Daftar Blog Saya

Rabu, 04 April 2018

Sorak-sorak Kampanye Ibuku

Cerpen Ellyyana Said (Fajar, 01 April 2018)
Sorak-sorak Kampanye Ibuku ilustrasi Fajar.jpg
Sorak-sorak Kampanye Ibuku ilustrasi Fajar
GENDERANG kampanye dimulai. Di sana sini bendera warni warni tertancap rapih. Baliho berbicara penuh sensasi. Sosok ibuku salah satu menjadi perhatian. Perempuan yang gemulai dan keibuan. Maju sebagai calon pemimpin mendatang. Sepuluh tahun sudah ayahku menjadi “Raja” di kampung ini. Tahun terakhir semua warga meminta ibuku pun maju menjadi “Raja”. Aku termenung, gimana nanti nasibku. Diusiaku jelang 20 tahun. Aku butuh sosok ibu yang mendampingi setiap langkahku dan hari-hariku.
Maju menjadi bupati bukan pilihan ibu. Setelah ayah didesak warga, ibu pun terpaksa maju. Sejak ayah jadi bupati, aku tak pernah merasakan menjadi anak bupati. Aku tak mau diberi fasilitas, semua orang menjadi kaget dengan tingkahku. Satu hal yang aku inginkan perhatian ibu dan ayah.
Di kampung ini sosok kakekku juga yang dermawan, kakek tidak pernah lupa tetangga dan kerabatnya ketika daku. Puluhan hektar sawah dan tambak masih menjadi kekayaan turun temurun di keluarga ibuku.
Pernikahan ibu dengan ayah karena mereka dijodohkan. Dari kakek, ayah ibu dan kakek dari ayah, mereka sudah kerabat dekat. Dari dulu mereka selalu bersama duduk menjadi pemimpin. Keinginan keluarga besar membuat ibu maju menjadi calon bupati.
Sore itu ibu baru saja kembali dari lapangan berkampanye. Ibu lemas kecapean, badannya lunglai dan tidak berdaya. Saat aku liat ibu, aku sedih sekali, air mataku mengalir deras terisak-isak. Kebayang ibu akan pergi tinggalkan kami. Aku menangis melihat ibu yang memaksakan diri maju, padahal aku tahu ibu bukan sosok yang diinginkan banyak orang. Meski bisik-bisik, ayahlah nanti berada dibelakang ibu.
Pintu kamar dikunci, ibu tak mau ditemani banyak orang. Ibu ingin istirahat total. Ibu sangat letih. Suara ibu parau. Aku duduk disudut kamar membaca ayat ayat suci untuk menenangkan hati ibu. Suaraku samar-samar mendoakan ibu.
Tak lama ayah masuk kamar dan mencium ibu. Sepertinya ibu terlelap tidur, tidak merasakan ayah datang. Di kamar hanya ada aku dan tante Mina adik ibu. Ayah seperti kaget mendengar ibu sakit. Ayah tipe laki setia, aku tahu itu karena kedekatan ayah dengan ibu selalu menjadi cerita banyak orang.
Sore bergeser, senja tiba, suara adzan magrib terdengar bersahutan. Suasana kampung senyap. Warga menutup pintu, semua muslim menunaikan sholat magrib. Malam ini malam jumat terdengar ceramah di salah satu masjid.
Terlintas ada pengumuman kalau esok kerja bersih-bersih lingkungan sekitar. Kampung kami memang bersih. Semua warga sudah peduli dan mengerti kebersihan. Setiap Jumat warga silaturrahim dengan kumpul dan membawa alat sendiri.
Aku liat ibu sudah mulai bergerak dan membuka matanya. Ibu meminta aku membawanya ke kamar mandi untuk wudhu. Usai sholat magrib dan isya ibu minta aku mengaji untuk menenangkan pikirannya.
Lantunan surat al kahfi aku baca untuk ibu sampai selesai. Malam itu aku tidak meninggalkan kamar ibu. Aku sayang ibu. Aku tau ibu lelah tapi tak mau cerita. Ibu sosok perempuan bertanggungjawab. Tapi ayah mungkin lupa kalau ibu bukan perempuan yang bisa dinobatkan sebagai pemimpin kampung kita.
Di luar terdengar suara lelaki seperti berkumpul, berbicara menanyakan kabar ibu. Mereka kawatir ibu sakit parah. Suara perempuan terdengar samar-samar. “Iya, ibu hanya kecapean, semoga cepat sembuh, supaya bisa aktif lagi.”
“Iyaa, kami juga berharap demikian, buat ibu.”
“Kalau bisa kita mengaji untuk ibu.” Salah seorang memotong.
Malam larut kondisi ibu semakin menurun. Dokter yang menangani hanya mengatakan ibu kecapean. Ibu memang bukan politisi, aku sudah bilang sama ayah. Tapi semua tidak ada yang mau mendengarku. Mereka semua membuat ibu sakit. Kalau seperti ini ayah pun tak bisa bicara.
Aku melihat ayah hanya terpaku bagai patung. Seperti ada penyesalan akan kejadian ini. Detik-detik terakhir kampanye akan berakhir. Semua sudah memberi sinyal kemenangan ibuku. Tapi aku malah marah dan menangis, terbayang jika ibu duduk sebagai bupati. Ibu hanya akan menjadi boneka yang dimainkan. Karena ibu bukan sosok seperti yang mereka inginkan. Ibuku, perempuan yang penuh perhatian pada keluarga. Aku kawatir pekerjaannya sebagai bupati akan berantakan.
Tiga hari kondisi ibu sudah membaik. Ibu kembali ke panggung dengan teriakan-teriakan yang tidak masuk diakalku. Secarik kertas aku tulis untuk ibu. Semoga ibu paham akan perasaanku sebagai putrinya yang butuh perhatian. Sejak awal kuliah aku meminta ibu untuk tidak menggantikan posisi ayah. Cukuplah perjuangan ayah selama 10 tahun untuk daerah ini.
Jelang pemilihan kepala daerah suasana rumah semakin rame. Pagi, siang dan malam tak terasa waktu berjalan dengan mimpi-mimpi. Aku semakin bingung. Ingin rasanya meninggalkan rumah untuk menenangkan pikiran. Tapi aku kasian ibu yang pasti akan berpikir kondisiku. Sementara aku telah berpikir keras akan kondisi ibu.
Ibu terserang penyakit jantung. Seminggu di rumah sakit. Semua menjadi bingung. Dua hari lagi pesta demokrasi dimulai. Aku berbisik pada ayah. Kenapa cerita ibu seperti ini. Kalau saja ayah mau bijak, jangan ibu yang menjadi tumbal politik orang-orang diluar sana. Aku marah dengan ayah, karena semua karena ijinnya. Ibu hanya ikut keinginan semua orang termasuk ayah lelaki yang sangat dicintainya.
Bendera politik yang mengantar ibu berkibar. Sementara ibu berbaring lemah di rumah sakit. Pendukung ibu rame-rame datang menjenguk. Mereka memberi semangat dan berdoa untuk ibu. Aku sempat marah. Karena merekalah ibu menjadi sakit. Kalau saja ibu tidak mengikuti, ibu pasti masih di rumah dengan segala masakan untuk kami. Meski berada disamping ayah sang bupati. Ibu tetap memperhatikan kami anak-anaknya.
Perhitungan suara menjadi tegang. Beberapa kecamatan menjagokan ibu. Hasil sementara ibu unggul dengan jumlah suara teratas. Dokter bekerja maksimal, kondisi ibu semakin kritis. Operasi jantung yang barusan dilakukan membuat ibu semakin lemah. Aku menangis disamping ibu. Saat-saat tegang ketika tak ada lagi sinyal yang positif. Ibu lemah dan tak bisa tertolong. Sementara total suara ibu unggul dan membuat semua orang berteriak menang. Kita menang!!
Aku jatuh dari pembaringan. Kulihat ibu didepanku membawa pisang goreng dengan teh hangat. Aku baru saja bermimpi. Sudah seminggu aku lemah, karena sakit. Kupeluk ibu, ada senyum yang selalu kunanti. Ibupun memelukku.
“Kamu sudah sehat, Nak?”
“Iya buu…aku baru saja mimpi, ibu jangan tinggalkan kami.”
“Iyaa, ibu selalu di sampingmu, Nak.”

Ellyyana Said, penulis merupakan Staf Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku KLHK, Pemerhati Lingkungan Hidup. Anggota IPIM Sulsel.

Negeri Kepompong

Cerpen Dody Wardy Manalu (Lampung Post, 01 April 2018)
Negeri Kepompong ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Negeri Kepompong ilustrasi Sugeng Riyadi/ Lampung Post
Bila memintaku untuk bercerita, bagaimana aku tiba di negeri kepompong, aku akan ceritakan secara utuh padamu. Mungkin kamu tidak akan percaya karena semua terjadi seperti mimpi.
***
Ketika itu, malam Jumat bergerimis. Aku duduk di kursi mobil paling belakang menuju kota Medan. Pemuda di sebelahku memakai parfum beraroma bunga mawar. Aroma itu memenuhi lubang hidungku.
“Hai, nona cantik, pernah ke negeri kepompong?” Ucap pemuda beraroma mawar. Hanya menanggapi dengan senyum.
“Tolong berpegangan yang kuat. Sebentar lagi kita akan melintasi terowongan menuju negeri kepompong. Terowongan itu dipenuhi kupu-kupu.”
Terowongan menuju negeri kepompong? Yang benar saja. Sebentar lagi kami akan melewati terowongan. Namun bukan terowongan menuju negeri kepompong, negeri anta-beranta seperti ia tuturkan.
Terowongan itu namanya Batu Lubang. Terowongan sepanjang sepuluh meter penghubung Kota Sibolga dengan kota Medan. Batu lubang itu dibangun di masa penjajahan Jepang.
“Kita akan tiba di terminal ulat bulu. Kamu bisa menikmati kembang gula yang dijajahkan ibu-ibu tua di terminal. Di negeri kepompong, para ibu tua itu disebut mami butterfly.”
Mobil memasuki terowongan. Aku mengacuhkan perkataan pemuda itu. Mataku tertuju pada dinding terowongan ditumbuhi lumut, pakis, dan air yang tak berhenti menetes.
Seekor kupu-kupu bersayap kuning hinggap di hidungku. Kemudian kupu-kupu jenis lain berdatangan hingga jumlahnya ribuan. Kupu-kupu itu menabraki wajahku.
Mobil belum juga keluar dari terowongan. Ada yang tidak beres. Aku menoleh ke arah pemuda di sebelahku.
“Sekali-kali percayalah pada omongan orang lain.”
Akhirnya, mobil keluar juga dari terowongan. Hamparan bunga merekah di sisi jalan. Ini bukan jalan menuju kota Medan. Bunga beraneka warna menutupi permukaan bumi. Ribuan kupu-kupu beterbangan di atasnya. Kupu-kupu itu tidak seperti kupu-kupu biasa. Mereka mirip manusia yang memiliki sayap bercahaya.
“Kita telah sampai di terminal ulat bulu.”
Suara pemuda itu membuatku tersadar. Para penumpang bergegas keluar. Aku mengekor di belakang. Terminal ini tidak beda jauh dengan terminal yang ada di kotaku.
Kursi berjejer di sepanjang koridor terminal dipenuhi orang tengah menunggu jam keberangkatan. Di setiap lorong berseliweran para pedagang menjajakan jualan.
“Ini kembang gula, terbuat dari benang ulat sutera dicampur sari bunga melati.”
Setangkai kembang gula ada di hadapanku. Pemuda beraroma mawar menyodorkan.
“Di negeriku, benang ulat sutera digunakan sebagai bahan pembuat kain. Bukan untuk makanan,” ujarku sembari meraih kembang gula itu.
“Coba dicicipi, kamu pasti suka.”
Aku mencicipi. Rasanya seperti minuman botol beraroma melati. Namun ini lebih nikmat. Ada sesuatu membuat lidahku tak berhenti untuk mencicipi.
“Tak pernah berpikir mengapa kamu berada di negeri kepompong?”
Aku terdiam. Dari tadi aku tidak memikirkannya.
“Setelah kembang gulamu habis, kamu akan tahu alasan keberadaanmu di sini.”
Apa sesungguhnya terjadi? Aku berhenti mencicipi kembang gula.
“Tolong habiskan.”
Aku melanjutkan jilatan terakhir. Begitu kembang gula habis, sekelilingku berubah seketika. Tidak ada lagi taman bunga terhampar indah. Terminal ulat bulu menghilang. Tanah negeri kepompong sekejap berubah merah mengeluarkan asap seperti habis terbakar. Bangunan di sisi jalan tinggal puing-puing. Mayat bergelimpangan di mana-mana.
“Apa yang sesungguhnya terjadi?”
“Ini alasannya mengapa kamu dipanggil. Seekor kelelawar raksasa yang tinggal di Bat Mountain telah menghancurkan negeri kepompong. Hanya satu orang yang sanggup terbang ke puncak Bat Mountain untuk membunuh kelelawar raksasa itu. Orang itu adalah kamu, Nona!”
Aku akan melawan kelelawar raksasa? Pemuda ini pasti salah orang.
“Boro-boro membunuh kelelawar raksasa, melihat kecoa saja aku takut. Aku tidak bisa melakukan itu.”
“Apa kamu tega melihat kaummu sendiri mati? Bunga-bunga tidak ada lagi. Bagaimana warga negeri kepompong bertahan hidup.”
“Kaumku sendiri?”
“Kamu adalah manusia kupu-kupu sama sepertiku. Ratusan tahun silam, kamu dititip ke rahim manusia di bumi untuk mewujudkan ramalan yang ditulis ribuan tahun lalu.”
“Mana sayapku kalau aku manusia kupu-kupu.”
“Nanti kamu akan melihat sendiri sayapmu. Sekarang kita harus pergi. Kita tidak punya banyak waktu.”
Sepasang sayap muncul dari punggung pemuda itu.
“Ikuti aku.”
Aku tidak punya pilihan. Aku berlari mengikuti ke mana pemuda itu terbang
“Boleh tahu siapa namamu?” Teriakku sambil berlari.
“Panggil saja aku Glavo. Kalau kamu namanya siapa.”
“Kimi.”
“Nama yang buruk. Lebih suka memanggilmu nona cantik.”
Pemuda bernama Glavo hinggap di ranting pohon berukuran besar tumbuh di tepi jurang. Di setiap ranting bergelantungan ribuan kepompong.
“Kamu harus membunuh kelelawar itu sebelum ia kembali menghanguskan negeri ini. Bila pohon ini ikut terbakar, maka kaum kita benar-benar punah.”
“Apa yang harus aku lakukan.”
“Kamu harus bisa mengeluarkan sayapmu. Membunuh kelelawar raksasa itu sangat mudah. Cukup membakar gua tempat persembunyiannya.”
“Bagaimana caranya agar aku bisa mengeluarkan sayap.”
“Kamu harus membayangkan dirimu seekor kupu-kupu. Hanya itu kuncinya.”
Langit memerah. Negeri kepompong tak ubah bagai kota mati. Aku duduk bersila di bawah pohon sembari memejamkan mata mencoba membayangkan diriku seekor kupu-kupu. Selalu gagal. Dalam khayalku, aku malah berubah menjadi cat women, melompat dari gedung tinggi seperti yang aku tonton di layar televisi.
“Ah, aku tidak bisa.”
Aku membuka mata, lalu berjalan ke sisi jurang.
“Coba sekali lagi. Nasib negeri ini ada di tanganmu.”
Aku menoleh pada Glavo tengah bertengger di cabang pohon.
“Aku tidak bisa, Glavo!”
“Jangan langsung menyerah.”
“Sudah kubilang tidak bisa. Aku bukan manusia kupu-kupu.”
Amarahku meledak. Tiba-tiba sebuah tendangan menghantam dadaku. Tubuhku jatuh ke jurang. Aku melayang di udara. Andai aku kupu-kupu seperti Galvo, mungkin aku tidak akan mati konyol. Punggungku berderak seperti pohon patah. Sakit sekali. Aku meraba punggung. Aku punya sayap?
“Cepat kepakkan sayapmu.” Teriak Glavo dari atas jurang. Aku mulai menggerakkan sayap seperti menggerakkan kedua tangan. Berhasil, aku bisa terbang!
***
Pagi masih menyisakan kabut. Aroma bumi terbakar menusuk hidung. Di bawah pohon besar, seluruh warga negeri kepompong berkumpul. Masih belum percaya bila aku manusia kupu-kupu.
“Kamu harus tiba di puncak gunung sebelum matahari terbenam, sebelum kelelawar itu keluar dari sarang.” Ujar Glavo sembari menyerahkan sebuah obor bertangkai panjang.
“Doa kami bersamamu, nona cantik!” Para warga berteriak.
Glavo memapahku ke pinggir jurang. Aku mengepakkan sayap dan tubuhku melayang di udara. Sebentar lagi aku akan bertempur melawan seekor kelelawar raksasa. Aku hinggap pada sebuah dahan pohon setelah satu jam melayang di udara. Mataku mengawasi sekeliling. Ada sebuah gua di bawah sana. Itu tempat persembunyian kelelawar raksasa. Aku menyalakan obor.
“Sebentar lagi kamu akan mati.”
Aku bakar ranting-ranting yang ada di mulut gua. Dinding gua tergoncang hebat disusul suara memekakkan telinga. Seekor kelelawar raksasa terbang dari dalam gua. Aku ketakutan melihat wujudnya. Kelelawar itu berputar-putar di udara, lalu secepat kilat terbang ke arahku.
Aku berlari ke kolong batu. Tubuh kelelawar sangat besar tidak muat masuk ke kolong. Ia menjulurkan kepala ke arahku. Mulut kelelawar raksasa itu mengeluarkan api. Kepala kelelawar kembali menyembul. Tangkai obor kucolokkan ke bola matanya. Suaranya mengerang. Ia terbang ke udara. Kesempatan itu aku gunakan untuk keluar.
Aku berlari menuju bukit berbatu. Membunuh kelelawar raksasa itu tidak semudah Glavo katakan. Suara kepakan sayap terdengar di belakang. Kelelawar telah kembali. Tak ada lagi tempat untuk sembunyi.
Kelelawar raksasa semakin mendekat. Akhirnya, aku berdiri menghadang. Mulutnya terbuka lebar siap-siap untuk menerkam. Begitu ia mendekat, aku melompat menghindari gigitannya. Tangkai obor aku tusukkan pada sayap hingga robek. Kelelawar oleng dan ter-jerembab ke tanah. Tubuhnya menggelepar dan jatuh ke jurang. Aku menggeser batu. Brakk! batu itu menimpa kepalanya.
***
Kepompong bergelantungan di pohon sudah menetas. Tanah kembali ditumbuhi bunga beraneka warna. Segerombol anak beterbangan di udara. Sesekali mereka hinggap mengecupi bunga-bunga.
“Terima kasih, Kimi! Kamu telah menyelamatkan negeri ini. Meski kamu manusia kupu-kupu, namun takdirmu tidak di sini. Kamu harus pulang ke negerimu.”
Glavo memelukku. Ini pertama kali pemuda itu memanggil namaku.
“Aku tidak tahu jalan pulang.”
“Mobil terakhir menuju negerimu akan segera berangkat. Kita harus ke terminal. Bila terlambat, kamu terpaksa menunggu sepuluh tahun lagi.”
Glavo mengepakkan sayap. Aku mengikutinya. Sayapku berwarna perak tampak berkilau diterpa sinar matahari. Kami tiba di terminal ulat bulu. Glavo menuju loket membeli tiket. Mataku asyik melihat para mami butterfly menjajahkan kembang gula.
“Kamu suka ini?”
Seorang mami butterfly menyodorkan setangkai kembang gula. Ingin sekali menerimanya. Tapi aku tidak punya uang. Uang di dompetku tidak berlaku di sini.
“Aku tidak punya uang.”
“Ini gratis untuk seorang kesatria.” Ujar mami butterfly. Aku menerima kembang gula itu.
“Kimi, cepat naik. Mobilnya akan berangkat.” Teriak Glavo.
Aku melambaikan tangan ketika mobil melaju. Segerombol kupu-kupu terbang melewati celah jendela kaca saat melewati terowongan. Kupu-kupu itu menabraki pipiku. Rasanya geli bercampur sakit. Kupu-kupu menghilang seketika. Aku menyembulkan kepala dari kaca mobil. Kupu-kupu itu tetap tidak ketemu. Yang tampak hanya lumut, pakis, dan air yang menetes dari dinding terowongan.
Mobil keluar dari terowongan. Jalan menuju kota Medan masih seperti dulu. Berlubang tak pernah diperbaiki. Bukankah aku baru saja dari negeri kepompong? Aku melawan kelelawar raksasa di Bat Mountain. Apakah ini hanya mimpi?
Kembang gula di tanganku adalah nyata. Tidak ada sayap di punggungku. Namun ada luka seperti kena sayat. Ini bukan mimpi. Aku baru saja dari negeri kepompong. Pemuda beraroma mawar tidak ada lagi di sebelahku. Petualangan ini tak akan pernah aku lupakan.

Dari Balik Jendela

Cerpen D Inu Rahman Abadi (Suara Merdeka, 01 April 2018)
Dari Balik Jendela ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka.jpg
Dari Balik Jendela ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Dari balik jendela ini—yang berkaca gelap tetapi cukup terang bila orang memandang dari dalam, sebaliknya buram bahkan hanya gelap bila memandang dari luar—mataku terus awas menatapmu. Semestinya aku keluar membawakanmu secangkir kopi, seperti kebiasaanku menemanimu duduk bersebelahan atau berdua di kursi panjang itu. Namun, kali ini, aku hanya berdiri di sini, mengamati.
Memang aku dari dapur. Berulang kudengar uluk salammu di pintu pagar semasih aku di kamar. Dengan dada berdebar, hampir saja kujawab setelah yakin itu suaramu. Namun lebih dulu Bapak keluar setelah samar menjawab salam sambil menatapku tajam.
Sekilas kupandang tubuhmu melangkah, lalu aku bergegas ke dapur, menyalakan kompor untuk menjerang air. Aku juga menakar bubuk seimbang dengan gula pasir seperti biasa, sebab aku tetap ingat soal itu. Semua sudah siap, kopi sudah jadi.
Namun lagi-lagi sebelum cangkir itu terangkat dari meja kecil di hadapan, Ibu lebih dulu menegur dengan batuk kecilnya. “Biar Bapakmu saja,” sergahnya. Kemudian memanggil Bapak tanpa berkata lagi.
Memang aku selalu berdandan serapi bahkan secantik mungkin. Meski tentu saja, itu mesti kulakukan, dan terlebih sudah kuduga kau pasti datang, entah kapan. Setiap pagi aku mengeramas rambut dan merias sampai terlihat cocok dengan wajahku yang katamu, “Kau cantik dengan wajah agak bulat dan bibir mungil begitu.” Ya, aku selalu siap menyambutmu.
Namun dari balik jendela ini aku hanya menatap riak wajahmu. Diam-diam mendengarkan degup dadamu makin kencang. Pipiku kembali menghangat, tapi bukan memerah.
“Aku mencintaimu, Mai.”
Kau mungkin masih ingat ucapan itu sering kudengar darimu. Selalu membuat pipiku memerah. Apalagi ketika waktu itu aku hendak mengakhiri semua. Kau yakinkan sekali lagi hanya aku yang kauingini. Sama sekali bukan perempuan yang dipilihkan ibumu sekaligus masih saudara.
Mula-mula aku tak yakin sebab kau tahu di kampung cinta bukan hal penting. Tidak begitu berarti bagaimana cinta diketukkan ke dada-dada orang tua. Lumrahnya mereka teguh dengan pilihan sendiri. Tak hirau, meski cinta meraung-meraung meratapi kesakitan. Namun aku hanya melongo tak percaya, kau datang menemui Bapak. Dan tidak jauh hari kau datang lagi dengan ibu-bapakmu. Entah bagaimana bisa kauyakinkan mereka, terlebih ibumu yang bersikeras ingin menjodohkanmu.
Hingga malam itu, langkah selanjutnya sudah cukup jauh. Bapak-Ibu sepakat mengundang kerabat, tokoh, tetangga dekat untuk meminta pendapat mengenai tanggal pernikahan. Suasana di rumah ramai. Beragam candaan juga kelakar di sela musyawarah. Ibu-ibu tetangga yang datang membantu menyiapkan jamuan tak segan menggodaku. Jadilah di dapur tak kalah ramai dari di halaman. Aku sempat melirik Ibu. Belum pernah kutemui air mukanya bersemu begitu.
“Sebentar lagi kau punya keluarga. Jadi bagaimana layaknya istri, kau harus menjaga kehormatanmu dan suamimu.” Ibu sedikit memberi wejangan di sela waktu lengang.
“Sudah saatnya pengabdianmu. Lepas ini kau ikut apa kata suamimu.” Ibu berdebar-debar menyampaikan. Di sudut matanya ada linang tertahan. “Besok, besok sudah jadi hari baru bagimu,” katanya lagi. Membuatku kikuk.
“Sebagai istri,” Bapak tiba-tiba keluar kamar. “Kau wajib mematuhi suami, bahkan melebihi pada kami orang tuamu.” Bapak duduk di dekatku. Untuk kali pertama aku merasa canggung di hadapannya. Satu-satunya yang kulakukan hanyalah diam mencerna, sama sekali tak menyanggah atau bertanya. Bapak juga menyinggung rumah tangga Sayyidina Ali dan Fatimah putri Nabi.
“Kenapa dalam doa perkawinan selalu hadir nama dan pengharapan seperti keluarga mereka? Tentu rumah tangga mereka patut jadi contoh. Bahkan kekurangan harta tak menjadikan keluarga berantakan.”
Cerita itu sudah kudengar jauh sebelum Bapak menerakan. Namun tak pernah membuatku sedemikian tertegun haru. Barangkali Bapak menyentil berkenaan dengan dekatnya hari perkawinanku.
Tak banyak yang kuinginkan. Jauh di hatiku hanya berharap dapat membina keluarga sebaikbaiknya.
“Tentu kau punya tekad mewujudkan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah, Mai.”
Diam-diam aku mengusap mata ketika Ibu kembali menambahkan. Keteguhanku lebur sama sekali.
Mawaddah wa rahmah…. Dadaku koyak. Air mata menoreh pipi. Dari balik jendela aku memandangi air mukamu yang pias. Berkali tangan Bapak mengentak meja. Kopi yang selalu urung kauteguk bertumpahan. Aku ingin berada di dekatmu, setidaknya menghadapi berdua. Karena aku pun tahu, kemarahan Bapak amatlah kautakuti.
“Bukan apa-apa, Mai. Ini urusan harga diri. Sebetulnya Ibu…,” tiba-tiba Ibu merengkuh bahu. Kedatangannya sungguh mengejutkanku. “Bapak dan Ibu sudah cukup dipermalukan,” katanya lagi dengan suara lirih.
Kepindahanku ke rumahmu tentu karena keinginanmu. Ibu-bapakku sudah mengalah, meski tahu tak ada siapa-siapa di rumah menemani mereka. Sementara di rumahmu, sangatlah berbeda dari sangkaan mereka. Aku pun demikian, serapat mungkin kusimpan agar Ibu-Bapak tidak tahu kegalauanku. Mulut kukunci agar jangan sampai menuturkan ketidaksenangan ibumu kepadaku. Di rumahmu, aku tak pernah ada.
Di depanmu, aku bersikap seolah tak ada masalah. Bukan pula tak berani bilang dari hari ke hari perlakuan ibumu makin menjadi. Alasanku hanya tak mau rumah tangga kita direcoki perselisihan. Selama kau menganggapku, tentu aku senang dan cukuplah. Permasalahan di luar bukan masalah yang benar-benar berarti.
Seorang perempuan yang kutahu dekat dengan ibu mertua kerap datang ke rumah. Itu jarang sekali kau tahu. Bagaimana kau tahu bila sehari-hari sibuk mengajar hingga siang. Ia tak pernah mengajakku bicara, tetapi bersikap nyinyir cukuplah sering. Apalagi mendapat dukungan ibumu. Mereka bercakap-cakap, tertawa ngakak. Tentu berterusterang perihal kehadiranku yang tak pernah mereka harapkan. Entahlah, aku masih bisa bertahan.
Selain karena selalu mengingat Ibu-Bapak, aku bertahan untuk bayi dalam perutku. Mendapatimu juga sangat senang mengetahui hal itu menjadi semangat baru untuk tidak menghiraukan mereka. Sebagai istrimu, aku bersikap sebagaimana mestinya. Ketika malam sering kutemani kau merampungkan tugas atau mengisahkan banyak hal mengenai hidup ini. Sering pula kau memintaku banyak istirahat, perhatian yang kurasa melebihi harapanku.
Namun, lagi-lagi, mendadak semua berubah. Begitu saja aku percaya ibumu. Ia selalu mencekokiku jamu peras buatannya. Katanya, untuk menyehatkan kandungan. Sering perut mules, bayi dalam perutku keras menendang-nendang. Setiap kali kutanya, ibumu berkilah itu pertanda baik bagi bayi dalam kandunganku.
Lalu sebagai puncak, dari waktu ke waktu tak ada lagi yang berdenyut dalam perutku. Apalagi menendang hingga membuatku hampir terjerengkang. Di dalam kamar aku hanya menangis melihat darah tiba-tiba tetes, menderas membanjiri lantai. Aneh, tak sekali pun kurasakan sakit di selangkangan. Perutku juga tidak sakit, meski terlihat berbeda dari biasa. Memang dua minggu terakhir aku merasakan perbedaan; perutku makin susut.
Berkunang-kunang mataku melihat lantai penuh darah. Kali itu aku menyadari, ada yang salah dengan ibumu. Tampaknya dia tenang-tenang saja ketika aku panik mengadu. Malah ketika kau pulang, dia meracuni otakmu.
“Kau keliru memilih istri. Menjaga kandungan saja dia tak bisa.”
Kau bingung.
“Dasar ceroboh.”
Mata ibu mertua mendelik padaku. “Lihat, apa yang telah istrimu perbuat. Kau tidak mungkin punya anak.”
Tentu kau terkejut mendengar. Tanpa kau bertanya, ibumu menjawab, “Diam-diam dia menggugurkan kandungannya.”
Seketika aku terkulai melihat tubuhmu bergetar. Kau tidak percaya padaku, sekeras apa pun upayaku menjelaskan. Tambah tak mungkin bila ibumu terus dan terus meracuni otakmu.
Perihal keguguran itu telah menyebar ke sudut-sudut kampung. Mulut-mulut nyinyir menggunjingkanku. Kata mereka, aku tak punya perasaan. Aku bersikeras menjelaskan padamu. Aku bilang semuanya, perihal perlakuan ibumu selama ini. Bukan untuk menambah lukamu. Memang aku tak kuat lagi menahan. Setidaknya aku masih sama, tiada kuharapkan selain kepercayaanmu.
Suatu hari, tanpa kunyana Ibu-Bapak telah berdiri di muka pintu. Mereka mendengar semua dari tetangga. Tentu tetangga yang kerap dilupakan bahwa merekalah yang paling tahu tingkah dan keadaan kita. Di rumah, setelah berhasil memaksaku pulang, Ibu menegurku kenapa tak bercerita. Sementara Bapak berkali gemetar menahan amarah. Mereka sama-sama menaruh kebencian di dada masing-masing.
“Sudah, sudah, tak perlu panjang-lebar.” Bapak mengentak meja. “Kau tidak pantas jadi suami anakku.”
Dari balik jendela, aku merasakan kegugupanmu. Kau ciut dan tentu dadamu lebur. Berkeping. Sama seperti kurasakan.
“Sebaiknya kauceraikan dia secepatnya.”
Seketika kau terdongak. Jelas linang di matamu. Ingin sekali aku teriak, lalu menghambur ke sisimu. Namun, sungguh, aku tak mampu. Benar-benar tak mampu. (44)

Sumenep, 2018
D Inu Rahman Abadi, kelahiran Sumenep, 17 April 1995. Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Alquran Nurul Islam ini adalah penikmat kopi, senja, dan sastra.