Daftar Blog Saya

Senin, 29 Januari 2018

Gagal Landing

Cerpen Achmad Supardi (Jawa Pos, 28 Januari 2018)
Gagal Landing ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Gagal Landing ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
BANYAK orang ingin menyesap kopi di sini. Menikmati harum moka, sebersit kayu manis, sambil melemparkan pandangan pada feri yang berjalan pelan.
Dari meja ini—meja untuk dua orang, namun hanya ada aku sendiri—bisa kulihat jalur pesepeda di tepian Brisbane River. Sebagian mengayuh sepeda mereka berombongan, banyak sekali yang bersepeda berdua-dua. Mereka seperti tak kehilangan topik. Bibir mereka bergerak, mata mereka sesekali saling pandang, senyum dilempar sambil kaki terus mengayuh pedal.
Di seberang sungai, pasangan-pasangan menyenderkan tubuh mereka pada pagar pembatas sungai. Mereka seperti tak pernah kehabisan cerita. Di belakang mereka, keluarga-keluarga datang dengan anak-anak mereka. Sebagian antre menaiki bianglala. Mereka menyebutnya The Wheel of Brisbane. Pengunjung yang lain duduk-duduk saja sambil menikmati camilan yang mereka bawa. Wajah mereka cerah. Tak ingin kubandingkan wajah mereka dengan wajahku. Aku tak berani melihat bayangan wajahku di sungai itu.
Di sini, di tepian Brisbane River, ingatanku melesat ke sungai lain, hanya sedikit di selatan khatulistiwa. Sungai Martapura dengan air kecokelatan yang di dua titiknya ada pasar terapung. Sesekali kubeli kudapan di situ. Biasanya wadai cincin, kadang wadai apam kukus. Kumakan sendiri, seperti saat ini aku menyesap kopi.
***
MEREKA menyebutnya Kangaroo Point. Mungkin, dulu, banyak kanguru di tebing ini. Tentu tak kutemui lagi binatang berkaki belakang sangat panjang itu. Di depanku, tersaji Brisbane dalam siraman cahaya.
Sepertinya, inilah yang membawa orang-orang itu ke sini. Memandang kota bertabur cahaya. Betapa klise. Namun kudapati diriku di antara orang-orang itu. Kupandangi gedung-gedung penuh nyala lampu. Mataku terpaku. Adakah yang kucari di situ?
Semakin banyak orang berdatangan. Para sejoli duduk di beragam titik. Sebagian tampak selalu berbagi cerita, yang lain sama-sama diam memandang cahaya. Sesekali mereka berpandangan, tersenyum, lalu kembali meresapi cahaya di kejauhan sana. Aku tersenyum sendiri menyadari kesendirianku.
Tiba-tiba sungai di depanku berpendar. Gelombang longitudinal muncul dengan segaris ombak. Ah, citycat lewat. Feri sungai itu tampak romantis dari ketinggian ini. Ia seperti cahaya yang bergerak menembus gelapnya malam. Apakah yang dilakukan orang-orang dalam feri itu? Apakah mereka baru pulang kerja dan begitu merindukan merebahkan diri di sofa? Apakah mereka bergegas pulang menjumpai senyum istri dan anak-anaknya? Adakah di antara mereka yang ternyata diam-diam memandangi kami di atas tebing ini, sebagaimana kami memandangi mereka? Atau, adakah di antara mereka yang sekadar menghabiskan waktu saja dalam feri itu karena baru saja putus dengan kekasihnya?
Malam, dan cahaya lampu di kejauhan, mengingatkanku pada Bukit Bintang. Di antara keraton, alun-alun, Malioboro, beragam museum dan angkringan, entah mengapa aku lebih sering ke sini. Pada kursi beton panjang, ku duduk memandangi lampu-lampu kota. Adakah yang sebenarnya kucari di situ? Atau sesuatu yang kutinggalkan?
Sesekali mataku menangkap pesawat yang bersiap landing di Bandara Adi Sucipto. Ada sejuk yang tiba-tiba mengaliri nadi tiap kali melihatnya. Ada senyap yang magis. Ada kosong yang tiba-tiba terasa. Pedagang jagung bakar yang untuk kesekian kali mendapatiku tepekur sendiri di Bukit Bintang ini menyapaku dengan ekor matanya yang menusuk. Senyum usilnya seperti bertanya: masih sendiri juga?
Di bawah sana, di kejauhan, sebuah pesawat yang berusaha landing tiba-tiba mengudara kembali. Mungkin gust wind. Mungkin ada pesawat lain yang tiba-tiba nyelonong megambil alih runway yang disediakan untuknya. Apa pun penyebabnya, yang jelas landing pesawat itu tertunda. Aku seperti melihat diriku pada pesawat itu.
***
SHORNCLIFFE Pier menjadi pilihanku Sabtu pagi ini. Sebenarnya tak ada yang indah di sini. Pantainya sempit. Hanya ada satu pier menjorok agak memanjang ke arah laut. Tapi justru itu kelebihannya buatku. Di pier itu, beberapa orang duduk dengan khusyuk. Di samping kiri dan kanan mereka terdapat joran pancing, tempat umpan, dan cool box. Optimis sekali mereka, seolah penantian mereka pastilah akan berujung dengan beberapa ekor ikan. Andai mereka tahu kisahku, mungkin mereka takkan seoptimis itu.
Di pier ini bukan tak ada manusia. Cukup banyak, malah. Namun mereka terkonsentrasi pada aktivitas masing-masing. Tak ada yang peduli pada kehadiranku. Mungkin malah mereka tak menyadari ada aku di antara mereka. Inilah yang membuatku menyukai tempat ini. Ramai, namun aku tak terusik. Aku tetap bisa bersendiri. Beda sekali dengan kos-kosanku di Bulak Sumur dulu.
Selalu ada teman, penjaga kos, dan tetangga yang mengingatkanku saat aku terlihat mulai dekat dengan dia. Kalimat peringatan mereka semuanya sama: dia punya nama depan Rara. Itu sudah cukup untuk membentangkan palung samudera di antara kami. Mereka, dengan dalih peduli, mengingatkan bahwa aku hanyalah peneliti honorer di pusat kajian sementara dia dosen PNS UGM. Aku pria Banjar sederhana, keluarga besarnya berhulu di Keraton Jogjakarta.
Mungkin itu pula yang terjadi padanya. Setiap hari, orang yang berbeda-beda membanjirinya dengan pertanyaan tentang diriku untuk kemudian mempertanyakan benarkah aku pria paling cocok untuknya?
Masa-masa kami berdiskusi santai tentang tatanan dunia, tentang PBB, Asean, dan Uni Eropa di warung bubur kacang ijo, sukses menyatukan kami. Melakukan survei dan menggelar FGD bersama-sama untuk program penelitian dari grant luar negeri membuat kami makin dekat. Membanding-bandingkan ranking perguruan tinggi luar negeri dan menerka-terka apakah kami akan menjadi mahasiswa PhD di sana merupakan pengisi we time kami.
Kami dekat karena berbagi mimpi yang sama cemerlang. Sayangnya, kami tak bisa menyepakati titik landing bersama. Ibu kos dan teman-teman, dengan bahasa mereka yang berputar-putar, selalu mengingatkan bahwa ia adalah pesawat dreamliner, sementara aku cuma twin otter. Kami tak akan bisa berdekatan karena pesawatku akan terpelanting oleh deru dan energi pesawatnya.
Lama-lama omongan mereka mengusikku. Aku sampaikan kekhawatiran ini padanya. Ia hanya tertawa. Namun ketakutan akan dampak perbedaan kasta di antara kami membuatku menyampaikan hal itu berulang-ulang padanya. Lama-lama pertanyaanku benar-benar mengusiknya. Ia seperti tersadar siapa aku dan siapa dirinya.
***
PANAS sekali pantai Surfer’s Paradise ini. Setiap inci kulitku serasa terbakar. Kubiarkan dada dan perutku terbuka supaya gosongnya merata. Puluhan, mungkin ratusan orang berkumpul di pantai andalan Gold Coast ini. Sebagian bermain gelombang. Mereka sedikit melentingkan tubuh saat ombak datang. Orang-orang yang lihai tampak santai sekali dialun ombak dan tetap berdiri di tempat mereka semula begitu ombak itu berlalu dan pecah di pasir. Mereka yang kurang lihai, seperti aku tadi, berkali-kali diseret ombak hingga ke pinggir.
Di atas pasir pantai yang panas, banyak orang berjemur. Sebagian membaca, banyak pula yang memejamkan matanya, menikmati angin kering dan aroma garam. Aku, seperti yang lalu-lalu, memandang jauh hingga ke balik cakrawala. Di sana, di ujung timur Samudera Pasifi k ini kau berada.
“Tak maukah kau menungguku?” tanyamu saat itu.
“Mengapa mesti menunggu kalau kita bisa menyatu dalam waktu dekat ini? Kita menjadi suami dan istri sebelum kau memulai studi?” jawabku.
Pembicaraan kita pun berakhir, seperti berkali-kali sebelumnya saat kita menyentuh topik itu.
Kampus sudah sepi. Kau, yang tadinya menawarkan diri menemaniku menyelesaikan laporan akhir tahun permisi pulang lebih awal. Tak enak badan, katamu. Kau menolak kuantar. Jalanmu cepat dan sigap, seperti tak ada yang salah dengan kesehatanmu malam itu. Tapi aku bersyukur kau pulang dan menolak kuantar. Menggarap laporan akhir tahun European Union Studies Center sambil melihatmu, setelah pembicaraan yang seperti itu, pasti akanmembuat konsentrasiku makin buyar.
Apa yang sebenarnya kau takutkan?
“Kita sama-sama kuliah. Kalau Mas akhirnya diterima kampus dan dapat beasiswa itu. Kita akan disibukkan oleh kelas dan penelitian untuk disertasi masing-masing. Kita bersama, tapi kita sibuk sendiri-sendiri. Apakah itu hal yang sehat untuk memulai sebuah pernikahan?” jawabmu pada pertanyaanku, saat itu.
“Kita sama-sama kuliah dan kita akan saling menguatkan. Bukankah itu akan indah?”
“Dan tanpa kita benar-benar menyadarinya, kita akan punya anak. Tangisan bayi. Pesing kencing. Cucian yang menggunung. Uang kita pun akan banyak tersedot untuk kebutuhan bayi selain konsentrasi yang pasti akan sangat terbagi. Apakah Mas siap? Aku meragukan kesiapanku.”
“Kau meragukan kesiapanmu? Bukankah itu caramu menyampaikan keraguanmu akan kesiapanku?”
“Kok dirimu jadi menuduh Mas?”
Wajahnya seperti siswa yang terpergok menyontek.
Selain itu, katamu, semua kampus di belahan selatan California di mana kampusmu berada menerapkan standar tinggi. Kau takut aku tak mampu menembusnya. “Aku diterima di sana ini sebuah keajaiban. Aku tidak merasa layak. Sepertinya aku hanya beruntung saja,” katamu.
Maksudmu merendah, namun kumencium kesombongan di situ. Kau lupa, kita sama-sama master ilmu politik. Kita tahu ke mana kalimat mengarah. Kau tak tahu aku sudah mendapatkan letter of acceptance dari beberapa kampus di beberapa negara, termasuk kampusmu.
Malam itu, meski laporan European Union Studies Center belum sepenuhnya selesai, kupinjam motor Radit. Kupacu ia menuju Bukit Bintang. Dari jalan raya yang menghubungkan Jogjakarta dan Wonosari itu, kembali kulihat beberapa pesawat gagal landing. Mereka menukik menuju darat, namun terbang lagi. Kuanggap itu isyarat. ***

Achmad Supardi, mahasiswa program doktoral di The University of Queensland, Brisbane, Australia. Banyak menulis cerpen.

Penjual Mata

Cerpen Ken Hanggara (Kedaulatan Rakyat, 28 Januari 2018)
Penjual Mata ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Penjual Mata ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Sudah berhari-hari aku berkeliling untuk menjual bola mataku, tapi tidak ada yang sudi membeli. Katanya, bola mataku terlalu suci untuk orang-orang seperti mereka yang selama ini kerap mempergunakan anugerah penglihatan untuk mengeruk banyak dosa.
Aku tidak tahu kenapa orang-orang ini begitu sadar dan tidak malu mengakui dosa yang mereka perbuat. Meski sebenarnya mereka butuh mata cadangan, sebab aku hanya menjual mataku untuk orang-orang yang kehilangan satu atau dua bola mata gara-gara karma atau (menurut dugaanku) kecelakaan, mereka tetap merasa bola mataku terlalu suci.
Sebenarnya, penjual bola mata di negeri ini bukan hanya aku. Hampir setiap hari ada saja orang yang bola matanya tiba-tiba copot begitu saja, dan jika insiden semacam itu terjadi, siapa pun yang bersangkutan kemungkinan berpikir soal karma. Aku tidak tahu apa mereka benar-benar yakin bahwa karma memang bekerja, tapi dari pengakuan orang terakhir yang kudatangi dalam beberapa hari ini, memang itulah yang bakal dia dan orang-orang sejenisnya pikirkan.
“Kenapa begitu?”
“Karena kami mengerti semua yang kami lihat selama ini adalah sumber dosa. Yah, memang tidak semua pendosa tidak tahu apa yang mereka kerjakan.”
Aku tidak paham, tapi kusampaikan bahwa aku butuh uang dan itulah kenapa orang ini harus membeli bola mataku. Lalu dia bertanya, kenapa mataku sendiri yang kujual? Di luar sana, para penjual bola mata tidaklah benar-benar menjual mata mereka sendiri, melainkan bola mata keluarga yang sudah meninggal atau terkadang bola mata curian.
“Itu dua bola mata sendiri yang Anda jual? Bagaimana Anda bisa melihat?”
“Saya tidak ingin melihat apa pun lagi. Saya cuma ingin ibu saya sembuh dari sakit yang dideritanya.”
Hanya saja, meski mengungkap alasanku secara jujur, orang itu tetap tidak tergerak membeli bola mataku. Pada akhirnya bola mataku laku pada seseorang yang sama sekali tidak kuduga. Bola mataku dibeli pembasmi koruptor, yang percaya bahwa tidak lama lagi negeri kami ini dilanda fenomena berupa copotnya bola mata seluruh pejabat tinggi negara, karena tiap hari mereka mengeruk dosa-dosa lewat mata. Setiap jam dan menit dosa-dosa tidak berhenti dikeruk. Itulah kenapa dia ingin bola mata sebanyak mungkin. Dia bertekad membeli seluruh bola mata yang dijual dan menimbun semuanya di tempat rahasia.
Tiba-tiba aku merasa bodoh karena tidak terpikir menjual bola mataku ke koruptor, dan malah mendatangi tempat-tempat peribadatan. Tetapi itu tidak penting lagi, sebab aku sudah membawa uang untuk ibuku berobat. Uang yang sangat banyak dan melebihi yang kuharapkan. q – g

Gempol, 21 Januari 2018
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Matinya Seorang Kuli Panggul

Cerpen Kak Ian (Radar Surabaya, 28 Januari 2018)
Matinya Seorang Kuli Panggul ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Matinya Seorang Kuli Panggul ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Badrun mulai bergegas ketika pagi masih gelap, dan bau embun masih sangat menyengat segar saat tercium dari balik pucuk-pucuk dedaunan. Begitu pun dengan kabut yang masih terlihat menggumpal dan tebal, serta ditambah rasa dinginnya angin pagi menyelimuti kulit membuat ia tetap bertahan. Ia tidak memedulikan rasa sedikit apa pun pagi itu. Baginya, ia harus lekas tiba di tempatnya bekerja.
Lelaki berperawakan gempal, berisi, dan tinggi serta berotot itu ingin lebih awal sampai di tempat ia menawarkan jasa tenaganya untuk para pelanggannya. Di Pasar Pagi lah, tempat di mana ia menjajakan jasa tenaganya sebagai tukang kuli panggul.
“Abang, nggak sarapan dulu. Siti sudah masakin nasi goreng kesukaan Abang tuh dengan daun mengkudu. Ayolah, Bang, makan saja sedikit buat mengganjal perut,” Siti mengingatkan Badrun, suaminya yang saat itu ingin bergegas berangkat menuju ke Pasar Pagi yang tidak jauh dari rumahnya.
“Nanti sajalah! Atau, kasih saja ke Umar. Dia kan mau berangkat sekolah juga. Kasih saja sarapan abang untuknya,” jawab Badrun sambil terburu-buru. “Abang berangkat dulu ya, Ti! Doain abang biar dapat rezeki kali ini biar tidak beli nasi aking lagi,” lanjut Badrun tidak sehari-harinya ia berkata demikian.
Siti yang mendengarkan ucapan Badrun saat itu tidak menaruh firasat apa-apa. Memang begitulah yang dilakukan suaminya itu tiap pagi. Sebelum melangkah jauh meninggalkan dirinya beserta dua anak laki-lakinya yang masih bau kencur itu, Badrun selalu begitu. Lagi-lagi Siti tidak menaruh firasat apa-apa. Siti sudah terbiasa. Usai meminta pamit dan doa pada istrinya, Badrun baru melangkah ke Pasar Pagi.
Badrun akhir-akhir ini selalu berangkat pagi-pagi sekali. Entah, apa karena ia tidak ingin pelanggannya direbut oleh orang lain lagi. Atau, pendapatannya kurang? Tapi, itulah kenyataannya. Maklum sekarang banyak sekali wajah-wajah baru di Pasar Pagi itu—dalam memikat para pelanggan untuk menggunakan jasa tenaga mereka.
Jadi Badrun tidak ingin para pelanggannya itu direbut mereka kembali. Apalagi sudah beberapa hari ini para pelanggannya tidak menggunakan jasanya.
Setiba di Pasar Pagi Badrun sudah berdiri di muka jalan, di mana orang-orang hilir-mudik membawa karung—yang di dalamnya berisi berupa sayur-mayur, pakaian jadi maupun peralatan permainan anak-anak dan sebagainya. Sepagi itu ia sudah ada di sana sebelum azan subuh usai berkumandang.
Ternyata pikirannya salah. Badrun bukan orang pertama yang tiba di sana. Ada Pak Kodir, lelaki paruh baya yang masih kuat tenaganya mengangkat beban apapun. Badrun pun langsung berbaur dengannya beserta lainnya pula.
Kuli panggul itu ‘profesi’ yang Badrun ‘geluti’ selama 10 tahun lamanya. Ia menjadi kuli panggul karena kebutuhan yang mendesak dirinya saat itu. Apalagi sejak ia dirumahkan oleh pabrik yang memproduksi suku cadang motor, di mana dirinya bekerja sebagai seorang pengawas. Ia melakukan itu tidak ada pilihan lagi selain menjadi kuli panggul di Pasar Pagi. Lagi pula saat ia dirumahkan bertepatan Siti saat itu sedang hamil anak pertama. Tentu menjadi kuli panggul jalan satu-satunya Badrun untuk memenuhi kehidupan keluarganya itu.
Sebenarnya menjadi kuli panggul bukanlah cita-cita Badrun. Itu terihat seusai dirumahkan, ia langsung melamarkan diri kembali ke pabrik-pabrik lainnya. Sayangnya, mereka menutup diri Badrun. Alias, tidak ada lowongan pekerjaan untuknya. Akhirnya takdir pun ‘melemparkan’ ia ke Pasar Pagi.
Saat itu zaman lagi paceklik. Krisis moneter telah mempengaruhi segala produktivitas dan pendapatan para pabrik saat itu. Bukan hanya itu saja. Ada pula yang gulung tikar akibat dampak krisis itu. Salah satunya pabrik tempat Badrun bekerja tutup produksi. Gulung tikar. Dan menjadi kuli panggul mau tidaknya ia harus menerima itu. Masih untung di Pasar Pagi itu ia memiliki kenalan orang dalam, sehingga dapat bekerja di sana tanpa embel-embel. Lagi-lagi hanya sebagai seorang kuli panggul, Badrun bekerja.
“Tumben pagi-pagi sekali kamu sudah sampai, Drun?” tanya Pak Kodir.
“Iya, Beh! Habis beberapa hari ini saya nggak bawa pulang duit untuk anak dan istri saya. Kasihan mereka tiap hari hanya makan nasi aking saja,” jawab Badrun parau.
Pak Kodir—yang dipanggil Babeh pun paham apa dirasakan Badrun pagi itu. Memang semenjak krisis moneter banyak berdatangan wajah-wajah baru di Pasar Pagi itu, hingga membuat pendapatan hasil jasa kuli panggul sangat berkurang. Begitu pun yang dirasakan Badrun dan Pak Kodir pula.
“Sabar saja, ya, Drun! Rezeki nggak ke mana,” seru Pak Kodir memberi petuah sekaligus menghibur Badrun.
“Iya, Beh! Terima kasih.”
Belum lama Badrun berada di pasar itu mendadak ada seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya. Orang yang melambaikan tangan itu ternyata seorang ibu muda. Ia memanggil-manggil Badrun dari jarak tidak begitu jauh. Ibu muda itu ingin menggunakan jasa tenaga Badrun. Tapi, ia tidak memerhatikannya ini malah sebaliknya Pak Kodir yang memberitahukannya.
“Ada yang memanggil kamu tuh, Drun,” Pak Kodir memberitahukan pada Badrun.
Ah, bukan kali, Beh! Mungkin itu pelanggan Babeh kali. Lagi pula Badrun kan baru sampai,” jawab Badrun lantang.
“Nggak itu pelanggan kamu, Drun. Babeh tahu kalau pelanggan Babeh sendiri. Ayolah ambil saja, angkat barang-barangnya itu. Kasihan Babeh lihat sudah setengah jam berdiri di sana sepertinya. Anggap saja ini penglaris kamu,” Pak Kodir kembali berujar sambil tersenyum dengan mengulumkan gigi gerahamnya yang sudah tanggal sebagian itu. “Rezeki jangan ditolak!”
“Ya, sudah saya ambil ya, Beh?” Badrun pun berpamitan.
“Iya, silakan! Hati-hati ya Drun angkat barang-barangnya.”
“Iya, Beh.”
Badrun akhirnya menghampiri ibu muda tersebut yang sejak tadi memanggilnya. Ia langsung bergegas mengangkat barang-barang yang dimiliki pengguna jasanya itu. Padahal sepagian itu ia belum menyentuh makanan apapun.
Usai itu Badrun kembali ke tempat semula. Di sana Badrun mengeluhkan rasa sakit yang mendadak dirasakan olehnya. Dan itu membuat perhatian Pak Kodir.
“Kamu kenapa, Drun?” tanya Pak Kodir.
“Ah, hanya sakit biasa. Nanti juga baikan, Beh,” jawab Badrun menghibur dirinya. Padahal rasa sakit yang dialami menyiksa dirinya saat itu.
“Maaf, Beh, Badrun kerja lagi ya. Itu ada pelanggan Badrun manggil-manggil lagi,” lanjut Badrun. Walaupun saat itu sakit masih ia rasakan.
“Ya, hati-hati, Drun!” tukas Pak Kodir masih menaruh curiga dengan rasa sakit yang dialami Badrun. Tampak terlihat jalan Badrun tidak seimbang.
Ah, mungkin perasaan ini saja yang terlalu mengkhawatirkan Badrun. Pikir Pak Kodir.
***
Tidak menunggu lama, satu, dua, tiga bahkan hampir lima pelanggan pengguna jasa tenaganya sudah Badrun dapatkan. Lumayanlah setengah pagi itu ia sudah mengatongi upah dari para pengguna jasa tenaganya. Dilihatnya saku bajunya sudah lumayan mengembung. Sudah mulai terisi.
Saat itu matahari sudah menampakkan diri dari ufuk timur, tapi mendadak Badrun sudah mulai merasa tidak beres pada dirinya. Kepalanya terasa berat. Pusing. Begitupun keringat dingin sudah mulai mengucur dan membasahi pelipis serta seluruh tubuhnya. Apapun yang dilihatnya saat itu sudah tidak lagi sempurna. Semua kabur. Lalu berubah gelap.
“Drun, kamu kenapa? Tu-tunggu dulu, Drun! Tu-tu…,” belum habis ucapan Pak Kodir usai itu tubuh Badrun terhempas dan jatuh di pelataran Pasar Pagi.
***
Pada masa kecilnya Badrun adalah seorang anak kecil yang suka sekali bermain layangan, kelereng, dan suka mencuri hasil panen ubi di ladang milik orang lain. Tentunya suka sekali berkelahi. Emak selalu bilang lebih baik bantu abah dan emak di ladang atau di sawah, tetapi Badrun kecil tidak pernah menurut.
Emak pernah suatu hari bertanya pada Badrun kecil saat ia sedang menghitung kelereng-kelerengnya hasil ia menang bermain. Emak selalu bertanya.
“Kamu itu mau jadi apa sih, Drun! Sekolah nggak mau. Disuruh mengaji sama Bang Rohman selalu aja banyak alasannya. Apalagi bantu Abah atau Emak nggak pernah mau. Mau jadi apa kamu besar nanti, Drun,” ucap Emak.
“Badrun mau jadi kuli panggul saja, Mak. Itu seperti Bang Tato di Pasar Senja. Lihat itu Emak badan Bang Tato gede dan besar kan? Badrun mau seperti itu, Mak,” jawab polos Badrun kecil saat itu.
“Masya Allah Drun, Badrun! Kenapa kepikiran seperti itu sih. Emak nyekolahin dan suruh mengaji biar kamu bisa jadi orang berguna nantinya. Jadi jangan ngomong begitu nanti malaikat lewat langsung dicatat, kamu baru tahu nantinya, Drun! Istighfar, Drun! Istighfar!” Emak Badrun berapa kali menyadarkan ucapan Badrun kecil saat itu.
Tapi, ucapan Emak dianggap seperti angin lalu saja oleh Badrun kecil. Masuk ke kuping kanan dan dikeluarkan dari kuping kiri. Dihempaskan begitu saja.
***
Benar. Ucapan itu adalah doa. Badrun baru menyadari ucapan emak saat itu. Kenapa saat itu ia tidak mendengarkan kata-kata emak dulu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa menjadi nasi lagi. Hanya ada rasa penyesalan yang kini dirasakan Badrun saat nyawanya hampir sepenggal leher. Sebentar lagi Izroil akan menjemput dirinya.
Namun, sebelum itu Badrun ingat dengan Siti dan kedua anak laki-lakinya yang masih ingusan itu. Ia mencoba bertahan untuk hidup, walaupun sesaat hanya untuk memberitahukan pada Pak Kodir. Mungkin lebih tepat kata-kata terakhir yang akan disampaikannya. Supaya nanti ketika ia mati tenang bisa menyampaikan sesuatu pada Siti, istri dan ibu bagi anak-anaknya itu melalui perantara Pak Kodir.
“Beh, saya nitip Siti dan dua anak saya, ya. Tolong kasih uang ini sama Siti. Bilang sama dia hanya ini yang mampu saya dapat. Bukan hanya itu saja, bilang juga permohonan maaf saya padanya jika saya tidak bisa membahagiakannya…,” usai itu Badrun memejamkan matanya pelan-pelan untuk terakhir kalinya.
“I-iya, Drun! Innalillahi wainnailahi rojiun…,” ucap Pak Kodir terbata-bata sambil mengusap mata Badrun pagi itu.
Seketika itu Pasar Pagi pun geger. Semua ramai-ramai melihat kematian Badrun yang malang itu. Semua teman-teman ‘seprofesi’ pun ikut turut berduka cita. Dengan penuh kesetiakawanan mereka pun memberikan sumbangan kematian Badrun melalui pakaian ‘kebesaran’ kuli panggul yang ditaruh di dekat mayat Badrun. Itu pun atas inisiatif Pak Kodir pula. Sumbangan itu seikhlasnya bagi siapa saja yang mau ikut empati.
“Bagaimana, Beh, kita lapor saja ke kepala pasar biar bisa bantu mencari mobil jenazah untuk mengantar jenazahnya Badrun,” usul salah satu kuli panggul yang mengenal Badrun.
“Tidak usah. Tidak usah! Kita tidak perlu merepotkan orang-orang di Pasar Pagi. Biar kita usaha sendiri saja,” sergah Pak Kodir.
“Kalau hal seperti macam ini tidak ada yang direpotkan, Beh! Tapi wajib untuk membantunya,” timpal kuli panggul lainnya.
Pak Kodir berpikir panjang. Ia sesaat diam sejenak.
“Ya, sudah jika itu yang kalian inginkan. Silakan saja lapor pada kepala pasar ini ada kuli panggul yang mati mendadak,” akhirnya Pak Kodir menyerahkan semua itu pada sesama para kuli panggul.
“Lalu, bagaimana dengan istrinya apa kita kasih tahu langsung saja,” usul yang lain.
“Tidak usah, kita langsung antar saja jenazahnya agar istrinya tidak merasa kehilangan,” lanjut Pak Kodir.
“Iya, sudah kalau begitu, Beh,” kali ini ucapan Pak Kodir diiyakan oleh mereka.
Usai itu mereka sibuk mencari mobil jenazah. Pak Kodir masih menunggu jenazah Badrun di hadapannya.
Sedangkan Siti di rumah lagi mengeringkan nasi aking yang dibelinya tadi dari warung terdekat dari rumahnya. Padahal ia ingin sekali makan ayam goreng yang dijual di tepi-tepi jalan raya demi buah cintanya dan Badrun yang sudah tiga minggu tertanam di perut Siti. Siti menaruh harap penuh pada Badrun jika sepulang dari Pasar Pagi nanti, suaminya itu membawa uang agar bisa membeli ayam goreng walau hanya sepotong.
Tapi, Siti tidak tahu jika saat itu Badrun pulang bukan membawa uang, melainkan tubuh kakunya. Jenazah suaminya itu sedang diantar oleh Pak Kodir dan teman-temannya sesama kuli panggul yang masih berada dalam perjalanan menuju rumahnya. (*)

 Penulis adalah penulis fiksi anak dan remaja, aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta

Mayat yang Diarak

Cerpen Mawan Belgia (Bali Post, 28 Januari 2018)
Mayat yang Diarak ilustrasi Citra Sasmita - Bali Post.jpg
Mayat yang Diarak ilustrasi Citra Sasmita/Bali Post
Kasimin menggendong anaknya yang masih balita, bergegas menuju pemakaman. Tempat istrinya disemayamkan. Lolongan anjing meraung di keheningan malam. Sorot matanya menatap tajam pada Kasimin berjalan tergesa-gesa. Seolah mengutuk apa yang akan dilakukan Kasimin terhadap kuburan istrinya. Bagi Kasimin, orang-orang harus tahu bahwa istrinya meninggal karena Tuhan menyayanginya. Tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi adat yang selama ini mereka abaikan.
Kasimin masih ingat betul, detik-detik Marliang didatangi Izrail. Betapa Marliang tersenyum saat Izrail menampakkan rupa padanya. Senyum Marliang seperti itu, lebih lebar daripada senyumnya saat Kasimin pulang, setelah bertahun-tahun mengadu nasib di negeri orang. Dan, senyum Marliang lebih lebar lagi daripada senyumnya saat pertama kalinya Kasimin membisikkan kata cinta padanya.
Jika yang Izrail tangani adalah manusia penuh dosa, maka ia akan datang dengan wajah yang teramat garang. Dan, kalau yang ia cabut nyawanya adalah manusia baik-baik maka tampilan Izrail juga tak kalah baik. Sehingga beda perlakuan Izrail manakala ditugaskan mencabut nyawa Marliang dan mencabut nyawa ayahnya.
Sebab itulah Marliang tersenyum saat Izrail datang menjemputnya. Senyum Marliang tetap bertahan hingga nyawanya terenggut. Tubuhnya boleh kaku tapi bibirnya masih menggoreskan senyum. Belum pernah Kasimin mendapati mayat perempuan secantik istrinya. Dulu ketika ayahnya meninggal dunia, Kasimin sedih. Kedua mata ayahnya terbelalak dan mulutnya menganga. Ironisnya lagi, saat dibimbing mengucapkan kalimat tauhid tak sanggup lagi. Kasimin senang, istrinya mati dalam keadaan khusnul khatimah. Ia yakin betul predikat itu sampai padanya.
Usai bakda subuh waktu itu, Kasimin berjalan tergesa-gesa ke langgar. Air matanya sempat bercucuran. Antara sedih lantaran ditinggal istri tercinta dan senang karena Marliang meninggal dalam keadaan baik. Jamaah salat subuh beberapa menit yang lalu sudah kembali ke rumah masing-masing. Di langgar itu Kasimin mengumumkan sendiri kematian istrinya melalui pengeras suara.
Mayat Marliang yang menggoreskan senyum sudah di pindahkan ke ruang tengah. Hanya di temani oleh anak perempuannya yang masih balita. Yang belum tahu kematian itu apa. Anak malang itu asyik bermain di samping ibunya. Ia mengelus wajah ibunya. Dan mencari-cari payudara ibunya untuk menetek.
Kasimin kembali ke rumahnya setelah dari langgar. Sepanjang jalan suasana masih lengang. Perlahan-lahan kegelapan disingkap terang. Rumah warga yang ia lalui banyak sudah yang terbuka pintunya. Pada bagian dapur terlihat kepulan asap. Aroma makanan tercium. Kasimin yakin betul kematian istrinya yang ia umumkan di langgar, sudah sampai di telinga warga. Anehnya tak satu pun warga sudih bertanya-tanya perihal kematian Marliang. Mereka abai dan cuek melihat Kasimin berjalan tergesa-gesa kembali ke rumah. Air mata kasimin masih berkaca-kaca. Senang dan sedih berkecamuk dalam dirinya.
Mata Kasimin terbelalak begitu sampai di rumah. Didapatinya suatu adegan, anaknya tengah menetek pada jasad ibunya yang sudah terbujur kaku itu. Senyum masih menggores di wajah Marliang. Dari payudaranya memancar deras air susu yang dilahap anak malangnya. Bagaimana mungkin mayat masih bisa memberikan hak-hak pada anaknya? Bagaimana bisa Marliang masih memiliki air susu? Bukankah Izrail telah menjemputnya? Batin Kasimin. Aneh tapi memang nyata. Tangis Kasimin memecah melihat itu. Ia membiarkan anak malangnya menetek sepuasnya. Sebelum ibunya dikubur nanti.
Pagi itu, cuaca bersahabat. Tidak panas juga tidak mendung. Matahari begitu baik memberikan pancaran sinarnya. Kasimin mengaitkan itu dengan kematian baik istrinya. Mayat Marliang wangi semerbak, bak minyak kasturi. Tidak seperti kematian ayahnya. Kasimin masih ingat, ketika ayahnya meninggal dunia. Hujan deras mengguyur. Karena itu dua hari dua malam mayatnya belum di kuburkan. Ia membusuk di ruang tengah. Sedangkan mayat Marliang teramat wangi bak minyak kasturi.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Pelayat belum juga berdatangan. Berkali-kali ia menengok ke arah pintu. Berharap ada orang yang datang melayat. Sementara jasad Marliang semakin wangi. Wanginya memenuhi rumahnya. Dengan perasaan sedih Kasimin melangkah gontai ke teras rumahnya. Mengarahkan pandangannya pada ruas jalan. Tak satu pun ada tetangga yang tergerak hatinya datang melayat.
“Manusia macam apa kalian?” ucap Kasimin lirih. Raut wajahnya teramat kesal. Tangannya ia kepalkan. Mayat Marliang harus segera dikuburkan. Jika tidak, wanginya semakin menjalar menuju rumah tetangga, bahkan bisa tercium oleh satu kampung, pikir Kasimin. Tak menunggu lama lagi, Kasimin segera menuju pemakaman membawa cangkul. Sementara di ruang tengah anaknya masih menetek pada mayat ibunya.
Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya. Seolah-olah hari itu di kampung mereka tidak ada kematian. Sekumpulan warga tertawa riang di teras rumah. Mereka tenggelam dalam celoteh. Suara musik berdentum hebat terdengar walau radius 100 meter. Sementara Kasimin berbanjir keringat menggali kubur. Tak ada satu pun yang berkenan membantunya.
Mulai dari penggalian kubur, pemandian jenazah, mengkafani, hingga mensalati.  Kasimin sendiri yang melakukannya. Sementara anaknya yang malang itu tertidur pulas usai puas menetek pada mayat ibunya. Betapa repotnya Kasimin membawa sendiri mayat istrinya ke pemakaman untuk ia kuburkan. Setiap rumah yang ia lalui ditutup rapat. Seolah mengutuk keluarga Kasimin. Semua memandangnya dengan penuh benci.
Barulah setelah mayat Marliang dikuburkan. Orang-orang membuka mulut. Saling bercerita tentang kematian Marliang adalah kutukan. Atas kesombongan Kasimin selama ini mengabaikan seruan adat.
“Marliang menjadi tumbal dari rumah yang mereka bangun,” teriak salah seorang di tengah jalan. Semua orang harus dengar apa yang ia teriakkan. “Marliang menjadi tumbal dari rumah yang mereka bangun,” berkali-kali ia mengulangi teriakannya itu. Ia berupaya memprovokasi orang-orang untuk mengsangkut-pautkan kematian Marliang dengan rumah mereka.
Ketika Kasimin membangun rumah itu. Ia tidak mendarahinya. Tidak ada tunas kelapa dan simbol-simbol lainnya yang digantung pada ariang posi (Tiang Tengah). Mereka percaya simbol itu sebagai doa keselamatan agar terhindar dari bala bagi yang empunya rumah. Tradisi itu turun temurun dilakukan oleh penduduk kampung sejak zaman leluhur mereka. Kasiminlah orang pertama yang lancang mengabaikannya.
Kasimin memang sengaja mengabaikan tradisi itu. Mengabaikan bukan berarti tidak menyukai. Jika simbol semacam itu dipercaya sebagai doa, maka Kasimin punya cara lain berdoa. Ia tidak pernah menyalahkan. Tidak juga menganggapnya sebagai sesat atau perbuatan syirik. Tapi, apabila simbol-simbol itu dipercaya memiliki kekuatan mistik dan memiliki kekuatan untuk meredam marabahaya. Maka akan lain ceritanya. Kasimin akan berlagak menjadi singa menentang kesyirikan.
“Leluhur kita di alam sana akan mengirim karma padamu. Kau lancang mengabaikan seruan mereka yang turun temurun kita lakukan, Kasimin,” tutur salah seorang warga dengan wajah teramat jengkel menatap Kasimin. Setelah ia melihat rumah Kasimin berdiri tanpa ada tunas kelapa dan simbol lainnya pada ariang posi.
“Kesombongan Kasimin akan mencelakakannya.”
“Tidak lama lagi! Tidak lama lagi! Ia akan ditimpa musibah. Camkan kataku!”
Tidak hanya itu saja. Kasimin kerap kali terlibat cekcok dengan ayahnya. Ia selalu meminta pada ayahnya untuk berhenti jadi sanro (Dukun). Kasimin menilai ayahnya terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai agama dalam segala praktik perdukunannya.
Ayahnya selain sakti dalam meramal nasib juga memiliki jampi-jampi. Jika warga sakit bukannya berobat ke dokter malah lebih mempercayakan padanya. Di samping murah, kesembuhan juga terjamin. Ia tidak pernah mematok berapa kisaran harga. Seikhlas dan semau warga. Kadang ia diberi sembako atau duit. Warga yang telah ia sembuhkan penyakitnya wajib membawa sesajen padanya. Biasanya berupa aneka jenis makanan dan seekor ayam.
“Jampi-jampi yang kututurkan adalah doa. Doa kepada Tuhan. Bahkan doa itu jelas-jelas ada dalam kitab, hanya saja dilafalkan dalam bahasa daerah,” ucap ayahnya ketika Kasimin mencoba mendebatnya.
“Secara tidak langsung mereka telah menuhankan, Bapak. Mereka percaya yang menyembuhkan mereka adalah Bapak, tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Itu praktik kemusryrikan,” tutur Kasimin.
Tidak lama Kasimin menempati rumahnya. Kondisi Marliang semakin hari semakin melemah. Hingga ia jatuh sakit selama beberapa bulan dan berujung kematian. Orang-orang mengaitkan kematian Marliang sebagai karma yang dikirim leluhur mereka lantaran mengabaikan seruan adat. Dan dosa-dosa Kasimin yang selalu menghalangi Ayahnya menjadi sanro.
Karena sudah geram diolok-olok warga. Kasimin meradang, ingin membungkam mulut-mulut mereka. Bahwa Marliang mati karena Tuhan menyayanginya. Tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi mendarahi rumah. Kasimin ingin membuktikan omongannya kalau Marliang mati dalam keadaan tersenyum dan wanginya bak minyak kasturi.
Sehingga malam ini Kasimin ingin menggali kubur istrinya. Lolongan anjing tak henti-hentinya mengiringi langkah Kasimin menuju pemakaman. Seolah anjing-anjing itu tidak membenarkan perbuatan nekat Kasimin. Begitu sampai di kuburan, anaknya yang malang itu, ia baringkan di dekat kuburan ibunya. Sedangkan Kasimin tengah melakukan penggalian kubur Marliang. Setiap mata cangkul menghujani tanah selalu diiringi lolongan anjing. Rupanya anjing-anjing itu membuntuti Kasimin hingga ke pemakaman. Mata mereka menatap penuh kebencian dengan kenekatan Kasimin.
Walaupun Marliang sudah tujuh hari berada dalam kubur. Tapi sekujur tubuhnya masih utuh. Wangi minyak kasturi masih tercium oleh Kasimin. Bibirnya masih menggoreskan senyum. Kasimin terisak mendapati istrinya seperti itu. Ia begitu haru, baginya Tuhan amat menyayangi istrinya. Itu yang ia ingin tunjukkan pada orang-orang . Telah salah kaprah perihal kematian Marliang. Kasimin membawa mayat itu ke rumahnya dan mereka tidur bersama-sama.
Hari masih pagi, orang-orang dihebohkan dengan ulah Kasimin yang mengarak mayat istrinya dari jalan ke jalan. Walaupun begitu tetap saja tak mampu mengubah penilaian mereka. Yang tetap menganggap kematian Marliang adalah kiriman karma leluhur mereka karena mengabaikan tradisi adat. Tentang mayat Marliang yang utuh dan wanginya bak minyak kasturi, bagi Kasimin itu adalah keajaban Tuhan. Sementara mereka menganggap Kasimin telah mengawetkan mayat istrinya.

Mawan Belgia, lahir pada tanggal 15 November 1997. Saat ini masih aktif menjadi mahasiswa jurusan matematika di Universitas Sulawesi Barat.