawi ingin meraih tengkuk lelaki itu seperti mengetuk tengkuk seorang teman yang kebetulan ditemukan di tempat asing. Tapi berdebarlah jantung Jenawi saat tak terduga lelaki itu berbalik. Lelaki itu merentangkan kedua tangan dengan tingkah hendak menangkap tubuh Jenawi. Dan seperti sihir, tubuh Jenawi meluncur lalu terjerembab tepat di antara dua rentang tangan lelaki itu. Tubuh Jenawi tertangkap, lelaki itu menangkapnya.
Mereka berpelukan. Tepat di atas bahu lelaki itu, mulut Jenawi tak henti menyembulkan ujung lidah, menikmati uap asin yang seperti meletus dari setiap pori tubuh lelaki yang memeluknya, lelaki yang dipeluknya. Saat pelukan merenggang, Jenawi sempat melirik dan melihat lelaki itu juga menjulurkan lidah, seperti mencecap sesuatu, mencecap dengan penuh perasaan, kadang dengan mata yang pejam.
Begitulah awal bertemunya Jenawi, sebulan lalu, dengan Ripah, lelaki itu. Jenawi datang ke festival diundang selaku pengusaha restoran. Ripah datang selaku pengusaha hotel. Keramaian mempertemukan mereka, tapi pertemuan itu ia rasa seperti pertemuan gaib antara mimpi dan kenyataan. Ia pikir, pertemuan itu layak bagi seorang perempuan lajang meski usianya hampir 35 tahun. Ripah mungkin lebih tua lima tahun. Jika boleh berkhayal, ia ingin pertemuan itu bagai pertemuan sepasang burung yang tak perlu saling kenal tapi kemudian bercumbu dengan bebas di hutan senyap.
Sebulan lewat, Jenawi merasa seperti burung. Burung perindu, bernyanyi selalu, memanggil pasangan yang entah di mana. Sungguh bukan Ripah dan pelukan itu yang dirindukannya. Tapi asin itu. Asin dengan satu rasa nan sama dengan asin yang pernah ia nikmati di masa kanak. Asin uap garam itu, dulu, selalu meruap dari tubuh lelaki berotot liat berkulit hangus yang ia panggil ayah. Lelaki itu penjual garam. Datang setiap Rabu ke desanya, ke Desa Uli, sebuah desa tani di lereng Bukit Bedugul. Lelaki itu selalu ditunggu, tentu karena dia satu-satunya penjaja garam ke desa itu. Lebih-lebih bagi warga Desa Uli, garam sematalah bahan makanan yang harus mereka beli. Semua bahan lain diambil cuma-cuma dari alam desa yang raya.
Jenawi satu-satunya anak desa yang menunggu penjaja garam itu dengan getar harap di setiap Rabu. Selalu di setiap Rabu pagi, ia keluar rumah, memandang lurus ke ujung jalan setapak. Ia tak pernah kecewa, lelaki itu menyembul dari tikungan di bawah rimbun sukun dan semak di kiri-kanan. Suara langkahnya jelas, karena beban berat di bahu menyebabkan kedua kakinya menginjak daun kering yang terserak di jalan dengan tekanan yang cukup keras.
“Ayah datang!”
Jenawi menyambutnya dengan lengking girang kanak-kanak. Lelaki itu mempercepat langkah sehingga dua keranjang berisi garam yang sedang dipanggul dengan sepotong bambu di pundak berayun seakan hendak jatuh. Keranjang itu tak jatuh. Tali ijuk terlalu kuat menggantungnya dan sangat erat mengikat di kedua ujung bambu. Kalau pun akhirnya keranjang itu dilepaskan ke tanah, tentu karena lelaki itu menurunkannya dengan sengaja, agar kedua tangannya leluasa merangkul tubuh mungil Jenawi. Jenawi lalu menggeliat di dada lelaki itu, sambil selalu menjulurkan lidah, mencecap uap garam yang meletus di setiap pori tubuh lelaki yang selalu tampak hangus terbakar itu.
Selalu sebelum keliling menjajakan garam, lelaki itu jeda di rumah Jenawi. Usai keliling, saat sore sebelum gelap, lelaki itu datang lagi, bercanda dengan Jenawi, dan tidur bersama ibunya setelah sore berubah gelap. Lelaki itu menginap hingga Sabtu dan pergi di Minggu pagi. Rabu pagi berikutnya ia datang lagi. Selalu begitu. Dan Jenawi tak pernah hirau siapa sesungguhnya lelaki itu.
“Dia bukan suami ibu. Tapi panggil saja dia ayah!” kata ibunya suatu pagi. Jenawi tak peduli, tapi ia mengangguk. Sama tak pedulinya ia ketika sejumlah orang desa mengejeknya dengan cerita-cerita sok tahu.
“Kau anak malang, Jenawi. Lahir tanpa ayah, tapi dipelihara tukang garam, bukan ayah, tapi sebenarnya ayah!”
Jenawi berkali dengar cerita itu. Ibunya menjalin asmara dengan penjual garam lalu hamil. Ibunya menolak menikah. Jenawi tetap lahir. Ibunya diusir dari rumah keluarga. Dibantu lelaki penjual garam, ibunya mendirikan rumah kecil di atas tegalan agak tinggi, sehingga dari rumah itu akan tampak dengan indah lekuk sungai dan tera sawah di lembah pedesaan. Bagi Jenawi, rumahnya adalah tempat paling indah. Apalagi terdapat pohon asam yang rajin berbuah di halaman. Ia biasa naik dan duduk di atas cabang besar. Dari atas cabang ia tak hanya bisa melihat liku sungai dan sawah berundak di bawah, tapi juga laut dan sebuah tanjung luas di tempat yang jauh di selatan.
“Di situlah rumah Ayah, Jenawi. Di kaki pulau itu!” kata lelaki itu suatu sore ketika mereka duduk di cabang asam yang tinggi. Tangan lelaki itu menunjuk sebuah tanjung, daratan yang tampak kelabu, menjorok ke laut di ujung selatan Pulau Bali. “Di tepi tanjung itu, di atas pasir putih, Ayah membuat garam dari air laut yang bening!”
“Kapan Ayah mengajak Jenawi ke sana?”
“Ayah ingin sekali mengajakmu tinggal di sana, tentu bersama ibumu. Tapi ibumu menolak. Katanya ia lebih bahagia di desa ini, di rumah ini,” jawab lelaki itu.
Wajah lelaki itu seketika memerah dan keringatnya melimpah. Keringat berlebih memang selalu terbit di tubuhnya jika lelaki itu bicara soal perasaan, mungkin rasa cinta dan sedih yang saling bertabrakan di hatinya. Seperti biasa pada saat seperti itu Jenawi akan menyembulkan lidah lalu mencecap asin dari uap keringat tubuh lelaki itu. Jenawi memetik buah asam matang, dikupas segera, lalu daging asam lunak dilumurkan ke wajah lelaki itu. Lelaki itu akan mengeluarkan lidah dan berupaya menjilat lumuran asam di sekitar bibir dengan mata terpejam. Lelaki itu menyukai asam, tentu saja. Di Minggu pagi, lelaki itu selalu mengisi keranjangnya dengan buah asam untuk dibawa pulang ke tanjung selatan, ke rumahnya, tempat ia bertani garam.
Jenawi ingat, pada Minggu yang dini, lelaki itu menjejali kedua keranjangnya dengan buah asam matang. Dan ketika hendak beranjak pergi di pagi hari, ia didatangi kepala desa. Mereka bicara agak lama, tapi intinya lelaki itu diusir.
“Di desa ini akan dibangun pasar modern yang menyediakan semua kebutuhan warga. Jadi, sesuai kesepakatan kami dengan investor, penjual barang apa pun, termasuk garam, tak diizinkan masuk desa ini, apalagi ke rumah-rumah,” kata kepala desa.
Lelaki itu mengangguk lalu bersiap pergi. Sebelum meninggalkan halaman rumah, lelaki itu memeluk Jenawi. “Ayah tetap akan datang, bukan untuk jual garam, tapi untuk menemui Jenawi dan ibumu!” ujarnya.
Namun lelaki itu tak pernah datang. Jenawi terus menunggu sambil menyaksikan Desa Uli berubah. Jalan diperlebar, jembatan dibangun, lalu-lalang orang entah dari mana lewat setiap saat di desa itu. Toko modern berjejaring dibangun di setiap sudut tikungan. Kemudian ada hotel dan rumah makan. Kebutuhan warga berubah. Yang harus dibeli bukan lagi semata garam, tapi berbagai barang yang tak mereka perlukan.
Jenawi dan ibunya tak mau tertinggal. Rumah dengan pohon asam di halaman disulap jadi warung dengan menu masakan lokal. Awalnya Jenawi hanya membantu, namun setamat kuliah pariwisata ia mengelola warung secara penuh. Statusnya ia tingkatkan jadi restoran. Ia memimpin ritual memasak dan melayani pelanggan yang tak pernah sepi, siang dan malam. Menu restoran itu tak terlalu enak. Jenawi tahu. Pelanggan datang sebenarnya hanya terpesona alam di sekitar restoran, terutama pohon asam yang makin besar dan kokoh di halaman. Apalagi saat malam, dari pohon asam itu akan tampak pemandangan jutaan lampu seperti kunang-kunang di sebuah tanjung di kejauhan, di ujung selatan Pulau Bali.
“Di sanalah rumah ayah saya, di sela lampu-lampu di tanjung itu. Dulu tanjung itu gelap, kini telah benderang,” kata Jenawi jika melihat pelanggan duduk di bawah pohon asam sambil memandang jauh ke selatan. Jika restoran sudah tutup, Jenawi pun lebih sering duduk di bawah pohon asam, kadang hingga tengah malam, sambil memandang tanjung kelap-kelip di kejauhan. Dengan begitu ia telah merawat rindunya pada uap asin dari tubuh lelaki yang ia panggil ayah, tentu rasa asin yang menggetarkan hati, yang tak pernah ia dapatkan dari garam di pasar mana pun yang pernah dibelinya untuk menu restoran.
Kini asin seperti itu didapat dari tubuh Ripah. Setiap duduk di bawah pohon asam, ia ingat lelaki penjual garam sekaligus ingat Ripah dan ingin menemuinya sekali lagi, dua kali lagi, atau seterusnya, bukan hanya di tepi danau, tapi di sebuah tempat yang amat sunyi, sehingga ia bisa melumat seluruh asin di tubuh lelaki itu. Dan suatu malam, kerinduannya tak bisa ditahan. Ia menelepon Ripah.
“Bisakah kita bertemu di tepi danau itu lagi?” sergah Jenawi saat hubungan telepon tersambung, bahkan sebelum Ripah sempat mengucap salam.
“Tentu saja. Datanglah malam ini juga!” jawab Ripah.
Jenawi tak tahu, saat ia menelepon, Ripah sudah berdiri di tepi danau, di tempat mereka dulu berpelukan. Sejak bertemu Jenawi, lelaki itu hampir setiap hari berdiri di tempat itu, kadang dari pagi hingga tengah malam. Selain menemu sejuk karena belakangan tubuhnya selalu berkeringat secara berlebih, ia juga ingin menyingkir dari hiruk-pikuk perusahaan. Sudah sejak lama ia kerja tanpa henti, tepatnya sejak ia memelihara dendam dan ambisi untuk jadi pengusaha kaya, melebihi kekayaan pengusaha asing yang terus berebut membangun hotel di kawasan tanjung selatan tempat ia lahir.
Tiga istrinya secara bergiliran menelepon. Penduduk tepi danau menganggap ia tak waras, karena selalu tampak menjulurkan lidah, seolah ingin mencecap sesuatu. Padahal ia memang ingin mencecap sisa uap asam yang meruap dari tubuh Jenawi saat ia peluk di tempat itu sebulan lalu. Ia rindu asam tubuh Jenawi, seperti juga ia rindu pada asam yang ia cecap dari embus keringat ayahnya, dulu, di setiap Minggu sore, pada setiap ayahnya baru datang dari menjajakan garam di desa pegunungan.
Ripah tak bisa lupa bagaimana ia kehilangan ayah sekaligus kehilangan uap asam itu. Pada Minggu sore, sejumlah laki-laki mendatangi ibunya di ladang garam. Perawakan mereka tegap seperti tentara, namun dari apa yang dibicarakan kentara sekali mereka calo tanah.Mereka sudah berkali-kali datang. Tujuannya sama, memaksa ayah dan ibunya melepaskan ladang garam untuk dibeli konglomerat dari Jakarta. Ladang garam yang diapit laut dan bukit landai itu hendak disulap jadi hotel paling mewah di Bali.
Ayahnya datang tepat ketika seorang dari sejumlah laki-laki itu membentak ibunya. Ripah tak akan pernah lupa, saat itu ayahnya datang dari menjajakan garam dengan wajah sangat sedih sambil memanggul dua keranjang penuh buah asam. Ayahnya kalap dan langsung mengamuk. Ia menerjang dan mengayunkan keranjang ke tubuh laki-laki yang membentak ibunya. Lalu terdengar ledakan. Ayahnya rebah. Darah dan buah asam berserakan di atas ladang garam.

MADE ADNYANA OLE, lahir di Tabanan, kini tinggal di Singaraja, Bali utara. Menulis cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya Padi Dumadi (2007) dan kumpulan puisinya Dongeng dari Utara (2014). Dua cerpennya masing-masing terdapat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan 2016.

Bulan yang Menelan Kekasihku


Cerpen Majenis Panggar Besi (Media Indonesia, 22 Oktober 2017)
Bulan yang Menelan Kekasihku ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Bulan yang Menelan Kekasihku ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Seperti telah diceritakan dalam kisah yang lebih panjang, tentang sebuah bangku kereta yang selalu kosong, meski ada dalam catatan manifest kereta bahwa kursi itu tiketnya telah terbeli oleh sepasang suami istri. Pasangan yang sama, dari hari ke hari dari tahun ke tahun selalu tercatat sebagai penumpang kereta tersebut dengan nomor gerbong dan kursi yang sama. Tapi bila engkau mendatangi kursi tersebut, engkau hanya akan mendapatkan kursi kosong. Gerbong enam, dengan nomor kursi dua puluh tiga.
Kisah tentang bangku kosong itu jauh dari kesan mistis, karena sudah seperti tradisi turun-temurun, dalam delapan puluh enam tahun terakhir ini pasangan-pasangan muda yang dilanda mabuk asmara akan berebut untuk menempati kursi kosong tersebut. Konon, pasangan yang duduk di kursi tersebut cintanya akan abadi, sementara yang lajang akan bertemu jodohnya di kursi sebelahnya seiring berputarnya roda kereta. Kursi yang dalam catatan manifest kereta selalu terdaftar atas nama yang sama.
***
Senja mulai berjatuhan pada pucuk-pucuk pinus di luar jendela sana. Aku merapatkan kardigan, secara impulsif saja sebenarnya. Sebab udara dalam ruangan ini tidak dingin sama sekali. Aku tengah duduk di kursi penumpang sebuah kereta ekonomi yang sedang tidak berjalan.
Dan aku tidak benar-benar tahu, apa penyebab tertahannya kereta api Sritanjung tujuan Yogyakarta-Banyuwangi ini. Mungkin kres—istilah orang Banyuwangi untuk menyebut tertahannya kereta yang berilang dengan kereta lain. Atau mungkin seperti jawaban seorang ayah kepada anaknya yang berumur empat tahunan, bahwa ban keretanya sedang kempes.
Stasiun Mrawan, stasiun kereta api yang terletak di antara dua buah terowongan kereta api yang digali menembus tubuh Gunung Gumitir. Ingin rasanya menjadi muda kembali, lalu menikmati senja sambil duduk di badan rel kereta api, menunggu kereta yang dari arah berlawanan, kemudian berlari menuju pintu terdekat kereta, berebut dan berdesakan dengan penumpang lain, karena takut tertinggal kereta. Sayangnya aku sudah terlalu tua, sangat terlalu tua untuk itu. Aku hanya mampu membayangkan hal-hal yang demikian.
Ada banyak hal yang akan selalu tak terjangkau oleh tangan kita. Sama seperti kereta Sritanjung ini, yang setia dengan kelas ekonomi. Tak peduli berapa banyak uang dalam dompetmu, satu-satunya kereta api yang menghubungkan Yogyakarta secara langsung dengan Banyuwangi ya hanya Sritanjung. Kereta ini telah sama legendarisnya dengan namanya, sebab seperti telah diceritakan pada kisah yang lebih tua, Sritanjung adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah masyarakat Blambangan.
***
Stasiun Lempuyangan, pagi hari. Kamis kemarin adik keduaku lahir dengan selamat, anak perempuan pertama dalam keluarga kecil kami. Akhir pekan ini aku pulang untuk menengoknya. Peluit panjang tanda kereta berangkat telah berbunyi. Saat segenap pikiranku tercurah pada kegiatan memasukan bagasi pada tempat yang telah disediakan, seseorang menginjak kakiku yang bersepatu kanvas dengan sepatunya yang ber-hak tinggi lancip. Nyeri pada ibu jari kakiku membuat aku harus terpejam sebentar.
“Maaf, Mas. Gak sengaja.”
Kutolehkan kepalaku pada arah suara, saat itulah aku merasa tersengat lebah. Ketika melihat ekspresi wajahnya yang bimbang antara ingin tersenyum dan khawatir sebab merasa bersalah. Waktu seolah terheti, hingga tak berarti lagi masa lalu dan masa depan, yang ada hanyalah detik ini saat aku menatap di kedalaman bening matanya. Tergagap aku menjawab, “Gak apa-apa, memang kakiku yang menghadang lajur jalan.”
“Bengkak ya kakinya?”
“Biarlah, lagipula sepatu ini kebesaran. Bengkaknya akan membuat ukurannya jadi pas.”
Di titik inilah aku percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan cinta untuk kita, hanya masalah waktu, bahkan tanpa kita sadari bahwa ia menanti kita di sepanjang umurnya. Kubaui wangi tubuhnya yang dihantar angin kepadaku, wangi yang selalu kucium semasa kanak dulu. Tak diragukan lagi.
Angin yang sama berbelok dan menggebah pohon besar di luar jendela sana, pohon dengan seribu dahan dan seribu daun di setiap rantingnya, hingga bunga-bunganya yang kuning mungil menghujani gerbong kereta. Perlahan, pohon dengan seribu dahan itu menjauh, kemudian lenyap dari pandangan. Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku terjaga. Puri lelap pada salah satu bahuku. Gerak itu rasanya selalu sama sejak aku kecil: terdiri dari tujuh ketukan dan pada hitungan keempat jatuh hentakan terkuat, berasal dari gerus roda di bawah kursiku dengan sambungan rel. Dan goncangan pada gerbong yang membuat bahuku berayun kanan-kiri, juga gemerutuk gelas pada meja dan sendok logam pada piring aluminium, serta ngilu menahan kencing, bau mulut yang lama mengatup adalah rasa yang abadi setiap perjalanan [1]. Dan aku percaya, bahwa cinta pada pandangan pertama itu bukanlah mitos belaka.
“Puri.”
“Hmmm…”
“Pernah baca Louise MacNeice?”
“Aku baru dengar namanya darimu.”
“Aku hafal beberapa syairnya malah.”
“Bacakan satu untukku.”
“September telah tiba, bulannya. Yang semangat hidupnya melonjak di musim gugur, yang lebih menyukai pepohonan tanpa daun serta perapian yang menyala. Maka kupersembahkan bulan ini dan berikutnya. Walau seluruh bulan dalam tahunku mestinya sudah jadi miliknya yang telah mendatangkan begitu banyak hari-hari yang tak tertahankan dan membingungkan, namun sekaligus begitu lebih banyak kebahagiaan. Yang telah meninggalkan suatu aroma dalam hidupku. Menari berulang-ulang dengan bayang-bayangnya. Yang uraian rambutnya membebat semua air terjunku. Yang meninggalkan kenangan akan kecupan-kecupan yang tak terlupakan di segenap penjuru kota London.” [2]
Dan sepanjang jalur kereta Yogyakarta-Banyuwangi kala itu penuh oleh kenangan akan kecupan-kecupan yang tak terlupakan.
***
“Samuel Kristianson Hartono, saya serahkan buah hati kami, Puri Victoria Tarko yang akan mendampingi hidupmu baik dalam suka maupun duka. Sayangilah dia, cintailah dia, dengan segenap hati dan pikiran, sama seperti kamu menyanyangi kedua orang tuamu. Kasihilah dia sama seperti Tuhan Yesus telah mengasihi kamu,” kata Papa.
Setelah menjalani ibadah, tiba saatnya kami mengucapkan janji pernikahan. Kami pun berdiri menuju depan altar. Dengan didampingi Pendeta dan majelis gereja, aku dan Puri bergantian mengucapkan janji pernikahan.
“Apakah saudara-saudara siap menjalankan pernikahan dalam iman Kristen?” tanya Pendeta.
“Kami bersedia,” jawab kami bersamaan.
“Saudara Samuel Kristianson Hartono, di hadapan petugas negara, perkawinan kalian sudah dicatat dan sah di muka hukum,” kata Pendeta.
“Saya Samuel Kristianson Hartono, saya berjanji kepadamu, Puri Victoria Tarko, akan menikahimu dan menyayangimu sekarang sampai selama-lamanya sebagai istri satu-satunya. Saya siap mengasihimu seperti Tuhan Yesus mengasihi saya. Saya akan setia dan menghormatimu sebagai pendampingku,” ucapku sambil terbata-bata.
“Saya Puri Victoria Tarko, berjanji di hadapan Tuhan dan saudara seiman, saya menerima Samuel Kristianson Hartono sebagai suami satu-satunya mulai saat ini hingga selamanya,” timpal Puri.
“Apa yang telah disatukan Tuhan, tidak bisa diceraikan oleh manusia. Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” Tegas Pendeta yang berarti telah mengesahkan pernikahan kami.
***
Tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang rindu yang tak terungkap. Tak ada yang lebih pedih dibanding cinta satu malam. Pernikahan yang hanya berusia satu malam. Bahkan kami belum sempat menikmati malam pengantin ketika gawai Sam berdering, memecah keheningan kamar pengantin. Memutuskan ciuman panjang yang aku dan Sam rekatkan kepada bibir yang lain.
“Hand phone sialan!”
Mimik wajah Sam agak memucat ketika obrolan dimulai, aku memeluknya dari belakang, “Ada apa, Sam?”
Sam merapatkan telunjuk pada bibir sebagai jawaban. Lalu perlahan melepaskan pelukanku, berjalan menuju pintu, membukanya, melangkah keluar dan mengayunkan pintu menutup yang diikuti bunyi cklik. Itulah terakhir kali aku menghirup aroma tubuh suamiku. 14 Mei 1998, aku masih ingat betul tanggalnya. Dan sekarang, aku telah demikian dekat dengan kematian. Duduk menikmati senja, yang dihadirkan sebuah jendela kereta. Malam itu hadir kepadaku melalui mimpi-mimpi. Aku tetap pengantin tak terjamah, menunggu suami yang raib kepada entah.
Di mana kamu, Sam? Empat puluh sembilan tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk sebuah penantian dan pencarian. Mimpi yang selalu berulang, di mana aku melihatmu menatapku di balik jendela kereta api yang melaju pelan menjauhiku, bibirmu berusaha menyampaikan sesuatu, tapi kereta telah menjadi lebih laju sebelum sempat kucerna gerak bibirmu.
Usiaku telah habis dimakan penantian, satu demi satu ubanku lerai ke tanah. Hari ini hari ulang tahun ke empat puluh sembilan pernikahan kita, aku setia menunggumu di gerbong kereta Sritanjung yang mempertemukan kita ini. Karena aku percaya, kau tak akan mengecewakanku. Tak peduli dalam keadaan hidup dan mati, kau akan selalu menepati janji.
“Suatu saat nanti, bila kau merindukanku, tunggulah aku di gerbong kereta ini. Aku akan datang, tak peduli sebagai manusia ataupun setan.”
Senja telah berganti malam. Kereta belum juga berjalan. Aku merasakan dingin yang tak ada hubungannya dengan cuaca. Dari kaca jendela terpantul cahaya stasiun kecil itu, aku tak bisa ingat lagi berapa kali aku melewati stasiun ini, sama seperti aku tak bisa lagi mengingat berapa pincuk [3] pecel Garahan yang telah aku pindahkan ke dalam perutku dalam empat puluh sembilan tahun pencarian-penantianku.
Kututup jendela kereta yang terbuka, berderit. Keras. Jendela ini agak macet. Tapi gerakan fisik sekecil itu pun ternyata sudah terlalu berat untukku, secara naluri aku meraih sandaran bangku dan duduk perlahan. Kepalaku agak limbung dan rasanya mau pingsan. Lalu seketika, rasa sakit itu mencengkeram dadaku seperti tusukan besi panas.
Aku memejam menahan rasa sakit, kubuka mulutku untuk menjeritkan rasa sakit ini, tapi sepertinya suaraku tak pernah benar-benar keluar dari mulutku. Aku merasa keberadaanku kini telah menyusut menjadi segumpal rasa sakit ini saja, panas yang menelanku sepenuhnya. Sayup-sayup aku mendengar suaramu, Sam. Lalu dengan mengendap-endap, muncullah bebauan dan suara lain.
Aroma angin yang bertiup saat pertama kali kita bertemu di gerbong kereta ini, saat aku tak sengaja menginjak kakimu. Sebuah pohon dengan seribu dahan, dengan seribu ranting pada tiap dahan dan seribu daun pada tiap rantingnya. Kenangan yang tak akan pernah hilang. Aku membuka mata, rasa sakit sudah lenyap. Di luar sana, matahari telah benar-benar ditelan malam. Tidak apa, tidak penting.
Dia datang. Menjemputku.
Sam, ia ada di sana.

Payakumbuh, 2017

[1] Ayu Utami, dalam Larung.
[2] Salah satu sajak Louise McNeice, dalam Autumn Journal.
[3] Pincuk adalah tempat makan pengganti piring yang dibuat dari daun pisang yang dilipat dengan cara tertentu dan direkatkan dengan tusukan lidi.

Majenis Panggar Besi, terlahir di Banyuwangi.

Ular Sawit


Cerpen Dahlia Rasyad (Jawa Pos, 22 Oktober 2017)
Ular Sawit ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Ular Sawit ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
SEBELAS orang turun dari mobil pick-up mendekati bivak-bivak terpal di dalam  kebun itu. Salah seorang, yang berbaju kaus pemain golf, memimpin kawanan.
“Pokoknya kami tidak mau tahu. Kalian harus angkat kaki sekarang juga dari kebun ini!”
Ia menyergah dengan ayunan tangan, mendelik pada Sang Tumenggung [1] sembari menyuruh sepuluh centengnya untuk bergerak. Mereka menyibak-sibakkan bara tungku dengan kaki, mencabut kayu-kayu palang yang terikat di terpal sudung [2], dan membongkar papan yang menjadi alasnya. Orang-orang rimba itu tahu, saat pokok-pokok sawit sudah mulai masak, orang-orang itu akan datang untuk mengusir.
“Silakan saja panen, kami tak akan mengganggu.”
“Kalian pikir kami tidak tahu. Kalian tahu betul kapan harus tegak sudung di sini. Kalian ini macam kucing jantan yang mengencingi lahan orang lalu mengklaim milik kalian. Pindah sana ke areal yang sudah tidak produktif lagi!”
Si Tumenggung hanya diam dengan kekhawatiran yang dalam. Anak-anak rimba dan orang tuanya menyingkir melihat sudung-sudung mereka dibongkar. Setelah asap yang menelan nyawa, mereka kini harus memikul beban kelaparan setiap hari. Seakan malas berdebat dengan Orang Rimba yang selalu berdalihkan lapar dan nenek moyang, para kacung itu menumpuk kayu-kayu sudung mereka di tepi jalan.
“Ke mana kami harus pindah?”
“Ke sana, ke areal yang sudah mati,” tunjuk si asisten ke arah utara.
Sudah kerap terjadi, di tahun-tahun lalu saat tandan-tandan sawit dipanen dan sudung-sudung mereka tepat di bawah pokoknya, tandan-tandan itu menimpa sudung hingga mereka menuntut ganti rugi, mengancam para tukang petik yang tak jarang berakhir dengan acungan parang. Dapatlah ditebak, kalau bukan cari duit untuk makan.
Seakan tak pernah terjadi apa-apa, mereka pindah ke kebun yang masih produktif untuk mencari riba bala. Jangankan hanya pindah, tusuk-menusuk dan teluh-meneluh pun mereka lakukan demi sebatang jernang [3]. Setiap rombong memang punya wilayah jelajah dan wilayah berburu sendiri. Walau tak ada hukum tertulis yang mengatur itu, pembagian wilayah jelajah tercipta berdasarkan kesepakatan adat antar tiap kelompok yang dipimpin masing-masing Tumenggung. Batas-batas wilayah jelajah mereka tandai dengan batas-batas alam, semisal sungai, rawa, dan pohon-pohon sialang, yang mana pohon-pohon itu mereka lukai kulitnya untuk membuat tanda. Dan, bagi siapa yang melanggar akan dikenakan denda.
Sejak hutan dibakar habis lalu muncul bibit-bibit sawit di seluruh lahan, mereka sudah tak tahu lagi harus ke mana. Mengambil wilayah jelajah di pedalaman hutan yang masih lebat sudah tak mungkin. Orang-orang rimba lainnya yang masih sangat bersetia dengan adat tak mau lagi berbagi wilayah berburu. Selain memang sudah sempit, mereka yang di kebun dan yang menerima bantuan rumah permanen dianggap sudah menentukan pilihan. Mereka tak lagi memegang adat Anak Dalam secara penuh.
Namun jiwa mereka untuk berburu masih bergejolak sehingga banyak yang memilih terus hidup berpindah-pindah di areal kebun. Meski kelaparan karena tak ada lagi binatang buruan, mereka rela mengemis di kedai-kedai, memunguti makanan sisa yang tak habis dimakan orang.
Tak ada yang bisa dijelaskan kenapa mereka tak mengambil rumah bantuan dan hidup layak dengan ladang dan ternak. Berburu dan berpindah-pindah adalah kebahagiaan mereka, jiwa mereka. Hanya saja, terkadang bila tikus dan ular yang bersembunyi di balik tumpukan pelepah sawit sudah tak ada, terpikirkan untuk menerima saja ladang dan rumah itu.
“Baiklah, kami pindah.”
Mereka digiring ke lahan yang sudah tidak produktif lagi di sebelah utara kebun. Tak lama kemudian tiba-tiba salah satu centeng bernama Hamid pamit untuk buang air besar. Ia berbalik ke belakang untuk mencari tempat semak. Dan setelah rombongan jauh di depan, centeng asal Muaro Bungo itu tak juga muncul.
“Sul, ke mana Hamid tadi? Kau carilah dia dan cepat balik sini,” suruh si asisten pemantau kepala centeng.
Orang yang disuruh ke arah Hamid tadi pergi. Tapi hingga nyaris magrib, Hamid belum kembali.
Rombong-rombong Orang Rimba sudah jauh ke utara, berduyun-duyun membawa kayu terpal sudung mereka sekitar dua kilometer jaraknya dari areal semula. Si asisten menyuruh semua anak buahnya berpencar mencari Hamid, meninggalkan giringan yang telah jauh berjalan.
Namun, sampai hari ketiga Hamid belum juga ketemu. Si asisten pemantau terpaksa mengajak seluruh rombong Orang Rimba untuk mencari. Dengan iming-iming upah, semua anak, lelaki dan para Tumenggung ikut turun ke kebun menelusuri pohon-pohon sawit yang mati dan yang masih hidup. Bagi siapa yang menemukan Hamid akan diberi uang. Sambil menelusuri mereka mengais-kais pelepah busuk yang biasa menjadi lubang dekam ular-ular, kalau-kalau binatang buruan yang kini menjadi satu-satunya makanan bergizi mereka itu bisa didapat.
Berbekal kayu, bambu, parang, dan ketapel, mereka mencari ke segala arah, memijakkan kaki penuh di atas tumpukan pelepah dan tanah, membabas belukar-belukar yang meninggi sambil meneriakkan nama si orang hilang. Namun sampai jauh mereka menyusur tak juga terdengar sahutan, jejak pakaiannya pun tak ada.
Banyak yang menyangka kalau Hamid mungkin tak sengaja mendatangi sudung seorang gadis di pedalaman hutan, lalu karena tak minta izin pada Tumenggung-nya ia dikenakan sanksi dikurung di wilayah jelajah. Tapi itu lebih kecil kemungkinannya karena pedalaman hutan tempat di mana sebagian Orang Rimba masih kuat memegang adat sangatlah jauh dan berliku, tak mungkin ditempuh dengan kendaraan. Ada juga yang menyangka kalau ia telah kena gendam dan terbengkalai di sudut entah. Namun tak satu pun yang benar.
Setelah obrolan tentang buruh-buruh sawit, kilang-kilang pengolahan, harga per kilogram tandan buah segar dan ton-ton minyak sawit mentah yang dihasilkan, lenyapnya Hamid menjadi hal yang terus dipertanyakan. Di pasar, di ladang, di kedai-kedai dan sudung-sudung debuan.
Sampai hari ketujuh tanda tanya itu akhirnya terjawab tatkala seorang anak dari Rombong Kuyot memekik sepanjang larinya dari sebuah pohon sawit yang sudah lama rebah di pinggir areal.
Terkesiap Datuk Rottuy mendengar pengakuannya!
“Di… di sana Datuk… di batas pohon jati pinggir kebun.”
Bocah delapan tahun yang masih telanjang bulat itu menuntun. Bersama sang datuk dan si asisten ia menuju ke pinggir tengah areal sebelah barat. Diikuti beberapa lelaki rimba dari beberapa rombong di dekat sana mereka pun berkumpul di sebuah kawasan sawit yang telah tumbang. Sebuah rawa berlumpur serupa gorong-gorong terbentuk dari lubang-lubang bekas sawit yang tercerabut. Tanah tepiannya bergambut dengan air yang sangat pekat dan berminyak. Ada sebuah batang sawit besar yang rebah dengan pesona lapuknya ditumbuhi daun-daun paku. Di balik batang itulah seekor ular sebesar tengkuk unta mendengkur dengan perutnya yang kembung!
“Astaga… As-Su’ala.” [4]
Orang sepuh itu sama sekali tak mengira kalau di kebun itu ada binatang buas yang bisa mengancam. Dari hasil penerawangannya ia hanya melihat kalajengking dan orang-orang bersafari yang meninjau wilayah-wilayah berhutan.
“Ular jadi-jadian maksud, Datuk?” tanya si asisten.
“Bisa jadi. Dilihat dari gemuknya ular ini.”
“Lalu bagaimana mengusirnya?”
“Aku coba, tapi setelah kupastikan dulu apa benar ular ini jelmaan dukun hitam atau bukan. Kalau bukan, kita bagi-bagikan saja.”
Titisan dukun sakti yang konon pernah ada di kelompok besar suku rimba itu memang menjadi andalan banyak rombong Anak Dalam. Ia masih juga kerap didatangi orang-orang di bagian luar kebun, bahkan orang-orang desa bersuku lain yang ingin beroleh kemustajaban dari ilmunya, atau berguru kekuatan gaib dan sahir-sahir sakti lainnya. Salah satunya adalah Cikay, bujang tanggung dari Rombong Tariq yang kini tak tahu di mana rimbanya.
Sejak mendalami ilmu menghilang dan berubah wujud tiga tahun silam, ia tak pernah terlihat lagi di areal dan hutan dalam. Juga tak terdengar rumor di desa-desa pinggiran tentang ulah rusuh seorang sakti, bahkan Datuk Rottuy sendiri tak bisa menerawang lagi keberadaannya.
“Kemungkinan ia telah melanggar pantangan untuk tidak menjahati sesama Orang Rimba dengan maling buruannya,” begitu sangkanya.
Ular yang diyakininya jelmaan dukun itu persis ular mitos Suja’ul Aqra. Laiknya burung phoenix dan naga, mata ular itu memancarkan nyala api meski tanpa tangan dan kuku besi, tiada pula membawa alat pemukul yang berat sekali. Ular yang konon bertugas menenggak umat yang tak pernah salat itu mampu melumat puluhan manusia dalam sekali telan hingga tubuh mereka hancur serupa daging giling!
Tapi, ah, itu sama sekali bukan ular mitos ataupun jelmaan jin. Itu ular betulan…
“Hanya induk tedung yang kanibal,” ujarnya.
Tibalah pesta daging itu. Segenap rombong berdatangan membawa wadah plastik dan daun jati untuk menerima irisan daging ular juara. Seperti rezeki dari langit, ular itu tak pernah diduga mendekam di dalam sana sudah lama. Selama ini mereka hanya menemukan ular-ular welang anakan dan indukan yang kecil bantat. Tikus sawit pun sudah tak banyak lagi, sementara lubang-lubang sawit tak ada yang terlewatkan, habis dikais-kais. Sudah karuan apa yang akan mereka lakukan dengan ular sanca itu. Daging putihnya yang empuk akan diiris-iris untuk dijadikan santapan.
Namun Datuk Rottuy meminta bagian kepalanya untuk ia jadikan jimat. Setelah satu abad lebih tak melihat binatang-binatang buas yang besar akhirnya ia mendapat tengkorak ular!
Dengan satu tebasan kepala ular itu putus. Datuk Rottuy segera membungkusnya dengan kain sarung yang didapatnya dari sumbangan orang kampung. Setelah menepikan ia lalu mulai membelah.
Terbelalaklah semua. Isi perut itu ternyata tubuh Hamid!
Mata liar orang-orang yang kelaparan sedikit bergetar meski tanpa kedip melihat sebongkah tubuh membengkak biru yang masih berselimut celana baju itu. Kepala Hamid tertutup lendir keputihan yang sangat kental. Seperti bubur sagu.
“Astaga…”
Si asisten muntah. Mayat Hamid yang masih utuh itu mereka usung dengan keranda untuk dibawa ke rumah duka.
“Kalau masih ada yang mau daging ini, tetap akan kita iris.”
“Iya, Datuk. Kami masih mau.”
Jangankan ular yang memamah apa saja, tikus busuk dan cicak hutan pun mereka telan untuk menyumpal perut yang lapar.
Setelah habis membagi-bagikan tubuh ular itu, Datuk Rottuy lalu membawa pulang buntalan kepala ular. Sudah dipikirkan apa yang akan ia lakukan untuk membuat jimat. Ia akan merebusnya agar dagingnya terlepas dan air rebusan ia minum dengan jampi-jampi leluhur. Setelah tengkorak kering lalu akan digantungkan di leher sebagai kalung yang menangkal segala gangguan jahat dari mana pun.
Namun, ketika sampai di sudung, saat buntalan sarung dibuka, alangkah terkejutnya ia melihat kepala ular itu bukan lagi kepala si reptil melata, tetapi kepala manusia…
Sungguh, kepala itu masih sangat dikenalinya. Beragam pikiran melintasi; tentang marwah leluhur, tentang hutan gantungan, tentang masa depan Anak Dalam. Dengan pandangan redup sembari menutup potongan kepala ia akhirnya tertunduk. Kesaktiannya kini sudah tak berdaya lagi. ***

Keterangan:
[1] Pemimpin rombong yang terdiri atas anak, cucu, dan menantu-menantu.
[2] Bivak atau pondok dari batang kayu, tanpa dinding ataupun tirai penutup, hanya terpal sebagai atap. Sudung ada yang berkaki, ada yang tidak, dengan alas kepingan papan.
[3] Sejenis rotan yang tumbuh di hutan, dan getah buahnya dimanfaatkan sebagai bahan baku pewarna.
[4] Penyihir dari golongan jin.

DAHLIA RASYAD, menulis dua buku fiksi dan kini tinggal di Jogjakarta.

Pengalaman Berharga


Cernak Rohmah Jimi Sholihah (Suara Merdeka, 22 Oktober 2017)
Pengalaman Berharga ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Pengalaman Berharga ilustrasi Suara Merdeka
“Menggambar lagi menggambar lagi,” gerutu Nayla dengan muka masam.
Pelajaran yang sebagian besar anak-anak menyukainya, justru sangat tidak disukai oleh Nayla. Baginya, menggambar adalah sesuatu yang membosankan, tidak menarik, dan tidak ada manfaatnya. Berbeda halnya pelajaran Matematika, IPA, dan IPS. Tentu, karena Nayla selalu mendapat nilai mendekati sempurna dan terbaik di antara teman-temannya.
Sore ini Nayla kesal. Ia lagi-lagi mendapat tugas menggambar tentang cita-citanya. Ia ingin menjadi seorang dokter. Selain karena Mama dan Papanya berprofesi sebagai dokter, beberapa waktu yang lalu ia mendapat juara dalam ajang pemilihan dokter kecil. Namun, jangankan menggambar seorang dokter yang tengah memeriksa pasien, menggambar bunga saja peyot di mana-mana. Nayla selalu jadi bahan ejekan teman-temannya karena kelemahannya itu.
“Aha….” Nayla kemudian mendapatkan ide cemerlang.
“Ma, Mama bilang semua foto Mama waktu kecil sudah tidak bersisa karena musibah kebakaran, ya kan?” tanya Nayla mendekati Mama yang sedang membaca buku.
“Yap betul, terus?” tanya Mama.
“Nay ingin tahu wajah Mama waktu kecil seperti apa, Mama kan pintar menggambar. Mama gambar ya,” pinta Nayla.
“Kebetulan Mama sedang tidak begitu banyak pekerjaan, jadi bolehlah,” jawab Mama.
“Tapi gambarnya Mama pakai seragam dokter ya, seperti pekerjaan Mama sekarang,” jelas Nayla.
“Jadi cita-cita Mama waktu kecil nih?” tanya Mama.
Nayla mengangguk.
“Nay, Nay… Kamu aneh-aneh saja,” ujar Mama tanpa curiga.
Nayla tersenyum riang, ia terpaksa berbohong pada Mama karena jika jujur pasti Mama akan memaksanya untuk menggambar sendiri. Kini Nayla tidak lagi khawatir dan memikirkan hari esok, dan saatnya ia tertidur pulas.
***
Sepanjang malam Nayla memimpikan Ibu Mariana yang memberikan nilai sempurna pada gambarnya. Teman-temannya pun bertepuk tangan bangga, hingga Nayla terbangun dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00.
“Aduh Nayla, maafin Mama. Semalam Mama membuatkan gambar yang kamu minta, Mama kesiangan dan terlambat membangunkanmu,” ucap Mama.
“Nggak apa-apa, Ma,” ujar Nayla sambil meraih handuk dan segera mandi.
Nayla pun hanya punya waktu meminum segelas susu tanpa sarapan. Ia tidak ingin terlambat di pelajaran Ibu Mariana. Benar saja, lima menit setelah ia datang, Ibu Mariana sudah menuju kelas.
Ibu Mariana meminta ketua kelas untuk mengumpulkan pekerjaan menggambar di meja guru. Setelah itu, satu per satu dari anak-anak dipanggil untuk kemudian menceritakan tentang gambar masing-masing. Ada yang ingin jadi pilot, guru, masinis, perawat bahkan artis. Kini giliran Nayla yang maju.
“Teman-teman, kalau aku besar nanti aku ingin jadi dokter. Dokter itu tugas yang mulia karena membantu orang yang sedang sakit. Ada macam-macam dokter di rumah sakit, dan Nayla ingin menjadi salah satunya. Nayla ingin jadi dokter gigi,” ujar Nayla bersemangat.
Namun bukannya tepuk tangan, beberapa temannya justru terlihat menertawakannya. Padahal, menurut Nayla, tidak ada yang lucu pada ceritanya.
“Nayla ingin jadi dokter gigi?” tanya Ibu Mariana.
Nayla mengangguk mantap.
“Tapi kenapa Nayla menggambar seperti ini?” tanya Ibu Mariana sambil menunjukkan gambar Nayla yang terpajang di papan tulis.
Tampak di buku gambarnya, seorang anak kecil dengan baju dokter memegang patung organ dalam manusia, ada jantung, hati, dan paru-paru. Nayla tersentak kaget.
“Itu bukan punya saya, Bu,” protes Nayla.
“Gambar Nayla kan biasanya jelek, pasti itu yang menggambar orang lain, bukan Nayla,” teriak Ody.
“Huuuu…. Katanya peringkat pertama, juara dokter kecil lagi, tapi kok nggak jujur,” timpal Angga.
Muka Nayla memerah, Ibu Mariana segera mengalihkan perhatian anak-anak pada tugas berikutnya. Nayla menangis sejadi-jadinya di kantor guru, ia meminta maaf pada Ibu Mariana dan menjelaskan jika gambar yang dikumpulkan memang benar bukan hasil karyanya. Karena malu kembali ke kelas, Nayla akhirnya meminta izin untuk pulang. Mama yang hari ini bebas tugas kaget melihat Nayla pulang lebih awal dengan wajah pucat.
“Nayla sakit?” tanya Mama.
Nayla menangis dipelukan Mama, ia kemudian menjelaskan apa yang terjadi di sekolah.
“Maaf sayang, Mama tidak bermaksud untuk mempermalukan Nayla. Memang sekarang Mama berprofesi sebagai dokter gigi, tapi cita-cita Mama sejak kecil sebetulnya adalah jadi dokter bedah. Makanya Mama menggambar seperti itu,” ujar Mama.
“Iya, Ma, Nayla yang salah. Nayla minta maaf karena sudah berbohong,” ucap Nayla sambil terisak.
Sambil mengusap rambut panjang Nayla yang tergerai, Mama mengangguk lalu memberinya nasihat.
“Tidak ada orang yang sempurna, Nak, pasti setiap orang punya kekurangan. Kalaupun Nayla pandai dan dapat peringkat pertama di kelas, tidak masalah kalau dalam hal menggambar Nayla kurang menguasai,” nasihat Mama.
Nayla lalu menghapus air matanya. Ia akan melupakan kejadian hari ini. Meskipun masih malu, ia tetap tersenyum saat bertemu teman-temannya.
Baginya, kejadian yang sudah berlalu bisa ia jadikan pengalaman berharga yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya. (58)

Surat untuk Presiden


Cerpen Syahirul Alim Ritonga (Suara Merdeka, 22 Oktober 2017)
Surat untuk Presiden ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Surat untuk Presiden ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
“Keluar kau, Kardi!” teriak Wahyu yang kemudian diikuti suara pintu digedor sepenuh tenaga. Teriakan Wahyu benar-benar merusak ketenangan pagi itu. “Keluar kau atau kudobrak pintu ini,” ancamnya sembari terus menggedor.
Sontak keributan yang dibuat Wahyu memanggil warga untuk datang melihat. Mereka saling berbisik dan menerka, apa gerangan yang menyebabkan Wahyu kalap pagi-pagi begini. Baru saja dia hendak mendobrak, pintu terbuka dan muncullah wajah Kardi yang kebingungan melihat halaman rumahnya mendadak seperti bioskop, penuh warga.
“Ada apa ini, Wahyu?”
Kardi keluar dengan pakaian lengkap hendak berangkat kerja. Burung merpati yang menjadi lambang perusahaan pos nasional tersemat di lengannya.
“Ini semua gara-gara kamu dan teman-temanmu, Kar!” Wahyu menunjuk-nunjuk wajah Kardi.
“Lo, tenang dulu, Yu. Jangan emosi. Aja kesusu nuduh orang. La, aku ini salah apa?”
“Sudah tiga minggu aku menulis surat kepada Presiden. Tapi sampai hari ini belum dibalas. Pasti kalian tidak menyampaikan suratku kan!”
“Lo, kami profesional, Yu. Bahkan kau tahu, aku sudah memastikan suratmu sampai ke tujuan.”
Kardi tak habis pikir, mengapa Wahyu menuduh seperti itu. Akan tetapi di satu sisi, ia semakin kasihan melihat sahabatnya itu. Bagi Wahyu, surat kepada Presiden adalah harapan satu-satunya untuk menyelamatkan tanahnya dari ancaman pembangunan hotel.
Kardi masih ingat betapa kalap temannya itu saat melihat beberapa pekerja mengukur-ukur luas pekarangannya. Pembangun hotel itu mulai bekerja tanpa seizin Wahyu, setelah berkali-kali merayu dia menjual tanah di depan rumah, tetapi tidak juga berhasil.
“Bagaimana mungkin aku menjual tanah di depan rumahku itu, Kar. Kau tahu, itu kenangan terbesar Marni,” ucap Wahyu suatu malam.
Kecintaan Wahyu kepada Marni memang sangat besar. Di pekarangan depan rumah itulah dulu Marni menanam bunga-bunga indah dan aneka pohon yang dia rawat dengan telaten. “Marni pernah berkata, bunga dan pohon di pekarangan itu adalah tempat bermain anak kami kelak,” curhat Wahyu suatu hari.
Namun, nahas, belum sempat mereka diamanahi buah hati, Marni meninggal akibat kecelakaan. Wajar bila Wahyu menolak tawaran dari pengusaha hotel. Saat melihat pekarangan itu, ia selalu teringat kepada Marni. Mereka sudah melaporkan pembangunan itu ke pihak RT dan RW. Namun mereka malah menyalahkan Wahyu. Mereka berkata, Wahyu bodoh menolak tawaran begitu tinggi.
Wahyu juga sudah melaporkan perbuatan pembangun hotel itu ke aparat keamanan. Ketika itu dikatakan, kasus itu akan segera diproses. Wahyu akhirnya sadar, kata “memproses” itu sungguh ambigu. Bahkan hingga detik ini, jika ditanya mengenai perkembangan penanganan kasus itu, aparat keamanan akan berkata sedang memproses.
Kardi tidak sampai hati melihat Wahyu terduduk lemas di kursi ruang tunggu kantor aparat keamanan selepas mendengar kabar untuk kali kesekian bahwa kasus itu sedang diproses.
“Aku tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa, Kar,” ucap Wahyu saat mengatakan niat mengirim surat ke Presiden.
Sore itu, mereka berdua duduk sambil memandangi pekarangan peninggalan Marni. Ranting pepohonan itu bergerak mengikuti tiupan angin sore. Sementara di beberapa titik bisa terlihat jelas bekas galian yang akan dijadikan patok pembangunan.
Kardi masih ingat, saat Wahyu menyerahkan surat itu sambil berkaca-kaca beberapa minggu lalu. “Aku titip harapanku padamu, Kar.”
Tak kuasa hati Kardi menahan air mata. Kedua sahabat itu menangis sejadi-jadinya. Orang-orang yang lalu lalang pun melihat mereka dengan tatapan aneh.
Kardi pun memperlakukan surat itu secara spesial. Saat menyortir surat, dia pisahkan surat Wahyu dari surat-surat lain. Ketika dikirim ke Ibu Kota, dia minta temannya yang bekerja di sana memastikan surat itu baik-baik saja dan sampai ke tujuannya: rumah Presiden.
Maka pagi ini, ketika Wahyu dengan emosi menggedor-gedor pintu rumahnya dan menuduh dia mengkhianati, bukan amarah yang muncul di hati Kardi. Namun rasa iba. Sudah sedemikian frustrasikah sahabatnya itu sampai kehilangan akal sehat? Dia merangkul Wahyu sambil mengelus-elus pundaknya. Maka pecahlah tangis Wahyu pagi itu.
“Mereka sudah membangun tembok di pekaranganku, Kar. Pohon peninggalan Marni juga sudah mereka tebang,” Wahyu bercerita sambil terisak-isak.
“Mungkin memang sebaiknya kaujual saja pekarangan itu. Jangan khawatir, Sahabat, keikhlasan dan perjuanganmu akan diganjar pertemuan dengan Marni di tempat yang lebih kekal kelak,” ujar Kardi sambil menggigit bibir, menahan haru.
Sembari sesenggukan, Wahyu mengangguk perlahan.
Sesampai di kantor, kejadian pagi itu masih membayangi Kardi. Alangkah terkejut dia saat menyortir surat yang datang, ada sebuah amplop berlambang kepresidenan ditujukan ke alamat Wahyu. Dia girang bukan kepalang. Namun dia ingin melihat isi surat itu sebelum memberikan kepada Wahyu. Dia tidak ingin sahabatnya kecewa.
Perlahan dia buka dan baca surat itu. Di surat itu tertulis, “Ikhlaskan saja. Itu semua demi pembangunan dan peningkatan ekonomi.” (44)

Syahirul Alim Ritonga, mahasiswa Teknik Mesin UGM, anggota FLP Yogyakarta.