Pram pernah menginginkan kehadiran Kasih, sangat mengharapkannya. Tetapi sekarang tidak
lagi. Pram tidak menginginkannya. Tidak, kalau Lena sudah tidak ada lagi di sisinya…
Semua yang ada di ruangan itu tampak tegang, wajah-wajah kelelahan yang tidak tidur
semalaman, dan sekarangpun mereka belum bisa tidur. Pram terdiam, menatap lampu di atas
ruangan operasi. Lampu itu masih menyala merah, pertanda operasi masih berlangsung. Delapan
jam operasi yang melelahkan, dan Lena, mungkin masih terbaring pucat disana, membiarkan
para dokter membelah perutnya yang rapuh itu. Bayangan itu membuat perutnya bergolak dan
Pram merasa mual. Tentu saja, dia tidak makan apa-apa sejak tadi, hanya secangkir kopi yang
sempat mengisi perutnya, dan semua ketegangan ini membuat asam lambungnya naik.
Segalanya terasa baik-baik saja tadi, bahkan Pram tidak pernah memimpikan saat-saat ini akan
ada. Mereka pasangan yang bahagia, mereka menikah setahun yang lalu, setelah masa pacaran
yang panjang. Pram dan Lena seperti sudah menjadi sepasang kekasih seumur hidupnya. Mereka
mengenal sejak kecil, menghabiskan waktu bersama sejak kecil, dan saling mencintai sejak kecil.
Mereka dibesarkan dengan pengetahuan bahwa mereka akan menikah suatu hari nanti, dan
itulah yang terjadi, pernikahan yang bahagia, pasangan yang saling mencintai, dan berkah yang
luar biasa besar dengan kehamilan Lena hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Pada
awalnya semua sangat membahagiakan, sampai saat Lena mengalami pendarahan-pendarahan
yang makin lama makin parah seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya. Plasenta bayinya
terletak di tempat yang tidak semestinya, sehingga kondisi janin sangat rapuh, hal itu juga
mempengaruhi kondisi sang ibu, yang semakin pucat dan lemah seiring dengan perutnya yang
semakin besar. Saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, Lena harus berbaring seharian di
tempat tidur, aktivitas seringan apapun bisa memacu pendarahan yang membahayakan bayinya,
dan dirinya.
Pram sangat cemas, tetapi Lena sangat optimis, dia begitu bersemangat, dia begitu mencintai
sang calon bayi dan selalu berusaha menenangkan ketakutan-ketakutan Pram akan kondisi Lena.
Setiap malam, di tempat tidur mereka, ketika Pram memeluk Lena dengan perutnya yang mulai
membuncit. Lena akan mengelus pipi Pram dengan senyumnya yang teduh,
“Aku baik-baik saja sayang”, dengan lembut jemari itu menyentuh alis Pram dan kerutan di
dahinya, berusaha menghilangkan kerutan itu, “Kau harus percaya kepadaku, kami berdua baik baik saja di sini” Pram mendesah, dia tidak mencemaskan bayi itu, dia mencemaskan Lena, bayi itu lebih baik tidak ada kalau dia membahayakan kesehatan Lena. Tapi Pram memilih untuk tidak
mengungkapkan pemikirannya, itu hanya akan membuat Lena terluka karena Lena sangat
menyayangi bayi dalam perutnya itu, dan pemikiran bahwa Pram sama sekali tidak keberatan
kehilangan bayi itu asalkan Lena baik-baik saja pasti akan sangat melukai isterinya.
“Kau lebih sering mengalami pendarahan ahkir-ahkir ini, dan dokter menyuruhmu berbaring
seharian di tempat tidur, bagaimana mungkin aku tidak mencemaskanmu?”, bisik Pram serak.
Lena tersenyum dan menyentuhkan jemarinya ke bibir Pram, membiarkan Pram mengecupnya,
“Aku tidak keberatan berbaring seharian di ranjang demi anak kita”.
Dengan putus asa Pram mencoba mempererat pelukannya kepada tubuh rapuh itu,
“Aku tidak akan bisa tahan kalau harus kehilanganmu Lena…”, suaranya menghilang ditelan
emosi, membuat Lena segera merengkuhnya lembut,
“Aku akan baik-baik saja Pram, kau tidak akan kehilanganku, aku berjanji.”
Dan sekarang Pram mulai meragukan janji itu. Kemarin sore, ketika akan ke kamar mandi, Lena
terpeleset, jatuh di lantai kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat, pembantu
menemukannya hampir setengah jam setelah Lena terjatuh, terbaring tak sadarkan diri di sana
dan kehilangan banyak darah.
Seperti orang gila Pram menyusul ke rumah sakit, hanya untuk menemukan bahwa Lena sudah
masuk ke ruang operasi dan dia tidak boleh melihatnya,
“Anda tunggu saja di sini, kami akan berusaha menyelamatkan bayinya”, Seorang dokter senior
yang sudah mengenakan pakaian operasi menepuk bahunya, berusaha menenangkan Pram yang
tampak begitu pucat pasi,
“Aku tidak peduli dengan bayinya !!! selamatkan isteriku !! dia harus hidup !!”, Pram berteriak
seperti orang gila, mengiringi dokter itu masuk ke pintu ruangan operasi yang segera tertutup di
belakangnya.
Sudah delapan jam berlalu, dan pintu operasi itu masih belum terbuka.
Pram menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap lelah ke sekelilingnya, kedua orang tuanya
duduk disana, berikut kedua orang tua Lena, mereka tampak sama menyedihkannya dengan
Pram, pucat, kusut dan penuh kecemasan luar biasa. Dengan sedih Pram menatap ke langit-langit,
berusaha menyingkirkan ketakutan-ketakutan yang mulai membayangi pikirannya.
Lalu pintu ruang operasi itu terbuka, seketika itu juga Pram berdiri, diikuti seluruh keluarganya,
Dokter operasi yang sebelumnya masuk dengan wajah segar dan optimis kini tampak lelah dan
tak bersemangat, dia menyalami Pram dengan lembut,
“Selamat Tuan Pram, Puteri anda lahir dengan selamat meskipun prematur, dia bayi yang sangat
cantik dan begitu kuat”,
Pram tidak peduli, bukan itu yang ingin didengarnya.
“Bagaimana dengan isteriku?”
Bahkan sebelum dokter itu mengucapkannya, dia sudah tahu, hanya dengan melihat sorot
kesedihan di mata dokter itu, dia sudah tahu…
“Maafkan kami Tuan Pram, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi isteri anda tidak dapat
diselamatkan, dia kehilangan banyak darah, kami lalu memfokuskan untuk menyelamatkan
nyawa kecil di dalam perutnya, sebelum kami kehilangan kedua-duanya, maafkan kami…..”
Dokter itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena Pram menghantamnya dengan keras,
tubuhnya merangsek maju dengan brutal, sehingga dua perawat pria yang dibantu petugas
keamanan langsung meringkusnya
Pram meronta-ronta seperti orang gila, berusaha menyerang dokter itu, matanya nyalang penuh
keinginan membunuh,
“Kenapa tidak kau selamatkan isteriku ?? aku tidak butuh anak itu !! aku butuh isteriku !! Lebih
baik kau bunuh saja bayi itu, karena aku tidak menginginkannya, dia membunuh isteriku !!!”
***
Pram menatap ke balik kaca, sosok bayi kecil yang tertidur dalam kotak inkubator. Pram sudah
tenang sehingga ibunya membiarkannya menengok ke ruang bayi, berharap agar Pram
mengubah pikirannya tentang si bayi.
“Dia bayi yang kuat bukan?”, Ibunya menatap ke balik kaca, ke arah cucunya dengan penuh kasih.
Pram hanya terdiam, tidak mengatakan apa-apa. Bagaimana bisa monster pembunuh yang begitu
kejam bersembunyi dibalik sosok yang begitu lemah? Bayi itu sangat mungil, dia tidak cantik,
kulitnya keriput dan matanya terpejam. Sosok itu tampak rapuh, tapi Pram tahu, dibalik
kerapuhan itu, tersembunyi kekuatan besar yang telah merenggut nyawa Lena, isteri yang sangat
dicintainya.
Ibumu sangat mencintaimu. Tetapi kau begitu tega merenggut nyawanya dengan kehadiranmu.
Pada saat Pram membawa pulang jenazah isterinya dan memakamkannya, dia berdiri di depan
tanah yang masih merah itu, mengucapkan sumpah dalam hatinya.
Lena, kau selalu hidup di dalam hatiku, dan kini saat kau meninggalkan dunia ini, hatiku akan ikut
mati bersamamu. Kau bisa pegang sumpahku ini.
***
Tujuh tahun telah berlalu dan si bayi prematur itu telah tumbuh menjadi anak yang cantik, dia
diberi nama Kasih, nama yang sudah disiapkan ibunya lama sebelum dia dilahirkan. Kasih tinggal
bersama kakek dan neneknya yang sangat mencintainya. Namun begitu, sebuah pertanyaan
selalu muncul di dalam hatinya, sebuah pertanyaan bocah kecil yang polos, yang hanya
menginginkan kejujuran,
“Kenapa Papa tidak pernah menengokku, nenek? Apakah dia tidak merindukanku?”
Dan sang nenek akan memandangnya dengan pedih, lalu memalingkan muka.
“Papamu orang yang sangat sibuk sayang, dia sering berpergian ke luar negeri dan jarang pulang,
nanti kalau dia sudah bisa menyisihkan waktu, dia pasti akan menengokmu”, rasa bersalah
muncul di hati sang nenek setiap kali dia membohongi kasih dengan harapan semu, tetapi Kasih
masih terlalu kecil untuk menanggung kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri sangat
membencinya, dan menyalahkannya atas kematian ibunya, sang Nenek menenangkan hati
bahwa apa yang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kasih dari luka hati,
Kasih menatap foto kedua orang tuanya di pigura kecil berbentuk hati, pigura foto itu selalu
dibawanya kemana-mana karena dia memang tidak pernah merasa memiliki orang tua yang
sesungguhnya. Mama yang dia ketahui, hanyalah dia kenal lewat foto-foto dan cerita kenangan
dari kakek dan neneknya.
Sedangkan Papanya, Kasih bahkan hanya mempunyai sedikit ingatan tentangnya, sosok lelaki
dingin yang tidak mau melihatnya, dan kunjungan singkat sang papa yang begitu kaku, sama
sekali tidak membantunya untuk membuat ingatan kenangan tentang Papanya, bahkan hari-hari
ulang tahunnya berlalu tanpa ucapan dari sang papa.
Kasih tidak tahu bahwa hari ulang tahunnya merupakan peringatan paling menyakitkan dari Pram.
Itu adalah hari dimana isteri yang sangat dicintainya direnggut paksa dari sisinya. Kasih sama
sekali tidak paham itu, dia hanyalah seorang anak, dengan pemikiran anak-anak, yang hanya ingin
dicintai oleh orangtuanya. Dan seminggu lagi, kasih akan merayakan ulang tahunnya yang ke
tujuh, seperti impian-impian sebelumnya yang tidak pernah terkabul, ia hanya ingin papanya
datang di hari ulang tahunnya.
“Nenek, apakah papa akan datang di hari ulang tahunku nanti?”, Kasih tahu pertanyaannya
mengganggu sang nenek, karena ekspresi wajah neneknya langsung berubah sedih. Tapi dia tidak
bisa menahan diri untuk bertanya.
Sang Nenek mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya dan mengusap rambut Kasih
dengan lembut,
“Nenek akan berbicara dengan papamu, semoga dia bisa meluangkan waktunya ya”
Pancaran bahagia yang berkilauan di mata Kasih membuat hati sang nenek mencelos, karena dia
tahu, pancaran mata itu akan hilang begitu dia dikecewakan seperti tahun-tahun sebelumnya,
dan anehnya itu tidak pernah membuat Kasih berhenti berharap. Setiap tahun Kasih masih terus
memohonkan kehadiran papanya di hari ulang tahunnya, dengan kepolosan anak-anak yang tidak
mengerti kenapa sang Papa tidak menginginkannya,
***
“Ibu mohon, sekali ini, hadirlah di pesta ulang tahun Kasih, dia sangat mengharapkanmu”, Liana
menatap Pram dengan penuh permohonan. Hari ini dia menyempatkan diri mengunjungi Pram di
kantornya. Itulah satu-satunya cara menemui putra semata wayangnya ini sekarang, karena Pram
jarang sekali ada di rumah, dia selalu berpergian ke luar kota untuk keperluan bisnisnya, seolaholah
putranya
itu
tidak
tahan
berada
satu
kota
dengan
Kasih.
Dan
jika Pram ada di rumah, maka sudah pasti dia tidak mau mengunjungi rumah kedua orang
tuanya. Tujuh tahun sudah berlalu, tetapi Pram menghindari Kasih seperti menghindari wabah
cacar yang menular, dan itu sangat menyedihkan, bukankah Kasih adalah anak kandungnya?
Anak semata wayangnya, buah cintanya dengan isteri yang sangat dicintainya? Selama ini Liana
diam saja melihat perlakuan Pram kepada Kasih, berharap naluri kebapakan Pram akan tumbuh
seiring dengan berjalannya waktu, tetapi harapannya itu tidak pernah terwujud, bukannya bisa
mengubah sikap menjadi menyayangi Kasih, anaknya itu malahan semakin lama semakin
menjauh dan menghindari putri kandungnya sendiri.
Pram duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan memandang sang ibu diseberangnya
dengan dingin,
“Bukankah aku sudah mengirimkan uang untuk merayakan pesta ulangtahunnya secara besarbesaran
setiap
tahun?
Tidakkah
itu
cukup
untuknya?”
Liana
memperhatikan
bahwa
Pram
bahkan
menghindari
untuk
menyebut
nama
anaknya,
dan
itu
terasa
sangat
menyedihkan,
“Dia
menginginkan
kehadiran
papanya,
Pram.
Dia
sudah
semakin
besar
dan
sudah
bisa
berpikir
kenapa Papanya tidak pernah menemuinya, kau pikir ibu tidak sedih ketika dia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentangmu?”
Rahang Pram mengeras, dia tidak suka di desak, dia tidak suka membicarakan tentang Kasih. Dia
ingin semua keadaan tetap seperti ini dimana dia dan Kasih sebagai individu yang terpisah, tidak
perlu berhubungan sama sekali. Oh, bukannya dia tidak ingin tahu, pernah suatu kali rasa ingin
tahu mendorongnya melakukan perbuatan yang disesalinya, pernah dia mengemudikan mobilnya
diam-diam dan parkir di sudut tak terlihat di depan sekolah Kasih, lalu dia melihat anak itu,
sialnya, Kasih bagaikan pinang dibelah dua dengan Lena, semua yang ada di diri kasih
mengingatkannya kepada Lena, dan itu menyakiti hatinya sampai ke dasar.
Siang itu Pram pulang ke rumah, mabuk-mabukan, merasakan hatinya dihancurkan untuk
kesekian sekalinya. Lalu dia bersumpah, dia tidak akan membiarkan dirinya tergoda untuk
melihat Kasih lagi, sudah cukup hatinya hancur terberai, tak akan dibiarkannya kesakitan yang
sama menderanya lagi. Pram membenci Kasih, anak itu seharusnya tidak pernah dilahirkan. Kalau
saja Pram tahu bahwa kehamilan Lena akan membunuhnya, Pram tidak akan pernah
membiarkan Lena hamil. Lebih baik dia hidup tanpa anak, daripada kehilangan Lena.
“Jangan paksa aku ibu, aku tidak bisa”, suara Pram terdengar dingin dan dia berpura-pura
menyibukkan diri dengan tampilan data di layar komputernya.
“Pram, kau tidak bisa selamanya seperti ini. Kasih adalah putri kandungmu, kau adalah ayahnya,
kau bisa menyangkal segalanya, tetapi garis darah adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal, ibu
ingin kau menyadari ini, menghilangkan semua kebencianmu dan berusaha menyayangi Kasih
seperti seharusnya seorang ayah menyayangi puterinya, kau tidak bisa terus menyalahkan Kasih
atas kematian Lena, kematian Lena adalah takdir yang digariskan Tuhan, dan kau tidak akan
pernah bisa menyangkal takdir”.
“Aku akan melakukan apapun yang aku mau. Lagipula Apa tidak cukup aku memberikan
pembiayaan yang melimpah untuk mencukupi kehidupan anak itu? Dan itu sudah melebihi batas
toleransiku, aku tidak bisa melakukan lebih, seperti yang ibu harapkan”
“Pram !”, suara Liana meninggi menanggapi kekerasan hati anak laki-lakinya, “Kasih sangat
mencintaimu, ingatlah itu, meskipun perlakuanmu begitu kejam kepadanya, dia mencintaimu…
dia….”
“Ibu”, suara dan ekspresi Pram tampak begitu tersiksa, hingga Liana menghentikan kata-katanya,
“Tolong jangan paksa aku, aku tidak bisa… aku tidak akan tahan lagi”, kepedihan dalam suara
Pram menyuarakan hatinya yang sudah terkoyak hancur sehingga mau tak mau Liana merasa
terenyuh. Kematian Lena sudah tujuh tahun berlalu, dan putranya itu masih patah hati.
“Maafkan ibu Pram, ibu mencintai kalian berdua, karena itu ibu melakukan ini, ibu hanya ingin
kalian berdua bahagia”
“Kalau begitu biarkan keadaan tetap seperti ini”, gumam Pram dengan suara memohon, sekaligus
menutup pembicaraan.
Malam itu Pram berkemas, dia menugaskan dirinya sendiri untuk melakukan perjalanan bisnis ke
Jepang selama dua minggu. Pergi jauh-jauh dari anak itu dan hari ulang tahunnya. Hari dimana
anak itu membunuh Lena, isterinya.
***
“Jadi papa tidak akan datang?” , kesedihan di suara kekanak-kanakan itu mengiris hati Liana, dia
mengelus kepala cucu perempuannya itu, semakin bertambah umurnya, Kasih semakin
menyerupai Lena, mungkin itu juga yang membuat Pram tidak tahan melihatnya, tetapi Kasih
adalah pribadi yang berbeda dengan Lena, dia lebih ceria, dan dia lebih lincah, senyumnya seperti
matahari yang membawa kebahagiaan dimana-mana. Seandainya saja Pram sadar, bahwa luka
hatinya mungkin akan tersembuhkan ketika dia mau menerima kehadiran Kasih,
“Tapi papa bilang dia akan mengirimkan hadiah untukmu”, Liana mendesah dalam hati. Pram
tidak pernah lupa mengirimkan hadiah. Tetapi hadiah itu tidak pernah diberikan secara personal.
Pram selalu memberikan uang kepada Liana, dan Lianalah yang membelikan hadiah untuk Kasih
dan menuliskan nama Pram di kartunya. Sangat menyentuh ketika melihat binar bahagia di mata
Kasih ketika menerima hadiah yang dikiranya dari papanya.
Kasih memeluk neneknya erat-erat.
“Kasih ingin bertemu papa, nek… kenapa semua anak lain bisa selalu bersama papanya, tetapi
Kasih bahkan tidak bisa bertemu papa Kasih sendiri?”
Liana memeluk Kasih erat-erat, dan mengecup puncak kepala cucu kecilnya itu,
“Bersabarlah nak, semoga papamu akan punya waktu untukmu suatu saat nanti…”, suaranya
tercekat ketika merasakan betapa dinginnya tubuh Kasih, anak itu sudah setengah lunglai di
pelukannya,
“Astaga Kasih, badanmu dingin sekali…. Kau sakit..???”, suara Liana berubah menjadi teriakan
panik dan ketakutan.
***
Pram sedang duduk di sofa hotelnya setelah pertemuan yang melelahkan dengan mitra bisnisnya.
Dia menatap pemandangan ke luar jendela, musim gugur sudah hampir berahkir di Jepang dan
udara mulai dingin di luar, sedingin hatinya. Hari ini adalah hari ulang tahun anak itu. Pram sudah
berusaha melupakannya, tetapi entah kenapa dia selalu mengingatnya. Hatinya yang penuh
dendam selalu mendorongnya untuk mengingat hari ini sebagai hari pembunuhan yang dilakukan
anak itu kepada isterinya. Tetapi entah kenapa selalu ada suara berbisik di sisi lain hatinya,
mengatakan kebenaran yang tak terbantahkan. Hari ini adalah hari ulang tahun anaknya, dan dia
seharusnya ada di sisi anaknya, ikut merayakan bersamanya.
Tetapi bisakah dia ? Pram memikirkan kemungkinan itu dan perasaannya terasa pedih, bisakah
dia merayakan hari kelahiran anak itu? Bukankah itu sama saja dengan merayakan hari kematian
isterinya?
Tiba-tiba ponselnya berdering. Pram meliriknya dan melihat nama ibunya di LCD. Dia mendesah,
apa yang ada di pikiran ibunya? Menelfonnya pada saat ini? Apakah ibunya akan memaksanya
untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada anak itu?
Pram membiarkan ponsel itu berdering tanpa mengangkatnya, tetapi ibunya di sana rupanya
sangat keras kepala, sejenak Pram tergoda untuk mematikan ponselnya, tapi dia lalu sadar kalo
hal itu terkesan kekanak-kanakan untuk lelaki seumuran dia. Dengan enggan diangkatnya
telephone itu.
”Ibu?”
Suara panik disana bahkan tidak menunggu Pram menyelesaikan sapaannya,
“Kau harus pulang sekarang, Kasih masuk rumah sakit. Kondisinya kritis, katup jantungnya
bermasalah. Kau harus pulang sekarang Pram, mungkin ini satu-satunya kesempatanmu melihat
putrimu, kau akan menyesal kalau tidak melakukannya”, suara tangis ibunya terdengar makin
keras di seberang sana, dan hubungan telephone tertutup.
Sepuluh menit kemudian, Pram masih duduk disana, menatap layar ponselnya seperti terhipnotis,
berusaha mencerna kata-kata ibunya. Dan ketika dia mengerti semuanya, jantungnya berdegup
begitu kerasnya. Apakah mungkin ini salah satu taktik ibunya agar dia mau menemui anak itu?
Tapi tidak, ibunya tidak pandai berakting, dan tangis yang didengarnya tadi benar-benar tangis
panik yang penuh kesedihan. Lagipula ibunya tidak akan berbohong untuk hal-hal segenting ini.
Kemudian, didorong oleh kekuatan yang tidak diketahuinya, Pram menekan nomor telephone
sekertarisnya,
“Iya Pak Pram?”
“Carikan aku penerbangan pertama ke Jakarta sekarang juga!, putriku sakit parah”
***
Lorong rumah sakit yang sama, dan Pram melangkah dengan hati-hati. Setiap langkah seperti
membawa kepedihan ke dalam hatinya. Sejak kematian Lena, Pram selalu menghindari Rumah
Sakit. Dan ini adalah rumah sakit yang sama tempat Lena meregang nyawanya saat itu, hanya
sekarang Pram diarahkan ke bagian anak-anak.
Kedua orang tuanya ada disana, juga orang tua Lena. Wajah-wajah cemas yang sama seperti
malam itu, sejenak Pram merasakan keironisan yang menggelikan. Kenapa Tuhan mengumpulkan
mereka di tanggal yang sama dan tempat yang sama seperti malam itu?
Liana langsung menghambur ke pelukan Pram begitu melihat anaknya, tangisnya tak tertahankan.
“Katup jantungnya bermasalah Pram. Kita sudah tahu ketika pertama kali Kasih dikeluarkan dari
incubator, bahwa katup jantungnya tidak normal, tetapi selama ini Kasih tampak baik-baik saja,
dan tadi dokter mengatakan bahwa kondisi Kasih sangat mengkhawatirkan”, suara Liana pecah,
“Dia… dia mungkin tidak akan bertahan… anak sekecil itu…”
Pram menatap ke arah kamar tempat Kasih dirawat tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya dia
senang? Mungkin Tuhan memberikan pembalasan dendam yang terbaik untuknya, anak itu, yang
telah membunuh isterinya, akan mati. Tetapi mengapa jantungnya serasa diremas sampai ngilu?
Kenapa rasanya begitu sakit memikirkan anak itu akan dicabut nyawanya dari dunia ini?
Dengan tenang dia melepaskan diri dari pelukan Ibunya, dan melangkah masuk ke dalam kamar
perawatan itu. Semuanya membiarkannya, seakan-akan memberikan kesempatan kepada Pram
untuk berdua saja dengan Kasih. Kesempatan yang mungkin menjadi saat pertama dan
terahkirnya.
Pram duduk di tepi ranjang, matanya masih tidak berani menatap ke arah ranjang anaknya,
tatapannya terpaku kepada tangan mungil itu, yang ditusuk dengan jarum infus dan selang selang
lain yang terhubung dengan alat elektronik yang memonitor detak jantungnya. Tangan itu kurus
sekali, dan terlihat begitu rapuh, dengan takut-takut, Pram menyusuri pandangannya dari tubuh
mungil yang terbungkus selimut itu, naik ke wajah kecil yang terpejam itu.
Seketika itu juga dadanya terasa ditinju.
Itu adalah versi mungil dari Lena, yang dicintainya. Versi mungil yang lebih montok dan lebih
kekanak-kanakan, tetapi sudah jelas menunjukkan kalau dia adalah anak Lena…. dan anaknya.
Bibir itu jelas-jelas diturunkan darinya. Bibir penuh yang menipis tegas kalau marah. Anak ini
adalah putrinya, darah dagingnya.
Pikiran Pram melayang ke masa-masa sebelum anak itu lahir. Masa ketika dia memeluk erat Lena
dan menciumnya berkali-kali setelah mendengar diagnosa positif hamil dari dokter, masa dimana
dia dengan manja meletakkan kepalanya di perut Lena, memejamkan mata dengan damai, dekat
dengan bayinya dan menikmati elusan tangan Lena di kepalanya. Masa dimana dia menciumi
perut Lena dan menangis bahagia ketika merasakan tendangan pertama sang bayi. Masa dimana
dia dan Lena berbaring bersama, dengan segenap impian calon orang tua, mencari-cari nama
bayi, membayangkan bagaimana mereka akan mendidik anak mereka nanti.
Anak itu diciptakan dengan penuh cinta dalam pelukannya dengan Lena, anak itu dikandung
dalam kebahagiaan dan cinta kasih semua orang tua yang menantikan kehadiran calon bayinya.
Anak itu adalah hasil dari cinta yang tulus antara dia dengan isterinya, dan dia dengan kejam
menolaknya, tidak mau melihatnya, tidak mau mengakui hubungan darahnya. Salah apakah anak
ini sampai dia tega menghakiminya atas perbuatan yang tidak dia lakukan? Demi Tuhan!, anak ini
baru berusia tujuh tahun!
Tangan Pram gemetar ketika dia menggenggam jemari Kasih yang begitu rapuh,
“Kasih”, nama itu terucap di bibirnya bagaikan mantra, nama yang selama ini bagaikan sesuatu
yang tabu dan terlarang untuk terucap dari bibirnya selama tujuh tahun, dan sekarang ketika dia
berhasil mengucapkannya, nama itu seolah mengalir tak mau berhenti, “Kasih… Kasih”, air mata
mengalir dari mata Pram, membasahi bibirnya yang gemetar. “Kasih, ini papa nak, ini papa….”,
Pram menyadari betapa dia akan menanggung penyesalan seumur hidupnya kalau sampai dia
tidak punya kesempatan lagi untuk melihat mata anaknya terbuka, untuk memeluk tubuh mungil
itu, untuk meminta maaf kepadanya, untuk membiarkan bibir mungil itu memanggilnya ‘papa’
“Maafkan Papa nak, selama ini papa tidak pernah ada untukmu. Kau adalah buah cinta dari
mamamu, dan papa menelantarkanmu”, Pram meremas tangan kasih, “Berjuanglah nak, beri
papa kesempatan untuk menebus semuanya, papa akan berusaha sekuat tenaga agar kau
sembuh, ada dokter-dokter di luar sana yang pasti bisa menyembuhkanmu, papa tahu itu. Tetapi
sekarang papa mohon kepadamu untuk berjuang, bertahanlah, sadarlah nak, berilah papa
kesempatan untuk menyayangimu, yang tidak pernah bisa papa lakukan selama tujuh tahun ini…”
Pram menatap Kasih penuh kesempatan, tetapi putri mungilnya itu tetap terbaring pucat tak
bergeming, seperti puteri tidur yang tak ingin bangun lagi.
Sebuah tangan meremas bahunya lembut, Pram mendongak dan melihat Liana berdiri di
sampingnya, wajahnya penuh air mata, tetapi senyumnya penuh dukungan.
“Dia tidak mau bangun ibu”, suara Pram pecah, “Mungkin dia bahkan tidak mengenali suaraku”
Liana menggelengkan kepalanya,
“Dia pasti mendengar suaramu, meskipun dia tidak sadar Pram, hanya kaulah yang disayanginya
selama ini, kau tahu, dia selalu membawa-bawa fotomu, kisah tentangmu adalah dongeng
pengantar tidurnya, dia mencintaimu dengan sepenuh hatinya”
Pram meremas tangan mungil yang lunglai itu, hatinya teriris mendengar kata-kata Liana,
Sungguh tidak adil, selama ini dia menolak putrinya sendiri, memperlakukannya seperti musuh,
dan gadis kecil ini tetap mencintainya, sungguh dia tidak pantas dicintai seperti itu. Tuhan
memang pantas menghukumnya, tetapi bukan dengan mengambil Kasih darinya, dia tidak akan
tahan kalau harus kehilangan Kasih sebelum dia bisa menunjukkan kepada anak itu betapa dia
mencintainya.
“Kau anak yang kuat Kasih”, Pram mengecup jemari mungil itu, “Waktu itu kau terlahir dengan
bobot kurang dari bayi normal, kulitmu keriput dank kau jelek sekali”, Pram tertawa di antara
tangis, “Tapi kau anak yang kuat, kau bertahan dan kau mengalahkan semuanya, kau bahkan
mengalahkanku….. dan untuk sekarang ini, papa mohon, berjuanglah nak, bertahanlah, papa
berjanji akan melakukan apapun untuk membuatmu sehat lagi”
Pram menatap Kasih, dan anak itu tetap terdiam tak bereaksi, tangisnya pecah dan dia
membenamkan kepalanya ke pinggiran ranjang, hatinya hancur dan dia hanya bisa meratap.
Sampai kemudian dirasakannya tangan rapuh itu menyentuh kepalanya, dengan takut-takut
Pram mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan mata bening itu. Mata yang sama dari
perempuan yang dulu pernah dicintainya sepenuh hati, mata putri semata wayangnya,
“Papa?”,
Suara lemah itu bagaikan alunan musik ditelinganya, dan hati Pram meledak dipenuhi oleh rasa
syukur dan bahagia.
Terimakasih Lena, terimakasih telah meninggalkan malaikat kecil ini untuk kucintai. Aku akan
menjaganya. Kau boleh pegang sumpahku ini.
Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar