Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Fathia Sya (Republika, 27 Agustus 2017) Sirene Candi ilustrasi Rendra Purnama/Republika“Aku gagal Candi.”
Seorang gadis, masih dengan isakan membalas pesan singkat yang
dikirim oleh sahabatnya. Kabar yang baru saja ia dapat tidak sesuai
dengan harapan. Bagaimana bisa? Usaha yang sudah ia lakukan dengan
mengorbankan banyak hal tidak membuahkan hasil sesuai apa yang ia
inginkan. Hanya tetesan air mata membasahi pipi. Tidak tahu apa lagi
yang bisa ia lakukan.
Di tempat lain, remaja tanggung bernama Candi menatap nanar layar
HP-nya. Ia mengerti sekali apa yang sedang terjadi. Sudah terbayang
wajah sahabatnya itu menangis tersedu, Qyara tidak pernah bisa menahan
perasaannya. Ia sedang memikirkan apa yang harus dilakukan untuk
temannya itu.
Candi dan Qyara menjalin pertemanan di sekolah menengah atas (SMA)
terpadu al- Hikmah, Karawang, Jawa Barat. Keduanya kerap bertukar
pikiran seputar pelajaran dan masalah yang dihadapi. Ketika itu, Qyara
terpaksa menunda kuliah, karena keterbatasan ekonomi.
“Jangan berkata gagal. Kau sudah lupa ya? Sirene semangatku tidak akan pernah padam untukmu,” kata Candi.
Layar ponsel mengeluarkan pop up chat, muncul nama Candi di
sana. Ah Candi, justru ketika berusaha menghibur, memberi semangat tak
pernah absen, membuat Qyara semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa ia
setega itu membalas semangat dan doa dari sahabatnya dengan kata gagal.
Gadis itu semakin terisak.
“Kau tidak kuliah tahun ini juga bukan kiamat bagimu kan? Kau sudah
melakukan yang terbaik untuk mimpi-mimpimu. Sekarang, bangkit dari
kesedihan dan sambut kembali donatur bahagiamu. Mereka tidak sekecewa
itu dan akan memahami keadaan yang terjadi.”
Qyara hanya sanggup membacanya, lalu tenggelam kembali dalam tangisan
yang membasahi bantal tidurnya. Donatur bahagia yang Candi maksud
adalah kedua orang tuanya, teman-temannya, guru-gurunya. Mereka adalah
orang-orang yang selama ini memerhatikan kehidupannya.
Candi bingung harus melakukan apa. Upaya apa yang harus dilakukan
agar sahabatnya mengerti tidak ada yang harus terlalu dikhawatirkan.
Qyara sudah hebat sejauh ini. Ia menjadi pelajar berprestasi dengan
sejuta capaian. Hanya sekarang, Allah menentukan bukan tahun ini ia
berkuliah, meskipun orang tuanya mengalami keterbatasan ekonomi. Mungkin
tahun depan. Dan Candi yakin sekali, yang akan ia hadapi besok adalah
yang terbaik untuk sahabat itu.
“Kau ingat cerita Nabi Ibrahim AS yang diminta Allah untuk menyembelih putra tercintanya?”
Qyara menatap lama pesan kesekian yang sedari tadi hanya ia baca. Ia mengambil ponselnya, memencet layar touch screen-nya lalu membalas singkat, “Apa hubungannya?”
Candi yang membacanya tertawa pelan di sisi lain. Ia berharap, Qyara
bisa mengambil hikmah yang baik dari kisah pengorbanan yang mulia. Ia
tiba-tiba teringat akan cerita ini karena melihat boneka domba milik
adiknya tertinggal di kasur. Mereka baru selesai bermain bersama tadi.
“Kau tahu persis bukan ceritanya? Ketika Allah menurunkan wahyu lewat
mimpi Ibrahim berkali-kali. Bapak para nabi itu bermimpi Allah
memerintahkan ia untuk menyembelih Ismail. Bagaimana mungkin seorang
bapak tega menyembelih putranya sendiri? Tapi kita semua tahu akhir
ceritanya, bahwa Ismail dengan secepat kilat Allah ganti dengan seekor
hewan kurban. Kisah ini menjadi rujukan budaya berkurban di agama kita.”
Qyara terus membaca. Ia belum mengerti apa maksud dari cerita Candi
kali ini. Ia hanya menunggu Candi melanjutkan ceritanya. Melanjutkan
hikmah yang terkandung dalam cerita hebat itu. Hatinya mulai sedikit
tenang dibanding sebelumnya. Lama-lama ia berpikir, untuk apa menangis
terlalu lama? Untuk apa meratapi terlalu lama? Toh, tidak ada yang berubah.
Pesan Candi masuk. “Dari kisah itu, kita belajar apapun yang terjadi
sudah diatur Allah. Jangan sampai kita tidak percaya adanya qadha dan
qadar hanya karena kekecewaan yang sementara. Nabi Ibrahim saja tidak
mengetahui apa rencana Allah ketika beliau dengan ikhlas menjalankan
perintah untuk menyembelih putra tercinta. Namun pada akhirnya, ketika
berserah kepada-Nya, kita akan mengetahui apa rahasia atau skenario
terbaik untuk kita.”
Membaca pesan Candi membuat gadis itu terisak kembali. Hampir saja ia
menyalahkan kehendak Tuhannya atas ke gagalan yang ia alami. Ia lupa
akan kalimat sederhana itu. Ia lupa bahwa Allah akan mengganti yang
lebih baik, dan itu mutlak. Pasti Allah akan berikan yang terbaik
untuknya.
“Nah, Qyara, sekarang tugas kita hanya taat dan tawakal. Pasrah dan
ikhlas. Tidak ada usaha yang sia-sia. Percaya pada-Nya. Ia Sang
Mahamengetahui apa-apa yang terbaik bagi hambanya.”
Napas Qyara mulai tenang. Jiwanya mulai lapang. Ia mulai mengerti dan
paham arti di balik semua ini. Kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail
memberi secercah harapan baru dalam perjalanan hidup yang singkat ini.
“Apa kau masih menangis? Astaga. Cengeng sekali kau ini Qyara.”
Candi hampir menyerah. Dari tadi pesannya hanya dibaca tanpa dibalas
satu katapun. Pikirannya penuh dengan omelan, neuron otaknya keheranan
dengan sikap Qyara. Apalagi yang harus ia lakukan?
Qyara membaca pesan itu sambil tertawa kecil sekaligus mendengus
sebal. Apa-apaan Candi ini. Barusan berusaha menghiburku, sekarang malah
meledek cengeng. Ia mengambil ponselnya dan mengetikkan beberapa
kalimat.
“Aku sudah lebih baik kok. Jangan depresi gitu. Jangan marah-marah. Terima kasih untuk kisah Nabi Ibrahimnya.”
Sesaat setelah nada notifikasi berbunyi, Candi langsung mengambil
ponselnya. Sambil membaca, ia makin heran, siapa yang sebenarnya emosi.
“Kau ini ya. Siapa juga yang marah-marah? Nah sekarang, apa rencanamu
ke depan? Apa yang ingin kau lakukan selama satu tahun penuh? Kau tidak
akan menyia-nyiakan begitu saja kan?”
Wah, Candi ini. Di saat seperti ini, kenapa ia tidak membiarkan gadis
yang baru tamat sekolah menengah atas itu tenang dulu meski sebentar.
Gadis berambut hitam itu tiba-tiba berpikir harus melakukan apa.
“Apa tujuanmu hidup? Apa misi yang Allah berikan untukmu? Kenapa kamu hidup?”
Seakan bisa membaca pikiran Qyara, Candi mengingatkan lagi, sekaligus
membantu apa yang harus Qyara lakukan selanjutnya. Candi selalu percaya
bahwa tidak ada yang Allah ciptakan sia-sia, tanpa memiliki fungsi dan
manfaat apapun di bumi ini. Ia percaya bahwa setiap manusia tidak ada
yang pantas disebut sampah masyarakat. Mereka hanya bingung, sebenarnya
apa yang harus mereka lakukan sebagai manusia di bumi-Nya?
Qyara di sisi layar yang lain berpikir tentang mimpi besar. Ia ingin
menjadi orang yang membahagiakan orang lain. Maka ketika ia bahagia,
maka orang-orang di sekitarnya turut berbahagia. Visi hidupnya adalah
menjadi manusia yang bermanfaat bagi dunia, mengindahkan Islam di alam
yang mendukungnya. Qyara ingin menjadi manusia yang berkualitas.
“Candi, aku mau jadi manusia yang berkualitas. Sebelum aku menularkan kebaikan kepada dunia. Aku harus baik dulu kan?”
“Tentu saja Qyara.”
“Lalu?”
“Beri aku saran. Teladanku dalam memutuskan hal ini adalah Muhammad Al- Fatih.”
Candi menunggu kalimat selanjutnya.
“Dalam setahun ini, aku mau mencoba menghafalkan Alquran. Dengan
begitu tingkat fokusku akan bertambah, plus mentadaburinya, itu menjadi
landasan langkah-langkah kakiku nanti. Lalu bahasa, aku mau menguasai
minimal 4 bahasa baru. Bahasa kunci dari semuanya. Lalu terakhir,
pendidikan harus tetap dijunjung tinggi. Al-Fatih memenangkan
peperangannya, menaklukkan Konstantinopel karena tarbiyah (pendidikan).”
Candi tersenyum lebar. Sahabatnya kini mulai melihat harapan. Sirene
semangatnya akan terus berbunyi untuk sahabatnya itu, sampai kapan pun.
Hilang sudah keterpurukan dan ketakutan tidak akan menjadi seperti
pemuda lainnya yang mulai ikut orientasi mahasiswa baru. Qyara sudah
tidak memikirkan apa tanggapan orang lain.
Hati dan pendiriannya semakin teguh. Dia meyakini akan mampu menjadi
manusia yang bermanfaat dengan sedikit bersabar dan tentu saja
bertawakkal kepada Ilahi Rabbi.
“Wah, Qyara sudah besar. Sudah tak nangis lagi dong ya? Oke.
Tidak ada yang perlu dikoreksi. Hanya perlu melangkah terus. Kalau
melihat kebelakang, kau akan terus melihat sireneku. Ia tidak akan
pernah berhenti berbunyi untukmu.
Qyara tersenyum lebar kali ini. Tidak ada yang harus ia takuti di
dunia ini. Meski terkadang dunia sangat kejam, ia tidak perlu takut.
Sebesar dan seberat apapun masalah yang dihadapi, ia punya Tuhan yang
jauh lebih besar. Tuhan adalah donatur kebahagiaan tidak pernah putus
memberinya semangat dan bantuan.
“Jadi, aku hanya perlu menjadi orang baik yang terus melangkah kan, Candi?”
“Tentu saja Qyara. Jadilah orang baik yang mengubah dunia menjadi
baik pula. Karena dunia merindukan orang-orang baik menyetirnya. Jangan
pernah berhenti dengan mimpi-mimpimu karena itu jalanmu. Jika bukan
sekarang waktunya ia terwujud. Maka, kau akan tahu ketika Tuhan kita,
mengatakan kun (jadilah)!”
Kedua insan itu sama-sama tersenyum. Mereka sama-sama bahagia melihat
dunianya, masa depan bangsanya. Meski mereka tahu melakukan mimpi besar
tidak semudah tersenyum membayangkannya. Yang mereka lakukan hanyalah
melangkah, biar Allah yang memberikan jalan yang spesial.
“Hey Qyara.”
“Iya, Candi?”
“Berjanjilah satu hal padaku.”
“Janji apa?”
“Jangan pernah berhenti meski dunia bahkan tidak memihakmu nanti.”
(Penulis sering mengisi acara diskusi dan
aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Belum lama ini, karya penulis
berjudul “Breaking The Limit” sudah dibaca oleh anak-anak muda. Penulis
sering meluangkan waktu dengan menulis cerita pendek)
Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 27 Agustus 2017) Kami Antar Barang sampai Kampung Terujung ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosZEN menyampirkan handuk kecil di leher, dan sambil
bersiul ia turun ke air. Takjub, ia terpaku sebentar, memandang arus
memutih seolah baru menemukan sungai susu yang disebut dalam kitab suci.
Tapi ketika membuka pakaian, ia sadar bukan orang pertama di tempat
itu: ia lihat bungkus sabun dan sampo berserakan di celah batu. Dan,
saat ia mulai berendam, sesuatu nyangkut di kakinya, ia angkat: o,
bungkus mi instan hanyut terseret arus!
Apakah ia merasa Luk Ulo, sungai kuno di bumi, telah ternodai? Dalam
hati, mungkin ia bilang iya. Tapi ah, bagaimanakah menjaga kemurnian di
dunia yang penuh serbuan benda-benda? Maka ia hanya nyengir kuda ketika
aku sentil, “Jadi, tetap ada plastik pabriknya, ya?”
“Iya, Mang, malah muncul dari hulu,” Zen masygul. Menebal raut kecewa
di wajahnya, seperti mendung di langit. “Ayo, Mang, mandi, mumpung
belum hujan!” ajaknya kemudian.
“Aku istirahat saja, sambil awasi Neng Eli. Mana tahu ada yang usil,”
aku menyulut rokok di atas batu. Dari situ aku bisa melihat Minareli
sedang sibuk mengecek ulang nota-nota, faktur dan kuitansi, menghitung
uang masuk dengan pulpen dan kalkulator di tangan.
Kami bertiga karyawan PT Bahagia Asri yang bergerak dengan mobil kanvas. Sebagai sales canvasser,
tugas kami mengantar barang ke toko dan warung-warung pinggir jalan
sampai kampung terujung—sampai mobil boks yang kukemudikan tak bisa lagi
lewat. Tapi selagi jalan bisa dilalui kendaraan roda empat, dan ada
warung tegak merdeka di ujung, kami berjuang mencapainya. Kami cepat
tahu jika ada warung baru yang buka, menawari diri jadi langganan,
sambil menjaga kesetiaan pelanggan lama. Sebab, ketahuilah, sales kanvas
bersileweran dari berbagai penjuru. Kadang menyulut pertengkaran, tapi
selesai berkat database operasional. Bagaimanapun target penjualan sudah
digariskan. Makin banyak pelanggan, makin banyak bonus kami dapatkan,
di luar gaji pokok yang tak seberapa besar. Jika abai, bukan hanya
dompet kempes dibawa pulang, juga terima bersih omelan di kantor.
Kami biasa pergi berhari-hari menyisir daerah pinggiran, kota-kota
kecamatan, masuk kampung ke luar kampung. Menyinggahi toko dan
warung-warung. Bersua wajah-wajah langganan yang semringah. Bertemu
sungai, pantai, sawah hijau, dan bukit-bukit biru, seolah aku sedang
jalan di kampungku sendiri. Kaca mobil kubuka lebar, dan kuhirup udara
segar. Malam hari kami menginap di losmen langganan yang harganya
terjangkau di jalur lintasan. Itulah bedanya canvasser seperti kami dengan sales motor atau motoris maupun sales taking order (TO) yang hanya muter-muter dalam kota atau kampung terdekat.
Hari ini kami tahu ada warung buka di kampung terujung, milik seorang
TKW yang baru pulang dari Saudi. Ketika kami susuri jalan batu ke situ,
kami temukan warung itu berdiri anggun tak jauh dari Sungai Luk Ulo.
Ber kardus-kardus barang ia pesan dan aku merasa lega mendapat satu lagi
tambahan pelanggan. Tak lupa kami tempel poster produk terbaru dan
barang promo. Bahkan sebuah baner bergambar perempuan berambut panjang
–untuk iklan sampo—kami pasang di depan, membuat warung itu jadi tampak
tambah cemerlang. Setelah itulah kami singgah di Luk Ulo, sungai dengan
batuan purba, di pedalaman Kebumen.
***
ZEN cah Bandung, lulusan universitas ternama di Jogja. Ia sales kanvas
yang cekatan mengeluarkan barang, menumpuk kardus dan mengantar ke
pemesan. Ia tahu pasti di mana posisi kardus-kardus berbagai produk. Mi,
gula, kopi, deterjen, sabun, sampo, snack, bubur bayi, hingga permen, dan susu sachet.
Ia juga fasih mempromosikan barang terbaru. Oya, ada lagi satu: ia
terlatih membuat laporan aktivitas perusahaan pesaing! Zen memang tak
asing dengan penyaluran barang. Ibunya punya warung kecil di kampung.
Pamannya, begitu ia cerita padaku, adalah tukang mindring.
Waktu remaja, Zen sering diajak sang paman keliling menyalurkan barang
kreditan. Namun sebagaimana kita lihat nanti, lambat-laun Zen menjadi
orang yang “bermasalah” dengan distribusi barang.
Aku sendiri wong Wonogiri. Aku juga tak asing dengan barang
masuk kampung. Aku punya bibi yang kukagumi karena sejak pakde
meninggal, dia menghidupi enam anak. Ia gesit berjalan kaki menawarkan
barang ke kampung di lereng Gunung Lawu, menempuh jalan setapak, meniti
jembatan gantung. Meskipun wong Wonogiri dianggap pintar
dagang, aku tak berbakat dan kegesitan bibi tak membekas padaku. Jika
pun kini bekerja di perusahaan dagang, aku tak terlibat langsung dengan
barang. Aku hanya seorang sopir. Istilah kantor: driver.
Kasir kami Minareli, gadis Tasik, bertugas mencatat barang
masuk/keluar serta menerima pembayaran. Ia hafal spesifikasi barang
tanpa pikir panjang dan tahu mana item yang bisa bayar belakangan.
Karena itu, ia tak lepas dari pulpen, faktur, kalkulator. Mestinya ia
bertugas sebagai sales TO, menawarkan barang ke pihak grosiran. Tapi
perusahaan kami lebih banyak meng-cover distribusi retail.
Maka Minareli bergabung bersamaku. Jangan khawatir, meski ia
perempuan yang duduk di muka diapit dua lelaki, Minareli pandai menjaga
diri, dan kami tak berbahaya. Di losmen, Minareli juga ambil kamar
sendiri. Suka-duka di jalan, pahit-manis menghadapi pemilik toko dan
orang kantor, menyatukan kami lebih sebagai kawan senasib. Aku merasa
hubungan kakak-adik. Kedua anak muda itu mengingatkanku pada dua adikku
yang jadi buruh di Jakarta.
Yang kusuka, Minareli tak canggung bersama kami maupun menghadapi
konsumen. Maklum, ia pernah jadi sekretaris koperasi di kotanya. Namun
ia keluar setelah ada kejadian unik. Waktu itu, pihak koperasi membuka
usaha baru: “Simpan Pinjam Perempuan”. Minareli merasa agak janggal
dengan sebutan itu. Maka ia beri masukan supaya ada kata “untuk” sebelum
kata perempuan. Tapi ketua koperasi, Pak Jajang, keukeuh menolak. Lhadalah,
setelah pe resmian, plang nama koperasi itu viral di media sosial dalam
bentuk lucu-lucuan. Pak Ja jang menuduh Minareli memberi tahu dan
mengipasi netizen. Ia dibentak dan diancam. Ketimbang ribut, Minareli
memilih cabut. Lagi pula memang sudah saatnya. Ketua koperasi itu suka plirak-plirik padanya dan kadang berolok tak pantas. Minareli lalu pergi ke tempat kakaknya yang buka warung burjo di Jogja. Si Neng bantu-bantu di sana sambil ganti dilirik para mahasiswa.
Zen gemar nongkrong di situ, nonton bola, dan ssttt… bisa
ngutang! Maklum, statusnya nanggung: mantan mahasiswa kepingin jadi
mahasiswa. Ia nunggu beasiswa S-2 yang tak kunjung dapat, sedang orang
tuanya sudah cukup senewen membiayai sampai S-1.
Kudengar ia mahasiswa pintar dan nilainya tinggi, hanya terlalu
pemilih. Konon, ada beasiswa dari lembaga luar negeri yang ia tolak.
Menurutnya lembaga itu pernah jadi tangan menyamar dalam peristiwa
berdarah di tanah air. Pemuda 27 tahun itu boleh juga. Meski ia
luntang-lantung jadinya. Di luar dugaan, atas ajakan Minareli, Zen mau
ikut lamaran sales kanvas. Mungkin saat itu ada malaikat lewat yang
membuatnya menyadari idealisme mesti diuji. Waktu aku iseng bertanya
soal itu, Zen nyengir, “Utangku di burjo udah segunung, Mang. Malu mah sama Teh Eli.”
Mereka ditempatkan di mobil boks PS 100 yang aku bawa—awal kami
bersama. Tapi, ah, tidak. Kami tak selalu bersama jika diartikan
kegundahan milik masing-masing orang.
***
DI antara kami bertiga, Zen termasuk penggelisah
akut (maaf, aku tak punya istilah lain), bahkan jika dibandingkan dengan
semua karyawan di kantor. Ada-ada saja yang ia gelisahkan terkait
barang dan distribusi. Kupikir ia trauma waktu ikut pamannya jadi tukang
mindring. Sebab, katanya, ia pernah menghadapi ibu yang tak
sanggup bayar kredit panci, dan pamannya tega mengambil panci yang
sedang terjerang. Nasinya yang masih mentah ditelungkupkan di atas meja
dapur. Zen mencegah, tapi si paman bilang bahwa yang pertama sudah ia
maafkan dan ini yang kedua.
Pernah pula pamannya ditantang berkelahi oleh seorang bapak yang
menolak melunasi cicilan. Besoknya sang paman mengajak kenalannya
berambut cepak mencari si bapak. Zen melarang, tapi sang paman
mendamprat, “Jangan lunak kerja di lapangan atuh!”
Aku duga Zen trauma atas kejadian masa remajanya itu. Buktinya,
sehabis bercerita padaku, kulihat matanya menerawang. Kosong. Tapi dalam
hari-hari kami kemudian, ia mulai menyebut berbagai istilah dan teori.
Tentang barang-barang produksi. Pabrik. Investasi. Modal. Konglomerasi.
Korporasi. Konsumsi. Dan entah apa lagi. Simpulanku berubah: apakah
sebagai mantan mahasiswa sejarah, Zen terlalu banyak belajar revolusi
industri, buruh, kolonialisme, hingga negara dunia ketiga? Jelek-jelek,
aku pernah duduk empat semester di sebuah akademi.
Memasuki tahun kedua, Zen kerap murung. Minareli tahu perubahan itu.
Aku bertanya dengan suara sengaja dikeraskan, “Kenapa si Akang, ya,
Neng? Suka ngelamun sekarang.”
“Iya, dulu tak begini. Sekarang kok rada alergi sama barang, seolah
semua barang banyak micinnya,” jawab Si Neng tenang. Aku terkekeh.
“Apa anak gadis pemilik toko di Kroya telah menolaknya?” selidikku lagi.
“Tidaklah, Mang. Si Akang mah setia sama teteh nun di sana,” kata Minareli merujuk ke kasih Zen, seorang penari di Bandung. Zen hanya mengembuskan asap rokok ke udara.
Kali lain, sengaja kutekan klakson keras-keras supaya lamunan Zen
buyar. Tapi ia cuma senyum masam. Kata Si Neng, “Ia lagi mikir keras atuh, Mang!”
“Ya, tapi soal dunia tak bakal ambrol dipikirin, Neng. Atau utang burjo-nya belum lunas?”
Minareli tergelak. Dan saat istirahat makan sate ambal yang berkuah tempe, aku tepuk pundak Zen, “Ono opo to, Bung?”
Ternyata ia terlanjur jauh memikirkan rumah-rumah yang berubah jadi warung! Menurut pengakuannya, ia merasa suwung.
Ada yang hilang dan gerowang. Jawaban dingin Zen tak ubahnya lubang
jalan terlindas ban. Membuat tubuhku terlambung. Sialan! Bukankah di
mata awamku warung-warung itu tampak semarak? Persis papan iklan di tepi
jalan.
Tapi tampaknya bukan itu yang dimaksud Zen!
“Ya, ramai. Tapi semua terasa kosong, Mang, kosong belaka,” Zen geleng-geleng kepala.
“Lho?” aku bergidik. “Aku kok tidak ngerasa, ya,” akuku polos.
Zen menarik napas panjang. “Selintas memang tak terasa, Mang. Tapi
coba renungkan. Warung-warung itu hanya menampung barang yang kita bawa
dari kota. Ya, selalu hanya jadi penampung. Tanpa timbal balik,” emosi
Zen tak terbendung.
“Bagaimana persisnya?” aku mulai tertarik.
“Dulu, Mamang cerita padaku pernah jadi sopir truk Wonogiri-Jakarta kan?”
“Ya, lantas?”
“Waktu itu Mamang bilang dari Wonogiri membawa hasil bumi. Dari Jakarta bawa kain dan barang pecah belah.”
“Benar. Truk tak boleh kosong. Prinsipnya cari muatan.”
“Nah, itu ideal. Ada pertukaran produk kota-desa. Tapi dengan mobil
kanvas seperti ini, semua drop-dropan; kita antar barang
sebanyak-banyaknya. Jor-joran, tak kenal ampun nyaris siang-malam karena target penjualan! Dan satu arah, top down; pernahkah perusahaan bertanya kebutuhan apa yang penting bagi orang-orang?”
Aku merasa jalan yang kulalui mengabur. Hablur ditimpa bayang-bayang kegelisahan.
“Kampung-kampung hanya jadi lambung, Mang, bukan lumbung,” nada Zen bergetar.
***
SUDAH lama aku menjadi sopir. Mulai truk pengangkut pasir—tempat aku belajar nyopir—lalu pick up sayur,
sampai truk ekspedisi. Ketika pemilik truk bangkrut, aku ke Jogja,
melamar jadi sopir kanvas. Dan belum pernah aku mengalami suasana batin
seperti sekarang.
Jujur, aku cukup menikmati suasana jalanan di wilayah kerja kami,
dengan warung-warung setia menunggu. Mulai perbatasan Purworejo sampai
Kebumen, Cilacap dan sebagian Banyumas. Dari kantor Bangunjiwo, Bantul,
kami biasa lewat jalur Deandels menyisir pantai selatan yang indah.
Patanahan, Ambal, Ayah, dan keluar di Sumpiyuh, terus ke Buntu, Kroya,
dan Cilacap. Pulangnya kami susuri Kebumen arah pegunungan.
Di sepanjang jalur itu memang masih banyak tempat suwung,
namun tak kalah banyak kampung dengan rumah dan warung-warung yang
hidup. Karena itu, aku kepikiran terus pernyataan Zen tentang
rumah-rumah yang ja di warung dan segalanya berubah suwung!
Ah, aku memang suka mengganggu Zen dengan maksud menggoda, namun
gangguannya padaku lebih kejam daripada godaan! Dan jika kudiamkan,
perasaan ingin tahuku terus melawan. Aku mulai terdera. Tiap perkataan
Zen terdengar rawan. Meski jujur kuakui, bersama Zen, juga Minareli,
hidupku jadi lebih berwarna. Tak melulu urusan penjualan, bonus dan
gaji. Tak hanya bicara produk, juga hakikat barang. Bahkan ruang dan
waktu.
Dengar, saat melewati ruas jalan yang padat, Zen bergumam, “Jalan kecil ini punya hasrat terlalu besar, Mang. Semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak peduli waktu.”
Minareli mengangguk. Sedang aku tak bisa sekadar mengangguk. Gumam itu merasuk ke kepala, bikin kemaruk!
Kali lain Zen mengirimi aku pesan Kemerdekaan Aqua dan Coca-Cola. Sebelum “dinas luar kota”, istilah kami sebagai canvasser, ia bertanya, “Gimana, Mang, udah baca puisinya?”
“Puisi yang mana?”
“Yang aku WA.” Oala, itu puisi toh! Mana kutahu. Zen akhirnya
menjelaskan, itu puisi seorang penyair Jogja tempo dulu yang suka
nongkrong berjamaah di Malioboro. Sekarang mustahil bisa begitu jika tak
ingin tertindih ruko dan toko-toko, katanya. Setelah kubaca, kurasa
cocok dengan perasaan dan keadaanku. Sebagian masih kuingat: Marilah
takjub. Aqua dan Coca-Cola/ telah memudahkan pesta. Mengusir gelas/
cangkir dan kendi, kembali/ sebagai barang pecah-belah. Berdebu/ menyatu
dengan sejarah almari.//
Bersama dengan itu, aku mulai amati jalan yang kulalui dengan hati
jembar. Perumahan. Ruko. Travel haji & umrah. Kafe. Pabrik. Rumah
sakit. Semua tumplek blek. Paling banyak warung dan toko, tegak
berdampingan atau berhadapan. Kadang hanya terpisah satu dua rumah
karena memang, seperti dikatakan Zen, rumah-rumahlah yang berubah jadi
warung. Satu-dua warung tutup karena bangkrut atau si penunggu tak kuat
duduk terkantuk-kantuk. Tapi warung lain buka mengganti. Ada pula yang
mencoba terus bertahan. Uniknya, pada sebuah warung, kudapati mata Zen
sebak menahan tangis. Minareli pun tampak sedih.
Hati-hati kutanyakan apa yang mereka lihat, sehati-hati aku menarik perseneling.
“Tahukah kamu, Mang,” jelas Zen, “Pak-pak rokok yang
berjejer di etalase toko Bu Surti tadi, sebetulnya tinggal bungkusnya
saja. Tak sengaja tersenggol tanganku, dan bungkus yang ringan itu
berjatuhan. Ternyata itu kamuflase supaya orang menganggap usahanya
tetap jalan. Bu Surti terperangah. Untung luput dari perhatian orang
yang belanja.”
“Karena itu, kutunda minta tagihan minggu lalu,” tambah Minareli.
Dan Zen kemudian mengusap matanya. “Aku ingat ibuku… Beliau dulu pernah begitu.”
***
APA yang dipikirkan Zen perlahan kupikirkan juga.
Apakah pikiran seperti air atau sejenis penyakit? Ia dapat menular
melalui percakapan, tindak-tanduk bahkan kemurungan. Begitulah, Zen
tambah gelisah. Kini ia membawa buku agenda ke mana-mana. Kukira itu
buku catatan barang. Tapi lantaran kerap ia tulisi saat istirahat,
kuduga itu buku harian. Bahkan ia menulis saat mobil sedang melaju,
katanya, kepalanya lagi penuh. Maka kaburlah dugaanku.
Pernah aku jengkel sekali padanya. Bayangkan, saat mobil mogok, ia
malah menulis di antara kardus-kardus, dalam boks yang sengaja ia buka
sebelah pintunya. Aku mau marah. Tapi melihat keringatnya
menetes—melebihi keringatku menyetel mesin—kupikir beban anak muda itu
lebih berat dari yang kurasakan. Mungkinkah kepala yang penuh lebih
berat ketimbang otot yang bergerak membuka sekrup?
“Ia mau bikin buku untuk mahar pernikahannya, Mang,” tanpa
kuminta, Minareli menjelaskan. Mungkin dia khwatir bakal salah
pengertian di antara kami, atau ia sendiri minta pengertian supaya kerja
tetap nyaman. Aku tahu kekasih Zen seorang penari dan mereka akan ke
pelaminan. Tapi buku apakah yang dibutuhkan seorang penari sehingga Zen
harus menulisnya sendiri lebih liar dan senewen daripada gerak penari
beneran? Perasaanku mulai kacau menghadapi Zen. Kesal, marah, kadang
takjub, campur-aduk jadi satu.
Malam, sepulang kami mengantar barang, aku pacu mobil agak kencang
menuju losmen langganan. Jalanan terasa lebih lapang, dan papan iklan
kian gemilang oleh cahaya neon, berbarengan semarak iklan di radio yang
kuputar. Di luar, kulihat makin banyak warung buka hingga larut, bahkan
24 jam. Sementara dalam mobil yang melaju, kulirik dua anak muda di
sampingku. Mereka tidur kelelahan. Ah, anak muda, kau menghadapi masamu
sendiri, dengan gejolak dan gelora.
Aku merasa dulu juga seperti itu, sebelum punya anak tiga. Aku
menolak melanjutkan kuliah karena merasa tambah bego. Kemudian Pak Madi,
tetanggaku, menawari aku jadi tenaga honorer di kantor pos. Tapi jika
mau diangkat cepat, kata Pak Madi, si mbok bisa dikenalkan dengan orang
yang ngatur. Ngatur mbahmu! Bentakku dalam hati. Mbokku sampai terbungkuk-bungkuk meyakinkanku. Aku bergeming dan memutuskan ikut truk pasir Pak Kali.
Sekarang aku merasa gagal jadi pemberang. Aku harus tenang memikirkan sembako, biaya sekolah anak, iuran ngaji, cicilan rumah, kondangan, pitulasan, dan
tetek bengek ini-itu. Karenanya, melihat sikap Zen uring-uringan, aku
mulai berpikir untuk menegur. Maklum, sekarang banyak warung dan toko
yang ia minta dilewatkan. Alasannya macam-macam. Pemilik warung
nunggaklah, suka komplainlah, galaklah, atau malas saja. Padahal aku dan
Minareli berpendapat sebaliknya. Tapi sebagai sales utama, kami mesti
ikut apa kata Zen.
Untuk menutupi target penjualan, kami terpaksa “buang barang”. Ah,
orang lapangan pasti tahu yang kumaksud! Apalagi kalau bukan jual barang
secara grosir ke toko-toko besar di kota kabupaten atau kecamatan.
Tentu saja mereka bersedia karena harga sengaja dibuat miring. Demi
target, tak apa, supaya bibir orang kantor tak ikut miring. Fakturnya
dipecah supaya tak kentara, dan satu lagi: kami mesti nombok! Satu dua
kali tak masalah. Kami masih dapat dari warung lain yang harganya
digerek sedikit. Juga sisa uang solar karena tak banyak mutar.
Semua itu sungguh tak nyaman. Harus ada tindakan. Maka sehabis dua
batang rokok, aku bangkit mendekati Minareli. Aku ajak ia menasehati
Zen. Gadis itu segera menyimpan kalkulator dan membereskan semua berkas.
Tapi belum sempat kami mulai, laki-laki kencur itu mulai lebih dulu!
Begitu selesai mandi, dia langsung bilang, “Kuharap sekali ini saja kita
ke sini, Mang.”
Aku yang girang dapat pelanggan baru, hari itu langsung ia patahkan. “Lho, kenapa?”
“Kita kurangi pelan-pelan jadi ujung tombak peredaran barang-barang konsumsi, Mang.
Alangkah baik mereka menjual lemper dan onde-onde buatan sendiri,
berbungkus daun pisang, ketimbang kita kirimi terus kue-kue kemasan
dalam kaleng dan sampah plastik dari pabrik.”
Aku pikir ini konyol. Tanpa kami pun barang-barang itu akan datang
menyerbu, bahkan tanpa saingan. Zen sendiri sepakat, tapi dengan
tambahan, “Itu keniscayaan, Mang. Hanya saja bukan kita lagi pelakunya. Mengurangi lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Wah, ini tambah tak masuk akal. Ciloko! Runyam. Tak
terhindarkan, kami bertengkar di tepi Luk Ulo yang mulai bergemuruh
karena hujan tampaknya sudah turun di hulu. Cukup banyak kata
kuhamburkan, tapi ini paling kuingat, “….dengan begini kamu sama saja
korupsi, mark up dan mengkhianati perusahaan!”
Zen membalas bersama kilat petir di langit, “…Teruslah kamu, Mang, selamanya jadi kaki tangan perusahaan, banjiri semua kampung dengan barang-barang berhalamu!”
Minareli terceguk. Ia bingung mau berbuat apa. Ia terjepit antara
idealisme Zen dan keinginanku yang realistis—membuat kami sedikit
berbahaya! Mata Zen nanar. Ia hempaskan pintu sebelum aku injak gas.
Kepalanya berkali-kali ia tekan ke dash board. Melampiaskan apa
yang tak terlampiaskan. Dadaku sendiri sesak, kemudiku zig-zag. Hujan
turun sepanjang jalan, licin dan tergenang. Kurasakan kaca mengabur.
Untunglah kami selamat sampai Jogja. Namun saat baru masuk ring road barat,
persis di depan kampus UMY, Zen minta berhenti. Tanpa masuk jalur
lambat, aku menepi. Begitu saja pemuda itu melompat, “Cukup sampai di
sini!” katanya, lalu lari menembus hujan. Minareli tak bisa mencegah.
Sedang aku memang tak ingin mencegah.
Dua hari setelah itu Zen Ahmad Suhendar resmi mengundurkan diri,
setelah hampir dua tahun kebersamaan kami. Sedangkan Minareli dipindah
ke bagian administrasi.
Jujur, itulah saat aku merasa benar-benar suwung, lebih dari sekadar kata sepi! Aku kehilangan sosok yang memberiku warna berbeda dalam kerutinan hari-hari. Tapi bagaimanapun toh bersama
sales lain aku harus tetap keliling, mengantar barang sampai kampung
terujung, dan seturut stiker yang nempel di kaca mobilku, “Kami setia
sampai nanti, sampai mati.” ***
/Rumahlebah Jogjakarta, Agustus 2017
Catatan:
Mengenai sales kanvas dan distribusi barang, diolah dari artikel/info dalam http://www.lowonganmadiun.comdan http://www.motorisweb.com. Kutipan puisi bersumber dari Iman Budhi Santosa, Dunia Semata Wayang (YUI, 1996: 78)
RAUDAL TANJUNG BANUA, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Tinggal di Jogjakarta. Bukunya Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai serta Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan dalam persiapan terbit.
Cerpen Jeli Manalu (Media Indonesia, 27 Agustus 2017) Aku Melihat Ranggas Terbakar di Mata Butet ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
BUTET, sepupuku memanggil dengan suara agak ditekan melalui jendela
rumahnya. Ia berkata ada rahasia yang sedang gempar di desa. Diam-diam
kami pergi dari pintu belakang saat Bapak dan Ibu tertidur selepas makan
siang. Kami berhenti di ladang bekas panen padi. Semak mulai tumbuh.
Sejenis rumput menjalar mengelilingi batang-batang jerami. Kupetik
tangkai padi yang sengaja dibiarkan karena waktu itu bulirnya masih
muda. Aku gemetaran melihat selembar daun merayap di punggung tanganku.
“Itu belalang,” kata Butet.
“Apa ini bukan daun?” tanyaku, merasa aneh sendiri. Ragu-ragu aku
menangkapnya lalu mengarahkan bagian yang berdiri ke wajahku. Ia rupanya
ada mata. Kecil. Seperti titik dua, namun pancarannya mengingatkanku
pada ibu jari yang tertusuk peniti saat mengambil duri. Aku bergidik
takut seakan darahku semua menuju kepala.
“Belalang,” kata Butet lagi—ia memang senang baca buku yang isinya memuat flora dan fauna.
“Belalang setan?”
Butet menatap lekat mataku. Dalam matanya kulihat yang berwarna
hitam. Lebar. Di dalam warna hitam lebar itu ada dua sosok
memanggil-manggil. Api bernyala-nyala mengelilingi mereka, membuat tubuh
mereka bergoyang seperti terpal dihantam badai.
“Kau bisa meramal sesuatu?” aku bertanya pertama kalinya meski sebenarnya tak terlalu yakin.
“Tentu saja tidak. Kau mengenalku sejak kecil.”
Mengenai mataku yang melihat keanehan di dalam matanya, menurutnya,
itu karena aku terlalu lama melihat ke arah matahari. Matahari putih
yang terlampau terik, jika dipandangi tanpa pengaman bisa membuat mata
memunculkan bayang-bayang. Bisa berupa balon-balon udara yang dimasuki
seekor belalang. Bisa seperti ada yang berkejaran, katanya. Kupikir yang
ia katakan ada benarnya. Setelah menutup mata sebentar penglihatanku
kembali normal.
Belalang yang membuatku merinding tadi, kini sudah tak ada. Entah
kapan ia pergi. Dengan cara apa? Merangkak? Terbang atau menghilang
begitu saja? Sudah sering bermain di bekas panen padi, baru kali ini
kutemukan belalang semacam itu.
Kadang ia juga bisa datang ke dinding rumahmu. Diam-diam ia memanjat
bajumu, masuk ke rambutmu dan membuat rumah di sana, kata Butet. Tapi
kubilang jangan menceritakan hal horor lagi. Nanti aku ngompol. Lagi
pula tak ada hubungan belalang dengan rahasia.
Kami hanya ke ladang bekas panen padi lalu kebetulan saja ada
belalang merayap di tanganku. Dasar penakut, ejek Butet. Meski aku anak
laki-laki sehat dan berotot, tapi untuk cerita begituan aku lebih lemah
dari bayi. Bila malam tiba kubangunkan Bapak menemani kencing. Sedang
Ibu, aku lebih sering terkejut mendapati mulutnya yang sewarna darah.
Gusinya selalu penuh. Ibu suka menyirih. Sehabis itu ia
menggosok-gosokkan tembakau ke seluruh gigi. Kata Ibu, giginya yang
sudah goyang itu suka gatal. Jika digosokkan tembakau gatalnya hilang.
Selain itu bisa juga mengobati bentol-bentol karena ulat bulu, atau
bekas gigitan serangga.
Pernah ada yang datang minta tolong. Kami semua sudah tidur.
Seseorang itu mengeluhkan kakinya baru saja dipagut ular. Ibu memeriksa
bekas gigitannya. Hanya luka sedikit, kata Ibu. Namun bila tak diobati
nyawa bisa terancam. Segera Ibu ke kamar—bukan kamar tidur bersama
Bapak, tapi kamar khusus Ibu menyimpan ramuan.
Dioleskannya krim ke kaki orang itu. Disembur sirih ke badannya. Ibu
membisikkan sesuatu ke ubun-ubunnya. Tak lama setelahnya seseorang itu
pergi dengan mengucapkan terima kasih saja. Kudengar ia belum punya
uang. Ibu jawab tak apa-apa yang penting sembuh dulu.
Hampir selalu begitu. Belum pernah kulihat Ibu menikmati jerih
payahnya. Paling dibawakan rokok, buah, beras, kelapa, sayur, dan
ternak. Jika pasien Ibu sudah pergi, aku segera tengkurap dan pura-pura
ngorok. Ibu tak membolehkanku penasaran bila sedang mengobati. Urusan
orangtua tak perlu dicampuri anak-anak, begitu Ibu berpesan.
“Lalu, apa rahasia yang kau mau katakan itu, Butet?”
“Tapi kau harus berjanji menjaganya. Pokoknya tak ada yang boleh tahu. Bisa?”
“Bisa. Aku bisa,” jawabku, dan langsung menautkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya.
Berhari-hari belakangan—mungkin semingguan lebih, kata Butet ada
pertemuan sembunyi-sembunyi di rumah seorang laki-laki di ujung desa.
Orang-orang lewat yang tak terlibat dalam perbincangan mengira itu
sebagai ajang kumpul-kumpul (tempat singgah untuk beristirahat) sewaktu
kembali dari kebun masing-masing.
Di sana orang-orang itu bisa ngopi, minum tuak (arak), memesan teh
manis, merokok. Yang perempuan ada juga yang ngemil kacang tanah. Rumah
itu dari kejauhan terdengar riuh. Namun saat Butet akan sampai tiba-tiba
hening. Seakan semua tak saling kenal. Seakan semua larut dalam pikiran
masing-masing. Butet akhirnya singgah karena Bibi Hana, ibunya Butet
kehausan. Persediaan air minumnya habis. Bibi Hana memesan segelas teh,
diminum segera lalu pergi.
Tapi menurut Butet lagi, waktu ia ke belakang menompang pipis, dari
balik tirai yang dibuat seadanya sebagai penutup kamar mandi ia dengar
orang-orang menyebut sebuah nama. Ranggas. Siapa Ranggas? Belum pernah
ia dengar nama itu sebelumnya. Lagi pula nama itu terkesan sembarangan.
Ranggas, menurutnya hanya ranting-ranting kayu kering. Ranting kering
seharusnya dipotong dari dahan kemudian dibakar. Maka ia buka tas, ia
catat. Butet memang senang membawa buku kosong dan pena setiap ia keluar
rumah.
Seperti yang kukatakan sebelumnya ia suka flora dan fauna. Ia akan
mencatat mengenai tumbuhan yang kali pertama ia jumpai. Begitu pula
dengan hewan, dan apa saja yang terasa asing ataupun sekadar
berkelabatan di kepalanya. Pernah kucuri sirih dan rempah obat yang
belum ibuku racik. Ia terkekeh memandangi mulutku yang merah. Kau
seperti drakula, ejeknya, lalu mencatat itu.
Aku tidak tahu persis apa yang ia tulis, tapi kukatakan padanya:
kelak jika sudah tua kau akan jadi ilmuwan. Ia menarik daun telingaku
sampai jauh. Sampai merah dan panas. Agar berhenti kubilang ia akan
tetap gadis cantik berumur belasan tahun meski lama hidupnya sudah
seratus. Ia terbahak. Liurnya menetes ke tanganku. Aromanya wangi
seperti daun-daun padi yang baru muncul. Seketika aku terkesima. Bila
sudah begitu, aku pasti menggelitiki telapak kakinya sampai nangis.
“Jadi sudah kautemukan teka-teki nama itu?”
“Belum.”
Tapi aku curiga ia telah mengetahui sangat banyak dan akan
menceritakannya perlahan sampai aku benar-benar masuk
perangkapnya—maksudku sampai ia benar-benar melihat sorot mataku yang
paling serius. Tak ada begu (setan) di sini ataupun di rumahmu, katanya,
suatu malam sewaktu belajar kelompok di rumahnya dan aku minta
diantarkan pulang sebab listrik padam total.
***
Aku melakukan pengintaian berikutnya. Kubuat alasan kepada Mama agar
diizinkan keluar rumah. Ada tugas mengenai hewan dan tumbuhan dari
sekolah, ujarku. Aku harus juara di semester ini. Juara umum. Mama pun
membolehkanku. Mama selalu mendukung apa pun yang kulakukan.
Hari kedua, aku baru tahu kalau Ranggas itu perempuan. Suka menyirih,
suka menggosokkan tembakau ke gigi. Tapi hampir semua perempuan menikah
di desaku melakukan hal semacam itu, termasuk mamaku. Hanya, perempuan
penyirih yang mereka maksudkan ini, hebat. Punya ilmu.
Pamanku, Bapaknya Timur, sepupuku yang penakut itu tiga minggu lalu
terlibat pertengkaran dengan tetangga ladangnya. Si tetangga ngotot
menuduh Paman menggeser tapal batas sekitar satu meter. Harusnya pohon
kemirinya berjumlah seratus. Kok tinggal sembilan puluh sembilan?
Kenyataan tak sebatang pohon kemiri pun di ladang Paman.
Untuk tanaman tua Paman hanya menanam kemenyan. Saat Paman bilang
barangkali dulu sewaktu masih kecil batang-batang kemiri yang dipinggir
sakit lalu mati, si tetangga itu langsung menuduh: jangan-jangan
kauguna-gunai. Istrimu yang melakukannya. Dasar parbegu ganjang!
cecarnya, tanpa membiarkan Paman membela diri. Seminggu kemudian lelaki
tua itu kejang-kejang lalu mati.
Cerita itu aku tahu saat menguping ketika Mama bertandang ke rumah
Paman, di mana waktu itu lengan kanan paman berdarah. Kena tebas parang,
kata Paman. Mama membantu Tante meracik obat Paman. Saat aku duduk
lebih dekat, Mama menyuruhku pulang. Sana, pergi belajar. Bilangnya mau
juara? Aku pun pergi. Namun bukan benar-benar pergi. Aku berdiri di
balik dinding, kemudian berlari sekencang-kencangnya saat sudah yakin
siapa sebenarnya Ranggas yang dibicarakan banyak orang di rumah
laki-laki di ujung desa.
***
Aku ketiduran saat Butet bercerita. Tahu-tahu matahari sudah ke
barat. Ketika kukatakan ayo pulang, Butet menahan badanku. Kugertak mata
Butet. Bagian hitam matanya berubah menjadi layar. Aku bisa melihat
dengan jelas sesuatu yang berkibar-kibar. Sebuah kobaran api. Tinggi.
Besar. Menjulang. Di sekelilingnya orang-orang berteriak: begu, begu,
bakar rumah ini, bakar orang itu, laki-laki itu, perempuan itu!
Aku patah hati dan menjerit. Butet membekap mulutku. Jangan berbunyi,
katanya. Jangan cengeng bila kau tak mau terbakar. Kau tidak akan
tahan. Kau akan gosong. Hangus, kata Butet, menggenggam debu tanah di
kiri-kanan tangannya.
Layar di bagian hitam mata Butet mengalirkan cairan berwarna merah.
Ada tangisan memanggil-manggilku, menggapai-gapaiku. Ibuku. Bapakku.
Tapi aku tak percaya kalau Ranggas itu nama ibuku. ***
Riau, Maret 2017
Cat: Begu ganjang = Semacam ilmu santet
Jeli Manalu merupakan penikmat sastra. Sejumlah karyanya telah diterbitkan di sejumlah media massa nasional dan daring.
Cerpen Ken Hanggara (Suara Merdeka, 27 Agustus 2017) Bus Menuju Peradaban ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Seandainya semua bus di dunia hilang, apakah mungkin Mariana masih
pergi dari sini? Aku tidak dapat membayangkan sepelik apa urusan mereka
yang senang mencari masalah, tetapi enggan menghadapi dan lebih memilih
lari, jika semua bus di dunia ini hilang?
Seandainya itu terjadi, aku tentu senang. Ketika bus-bus mendadak
lenyap, mereka yang akan lari dari tanggung jawab akan berpikir ulang,
“Kiranya aku dapat mencuri mobil!”
Barangkali kesialan macam itu tidak terjadi di tempat lain, tapi aku
tahu, di dusun ini, kekayaan adalah hal mustahil, kecuali seseorang
membawa ilmu sihir di tubuhnya. Sayang, orang-orang terlalu beriman
untuk tidak tahan terhadap godaan yang tidak terlalu berpengaruh dalam
hidup mereka. Sebuah mobil, misalnya, tidak akan memiliki arti di sini,
di suatu dusun yang bahkan untuk mengayuh sepeda pun tidak semulus yang
kita bayangkan.
Orang-orang tidak bermobil. Orang-orang berjalan kaki. Begitu pun
para pengecut yang telah merampas sebagian besar hal baik dalam
kehidupanku. Mereka tentu juga harus berjalan. Berkilo-kilo jauhnya
jarak mereka tempuh. Sekalipun jalan aspal dengan lubang-lubang di
sana-sini, dan bukan sepenuhnya hutan rimba, akan amat sulit ditempuh.
Dari rumahku, jika ingin mencapai jalan aspal, yang kadang-kadang
dapat disebut jalan raya, meski sangat sepi, seseorang harus lebih dulu
menempuh medan berlumpur, dan baru setelah itu dapat mencegat bus yang
lewat dua puluh empat jam sekali. Mariana, tentu saja, telah menumpang
bus itu. Khayalan betapa semua bus di dunia ini mendadak menghilang
mungkin tidak terlalu berguna, sebab toh dia juga sudah tidak ada. Namun
aku malah senang mengkhayalkan itu detik ini, ketika kusadari
kemungkinan segala yang telah dicuri dariku mustahil kembali.
“Kita tertinggal sehari di belakang. Kalau nanti bus berikut datang,
Mariana sampai di pinggir kota. Pada saat itu, kemungkinan kalian bisa
ketemu jadi sangat kecil, bahkan hilang sama sekali,” prediksi Mudakir,
sahabatku yang sejak awal sering mengingatkan, tetapi selalu kubantah.
Mudakir memang tidak suka caraku mengenal Mariana. Aku dan si wanita
itu dekat dengan cara kurang wajar, dan meski tidak ada
kejadian-kejadian mesum di antara kami, Mudakir mengira wanita itu tidak
tepat untukku. Aku tahu ada banyak wanita tertarik menjadi istriku
sejak kudapatkan warisan besar berupa beberapa hektare lahan.
Dusun-dusun di sekitaran hutan diisi orang-orang yang masih berkaitan
erat; sebagian bahkan masih sangat kental hubungan darah mereka.
Beberapa lain kenal sejak brojol dari rahim ibu masing-masing.
Jadi, siapa tidak tahu betapa pemuda pengangguran ini, yang tidak pernah
berhasil dalam perkara asmara, mendadak diincar banyak wanita?
Aku sangat mengerti cara memilih perempuan, sekalipun selalu gagal
jika sedang jatuh cinta. Aku tahu beberapa perempuan lebih menyukai apa
yang seorang laki-laki miliki ketimbang si laki-laki itu sendiri. Dan
aku tidak ingin calon istriku tertarik padaku justru karena harta
warisan yang kudapat.
Karena terlalu lama membujang dan tidak sabar membangun kehidupan
percintaan, aku pergi ke kota menumpang bus suatu hari. Di pinggiran
kota, terminal penuh orang-orang dari berbagai arah membawa banyak
tujuan. Dari terminal itu, aku kembali pergi, menjauh dari kampung
halamanku hingga tiba ke kota berikutnya. Demikianlah, aku terus
berpindah bus selama beberapa hari, hingga sampai ke suatu tempat yang
menurutku lumayan bagus.
Kukatakan pada kondektur bus, “Sebaiknya saya turun di sini.”
“Sebaiknya Anda turun di sini?” tanyanya keheranan.
“Ya, memang saya tidak pernah tahu tempat macam apa ini. Namun saya kira akan mendapat sesuatu yang bagus di sini.”
Begitulah, hari-hari yang aneh pun berakhir dengan pertemuanku
bersama seorang wanita bernama Mariana di rumah makan dekat pom bensin.
Mariana tidak ada teman makan. Kami berkenalan dan duduk berdua sampai
hampir dua jam. Sampai tak terasa betapa makanan dan minuman kami telah
lama tandas.
Perkenalan itu pun kubawa ke dusunku yang terpencil, dan segera
menjaring ragam reaksi. Orang-orang terdekat sebagian besar setuju aku
menikahi Mariana, meski wanita itu tidak lagi punya keluarga, karena
suatu tragedi besar menimpa mereka.
Beginilah cerita yang kami dengar dari Mariana tentang bagaimana dia kehilangan keluarga.
“Suatu malam saya tidur dan ketika masih dalam keadaan lelah, ada
laki-laki masuk kamar dan meminta saya pergi dengannya. Saya tahu itu
paman saya, yang tidak dianggap waras, sehingga saya kira itulah
sebabnya kenapa mereka membiarkan kami berdua pergi. Di ruang tengah,
masih saya ingat, ketika itu sangat berisik. Orang-orang datang dan
membawa celurit, serta menuduh-nuduh bapak saya anjing busuk yang layak
disembelih.”
Ketika akhirnya orang-orang memang menyembelih bapaknya, Mariana tahu
tidak ada lagi yang tersisa baginya di situ. Ibunya juga tidak berdaya
dan mati dengan cara sama. Bersama pamannya, Mariana hijrah ke dusun
lain, dan mendapat perlakuan kasar, hingga dia diangkat anak oleh sosok
asing yang pada hari-hari belakangan kerap kali disebutnya sebagai
“papaku”. Tentu saja, kini papa Mariana telah tiada, dan lelaki itu
meninggalkan sejumlah warisan. Sayang, kehidupan baik yang Mariana
dapatkan setelah tragedi besar menghabisi seluruh keluarga kandungnya
tidak lantas membuatnya segera mendapat jodoh.
Karena sikap baik Mariana, orang-orang terdekatku menyukainya, dan
tidak peduli pada sejarah kelam wanita itu. Beberapa orang menolak
Mariana. Di sekelilingku, orang-orang itu seakan bekerja kepada pihak
tertentu yang lahir ke muka bumi untuk membenci anjing-anjing busuk
serupa bapak kandung wanita itu.
Yang paling membuatku sedih, salah satu sahabat dekatku, Mudakir,
juga ikut barisan kedua. Ia menolak Mariana dengan tegas, karena
menurutnya, di sini tak harus dilahirkan penerus anjing-anjing busuk
yang dahulu memang patut ditumpas oleh seorang jenderal.
Namun, tentu saja, aku tetap teguh menyanding Mariana di sisinya. Toh
keluarga besarku hanya sedikit yang tidak setuju. Itu pun mereka tidak
terlalu berani mengungkap ketidaksukaan. Jadi aku sekadar tahu siapa
anggota keluarga besarku yang membenci wanitaku, sementara mereka tidak
dapat berbuat apa-apa.
Kukatakan pada mereka, “Jikapun memang sejarah seorang perempuan
seburuk itu di mata kalian, bukankah dia punya masa depan yang panjang,
yang tentu sangat mungkin lain dari apa yang orang tuanya lalui?”
Sejak itu orang-orang sepenuhnya mendukungku. Mariana pun tampak
bahagia dan tidak sabar untuk segera kunikahi. Maka, setelah sebelumnya
ditampung seorang bibiku yang baik, wanita itu segera pindah ke kamarku,
setelah resmi menjadi istriku. Kami nikmati beberapa malam bersama,
sampai akhirnya suatu malam, wanita yang menjadi belahan jiwaku itu,
hilang entah ke mana.
Tidak ada yang dapat kami pikirkan tentang Mariana, kecuali tentang
watak palsu yang selama ini dia perankan. Nyatanya, uang hasil penjualan
warisan, yang telah kumaksudkan untuk membangun bisnis baru di
pinggiran kota demi menjauhi orang-orang yang tidak suka pada istri
baruku ini, hilang. Mau tak mau orang berpikir wanita itu yang mencuri.
Aku masih tidak percaya sampai kutemukan sebuah surat, tepat sehari
setelah dia pergi. Surat itu diletakkan persis di bawah bantal.
Seandainya aku tidak meraih bantal itu untuk memeluknya karena kepalaku
penuh isi, mungkin pengetahuan tentang dia yang mengkhianati dan
memperalatku sejak awal terlambat kusadari. Mariana dengan terang
mengakui dia rela datang jauh-jauh ke sini, lantas bersedia menikah
denganku, adalah karena harta warisan yang kudapat.
“Tentu cerita tentang anjing yang disembelih antek jenderal itu, semua bull shit!” tutupnya dalam surat bernada sinis dan penuh kepuasan total itu.
Aku hanya berbaring kaku selama dua jam. Setelah itu baru aku dapat menuturkan kebenaran tentang Mariana kepada semua orang.
Saat itu, tentu, Mariana sudah berada jauh di depan. Belasan jam lagi
bus akan melintasi kawasan ini. Karena tak mungkin menunggu terlalu
lama, selagi menanti bus berikutnya lewat, orang-orang menemaniku
berjalan, menjemput Mariana yang tak pernah benar-benar mencintaiku.
Sepanjang perjalanan itu, aku terus saja memikirkan Mariana yang
dengan tega melukai hatiku demi uang. Aku juga tidak henti membayangkan
seandainya semua bus di dunia ini hilang. Tentu, jika keadaan itu
benar-benar terjadi, Mariana akan sukar meninggalkan dusun ini tanpa
segera tertangkap.
Lagipula, jika benar bus-bus hilang, aku pun tidak mungkin pergi dari
sini demi menghindari wanita-wanita kampungan yang mendadak
tergila-gila oleh harta warisan. Apakah semua wanita begitu? Aku tidak
tahu pasti. Yang kutahu pasti saat ini: aku kembali miskin, Mariana
meninggalkanku jauh di depan, dan wanita-wanita dusun berubah pikiran
tentang apakah sebaiknya mereka menjadi istriku atau tidak. Oh, betapa
aku ingin tidur selamanya, sebab keinginan itu jauh lebih masuk akal
ketimbang berharap semua bus di muka bumi ini lenyap! (44)
Gempol, 20 Agustus 2017
– Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017).
Fabel Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 27 Agustus 2017) Lalat Pengantar Tidur ilustrasi Farid S Madjid/Suara MerdekaSuatu pagi seekor rusa mendapat musibah. Ia
terperosok ke lubang yang tertutup dedaunan kering. Tak lama kemudian
muncul pemuda yang tersenyum gembira, karena lubang jebakan yang ia buat
telah mendapatkan mangsa. Pemuda itu membawa rusa pulang ke rumah.
Pemuda itu mengikat leher rusa dengan tali anyaman bambu dan menambatkannya pada pagar halaman.
“Aku akan memanggil teman-teman. Kami akan pesta sate rusa yang lezat,” kata pemuda itu lalu pergi.
Rusa gelisah dan berusaha untuk kabur. Tetapi tali anyaman bambu itu begitu kuat. Leher rusa berdarah karena tergores tali.
“Aku harus cari cara lain,” kata rusa bergumam.
Tak lama kemudian muncul seekor lalat.
“Apa kabar, Rusa? Kamu sedang apa?” tanya Lalat.
“Kabar baik, Lalat. Aku sedang istirahat. Aku mengantuk sekali. Aku mau tidur,” jawab Rusa.
“Mengapa lehermu diikat?” tanya Lalat.
“Oh, tali anyaman bambu ini, maksudmu? Aku suka berjalan sendiri saat
tidur. Karena itulah aku mengikatkan tali ke leherku, agar aku tak
berjalan saat tidur,” kata Rusa.
“Oh, begitu rupanya? Tetapi, ini masih pagi. Mengapa kamu mau tidur?” tanya Lalat.
“Semalam aku tidak bisa tidur,” jawab Rusa.
“Mengapa begitu?” tanya Lalat.
“Kamu tahu, biasanya ada jangkrik yang bernyanyi, sehingga aku bisa tidur. Tetapi, tadi malam tak ada jangkrik,” jawab Rusa.
“Oh, begitu? Jadi, kamu bisa tidur kalau ada yang bernyanyi di dekatmu?” tanya Lalat.
“Benar. Maukah kamu membantuku?” tanya Rusa.
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” sahut Lalat.
“Aku lihat sayapmu sangat indah. Dari kepakan sayapmu terdengar
nyanyian yang merdu. Apalagi kalau kamu bersama teman-temanmu, tentu
nyanyian kalian akan semakin merdu. Maukah kamu memanggil teman-temanmu
ke sini?” tanya Rusa.
“Untuk apa aku harus memanggil teman-temanku?” sahut Lalat.
“Kalian terbanglah mengelilingi tubuhku. Aku ingin mendengar nyanyian
yang merdu dari kepakan sayap kalian, agar aku bisa tidur nyenyak,”
jawab Rusa.
“Oh, begitu? Baiklah, aku akan memanggil teman-temanku,” kata Lalat lalu pergi.
Tak lama kemudian Lalat kembali bersama teman-temannya.
“Kami datang, Kawan,” kata Lalat.
“Kami terbang di atas tubuhmu. Kami akan menyanyikan lagu yang merdu untukmu, agar kamu bisa tidur nyenyak.”
“Terima kasih, Kawan,” jawab Rusa, lalu merebahkan tubuh dan memejamkan mata.
Tak lama kemudian datanglah si pemuda bersama teman-temannya. Pemuda
itu tekejut melihat rusa tergeletak tak bergerak dan banyak lalat
mengerubungi tubuh rusa.
“Oh, tidak. Rusa ini mati,” kata si pemuda terkejut.
“Kamu terlalu kencang mengikat tali ke leher rusa ini. Lihat, leher
rusa ini berdarah dan banyak lalat merubungnya. Rusa ini telah mati,”
kata seorang teman pemuda.
“Benar, rusa ini telah mati. Kita batal mengadakan pesta sate. Ah, sayang sekali,” sahut temannya yang lain.
“Maafkan aku. Aku telah mengecewakan kalian. Tapi mau bagaimana lagi?
Rusa ini telah mati. Mari bantu aku membuang mayat rusa ini,” kata si
pemuda, lalu bersama teman-temannya membawa rusa itu pergi ke sungai.
Mereka membuang rusa ke sungai, setelah itu mereka pergi.
Tubuh Rusa mengapung di permukaan air sungai. Tiba-tiba rusa
bergerak, lalu berenang ke tepi sungai. Rusa bersyukur dirinya selamat
dengan berpura-pura mati. Tentu ini juga karena bantuan lalat dan
teman-temannya yang terbang mengelilingi tubuh rusa, sehingga siapa pun
yang melihat akan mengira rusa telah mati.
Rusa merasakan perutnya lapar. Rusa melangkah untuk mencari makan.
Kali ini rusa melangkah hati-hati dan waspada agar tidak terperosok ke
lubang jebakan seperti tadi. (58)