Daftar Blog Saya

Selasa, 26 Desember 2017

Pilihan Ganda dari Tuhan

Cerpen Robby Julianda (Koran Tempo, 23-24 Desember 2017)
Pilihan Ganda dari Tuhan ilustrasi Yuyun Nurrachman - Koran Tempo
Pilihan Ganda dari Tuhan ilustrasi Yuyun Nurrachman/Koran Tempo
Pilihan Ganda
Pilihlah salah satu huruf a, b, c, atau d, sesuai dengan jawaban yang Anda anggap paling benar!

Anda sedang berada di atap sebuah gedung 37 lantai, berdiri di salah satu titik yang mempertemukan sisi gedung agar mata Anda leluasa memandang kota di bawahnya, seolah Anda sedang memandangi miniatur kota rancangan seorang arsitek agung: petak-petak rumah dan gedung-gedung yang menjulang; barisan pepohonan; ratusan kendaran yang bergerak lambat menyusuri jalan raya bercabang yang membagi pemukiman menjadi bagian-bagian kecil; lapangan; juntaian kabel yang menghubungkan tiang-tiang, sebuah sungai lebar yang mengalir tenang menuju laut yang begitu jauh dari pandangan Anda, membelah kota menjadi dua bagian, serta sebuah jembatan kukuh yang kembali menghubungkan dua bagian tersebut. Anda memperhatikan semua itu dengan saksama hingga menimbulkan perasaan takjub. Segalanya tampak simetris dan tertata. Lebih-lebih usai menatap kerlip cahaya matahari yang dipantulkan air sungai dan seluruh kota membuat perasaan tenang menghinggapi Anda untuk sejenak.
Anda kemudian merasakan keringat mengalir di dahi Anda dan tengkuk Anda terasa panas. Anda mendongak. Matahari yang sejajar dengan kepala membuat Anda harus mengerinyitkan mata karena silau. Tak ada awan. Hanya hamparan langit biru yang memayungi Anda.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Gelombang rasa takjub dan tenang yang menjalari Anda sebelumnya lenyap, berganti dengan rasa khawatir kalau-kalau angin membuat Anda limbung. Andai jatuh, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke bawah? Anda bergidik memikirkannya kemudian mundur beberapa langkah sembari melihat jam tangan. Pukul 12 tepat. Empat puluh lima menit yang lalu Anda baru saja dipecat dari pekerjaan.
Setelah pemecatan tersebut, hal apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?
a. Mengambil ancang-ancang lalu terjun bebas dari gedung.
b. Turun lewat tangga darurat dan kembali menemui atasan Anda di salah satu ruangan lantai 29.
c. Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.
d. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Kau tiba-tiba merasa putus asa. Kau sendiri tak yakin apa yang akan kaulakukan andai Tuhan memberikan pilihan semacam itu.
a. Mengambil ancang-ancang lalu terjun bebas dari gedung.
Ini bukan pilihan yang sulit sebenarnya. Kau dicampakkan dan dianggap sudah tak berharga-apa lagi yang pantas untuk dilakukan kecuali melompat? Andai kau melakukannya, nyaris tak ada peluang untuk hidup. Kau mampus dan otakmu berceceran di jalanan atau trotoar-beruntung jika seseorang mau mengumpulkannya dalam kantong plastik. Namun kau masih mencintai kehidupan meski kehidupanmu tak bisa dikatakan bahagia. Kau hidup sendiri dan bekerja sedari usia muda. Dua minggu lagi usiamu 46 tahun. Kau tak pernah bergonta-ganti pekerjaan, bekerja selama 21 tahun terakhir di perusahaan yang sama sebagaimana laku seorang kekasih setia. Semuanya bercampur aduk. Kau marah dan kecewa dan sedih dan putus asa. Bukan karena pesangon yang diberikan tak memuaskan, namun harus terpisah dari pekerjaan yang sudah menjadi identitasmu bukanlah perkara gampang. Secara tidak langsung pemecatanmu sama saja dengan kematian. Aneh memang, seseorang yang sudah mati masih mencintai kehidupan.
Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…
b. Turun lewat tangga darurat dan kembali menemui atasan Anda di salah satu ruangan lantai 29.
Tentu saja, kembali menemui atasanmu bukanlah demi adegan memohon-mohon agar ia urung memecatmu dan, sambil berlinang air mata, mengatakan pemecatan itu adalah sebuah kesalahan. Kau masih punya harga diri. Kau mungkin melakukannya karena perasaan menyesal dan menyalahkan diri sendiri sebab kau tak berkutik sedikit pun di hadapan atasan yang umurnya jauh lebih muda. Kau masih ingat bagaimana ia menyambutmu di ruangannya dengan wajah murung namun ia tak menyadari cara duduknya di tepi meja membuat kau merasa direndahkan. Setelah basa-basi atau apalah namanya, ia mempersilakan kau duduk.
“Bapak M. Azhar Ahmad,” ia berkata dengan suara berat sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. “Mungkin Bapak sedang bertanya-tanya-ada apa? Namun saya akan langsung saja. Alasan kita melakukan pembicaraan ini adalah karena posisi Bapak di perusahaan ini sudah tidak tersedia lagi,” ucapnya lancar. “Bapak dipersilakan untuk pergi mencari peluang dan pengalaman baru.”
Saat itu kau serasa disambar petir.
“Saya masih tak mengerti. Dipersilakan untuk pergi maksudnya?” Kau bertanya bukan karena tak mengerti. Kau hanya mengulur-ulur waktu. Percuma saja.
“Ya, Bapak dipersilakan untuk pergi,” ulangnya.
“Apakah saya dipecat?”
“Sebenarnya kami tidak diizinkan menggunakan kata-kata tersebut. Namun dengan menyesal harus saya katakan: Bapak dipersilakan untuk pergi. Semoga Bapak mengerti mengingat situasi sekarang tak memungkinkan kita untuk—”
Ia mulai berceloteh tentang ini dan itu dan kau hanya diam. Kau memandangi gerak mulutnya sesekali menatap foto keluarga yang dibingkai, sengaja ditaruh di atas meja. Selama berceloteh ia menggaruk hidungnya delapan kali. Ketika selesai ia tak lupa mengucapkan terima kasih untuk kerja keras dan jasamu selama ini bagi perusahaan dan selanjutnya kau bisa melapor ke bagian administrasi mengambil uang pesangon. Ia kemudian mengulurkan tangan dan kau menyambutnya dengan perasaan hancur dan hasrat untuk menumbuk batang hidungnya sekaligus.
Jadi sekaranglah saatnya kembali masuk ke ruangannya, mendobrak pintu dengan kasar kemudian melabrak meja dan melihatnya menciut ketakutan di kursi putarnya. Selanjutnya kau bebas menyumpahi omong kosong tentang peluang baru pengalaman baru tahi kucing yang sebelumnya ia muntahkan. Sebelum keluar dari sana, tentu saja kau bisa melepaskan hasrat menumbuk hidungnya lalu meraih foto keluarga bahagia atasanmu kemudian membantingnya ke lantai atau melemparnya lewat jendela.
Namun kembali lagi ke akar masalah: Apakah semua itu akan membuat pemecatanmu dibatalkan? Yang kaudapati mungkin dua orang petugas keamanan sedang memitingmu.
Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…
c. Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.
Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa akan membuatmu menjadi seorang pecundang yang paling pecundang. Kau sudah cukup dipermalukan istrimu ketika delapan tahun yang lalu ia lebih memilih laki-laki lain. Awalnya rumah tangga kalian baik-baik saja dan kalian saling mencintai. Namun setahun sebelum ia angkat kaki dari rumah, kalian lebih sering bertengkar daripada bercinta. Permasalahannya: istrimu tak bahagia sebab belum memilki anak. Padahal sebelum-sebelumnya ia tak pernah mempersoalkannya.
“Tolong hentikan tatapan itu.” Kata-kata itu selalu meluncur ketika obrolan mulai memanas dan pertengkaran segera dimulai.
“Tatapan apa?”
“Tatapan itu. Tatapan ini-semua-salahmu itu.”
“Jadi ini semua salahku?” balas istrimu. Ia langsung berada di atas angin. Lidahmu kelu sebab semua memang kesalahanmu. Kau mandul.
Sekarang istrimu hidup bahagia dengan laki-laki yang tak pernah kauketahui bentuk wajah atau potongan rambutnya-kabarnya mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Andai saja kau tahu siapa laki-laki itu, pikirmu geram. Geram. Hanya sebatas itu. Kau tak pernah mencari tahu mengapa istrimu berubah setahun sebelum meninggalkanmu lantaran seluruh perhatianmu disedot oleh pekerjaan. Dalam hati kau pun agaknya mengakui, terlepas dari masalah kejantanan, kalau kau sebenarnya seorang lelaki lemah. Jika tidak demikian, kau mungkin sudah mencari tahu tentang laki-laki itu dan menghajarnya hingga babak belur. Setelahnya mungkin kau menghabiskan tiga empat bulan di penjara sembari berdoa sipir penjara tidak menggilirmu setiap malam.
Mungkin memang ada baiknya bagimu pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.
Kini kau tak terikat lagi dengan pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu untuk anjing peliharaanmu. Manis, begitu kau memanggilnya. Seekor anjing golden retriever warna cokelat pudar dan putih pada bagian leher dan kakinya. Manis kaubeli setelah istrimu pergi. Harga yang mahal untuk mengusir kesepian.
Kau dan Manis bisa jalan-jalan setiap sore. Menyusuri bantaran sungai atau duduk di bangku taman sembari menanti matahari tenggelam. Bisa jadi, di sela-sela jalan sore kalian, kau akan bertemu dengan seorang perempuan. Kau tahu, perempuan selalu tertarik dengan laki-laki yang memelihara anjing. Namun kau kembali mengingat kesalahanmu: urusan kejantanan.
Anggaplah menghabiskan banyak waktu dengan Manis membuat kau lebih bahagia. Namun apa yang akan terjadi setelah uang pesangonmu habis, pikirmu. Di umurmu yang sekarang, kau tak akan mendapatkan pekerjaan seperti sebelumnya. Mustahil untukmu kembali bekerja di kantoran. Kau bahkan akan ditolak mentah-mentah menjadi penjaga toko karena pemilik toko hanya butuh anak-anak muda penuh semangat dengan penampilan menarik dan kuat dan sarjana. Kemiskinan dan kesendirian dan masa tua membuatmu takut setengah mati.
Dan sekarang kau masih berdiri. Menatap nanar ke arah kota di bawahmu yang sebelumnya membuatmu takjub.
Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…
d. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Tetapi… bagaimana mungkin kau menyerahkan semuanya kepada Tuhan sedang Tuhan sendiri memberikanmu pilihan?

Sungai Landia, 2017

*) Bentuk dari cerpen ini dikembangkan dari tulisan Eko Triono, “Cerita dalam Ulangan Harian Kita.”

Robby Julianda lahir pada 1991 dan sekarang menetap di Nagari Sungai Landia, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Sebelum Salju dan Laki-laki Menyebut Marie

Puisi-puisi Soni Farid Maulana dan Conie Sema (Koran Tempo, 23-24 Desember 2017)
Salju ilustrasi Google
Salju ilustrasi Google

Sebelum Salju

– mengenang Rendra

Malam ini kau hadir kembali
dalam ingatanku. Dingin angin Leiden,
sebelum salju gugur sore hari. Sore itu
kau bicara soal teratai yang mekar
di bawah bulan; juga soal keheningan;
yang meruang mewaktu dalam hidup manusia.

“Daya hidup tak boleh mati, walau maut
mengancam dari setiap celah. Ia adalah
nyawa kita di bumi,” demikian kau bilang
saat itu, sebelum kau cerita
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
yang kau gelar di berbagai tempat.

“Daya hidup itulah yang aku tulis
untuk bangsa ini; yang mudah menyerah
ditindas penguasa dan pemilik modal
yang dzalim. Mereka harus kita lawan,”
katamu, saat itu. Lalu dari balik
jendela kita saksikan guguran salju
yang mengendap di ranting pohonan
gugur daun. Gugur daun

2017

Soni Farid Maulana lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962. Buku puisi terbarunya adalah Sisa Senja (2017), Kisah Suatu Pagi (2017), dan Sehabis Hujan (2017).

Laki-laki Menyebut Marie


aku berpikir sebagai perempuan. tidak laki-laki. aku berpikir seperti marie di remang sore itu. tidak ada rudolf atau mawar samuel tertempel di tatto tubuhmu. sangat purba. gambar-gambar yang pernah menggodaku. ihwal kecemasan. marie menghapal benda-benda bergerak dalam ruang warna-warni cahaya. kebebasan yang menyakitkan. degung. pura-pura sepanjang jalan. batu-batu memancar kesunyian. senyap sekali ketika ruang menyebut marie. marie hanya berjarak satu meter sepanjang tepi-tepi kau lewati.

aku berpikir sebagai laki-laki. tidak perempuan. di sore terakhir menjemputmu. ketika ritual malam mengantar trance di luar pura. cafe sesak. seseorang entah siapa lagi tiba. kerauhan-kerauhan silam. kenangan suci dalam mie instan. segelas kopi lama mendingin. oh, kau marie setiap pulang nyerupa dewa. menjadi shindu dan sesuatu yang tidak pergi. memangku alam dari pertengkaran identitas. kelamin. sexisme. seperti rudolf dan mawar samuel menjilati lelehan coklat di bibirmu. tuhan. tangan mereka melayang laksana kecak. diksi yang menggerutu. tuhan. itu ruang kembali menyebut marie.

aku berpikir sebagai laki-laki. membangun tubuhku seasal bayi. tumbuh. tumbuh. marie di mana kau pulang.

Ubud-Sanur, 28 Nov. 2017

Conie Sema lahir di Palembang dan tinggal di Lampung. Selain puisi, ia menulis esai, cerpen, novel, dan naskah drama untuk Teater Potlot.

Mari Sayangi Kukang

Oleh Dyah Laksmi Nur Jannah (Kompas, 24 Desember 2017)
Mari Sayangi Kukang ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Mari Sayangi Kukang ilustrasi Regina Primalita/Kompas
ARDI menghabiskan liburan di rumah Paman Purbo, adik ayah. Paman bekerja sebagai perawat satwa di sebuah Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa di daerah Ciapus, Bogor, Jawa Barat.
Siang itu, Ardi diajak paman ke tempat kerjanya. Paman hendak memeriksa satwa yang baru tiba di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa. Ketika memasuki sebuah ruangan, Ardi melihat sebuah kandang berukuran sedang. Di dalam kandang, terdapat dua ekor hewan berbulu cokelat tebal. Kedua matanya bulat sempurna, dengan lingkar mata berwarna cokelat gelap.
“Hewan apa ini, Paman?” tanya Ardi. “Seperti monyet, ya?”
“Itu namanya kukang,” jelas paman. “Baru saja tiba tadi pagi. Kukang ini terlantar sampai di rumah-rumah penduduk, karena habitatnya di alam sudah rusak karena ulah segelintir manusia. Nanti, setelah diperiksa kondisi kesehatannya, kukang-kukang ini akan dipindah ke kandang rehabilitasi.”
“Bolehkah Ardi melihat kukang di kandang rehabilitasi?” Ardi bertanya lagi.
“Tentu boleh, ayo ikut Paman,” Paman Purbo beranjak menuju kandang besar di area pusat rehabilitasi itu. Beberapa rumpun bambu tumbuh dalam kandang.
“Mana kukangnya, Paman?” Ardi mendekati kandang dengan penasaran.
“Saat ini, mereka sedang tidur, nanti malam mereka bangun untuk mencari makan. Biasanya kukang tidur dengan menggulung badannya seperti bola, bersembunyi di balik rumpun bambu, agar tidak ada yang mengganggu.”
“Wah, menarik sekali. Nanti Ardi mau minta Ayah untuk belikan kukang. Ardi ingin memelihara kukang lucu.” Ardi menatap paman.
“Tidak boleh, Ardi,” Paman menggeleng. “Kukang ini bukan hewan peliharaan. Ia adalah hewan liar. Tempat tinggal mereka di pohon-pohon tinggi di hutan. Memakan getah pohon, buah-buahan dan berburu serangga. Kukang-kukang ini hanya sementara di sini. Setiap hari, kondisi kesehatan dan tingkah laku mereka dipantau. Jika sudah sehat, mereka akan dilepaskan ke hutan.”
“Oh, begitu, ya,” Ardi mengangguk-angguk.
Lalu, paman menjelaskan, kukang adalah hewan langka yang dilindungi. Mereka banyak diburu dijadikan hewan peliharaan, karena rupanya yang lucu. Agar tidak menggigit, gigi mereka dipotong hingga terluka. Saat siang hari sering diajak bermain, padahal siang adalah waktu tidur mereka.
“Kasihan sekali,’ tanggap Ardi sedih. “Giginya pasti terasa sakit. Mereka juga pasti mengantuk karena diajak bermain di siang hari.”
“Oleh karena itu, kita harus menyayangi mereka. Bukan dengan memelihara di rumah. Melainkan dengan tidak mengganggu dan membiarkan mereka hidup bebas di hutan habitatnya.”
“Iya, Paman, mereka pasti lebih bahagia tinggal di habitatnya,” Ardi mengangguk setuju. [*]

Catatan:
Khusus untuk edisi Desember, kami akan mengangkat salah satu nilai karakter unggul dengan dongeng bertemakan “Cinta Puspa dan Satwa”.

Rumah-rumah Nayla

Cerpen Djenar Maesa Ayu (Kompas, 24 Desember 2017)
Rumah-rumah Nayla ilustrasi Hanafi - Kompas.jpg
Rumah-rumah Nayla ilustrasi Hanafi/Kompas
Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai.
Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha. Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya, tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla, dan satunya lagi dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dulu sekali saat Nayla menikah muda, ia tinggal di sebuah rumah mewah bersama suaminya. Terletak di kompleks perumahan elit, dengan pos penjaga di halamannya. Tak banyak kewajiban yang harus dilakukannya sebagai ibu rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak, bahkan kopi untuk suaminya pun tinggal minta pembantu untuk melakukannya. Nayla juga tidak perlu pusing tentang masalah keuangan. Suaminya yang bekerja di perusahaan keluarga, entah benar bekerja atau cuma supaya kelihatan bekerja, hartanya tak akan habis walau dimakan tujuh turunan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman.
Hanya dalam beberapa bulan menikah, Nayla hamil dan melahirkan bayi perempuan. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah melahirkan, Nayla lagi-lagi hamil dan melahirkan lagi-lagi bayi perempuan. Kendati mempunyai dua balita tak membuat Nayla kerepotan karena lagi-lagi pengasuh bagi masing-masing bayinya disediakan. Ia pun memutuskan untuk punya dua anak saja padahal biasanya bagi keluarga peranakan, kehadiran bayi laki-laki amatlah diharapkan. Tapi lagi-lagi Nayla diberkati keberuntungan. Suaminya sama sekali tidak keberatan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman.
Sering Nayla tak percaya dengan apa yang dialaminya. Di kala media memberitakan tentang peliknya perekonomian, agama diatas-namakan untuk membenarkan kejahatan, perkosaan yang berakhir dengan pembunuhan, pembakaran hidup-hidup terduga maling perabotan, patung dirubuhkan, hewan disiksa tanpa alasan, dan segudang kekacauan yang terkadang sama sekali tak masuk akal bisa dilakukan oleh makhluk yang konon nyaris mendekati kesempurnaan Tuhan, hidup Nayla benar-benar steril tanpa noda. Bisa dibilang tak nyata dalam kehidupan nyata.
Maka, sering Nayla tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Bagaimana rumah yang demikian nyamannya, bagaimana suami yang begitu pengertian dan mencintainya, bagaimana kedua anak perempuan cantik, pintar, dan sehat walafiat keadaannya, bagaimana materi bukanlah sesuatu yang harus dirisaukannya, bagaimana segala yang didambakan kebanyakan orang terjadi di dalam hidupnya, semua itu tak cukup membuatnya bahagia?
Nayla selalu bahagia ketika berada di depan laptopnya. Ketika jari jemarinya mengetik kata demi kata. Rasa itu sama seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat menulis di buku catatannya. Di buku itu, Nayla membuat cerita. Jika ia tinggal di sebuah rumah yang selalu dipenuhi aroma cinta. Di pagi hari saat ia membuka mata, selalu tercium aroma kopi dan roti bakar yang sudah dipersiapkan Ibu untuk ayahnya. Renyah tawa mereka selalu membuat Nayla ingin buru-buru bangun dari tidurnya. Bergabung dan bercanda. Begitu pun saat Nayla sedang di sekolah. Yang ada di pikirannya hanyalah buru-buru pulang ke rumah. Di mana aroma kopi dan roti panggang sudah berganti dengan aroma sosis yang digoreng dalam minyak panas hingga melepuh kulit luarnya. Tak seperti ibu-ibu temannya yang memaksa bahkan memukul jika anaknya tak mau makan sayuran, ibunya hanya menghidangkan apa yang Nayla suka. Dan sedemikian enggannya Nayla saat waktu tidur tiba. Rasanya baru sebentar kebersamaan yang dilewatkannya sehabis Ayah pulang dan makan bersama. Mereka akan duduk di sebuah meja makan bundar, tertawa, bercanda. Rumah yang dipenuhi aroma cinta itu dinamai kedua orang tuanya, Rumah Nayla. Dan itulah nama, yang diberikan Nayla bagi buku catatannya,
Tapi ia tidak menamakan laptopnya seperti buku catatannya. Walaupun keduanya membuatnya merasa bahagia. Sebab seperti apa yang Nayla tulis di buku catatannya yang sebetulnya sangat bertolak belakang dengan apa yang dialaminya, demikian pula yang ia tulis di laptopnya. Ketika rumah yang dihuni dengan suami dan kedua putrinya saat itu adalah rumah beraroma cinta yang nyaris seperti apa yang Nayla tulis di buku catatannya, tapi penderitaanlah yang Nayla tulis di laptopnya. Tentang sebuah rumah di masa kecilnya yang tak bernama. Di rumah itu tak ada sedikit pun aroma cinta. Kedua orang tuanya pemakai narkoba. Jika mereka sedang dalam pengaruh narkoba, semuanya baik-baik saja. Tapi jika mereka kehabisan narkoba, mereka menjadi bukan seperti manusia. Nayla sering mendapat cacian bahkan pukulan untuk kesalahan yang tidak diperbuatnya. Di usianya yang sepuluh tahun Nayla sudah melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memasak seadanya. Jika mereka merasa rumah tidak terlalu bersih, maka Nayla menjadi sasaran kekesalan mereka. Padahal Nayla merasa sudah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Awalnya mereka hanya memakai narkoba berdua saja. Tapi lama kelamaan rumah mereka tak pernah sepi dari tamu. Ada yang datang hanya sebentar lalu segera pergi. Ada yang menginap dan mabuk bersama hingga berhari-hari. Ada pernah juga yang datang menagih uang sehingga mereka harus bersembunyi di dalam rumah yang terkunci. Terjadi seperti itu berulang kali. Hingga suatu hari tiga orang laki-laki berbadan besar mendobrak masuk. Mereka memukuli kedua orang tuanya hingga ambruk. Tak berhenti di sana, mereka bergantian meniduri Nayla. Aroma alkohol menyeruak dari desahan mereka. Nayla menangis dan mengiba. Tapi tak ada iba di mata mereka. Tak ada aroma cinta.
Semua yang Nayla tulis di dalam laptopnya yang tak bernama itu dibaca suaminya.
“Kamu masih enggak bahagia.”
Nayla tak bisa menjawabnya.
“Bisa enggak kamu melupakannya.”
Nayla masih terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepala pada akhirnya.
“Bisa enggak saya membuat kamu melupakannya?”
Nayla menggelengkan kepalanya.
“Bisa enggak saya membuat kamu bahagia?”
Nayla tak bisa menjawabnya.
Itu sudah cukup untuk membuat hidup yang didambakan kebanyakan orang berubah seketika. Suaminya tak lagi bicara. Ia juga tak lagi pulang selepas jam kerja. Nayla tak bisa dan tak mau menyalahkannya. Ia hanya mencoba memperbaiki dengan tak lagi menulis di laptopnya. Sepenuhnya waktu ia habiskan dengan kedua putrinya. Tapi semakin lama, suaminya tak hanya tak pulang selepas jam kerja. Kadang ia pergi berhari-hari, berminggu-minggu, lantas berbulan-bulan lamanya. Di bulan ketiga suaminya pulang dan bicara, adalah hari di mana ia menceraikan Nayla. Sudah ada perempuan lain dalam hidupnya. Yang membahagiakan dan bisa dibahagiakan, katanya. Lucunya, Nayla bisa mengerti sepenuhnya. Nayla tahu persis rasanya mencoba mencintai dan dicintai tapi diabaikan. Sama persis seperti apa yang kedua orangtuanya lakukan.
Dengan segala kesadaran Nayla menyetujui untuk meninggalkan rumah dan membawa hanya sedikit uang tabungan yang hanya cukup untuk membayar sewa apartemen kecil dengan dua kamar untuk satu tahun ke depan. Walaupun tak ada hak asuh anak dalam perjanjian cerai, kedua putri Nayla kelihatannya lebih betah tinggal di rumah ayahnya dan Nayla cukup mengerti keadaan. Selain rumah itu adalah rumah yang mereka tinggali semenjak lahir, rumah itu juga jauh lebih nyaman. Tapi mengerti bukan berarti tidak menyakitkan. Terlebih jika harus mengerti karena itulah harga yang harus ia bayar untuk menebus kesalahan. Atau katakanlah, menebus kekalahan.
Saat kedua putrinya bersama ayah dan ibu baru mereka, Nayla sering membayangkan. Sebuah rumah bertingkat dua dengan kolam renang membelah di tengah-tengahnya sehingga bisa dilihat dari segala ruangan. Di lantai dua sisi kiri adalah kamar-kamar kedua putrinya, dan kamar tamu di sisi kanannya. Di lantai bawah sisi kiri adalah kamar tidur dan kamar studi Nayla, sementara dapur dan ruang keluarga berada di sisi kanannya. Nayla membayangkan, jika rumah itu sudah menjadi nyata, ia tak lagi mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ia akan melakukan segalanya sendiri untuk menunjukkan cintanya. Ia akan membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak segala yang mengeluarkan aroma cinta. Ia pun mulai kembali membuka laptopnya yang tak bernama. Dibacanya ulang catatan-catatan pendek dan dijadikannya menjadi beberapa cerita. Setelah terkumpul beberapa, ia kirimkan ke penerbit buku yang dengan segera mau menerbitkannya. Bukan dari buku itu benar Nayla mendapatkan uang sebesar yang diharapkannya. Tapi, walaupun buku yang diterbitkannya dicetak ulang berkali-kali, ia juga mendapat banyak pekerjaan sampingan yang lebih menghasilkan. Menuliskan buku orang tanpa namanya disebutkan, ternyata jauh lebih menguntungkan. Sedemikian menguntungkannya hingga ia bisa membangun rumah seperti yang ia bayangkan.
Rumah itu beraroma cinta. Dengan kolam renang yang membelah di tengahnya. Kedua putrinya sudah lebih banyak tinggal di rumah itu ketimbang di rumah ayahnya yang sudah memiliki seorang putra. Sebelum mereka pulang dan saat mereka pulang sekolah ada aroma roti panggang, sosis goreng, apa pun yang mereka minta. Nayla pun membersihkan dan merawat rumah itu dengan segenap tenaga dan cinta. Nayla juga hanya membuka laptopnya jika ada tawaran saja. Ia tak tahu mengapa rasanya lebih mudah bahagia bersama kedua putrinya saja. Mengapa bahagia itu tidak Nayla rasakan saat ia bersama kedua putri dan suaminya? Mengapa Nayla merasa bahagia hanya saat berada di depan laptopnya seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat menulis di buku catatannya yang dinamakan Rumah Nayla? Apakah hati Nayla sudah sejak lama bercerai dengan laki-laki jauh sebelum mantan suaminya menceraikannya?
Nayla tetap tidak menemukan jawabannya. Walaupun waktu perlahan menggerogoti usia dan kedua putrinya mulai asyik dengan dunianya yang remaja. Dan aroma cinta perlahan padam sebesar apa pun Nayla berusaha menghidupkannya. Mereka lebih senang berada di luar, atau jika tinggal di rumah mereka lebih memilih diam di kamar. Lalu satu per satu dilamar. Yang tertinggal dari mereka hanyalah sejumput rambut di saringan air ataupun sisir. Sepatu-sepatu kulit usang yang tak pernah lagi mereka semir. Album foto. Kaos polo. Gincu yang hampir habis. Bantal yang busanya sudah menipis. Penjepit bulu mata yang setengah patah. Hati Nayla yang berdarah.
Dan stamina yang melemah.
Rasanya tak ada lagi daya untuk membersihkan dan merawat rumahnya itu. Berbagai penyakit pun mulai diidapnya sejak menginjak umur empat puluh lima tahun awal tahun lalu. Mulai dari kolesterol, hipertensi, hingga paru-paru. Tapi yang terutama adalah tak adanya alasan ataupun motivasi. Tak ada desakan kebutuhan bagi dirinya sendiri.
Lalu Nayla membuka kembali laptopnya yang tak bernama seperti rumah yang ditinggalinya. Di laptop itu ia kembali membuat cerita. Tentang sebuah rumah kontainer berlantai dua. Di bawahnya adalah tempat usaha, dan Nayla tinggal di atasnya. Tempat itu menjual apa yang disukai dan tak akan merepotkannya. Kopi bungkusan, bir kalengan, dan makanan yang hanya pada hari itu ia ingin masak saja. Jika tak ada yang datang, paling tidak ia bisa menikmati dan mengonsumsi apa yang ia sukai sendiri. Jika ada yang datang anggap saja ada yang menemani.
Di bagian itu jari Nayla berhenti mengetik. Menemani? Entah sudah berapa lama Nayla sendiri. Tak berteman, tak juga terlibat asmara dengan laki-laki. Kebutuhan seksual tak pernah terlalu berarti, karena Nayla sudah kehilangan birahi sejak perkosaan yang ia alami.
Nayla menatap laptopnya. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Tapi tak ada satu pun yang sepertinya berminat untuk singgah di sana. Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu hanya berisi lima meja. Dua meja cukup besar untuk empat kursi, dan dua meja kecil untuk dua kursi di sisi kiri dan kanannya. Ke empat meja itu terletak di depan dapur terbuka dengan satu penggorengan dan kulkas berisi bir kalengan. Ruangan itu didominasi warna putih dan abu-abu. Demikian pula dengan meja dan kursi di ruangan itu. Tapi ada satu meja di sudut dekat jendela, tepat sebelum pintu masuk yang berwarna coklat tua. Berisi satu kursi seolah menegaskan jika meja itu itu tak untuk berbagi dengan siapa pun juga. Meja itu miliknya.
Pintu terbuka, membuyarkan perhatian Nayla. Yang membuka pintu terlihat ragu karena tak ada siapa-siapa selain Nayla di dalamnya.
“Buka?”
Nayla menutup laptopnya.

Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri, Banyu Bening, Bidari Maharani, dan eyang putri dari Embun Kinnara ini, lahir di Jakarta 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah novel berjudul Nayla. Belakangan lebih dikenal sebagai sutradara film.

Mahar yang Tertinggal


Cerpen Krismarliyanti (Republika, 24 Desember 2017)
Mahar yang Tertinggal ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Mahar yang Tertinggal ilustrasi Rendra Purnama/Republika 
(Bagian I)
“Ya, akan aku ambil nanti ke apartemenmu.”
“Terima kasih ya, Rin. Maafkan aku. “
Dan kututup pembicaraan ini dengan sunyi. Entah apa yang ada di kepalanya hingga rela membuatku seperti hujan di bulan Desember. Deras tanpa henti. Dan maaf yang terlontar tak lebih dari pengulangan kata, terlalu sering dan hilang makna.
Kuhembuskan napasku panjang. Sembab mataku sudah tidak mampu disamarkan lagi. Kulihat wajah ini melalui pantulan jendela, kuyu dan layu. Tidak kulihat sedikit pun cahaya terang dari diriku saat ini. Kelam dan sendu.
Ardi namanya. Kami bersahabat sejak SMP. Saat itu aku adalah anak baru pindahan dari Bandung. Aku pun tidak tahu alasan apa bapak mengirimku ke kota Medan. Kota yang membuatku selalu gemetar setiap kali mendengar orang berbicara. Keras, lantang, dan apa adanya.
“Hei, kamu anak baru?” katanya dari jendela nako sambil tersenyum jahil. Mereka selalu bergerombol, lima anak laki-laki yang cukup terkenal di sekolah. Dari mereka semua hanya Ardi yang sering menyapaku, walaupun dengan sebutan anak baru.
“Kamu namanya siapa?”
“Airin.”
“Oh, kamu pindahan dari Bandung ya?”
“Iya, kamu kata siapa?”
“Kata Bu Guru.”
“Hoi, Ardi, kamu mau ikut ke kantin atau mau nongkrongin anak baru itu terus?”
“Kamu mau ikut ke kantin?” tanyanya kembali.
“Aku di kelas saja.”
Percakapan yang tidak pernah aku lupakan sampai saat ini. Bahkan aku masih ingat binar matanya saat itu. Rambutnya hitam dan lurus. Rona wajahnya terlihat jelas ketika dia digoda teman-temannya.
Lalu aku sendiri merasakan wajahku dijalari rasa hangat. Tidak hanya itu, bahkan jantungku berdegup cepat.
Waktu berlalu sangat indah sejak perkenalan itu. Dan Ardi menjadi teman bermainku di sekolah dan rumah. Kami menghabiskan waktu tidak hanya jam istirahat sekolah, bahkan selepas sekolah dan terkadang di hari Ahad.
Aku menjadi satu-satunya anak perempuan di antara gerombolan mereka. Ardi cenderung melindungiku ketika ada anak yang jahil. Selain itu, dia juga sangat rajin membantu tugas sekolah atau hanya sekedar mengingatkan.
Persahabatan itu pun terus berlangsung hingga kami kuliah. Aku memilih meneruskan di Bandung, kota kelahiranku, sedangkan Ardi memutuskan di Yogyakarta. Ardi memilih berangkat ke Yogyakarta dari Bandung. “Biar aku antarkan kamu pulang. Sekalian aku mau jalan-jalan mengenal kota Bandung,” katanya saat kami sama-sama harus meninggalkan kota Medan.
Dua hari kami lalui bersama di kota kelahiranku. Kebetulan, orang tuaku menawarkan Ardi untuk menginap di rumah. “Kamu simpan saja uangmu untuk bekal nanti di Jogja.” Tentu saja tawaran bapak ini disambut gembira oleh Ardi. Senyum sumringah pun tidak mampu dia sembunyikan ketika mendengar perkataan bapak. Tentu saja orang tuaku sangat senang dengan kehadiran Ardi di rumah kami. Mempunyai anak laki-laki adalah salah satu impian ibu yang sudah tidak mungkin terwujud.
“Menginap gratis dan pemandu wisata cantik,“ katanya dengan senyum yang diiringi kerling jahilnya ketika menerima anjuran bapak dan ibu. Entah dia sadar atau tidak kala itu wajahku merona bahagia. Dan aku berharap dia akan tinggal lebih lama.
Tugasku menjadi pemandu wisata Ardi pun selesai. Tiga hari yang penuh cerita dan warna. Hari-hari yang sangat indah, bahkan lebih indah dibandingkan sebelum nya. Melewati gerimis sore dengan gelak tawanya selalu aku rindukan. Atau keisengan dia yang berhasil membuatku tersipu. Ada kebahagian yang terselip di relung hatiku.
Tidak aku pungkiri, ada harapan ini akan terulang lagi. Dan pagi itu, menjadi perpisahan yang berat buatku. Stasiun Kebon Kawung tiba-tiba lebih dingin dari biasanya. Perjalanan yang tidak terlalu panjang itu pun terasa sepi dan kaku. Sesekali pandanganku tertuju ke parasnya yang terlihat serius mengendarai mobil. Tidak jarang pula tatapan kami beradu tanpa sengaja, yang akhirnya menyisakan rona merah dan senyum canggung kami berdua.
“Rin, terima kasih ya sudah baik sama aku.”
“Halah, basa-basi kamu!”
“Hahaha … tetap berkabar ya, biar kangenku terobati.”
“Paling juga nanti kamu lupa sama aku. Di sana pasti kamu akan sibuk dengan cewek-cewek cantik.”
“Aih, kamu cemburu.” Dan pipiku memerah jambu hingga membuat dia tertawa bahagia. Andai saja kamu tahu, Ardi, aku ingin kamu selalu bersamaku, doa kecilku pada Tuhan saat itu.
Kami pun memasuki parkiran stasiun. Kami pun melewati loket peron. Hati ini semakin berat, air mata pun menitik di pipiku. Kupalingkan wajah untuk menghindari tatapannya. Binar matanya tidak pernah berubah, hidup dan penuh semangat. Sorot mata yang selalu membuatku bersemangat ketika bersedih.
Beberapa saat kami saling terdiam, hingga terdengar pengumuman kereta akan segera diberangkatkan, tanda kami harus berpisah. Ardi tiba-tiba saja memegang tanganku dan tatapannya begitu lekat. Tanpa permisi, dia mengelus pipiku sebelum meloncat menaiki gerbong. Peluit kereta api mengiringi kepergiannya. Lambaian tangan yang entah kapan aku bisa melihatnya lagi.
Kuliah membuat kesibukan kami jarang berkirim surat atau hanya sekedar mengangkat telepon dan menanyakan kabar. Akhirnya kabar pun tidak pernah terdengar. Bertahun-tahun berlalu. Aku pun tidak pernah tahu lagi kabar keberadaannya. Persahabatan kami hilang ditelan jarak, meskipun sering kali hati ini disisipi rasa rindu.
Perpisahan di stasiun beberapa tahun lalu berhasil menyita hatiku. Berulang kali aku didekati teman kampus dan jawabanku selalu, “Maaf, aku ingin belajar dulu.” Sejak pagi itu, aku hanya merindukan Ardi. Tidak sanggup rasanya membayangkan aku harus bersanding dengan orang lain selain Ardi.
Tanpa lelah aku masih terus berharap Ardi menyatakan perasaannya. Awal-awal kuliah kami masih berkirim surat walau itu hanya sebatas cerita kampus. Tetapi asa itu tidak pupus sedikit pun. Ya, aku mencintainya diam-diam. Entah sejak kapan dan sampai kapan.
Lima tahun berlalu sejak surat terakhir yang aku terima, tibalah hari pernikahanku. Perjodohan yang telah diatur orang tua aku terima begitu saja. Tidak ada pertimbangan apa pun, aku hanya percaya dengan pilihan mereka. Lagi pula, aku tidak tahu harus sampai kapan menunggu Ardi. Surat terakhir yang aku kirimkan tidak ada balasan. Dan ketika ku telepon kosnya, dia sudah pindah. Alamat kos baru pun tidak aku dapatkan.
“Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Airin. Biarkan kami menimang cucu sebelum kami berpulang.” Dan aku hanya mengangguk mengiyakan. Sebagai anak satu-satunya, aku tidak pernah kuasa menyakiti perasaan ibu dan bapak. Hanya mereka yang aku punya. Di usianya yang sudah renta, ibu dan bapak sering kali mengeluh rumah sepi ketika aku bekerja. Padahal, aku masih tinggal serumah dengan mereka. Tetapi sang penerus trahlah yang dinanti orang tuaku.
Harapan ibu dan bapak pun terkabul. Di tahun kedua pernikahanku dengan Mas Hemi telah ramai suara tangis bayi. Dan kali ini pun rengekan lain kembali dilontarkan ibu, “kalian tinggal di sini saja. Biar ibu bisa bermain dengan Biyan. Bapakmu pasti senang.” Permintaan yang sulit aku tolak karena ibu dan bapak hanya punya aku untuk mengurusnya di masa tua mereka. Tetapi keinginan menempati rumah sendiri pun diinginkan aku dan Mas Hemi.

KRISMARLIYANTI adalah seorang penulis yang lahir di Rangkasbitung, Banten. Hobi membaca dimulai sejak sekolah dasar dan mulai menulis dari tahun 2000. Dunia seni sudah dikenalnya sejak usia remaja dan menjalani serius dunia teater ketika kuliah di Yogyakarta. Mulai menulis dengan naskah drama lalu kemudian tertarik menulis puisi. Salah satunya puisinya sudah dimuat di buku Medan Puisi, antologi puisi Sempena the 1st International poetry Gathering yang diadakan di Medan pada tahun 2007. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Poetry Anthology Lentera telah terbit pada tahun 2016. Selain menulis, Krismarliyanti pun seorang perupa. Hasil karyanya telah dijadikan sebagai cover dan ilustrasi di buku antologi pertamanya. Beberapa karya tulis dan lukisan serta drawing art dapat dinikmati di Fb: htttps://www.facebook.com/krisdonaldson; https://thelantern07.blogspot.co.id atau Instagram @KrisDonaldson.

Aku Lupa Jalan Pulang, Sampah, Aku Tersesat di Sebaris Senyummu, dan Lainnya

Puisi-puisi Azizi Sulung (Media Indonesia, 24 Desember 2017)
Aku Lupa Jalan Pulang, Sampah, Aku Tersesat di Sebaris Senyummu, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Aku Lupa Jalan Pulang, Sampah, Aku Tersesat di Sebaris Senyummu, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Aku Lupa Jalan Pulang


pada sekian jarak
yang telah usai kupijaki
bersisa waktu

batu-batu bergelayut merebut bayangmu
memanggul rindu
memunguti sisa-sisa masa lalu

kembali kau mengajakku
menidurkan segala gelisah
pada seluruh langkahku yang tak tentu arah.

Rumah Belimbing, 2017

Waktu (I)

:faiqurrahman

tak ada yang lebih perih dari sebuah pertemuan
selepas kita sempurna menunaikannya
kita akan kembali menanggalkannya sebagai asal
mula

pada garis-garis tangan kita
tersimpan banyak rencana teramat rahasia
takdir sebagai pelarian
dan doa tak cukup upaya sebagai ikhtiar

dari sekian panjang perjalanan ini
waktu kita pijaki bertubi
sudah tak terhitung
berapa tebal air mata ini berderai
seberapa deras
keringat ini berkucur

mari,
berlayarlah membentur gelombang
sambil lalu kita mengasah keyakinan ini
: habis gelap terbitlah terang

Rumah Belimbing, 2017

Waktu (II)


suaramu parau
terpantul dari balik telepon genggam
mengecup pilu
diamini batu-batu
pada belukar
kita belajar kedalaman sabar
dan pada langit
kita mengutuk kesetiaan
atas segala sakit dan pahit.

Rumah Belimbing, 2017

Menyambangimu lewat Sebuah Pesan Singkat


sempurna sudah jarak ini membentang
mengubur segala gelisah
pada daun-daun
kita melepas gundah
pada keretap angin
kita menitipkan segala ingin

lewat sebuah pesan singkat
aku masih sangat utuh menyimpannya
tak ada kabar berarti tak sayang
rindu yang terpendam adalah cemburu yang
mematikan.

Rumah Belimbing, 2017

Kepergian Nenek


lalu-lalang waktu
tiba-tiba tersendat
meretas: mencipta pisah seumpama belati

kita pun tak kuasa menerka waktu

tatap mata ini begitu lama
membaca masa lalu
mengurai nasib yang masih teramat raib

kepal tanganmu di tanganku
menitipkan waktu
menunjuk jalan masing-masing
kita pun belum bertukar tahu
bahwa ajal adalah akhir segala temu.

Rumah Belimbing, 2017

Tanyakan pada Malam


tanyakan pada malam
apakah ia akan bertandang
melepas dingin
melepas resah
merapikan segala gelisah
dan riak rindu yang kian pecah

tanyakanlah pada malam
seberapa dalam mengubur dendam
menyimpan rahasia: masa-masa silam
yang kerap kita sanksikan

tanyakanlah pada malam
masihkah hati ini menjadi muara atas segala rasa.

Rumah Belimbing, 2017

Selamat Malam, Sayang


di basah malam
aku melempar penat
menatap ke langit lepas
lengang: menyiratkan segala kenang

hembus angin menyentuh jendela
hinggap dengan sangat terbata
berkabar tentang rindu seseorang di ujung seberang

selamat malam sayang
ucap malam pada sisa-sisa gamang
dan sudut kamarku yang sudah mulai remang.

Rumah Belimbing, 2017

Aku Tersesat di Sebaris Senyummu


malam-malam kembali perawan
awan menipis
merangkul mesra dawai angin
memecah gerimis

sepasang mataku tak lagi pandai
bagaimana cara berkedip
setelah diam-diam
senyummu terlempar
menabuh degub jantungku
yang sudah sekian lama mati
dan haus rindu ini
yang telah berulang kali kukebiri.

Rumah Belimbing, 2017

Sampah


adakah yang lebih setia dari kehadiranmu?
merindukan segala sempat
menghinggapi seluruh tempat
datang tak diundang
diusir pun kau lebih setia memilih bertandang

kerapkali kau lahir prematur
dari tangan-tangan jalang
dan niat usang para pembuang

kau cipta segala kesetiaan
tapi tak kalah setia kau lahirkan kebosanan

Rumah Belimbing, 2017


Azizi Sulung, lahir di Sumenep, 7 Juli 1994. Santri Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Kumpulan puisinya yang telah terbit, Accident: Malapetaka Terencana (2012), Simposium (2012), Solitude (2012), Luka-luka Bangsa (2016), dan Rampai Luka (2016).

Salju-salju yang Berjatuhan di dalam Dadaku

Cerpen Majenis Panggar Besi (Media Indonesia, 24 Desember 2017)
Salju-salju yang Berjatuhan di dalam Dadaku ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Salju-salju yang Berjatuhan di dalam Dadaku ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
BELAKANGAN baru aku ketahui namanya Yolendra. Dia mengetuk pintu rumahku saat salju telah bertebaran di halaman. Di balik punggungnya aku melihat pohon-pohon yang meranggas, kontras dengan kesegaran pada air mukanya yang merah segar dan berbintik-bintik akibat sering terpapar sinar matahari.
Dia bertanya tentang alamat seseorang, yang untuk orang itulah dia membawa sebuah bingkisan. Sedikit tergagap aku menjawab bahwa orang itu adalah aku. Setelah tersenyum formal, dia mengatakan maksud kedatangannya. Tentang orang yang lain, yang mengutusnya untuk menyampaikan sebuah pesan kepadaku. Seseorang yang tengah berada di Hindia. Dan dengan tanpa beban, dia menambahkan bahwa orang tersebut berpesan, apabila ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya, aku adalah orang pertama yang harus diberitahu.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Sedikit air mataku menitik di sudut kelopaknya. Perih. Tidak bisa tidak, dia pasti membawa kabar yang tidak baik tentang putraku. Aku sedikit limbung, kepalaku terasa demikian besar untuk leherku. Lalu lantai yang kupijak terlihat demikian jauh.
Salju di luar sana demikian menyilaukan, lonceng misa pagi berdentang, menghamburkan burung-burung ke udara. Seharusnya aku lekas menyilakan dia masuk, demi udara dingin Desember yang bergulung-gulung di luar sana. Tapi yang terjadi di antara kami hanyalah kesunyian yang demikian menyesakkan.
***
Putraku lahir saat salju berhamburan di luar jendela, dengan lagu-lagu natal menggelenyar merambati udara. Ayahnya harus menembus salju-salju dengan iringan lagu-lagu itu untuk sampai ke gereja kami yang terletak di ujung jalan.
Pintu besar itu berderit membuka setelah tiga kali ayahnya mengetuk. Pendeta mengajak ayahnya ke ruang baca, yang dilengkapi dengan perapian berbahan bakar batu bara. Di ruang yang hangat dan beraroma lylac itulah ayahnya mengutarakan maksud kedatangannya. Sambil memandang potret Do’a Bapa Kami yang tergantung pada dinding di belakang punggung Pendeta, ayahnya menceritakan tentang kelahiran putraku. Menambahkan tentang keinginannya untuk membaptisnya pada hari biasa, ayahnya ingin agar putraku dibaptis sendirian saja.
Pendeta menjawab dengan suara yang tak lebih dari dengungan lebah, bahwa itu bukanlah hal yang susah. Ia memilihkan hari Sabtu untuk pembaptisan putraku, pukul dua belas siang. Tersenyum dan melanjutkan dengan pertanyaan, siapa nama yang ingin ayah berikan padaku.
Sambil memutar-mutar topi dalam genggamannya, ayahnya menjawab bahwa ia telah menyiapkan sebuah nama tapi dia masih ragu. Kemudin ayahnya menyebut nama-nama paman yang akan menjadi wali putraku. Ayahnya mengakhiri kalimatnya dengan pertanyaan, adakah yang harus ia persiapkan sebelum Sabtu depan?
Pendeta menjawab tak ada, yang ia sambung dengan harapannya: semoga Tuhan menjadikan kelahiran putraku sebagai berkah untuk keluarga, lingkungan dan alam semesta. Ayahnya memindahkan beberapa gulden dari kantungnya ke tangan pendeta, lalu beranjak pergi. Letupan batu bara dalam perapian mengiringi kepergian ayahnya.
Maka terhitung sejak hari Sabtu yang bersalju itu, putraku menetapkan kehidupan dalam iman kristen. Menjadi domba yang menjalani hari dengan sepenuh rasa syukur atas berkat dari Sang Gembala. Putraku melalui masa kecil dengan menghafal beberapa bait Psalm, serta sedikit belajar Revelasi, buku Daniel, Genesis, Samuel dan Exodus. Selain kitab, putraku juga suka meyanyikan kidung-kidung ceria. Lalu waktu terus melaju, salju telah berulang bertemu salju. Kemudian putraku telah sampai dimana kidung cerianya telah berganti menjadi Kidung Jemaat.
Bertahun-tahun kemudian, pendeta mendengarkan keributan di luar jendela ruang bacanya. Ia beranjak ke pintu, membukanya dan menemukan ayahnya dengan beberapa orang yang turut menyertai. Pendeta tersenyum sebelum menyilahkan masuk dan kemudian bertanya tentang perihal apa yang ayahnya bawa.
Ayahnya berbicara dengan keriangan yang jelas-jelas tak mampu ia sembunyikan. Tentang maksud kedatangannya adalah supaya pendeta sudi mengumumkan pernikahan putraku. Beberapa kalimat ayah selanjutnya saling berbalasan dengan apa yang pendeta ucapkan, yang diakhiri dengan: rasanya baru kemarin kita melakukan pembaptisan.
Ayahnya memperkenalkan bahwa orang-orang yang menyertainya adalah keluarga dari pihak perempuan, pendeta mencatat nama-nama mereka yang hadir dalam sebuah buku kecil yang ia ambil dari dalam laci. Ayahnya memindahkan beberapa gulden dari dompetnya ke meja, yang ditanggapi oleh pendeta bahwa itu terlalu banyak. Pendeta menegaskan bahwa ia hanya perlu sepersepuluhnya saja. Ayahnya tersenyum dan menggenggam tangan pendeta, sambil berbisik: Dia putraku satu-satunya. Bulan depan ia akan pulang dari Hindia, aku mau merayakan ini tidak dengan cara yang sederhana. Karena ini adalah hal terakhir yang bisa aku lakukan untuknya sebagai orang tua. Ayahnya mengakhiri bisikan dengan wajah tersenyum.
Pendeta tak lagi menyanggah omongan ayahnya, ia hanya memindahkan semua gulden dari meja ke dalam lacinya.
***
Salju di luar jendela masih berjatuhan. Bungkusan yang dibawa Yolendra tergeletak di meja, tak terjamah. Sebelum pergi, Yolendra menawarkan adakah yang bisa ia lakukan. Aku menjawab ada, suamiku ada di ruang tengah, harus ada yang memberitahu dia tentang putra kami, tapi rasanya aku tidak cukup kuat untuk itu.
Dia bertanya apakah aku akan baik-baik saja, aku menjawab tidak. Dia bilang aku boleh menangis, tak perlu ditegar-tegarkan. Lalu dia menambahkan bahwa dia juga seorang ayah dan tahu bagaimana rasanya kehilangan. Aku menjawab, aku seorang ibu yang bukan sekali ini saja harus merasakan kehilangan. Dan aku sudah lama tidak menangis.
Yolendra berlalu untuk menemui suamiku. Salju masih berhamburan di luar jendela. Bulan depan putraku pulang dari Hindia. Belum genap seminggu yang lalu suamiku mendatangi pendeta untuk mengumumkan pernikahannya. Lalu hari ini, datang Yolendra yang lain, membawa kabar tentang Yolendra putraku, yang telah gugur di negeri yang jauh. Lagu-lagu natal menggelenyar merambati udara, aku berdo’a dalam hati: Semoga selama dalam tugasnya, putraku benar-benar bisa menjadi domba yang mendatangkan berkat bagi sesama. Dari tempatku berdiri terdengar obrolan Yolendra dan suamiku di ruang tengah.
“Maukah kau menceritakan kepadaku bagaimana kejadiannya?”
“Hari itu Letnan Yolendra dijadwalkan meninggalkan Payakumbuh dan berlayar dari Sumatra Barat ke Batavia. Paginya, letnan sedang sibuk di pemukiman warga di daerah Pasar Ibuh,” lalu dengan cepat menambahkan, “Pasar Ibuh adalah suatu nama daerah di wilayah Kota Payakumbuh. Sumatra Barat.” Kemudian dia melanjutkan, “Ada seorang wanita yang dilaporkan hilang pada malam sebelumnya. Kami tidak tahu ada hubungan apa antara letnan dan perempuan yang dilaporkan hilang itu. Letnan langsung menuju ke lokasi saat mendengar kabar bahwa perempuan yang hilang itu telah meninggal dan jasadnya ditemukan di tepi sungai Batang Agam. Di tempat di mana jenazah ditemukan, letnan segera memeriksa lengan kiri perempuan itu, rupanya perempuan itu mengenakan gelang yang sama dengan yang letnan pakai. Semuanya terjadi dengan demikian cepat, tanpa dapat kami mencegahnya: letnan mencabut pistol di pinggangnya dan menembak kepalanya sendiri.”
Aku menatap kosong pada potret di atas perapian. Aku tengah berdiri di atas pasir yang aman dari jilatan ombak, memandang suamiku menggendong Yolendra berjalan perlahan ke arah laut. Langit berwarna pastel, dipantulkan oleh air laut dan pasir basah. Aku tidak dapat mengingat kapan foto itu diambil. Mungkin beberapa saat sebelum aku mengandung untuk ke dua kalinya.
Ketidakmampuanku mengingat detil-detil kecil semacam ini, entah mengapa tak lagi terlalu mengganggu. Sama halnya aku telah lupa kapan terakhir kali memimpikan Yolendra. Tahun depan umurku akan memasuki angka enam puluh delapan tahun, dan sepertinya masih lama lagi aku baru bisa menyusul Yolendra. Aku merasa yakin bahwa ajalnya masih jauh. Memikirkan hal ini, terkadang aku dipenuhi perasaan marah kepada Yolendra. Bagaimana mungkin dia bisa memilih mati secepat dan semudah itu?
Salju berjatuhan di halaman. Putraku telah meninggal tanpa sempat aku mengucapkan kata selamat tinggal yang pantas untuknya. Aku bahkan tidak bisa memberikan air mataku untuknya, sungguh anak yang malang. Anakku telah tiada, akan tetapi kenangan akan dirinya akan tetap hidup di dalam diriku. Dan sekarang, setelah kepergiannya aku harus menanggung kenangan ini sendirian.
Aku merasakan salju-salju berjatuhan di dalam dadaku, menebarkan hawa dingin dan menumbuhkan hal-hal yang sama sekali tak aku inginkan. Aku tak tahu, ingatan tentang putraku akan tumbuh menjadi apa di dalam di kemudian hari. Yang aku tahu adalah dia telah membawa sebagian dari diriku bersama kepergiannya.
Di dapur, ketel air menjerit-jerit tanpa ada niatku untuk mematikan api kompor. Aku masih ingat hari pedih ketika ayahku tiada. Bagaimana hari itu aku menghujani diriku dengan air mataku sendiri. Ingin rasanya aku dilanda emosi semacam itu, tapi saat ini yang aku rasakan hanyalah kekosongan. Hujan salju di luar jendela benar-benar mempercepat kelam. Lagu-lagu natal menggelenyar merambati udara. Oh malam suci, oh Tuhan kami. Tiada betarti hidupku ini, sampai tempatku perlu kau datangi.

Majenis Panggar Besi, terlahir di Banyuwangi. Kumpulan cerita pendek termutakhirnya adalah Hari Anjing-Anjing Menghilang (Diva Press 2017).

Apakah Nenek Sudah Bisa Terbang?

Cerpen Kiki Sulistyo (Jawa Pos, 24 Desember 2017)
Apakah Nenek Sudah Bisa Terbang ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Apakah Nenek Sudah Bisa Terbang ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
NENEK berdiri di atap rumah. Tangannya yang kurus dikepak-kepakkan bagaikan seekor burung yang hendak belajar terbang. Wajahnya mendongak, matanya menatap langit senja yang kemerahan. Dari bawah, sosok nenek tampak seperti patung kayu yang digerakkan angin.
Aku duduk di kursi tua, di bawah pohon beringin depan rumah. “Ayo, Nenek. Terbanglah. Nenek pasti bisa,” teriakku.
Tapi nenek tetap di tempat sembari terus mengepak-kepakkan tangannya. Ibu keluar dari dalam rumah. Di tangannya ada sapu lidi. “Nenekmu sudah bisa terbang?” tanya ibu.
“Belum. Nenek cuma begitu saja selama berjam-jam,” kataku.
Aku menyandarkan punggung dan meraih akar beringin yang terjuntai. Lalu kumasukkan ujung akar itu ke mulut, menggigitnya sedikit, mengunyahnya pelan-pelan lalu menelannya.
“Kamu makan akar beringin lagi?” ucap ibu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dari dalam rumah ayah keluar. Bergabung dengan kami. “Nenekmu sudah bisa terbang?” tanyanya. Suaranya seperti suara ibu dalam versi laki-laki. Aku menggeleng.
“Sepertinya kamu harus secepatnya punya suami, Sirin. Supaya nenekmu segera bisa terbang,” ayah bergumam.
“Suami itu apa, Ayah?” tanyaku. Aku lihat ayah dan ibu berpandangan.
“Suami itu pasangan. Seperti Ayah, misalnya, adalah pasangan ibumu.”
“Maksud Ayah, laki-laki?”
“Tidak harus laki-laki. Pokoknya suami.”
“Terus nanti suami itu mencabuti rambutku?” Aku ingat sering melihat ayah mencabut satu per satu rambut ibu. Makanya kepala ibu nyaris botak.
“Mungkin tidak, tapi diganti yang lain. Misalnya, mengisap kelingkingmu.”
“Bagaimana kalau aku pilih beringin jadi suamiku?”
Ayah tidak membolehkan beringin jadi suamiku. Katanya, beringin itu kakekku. Tidak mungkin menjadikan kakek sendiri sebagai suami. Karena itu keesokan harinya diam-diam aku pergi dari rumah. Sempat aku lihat nenek masih berdiri di atap sambil mengepakkepakkan tangannya.
Sambil berjalan aku berpikir. Tiba-tiba aku ingat di sekitar areal persawahan tinggal tukang sol sepatu yang buta. Barangkali aku bisa tinggal di rumahnya untuk sementara. Segera aku mencari jalan ke sana. Rumah tukang sol sepatu yang buta itu terbuat dari cangkang siput raksasa. Permukaan cangkang berwarna merah muda dengan totol-totol biru.
Tukang sol sepatu itu sedang bekerja di depan waktu aku datang. Tanpa permisi aku segera masuk ke rumahnya. Aku tahu tukang sol sepatu itu mendengar langkah-langkahku. Sebelum masuk aku sempat melihat telinganya berkedip. Maksudku lubang telinganya menutup dan membuka beberapa kali. Karena dia membiarkanku masuk, artinya dia tidak keberatan. Kalau dia keberatan, pasti aku tidak akan bisa masuk semudah ini.
Ruang dalam rumah cangkang siput ini gelap sekali. Hawa dingin menembus bajuku dan meremas-remas ototku. Keheningan mengepul bagai asap, meredam suara-suara yang datang dari luar. Dengan segera mataku mengikuti kegelapan, aku tertidur sambil berdiri. Aku merasa terjaga ketika lamat-lamat aku dengar suara ayah berbicara. Cepat sekali dia mencariku, pikirku. Mudah-mudahan tukang sol sepatu tidak memberi tahu ayah kalau aku ada dalam rumahnya. Aku dengar mereka berbincang beberapa saat, lalu aku tertidur lagi.
“Saya tidak bilang ke ayahmu,” tiba-tiba ada suara dari belakangku. Karena ruangan sangat gelap aku tidak bisa melihat apa-apa. Tapi aku tahu itu suara tukang sol sepatu.
“Astaga, kamu bikin aku kaget,” kataku. Tukang sol sepatu tersenyum. Bagaimana aku bisa melihat dia tersenyum? Aneh juga. Pokoknya aku bisa melihat dia tersenyum.
“Sirin, aku punya sesuatu untukmu,” lanjutnya tanpa meminta maaf. Lantas sebuah benda kemilau tampak di tengah kegelapan. Aku memicingkan mata. Itu sebuah sepatu. Sepatu kaca. Aku seperti mendengar bunyi “triiiiing” ketika sepatu itu muncul.
“Aaaaa, indah sekali. Itu sepatu untukku? Tapi kenapa hanya sebelah?” tanyaku.
Tukang sol sepatu tidak menjawab. Sepatu kaca itu didekatkan ke kakiku. Aku memakainya. Luar biasa. Pas sekali, seakan-akan sepatu itu memang dibuat untukku.
“Boleh aku bertanya lagi?” kataku. Sebuah pertanyaan jika tidak mendapat jawaban tidak boleh ditanyakan lagi. Itu bagian dari sopansantun.
“Tanya apa?” kata tukang sol sepatu.
“Namamu siapa sih. Kalau tidak salah kamu sebaya denganku. Tapi aku tidak pernah tahu namamu,” ucapku.
“Nama saya Tukang Sol Sepatu,” jawabnya.
Itu kan pekerjaanmu, bukan namamu, kataku dalam hati. Tapi aku tak boleh menanyakan hal yang sama dua kali.
“Baiklah, Tukang Sol Sepatu. Terima kasih. Sepatu ini indah sekali.” Aku mendekatkan bibir ke arahnya. Dengan sembarangan kukecupkan bibirku ke tempat yang kuduga adalah pipinya. Tapi yang kena adalah matanya. Rupanya ia berbicara sambil menghadap samping. Kulihat percik singkat di titik yang kukecup tadi.
Aku tinggal di rumah Tukang Sol Sepatu selama beberapa lama. Kuhabiskan waktu dengan memandang sepatu kacaku dan melihat Tukang Sol Sepatu bekerja. Aku suka melihat Tukang Sol Sepatu bekerja. Rasanya seperti membaca puisi. Sepertinya bagus juga kalau ada puisi berjudul Melihat Tukang Sol Sepatu Bekerja.
Tapi lama-lama aku jadi bosan. Aku merindukan pohon beringin. Apakah nenek sudah bisa terbang? Meskipun enggan mengakui, aku juga merindukan orang tuaku. Tapi kalau aku pulang dan nenek belum bisa terbang pasti aku disuruh mencari suami lagi. Kecuali kalau aku sudah punya suami. Aaaa, pikiran ini tiba-tiba datang begitu saja. Bagaimana kalau Tukang Sol Sepatu aku jadikan suami? Dia memang bukan laki-laki, tapi kata ayah, suami tidak harus laki-laki.
“Tukang Sol Sepatu, bagaimana kalau kamu jadi suamiku?” kataku pada suatu pagi.
Tukang Sol Sepatu terpaku. Dari matanya yang buta pelan-pelan memercik bunga-bunga cahaya. Tukang Sol Sepatu menangis tersedu-sedu. Malam harinya kami melaksanakan ritual. Aku telanjang. Tukang Sol Sepatu juga telanjang. Kami berdiri berhadapan di tengah sawah.
“Apa yang harus saya lakukan?” kata Tukang Sol Sepatu.
“Hmm, isap kelingkingku,” jawabku teringat kata-kata ayah.
Tukang Sol Sepatu mengisap kelingkingku dengan rakus bagaikan binatang pengisap darah. Wah, memiliki suami ternyata membuatku bisa melihat hal-hal baru. Aku tengadah ke langit dan melihat kawanan domba digiring oleh seorang gembala. Domba-domba itu berkerumun hingga mirip seperti gumpalan awan yang menutupi bulan.
Esok paginya, dengan mengenakan sebelah sepatu kaca, aku mengajak Tukang Sol Sepatu pulang ke rumahku. Aku memegang tangannya untuk menuntun jalannya. Sesampai di rumah aku melihat pemandangan yang biasa. Nenek berdiri di atap rumah sambil mengepak-kepakkan tangannya. Ibu di bawahnya berseru, “Ayo, Nenek. Terbanglah. Nenek pasti bisa!”
Aku menghampiri ibu sambil menggandeng Tukang Sol Sepatu. Ibu melihatku dan langsung menjerit. Ayah muncul dari pintu rumah. Tapi ia tidak sendiri. Seorang pemuda rupawan berdiri di sampingnya. Mereka berdua langsung menghampiriku.
“Sirin? Oh, kamu sudah pulang, Nak,” kata ayah.
Dalam cerita yang normal seharusnya aku terharu, memeluk ayah dengan penuh penyesalan. Tapi pemuda rupawan di sampingnya telah menyedot perhatianku. “Ini calon suamimu,” lanjut ayah. Aku menjulurkan tangan tapi pemuda rupawan itu tidak melihatku. Dia melihat sepatuku. Lalu dari tas yang tersampir di pundaknya, dikeluarkannya sebelah sepatu yang sama persis dengan sepatu kacaku.
“Aaaa, ini akan berakhir seperti dongeng,” kata ibu sambil memutar-mutar sapu lidinya.
Sekonyong-konyong Tukang Sol Sepatu berseru, “Tidak. Tidak bisa. Bukankah kamu sudah jadi istri saya?”
Aku tidak menjawab. Tentu saja, demi sopan santun, Tukang Sol Sepatu tidak bisa menanyakan hal yang sama.
“Benarkah, Sirin?” tanya ibu. Aku tidak menjawab. Tentu ibu juga tidak bisa lagi menanyakan hal yang sama. Keheningan tiba-tiba meraja.
Hening.
Hening.
Hening.
Keheningan semacam ini memang sering muncul di kepala pengarang yang tidak tahu bagaimana mengakhiri cerita yang sudah telanjur ditulisnya. ***

Kekalik, 2017
KIKI SULISTYO lahir di Kota Ampenan, Lombok. Buku puisinya masuk daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2015. Dia mengelola Komunitas Akarpohon di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Ingin Kupeluk Dia Lebih Erat

Cerpen Resza Mustafa (Suara Merdeka, 24 Desember 2017)
Ingin Kupeluk Dia Lebih Erat ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Ingin Kupeluk Dia Lebih Erat ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Sebentarlagi Kakek pergi. Selamanya. Memang tak ada apa pun yang bisa didapat para buruh dan anak-cucu mereka, selain nasib buruk dan masalah.
Hampir-hampir waktu kerja tak pernah bersela di perkebunan kopi Desa Rahtawu milik Juragan Kusno, sekalipun sore hari pada akhir pekan. Kakek bekerja penuh enam hari. Hanya libur setiap Jumat. Pada hari-hari itu pula penyakit rentanya tak kunjung bersahabat. Namun dia tak pernah beranjak untuk pulang dari kebun sampai senja melembayung di ufuk barat.
Dia menyandang cangkul di bahu, meninggalkan kebun. Saat itulah senyumnya mengembang disertai napas tersengal. Saat berpapasan dengan buruh lain di jalan, Kakek bercakap ringan dan sesekali tergelak.
Seperti tak ingin menyia-nyiakan waktu pada akhir tahun ini, sesampai di rumah, dia yang masih terbatuk- batuk seusai minum air kendi berdiri dari kursi istirahat dan bergegas mandi. Dia berpakaian rapi, salat magrib berjamaah, lalu mampir ke rumah Juragan Kusno. Di teras rumah berpapan kayu itu sudah ramai orang mengantre. Dia membaur, berbaris sesuai dengan urutan waktu datang.
Sepanjang sore Juragan Kusno berdiri di balik meja kasir. Dia mengambil perlengkapan dari rak yang dibutuhkan para buruh, memeriksa catatan nama orang yang berbaris dalam buku. Istrinya, Nyah Ida, yang duduk di samping Juragan Kusno, mengumpulkan barang-barang itu, lalu membagikan sebagai jatah perlengkapan berkebun pada mereka.
Kakek masih berdiri di dekat pintu. Dia memperhatikan empat orang yang berbaris di depannya dan segala polah Juragan Kusno. Dia bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah ketika waktu jatuh tempo meninggalkan rumah tiba, dia akan tetap berutang pada Kusno selamanya, tanpa kuat membayar?
“Mbah Midi?” ujar Juragan Kusno memastikan.
“Ya, Gan. Saya,” sahut Kakek terdengar parau, sambil berdehem menahan batuk.
“Mbah, sampean masih punya utang tiga juta rupiah pada saya sejak tahun lalu. Belum sekali pun sampean cicil sampai sekarang. Panen biji kopi dari kebun garapan sampean tahun ini menghasilkan satu juta tujuh ratus ribu. Pekerjaan bagus, Mbah. Tapi semua perlengkapan menghabiskan delapan ratus ribu. Apalagi harga pupuk terus melonjak. Maaf, Mbah, saya kira utang sampean belum bisa lunas tahun ini. Tapi saya lihat sampean masih giat bekerja keras dan penuh semangat. Saya yakin sampean bisa melunasi utang tahun depan.”
Kakek, atau siapa pun buruh di sana, hanya bisa menundukkan kepala. Tak pelak, semua di dunia ini memang terasa hanya untuk orang berpunya; para tuan tanah dan tengkulak. Tidak ada untuk buruh. Semua buruh pasti tertawa menjalani nasib buruk itu, nasib yang telah tergaris bahkan sejak mereka belum lahir. Dan, tawa mereka adalah tawa orang-orang yang telah amat lama menikmati penderitaan.
Setelah semua urusan dengan Juragan Kusno selesai, para buruh perkebunan pulang ke rumah masingmasing. Begitu juga Kakek.
Dia pulang ke rumah reot berdinding bambu beratap jerami. Dia melakukan kesibukankesibukan kecil, seperti memasak untuk makan malam dan melepaskan lelah usai bekerja seharian di perkebunan.
Dia memang hidup sebatang kara. Sang istri meninggal tiga tahun silam karena tuberkulosis. Penyakit itu kini juga menghantui dia. Sinah, anak semata wayang, bersama sang suami merantau ke Malaysia. Mereka menjadi TKI dan tak pernah pulang selama tujuh belas tahun.
Rumah Kakek agak jauh dari perkampungan, tepat di bibir kebun kopi. Rumah sebelumnya di kampung telah dia jual untuk membiayai kuliah sang cucu, anak Sinah. Cucu berparas ayu itu kuliah di sebuah universitas ternama di Semarang sejak tiga tahun lalu. Sayang, gadis itu berwatak angkuh. Sangat berkebalikan dari pribadi sang kakek.
Apa saja yang dia kehendaki harus terwujud. Dia bergaya hidup mewah, berpakaian perlente seperti kebanyakan gadis kota. Dia pun bergaul secara bebas, menghamburhamburkan uang, tak peduli uang itu hasil utang sang kakek pada Juragan Kusno atau tidak.
Dia berkelakuan baik hanya saat menjenguk sang kakek. Lalu kembali ke Semarang dengan uang saku cukup agar bisa hidup sesuka-suka. Dia merasa bisa menebak masa depan yang cerah hanya dengan menggunakan salam manis selampir ijazah.
***
Tidak ada yang berbeda hari itu. Kabut mengambang di tengah jalan setiap sore tiba hingga esok pagi. Desa Rahtawu tetap saja dingin seperti biasa.
Malam itu, di atas ranjang kayu beralas tikar, Kakek berbaring sambil memeluk foto sang cucu. Ah, dia membayangkan pasti kelak sang cucu bakal bahagia dan tidak mengalami hidup susah. Kini, kuliah, mengejar cita-cita. Pasti kelak cucu perempuan itu bisa membanggakan keluarga. Jadi sarjana, jadi pegawai, dan dengan gajinya mampu melunasi utang sang kakek pada Juragan Kusno. Dia menyemburatkan senyum, lalu memejamkan mata. Melepaskan lelah setelah seharian bekerja.
Tengah malam, tiba-tiba ada tamu datang. Sang tamu berjubah putih bersih dengan sekujur tubuh bercahaya itu entah bagaimana dan dari mana, sudah masuk begitu saja, lalu duduk di kursi ruang tengah.
Kakek menoleh. Tamu berjubah putih bersih itu memandang dia.
“Mbah, sudah siap?”
“Siap?”
“Ya, sampean sudah siap meninggalkan rumah ini?”
“Siapa sampean? Saya tak mau pergi. Saya mau tidur. Jangan ganggu saya. Saya mau mimpi indah! Sampean pernah diajari sopan santun? Malam-malam begini bertamu ke rumah orang!”
“Mbah, saya utusan. Mau tak mau Mbah Midi harus ikut saya malam ini. Berkemas, Mbah. Akan sedikit sakit, karena dosa sampean.”
“Aaarrhhgghh!” Suara parau suara lelaki tua itu terdengar, lalu sejenak kemudian embusan napasnya terhenti. Sejak detik itu semua menjadi berbeda. Kakek itu telah meninggalkan rumahnya.
***
Subuh buta terdengar lantunan tahlil. Saat itulah seorang gadis ayu yang datang dari kota tersungkur. Di bawah tiang kayu teras rumah reot itu, dia duduk tertunduk. Satu-satunya orang miliknya telah pergi. Selama-lamanya.
Satu-satunya orang yang sebenarnya dia sayangi. Kini, dia hanya bisa menyiyiri keangkuhan diri sendiri. Dia merasa hidupnya bakal makin susah.
Siang hari, seorang demi seorang menyalami dia. Tak ketinggalan Juragan Kusno. Sang juragan membawa buah tangan tanda duka cita. Ketika hendak pulang, lelaki itu berbisik ke telinga sang gadis sambil tersenyum. “Kakekmu masih punya utang padaku. Lunasilah atau menikah denganku!”
Dia tak mampu membalas senyum sang juragan. Mukanya terasa panas. Dadanya berdegup kencang, tak beraturan.
Itulah ancaman paling menjijikkan yang seumur-umur baru dia dengarkan. Suara paling menjengkelkan. Air mata meleleh di kedua pipinya. Kini, tak ada siapa pun bisa menenangkan dan menghentikan tangisnya. Tak ada lagi masa depan! Ya, masa depan hanya bisa dia bayangkan sebagai masa penuh trauma dalam kehidupan.
“Kenapa Kakek harus pergi? Aku ingin menyusulmu, Kek. Aku akan berhenti membohongi Kakek. Aku akan bersikap jujur, kuliah sungguhsungguh, asal Kakek pulang.”
***
Akulah cucu kakek itu, Ndhuk. Akulah ibumu, Kusno bapakmu. Sarmidi, buruh kebun kopi itulah buyutmu. Lelaki paling kusayangi seumur hidupku. Andai dia pulang, akan kupeluk lebih erat. Ya, aku ingin memeluk dia lebih erat.
Ingat, Ndhuk, berhati-hatilah menatap masa depan. Masa depan bisa saja menjadi trauma dalam kehidupan. (44)

Patemon, 4 Desember 2017
-Resza Mustafa, kelahiran Pati, mahasiswa Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang.

Pohon di Belakang Rumah

Oleh Revin Mangaloska (Suara Merdeka, 24 Desember 2017)
Pohon di Belakang Rumah ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Pohon di Belakang Rumah ilustrasi Suara Merdeka
Yosua adalah anak laki-laki berusia empat tahun. Di usia yang masih belia ini, ia selalu ingin tahu segala sesuatu. Termasuk pohon yang ada di belakang rumahnya. Sudah hampir seminggu ini, ia sering melihat pohon dari jendela di belakang rumahnya.
Ketika sang ayah keluar dari kamar, Yosua pun langsung menanyakan tentang pohon itu.
“Yah, yang ada di belakang rumah kita itu pohon apa namanya?”
“Oh, itu namanya pohon singkong, Nak,” jawab Ayah.
“Mengapa Ayah menanam pohon singkong di belakang rumah kita?”
“Karena pohon singkong itu banyak manfaatnya.”
Sang Ayah pun lalu mengajak Yoshua ke belakang rumah. Ayah ingin mengajarkan tentang manfaat pohon singkong kepada anaknya.
Sesampainya mereka di belakang rumah, Yosua langsung mengamati pohon itu, mulai dari memegang daun hingga batang pohonnya. Ayah merasa senang karena melihat Yosua sangat antusias tentang tumbuhan.
“Nak, daun yang kamu pegang itu bisa dimasak, lho,” tutur Ayah.
Yosua menengok ke Ayah, lalu kembali mengamati daun singkong itu yang dilihatnya mirip dengan telapak tangan manusia.
“Sini Yosua, bantu Ayah.”
“Bantu apa, Yah?” Yosua pun dengan cepat menghampiri Ayah.
“Bantu Ayah mencabut pohon ini.”
Ia pun membantu Ayah mencabut pohon singkong dengan tangan kecilnya. Setelah pohon tercabut, ia terkejut melihat akar pohon singkong itu.
“Yah, kok akarnya besar-besar sekali?”
Ayah tersenyum sebentar, lalu menjelaskan, “Ini namanya umbi singkong, Nak. Umbi singkong ini juga dapat diolah menjadi makanan.”
“Makanan apa, Yah?”
“Banyak, Nak. Seperti keripik singkong, singkong balado, tape, kolak, dan bahkan direbus saja sudah bisa dimakan. Pokoknya masih banyak makanan yang bisa dibuat dari umbi singkong.”
“Wah! Banyak sekali ya makanan yang bisa dibuat dari singkong,” seru Yosua.
“Iya, betul. Selain itu, umbi singkong ini juga mengandung karbohidrat dan protein yang dapat memberikan energi serta meningkatkan kesehatan tubuh kita.”
Setelah menjelaskan tentang umbi singkong, Ayah lalu mengambil keranjang dan pisau dari dalam rumah, kemudian kembali menghampiri Yosua.
Ayah lalu memotong daun dan umbi singkong dari pohon yang sudah dicabut serta meminta Yosua untuk memasukannya ke dalam keranjang. Ayah mengatakan hari ini akan membuatkan masakan dari singkong untuk Yosua.
Namun sebelum Ayah membuat masakan, ia kemudian memotong beberapa bagian batang pohon singkong. Yosua melihat Ayah dengan penuh heran.
“Batang pohon singkong itu bisa dimakan juga?” tanya Yosua.
“Batang singkong ini bukan untuk kita masak, tapi untuk kita tanam kembali. Menanam singkong itu tidak terlalu sulit.”
Setelah memotong batang pohon singkong, Ayah pun memberikan beberapa potong batang pohon itu kepada Yosua.
“Bagaimana cara menanam pohon singkong ini, Yah?”
“Tinggal buat lubang 5-10 cm, lalu tancapkan batang pohong singkong itu,” kata Ayah.
“Tapi ingat, mata tunasnya jangan sampai terbalik saat menanamnya.”
Kemudian Yosua menanami kembali pohon yang sudah dicabut bersama Ayah. Ia merasa senang karena telah diajarkan tentang cara menanam dan manfaat pohon singkong. Apalagi setelah menanam, ia pun akan dibuatkan masakan dari singkong oleh Ayah. (58)

Aceh: No Title, Himbauan

Puisi-puisi Mahwi Air Tawar (Jawa Pos, 24 Desember 2017)
No Title Aceh ilustrasi Google.jpg
No Title: Aceh ilustrasi Google

Aceh: No Title

Dengan selempang hangat Sabang
kuselipkan rencong berulu petang
pada rambatan akar pohon nyeri
di linangan Aceh bahtera negeri:
Kulihat bintang dari ladang kerontang
angin desaukan serbuk mesiu, juga gema zikir
orang-orang menggelar sajadah belukar
merentangkan bayang diri di bawah bulan
yang piatu, yang dihunjam pisau rindu
yang terpikat pesona merah belenggu
di ladang tumpuan, di nyeri negeri.
Suar Aceh saman senyuman,
salam rencong hangat pelukan
Selamat datang Tuan Puan
silakan sulam baju badan
Dengan perahu bahasa kulayari cerlang matamu
Isyarat layar tak pernah lekang, kian terkembang
Dalam kitaran pasang perang
berkecai masai sudah ke tubir kesunyian.
Maka, di bawah bintang, di langit impian
kurajut selendang daun pala
kulayangkan pandang sulaman selongsong
dari ladang harapan hijau yang silam
biarpun peluru tembusi kelam
‘kan terus kuburu bayang cintamu
hingga dapat dibelai
dan kudekap samudera hatimu.
Kububungkan ini serbuk
agar bulir kopi tak sehitam nasib
dirimbun buruan saudara serabu
kuseduh hitam pandangan di tungku
kukunyah riap harap dari sela kayu
hingga nanar mata-mata nanar tinggal kerlip
di lembar daun pensedap lapar, juga dahaga.
Kumasuki lubang keheningan
meski di sini, kesunyian lebih nyaring
dari gema ledakan senjata dan desir zikir
menyusup ke bilik cintaku, ke pintu kerinduan
dekapan hangat tanah kelahiran:
Mari Tuan Puan ke mari, nikmati kopi dan tari
Tepuk dada dukana, belai hati merana
Di atas meja dan taplak dari peta tak berskala
buah pala, lada, dan aroma kopi
kujumpai Aceh bertukar sajian
dalam lumatan bibirmu, Kekasih
dalam dekapan lautan Cintamu, aduhai
: alangkah lezat dan pedas menu doa tersaji.
Tapi pada pagi yang ranum
ketika impian mekar terkulum
suaramukah mengaum dari tubir serambi?
lantak dan rancak menepuk punggung
adakah Aceh madahkan marwah agung
sampai tak kudengar lagi kepak sayap ayam tangkap
juga riwayatmu dari Saman se Iman se lingkaran?
Saman semadi Gayo puisi
Puisi Saman pekati saksi
Kesaksian iman kepada Ilahi
Hendaklah lebur dalam hati.

Dalam kerlip gelap rinduku
lepas pandangku berarak awan
dari titian puisi dendangkan
Saman tarian, Saman dekapan
Ketika wajahmu senyap membayang
kuselipkan rencong di punggung
kupanjati pala dada hingga pelepah
di sela ranting kusesap nira rempah
dan bibirmu yang semerah darah.
Dan, jauh di kelam sejarah,
ada rantai sepanjang pandang
di pergelangan kaki tonggak Sabang
daun terlarang pembatas halaman
di kitab herbal mujarab belaian.
Tapi telanjur.
Hitam cerita telah dilaburkan
di punggung pagi kesenduan
warna-warni kenangan membayang
dalam dekapan pagi tsunami.
Aku menari ikuti ayunan pohon rempah
di Serambi, di Serambi selembar daun mengigil
mencari akar jauh ke batas keheningan meditasi:
dalam mabuk
tegak Aceh
dalam meditasi
Suar Aceh
selembar surat peringatan berlepasan
dari pohon azimat rempah
Aceh kejayaan.

Himbauan


Pengumuman ini saya rangkum
dari gumpalan awan, merah belukar
dan retakan pintu sebelum tangan petang
menggaris arah jalan ke kelokan
jendela pembingkai langit pagi:

Kepada semua pasukan berompi pagi
Diharap segera memasukkan lembaran minimal
ke dalam map berwarna kuning keemasan
dan menyimpannya di sulur fajar
sampai hangat pelukan terangkum senyum
dalam berita acara, juga kelopak bunga
di beranda selapang dada.

Masih adakah belaian di retakan dada tertinggal?
segera panjati menara menusuk gelap
dengan derap cahaya dukana
yatim masa depan, dan janda yang diabaikan.

Kita saudara sekalbu serabu
Dalam puisi rindu bertalu
Kita sedarah senafas seseru
Dalam dekapan rebah pilu

Peperangan sudah lama dimulai
Kepada semua pasukan berompi air mata ibu
harap segera bergegas mengoyak moyak
kabut dalam diri, dan tak kunjung berpaling
kesenduan dan kebahagiaan bertaut
ditapal batas usia.

Apabjla ada-hal yang menyebabkan
hati menderai masai ke kabut pandangan
Kepada pasukan segera
menarik diri ke dalam jantung kesunyian.

Di titik nol Indonesia,
hitam mimpi disangrai sudah
kopi, pala dan lada tersaji hangat
bersama tarian saman
jamuan terdedah di cakrawala.

Alangkah sedap aroma, ampas silsilah
gayo masai berkecai, rencong menusuk awan
aksara gamang membayang panjang .
Anak negeri tegak menantang.

Pendatang ayunkan kumis serupa tangkai
rebah di rempah bagi beku darah,
lidah sengsara mencecap rasa menghisap cinta
dalam rindu batin merana.

Perintah pun datang menebang
dari angka dolar negeri seberang
babatlah silsilah di tanah wasilah,
rantailah kaki di punggung senja
penjajah berselempang marwah
di bawah cahaya bulan impian.

Manis di hati, pait di lidah;
adakah Serambi melulu jadi tempat
mula kata mencair dari kelopak mata
dan, menara syahadat
tegak lurus dalam bujur lara?

Dalam nampan, doa tersaji
Tak  musti terseduh dan dihidangkan
biar kelak tahu, segala yang hitam
tak menutupi gelap pandangan
tamu pencari tanahmu keramat
kan dikalungi akar pekat.

Kelam cerita kuseduh sudah
Manis kopimu kusesap cuma
Kalam Fansuri syair kudedah
Menafsir hidup di kopi hanya

Pengumuman ini saya sampai-
kan lewat kawat kerinduan
agar terhubung damai dan cinta:
putih kisah dimaniskan sudah, da-
lam cangkir doa meriak
terdengar gema jauh dari batas silsilah
di atas tanah Aceh membayang sembahyang
degup pasukan suguhkan ceri-
ta, di pintu usia jelang senja.

Dan ketika bintang dan bulan membawa Bayangan Ibu
ke cakrawala, tembusi lapis gelap hari-hari tak pasti
Kepada pasukan harap mencan-
tumkan nama dan alamat
sebelum sepotong bibir ombak mengulum duka abadi
dan kebahagiaan datang tanpa dijelang
mensesap hikmat nafas baru kehidupan

Kemala puisi Bayangan Ibu
Kemilau cinta denyutan kalbu
Kerlip dan desau nafasmu ibu
Ke palung puisi surga diseru

Di surga takkan dijumpa kopi, juga puisi
hanya derap kaki bernanah dalam karat rantai
berjalan beriring hantar rempah keharibaan penjajah
juga Gayo, jauh beserpih ke batas angan
seusai disangrai dengan kayu dari tulang, juga jantung
belaian jari sunyi Sabang.

Mengingat dan menimbang:
Pengumuman dan himbauan ini penting adanya
saya harap semua pasukan segera me-
lukis titik sepi cakrawala
di kanvas kehidupan dunia hampa.

Rentangkan sajadah pikiran di Serambi Mekah
sebelum bayangan hilang di angan
dan segenap duka lara halang pandangan hanya.


Jakarta, Agustus 2017

Catatan:
Bayangan Ibu adalah buku kumpulan puisi D. Kemalawati, lapena, 1916.

MAHWl AIR TAWAR, lahir di Sumenep, 28 Oktober 1983. Buku kumpulan cerpen dan puisi tunggalnya yang sudah terbit Mata Blater, Karapan Laut, Taneyan, Tanah Air Puisi, Puisi Tanah Air, Mahwi Air Tawar, dan sebuah buku kumpulan puisi seri tokoh, Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa.