Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Siapa yang bisa mengalahkan cinta sejati? (hlm. 231)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Rencana Allah pasti yang terbaik untuk tiap-tiap orang. (hlm. 29)
Rumah tangga yang langgeng itu nggak terjadi begitu saja. Itu butuh
usaha keras. Salah satunya, butuh pasangan yang saling jatuh cinta
berkali-kali dengan orang yang sama. Orang yang sejak awal sudah
membuatnya mengucapkan sumpah setia. (hlm. 52)
Tuhan memang yang berkuasa menentukan. Tapi manusia harus berusaha, kan? (hlm. 58)
Cinta bisa datang tak terduga. (hlm. 141)
Selalu ada sahabat yang mau menampungmu. (hlm. 151)
Kalau kamu ada masalah, katakana saja. Jangan menyimpan masalah sendirian. (hlm. 191)
Ingatlah semua nikmat yang sudah kamu terima. (hlm. 259)
Jangan sampai kamu nggak percaya ketetapan Allah. (hlm. 259)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Membesarkan manusia bukan cuma soal memberi makan cukup dan memenuhi kebutuhan raganya. (hlm. 28)
Orang memang cenderung begitu, kan? Baru merasa kehilangan dan
merindukan sesuatu saat sesuatu itu sudah berada jauh dari dirinya.
(hlm. 31)
Rayuanmu selalu luar biasa, entah benar atau tidak. (hlm. 47)
Perempuan memang senangnya berkali-kali lipat tiap kali mendengar pujian dari pasangan yang dicintainya. (hlm. 58)
Laki-laki beristri memang lebih menarik. (hlm. 155)
Memang seharusnya perempuan seperti itu. Menjaga harga diri baik-baik. Jangan mau dipermainkan laki-laki. (hlm. 155)
Memiliki anak bukan ajang kompetisi siapa yang lebih dulu. (hlm. 225)
Cerpen Risda Nur Widia (Tribun Jabar, 11 Februari 2018) Dua Tokoh Kesedihan yang Diciptakan Haruki Murakami ilustrasi Yudixtag/Tribun JabarTerciptanya Bulan Lain di Hidupku (1) KESEDIHAN menyeretku ke dunia yang sulit dipahami.
Lengan kesedihan yang kokoh seolah merangkul tubuhku untuk tinggal di
dalamnya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia yang
kusinggahi. Pun apa yang tampak dan sedang berjalan di sini seperti
bukan dalam pengertian duniaku. Segalanya berjalan—baik atas ruang dan
waktu—seolah memiliki cara pandang yang lain.
Secara dasar dan konsep aku memang tetap berada satu dimensi dengan
manusia pada umumnya. Aku kerja, makan, dan mengantre bis di tempat yang
sama seperti manusia pada umumnya. Bahkan aku tetap menjadi bagian dari
kepadatan kota yang suntuk. Namun ada satu hal yang menjadi penanda
duniaku dengan dunia normal pada umumnya. Di hadapanku—dan nyaris setiap
malam—terdapat dua bulan yang menggantung di langit.
Satu bulan itu muncul begitu saja. Aku pertama kali melihat satu
bulan yang lain itu setelah menyelesaikan buku bacaanku. Ketika itu aku
membaca novel 1Q84 karya Haruki Murakami di beranda dengan
terkantuk-kantuk. Sambil membaca aku terus menggerutui isi novel panjang
itu. Sesekali aku berharap memiliki bulan tambahan layaknya novel itu.
Paling tidak dengan tambahnya satu bulan, malamku tidak terlalu sepi
karena patah hati ditinggal oleh calon istriku: selingkuh.
Kini yang aku dapat malah hal tak masuk akal. Karena malam itu
setelah terus membayangkan satu bulan tambahan, bulan baru benar-benar
muncul. Sebuah bulan baru yang bertengger sejajar dengan bulan lama.
Mengetahui itu aku tidak begitu saja menerimanya. Namun aku juga tidak
dapat mengelak dengan keberadaan bulan baru itu. Sosok bulan itu begitu
nyata. Bulan itu bertengger dengan cahaya dan bentuk yang sama dengan
bulan yang lama. Hanya saja, yang membedakan bulan baru dengan bulan
yang lama adalah bentuknya. Bulan baru cenderung lebih kecil.
Begitulah. Setiap malam kini terdapat dua bulan di kehidupanku. Dua bulan itu bertengger sama persis menemaniku saat sepi.
“Apakah aku terjebak di novel tersebut?” Aku berpikir demikian.
“Apakah ada seseorang lain yang bisa melihat bulan baru itu selain
diriku?”
Hidupku yang sedang kacau karena cinta menjadi tambah babak belur.
Otakku tak bisa berhenti untuk bertanya mengenai satu bulan yang lain.
Bahkan aku mulai merasakan kesedihan tokoh-tokoh di novel 1Q84.
Aku bisa merasakan bagaimana Tenggo, Aomame, Fukada Eriko, don Ushikawa
saat menyadari dunia mereka terdapat dua bulan yang menggantung.
Memahami hal ini, sering aku ingin mencari teman berbicang tentang
bulan. Namun sulit menemukan seorang yang dapat menerima pengertianku
mengenai dua bulan itu.
“Satu bulan tambahan mungkin cukup bagus bagi kehidupanku yang
kesepian,” tambahku. “Paling tidak aku mempunyai satu bulan yang lain
untuk menemaniku. Kekasihku yang Telah Lama Mati Telahir Kembali Menjadi Bulan (1)
KEKASIHKU mungkin terlahir kembali menjadi bulan. Apa yang ia katakan
dahulu sebelum meninggal karena penyakitnya telah menjadi kenyataan.
Lima tahun lalu setelah membaca novel 1Q84 karya Murakami,
kekasihku Karta, seorang penyair konyol, menyatakan ingin terlahir lagi
menjadi bulan apabila meninggal di usia muda. Ia ingin menjadi satu
bulan yang lain di dunia. Bulan yang sama persis dan menjadi satelit
alami seperti bulan yang lama. Benar! Beberapa bulan terakhir aku
melihat satu bulan lagi di langit. Sebuah bulan baru yang berjajar
persis berdampingan dengan bulan lama.
Aku tidak kaget melihat dua bulan dalam satu malam. Pemadangan dua
bongkohan bulan itu bahkan terkesan adalah pemandangan yang biasa.
Karena seperti yang sudah dikatakan kekasihku dahulu: Ia ingin terlahir
kembali menjadi bulan. Mungkin di kehidupan kedua kekasihku kini tidak
dilahirkan melalui rahim seperti manusia pada umumnya. Namun ia
dilahirkan dari rahim langit yang kelam. Kekasihku terlahir kembali
menjadi sosok baru—hal yang ia inginkari— menjadi bulan. Malam ini
ketika melihat dua bulan yang menggantung, ingatku seolah diseret pada
percakapan kami dahulu.
“Terlahir kembali menjadi manusia adalah kutukan,” kata kekasihku.
“Lalu kau ingin terlahir kembali seperti apa bila hidup lagi?”
“Aku ingin menjadi bulan!”
Kekasihku telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Malam ini aku
melihatnya lahir kembali dalam bentuk sebongkah bulan besar di langit.
Bulan baru yang menemani bulan lama.
“Kau pasti sangat bahagia karena Tuhan mendengarkan doamu,” kataku.
Sejak membaca novel 1Q84 karya Haruki Murakami, kekasihku
mulai memiliki impian yang cukup oneh. Sebagai penulis dengan kadar
kemurungan akut, tulisannya semakin lengket oleh kesunyian. Ia tidak
banyak bicara dengan orang lain. Ia lebih memilih memendam. Namun
setebal ia membentengi dirinya, tetap saja ia bisa sedikit mengutarakan
keinginannya kepadaku. Saat itu ia berkisah ingin mati dan hidup lagi
menjadi bulan.
“Kau tahu arti bulan di novel 1Q84 karya Haruki Murakami?” tanyanya dahulu.
“Aku belum selesai membacanya. Apa arti dua bulan di novel itu?”
“Sebuah kehidupan baru,” balasnya. “Bulan baru di novel itu diartikan sebagai kelahiran baru bagi makhluk hidup.”
Kekasihku pun mengisahkan tentang Dotha dan Maza; tentang kematian
dan kelahiran; tentang konsep tubuh sebagai reseptor dan perseptor;
tentang ruang dan waktu; tentang hidup yang seolah seperti seremonia
semata. Ia menceritakan segalanya seperti memahami: Suatu saat pada
akhirnya hidup kita hanya perihal mengulang apa yang telah dijalani. Aku
masih menengadah seorang diri melihat bulan. Kemudian tersenyum. Lalu
aku menyeret leherku melihat jam tangan. Pukul 23.30. Kota masih sedikit
ramai dengan kendaraan yang berisik. Mendadak terpikir: Apakah ada
orang lain selain diriku yang bisa melihat dua bongkah bulan itu? Aku
melempar sepasang mataku ke sekitar. Tak ada seorang yang termenung dan
menengadah seperti diriku. Terciptanya Bulan Lain di Hidupku (2)
DI bus kota yang melaju, sepasang mataku terus menerawang ke langit.
Kedua mataku seakan menjebol bingkai jendela bus untuk meneliti dua
bulan itu. Aku tak bisa melepaskan pandangan mata untuk mengamati
sepasang bulan vang bertengger di langit. Dan—sejauh aku berusaha
membuangnya—selalu tebersit pertanyaan di benakku: Apakah ada orang lain
selain diriku yang bisa melihat dua bulan itu?
Mataku mengerling ke arah penumpang di bus. Mereka tampak sibuk
dengan sesuatu. Misalnva pria paruh baya di sebelahku yang lebih khusyuk
pada telepon genggamnya. Lalu seorang ibu yang berada di sebelah kiri
agak ke belakang dari tempat dudukku, ia lebih memilih memejam mata. Dan
mungkin apabila diperhatikan satu per satu, para penumpang bus ini tak
ada yang penduli mengenai rembulan. Mereka sudah cukup lelah dengan
kehidupan sehari-hari yang tak masuk akal.
Tidak ada orang yang bisa aku ajak bicara. Maka kuputuskan untuk
turun dari bus kota. Aku memilih untuk menghabiskan malam melihat dua
bulan itu di tengah kota.
“Mungkin hanya aku saja yang bisa melihat dua bulan itu!”
Orang-orang terus melangkah tanpa peduli dengan apa yang terjadi.
Kehidupan kota seperti berdenyut dengan caranya sendiri. Sampai kemudian
aku melihat seorang wanita di pinggir jalan tampak termenung dengan
leher menengadah. Wanita itu berdiri sendiri di sana. Dari perangainya,
ia tampak sedang mengamati sesuatu di langit. Akhirnya aku memutuskan
untuk mendekatinya.
“Malam yang indah,” kataku.
Ia mengamatiku seperti menimbang. Ia berkata. “Aku sedang ingin
melihat bulan!” Mendengar pemyataannya rasanya aku seperti menemukan
seseorang yang dicari.
“Bulan yang indah.”
“Tentu!” balasnya.
“Malam ini aku juga sedang ingin melihat bulan.”
“Silakan!”
Aku tenang di sampingnya. Aku tidak berusah mendesaknya untuk
berbicara mengenai sebongkah bulan yang lain itu. “Kau suka bulan?”
Tanyaku.
“Sebelumnya tidak,” kalimat wanita itu terpotong. “Tapi karena dahulu
kekasihku pernah berkata ingin menjadi bulan, kini hampir setiap malam
aku selalu melihat bulan.”
“Kekasihmu ingin menjadi bulan?”
“Betul! Ia ingin mati dan terlahir lagi menjadi bulan!”
“Lalu?”
“Lalu kini ia terlahir lagi menjadi bulan!”
Aneh melihat gelagat wanita itu. Apakah wanita itu dapat melihat dua bulan malam ini?
“Kau pasti bisa melihat dua bulan, bukan? Makanya kau berjalan
seorang diri tengah malam. Kita sama-sama membuntuhkan seseorang untuk
memastikan: Kita tidak terjebak seorang diri di dunia yang tak masuk
akal ini.”
Aku terdiam, lalu melanjutkan. “Seperti di novel 1Q84.”
“Betul sekali. Dua rembulan yang kita lihat sama seperti di novel 1Q84.”
“Tetapi kau tadi mengatakan satu bulan itu adalah kekasihmu yang terlahir kembali.”
“Betul!” Ia tersenyum. “Tapi mungkin kau menganggap arti bulan yang baru itu berbeda.”
Lalu aku menceritakan kepadanya bahwa bulan itu adalah penanda dari
segala yang membuatku bersedih. Wanita itu mengangguk seolah mengerti
apa yang aku katakan.
“Anggap saja kita sedang terjebak di novel itu. Lalu bulan baru yang
kau lihat itu adalah segala rasa sedihmu. Tapi percayalah: kesedihan
kadang menuntun kita pada kebenaran yang paling mutlak.” Wanita itu
kemudian pergi meninggalkanku di tepi jalan. Namun aku sedikit lega
karena ada seorang yang dapat memahami kesedihanku. Kekasihku yang Telah Lama Mati Telahir Kembali Menjadi Bulan (2)
AKU masih termenung di pinggir jalan ketika dari arah barat ada
seorang pria murung menghampiriku. Ia kemudian berdiri di sampingku. Ia
pun membuka pembicara mengenai bulan. Kami akhirnya terlibat pembicaraan
mengenai dua rembulan. Aku menjelaskan mengenai dua rembulan yang
hampir setiap malam muncul di kehidupanku. Aku juga menceritakan
kepadanya bahwa rembulan itu adalah jelmaan kekasihku yang mati. Namun
aku memilih pergi meninggalkannya. Aku pikir, lebih baik kami menyimpan
kesedihan kami masing-masing. (*)
Untuk Mario F Lawi, Rio Johan, dan Dewi Kharisma Michellia
RISDA NUR WIDIA, penerima
Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa;
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Meraih
penghargaan pilihan buku sastra terbaik Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Yogyakarta (2016 dan 201 7). Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.
Oleh Riyan Prasetio (Padang Ekspres, 11 Februari 2018) Tasapo ilustrasi Orta/Padang EkspresSORE hari suasana Pantai Pukek ramai oleh anak-anak
yang berenang. Tak terkecuali Riki Putra. Bocah yang tengah duduk di
Sekolah Dasar kelas lima itu terlihat semangat menceburkan diri ke
pantai diikuti beberapa temannya yang kebetulan juga ingin mandi
bersama. Benen (Karet ban, red) mengapung di atas air laut.
Terombang-ambing oleh ombak. Tubuh Riki terkadang dibawa ke arah daratan
juga diseret hampir ke tengah laut.
Dari jauh Nayla mengamati teman-temannya yang asyik bermain air. Ia
juga ingin bergabung bersama yang lainnya. Menikmati betapa serunya
mandi air laut sore hari begini. Nayla yang mulai merasa jenuh
berjalanan menuju tumpukan batu yang disusun rapi menjorok ke arah
laut. Batu-batu tersebut seolah membentuk jalan yang cukup lebar agar
pengunjung pantai bisa menikmati semilir angin laut. Berjalan lebih jauh
hingga hampir ke tengah laut.
Rambut panjang Nayla diterbangkan oleh angin. Setelah sampai di
bagian paling ujung, Nayla merentangkan kedua tangannya. Menghirup udara
sore yang terasa sejuk sekali. Dalam ketenangannya, Nayla mendengarkan
teriakan riang dari teman- temannya yang sibuk berenang mendekat ke arah
daratan karena takut terseret oleh ombak.
“Riki, pulang!”Terdengar teriakan seorang ibu yang memanggil anaknya,
menyuruh pulang. Sebentar lagi matahari membenamkan wajahnya di ufuk
Barat. Nayla belum mau beranjak dari tempatnya berdiri saat ini. Hawa
sejuk membuatnya terlena. Lupa kalau matahari sebentar lagi sempurna
tenggelam. Menandakan magrib akan segera datang. Hawa dingin mulai
merangsek masuk ke dalam tubuh Nayla. Ia tidak menyadari sebuah
kejanggalan dari batu yang tengah di pijaknya. Batu itu … hidup.
“Nayla, pulang sayang, sudah Magrib,” teriak pemilik warung Lauk Pukek yang tak jauh dari bibir pantai.
Tak ada jawaban. Nayla sibuk menghirup udara segar. Teriakan dari
teman-temannya tidak lagi terdengar. Melihat Nayla yang tinggal
sendirian di ujung batu yang menjorok ke laut. Pak Tarmo, suami Darti
pemilik warung Lauk Pukek berlari menghampiri bocah perempuan yang tidak
mendengarkan teriakan istrinya itu. Rasa khawatir segera menguasai
warga sekitar bibir pantai.
“Nayla,” sapa Pak Tarmo dengan nada suara lembut. Tidak ada jawaban.
Dari dekat tubuh Nayla terlihat kaku. Tubuhnya yang membelakangi Pak
Tarmo menyulitkan Pak Tarmo untuk melihat ekspresi wajah Nayla.
Samar-samar terdengar suara azan Magrib dari setiap toa mesjid dan
mushalla dekat pantai. Pak Tarmo melangkah, mendekat. Tidak ada
pergerakan dari tubuh Nayla.
“Jangan mendekat. Hihihi,” ujar Nayla dengan suara berbeda.
Pak Tarmo menghentikan langkahnya ketika Nayla mengancamnya untuk
tidak mendekat. Berulang kali bibir Pak Tarmo melafazkan doa agar
terhindar dari segala macam makhluk halus yang jahat. Perlahan Pak Tarmo
terus mendekat. Nayla masih tertawa tidak jelas. Ia mengatakan suatu
hal yang Pak Tarmo tidak tahu apa maksud perkatannya. Mulutnya terus
menceracau ketika tangan Pak Tarmo berhasil merangkul dan membawa pergi
bocah perempuan itu dari pantai.
Nayla terus memberontak. Pak Tarmo melepaskan tubuh Nayla karena
sudah tidak sanggup melawan kekuatan tak kasat mata yang masuk ke dalam
tubuh mungil Nayla. Bu Darti berlari menyusuri pantai. Tidak
dihiraukannya pasir yang terasa seperti menusuk kakinya. Terpenting
baginya mengabari ayah dan ibunya Nayla. Nayla terus berteriak tidak
jelas. Mengancam siapa saja yang berani mendekat ke arahnya. Katno ayah
Nayla langsung memeluk erat tubuh putrinya itu. Namun tubuh Katno
terdorong beberapa meter akibat tendangan Nayla yang begitu kuat.
“Siapa kamu? Jangan ganggu anakku, keluarlah!” bentak Katno kepada makhluk tak kasat mata yang mengganggu tubuh anaknya.
Nayla malah tertawa mendengar kalimat yang terucap dari bibir
Ayahnya. Sutarmi menangis melihat anaknya yang berada di luar kendali
itu. Berulang kali Tarmi pingsan. Beruntung Bu Darti membawa tubuh
ringkih itu masuk ke dalam rumahnya. Malam harinya Pak Tarmo dan Katno
mendatangkan dukun ke pantai tersebut. Nayla masih tetap bertahan di
pantai. Tidak mau diajak pulang oleh ayahnya. Dukun itu membacakan
mantra. Mulutnya komat-kamit membaca dengan teliti setiap mantra yang
dihafalnya. Brak…Dukun itu kalah. Beberapa kendi yang ada di depannya
pecah. Air yang ada di dalam kendi itu keluar, berserakan di pasir
putih. Dukun itu memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia menyerah, tidak
bisa mengobati Nayla. Katno menangis di depan anak semata wayangnya. Ia
tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hingga azan Isya berkumandang Nayla
tetap berteriak histeris. Sesekali menjambak rambutnya sendiri. Pak
Tarmo membacakan Al Quran di depan Nayla. Membuatnya meringis kesakitan
akan tetapi makhluk itu tak kunjung keluar dari tubuh Nayla.
“Assalamualaikum,” sapa ustad Gofur yang baru saja pulang dari mesjid. “Waalaikumsallam,” jawab Pak Tarmo menyambut uluran tangan dari ustad Gofur.
“Ustad, tolong anak saya Ustad. Tolong sembuhkan Nayla,” mohon Pak Katno.
“Segala kesembuhan itu milik Allah. Mintalah kepada Allah, Pak,”
Ustadz Gofur menepuk pelan bahu Pak Katno. Setelah mendapat izin dari
Pak Katno, ustad Gofur mendekati tubuh Nayla. Ia tetap meraung layaknya
harimau yang sedang kelaparan. Dengan tenang ustad Gofur memegang puncak
kepala Nayla.
“Panas,” teriak Nayla berontak.
“Keluarlah jika tidak menginginkan panas yang lebih lagi,” ujar ustad Gofur memamerkan deretan gigi putihnya.
“Bedebah! Jangan mengancamku,” teriak Nayla dengan suara yang terdengar berat. Bukan suara asli milik Nayla.
Karena tak kunjung mau keluar. Ustad Gofur segera membacakan beberapa
ayat Al Quran yang bisa mengusir makhluk halus dari tubuh manusia.
Bacaan pertama hanya memberikan efek teriakan bagi jin yang sedang
merasuki tubuh Nayla. Ustad Gofur terus membacakan doa-doa dan ayat Al
Quran yang mampu mengusir arwah jahat yang tidak diundang.
Tubuh Nayla mengejang hebat. Tangannya mencekik lehernya sendiri.
Mulutnya terus berteriak mengatakan “berhenti” kepada ustad Gofur yang
terus membacakan ayat suci Al-Quran di samping telinga kanan Nayla.
“Berhenti, bodoh,” teriaknya lagi sembari meremas wajahnya sendiri.
Ustdaz Gofur memegangi kedua tangan Nayla supaya tidak digunakan untuk
menyakiti dirinya sendiri. Makhluk halus yang menguasai tubuhnya memang
tidak merasakan sakit akan luka fisik yang dialami oleh Nayla. Makhluk
itu hanya akan terbakar dan tersiksa akibat dibacakan ayat suci Al
Quran.
“Panas! Berhentilah! Aku akan membunuh anak ini,” ancamnya lagi.
Ustad Gofur menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya sepasang bola mata
milik Nayla yang terlihat kosong. Pandangannya tak tentu arah dan
semakin tidak jelas. Perlahan ustad Gofur berhasil mengendalikan jin
jahat yang merasuki tubuh Nayla.
“Aku akan membawa anak ini,” ujarnya dengan suara tertahan.
“Dia bukanlah milikmu. Kembalilah ke alammu. Anak ini tidak bersalah,” ujar ustad Gofur.
“Dia telah menginjak tubuhku,” ujarnya lagi.
“Tubuh?” tanya ustadz Gofur memandang ke arah tumpukan batu yang tersusun rapi.
Gelap telah mendominasi kehidupan malam. Sekilas terlihat cahaya
rembulan yang tengah mengintip dari balik kegelapan. Setelah berbicara
dengan makhluk halus yang masuk ke dalam tubuh Nayla. Akhirnya ustad
Gofur berhasil mengusirnya dan mengembalikan jin itu ke tempatnya
semula.
“Air mineral,” pinta ustad Gofur.
Pak Tarmo menyodorkan sebotol air mineral kepada ustad. Ustad Gofur
memberikannya kepada Nayla. Setelah meminum beberapa teguk air tersebut
Nayla kembali tersadar. Ia menatap dengan tatapan bingung kepada semua
orang yang sedang mengerumuninya.
“Ayah,” setengah berlari Nayla langsung memeluk ayahnya.
Pak Katno tersenyum, lega melihat putri semata wayangnya kembali
seperti sedia kala. Dikecupnya puncak kepala Nayla berulang kali kaerena
begitu gembira.
“Besok-besok tidak usah pergi ke pantai sampai Magrib seperti tadi, Sayang. Kamu udah membuat ayah dan ibu khawatir.”
“Maafkan Nayla, ayah,” ucap Nayla.
Mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Sosok perempuan berambut
hitam dengan pakaian serba putih duduk di tepian laut. Dari atas batu ia
memandang hamparan laut yang terlihat gelap. Seperti hidupnya yang
teramat gelap. (*)
Cerpen Jeli Manalu (Padang Ekspres, 11 Februari 2018) Akuarium Hati ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Jam delapan pagi ini aku pergi mandi. Kutarik pakaian dari susunan
paling atas. Kututupi kantung mata meski tidak jadi memulas bibir karena
lipstikku jatuh lalu berguling ke bawah tempat tidur—aku malas
mencarinya. Sambil menyemprotkan wewangian dan membaui aromanya, di
depan cermin, aku memikirkan akuarium berbentuk hati: apa tadi sungguh
melihat seekor ikan hitam menabrak dua ekor ikan yang lagi bersama-sama.
Tapi aku harus gegas. Sekitar sejam yang lalu Mura menelepon dan memberitahukan sebuah alamat.
Aku menunggu. Rumahnya agak jauh ke tempat kami janjian. Kupesan
lemon hangat dicampur sedikit gula serta serai yang dimemarkan. Ibu si
pemilik lesehan bertanya apa aku sedang sakit kepala, kujawab dengan
tatapan mata yang kupikir saat ini aku sedang dipahami.
Tak berapa lama Mura pun tiba. Dia melambaikan tangan ke arahku saat
turun dari taksi. Cara berpakaiannya mengagumkan, aku terbayang pada
drama-drama Korea yang menampilkan tokoh perempuan modis berkarier
cemerlang. Rambutnya pendek berkilau. Senyumnya hidup. Langkahnya tak
ragu menuju tempatku—terdengar bunyi sepatunya saat menyeberang dan aku
tertegun merasakan auranya menembusku, mengalahkanku dari segi mana pun.
“Sudah lama?”
“Belum terlalu.”
Lemon hangatku datang. Tampak uap putih samar bergulung-gulung lalu
hangus di udara. Mura memperhatikanku mendekatkan hidung ke cangkir.
Kuambil serai, kugigit beberapa kali—aku mencoba mengingat lagi apa tadi
ikan hitam sungguh-sungguh menabrak dua ekor ikan yang sedang bersamaan
dalam akuarium. Ikan-ikan itu sudah lama tinggal denganku. Mereka
terlihat berteman baik. Damai. Tenteram. Saling menghargai satu sama
lain, dan air dalam akuarium belum pernah bergejolak sehingga muncrat
mengenai keningku.
Sekali lagi, aku menghirup aroma dalam cangkir dengan tarikan napas
panjang. Ibu si pemilik lesehan datang menanyakan makanan apa yang
hendak kami pesan.
“Na tinombur. Pilihkan jantan untukku, Namboru (bibi),” pinta Mura.
“Memang bisa?”
“Bisalah. Masa kau tak tahu?”
“Caranya?”
Mura menjelaskan ikan jantan bentuknya lebih ramping. Ada dua lubang
di bagian belakang bawah ekornya. Jika kau pencet, maka dari salah
satunya akan keluar cairan putih, katanya, seperti seorang ahli.
“Betina?”
“Betina, ya, bertelur.”
“Kalau begitu aku pesan yang betina saja, Bu,” ujarku pada ibu pemilik lesehan.
“Kau memanggilnya: Bu? Ibu?” protes Mura.
“Apa salahnya?”
“Ya, jelas salah. Dia itu orang Batak, sama kayak kita,” Mura
menertawakanku yang kurang paham akan tutur sapa dalam daerah sendiri.
Aku meremas cangkir, mulai kesal. Selanjutnya kudesak Mura ke arah mana
pembicaraan kami sebenarnya.
“Hei, jangan buru-buru. Bukankah kita sudah meluangkan waktu untuk
bersama seharian ini?” tuntut Mura sambil merapikan poni tertiup angin.
Aku membiarkan mataku mencemburui jemari Mura. Kukunya sedikit
panjang dan mengilap. Sepertinya dia sangat rajin merawatnya dan sudah
pasti laki-laki akan senang menggenggam itu. Kulihat jemariku.
Gemuk-gemuk. Pendek. Haduh, batinku. Ini jari-jari, tanyaku.
Jari-jariku, tanyaku sekali lagi seolah baru saja memilikinya. Lalu aku
sedih kenapa jemariku tidak selentik jemari Mura. Kuku-kukuku mudah
patah, padahal aku sudah mengurangi kegiatan mencuci piring termasuk
membiarkan Mama saja yang memasak.
Aku kembali ke lemon yang hangatnya sudah berkurang. Kusingkirkan
sendok dan sedotan. Kutenggak seluruhnya berharap pikiranku cepat
tenang. Ketika nanti Mura berkata-kata meski itu kepentingannya, aku
berharap juga menemukan pencerahan terhadap masalahku. Sebab sebenarnya,
ada hal yang membuatku gundah belakangan ini.
Begini sedikit perkenalanku dengan Mura. Ada kegiatan pemuda-pemudi
Batak setingkat provinsi yang digagas oleh kampusku. Aku, tiga orang
temanku dan juga abang seniorku yang kini menjadi kekasihku pergi ke
perusahaan-perusahaan menggalang dana. Kami masuk dengan segan ke sebuah
kantor megah, dingin dan wangi. Mura bagian keuangannya. Aku bendahara
dalam kegiatan itu, yang entah mengapa dijadikan pengurus sementara aku
tidak terlalu suka kegiatan-kegiatan semacam itu. Saat itu Mura
menyuruhku agar menganggapnya sebagai teman seumuran meski kenyataan dia
tua lima tahun dariku. Dia bilang jangan panggil kakak apalagi ibu.
Mana tahu kawanmu ada yang naksir, jadi batal, katanya, mengakhiri
pembicaraan lalu kami pergi dengan bahagia sebab dia memberi kami uang
makan siang. Sekarang, aku jadi memikirkan semua kata-katanya yang dulu
itu. Jangan-jangan, pikirku, mulai menebak sesuatu yang sama sekali
tidak kusukai. Na tinombur pesanan kami sudah tersaji. Perempuan yang
kupanggil ibu tetapi Mura memprotesku menyerahkan bagian kami
masing-masing. Mura pesan nila jantan, aku pesan nila betina.
“Wanginya jeruk purut,” aku memuji sambil memeras potongan jeruk ke ikan bakar yang aroma sambalnya memacu gairah makanku.
“Utte jungga, bukan jeruk purut.”
“Sama saja nampaknya.”
“Bedalah. Masa kau tak tahu.”
Mataku menusuk mata Mura. Bila dia paham, itu bisa lebih tajam
dibanding garpu di di tanganku. Sudah dua kali dia mengatakan kalimat: masa kau tak tahu. Dia pikir dia siapa? Beda atau tidak, rasanya tetap sama. Yaitu: asam. Asam! Mengerti?
Mura mengambil air pencuci tangan. Jemarinya dibilas. Agaknya dia
tahu kalau aku kesal. Kutatap angin kosong. Pikiranku gelisah. Air
gemericik. Mata kami langsung ke kolam yang mengitari keliling bangunan.
Di depan kami dua ikan nila kejar-kejaran. Di sudut sana ada seekor
ikan diam saja. Pipiku diterkam air ketika ikan yang berdiam di pojok
menabrak dua ekor ikan yang saling berkejaran.
“Tapi sebelum menikmati telur dan yang lainnya, kau harus lebih dulu
melahap bagian kepala,” Mura makin nyinyir. Kulihat dia mencubit bibir
ikan. Jari-jarinya menguning dibuat sambal kemiri. Dia lalu menggigit
leher, tengkuk, rahang, pipi, mungkin hidung atau telinga. Dua mata ikan
dia hisap, aku jijik menyaksikan sesuatu yang pecah dan lumer.
“Kenapa menonton saja? Ayo, makan ikanmu. Kau tahu, kepala adalah
segala dari ikan. Ada banyak rasa yang tak akan kautemui di bagian mana
pun di ikan,” cecarnya. Kurasakan dia sudah seperti orang mabuk saja.
“Aku lebih senang memberikan kepalanya ke kucing.”
Dia tertawa sambil merapatkan mulut. Kakinya bergoyang di bawah meja.
“Nih,” kataku. Aku mencampakkan kepala ikan milikku ke piring Mura, “kau suka kepalanya ‘kan? Meong, meong,” desisku, menirukan suara kucing.
“Jadi, pacarmu lelaki itu, ya?” Mura menanyakan hal yang sudah dia ketahui sejak lama.
“Bukan membicarakan itu kita ke sini.”
“Lalu, kau boru (marga) apa?” Mura semakin mendikteku.
“Boru nila kek, boru lele kek, boru mujahir kek, bukan
urusanmu,” aku menamai ikan-ikan karena tak suka ditanyai. Untuk apa
juga dia mengurusi urusan pribadiku, sedang dia mengundangku karena ada
sesuatu yang katanya ingin dibicarakan.
“Kau itu boru (marga) Manurung. Tidak boleh pacaran dengan lelaki itu.”
“Memangnya kenapa?”
“Dia itu ito-mu. Kau ito-nya. I-to. Kau tidak tahu juga artinya?”
“Kau ini hidup di zaman apa sih?”
“Ito? Kau tidak paham?” dia menatap bola mataku seakan
menelanjangi sampai ke bagian terdalam. “Itu sama saja antara kau dengan
abangmu, si Gonggom itu,” jelasnya, menyebutkan nama abang kandungku
yang paling tua.
“Tapi ‘kan beda.”
“Apanya yang beda?”
“Dia Sirait, aku Manurung.”
“Itu sama saja. Serumpun. Bersaudara. Kakak-adik. Aduh, kau ini bagaimana sih?”
“Kau tak bisa membacan,ya? Hurufnya saja beda. Nih, kubantu mengeja: S-I-R-A-I-T. M-A-N-U-R-U-N-G. Jauh bedanya. Jauh.” aku terus saja membantah Mura.
“Inikah lelaki itu?” Mura memperlihatkan sesuatu di layar handphone-nya.
Jantungku berdebar tak percaya. Foto Mangara, kekasihku itu ada pada Mura. Bagaimana jalannya?
Kuingat semua yang telah berlalu. Tentang kami mengajukan proposal ke
kantornya. Tentang kami bertiga pernah satu mobil, Mangara mengantarku
lebih dulu dan Mura terakhir. Tentang malam ketika Mura mabuk serta
menangis karena ditolak cintanya oleh laki-laki yang tidak kutahu siapa.
Lalu, dia meneleponku hari ini, memberitahukan sebuah alamat,
menjelaskan tentang ikan, memperlihatkanku bagaimana cara menikmati ikan
dan aku terjebak dalam nyinyirannya karena Mangara masih serumpun marga
denganku?
“Berikan dia padaku. Aku bisa membuat dia jatuh cinta,” Mura
berbicara seperti api, lalu pergi tanpa peduli pada apa yang terbakar
dengan perasaanku, tanpa membiarkanku menjelaskan bahwa benar kalau
Mangara sudah empat bulan ini tak lagi menemuiku. Handphone-ku bergetar. Dunia terlihat gelap dan aku tak
ingin percaya kalau ini hari Sabtu sebab di sekelilingku banyak sekali
orang pacaran. Saat nada dering berhenti, aku membaca banyak panggilan
tak terjawab. Aku menatapnya dengan perasaan sendirian. Perasaan kosong.
Perasaan mati. Barangkali saat ini telapak tangan mereka sudah
sama-sama hangatnya. Bila dada mereka serempak berdebar, apakah Mura
memejamkan mata? Aku mengingat-ingat seperti apa dulu rasanya didekap
pertama kali. Seperti orang bodoh. Hangat menjalar. Seperti tersengat
listrik namun yakin itu tak membahayakan.
Nada dering pesan kudengar masuk. Aku lalu membacanya, “Kau di mana,
Bulan? tanya Mama, “akuarium hatinya pecah, dan ketiga ikan-ikanmu tak
bisa Mama temukan.” **
Catatan: Ito = tutur sapa antara pria dan wanita di suku Batak. Tapi
‘ito’ dalam hal ini adalah tentang marga yang berada di bawah sub marga
tertentu. Masih satu rumpun. Tidak boleh saling menikahi. Na tinombur = Ikan bakar bumbu kuning.
Riau, Februari 2017
Jeli Manalu, lahir di Padangsidimpuan, 2 oktober 1983. Tinggal di Rengat-Riau. Cerpennya pernah tersiar di Analisa,
Sumut Pos, Media Indonesia, Majalah Litera, Lombok Pos, Rakyat Sultra,
Haluan Padang, Merapi Pembaruan, Padang Ekspres, Banjarmasin Post, Suara
NTB, Medan Bisnis, dan lainnya.
Puisi-puisi Tjak S Parlan (Padang Ekspres, 11 Februari 2018) Fragmen Prahoto, Fragmen Karet, Fragmen Kopi, Fragmen Kakao ilustrasi Google
Fragmen Prahoto
1)
Pukul tujuh pagi –dalam beku bediding itu—
ia lesap ke dalam lambung prahoto.
Bau meriah handbodhy, harum tipis pupur,
lembab dada dan ketiak perempuan-perempuan tetangga,
membekap daya ciumnya yang belum genap umur.
Apa daya ia terdesak, ia mendesak-desak di antaranya,
mencari ibunya.
Ibu di sini, kami semua pergi ke pabrik kopi.”
2) Prahoto merayap di jalanan berbatu, dalam kepungan
hutan kopi itu.
Tapi matanya hanya bisa menatap hijau kukuh
daun-daun nyiur, juga gerumbul-gerumbul awan
di langit yang jauh.
Tapi matanya tak bisa menggambarkan
masa depan.
Sampai di sebuah
tikungan, seorang laki-laki bertangan kekar membuka
pintu bak prahoto dan mengangkat tubuhnya.
“Pergilah, laki-laki kecil yang sendirian. Sudah sampai.”
Lalu ibunya, “Pergilah, sekolah yang jauh. Ibu di sini.”
3)
Ia datang. Tiga puluh dua tahun kemudian. Lebih tua
dari harapannya.
Sebuah bus: janji-janji bupati terpilih, angkutan desa
satu-satunya yang sumuk, merayap di jalanan bengkak
dan berbatu. Tak ada hutan kopi, pabrik kopi masih
berdiri – puing-puing yang angker dan bisu, dan sia-sia.
4)
Jalanan dikepung ladang tebu, yang meranggas,
kian memanas.
“Mereka bangkrut,” bisik seseorang di sampingnya.
“Jalan tak jadi diperbaiki. Gagal panen berkali-kali.”
Lalu – seperti di lambung prahoto itu –
ia bisa mencium bau meriah yang dulu. Lalu
di tikungan, jauh sebelum sampai di rumah ibu,
ia membuka jendela bus, ia mencari ingatan:
ia tak menemukan hijau kukuh daun-daun nyiur,
di langit yang jauh hanya ada gerumbul-gerumbul awan,
ia masih mencari-cari masa depan.
Pagesangan, 18 Maret 2017
Fragmen Karet
Tubuhmu yang luka, telah mengucurkan
nasib baik yang ditampung ibu
dari waktu ke waktu.
Aku yang rawan,
tak bisa menampung apa-apa
selain ingatan:
tentang ibu yang kerap menyalakan suluh bambu
dan melintasi subuh buta untuk melukai
tubuhmu,
tentang ibu yang menampung nasibku.
Pagesangan, 4 Maret 2017
Fragmen Kopi
Ada yang kerap melintas di dapur keluarga.
Sembunyi-sembunyi, mencuri aroma
kopi sangrai. Ada yang mencuri
sarapan pagi pada buah pikirmu:
“Ini buah adalah hadiah,
buah dari kebaikan seekor luwak,
untuk yang berkenan singgah,
kelak”
Tapi batang-batang telah ditebang. Batangbatang
yang tetap tabah. Batang-batang tua
yang tak kunjung membuahkan laba.
Ada yang kerap melintas di halaman rumah.
Mengibaskan wangi musim bunga
menjelang panen raya. Ada yang membenturkanmu pada
ingatan warna kebun—hijau dan putih yang itu.
Tapi batang-batang telah ditebang,
dan ibu harus tabah mencari pekerjaan baru
di ladang tebu.
Di ladang tebu, ibu menampung nasibmu.
Pagesangan, 4 Maret 2017
Fragmen Kakao
Selepas kelas, ia terbayang sebuah rumah
yang belum menyediakan apa-apa.
Ibu bekerja, dan nenek—seperti adegan sebelumnya—
baru saja memarut kelapa. Maka, antara dirinya
dan makan siang hanya ada jarak yang kian membentang.
Tapi di jalan ia tahu segalanya, bahwa selepas pos jaga
tak ada apapun yang perlu ditakutkan. Cabang-cabang
kakau akan menghilangkan risau. Cabang-cabang telah
berbuah melimpah, serupa hidayah yang siap ditampung
dalam perutnya.
Ia mengambil sedikit untuk perutnya yang terus meratap.
Ia tak merampas apa-apa dari tanah ini. Kelak—
dengan bahasanya yang tetap lugu— ia tahu, korporasi
telah mengambil begitu banyak sejak usianya dini.
Selepas kakau, tumbuh batang-batang tebu,
batang-batang nasib yang diciptakan rezim baru.
Kali itu, ia telah menyelesaikan semua kelasnya.
Ia segera sibuk mencari kerja sampai ia lupa
bahwa ibu sudah tidak bekerja di ladang itu.
Ibu ingin memiliki rumah dan ia hanya bisa membayangkan,
mungkin di sebuah hari yang baik, ia akan mengirimkan
sepotong kue cokelat ke rumah ibu:
rumah yang memunggungi kebun kakao itu.
Pagesangan, 4 Maret 2017
Tjak S. Parlan Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Cerpen dan puisinya sudah disiarkan di sejumlah media, antara lain Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Solopos, Kedaulatan
Rakyat, Lampung Post, Radar Surabaya, Sinar Harapan, Jurnal Nasional,
Femina, Padang Ekspres, Pikiran Rakyat, Suara NTB, Lombok Post, Bali
Post dan lain-lain. Mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Cerpen Bayu Pratama (Pikiran Rakyat, 11 Februari 2018) Sing Your Soul ilustrasi Magdalena/Pikiran Rakyat
TELEFON berdering. Benjor tidak segera mengangkatnya. Dari jendela
rumahnya, dia sedang sibuk memperhatikan cuaca: hari cerah. Minggu
terakhir bulan September punya cuaca yang amat sempurna untuk perasaan
bahagia. Sebentar lagi musim hujan datang dan musim kemarau pergi.
Minggu terakhir bulan September jadi semacam waktu berdiskusi dua musim
itu untuk menciptakan cuaca yang menyenangkan begini. Tidak terlalu
panas dan kering, tidak terlalu dingin dan basah. Membuat orang jadi
gampang melamun tentang hal-hal menyenangkan. Telefon terus berdering.
Benjor tidak kunjung mengangkatnya sampai tiba-tiba hening.
BENJOR menoleh ke arah telefon. Dia tidak terlalu yakin berapa lama
telefon berdering. Dalam benaknya Benjor bertanya-tanya, barusan ada
telefon?
“Tidak ada,” sanggahnya sendiri. “Tapi mungkin ada,” sanggahnya lagi.
Benjor menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali memperhatikan
cuaca.
Dari Jendela Benjor melihat anak-anak sedang memanjat pohon kers di
depan rumahnya. Tidak jauh dari pohon kers itu, ada boks telefon umum.
Kalau sedikit berusaha, siapapun bisa naik ke atas boks telefon itu. Di
lingkungan rumah Benjor tidak banyak anak-anak. Benjor tidak terlalu
tahu anak-anak itu datang dari mana—mungkin dari kampung di sekitar
tempat tinggal Benjor atau jauh-jauh datang dari pinggiran kota. Yang
mana pun bisa saja. Yang jelas jumlah mereka banyak sekali. Anak-anak
itu naik-turun pohon kers dengan begitu menakjubkan. Beberapa naik ke
atas boks telefon kemudian melompat turun seolah-olah itu hal paling
menantang yang pernah diciptakan tuhan.
Dari jendelanya Benjor mengangkat tangan, melambai-lambai ke arah
anak-anak itu. “Hallo,” kata Benjor sambil berteriak. Semua anak-anak
itu menoleh ke arah Benjor. “Hati-hati,” kata Benjor berteriak lagi.
Anak-anak itu saling menoleh. “Hari yang bahagia,” kata Benjor.
Anak-anak itu saling menoleh dalam gerakan yang lebih cepat dari
sebelumnya. Setelah beberapa lama, tanpa menjawab pertanyaan Benjor,
anak-anak itu kembali melompat-lompat dari boks telefon umum, naik-turun
pohon kers dengan begitu menakjubkan.
Sambil masih mengangkat tangannya Benjor menunggu jawabanan dari
anak-anak itu. Tapi tak satu pun jawaban yang kunjung datang. Benjor
mematung. Berapa lama, dia tak ingat. Diturunkannya tangannya. Ada yang
menyusup masuk ke dalam pikirannya. Tapi Benjor tidak terlalu yakin apa
itu. Dilihatnya anak-anak itu. “Wah,” kata Benjor tiba-tiba. Benjor
kembali diam beberapa saat. Ada suara dering telefon mengisi kepalanya.
“Mungkin tadi ada telefon,” Benjor menggumam sendiri. “Tapi mungkin
tidak,” sambungnya kemudian. “Siapa yang mau menelepon?” Benjor
bertanya-tanya. “Ah! Jangan-jangan Jakob yang menelefon,” sambungnya
kemudian setelah beberapa lama. Minggu terakhir bulan September punya
cuaca yang amat sempuma untuk merasa bahagia.
Jakob adalah teman sejawat Benjor. Ketika Benjor pensiun beberapa
waktu yang lalu dari perusahaan retail dan penerbitan tempatnya bekerja,
Jakoblah yang menggantikannya. Mungkin Jakob menelefon untuk menanyakan
satu-dua hal yang belum beres, pikir Benjor. Tetapi temannya itu sudah
bersama Benjor selama hampir… selamanya. Mana mungkin ada yang belum
diketahui Jakob. Tetapi mungkin saja ada hal yang Benjor tahu sedang
Jakob tidak. “Ada saja yang belum beres kalau ditinggal begini,” kata
Benjor kemudian. Benjor melihat jam tangannya kemudian berjalan ke arah
telefon. Benjor tahu sekarang Jakob pasti masih di kantor. Sibuk dengan
kertas-kertas di dalam ruangan berukuran delapan kali delapan
meter—ruangan yang dulu adalah ruangannya. Kalau menelefon ke nomor
kantor, pasti sekretaris yang menjawab. Karena itu Benjor langsung
menelefon ke nomor pribadi Jakob.
Di samping telefon ada setangkai bunga aster kayu biru dalam wadah
kaca. Di dasar wadah kaca itu ada sedikit air yang masih menggenang,
digunakan untuk mempertahankan hidup bunga aster kayu biru itu. Kenapa
cuma setangkai? Benjor tidak tahu. Siapa yang menaruhnya di sana? Benjor
juga tidak tahu pasti. Bisa jadi itu istrinya atau pembantunya. Tetapi
mungkin pembantunya. Kalau itu istrinya, Hermes atau Louis Voitton akan
lebih masuk akal untuk ada di sebelah telefon. Telefon dalam nada
tunggu. Benjor menatap aster kayu biru itu. “Mulai layu,” pikirnya.
Telefon tersambung. “Iya, Hallo. Bagaimana?” kata Jakob di sambungan
telefon. Dia memang selalu bertanya ‘bagaimana’ tanpa benar-benar jelas
bagaimana apa yang ditanyakannya.
“Ada apa?” kata Benjor.
“Maksudmu?”
“Tadi kau telefon?” kata Benjor. Sambil bertanya begitu, Benjor
membayangkan Jakob sedang menelefon sambil menjepit telefon dengan bahu
dan pipinya. Tangan kiri Jakob sedang sibuk berurusan dengan
kertas-kertas sedang tangan kanannya sibuk dengan pena Parker seri
Sonnet dengan lapisan emas.
“Ha? Siapa?”
“Kau. Tadi kau telefon ke rumah? Ada apa?”
“Lho, bukan. Dari tadi sibuk. Kau apa kabar? Kapan-kapan mampirlah
kemari. Kita sedang ada tawaran bisnis baru dengan pabrik pembuat kadal
plastik. Anak-anak zaman sekarang pasti suka. Prospeknya akan bagus,
tetapi kalau kau lihat-lihat, mungkin kau ada pendapat lain.”
“Kadal plastik?”
“Iya. Kadal plastik.”
Benjor terdiam beberapa saat. Aster kayu biru di depannya tiba-tiba
menyita perhatiannya. Aster itu bergoyang sedikit, mungkin karena
angin—atau sesuatu yang lain. Salah satu kelopak bunga itu jatuh
tiba-tiba. Terhuyung-huyung sampai akhirnya jatuh di atas meja. “Jadi
tadi kau tidak telefon ke rumah?”
“Tidak. Siapa yang menelefon?”
Benjor ingin menjawab pertanyaan Jakob tapi Benjor mendengar suara gagang telefon dipindahkan. Benjor diam.
“Hallo,” kata Jakob.
“Iya, hallo. Bukan siapa-siapa. Tadi rasanya ada yang menelefon. Aku kira kau.”
“Bukan.”
“Baiklah.”
“Kapan-kapan mampirlah. Aku butuh saran untuk kerja sama dengan
pabrik kadal plastik ini. Lebih baik kalau bicara langsung sekalian kau
lihat-lihat keadaan baru.”
“Baiklah. Kapan-kapan aku mampir.”
“Ok. Baik.”
Jakob tiba-tiba menutup telefon tanpa mengucapkan sampai jumpa atau semacamnya.
Benjor teringat istrinya. Wanita itu harusnya sudah pulang sekarang.
Istri Benjor dan pembantunya pergi sedari tadi. Mungkin berbelanja, atau
mungkin yang lain—Benjor tidak terlalu yakin. Dilihatnya lagi jam
tangan. Benjor menutup mata. Saat membuka mata, Benjor merasa
dinding-dinding rumahnya bergerak menjauh dari dirinya. Aster kayu biru
itu kembali bergerak sedikit. Salah satu kelopaknya jatuh lagi. Begitu
tua dan menyedihkan, pikir Benjor. Benjor berjalan ke arah dapur dan
mengambil segelas air keran untuk ditambahkan ke dalam wadah kaca tempat
bunga aster itu. Diperbaikinya posisi bunga aster itu sampai dirasanya
benar. Diambilnya tiga kelopak yang jatuh. Berjalan kemali ke dapur,
Benjor meletakkan gelas pada tempatnya kemudian membuang tiga kelopak
bunga aster itu ke dalam wastafel.
Benjor bertanya-tanya. Kenapa pula dia membuang kelopak bunga ke
dalam wastafel! Benjor mengurut pelipisnya. Sebentar lagi musim hujan
datang dan musim kemarau pergi. Minggu terakhir bulan September jadi
semacam waktu berdiskusi dua musim itu untuk menciptakan cuaca yang
menyenangkan. Samar-samar Benjor mendengar suara anak-anak yang sedang
bermain di luar.
Benjor kembali berjalan ke jendela. Anak-anak masih memanjat pohon
kers dan beberapa yang lain masih melompat-lompat dari boks telefon.
Melihat anak-anak itu Benjor tiba-tiba menyungging senyum.
Diperhatikannya anak-anak itu. Beberapa anak naik turun pohon kers
dengan cara menakjubkan. Beberapa lainnya melompat-lompat dari boks
telefon. Setelah lama mengamat-amati, Benjor menyadari salah seorang
anak dari sekian banyak anak yang bermain itu ada di dalam boks telefon
umum dan memencet-mencet tombol telefon. Jangan-jangan dia yang
menelefon, pikir Benjor. “Hallo,” kata Benjor sambil berteriak.
Melambai-lambaikan tangannya. Semua anak-anak itu menoleh ke arahnya,
kemudian saling menoleh satu sama lain, kemudian kembali memanjat pohon
kers dan melompat-lompat dari boks telefon—tidak ada yang menanggapi
teriakan Benjor. Benjor menunggu, mematung. Minggu terakhir bulan
September punya cuaca yang amat sempurna untuk perasaan bahagia. ***
Cerpen Anas S. Malo (Rakyat Sumbar, 10-11 Februari 2018) Imajinasi-imajinasi Intim ilustrasi Rakyat SumbarANJING-ANJING liar itu terus menggonggong,
memelototiku, seakan-akan hendak mencabik-cabik tubuhku. Sedangkan bocah
di dekatku tidak menunjukkan rasa takutnya. Ia tetap pada posisi
duduknya, bersandar di tembok kayu warung kosong. Ia terlalu sibuk
dengan lamunan. Ia tetap diam. Matanya menerawang jauh menembus
ranting-ranting pohon sampai ke bulan. Sementara hujan gerimis belum
juga reda.
Bocah itu menatap bulan, seolah-olah ada sesuatu yang membuat ia
tersenyum. Ia pun tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Bocah itu,
tersenyum sendiri. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Sedangkan aku masih sibuk dengan menata napas dan jantungku. Keringat
dingin mengucur. Malam, sunyi ditemani lolongan anjing liar adalah
pengalaman pertama dalam sejauh umurku.
Malam bertambah dingin disertai selak anjing yang begitu mengerikan.
Malam telah membakar rindu-rindu yang tak tersampaikan. Aku membeku,
sementara anjing-anjing liar itu masih di depanku, berjarak beberapa
meter dari tempatku. Anjing-anjing liar itu belum mau beranjak. Mereka
melolong, ada juga yang berguling-guling.
“Hai… Bocah, memangnya kau tidak takut dengan anjing-anjing itu?” tanyaku.
“Namaku Alan. Hanya orang-orang penakut saja yang takut dengan anjing,” jawab bocah itu.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi ketika terselip ingatan tentang
aroma mistis membumbui malam itu. Kata kakek, ketika anjing-anjing
melolong pertanda bahwa roh-roh halus akan muncul. Kata orang-orang tua
dahulu, roh-roh halus itu akan bergentayangan untuk menakut-nakuti
manusia. Roh-roh halus atau yang disebut oleh kebanyakan orang-orang
hantu. Orang-orang takut dengan hantu. Aku sebenarnya belum pernah
sekalipun melihat hantu. Hanya melihat di layar televisi hitam putih
milik tetangga. Setiap malam Jumat terkhusus malam Jumat Kliwon akan
sensasi yang berbeda. Biasanya aku dan beberapa tetangga lain duduk di
tikar yang sudah disiapkan oleh Pak Sukmo.
***
Alan sering mendengar hikayat tentang bulan. Ibunya pernah
mendongengi sejarah bulan kepadanya. Dongeng itu masih tersimpan rapi
dalam ingatan bocah itu. Baginya melihat bulan adalah sesuatu yang
membahagiakan, karena bulan tercipta dari keindahan. Bulan tercipta dari
kebahagiaan. Kata ibunya, jika tak ada bulan maka malam akan gelap.
Malam akan kelam. Kekelaman akan membawa kesedihan. Ibunya pernah
mengatakan kepada bocah itu, jika bulan itu seperti kasih sayang seorang
ibu.
Bocah itu hidup di sebuah rumah sederhana, bisa dibilang kecil dan
kumuh bersama ibunya serta kedua adiknya. Sebagai seorang yang sulung,
setiap hari ia membantu ibunya ke hutan untuk mencari kayu dan memetik
cabai di ladang. Mencabut singkong dan memetik daunnya untuk dijadikan
urap atau dijadikan sayur lodeh.
Biasanya mereka ke ladang ketika sore hari. Jalan kaki dua kilo
meter. Alan memakai kaos hitam bergambar yang sudah pudar. Celana pendek
berwarna cokelat. Jari kakinya menjepit sepasang sandal. Serampatnya
sudah berganti-ganti. Sedangkan ibunya untuk melindungi kepalanya, ia
memakai topi beranyaman bambu. Di balik topinya terpasang jilbab putih
kusam, dipadu oleh kerut yang belum penyeluruh. Dengan memakai baju
abu-abu lengan panjang. Bekas sobek pada ketiaknya terlihat jelas. Rok
panjang hitam terlihat membelah rumput-rumput di pinggir jalan yang
seperti garis, karena sering diinjak sehingga tidak tumbuh rumput.
Dihias oleh peluh, sebutir-butir kacang hijau. Membawa tas berbahan
karung goni. Terselip parang, tali dan air minum berwadah botol air
mineral.
Terus menyusuri jalan setapak demi setapak. Untuk sampai ke hutan
mereka berdua harus melewati jalan berbukit dan berbatu. Melewati Danau
Sarean yang konon menurut cerita orang-orang, setempat mandi para
bidadari. Tetapi itu hanyalah sebuah mitos, tak perlu dipercaya
sepenuhnya. Tak percaya sedikit pun tidak berdosa. Airnya biru. Membuat
semua orang penasaran akan ke dalaman danau itu. Agak membuat merinding
ketika melihat air danau itu dari permukaan.
Bocah berusia 11 tahun itu terus menoleh ke arah danau itu, meskipun
tetap berjalan beriringan bersama ibunya. “Kau sudah lelah,Nak?” suara
itu terdengar pelan nyaris lirih, menusuk sunyi. “Kalau lelah, kita
istirahat saja di bawah pohon beringin dekat sungai itu,” tawar ibunya.
“Tidak, Bu. Aku hanya penasaran dengan air Danau Sarean yang airnya
biru,” jawab bocah kecil itu. Sesekali melemparkan kerikil ke arah danau
itu, sambil mengira-ngira apa yang ada di dasar danau itu.
“Nak, jangan iseng begitu. Kita tidak boleh saling mengganggu,” tutur ibunya.
“Memangnya siapa yang terganggu, Bu?”
“Dulu kakekmu pernah bilang, jika danau adalah tempat tinggalnya para
bangsa jin. Jadi ibu minta, jangan iseng atau terhadap apa pun yang ada
di lingkungan sekitar kita. Siapa tahu ada yang terganggu,” lanjut
ibunya.
Dalam diamnya, Alan menjelajah dengan imajinasinya yang tak
terjangkau oleh logika. Ia terus menggali pikirannya untuk memecahkan
misteri danau itu. Jika ia memandangi air danau itu, ia membayangkan
bahwa di dasar danau itu terdapat istana para jin sama dengan apa yang
sudah ditonton di televisi di rumah tetangganya.
Akhirnya mereka sampai di hutan setelah menempuh perjalanan dengan
jalan kaki. Ibunya mencari ranting-ranting kering. Kalau pun ada jamur
yang tumbuh, ia akan mengambilnya untuk dibawa pulang atau apa pun yang
bisa untuk digunakan untuk memperpanjang hidup.
Sedangkan Alan, mengambil daun singkong untuk dijadikan sayur. Ia
berjalan ke utara untuk mencari daun singkong sementara ibunya masih di
tempat semula, mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dijual atau
untuk digunakan sendiri.
Alan telaten memetik daun singkong yang masih muda. Ia memilah-milah
daun yang akan dipetik. Tiba-tiba ada suara jeritan. Memekik. Suara itu
datang lagi dengan jeritan memanggil namanya. Ia bergegas kembali ke
arah ibunya. Lari. Sendalnya putus. Terinjak duri, berlari
terpincang-pincang. Ibunya sudah pucat dan membiru. Napasnya sesak. Ada
bekas patokan ular di mata kakinya. Bocah itu tidak tahu apa yang harus
ia lakukan kecuali berteriak meminta tolong, tetapi mungkin jarang ada
orang di hutan. Ia terus berteriak sampai seorang menolongnya. Sampai
akhirnya ibunya dibawa pulang tetapi sesampainya di rumah, ibunya telah
tewas.
Kedua adiknya ikut bersama pamannya di Bojonegoro, sementara Alan
ikut bekerja di pabrik tempe di kampung seberang. Ia menjadi dewasa
sebelum waktunya. Ia selalu ikut di setiap kali para orang-orang dewasa
berkumpul. Ngopi, bermain kartu, mendem. Adapun yang mereka
bahas setiap kali berkumpul tentang pengalaman hidup atau wanita. Ia
sering berbicara jorok yang tidak lazim diucapkan seorang bocah.
Setiap malam menjelang, ia selalu akan duduk di ruang terbuka,
menatap bulan. Bulan pun seolah-olah mengayun mendekat, kemudian ia
seperti ditarik oleh kekuatan yang mengajaknya melayang naik ke bulan.
Ia pun bermandikan cahaya. Setiap ia melihat bulan, ia merasa dilihat
oleh ibunya. Ia pun meyakini, jika ibunya berada di bulan. (*)
Cerpen Mashdar Zainal (Lampung Post, 11 Februari 2018) Ibu Pergi Memancing ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
PEREMPUAN tak pergi memancing. Mereka pergi ke pasar, berkerumun di
arisan, dan kadang merumpi dengan para tetangga. Tapi ibuku tidak. Ibuku
pergi ke kali. Menggendong adikku yang hampir dua tahun. Membawa
tongkat pancing yang dibuatnya sendiri.
Sebelum sampai ke kali, ibu mampir ke sawah terlebih dahulu untuk
mencari cacing-cacing kecil bakal umpan. Cacing-cacing itu ia kumpulkan
dengan segumpal lumpur, lalu ia buntal sedikit renggang dengan selembar
daun talas. Aku pergi ke sekolah, dan ibu pergi memancing.
Pada hari pertama ibuku pergi memancing, kawan-kawanku mengobral omong tak henti-henti. Membuat telingaku panas.
“Kulihat ibumu pergi ke kali membawa pancing,” kata yang satu.
“Perempuan kok pergi memancing, sudah besar pula. Aneh!” kata yang lain.
Lalu mereka tertawa bersama-sama. Mereka menertawakan ibuku. Kata
mereka, ibuku kurang kerjaan, seperti anak kecil. Beberapa kawan yang
lain bilang, ibuku seperti lelaki. Begitulah, kata mereka, perempuan
memang tak pergi memancing, apalagi kalau ia ibu-ibu.
Pada hari pertama ibu pergi memancing itu, aku pulang sekolah dengan
dada dongkol. Ingin rasanya kutumpahkan kedongkolan itu ke muka ibu,
sesegera mungkin. Sampai di rumah, ibu menyuruhku berganti pakaian, lalu
makan. Tapi aku tak menghiraukan, aku segera melabrak ibu, sambil
berseru, “Ibu jangan pernah pergi memancing lagi. Jangan pernah.”
Ibu membalas seruanku dengan tatapan bingung, lalu geleng-geleng,
kembali menyuruhku berganti baju, lalu makan. Tapi aku tidak menggubris.
Aku langsung beringsut ke arah meja. Di atas meja makan tanpa kursi
itu, sebakul kecil nasi terhidang, ditemani beberapa ekor ikan badar
goreng, daun singkong yang direbus, serta sambal kemangi. Aku makan
dengan lahap. Setelah makan, ibu menatapku dan berkata, “Ikan yang kau
makan itu hasil dari ibu pergi memancing.”
Ibu berkata soal memancing, dan itu kembali mengingatkanku pada ejekan teman-teman. Dongkol di dadaku kembali.
“Tapi perempuan tak boleh memancing, apalagi ibu sudah besar,” tukasku.
“Seandainya ayahmu bisa pergi memancing, ibu tak akan pergi
memancing. Kalau kau mau tahu, sejujurnya ibu lebih suka memasak dan
membersihkan rumah sambil momong adikmu.”
Aku tak menjawab. Tentu saja ayah tak bisa pergi memancing. Sebab
ayah sudah dikuburkan dua tahun silam, ketika usiaku masih delapan
tahun. Kaki ayah terlindas mesin pembajak sawah, lalu bengkak, tak
sembuh-sembuh, tak bisa jalan berbulan-bulan, badannya sering
panas-dingin, hingga akhirnya sakit parah dan meninggal. Sejak itu, ibu
bekerja keras seorang diri, kadang bantu-bantu cuci dan setrika di rumah
Bu Haji. Kadang membantu Mak Siti memanen kangkung dan bayam,
mengikatnya sampai bertumpuk-tumpuk lalu membawanya ke pasar dengan naik
becak.
Waktu itu adikku masih dalam perut. Hingga adikku lahir, dan ibu
tidak bekerja apa pun. Setelah adikku berumur beberapa bulan ibu kembali
ke rumah Bu Haji, tapi Bu Haji sudah punya orang baru buat bantu-bantu.
Tenaga ibu tak diperlukan lagi. Satu-satunya pekerjaan ibu adalah
membantu Mak Siti berjualan sayur. Bila musim sedang baik, sayur-sayur
itu pun akan tumbuh degan baik, bisa dipanen banyak-banyak, dan ibu juga
bisa mendapatkan upah yang cukup. Namun, kata ibu, musim suka datang
tak menentu. Hujan kerap turun di musim kemarau. Ladang Mak Siti yang di
seberang sungai kerap terendam banjir, dan sayur-mayur tak bisa
dipanen. Dan sebab itulah, ibu pergi memancing. Kata ibu, ketika sungai
surut selepas banjir, ikan-ikan baru diantar Tuhan dari hulu.
“Tapi agak aneh ibu-ibu pergi memancing,” aku bersikeras, mempertahankan pendapat teman-temanku.
“Lebih aneh lagi, kalau seorang ibu tidak bisa memberi makan
anak-anaknya,” balas ibu. Lantas ibu mengomeliku panjang-panjang. Kata
ibu, di rumah cuma ada beras, itu pun tak sampai satu timba (ibu selalu
menyimpan beras dalam timba). Dan semoga, beras itu cukup untuk makan
sampai beras baru datang diupayakan ibu dan dikirim Tuhan.
Pundi ibu melompong, receh pun tak ada, yang artinya tak ada pula
duit buat membeli tahu tempe, atau sekadar kerupuk. Ibu tak mau mengemis
ke para tetangga. Apa-apa yang dimakan anak-anaknya, menjadi darah dan
daging anak-anaknya, harus sesuatu yang bersih dan murni dari keringat
ibu sendiri.
Ibu bisa memetik daun singkong di pekarangan belakang, menyayur
pepaya muda, atau membuat botok kembang pisang. Tapi ibu juga mau
sekali-kali anak-anaknya makan makanan amis yang jelas gizinya dan
menyenangkan di lidah.
“Sambil meramban daun singkong di belakang rumah, ibu melamun, ibu
melihat kali di kejauhan, dan ibu baru sadar, Tuhan menyuruh ibu pergi
ke kali untuk mencari lauk yang pantas buat kalian.”
Hari itu, ibu menggeledah sisa-sisa senar kail milikku—yang pernah
kupakai memancing. Jelang petang, sambil menggendong adik, ibu menyisik
buluh dan membuat gagang pancing. Pagi harinya, ketika aku hendak pergi
ke sekolah, ibu telah siap pergi ke kali. Ibu pergi memancing.
Mendengar penjelasan ibu, kedongkolan di dadaku mereda. Apa yang
salah dengan ibu memancing? Aku memakan lahap ikan hasil tangkapan ibu,
dan aku menyuruh ibuku berhenti memancing, kupikir itu kurang adil. Kata
ibu, Tuhan menyuruh ibu pergi ke kali, mencari lauk-pauk yang pantas
untuk anak-anaknya. Tuhan saja tak melarang ibu pergi memancing. Mengapa
aku melarangnya.
Kini, setelah puluhan tahun berlalu, aku melihat seorang perempuan,
paruh baya, menggendong bayi di punggungnya. Duduk di tepi kali. Menatap
senar kail yang tak bergeming. Aku tahu kisahnya. Perempuan itu ibuku.
Puluhan tahun lalu.
Oleh Alby Syafie (Lampung Post, 11 Februari 2018) Kue-kue Emak ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
PERNAHKAH kalian membayangkan makan kue setiap hari? Kue dengan
berbagai macam rasa. Pasti sungguh enak dan nikmat makan kue-kue itu.
Tapi tidak dengan Nia. Nia hanya bisa melihat dan membayangkan.
Membayangkan makan kue-kue setiap saat. Apalagi Nia hanya tahu namanya.
Tapi tidak tahu bagaimana rasanya. Ada kue yang bentuknya bulat kulit
seperti dikerubuti semut. Kata Emak itu namanya onde-onde.
Lalu ada yang bentuknya seperti ban sepeda. Bulat tapi lubang tengah
dengan taburan gula-gula atau cokelat dan keju. Namanya donat. Ada kue
yang warna-warni seperti pelangi yang menurut Emak itu namanya kue
lapis. Ada bolu keju, pisang molen dan berbagai macam kue lainnya. Hanya
sesekali Nia bisa makan kue. Itu pun hanya pisang goreng sisa jualan
Emak.
Nia hanya bisa menelan air liurnya jika ingin mencicipi kue-kue
tersebut. Karena makan artinya dia harus bayar. Karena itu bukan kue
jualan Emak Nia sendiri. Melainkan milik Bu Haji dan Emak hanya
mengambil upah sedikit dari hasil jualan tersebut.
Tiap pagi Emak selalu pergi ke rumah Bu Haji untuk mengambil kue-kue.
Setelah itu Emak akan keliling kompleks atau bahkan ke sekolah-sekolah.
Jika libur sekolah, Nia membantu ikut jualan kue. Nia membantu Emak
berjualan kue di lapangan. Karena kalau hari libur, di lapangan banyak
anak-anak bermain. Jadi semua dagangan Emak akan cepat habis. Pernah Nia
menanyakan pada Emak, kenapa tidak buat kue sendiri dan menjualnya.
“Dari mana kita dapat uang buat beli bahan. Lagi pula Emak tidak tahu cara buatnya,” ujar Emak saat itu.
“Emak bisa minta resepnya sama Bu Haji,” usul Nia kala itu.
“Tentu saja tidak, Nia. Tidak enak sama Bu Haji. Apalagi Bu Haji sudah baik sama Emak.”
“Tapi Nia kasihan sama Emak. Tiap hari jualan kue, tapi upahnya
sedikit. Padahal semua kue-kue itu selalu habis terjual,” kata Nia
ngotot.
Emak hanya tersenyum dan mengacak poninya.
“Emak, bahan-bahan untuk membuat kue itu biasanya terbuat dari apa, sih?” tanya Nia.
“Dari tepung, mentega, telur, dan banyak lagi bahan-bahan lainnya,” ujar Emak.
Keesokan harinya Nia ke rumah Bu Haji. Nia bilang pada Bu Haji ingin
membantunya bikin kue sekaligus ingin belajar. Tapi Bu Haji malah
menyuruhnya ke toko. Nia diminta untuk beli bahan-bahan kue. Berbekal
catatan yang Bu Haji berikan, dengan cakatan Nia ke toko. Membeli semua
bahan kue sesuai dengan pesanan Bu Haji.
Ada telur, tepung, gula, mentega, cokelat, vanili, dan beberapa bahan
lainnya. Setelah semua selesai, Nia menyerahkan hasil belanjaan pada Bu
Haji. Bu Haji memberi Nia duit sepuluh ribu sebagai imbalan. Tapi Nia
tidak diperbolehkan membantu memasak dan bikin kue. Katanya sudah ada
bagian yang masak. Gagal sudah rencana Nia untuk belajar bagaimana
caranya membuat kue.
Saat menuju pulang, Nia bertemu dengan Tita teman sekolahnya. Nia melihat Tita habis membeli tepung dan telur.
“Kamu mau buat kue, ya?” tanya Nia melihat barang belanjaan Tita.
“Iya. Ibu mau buat pisang goreng.”
“Wah, pasti pisang gorengnya enak. Boleh ikut? Nia ingin tahu bagaimana caranya buat pisang goreng,” pinta Nia.
Tita mengangguk. Nia ikut bersama Tita ke rumahnya. Sampai di rumah,
Tita menjelaskan pada ibu tentang keinginan Nia. Ibu Tita memperbolehkan
Nia ikut membantu bersama Tita. Saat ibu Tita mencampur adonan untuk
bahan pisang goreng, Nia melihatnya. Ternyata sangat gampang. Tepung,
telur, gula, dan sedikit garam. Setelah itu baru pisang dimasukkan
kemudian di goreng. Nia jadi semangat membantunya.
Saat ibu Tita menyuruhnya mencicipi pisang goreng, rasanya enak
sekali. Rasanya tidak sama seperti jualan Emak milik Bu Haji. Pisang
goreng buatan ibu Tita lebih gurih.
“Tante, kalau uang sepuluh ribu, bisa tidak beli bahan-bahan buat pisang goreng,” celetuk Nia tiba-tiba.
“Pasti bisa, Nia. Apa Nia mau buat pisang goreng juga?” tebak ibu
Tita yang membuat Nia tersipu malu. “Ini ada sisa pisang dan tepung,
bisa Nia bawa pulang. Nanti coba masak di rumah,” lanjut ibu Tita lagi.
Dengan perasaan senang, Nia pulang membawa pemberian ibu Tita. Nia
akan buat pisang goreng buat Emak. Setelah itu, Nia akan minta Emak buat
pisang goreng sendiri. Kemudian menjualnya. Nia yakin, pisang goreng
buatan Emak pasti akan laris. Apalagi resepnya Nia dapatkan dari ibu
Tita yang tadi sempat Nia cicipi.
Oleh Elisa DS (Lampung Post, 18 Februari 2018) Raksasa Way Kambas ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Liburan akhir pekan ini, Lisa mengunjungi Paman Raka, adik ibunya
yang berdomisili di Bandar Lampung. Meskipun perjalanan yang ditempuh
dari Kota Liwa lumayan jauh, Lisa sangat menikmatinya karena ia bisa
mencuci mata dengan melihat rimbunnya hutan dan jalanan yang
berkelok-kelok.
Lisa menarik napas lega saat mobilnya berbelok ke sebuah halaman yang
luas. Ia berdecak kagum melihat koleksi tanaman hias milik Paman Raka.
Bugenvil, mawar, melati, euphorbia, nona makan sirih, dan aneka kaktus
menghiasi taman yang berada di samping kolam ikan koi. Gemericik air
mancur yang keluar dari bambu-bambu kecil membuat rumah paman yang asri
bertambah indah.
Saat Paman Raka dan ibu berbincang-bincang melepas rindu di ruang
tamu, Lisa duduk di teras sambil memandangi kecipak ikan koi di kolam.
Angin sepoi-sepoi membelai pipinya. Beberapa kali kantuk datang
menyerang, akhirnya ia pun bangkit dan mengambil buku cerita dari dalam
tas, lalu membacanya sambil selonjoran di depan televisi.
Hampir tiga puluh menit Lisa tenggelam dengan bacaannya, hingga tak menyadari Paman Raka sudah duduk di sampingnya.
“Wah, Lisa suka membaca, ya?” tanya Paman Raka.
Lisa mengangguk sambil tersenyum.
“Sepertinya buku dongeng.” Paman mengamati buku yang dipegang Lisa.
“Iya, Paman. Ini dongeng tentang raksasa jahat yang ingin memangsa manusia bernama Timun Mas.”
“Raksasa sering digambarkan sebagai sosok jahat dalam dongeng, beda
dengan raksasa teman paman. Dia baik sekali dan suka membantu manusia.”
“Ah, yang benar, Paman?” Lisa mendelik. “Raksasa kan cuma ada dalam dongeng.”
“Kata siapa raksasa cuma ada dalam dongeng?” Paman balik bertanya.
“Di dunia nyata zaman sekarang pun masih ada raksasa. Salah satunya
adalah teman paman.”
Lisa melongo keheranan.
“Kalau tak percaya, besok ikut ke tempat kerja paman. Nanti Lisa bisa
berkenalan dengan raksasa Way Kambas.” Paman Raka mengedipkan matanya.
Lisa terlihat antusias. Ia pun memberondong pamannya dengan
pertanyaan seputar raksasa tersebut, tetapi beliau tak mau menjawab. Ibu
tertawa melihatnya.
Keesokan paginya, Paman Raka, ibu, dan Lisa menaiki Jeep menuju
Labuhan Ratu. Kurang lebih tiga jam berikutnya, mobil memasuki gerbang
bertuliskan Taman Nasional Way Kambas. Setelah memarkir kendaraan,
mereka pergi ke sebuah tempat yang ramai oleh pengunjung.
“Tunggu di sini, ya. Ada kejutan buat Lisa.” Paman bergegas memasuki sebuah bangunan.
Tak lama kemudian, Paman Raka keluar dengan menunggang gajah. Lisa
tercengang sekaligus senang karena binatang itu mengalungkan bunga ke
lehernya. Ibu pun mengabadikan momen tersebut dengan kamera.
Setelah itu, tiga ekor gajah masuk arena dan melakukan atraksi
memukau, mulai dari duduk berjajar, menari, dan bermain sepak bola. Lisa
terlihat sangat menikmati pertunjukan binatang yang superbesar
tersebut. Berkali-kali ia bertepuk tangan dan melihat dengan pandangan
kagum ke tengah arena.
Selain menikmati atraksi menakjubkan dari salah satu satwa hebat Way
Kambas, para pengunjung juga bisa berkeliling taman nasional dengan
menunggang gajah.
“Paman curang, ah. Katanya raksasa, ternyata gajah.” Lisa mencubit
pinggang paman saat mereka bersafari di atas punggung binatang hebat
itu.
“Gajah kan sama dengan raksasa. Sama-sama bertubuh sangat besar.”
Paman Raka terkekeh. “Gimana, raksasa teman paman ini…dia baik, kan?”
Lisa mengangguk. “Tetapi Lisa pernah lihat berita di televisi, ada
gajah yang mengamuk dan merusak perkampungan. Berarti mereka jahat dong,
Paman?”
“Tidak, Lisa. Justru yang jahat itu manusia yang sudah merusak
habitat gajah. Mereka menebangi pepohonan untuk kepentingannya tanpa
melakukan reboisasi atau penghijauan kembali. Akibatnya, gajah mengamuk
karena tempat berlindung dan sumber makanannya berkurang drastis. Untuk
itulah, Taman Nasional Way Kambas ini didirikan agar gajah-gajah liar
bisa dilatih dan hidup berdamai dengan manusia.”
“Taman Nasional Way Kambas ini khusus untuk gajah saja ya, Paman?”
Paman Raka menggeleng. “Selain gajah, ada penangkaran satwa badak dan
harimau sumatera, mentok rimba, juga buaya sepit. Di bagian pesisir
yang berawa sering ditemukan berbagai jenis burung, contohnya bangau
tongtong, sempi dan biru, kuau raja, dan pependang timur. Beragam
tanaman pun bisa dijumpai di sini, seperti api-api, pidada, nipah, serta
pandan.”
Lisa manggut-manggut. Selain wawasannya bertambah luas, ia sangat
senang karena liburan akhir pekan kali ini bisa berinteraksi langsung
dengan raksasa Way Kambas yang baik dan jinak.
Cerpen Muna Masyari (Koran Tempo, 17-18 Februari 2018) Pesta Kematian ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Janda setengah tua itu telah merencanakan pesta untuk kematiannya
sendiri. Lihatlah! Semur sapi kentang, rendang, daging bumbu rempah,
kuah santan, daging kuah kuning, lodeh nangka muda, sate, telur rebus
digoreng berlumur tepung, memanjakan selera pelayat yang tentunya
sungguh sangat jarang menikmati masakan semacam ini, kecuali ada acara komantan [1] atau orang mati.
Ia, janda setengah tua itu, telah mengumpulkan uang untuk pesta
kematiannya sejak bertahun-tahun lalu. Menyembelih sapi merupakan adat
kematian yang disakralkan di kampungnya. Sembelihan sapi bisa menunaikan
akikah untuk yang baru saja mangkat, menghargai pelayat dengan jamuan
laik, sekaligus petuah nyata bagi yang masih hayat agar sifat pelit
tidak menguasai tabiat.
Di bawah bantal, tempat kepalanya terkulai setelah roh dijemput
malaikat ajal, ditemukan kantong kain kumal berisi sejumlah recehan dan
lembar-lembar uang kucal. Sebagian uang itu sudah ditarik dari edaran
beberapa tahun silam. Setelah dihitung, cukup untuk membeli dua ekor
sapi besar dan kebutuhan dapur lainnya. Ditambah dengan hasil penjualan
sepasang sentar [2]—yang kauhadiahkan pada malam pertama kita—berbungkus plastik bening yang ditemukan di antara tumpukan uang itu.
Tidak ada yang tahu pasti pada jam dan menit ke berapa ia meninggal.
Tubuhnya ditemukan sudah terbujur kaku dan beku di atas lincak—tempat kita sering berbagi kehangatan dalam dingin malam pada musim hujan dan awal-awal kemarau—ketika
istri tetangganya mengantarkan bumbu rempah, kemiri, cabai merah,
kentang, dan minyak goreng, sepulang dari pasar. Padahal kemarin sorenya
ia masih mendatangi rumah tetangganya itu untuk memesan barang
belanjaan tersebut.
“Untuk apa belanja sebanyak ini?” istri tetangganya bertanya heran waktu itu.
“Ada perlu saja,” katanya.
Biasanya, ia hanya memesan tahu dan bawang merah. Kadang setumpuk
teri basah seharga dua ribu rupiah. Tentu terkecuali menjelang Lebaran—dan saat mengenang tanggal dan bulan kematianmu yang tak pernah kulupa.
Saat menyerahkan uang itulah, tanpa sengaja istri tetangganya bersentuhan dengan tangan janda setengah tua itu.
“Tanganmu panas sekali. Bibbik [3] sakit?”
Tidak langsung menjawab. Hanya terbatuk. Patah-patah. Matanya basah memerah. Tampak rekat pada bulu mata.
“Mau dikerokin, Bik?”
“Besok saja, sepulang kau dari pasar,” ujarnya.
Ia pun pamit pulang dengan sesekali terbatuk hingga terbungkuk-bungkuk. Istri tetangganya menatap penuh iba.
Surut ke belakang, seminggu sebelum dijemput malaikat ajal, janda
setengah tua itu meminta tetangganya menjual dua kambing yang dipelihara
sejak suaminya masih ada. Itu pun setelah ayam-ayam di kandang juga
habis terjual.
“Kenapa dijual semua?” tetangganya bertanya sambil menurunkan dua kambing dari tangga kandang.
“Capek mengurusnya,” tersengal batuk sebentar.
Sejak suaminya meninggal, hanya dengan ternak piaraan itulah janda setengah tua itu hidup. Berbagi sepi. Berbagi kasih.
Pada sepasang mata dua kambingnya ia melihat tatapan hangat lelaki
yang telah meninggalkan dirinya pergi. Kenyinyiran mulutnya memberi
kebahagiaan tersendiri, serasa mendengar omelan sang suami—tentu saat
kau mengomel karena secangkir kopi tak segera terhidang, saat sayur
keasinan, saat kehilangan korek sehabis makan hingga harus menyulut
ujung rokok ke mulut tungku. Kau tahu? Saat mengomel wajahmu terlihat
lucu. Lucu sekali!
Pun, keributan anak ayam saat berebut makanan mengingatkan impiannya
pada bocah-bocah yang tak pernah ia lahirkan hingga usia pernikahannya
terpenggal ajal.
Setelah ayam-ayam dijual, janda setengah tua itu seperti seorang ibu
ditinggal anak-putu. Akan tetapi, ia memang tidak mau kematiannya
menjadi kepergian yang piatu. Hasil penjualan ayam ia belanjakan barang
kebutuhan untuk hari kematian nanti. Termasuk dua kambing betina-jantan
yang telah menemani kesendiriannya, akan segera digiring ke pasar dan
kepergian keduanya akan menggenapi kesepian.
Setelah diminumi air dedak, dipakani daun pisang hingga kenyang, si
tetangga menyeret dua kambing gemuk itu ke pasar hewan. Hasil
penjualannya disuruh belikan beras, gula, bawang putih, biji kopi, pada
istrinya, atas permintaan si janda setengah tua.
Hari ini, ia telah sempurna merayakan kepergian dengan pesta kematian
sebagaimana yang direncanakan. Jenazahnya diantar ke pekuburan dengan
ruap aroma kembang seperti keberangkatan mempelai—apakah kau masih ingat aroma pernikahan kita dulu?
Sekembali pengantar jenazah dari pekuburan, tenda-tenda dibangun
menyungkupi seluruh halaman, tempat penyambung tahlil nanti malam—dan
malam-malam berikutnya—yang jumlahnya mencapai ratusan. Seekor sapi
gemuk disembelih. Para ibu sibuk menyiapkan olah masakan yang sungguh
sangat jarang dinikmati oleh si janda setengah tua semasa roh masih
bersemayam di kandung badan. Tentu aku akan merasa bahagia dengan pesta kematian itu….
DUDA tua itu tidak pernah ingin merencanakan pesta
untuk kematian dirinya. Menurutnya, kepergian tidak harus dirayakan
dengan penyembelihan seekor hewan dan membuat olah masakan yang beragam.
Peran pelayat justru sebagai obat bagi keluarga yang ditinggal mangkat—meskipun aku tidak memiliki keluarga, bukan sekadar penikmat makanan lezat.
Ia memang tidak begitu merumitkan hidup—tentu saja berbeda dengan cara berpikirmu yang rumit itu.
Semua dijalani seiring suara hati. Seperti air mengalir, dan tetap
meyakini pemberhentian dalam kubangan yang tubirnya tidak akan bisa
dipanjat; liang lahat.
Sejak ditinggal istri, hidup bersendiri membuat hari-harinya lebih
banyak dihabiskan di pasar hewan dan warung yang menyediakan kopi,
gorengan, serta sundal murahan–istilah yang kaugunakan untuk rokok lintingan noncukai, dengan rasa cemburu.
Duda tua itu ditemukan mati pada pagi hari, di serambi warung kopi.
Puntung rokok berserakan di lantai, di antara dahak berdarah yang mulai
dikerubung lalat. Orang-orang meyakini sangkaan sendiri; ia mati dengan
penyakit paru parah yang tak pernah mencoba mengobati.
Semalam ia memang tidak beranjak pulang hingga semua pengunjung
bubar. Batuknya senyinyir kambing lapar. Meskipun begitu, jemari
tangannya tetap menjepit sebatang sundal murahan dan kepulan asap kian
membuat napasnya sengal—ketika batuk separah itu biasanya kau segera
mengambilkan air minum sambil berceramah panjang-lebar, menyuruhku
berhenti merokok!
“Warung ini akan ditutup, apa kau tidak akan pulang?” perempuan pemilik warung bertanya dengan mata sipit terserang kantuk.
“Aku akan duduk-duduk di luar. Kau tutup saja!”
Ia pun beranjak meninggalkan bangku panjang dan cangkir kopinya yang
tinggal ampas. Memungut korek di atas meja. Duduk di lincak serambi.
Sendiri.
Semakin larut, dingin malam kian rapat meringkus badan. Pelepah nyiur
di tepi jalan diam tak berkutik. Dadanya terasa sesak seperti ruang
sempit dipenuhi gemulung asap. Batuknya tersendat. Suara-suara lesap.
Tiba-tiba ia merasa malam begitu sepi. Begitu sunyi. Sunyi yang
mengepungnya dengan angkuh. Ia menjadi begitu rapuh. Luluh. Rubuh.
Ingatannya melayang. Jauh ke masa silam. Aku teringat hari
pernikahan kita. Tentang sampirmu yang sobek pada malam pertama. Denyit
lincak yang terdengar lebih nyaring di sunyi malam dan sering
menerbitkan kecemasan di matamu; malu di dengar mertua. Teringat aroma
rambutmu yang basah di pagi hari dan membuatmu malu keluar kamar untuk
segera membuatkan secangkir kopi.
Entah pada jam dan menit ke berapa hidupnya yang seperti air itu
berhenti mengalir. Terjebak dalam kubangan curam tanpa dasar. Asing, tak
bertuan. Berpusar-pusar.
Pemilik warung menemukan tubuhnya sudah beku dan kaku. Bergelung
badan dalam sarung. Perempuan pemilik warung itu berteriak panik.
Tetangga berdatangan dan memeriksa tubuh dingin berbau apak. Bau asap
rokok, keringat, bau kambing, amis dahak, bersekutu menyengat. Mengaduk
isi perut. Daki menempel tebal di ujung lengan dan kerah baju.
Jasad duda tua itu digotong ke rumahnya yang lebih mirip penyimpanan
barang tak laik pakai. Baju-baju dan sarung bergelantungan di paku
dinding. Sebagian lagi berserak di tempat tidur. Sarung bantal terlempar
ke sudut lincak tanpa kasur. Kapuk keluar dari balik lubang guling yang
bolong dimakan tikus. Plastik bungkus rokok dan puntung berserakan di
lantai. Jaring laba-laba dan wang-sawang bergelayut di atap.
Tidak ada uang di bawah bantal. Tidak ada bahan-bahan masakan di
dapur. Tidak ada sapi untuk disembelih sebagaimana adat kematian yang
disakralkan. Hanya ada seekor kambing kurus di kandang dan lima anak
ayam yang baru disapih. Itu pun harus dijual untuk membeli kain kafan
dan melunasi utang tiga cangkir kopi, gorengan, dan sundal murahan di
warung langganan.
Jasad duda tua itu dimandikan, dikafankan, lalu diusung ke pekuburan
dengan ritual paling sederhana, seperti bocah piatu tanpa sanak
keluarga. Tidak ada makanan lezat untuk merayakan kepergian. Tidak ada
pesta kematian. Kematian piatu seperti itu apakah akan membuatku ingin menjadi pengantin kembali? Entahlah! Sepasang suami-istri duduk di serambi, pada senja hari. Saling
berbagi tentang bayang-bayang kematiannya sendiri di hari tua nanti.
Madura, Januari 2018
Catatan:
[1] pernikahan
[2] giwang
[3] Bibi
Muna Masyari, bermukim di Pamekasan, Madura. Cerpen-cerpennya dimuat di sejumlah media. Penulis Cerpen Pilihan Annida 2011.
Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 Februari 2018) Ziarah Kepayang ilustrasi K Nawasanga/Kompas
Lima puluh tahun…! Rentang waktu sepanjang itu tak membawa perubahan
di sini. Jembatan yang terbuat dari kayu besi, masih tegak seperti yang
kukenal setengah abad lalu. Hitam legam. Penduduk yang akan membawa
hasil bumi ke kota, sejauh tujuh kilo, di muara sungai, tetap harus
mengalah. Menunggu air sungai surut supaya sampan yang sarat bisa
melintas di kolong jembatan.
Jalan diapit sungai kecil, yang kami sebut bendar, tetap seperti
ketika kulewati dulu. Jalan di mana orang-orang Tionghoa dari kota
datang di musim berburu, dan pulang memanggul babi hutan yang masih
berlumuran darah, hasil buruan yang ditinggalkan begitu saja oleh orang
kampung yang mengharamkannya. Juga uangnya! Di jalan ini aku pernah
terjerembab ditindih gerimis, mencium tanah, dalam perjalanan
berkilo-kilo bersama Abang menuju pasar malam. Bau tanah liat di tapak
kakiku masih seperti lima puluh tahun lalu.
Aku menyeberangi titian. Berhenti, merenung di depan gundukan tanah.
Kata Emak, seminggu setelah aku lahir, pesawat tempur Jepang
meraung-raung di langit. Untuk menyelamatkan diri, aku dia bopong dan
sehari-semalam kami bersembunyi di rimbun pohon nibung di situ. Kini,
pohon yang batangnya berduri itu sudah tiada.
Rumah di mana aku dilahirkan tak berbekas. Kuingat, dulu, di belakang
rumah membentang lahan tempat ayah menjemur kopra. Dipagari
batang-batang kayu untuk menghambat babi. Yang masuk melalui celah pagar
itu malam hari, paginya ditemukan panik, tak bisa menyelusup keluar
karena perut mereka buncit kekenyangan. Ayah dan Abang menemukan ladang
perburuan yang mudah di situ. Mereka masuk bersenjatakan pentungan.
Terdengarlah jerit kematian meringkik-ringkik menjemput datangnya pagi,
bersipongang sampai jauh ke dalam hutan.
Beberapa ratus depa dari tanah di mana aku dilahirkan, yang menjadi
tujuan ziarah ini, adalah rumah Atok yang ikut membesarkanku. Di sini
pun tak ada yang tersisa. Juga tiga pohon durian yang mengelilingi rumah
itu, dulu. Kecuali satu. Kolam tempat kami berkecipak-kecipung. Lama
aku berdiri di tubirnya. Memungut dahan kering dan menyodokkannya
berkeliling ke dasar kolam. Siapa tahu di situ aku akan menemukan sebuah
beduk, yang juga terbuat dari kayu besi. Namun, ujung dahan tak
menemukan artefak yang menjadi tanda yang tak bisa dilepaskan dari
denyut kehidupan di hamparan kampung yang bernama Sungai Kepayang, di
pesisir Sumatera Timur ini.
Aku tertanya-tanya bagaimana sepenggal kayu besi, keras seperti
namanya itu, bisa dibolongi pinggangnya. Kalau dipukul suaranya yang
bulat menggetarkan dan menggema jauh melampaui batas kampung. Aku juga
tak tahu bagaimana beduk seberat itu digotong Atok menaiki anak tangga
rumah panggungnya. Yang kuingat benar, beduk itulah yang jadi pusat
peradaban kampung kami. Orang sekampung tidak lagi menduga-duga waktu
dengan melihat jatuhnya bayangan pohon di tanah. Detak waktu berada di
perut beduk itu. Atok memukulkan belantan kayu ke pinggang beduk sebagai
penanda waktu. Jam-demi-jam. Tak kenal alpa! Mula-mula belantan
dihantamkannya dengan cepat, tergesa-gesa, beruntun. Senyap beberapa
detik. Lantas disusul dengan pukulan keras dalam jumlah ketukan sesuai
dengan waktu yang mau dia kabarkan. Pedomannya ada pada jam swiss
berbentuk bulat, berantai, yang terselip di saku ikat-pinggangnya.
Jarumnya cuma satu, mengelilingi dua belas angka romawi.
Beduk itu tidak hanya menunjukkan waktu. Dia pengingat spiritual akan
kebesaran Sang Pencipta. Lima kali sehari-semalam. Kalau sudah tiba
saatnya, Atok menyentakkan ingatan dan iman penduduk dengan rentetan
ketukan yang cepat. Hening sesaat. Dengan gemulai dia letakkan kedua
tapak tangannya ke kuping. Menarik nafas dalam-dalam dan menyerukan asma
Allah, mengingatkan seisi alam.
Atok bukanlah penganjur agama. Cuma pengembara. Dari Siabu di pesisir
barat Sumatera Utara dia berjalan kaki berminggu-minggu menuju Tanah
Deli di pesisir timur. Menyeberangi belantara tak bertepi. Penjelajahan
itu dia putuskan setelah mendengar kabar-angin bahwa Belanda sedang
membangun jalur kereta api menghubungkan Medan dengan kota-kota di
sekitarnya. Dia ingin mengadu peruntungan, menjual tenaga sebagai
pencari kayu bantalan.
Ketika berangkat, dia berbekal sebenggol-dua-benggol uang Belanda.
Tetapi, modal utamanya, yang tak terlihat, tersimpan di dalam
ingatannya: sejumlah doa, sejumlah jampi. Dia punya jampi untuk
meluluhkan hati harimau. Juga meredakan amukan hujan dan badai. Kalau
malam turun, dan tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan, dia
menghampiri rumah penduduk. Tak jauh dari kolong rumah, yang kami
sebutkan tungkarang, dia mencabut selembar lalang. Melilitkannya di
kelingking dan meniupkan jampi. Di dalam rumah, salah seorang penghuni
kelabakan, lantaran perut sontak kejang-kejang. Dalam kebingungan, yang
punya rumah turun mencari pertolongan. Nah, Atok menemukan pintu
kesempatan.
“Mungkin saya bisa membantu. Boleh kutengok dulu?” begitu dia
menawarkan jasa. Dia diundang naik ke rumah. Bersimpuh di samping si
sakit, dia meminta disediakan segelas air putih. Merapal doa dan
berkusip-kusip membacakan jampi. Diam-diam dia lepaskan ikatan lalang di
kelingking. Si sakit dipersilakannya menghabiskan air segelas tadi.
Orang itu pun pulih. Atok menolak imbalan, tetapi tidak menampik tawaran
untuk tidur menunggu pagi di rumah itu. Begitulah dia menemukan
penginapan.
Dari beberapa “ilmu” yang ingin dia wariskan kepada kami, sihir untuk
membuat sakit dan menyembuhkannya lagi, diam-diam telah memicu hubungan
tak nyaman di antara kami cucunya dengan Atok.
“Itu musyrik. Kejahatan,” kami memprotes.
Dia cuma nyengir. Pembangkangan, walau di dalam hati, membuat “ilmu”
yang sudah kami terima akan luntur. Sakit hati kami mengingat berapa
banyak yang jadi korban jampi-jampinya itu. Dan kami tak merasa
kehilangan untuk menyerahkan kembali palias (merelakan), “ilmu” berserah
diri terhadap serangan lawan, termasuk binatang buas. Sebrutal apa pun
serangan akan lewat seperti angin.
Atok tetaplah sebuah pesona. Masih terang dalam ingatanku bagaimana
kemampuannya berkomunikasi dengan harimau. Suatu malam aku dan Abang
menginap di rumahnya. Gerimis sejak sore. Di luar, beberapa pohon durian
menggoda dengan buah yang sudah matang, berat menggantung di dahan. Aku
berharap sangat supaya angin menderas dan merontokkan durian yang sudah
matang itu. Tambah larut malam, yang datang malah aum harimau. Suara
alam yang tidak asing di kampung kami.
“Cobalah kau teriakkan ‘Morjuuuut …!’” katanya.
Aku berteriak sekuatnya: “Morjuuuut …!” Berdentam dadaku. Harimau
tadi menyahut dengan aum yang lebih keras. Aku ketakutan, gemetaran,
erat berpegangan pada tangan Abang. Tiang rumah terasa bergetar. Atok
terkekeh-kekeh melihatku mengkret. “Sini,” bujuknya. “Ah .., jangan
takut kau. Mengaum tak berarti marah.”
Dentum beduk dan azan subuh yang dikumandangkan Atok membangunkan
kami berdua. Selesai shalat, kami bersiap-siap menuruni tangga.
“Eeee … Hendak kemana kalian? Memungut durian? Tunggu matahari
terbit,” Atok menasihati. Dia bilang, berilah kesempatan Si Morjut makan
lebih dulu. “Kecuali kalian berani mendekati dia sedang mengkubak
durian,” katanya terkekeh.
Begitu pagi benderang, aku dan Abang menuruni tangga menuju pohon
durian tak jauh dari kolam. Benar saja, di tanah yang lembab, di bawah
pohon durian, berleret jejak kaki harimau. Juga kulit durian dengan
bilik di mana dagingnya yang tergolek seperti tikus, licin bersih
dijilatinya, melampaui kerapian manusia kalau makan.
Meskipun aku dan Abang berberat hati dengan ilmu hitam Atok, namun
tak bisa disembunyikan kami bangga karenanya. Suatu masa, harimau
mengganas di wilayah perkebunan karet, jauh dari kampung kami. Sejumlah
penderes jadi mangsa. Diterkam harimau sebelum matahari terbit. Mereka
menderes di pagi buta, karena saat itulah getah karet sedang
deras-derasnya. Penduduk gelisah. Polisi cuma banyak cakap. Atok
dipanggil. Kami tak tahu apa yang dia lakukan. Yang jelas setelah amukan
harimau itu surut, beberapa kali polisi mendatangi Atok. Membujuknya
supaya menerima beberapa stel kain pelekat dan teluk-belanga. Tapi Atok
menampik.
Ilmunya itu membuat hidupnya tanpa pamrih. Begitulah, setelah
beberapa lama membanting-tulang dalam pembuatan bantalan rel kereta-api
di Deli, dulu, dengan uang yang dia tabung, Atok mengelana mencari lahan
di mana dia akan menetap. Selain sebagai pengingat waktu dan saatnya
shalat, dia juga memperkaya penduduk kampung dengan cara hidup yang
baru. Selama ini, kalau memetik kelapa, mereka menggunakan bambu yang
disambung-sambung sampai dua-tiga batang. Pengambil upahan, yaitu mereka
yang bekerja berbagi hasil dengan yang empunya kebun, didesak keinginan
untuk memetik lebih banyak, terkadang masih bekerja ketika matahari
sudah di sumbu langit. Karena silau, kelapa yang jatuh jadi tak
terlihat. Tak jarang menghantam kepala dan wajah mereka, mengakibatkan
cedera parah.
Atok memperkenalkan budaya baru. Dia melatih beruk. Dengan seutas
tali yang terhubungkan dengan pinggang hewan itu, Atok memberikan
kendali dari bawah. Jika beruk itu sembarangan menjatuhkan kelapa muda,
Atok akan menghardik, “Ah, janganlah begitu kau jang. Yang tua, yang tua
…!” katanya. Dan, dengan beruntun seperti tak tertahankan jatuh
bergedebamlah kelapa yang memang sudah waktunya dipetik. Sesilau
bagaimana pun matahari tak ada halangan bagi penduduk untuk memanen
kelapa.
Suatu ketika beruk itu betingkah. Gempar sekampung. Belantan pemukul
beduk Atok dia larikan ke pucuk pohon durian. Ada yang memanjat pohon
itu dan menghalaunya supaya turun. Beruk itu malah melompat ke pohon
kelapa dengan belantan mendekap di dadanya. Sehari-semalam kampung tanpa
penanda waktu. Ada azan, tapi tanpa beduk. Atok bilang beruk itu
tersinggung karena pisang yang diumpankan kepadanya bukan pisang batu.
Dia rupanya kehilangan keasyikan memilih biji pisang sebelum
menyantapnya.
Hubungan Atok dengan penduduk sangat erat. Dan rasa hormat mereka
kepadanya sedikit pun tak terganggu oleh perbedaan di kotak suara ketika
pemilihan umum pertama berlangsung di republik ini. Cuma ada satu suara
untuk gambar bulan-bintang. Dan itu pilihan Atok. Tak heran, pada masa
kampanye, dia membujukku menempelkan poster partai rumahnya.
“Begitu banyak gambar, kenapa Atok memilih yang ini …?” desakku.
Seraya tertawa dia jawab: “Bulan dan bintang itu barang di langit.
Yang lain buatan manusia. Palu-arit bikinan orang. Kerbau takkan bisa
hidup hanya dengan kepala.”
Alkisah, hanyut oleh angan-angan, aku meninggalkan kedua orangtuaku
di kota kabupaten awal 1960-an. Aku berkunjung ke kota itu 15 tahun
kemudian untuk memastikan kepada Emak-Ayah, Atok-Nenek, dan
sanak-saudara bahwa aku sehat walafiat setelah pengejaran berdarah
terhadap ratusan ribu manusia menjelang akhir 1965.
Aku berhanyut-hanyut dalam sampan menemui Atok di hulu sungai. Usia
menerbangkan semua giginya. Karena hanya akan mencederai kesyahduan,
Atok memutuskan tidak mengumandangkan azan lagi. Beduk masih menggantung
di ujung tangga, tetapi dibiarkan menganggur.
“Berapa cicit yang kau kasi aku?” tanyanya memelukku berlama-lama. Dia terkekeh ketika kuceritakan keadaan anak-istriku.
“Atok,” ucapku lembut. Dan kukeluh-kesahkan kepadanya, bahwa ketika
terjadi pengejaran besar-besaran terhadap orang-orang komunis dan kiri
lainnya akhir 1965, Kakak dan Abangku begitu khawatirnya, sehingga
mereka membawa buku-bukuku ke seberang sungai. Dan menanamnya di kampung
Cabang Kiri. Padahal, tak ada palu-arit di buku itu. Yang ada “Matinya
Seorang Petani”, kumpulan puisi Agam Wispi. “Terowongan”, buku kecil
berisi satu cerita pendek Gorki yang diterjemahkan begitu bagusnya oleh
Iramani. Ada cerita pendek Guy de Maupassant, “Kalung”, yang kugunting
dari majalah. Termasuk pula “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” Hamka.
“Kakak, Abang tak mau menunjukkan di mana buku itu mereka tanam.”
“Sudah dikubur bertahun-tahun, kertasnya sudah lumat. Untuk apa kau
lagi itu? Bukankah buku itu sudah ikut mendewasakanmu. Kau diantarkannya
ke banyak benua dan daratan. Konstantinopel kau singgahi. Patung di
Praha kau raba. Menara kembar Amerika kau panjat. Tapi, Noor, ada yang
kau lupa. Lain kali, singgahlah ke Mekah. Tunaikan ibadah haji, satu
dari rukun iman lima perkara yang tak kesampaian bagiku. Manakala kau
tawaf, nanti, meskipun hitam, belailah hajarul aswad. Cium, bisikkanlah
nama Atok sebanyak angka yang ditunjukkan jam di tanganmu. Panggillah
namaku baik-baik: Abdul Hakim. Bukan Lebai Salawat, julukan yang
diberikan orang se-Sungai Kepayang padaku. Aku sudah takkan sampai.
Semoga bagi Allah mendengar namaku itu sudah lebih dari cukup sebelum
aku mati.”
Martin Aleida, lahir di
Tanjung Balai, Sumatera Utara. Dalam usia 73 tahun merayakan hidupnya
dengan berkelana di beberapa negara Eropa. Pulang menuliskan naskah buku
berjudul Tanah Air yang Hilang, tentang orang Indonesia yang tak bisa pulang ke tumpah darah mereka.
K Nawasanga, pelukis asal
Desa Lod Tunduh, Ubud, Bali. Ia kerap menggelar workshop dan mengikuti
residensi. Bulan Maret nanti, ia mengikuti program artist in resident di
Wangga Wangga Regional Art Gallery, New South Wales, Australia.