Daftar Blog Saya

Selasa, 09 Mei 2017

Kutipan You are My Moon

“Kalau sudah cinta mati, letakkan saja di dalam peti mati. Jangan sakiti dirimu lebih dari itu. Waktu akan membuatmu merasa lebih baik.” (hlm. 220)

“Semua orang lahir lalu semua orang pasti mati. Dan kita akan saling bertemu lagi di surga.” (hlm. 11)

“Bagus. Jangan terlalu dekat dengannya. Gadis itu seperti minyak di dekat api, hal-hal yang buruk bisa saja terjadi. Aku tidak tahu berapa lama Jak bisa menahannya.” (hlm. 16)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Sebenarnya tidak akan sesulit itu. (hlm. 87)
  2. Terkadang kita harus mengeluarkannya. Memang lebih baik untuk menyimpannya sendiri di dalam hati. (hlm. 220)
  3. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk berpikir atau melakukan sesuatu. Tapi kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. (hlm. 220)
  4. Tidak masalah dengan pakaian. Yang paling penting adalah hati. (hlm. 273)
  5. Semua orang punya pikiran sendiri. Tidak penting mengetahi apa yang mereka pikirkan. (hlm. 285)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Orang-orang hanya menggosipkan hal yang sama terus-menerus. (hlm. 7)
  2. Manusia lebih menakutkan daripada hantu. (hlm. 11)
  3. Laki-laki muda memang seperti ini. Mereka ingin mandiri, terutama pada zaman sekarang. (hlm. 14)
  4. Siapa yang mau menjelek-jelekkan diri sendiri. (hlm. 30)
  5. Belanja tanpa membeli sesuatu. Apa maksudmu? (hlm. 30)
  6. Kalian memang laki-laki terhormat; tidak bisa merendahkan wanita. (hlm. 76)
  7. Kaum pria biasanya merasa tidak nyaman berurusan dengan wanita. (hlm. 93)
  8. Terkadang, bahwa ketika kau tahu kau akan tersakiti, kau tetap ingin mengambil risiko. (hlm. 119)
  9. Orang aneh harus sama orang aneh, kan? Itu normal. (hlm. 280)
  

Kejanggalan Pewarta Lelayu

Kejanggalan Pewarta lelayu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Kejanggalan Pewarta lelayu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SEBAGAI takmir baru di Masjid al-Maut, si Pengacau, pertama-tama, dikenal karena mengabarkan kelahiran. Bukan hanya kematian sebagaimana masjid pada umumnya.
“Alhamdulillah,” demikian dia mengulangnya tiga kali pada Minggu pagi, dengan nada yang menarik perhatian warga seakan itu kabar kematian, “Telah lahir ke dunia, putri dari bapak Yazid dan Ibu Suti. Warga RT 5, RW III, Gg. Intan, Jl Cinta, Dusun Rukun, Kelurahan Kahuripan. Bayi akan dimandikan pertama kali hari ini. Bagi warga yang ingin merayakannya dapat hadir ke rumah Bapak Yazid. Turut berbahagia keluarga dari Bapak Jayamarwa, keluarga Ibu Hj Siti Badriah, keluarga Ines Ajnam, dan H Tohirin.”
Belum lagi menutup pengumumannya, kepala takmir Masjid al-Maut, Pak Nasrudin, langsung mencet tombol dan matilah itu pelantang.
Pak Nasrudin memandang pengacau itu. Matanya berisi cairan makian yang ditahan sebab ada di rumah suci.
Setelah membawanya ke depan tempat wudhu, barulah pengacau itu didamprat oleh Pak Nasrudin. Dampratnya cukup panjang. Namun, sepanjang-panjangnya kemarahan, toh, kosakata manusia terbatas jumlahnya.
Setelah tiga menit beruntun, marahnya jadi merdup, lalu diam. Dari kata, kini pindah ke dada.
“Apa alasanmu?”
“Jumat lalu,” kata si Pengacau, “Kyai Sudrun bilang, waktu khotbah, bahwa tidak ada kematian tanpa kelahiran dan tidak ada kelahiran tanpa kematian; keduanya sama pentingnya, sama nilainya. Ya, pas lewat warung beli bubur sumsum, terus dengan berita istrinya Pak Yazid, Bu Suti, lahiran anak ke lima, ya, saya umumkan di masjid.”
Enam, tujuh, warga datang mau meriksa siapa yang barusan bikin kacau pengumuman. Mereka mendapati si Pengacau sedang dihadapi oleh Pak Nasrudin. Tak mau kehilangan muka, Pak Nasrudin membangkitkan kemarahannya kembali, beraksi memarahi si Pengacau.
Namun, baru kata pertama, Kyai Sudrun sudah nongol dari serambi dengan sarung putih dan sandal japit.
“Dia benar,” kata beliau, “Biarkan.”
Hanya dengan tiga kata dari Kyai Sudrun itu, berjuta-juta mata tajam kata-kata dalam kepala warga, yang datang, dan mulai datang, amblas ke dasar batin, mampat seketika. Mana berani mereka melawan kyai.
Bisa kuwalat nanti, barangkali demikian yang mereka pikirkan, meski di hati sebalnya tak karuan.
Seolah perang pembuka dalam sejarah, peristiwa itu membuat Masjid al-Maut mengumumkan dua hal: kelahiran dan kematian warga di sekitarnya. Lambat hari, warga menerima kenyataan ini.
Mereka tidak lagi berpikir, jika ada pengumuman pertanda kematian, namun kini sudah ada dua pilihan emosional.
Bahkan, pernah dalam sehari, pagi dimulai dengan pengumuman, sorenya kematian, dan itu adalah kelahiran dan kematian manusia yang sama. Bayi itu lahir, lalu sorenya meninggal dunia. Tapi, esoknya, ada lagi bayi yang lahir dari rumah yang lain, dan pekan depan ada kematian dari manusia yang lain.
Si Pengacau, awalnya dia dikenal sebagai gelandangan. Kemudian dia diminta tinggal di Masjid al-Maut, membantu takmir. Kini, dia menambah rusuh baru. Si Pengacau mengacaukan sistem pengumuman.
“Dia mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un untuk mengumumkan bayi yang baru lahir. Dan alhamdulillah digunakannya saat mengumumkan orang yang meninggal dunia, Kyai,” Pak Nasrudin laporan pada kyai.
Pak Nasrudin yakin: kali ini yang keliru adalah si Pengacau kurang ajar itu.
Dengan begitu, mungkin kyai akan berubah pikiran dengan memindahkannya dari keanggotaan takmir dan hak-hak dan jadwal-jadwalnya. Sebab, kyai pula yang sebelumnya memasukkan si Pengacau itu.
“Apa penjelasan dia?” tanya kyai.
“Katanya, Jumat lalu, Kyai menjelaskan apa maksud daripada dunia adalah penjara bagi orang baik-baik, dan surga bagi orang-orang jahat. Yang lahir harus diingatkan, yang mati harus disyukuri. Begitu kurang lebih, Kyai. Lha, ‘kan tidak begitu maksudnya, ‘kan, Kyai?”
Kyai Sudrun diam, lalu, “Tunggu sampai besok, waktu duha.”
Tepat pada waktu yang ditunggu, sebagian warga mendengar pengumuman dari masjid. Suara si Pengacau.
“Alhamdulillah, akan meninggal dunia,” pada bagian ini jeda, dan Pak Nasrudin dapat amunisi baru, orang baru akan kok diumumkan, semua orang juga akan meninggal dunia, lantas diperhatikannya lagi suara yang menggema itu, “yakni diri saya sendiri, yang menyampaikan pengumuman ini. Pada hari ini, Senin, dan tidak tahu akan dikebumikan di mana dan tidak tahu siapa yang akan ikut berduka.”
Berhenti. Kyai Sudrun terlihat keluar rumah, menuju masjid. Pak Nasrudin yang mendapati itu segera menyusulnya.
Mereka mendapati si Pengacau telah mati, telentang melipat kedua tangannya di dada. Di sisinya, ada kafan dan wasiat yang sepertinya sudah lama disiapkan. Sejak hari itu, masjid ini diganti nama menjadi Masjid al-Maut. q– o

Gugatan


Gugatan ilustrasi Poppy Rahayu - Kompas.jpg
Gugatan ilustrasi Poppy Rahayu/Kompas
Sudarma meninggal siang tadi karena serangan jantung, dan sore ini mayatnya dikubur di sebuah kuburan tua yang ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya selutut, dan rohnya dilempar ke neraka oleh malaikat. Andaikan saja ia tidak mendengar jeritan dan raungan orang-orang yang tersiksa, dan melihat jilatan api di kejauhan, pasti ia akan menganggap dirinya tersesat di sebuah kegelapan malam dengan gelap yang tiada ampun.
Ketika kesadarannya belum pulih benar, dua penjaga neraka dengan tubuh gempal hitam, wajah bengis, dan bertaring tiba-tiba menyeretnya. “Bajingan, kau mau bawa aku ke mana?”
Sudarma membentak dan mencoba melawan, tetapi tak digubris.
“Kau mau bawa aku ke mana?”
Lagi-lagi tak ada jawaban. Kedua penjaga itu berjalan lurus menembus kegelapan malam sambil menyeret tubuh Sudarma. Setelah melewati jalan dengan kobaran api di kiri dan kanannya, ia diseret melewati anak tangga yang tinggi, entah berapa jumlahnya. Mungkin 2.222 anak tangga, atau mungkin 22.222 anak tangga, atau bahkan 222.222 anak tangga.
Sampai di puncak anak tangga, tubuhnya dilempar, seperti melempar bangkai anjing ke sungai dan ditinggalkan begitu saja. Ia berdiri dengan bersusah-payah, lalu menengok ke belakang dan tidak menemukan anak tangga yang tadi dilewatinya. Ia hanya melihat api. Api yang begitu besar dan ia tidak pernah melihat api sebesar itu sebelumnya. Hawa panas yang luar biasa, keringat yang meleleh, dan ia mencoba untuk berlari menjauhi api itu. Ia berlari, api itu tetap mengikuti dirinya. Di belakangnya, seperti seekor anjing mengekori majikannya. Setiap menoleh ke belakang, api itu semakin mendekat. Hingga ia merasa lelah, lelah, sangat lelah, lalu terjatuh karena kelelahan.
“Kau harus dilempar ke kerak neraka.”
Ia mendongakkan mukanya dan mendapati di depannya berdiri sesosok makhluk aneh. Besar, bertanduk, berpakaian serba putih, dan membawa sebuah buku.
“Siapa kau?”
“Pencatat perbuatan manusia di dunia.”
“Apa maumu?”
“Menyeretmu ke kerak neraka.”
“Kerak neraka?”
“Ya.”
“Salahku?”
“Banyak.”
Ia bangun lalu mendekati makhluk aneh itu.
“Tidak! Aku tidak percaya.”
“Apa kau tidak percaya denganku?”
“Tidak!”
“Apa kau tidak percaya dengan udara dan embus napasmu?”
“Aku percaya, tapi tidak dengan kau.”
“Itu aku.”
“Kau bohong.”
“Aku ada dalam napasmu, aku ada dalam darahmu, aku ada dalam pikiranmu, aku ada dalam keringatmu, aku ada dalam pembuluh nadimu, aku ada dalam jantungmu, aku ada dalam suaramu, aku ada …. ”
“Diam kau bajingan! Aku tidak pernah merasa bersalah, semua yang aku lakukan adalah benar. Kau tak berhak menyeretku ke neraka. Semestinya di surga tempatku.”
“Kau banyak dosa. Tidak pantas di surga.”
“Aku selalu taat berdoa.”
“Hanya untuk pencitraan, agar orang-orang memandangmu sebagai manusia saleh, manusia tanpa cela. Doamu tidak tulus, mulutmu busuk. Dan dalam buku catatanku telah tercatat dengan rapi, dan tidak bisa kau bantah.”
“Bagaimana bisa kau bilang pencitraan? Aku telah berdoa ke semua benua. Aku berlayar dari ujung timur ke ujung barat, dari ujung selatan ke ujung utara. Setiap kuil aku singgahi, setiap tempat ibadah aku singgahi, dan di sana aku berdoa, aku berdoa, dan terus berdoa. Bangun tengah malam aku berdoa, fajar aku berdoa, sebelum mandi aku berdoa, sebelum makan aku berdoa, siang, sore, senja, sebelum bekerja, di jalan, aku selalu berdoa. Apakah doaku masih kurang?”
“Tidak ada artinya. Doamu tidak tulus. Kau berdoa, tapi kau selalu nyinyir mengurus orang yang tidak berdoa. Mulutmu busuk, membuat banyak orang sakit hati. Apa kau ingat berapa pelacur yang kau sebut anjing karena tidak pernah berdoa dan tidak kenal Tuhan, sementara kau rajin datang ke tempat pelacuran?”
“Apa salahnya? Aku memperingatkan mereka agar mereka taat berdoa.”
“Dengan mulut berbisa?”
Ia terdiam. Saat masih hidup, memang benar ia telah melewati semua benua untuk berdoa. Ia mengejar Tuhan ke mana pun yang ia bisa. Dan saat perjalanannya mengarungi semua benua untuk berdoa, ia juga tidak lupa singgah ke tempat-tempat pelacuran terkenal dan mewah di setiap benua yang disinggahinya. Masih terdengar jelas di telinganya dengus napas pelacur yang ditindihnya. Masih ingat dengan jelas pula bagaimana ia mengumpat dengan kata anjing kepada pelacur yang habis ditidurinya setelah ia menanyakan apakah pelacur itu punya Tuhan, dan pelacur itu mengatakan tidak mengenal Tuhan, dan ia tidak pernah tahu bagaimana pelacur itu akhirnya gantung diri beberapa bulan setelah itu karena sakit hati.
“Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu menjabat wali kota, aku membangun banyak tempat ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang aku bangun, biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku mengalokasikan dana sebesar-besarnya untuk pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku pimpin menjadi kota suci, tempat para dewa, dan para malaikat baik.”
“Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu banyak yang mengemis di pinggir jalan. Uang yang kau sumbangkan atas nama pribadi, kau ambil dari khas kota.”
“Itu tidak benar. Jangan sembarangan menuduh. Apa kau menguping pembicaraan – yang sakit hati karena kalah saing dalam pemilihan wali kota?”
“Apakah aku lebih percaya pada lawan politikmu daripada kemampuanku? Aku adalah keadilan, aku bertindak seadil-adilnya kepada semua makhluk. Aku tidak mengadakan yang tidak ada, aku juga tidak meniadakan yang ada. Aku mencatat apa yang ada, dan sebenar-benarnya.”
“Apakah aku harus mengaku melakukan dosa itu?”
“Maling tidak selamanya harus mengaku maling.”
“Rakyatku banyak yang menjadi pengemis, itu karena mereka malas. Mereka malas mencari kerja, mereka hanya ingin hidup mewah, mereka tak mau berusaha. Mereka pemalas! Sudah sepantasnya mereka menjadi kere dan mengemis di pinggir jalan.”
“Apakah tugasmu jadi wali kota untuk menghukum mereka?”
“Aku sudah membantu mereka, setiap minggu aku turun ke pelosok-pelosok kota. Aku berkeliling melihat mereka, dan kadang aku memberikan mereka bantuan dari kantongku sendiri. Lewat anak buahku, aku juga telah mengirimkan bantuan kepada mereka. Aku memberikan mereka bahan makanan, pakaian, dan semua yang mereka butuhkan. Membuat banyak program agar mereka tidak miskin lagi. Tapi toh mereka tetap miskin, mereka pemalas. Apakah aku salah?”
“Apakah menurutmu semuanya itu benar?”
Sudarma terdiam. Ia tidak menjawab benar atau salah. Ia hanya ingat bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk kotanya. Menjadikan kotanya kota suci, hingga banyak para pelancong datang ke kotanya untuk berdoa, atau sekadar untuk menebus dosa-dosa yang telah menumpuk agar dikurangi setengahnya atau bahkan dihapuskan semuanya. Tapi dalam hal lain, ia juga pernah menggelapkan dana pembangunan tempat suci untuk membelikan anaknya mobil, dan sebuah apartemen untuk istrinya, dan sebagaimana yang dikatakan makhluk aneh itu. Ia juga sering menyumbang atas nama pribadi, padahal uang yang disumbangkan itu milik pemerintah.
Bagaimanapun juga, hati kecilnya sebenarnya membenarkan semua ucapan makhluk aneh yang berdiri di depannya. Ia memang melakukan apa yang dikatakannya, tetapi ia tak mau mengalah begitu saja.
“Hei makhluk pembual. Aku tidak percaya dengan semua bualanmu. Aku perlu bukti!”
“Bukti?”
Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di tangannya. Buku itu mengenai kepala Sudarma yang membuatnya sedikit puyeng karena buku itu sangat tebal.
Sudarma membuka halaman pertama, dan tertulis dengan jelas kapan ia dilahirkan, di mana ia dilahirkan, dukun yang membantu kelahirannya, siapa orangtuanya, dan tetek-bengek lainnya yang berhubungan dengan kelahirannya. Di halaman berikutnya tercatat kapan pertama kali ia melakukan dosa, dan dosa apa yang dilakukannya, dan kebaikan apa pula yang ia lakukan.
“Sudah cukup?”
“Belum, aku harus mengecek semua kebenarannya.”
Makhluk aneh itu tersenyum mendengar jawaban Sudarma.
Sudarma membuka halaman lain secara sembarang. Di halaman itu tertulis, dirinya sewaktu SD pernah meminjamkan uang untuk temannya yang tidak membawa bekal.
“Biar kau tahu makhluk bodoh, aku pernah membantu temanku yang tidak membawa bekal saat sekolah dulu. Seharusnya aku dapat sedikit surga.”
“Aku tahu itu, dan seharusnya kau membaca kelanjutan catatan itu.”
Sudarma membaca paragraf selanjutnya. Tercatat ia menagih uang itu dua kali lipat keesokan harinya.
“Brengsek! Seharusnya aku tidak melakukannya,” Sudarma mengumpat dalam hati.
Ia menutup buku itu dan membukanya kembali dari halaman belakang. Dan tercatat dengan jelas pula, sehari sebelum meninggal, ia meludahi seorang pemulung yang kedapatan mencuri sepeda rusak yang tergantung di belakang rumahnya. Tapi, dalam dua paragraf berikutnya tercatat sehari sebelum meninggal ia menyumbang untuk pembangunan tempat suci di kotanya.
“Sehari sebelum meninggal, aku melakukan perbuatan yang mulia. Aku menyumbang untuk pembangunan tempat suci, seharusnya itu bisa menebus dosaku. Ini jelas-jelas tidak adil.”
“Dan di halaman selanjutnya tercatat, kau meminta panitia yang menerima sumbanganmu untuk mencatat namamu di halaman pertama sebuah koran yang terkenal di kotamu.”
Begitulah, Sudarma mencermati halaman demi halaman buku itu, dan selalu mengungkapkan kebaikan yang telah ia lakukan dalam hidupnya yang ia temui dalam buku catatan itu, dan semuanya mendapat sanggahan yang membuat dirinya tidak bisa melawan.
“Apakah bisa diakhiri?”
“Aku belum membaca semuanya.”
“Masih ada waktu setengah hari untukmu.”
Sudarma tenggelam dalam catatan-catatan perjalanan hidupnya, dan makhluk aneh yang berdiri di depannya tersenyum melihat manusia yang keras kepala itu. Dalam sejarah penghakiman manusia atas dosa yang dilakukannya di dunia, baru kali ini ia menemukan manusia keras kepala dan merasa dirinya pantas mendapatkan surga atas dosa-dosa yang telah dilakukannya.
“Waktumu habis.”
“Aku belum membaca semuanya.”
“Tidak ada waktu lagi.”
“Lagi setengah hari saja dan aku akan membaca semuanya.”
“Api di belakangmu akan segera menggulungmu.”
Ia menoleh ke belakang. Ia bergidik melihat api yang begitu besar.
“Tunggu dulu, di sini tercatat aku pernah berpuasa, dan melakukan malam penebusan dosa sebagaimana yang dilakukan Lubdaka saat …. ”
Ia belum selesai mengucapkan kalimat itu, dan tubuhnya sudah digulung api yang begitu besar, dan makhluk aneh yang ada di depannya tak mendengar apa pun yang dikatakan Sudarma.

Keterangan:
Lubdaka adalah seorang pemburu yang memperoleh surga karena berpuasa dan melakukan malam penebusan dosa saat Siwa Ratri dengan tanpa sengaja saat ia berburu di tengah hutan. Kisah ini diceritakan dalam kitab Siwaratri Kalpa.

Supartika memiliki nama lengkap I Putu Supartika, lahir di Karangasem, Bali, pada tanggal 16 Juni 1994. Alumnus Universitas Pendidikan Ganesha, jurusan Pendidikan Matematika. Kini mengelola jurnal sastra Bali modern Suara Saking Bali.

CINTAILAH SESEORANG ITU KARENA ALLAH

Ajari aku cinta untuk bersabar...
Untuk menemukan imam yang benar...
Untuk menjaga segala kemuslimahanku...

Mengangkat derajat keimananku...
Serta membawaku dalam indahnya agama ALLAH...

Ajari aku cinta untuk bertahan...
Pada kebaikan...
Pada keistiqamahan...
Pada indahnya sendiri tanpa sentuhan haram...
Pada keindahan cinta yang selalu terpendam...

Ajari aku cinta...
Seperti para makhluk ALLAH yang selalu berdzikir...
Seperti Hamba-hamba ALLAH yang selalu berfikir...
Di jauhkan dari manusia-manusia kafir...
Dan selalu ada dalam kerendahan hati tanpa kikir...

Ajari aku cinta...
Aku ingin memilikimu karena Rabb mu, Allah...
Aku ingin menjadi pendampingmu karena ajaran Rabb mu, Allah...

Aku ingin mencintai dan melengkapi kehidupanku juga hanya ada di jalan Rabb mu, Allah...

Demi cintaku padamu, karena Allah...
Hanya karena Rabb mu, Allah...

Jadilah imamku yang sempurna...
Yang selalu mencari cinta di jalan Rabb mu, Allah...

Untukmu yang akan menjadi imamku...

Kamu Penggenap Imanku


Duhai kamu penggenap imanku
Kelak akulah wanita yang akan bersujud satu sajadah di belakangmu. Dari awal takbir hingga nanti salam, gerakan mu akan ku ikuti. Mendengarkan segala pinta doa pada-Nya, lalu ikut mengaminkannya dan berharap Allah kabulkan segala pinta. Lalu mencium tanganmu dan melanjutkan tadarus Al-qur'an bersamamu.
Duhai kamu penggenap imanku
Kelak akan ada satu waktu, datangnya kehadiran malaikat-malaikat kecil yang juga akan mengikuti gerakan shalatmu
Bersama bersujud memohon ampunan pada Sang Illahi
Lalu bersama-sama mengajarkan ilmu agama sejak dini. Berbagi senda tawa dan haru dalam cerita Rasulullah dan para sahabiah.
Duhai kamu penggenap imanku
Kelak. . .
Akulah wanita yang bersujud satu sajadah dibelakangmu
Menaatimu, menghormatimu, dan menghargaimu sebagai kepala pemimpin dalam keluarga kecil kita kelak.
Duhai kamu penggenap imanku
Kelak. . .
Biarkan aku tetap bersujud satu sajadah di belakangmu
Tetap ada untukmu, menyemangati langkah-langkahmu dalam memperjuangkan keluarga ini berlabuh hingga syurga.
Duhai kamu penggenap imanku
Kelak. . .
Jika terasa begitu berat.
Ingat kamu tidak sendiri, ada aku wanitamu yang bersujud satu sajadah di belakangmu, yang senantiasa mendoakan agar kuat langkahmu dan selalu di jalan-Nya.
Duhai kamu penggenap imanku
Kelak. . .
Jika kamu lelah, seakan semua kekuatanmu habis terkuras
Maka berbaliklah, lihatlah aku wanitamu , penggenap imanmu yang bersujud satu sajadah di belakangmu. Yang senantiasa akan selalu tersenyum bangga untukmu. Pelukku selalu ada untuk kembali mengembalikan kekuatanmu.
Teruslah berjuang untuk sebuah temu yang sesungguhnya
Untuk sebuah temu yang di restui-Nya
Salam dari aku wanita yang kelak akan bersujud satu sajadah di belakangmu :') Dalam Tulisan "Bersamaimu"
Padang, 20 Juni 2016