Daftar Blog Saya

Kamis, 21 Desember 2017

Anak Laki-laki yang Terus Berdoa Menjelang Tidur

Cerpen Guntur Alam (Tribun Jabar, 17 Desember 2017)
Anak Laki-laki yang Terus Berdoa Menjelang Tidur ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Anak Laki-laki yang Terus Berdoa Menjelang Tidur ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
“GARA-gara kau dia jadi kayak banci!”
Dan Mama menangis mendengar tudingan itu. Sementara kau, sejak petang Mama dengan kasar menghapus bekas lipstik di bibirmu, kau selalu berdoa menjelang tidur. Tuhan, kumohon, apa saja, asal jangan jadikan aku banci.
***
“KAU beri makan apa dia sampai jadi kayak banci!”
Kau masih bisa mendengar kalimat-kalimat yang terluncur dari mulut Papa. Kata Mama kau harus duduk di kursi ini, tak boleh beranjak ke mana pun, tak boleh berbuat apa pun, termasuk bila perang meletus antara Papa dan Mama. Papa lagi kesal. Pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Bos baru Papa tak suka memberi libur. Jadi Papa meledak. Dia tak marah padamu. Kau jangan ke mana-mana. Duduk di situ saja. Kau anak baik. Kau tahu, kau anak baik. Kau tak pernah membuat Mama menangis.
Sesekak telunjuk Papa mengarah padamu, walau wajah merahnya tetap pada Mama. Kau melihat wajah Mama kusut, dari sini kau juga dapat melihat Mama berkali-kali menghela napas. Dan Mama menangis. Kau benci melihatnya menangis. Kau pasti akan menangis juga bila Mama menangis. Kau jangan menangis. Apa pun yang terjadi. Diam saja di kursi ini. Bila kau menangis, nanti Papa memarahimu, juga semakin mengomeli Mama. Apa kau ingin melihat Papa marah? Kau menggeleng. Kau memang anak manis. Ya, kau memang anak yang manis. Teman-teman sebayamu juga berkata begitu, kau manis bila mengenakan lipstik Mama. Jadi kau memakainya tadi dan Papa memergokimu dan dia tak suka kau bermain-main dengan lipstik Mama.
Mama beranjak, meninggalkan Papa yang berteriak. Papa mencengkeram rambutnya sendiri, lalu membanting gelas di atas meja. Kau terlonjak, tapi tergesa membetulkan dudukmu. Kau tak boleh bergeser sedikit pun. Mama tak menoleh. Kau anak baik. Kau harus menuruti perintah Mama. Kau juga anak manis, jadi kau tak boleh pergi ke mana-mana, termasuk tak boleh bergeser sedikit pun.
Mama mengambil tanganmu, dia menarikmu. Kau seketika meloncat dari kursi, lalu setengah berlari mengikuti langkahnya yang lebar-lebar.
Kita mau ke mana, Ma?
Tak ada jawaban. Mama hanya terus berjalan tergesa-gesa, menuju lantai dua. Kau menduga kalian akan kembali ke kamarmu.
Apa kita akan berkemas dan tidur di rumah Nenek?
Mama tetap tak menjawab. Kau suka di rumah Nenek. Kau menyukai sepupumu. Mei. Dia cantik sekali. Dia pandai memakai lipstik dan bedak, membuatnya terlihat jauh lebih manis. Mei pun bilang kau manis, dia menyukaimu. Dia suka mendandanimu. Dan kau suka didandaninya. Hanya saja kau membenci abangnya Mei. Juni. Dia suka mengolok-olok dirimu. Katanyu kau mirip banci. Dan kau benci dipanggil dengan sebutan itu. Walau setiap kau tidur di rumah Nenek, Juni selalu merengek-rengek pada mamamu agar kau tidur di kamarnya. Dia bilang sayang dirimu. Dia tak tega bila kau tidur berimpit-impitan dengan Mama dan Mei dan nenek. Padahal bukan itu alasannya, Juni suka mengajakmu bermain permainan rahasia bila malam di kamarnya. Dan karena itu rahasia, kau tak boleh menceritakan kepada siapa pun, termasuk kepadaku yang menulis cerita ini.
Ma, apa banci itu?
Apa aku mirip banci?
Apa banci itu menyebalkan jadi Papa marah?
Apa semua orang nggak suka dengan banci?
Kau menghujani Mama dengan pertanyaan beruntun, tapi tak satu pun yang dia jawab. Saat marah dan kesal Mama memang tak suka menjawab apa pun pertanyaanmu. Walau kau hampir mati penasaran karenanya. Dia tak akan peduli. Dan kau tetap bandel untuk terus bertanya. Sesampainya di kamarmu, dia mengangkatmu ke atas tempat tidur. Menyentakmu. Kau terkejut. Mama tak pernah sekasar itu. Lalu kedua tangannya berada di pundakmu. Matanya mendelik. Basah. Kalian saling menatap.
Ya! Semua orang membenci banci. Semua orang. Jadi kau jangan jadi banci! Mama berteriak. Kau mengkeret. Rasanya gendang telingaku jebol oleh teriakan Mama.
Temrasuk Mama? Kau bertanya takut-takut, sembari menunduk dan melirik.
Mama tak menjawab. Tangannya dengan kasar mengusap bibirmu, berusaha menghapus bekas lipstik yang ada di sana. Kau ingin menangis karena bibirmu pedih. Tapi kau menahannya. Kata Mama anak baik tak boleh menangis. Anak baik tak cengeng, walau dia merasa sesakit apa pun. Dan kau tetap ingin jadi anak Mama yang baik.
Termasuk Mama?
Kau masih mengulangi pertanyaan yang sama. Sementara Mama masih sibuk menghilangkan bekas lipstik di bibirmu. Kau merasa ada dosa besar di bibirmu dan Mama berusaha sekuat tenaga menghapus dosa itu.
Termasuk Mama?
Tuhan pun membenci banci!
Dan kau menangis dalam hati. Malam itu, dalam remang kamar kau tak bisa tidur, matamu terus menyalang dan kata-kata Mama seperti menghantuimu. Kau sedih. Baru kali ini kau merasa demikian sedih. Padahal kata Mama, bila kau menjadi anak baik dan manis, kau tak akan pernah merasa sedih selama-lamanya. Namun malam itu untuk pertama kalinya dalam hidupmu kau merasa sedih. Mungkin karena kau merasa Mama pun membencimu karena kau mirip banci kata Papa. Sebab Mama bilang semua orang benci banci termasuk Tuhan. Ah, tapi Mama tak menjawab langsung ketika kutanya. Kau berusaha menghibur diri, tapi kau merasa penghibur yang payah. Kau gagal untuk menyenangkan hatimu sendiri.
Kau teringat akan pesan Mama, sebelum tidur kau harus berdoa, karena Tuhan mewujudkan segala doa yang diucapkan anak baik setiap dia akan tidur. Sejak malam itu, kau melantunkan doa yang sama. Tuhan, kumohon. Apa saja, asal jangan jadikan aku banci.
***
“BERHENTI menjadi mirip banci!”
Tinju Papa mendarat telak di wajahmu. Kau tak dapat mengelak. Kau tersungkur. Rasanya ada sesuatu yang terloncat dari mulutmu, lalu ludahmu berubah merah.
Apa ada yang menuang fanta di mulutku?
Kau suka sekali dengan minuman bersoda itu. Bibirmu pasti memerah setelah meminumnya. Jadi kau tak perlu memoleskan lipstik Mama agar terlihat manis dengan bibir yang merona. Namun rasa ludah merah di mulutmu kali ini asin, bukan manis, lebih mirip MSG. Kau tak suka MSG, sebab Mama melarangmu membeli jajanan yang banyak MSG-nya. Kata Mama MSG bisa membuatmu menjadi bodoh. Tapi kata Papa kebanyakan makan MSG yang akan membuatnya jadi banci. Kau tak tahu, apa itu benar?
Mama berlari ke arahmu. Dia tergopoh, wajahnya cemas. Papa mendengus. Kau berusaha bangkit dari rumput yang memelukmu. Rasanya ada yang aneh di mulutmu. Tangan Mama bergetar, dia mengelap wajahmu dengan sapu tangan. Dan air matanya menetes, dia menoleh pada Papa. Kau berdiri gemetar. Tumpahan fanta itu begitu banyak di sapu tangan Mama.
Kau akan membunuhnya! Kau akan membunuhnya!
Mama menarik tanganmu. Melepaskan dengan paksa sarung tinju yang disurumkan Papa padamu. Air mata Mama berurai, kau ingin menangis karena tumpahan fanta itu semakin banyak. Mengalir dari mulut dan hidungmu. Tapi kau tetap ingat pesan Mama, anak baik tak boleh menangis. Sesakit apa pun. Kau anak manis Mama, kan? Kau mengangguk. Anak manis Mama tidak menangis.
Dia akan jadi laki-laki! Anak laki-laki biasa berkelahi! Biasa berdarah! Kau terlalu lembek!
Kau akan membunuhnya! Kau akan membunuhnya!
Caramu ini yang membuat dia jadi banci!
Mama menarik tanganmu. Bergegas nreninggalkan rumput halaman belakang yang memerah karena sebotol fanta yang telah kau minum berminggu-minggu lalu, tumpah petang ini. Kau menoleh pada Papa, dia mendelik. Kau membuang wajah, mengikuti langkah Mama yang besar-besar. Di kamar mandi, Mama membasuh wajahmu. Ada rasa perih yang ganjil. Kau tak tahu dari mana muasalnya, mungkin dari mulutmu atau justru dari dada Mama yang tiba-tiba terbelah begitu saja. Dalam irama air yang jatuh dari keran, kau mendengar Mama bersenandung lirih. Kau suka mendengar Mamra menyanyi, tapi nadanya petang ini terlalu pilu.
***
MA, apa aku akan jadi banci?
Akhir-akhir ini kau terlalu suka bertanya kata Mama. Dan menurutmu belakangan ini Mama tak suka menjawab.
Apa gigiku akan tumbuh lagi?
Apa aku akan ompong selama-lamanya?
Apa anak laki-laki yang gigi depannya ompong masih manis?
Bila aku tidak manis lagi, apa Mama masih mencintaiku?
Jika aku jadi banci, apa Mama masih mencintaiku?
Mama seperti kehabisan jawaban atas rentetan pertanyaan yang sering kau lontarkan. Kau menduga sebenarnya Mama punya jawabannya, tapi dia tak ingin menjawabnya. Kau tak tahu apa alasan Mama tak ingin menjawab. Mungkin Mama hanya tak ingin menjawab.
Gigimu akan tumbuh lagi. Kita sudah menemukan gigimu yang tanggal. Dan kau berhasil melemparnya melewati atap. Peri gigi pasti sudah menangkap gigimu itu dan nanti dia akan mengganti gigimu dengan yang baru. Lebih kuat. Lebih putih.
Berarti aku akan menjadi anak yang lebih manis?
Kau sampai merasa lehermu akan patah dan matamu akan meloncat keluar karena kau menyibak setiap lapisan rumput halaman belakang untuk mencari patahan gigi itu. Kau tak ingin jadi anak laki-laki yang ompong. Kau tak ingin menjadi anak yang tak manis. Kau juga tak ingin Mama terus-menerus menangis lantaran Papa setiap hari kesal. Papa terus menyalahkan Mama. Lama-lama kau benci bos baru Papa, dia pasti laki-laki jahat. Dia sengaja jarang memberi Papa cuti kerja, jadi Papa kelelahan dan terus-menerus marah. Agar Papa tak marah, kau akan melakukan apa pun. Apa pun walau kau tak menyukainya. Walau berkali-kali botolan fanta meloncat keluar dari mulut dan hidungmu. Kau benci bila fanta itu keluar dari hidung, rasa sodanya membuatmu tak nyaman.
Anak laki-laki harus kuat! Anak laki-laki harus bisa berkelahi!
Kau tak boleh menangis walau rasanya sangat sakit. Anak manis tidak menangis kata Mama.
Kau ingin jadi anak manis Mama.
Kau harus meninjunya! Kau harus membuatnya berdarah!
Kau tak bisa. Dia temanmu. Satu-satunya temanmu. Dia anak laki-laki yang baik. Papa hanya tak suka kalian main kuda-kudaan. Papa tak ingin kau jadi kuda. Kau harus jadi jokinya. Cambuk dia sampai berdarah. Gebuk dia sampai berlari kencang. Kau ingin menangis, tapi anak manis Mama tak boleh menangis. Kau memejamkan mata saat melayangkan tinju. Dan dia tersungkur di lantai dengan hidung menumpahkan fanta. Matanya basah. Kalian saling menatap. Kau ingin mengatakan bahwa kau terpaksa. Tapi dia berlari. Sangat kencang. Dan kau tahu, dia tidak akan pernah kembali lagi.
***
MA, apa aku akan jadi banci?
Kau memegang lengan baju Mama yang menutupkan selimut hingga dadamu. Mama tertegun. Mata kalian beradu dalam remang kamar.
Apa benar Tuhan membenci banci?
Apa benar semua orang membenci banci?
Akhir-akhir ini Mama tak suka menjawab. Tidurlah, katanya. Kau harus berdoa. Tuhan senang mewujudkan doa anak manis yang diucapkan sebelum dia tidur. Dan kau pun kembali berdoa malam ini: Tuhan, kumohon. Apa pun. Asal jangan jadikan aku banci. Seakan semua hal di dunia ini akan selesai dengan sendirinya oleh sebuah doa. ***

Setelah membaca buku puisi Norman Erikson Pasaribu “Sergius Mencari Bacchus” terbitan Gramedia Pustaka Utama.

GUNTUR ALAM, buku kumpuian cerpennya Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2015.

Badut-badut Menari di Tepi Pantai

Cerpen Ganda Pekasih (Pikiran Rakyat, 17 Desember 2017)
Tari Badut ilustrasi Rizky Zakaria - Pikiran Rakyat.jpg
Tari Badut ilustrasi Rizky Zakaria/Pikiran Rakyat
NILUH pontang-panting, si jago merah mengamuk, entah dari mana datangnya, seperti hantu. Orang-orang panik berlarian membawa apa saja yang sempat diraih. Rumah-rumah kumuh di ujung muara dalam sekejap musnah. Tak terkecuali rumah Niluh. Niluh bingung kemana harus berteduh malam ini bersama jabang bayi dalam kandungan. Manu, suaminya, lusa baru pulang.
Warga yang kehilangan rumah terpaksa mengungsi, duka dan putus asa. Kegelisahan semakin menjadi-jadi saat datang isu bahwa mereka dilarang membangun kembali rumah-rumah mereka, warga dipersilakan tinggal ke bagian barat muara, mereka akan mendapat bantuan membangun rumah.
Niluh pasrah, yang dia pikirkan adalah keselamatan jabang bayi dalam kandungan yang sudah tua. Mendadak pula dia mulai merasakan perutnya sakit, waktu melahirkan telah tiba. Manu belum kembali, tak biasanya Manu tak pulang lebih dari semalam. Dan kabar mengejutkan didengar Niluh beberapa hari kemudian dari kawan-kawan Manu yang sama-sama berjualan kerang hijau, bahwa Manu sengaja tidak pulang karena istrinya melahirkan monster.
Semua orang di barak pengungsi geger malam itu. Langit cerah dan bulan purnama bersinar. Bayi yang dilahirkan Niluh bukan layaknya seperti bayi normal, wajah bayi idiot, matanya nyaris tak berkelopak, kedua kakinya menjuntai seperti akar bakau.
Seiring berjalannya waktu, muara tempat Niluh dan ratusan keluarga yang tinggal turun-temurun telah berubah menjadi sarana hiburan elite, dikelilingi pemecah ombak dan tanggul pengaman. Orang-orang terusir yang dipindahkan dari ujung muara ke bagian barat tanjung terkucil walau mereka masih bisa menangkap kerang.
Di pintu gerbang memasuki arena taman hiburan, baru kali ini Niluh bisa membawa Kinar. Niluh melihat mata Kinar berbinar memandangi badut lucu yang menari-nari dengan kostumnya yang berwarna-warni. Kini di usianya yang kelima tahun, ternyata Kinar masih hidup. Orang-orang bilang Kinar memiliki nyawa berlebih.
Kinar melonjak kesenangan dalam gendongan Niluh. Kakinya yang kerdil menyepak-nyepak dengan kekuatan yang tak pernah dirasakan Niluh, maka segera dibawanya Kinar berlari menghampiri badut itu.
Tapi sungguh Niluh tak menduga ketika dekat, badut itu hanya menoleh sekejap lalu pergi menemui anak-anak yang turun berombongan dari mobil.
Niluh kecewa. Beberapa saat dia masih berharap badut itu mendatanginya dengan penuh penyesalan, tapi badut itu tetap menjauh.
Air mata Niluh jatuh, Kinar dalam gendongan kain batik kumal terhenyak, maka tak ditunggunya lagi badut itu. Niluh bergegas lari membawa Kinar ke pantai, menghibur Kinar dengan membelikannya balon tiup dan kembang gula.
Sejak kejadian itu, Kinar tidak mau tersenyum lagi. Niluh begitu sedih, senyum Kinar hilang gara-gara badut itu tak mau mendekat. Padahal badut itu tak perlu capek-capek tersenyum karena wajahnya sudah dibuat sedemikian tersenyum.
Kinar pasti memahami siapa dirinya yang tak sempurna. Di dalam kostum badut itu, dia pasti juga tahu ada sosok yang juga berdaging seperti dirinya. Kenapa badut itu tak mau menyentuhnya. Badut itu hanya mau berjoget kepada anak-anak yang sehat, anak-anak yang turun dari kendaraan bagus. Beberapa ratus meter di sana, tempat badut itu di hamparan berbagai sarana hiburan.
Kinar masih juga belum mau tersenyum saat Niluh meninggalkannya bersama Asih, tetangganya, tadi pagi. Niluh sudah menemukan sebuah kantor sederhana yang menyewakan jasa badut di pusat kota. Niluh ingin melamar jadi badut karena pekerjaan itu menurutnya pastilah mudah, tinggal menari saja apa adanya, tak peduli dia sedang cemberut atau sedang marah karena wajah badut toh sudah dibikin sedemikian rupa untuk tetap tersenyum.
Nanti Niluh akan menyuruh Asih membawa Kinar ke tempat dia ditugaskan. Kinar pasti akan tersenyum dan tertawa tergelak disertai pekikan girangnya karena badut itu nanti bukan saja akan mengelus pipinya tapi juga berjingkrakan seperti kerapu terjaring jala.
Di kantor badut banyak sekali jenis badut yang unik dan lucu, bajunya bagus berwarna warni, senyumnya lebar. Niluh berterus terang minta dipekerjakan kepada nyonya pemilik badut. Di luar dugaan Niluh, nyonya itu temyata langsung mengabulkan permintaannya.
Niluh dibekali badut bebek yang mulutnya panjang meliuk, juga dibekali bahwa dia harus terus bergerak di dalam kostum itu. Beberapa karyawan lain akan menemani Niluh untuk menjelaskan apa yang harus dilakukannya. Semua itu tak ada yang susah bagi Niluh karena yang penting baginya adalah mendekati semua anak-anak, berjoget riang dan mengelus pipi mereka. Maka hari itu Niluh resmi menjadi badut.
Niluh pulang sore sehabis jadi badut di sebuah mal yang ramai dan dipenuhi wangi dari counter roti yang membuat perutnya lapar dan baunya terbawa sampai ke rumah. Ini hari pertama dia bekerja menggantikan beberapa badut yang tidak masuk, dia ingin membelikan sesuatu untuk Kinar tapi dia tak punya uang. Dia cuma diberi ongkos pulang saja di hari pertama bekerja.
Hari berikutnya Niluh mendapat kesempatan memakai kostum badut yang bertugas di arena Taman Hiburan pantai itu untuk beberapa hari ke depan. Niluh sangat gembira, badut inilah yang mencuri senyum Kinar, pikirnya. Dan anehnya si pemakai badut sejenis sejak hari pertama Niluh bekerja, kata si nyonya, mengundurkan diri.
Keesokan harinya Niluh berunding dengan tetangganya, Asih, agar ia membawa Kinar ke arena Taman Hiburan karena di sana sudah ada badut yang tidak membeda-bedakan anak yang turun dari mobil atau yang berjalan kaki. Demikian kata Niluh ketelinga Asih agar didengar Kinar.
Kinar tampak terkesiap dengan ucapan Niluh, matanya liar mencari-cari, dia seakan mengingat-ingat.
Niluh berangkat kerja dengan riang, kini dia yakin tak lama lagi akan melihat senyum Kinar yang dirindukannya. Sehabis dari kantor jasa badut mengambil perlengkapan Niluh diantarkan ke arena taman hiburan bersama pekerja lainnya yang bertugas di berbagai lokasi. Begitu sampai Niluh langsung memakai kostum badutnya dan beraksi di pintu masuk arena hiburan. Sebentar lagi Asih akan datang membawa Kinar.
Saat yang dinanti tiba, siang hari, saat Niluh merasa pengap dan bermandi keringat dalam kostum badutnya ia mengenali dari jauh payung tua dan kain batik lusuh yang datang, tapi yang menggendong Kinar sepertinya bukan Asih. Entah siapa.
Lalu sekujur tubuh Niluh tersirap ketika sosok itu makin dekat. Jantungnya berdebar dan dia nyaris saja akan melepas kostumnya kalau dia tidak segera ingat tugas utamanya, mengembalikan senyum Kinar yang hilang.
Sosok itu makin dekat dan Niluh sangat mengenalinya. Dia adalah Manu, suaminya yang hilang. Niluh terpana bahkan hingga saat Manu sudah ada di depannya. Ingat tugasnya, Niluh pun segera menari, mengelus pipi Kinar, menari, lalu mengelus lagi. Tapi Kinar tetap terhenyak bisu, menatap sayup.
Niluh terus menari semampu gerak tubuhnya tapi ternyata Kinar tetap beku. Bibirnya terkatup semakin rapat bagai cangkang tiram. Niluh serasa ingin berteriak. Niluh akhirnya lelah dan terisak menangis.
Manu lalu meminta Niluh melepas kostumnya. Manu gantian memakai kostum itu sementara Niluh menggendong Kinar.
Manu menari, melompat, menari. Niluh berharap Kinar segera tersenyum tapi malah dia menangis keras. Niluh putus asa dan melarikan Kinar ke pantai.
Manu lalu kembali bertugas seperti hari-hari biasanya di pintu masuk arena taman hiburan itu, bagai tak pernah terjadi apa-apa.
Dari kejauhan Niluh memperhatikan badut itu, seperti yang dia lihat beberapa waktu dulu, dia mendatangi anak-anak dan menari. Sejak kapan dia di situ? Niluh membatin perih. Teganya dia sembunyi.
Niluh akhirnya membawa Kinar pulang. Ia berharap mulai hari ini Manu tidak bersembunyi lagi. Dia akan memaafkan perbuatan suaminya jika pulang.
Sore hari langit cerah. Niluh merapikan rumah sebaik mungkin. Kinar habis bangun tidur, makan bubur, dia sedang bermain-main bersama boneka-boneka kesayangannya. Tiba-tiba jantung Niluh berdebar, terdengar banyak sorak-sorai anak anak. Niluh bergegas ke pintu, ada apa? Aha! Niluh melonjak senang, ternyata itu Manu, dia pulang dengan memakai baju badut diiringi anak-anak yang ramai bersorak-sorai gembira mengiringi di belakang. Niluh sangat merindukan suaminya itu pulang.
Manu membuka kepala badutnya dan berdiri tersenyum, di depan Niluh, cinta pertamanya yang hilang serasa segar kembali. Bayangan indah berpacaran dan bulan madu sehabis pernikahan sederhana tergambar jelas di pelupuk mata Niluh.
Tiba-tiba bermunculan badut yang banyak sekali, mungkin semua badut dari berbagai tempat diajak Manu ke sini. Mereka juga membawa terompet dan menyalakan musik dari kotak-kotak yang mereka bawa. Manu kemudian memakai lagi kepala badutnya dan menari diikuti badut lainnya membuat suasana sungguh gembira dan meriah.
Niluh menggendong Kinar keluar dengan perasaan yang tak teriukiskan, berharap dia segera tersenyum dan tertawa. Tapi kehadiran badut-badut itu tetap tidak bisa mengembalikan senyum Kinar yang hilang.
Tengah malam air pasang luar biasa tiba-tiba seakan ingin menenggelamkan ujung barat muara. Rumah-rumah diterjang gelombang, keluarga bercerai-berai dalam gelap. Jerit tangis anak, istri yang kehilangan suami semua disapu terjangan air.
Niluh pontang-panting histeris karena Kinar hanyut dibawa arus entah ke mana. Ini gelombang pasang yang kesekian, paling parah. Di luar rumah dia melihat beberapa anak memekik minta tolong bahkan di antaranya ada yang sudah tenggelam. Untunglah di ujung gang Niluh menemukan Manu tengah menggendong Kinar. Tapi saat didatanginya, wajah Kinar tampak pucat, tubuhnya tampak tidak bergerak-gerak lagi. Niluh lalu cepat mengambil Kinar dari gendongan Manu, mengguncang-guncang tubuhnya.
Manu tak mampu berdiri lebih lama di situ, pelan ia menghilang.
Kinar tak juga bergerak dalam dekapan Niluh, sebuah kepala badut hanyut di dekatnya, segera diambilnya lalu dipakainya dan ia pun berjoget sambil mengangkat Kinar tinggi-tinggi. Tapi tubuh kecil Kinar tampak tak hendak bergerak-gerak lagi, ia membeku.
Pagi hari, air sebagian sudah pergi kembali ke laut. Sebuah kepala badut tersangkut di selokan. Kepala badut itu mendongak ke atas langit dengan tawa lebarnya seperti cuma dia yang memiliki senyum lebar itu. Anak-anak yang bermain air dekat selokan melihat kepala badut itu. Mereka senang dan ramai-ramai hendak mengambilnya. Badut! Badut! Badut! Teriak mereka ramai ramai.
Badut itu cuma bisa terus tersenyum, dengan senyumnya yang lebar. ***

Penjual Kesedihan

Cerpen Daruz Armedian (Kedaulatan Rakyat, 17 Desember 2017)
Penjual Kesedihan ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Penjual Kesedihan ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SETELAH ditinggal pergi oleh suaminya karena gugur dalam peperangan melawan penjajah, Suminem kini tinggal sendirian. Tak ada lagi yang memberinya nafkah. Tak ada lagi yang menemaninya berdiam diri di rumah. Dan karena itulah, ia bertahan hidup dengan cara menjual kesedihan. Itu satu-satunya pekerjaan yang bisa ia jalankan. Sebab, jika ingin jadi petani, ia tak punya sawah ataupun ladang. Jika ingin jadi pedagang, ia tak punya modal. Jika ingin jadi pramugari, tentu tidak mungkin, tubuhnya tidak seksi dan wajahnya terlalu sukar untuk selalu ceria di hadapan orang-orang dalam pesawat. Ia sudah agak tua dan tidak lagi cantik seperti dulu kala.
Maka, hanya kesedihan yang tiap hari datang kepadanya secara tiba-tiba itu, ia kumpulkan. Sedikit demi sedikit. Sakit demi sakit. Ia jual kesedihan itu di mana saja. Di pasar yang menjual berbagai macam bersama orang-orang yang lain. Karena tidak punya lapak sendiri, ia menjajakan kesedihannya sambil berjalan. Setiap pagi, ia akan berjalan di gang-gang pasar untuk mencari pembeli. Dan ketika sampai siang tidak ada yang membeli, maka ia akan menyusuri jalan sambil meneriakkan dagangannya. Atau di tengah keramaian taman. Atau di mana saja, tergantung keinginannya.
“Kesedihan, kesedihan, kesedihan. Murah, murah, murah. Kesedihan, Pak? Kesedihan, Bu? Murah, murah, murah.”
Ketika berteriak seperti itu, orang-orang yang tidak mengerti makna kesedihan akan menggeleng-gelengkan kepala. Merasa heran. Atau bahkan malah mencibir.
“Kesedihan kok dijual.”
“Ya, kesedihan kan sampah. Harus dibuang jauh-jauh.”
“Ya, harusnya begitu. Barang itu mengundang dan bahkan mengandung penyakit.”
“Aneh.”
“Ya, aneh sekali.”
“Orang gila.”
Tetapi, bagi orang-orang yang mengerti, hal itu adalah lumrah. Betapa kesedihan sangat dirindukan bagi orang-orang yang sudah terlalu lama bahagia.
“Bu, saya beli kesedihannya. Hmm. Ini penting buat kehidupan saya.” Kata ibu-ibu dengan gelang emas melingkar di lengannya dan kalung melingkar di leher jenjangnya, dengan tas jinjing yang harganya lebih mahal dari ginjal si perempuan penjual kesedihan itu dan sepatu jinjit yang harganya lebih mahal ketimbang ratusan sendal jepit yang dipakai perempuan penjual kesedihan itu. Ibu-ibu itu sudah terlalu lama bahagia.
Begitulah akhirnya. Ketika bertemu dengan seseorang yang demikian, perempuan itu sangat senang. Apalagi kalau kesedihan yang ia jual itu diborong.
“Syukurlah, kesedihanku laku semua.” Gumamnya sambil mendongak ke langit. Ke arah di mana tak ada rasa sakit. Kalau sudah seperti itu, ia tidak peduli lagi kalau menjual kesedihan haruslah menengadahkan tangan terus menerus sambil memelas. Ia tidak peduli itu. Yang penting dapat uang dan esok hari ia bisa makan.
***
Suatu hari yang telah ditentukan oleh Tuhan, Suminem tidak lagi punya kesedihan. Ia tidak tahu kenapa kesedihan tidak mengunjunginya. Apakah kesedihan merasa dilecehkan karena telah diperjualbelikan? Apakah kesedihan sudah bosan telah terlalu lama mendatanginya? Tetapi, Suminem tidak terlalu menghiraukan hal itu. Sebab, kehidupannya sudah tercukupi meskipun sekarang menjadi pengangguran. Tidak lagi menjual kesedihan demi kesedihan. Intinya, ia sudah tidak lagi punya pekerjaan.
“Ya Tuhan, terima kasih. Aku sudah bahagia hari ini.” Gumamnya dalam hati.
Di samping itu, Suminem mengingat kehidupannya hari-hari terakhir ini. Ya, ia begitu bahagia. Makan tidak lagi kebingungan harus mencari uangnya dari mana. Belanja sayur-mayur, pakaian, memperbaiki dinding-dinding rumahnya, kini sudah tidak berat lagi baginya. Uang telah menanggung kehidupannya.
Ketika ia berjalan ke pasar, mau membeli bahan-bahan pangan, orang-orang yang biasa membeli kesedihannya pada bertanya kenapa ia tidak jualan kesedihan lagi? Suminem menjawab sambil tersenyum, aku sudah bahagia. Tidak punya kesedihan untuk kujual.
***
Lama-lama, uang yang disimpan perempuan itu habis. Ia kembali bersedih sebab esok tak lagi bisa membeli makanan. Ia mengumpulkan lagi kesedihannya. Sedikit demi sedikit. Sakit demi sakit. Ketika kesedihan itu terkumpul, ia punya pekerjaan lagi.
“Kesedihan, kesedihan, kesedihan. Murah, murah, murah.” Ucap Suminem lirih. Kakinya menyusuri ganggang pasar. Kemudian menyusuri jalan kecil. Kemudian menyusuri jalan besar. Kemudian di perempatan jalan, tepat di sekitar lampu merah. Tetapi, sebelum ada yang membeli kesedihannya, tiba-tiba orang-orang berseragam menangkapnya dan membawanya ke dalam mobil. Di mobil itu, sebelum benar-benar mengerti apa masalahnya, ia tahu, tidak hanya dirinya saja ternyata yang menjual kesedihan. Ada anak-anak kumal, nenek yang kakinya hilang satu, bapak-bapak tidak punya tangan, banci kaleng, ibu-ibu membawa anaknya, semuanya menjual kesedihan dan mereka berkumpul di mobil ini. Mobil yang entah akan menuju ke mana?

*) Daruz Armedian, lahir di Tuban. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.

Lelaki yang Membunuh Kekasihnya

Cerpen Kim Al Ghozali AM (Bali Post, 17 Desember 2017)
Lelaki yang Membunuh Kekasihnya ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post
Lelaki yang Membunuh Kekasihnya ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Kini dengan rasa bangga kau menceritakan peristiwa itu kepada siapa saja yang menemuimu. Bahkan tentang rahasia-rahasia kekasihmu atau tentang apa saja yang berkaitan dengannya. Kau tidak merasa takut pengadilan nanti akan menjatuhkan hukuman yang berat karena perbuatanmu. Kau tidak menyesal sedikit pun meski telah merampas hak hidup orang lain, hak hidup kekasihmu sendiri. Kau juga mengatakan kepada polisi yang memeriksamu jika kekasihmu itu memang layak dibunuh. Dan kau senang bukan main, bahkan di hadapan polisi di hari pertama kau ditangkap. Singkatnya kau tak merasa berdosa dan apa yang dilakukan adalah benar.
Perempuan laknat memang harus dilempar ke neraka, begitu katamu. Kau merasa kehormatanmu sebagai lelaki telah tercoreng. Kegagahanmu dipermainkan. Maka malam itu ketika keadaan sudah sangat sepi dan kekasihmu sudah terlelap, kau mencekiknya sampai mati. Setelah itu kau merasa lega, sangat lega, seperti ada batu yang terbang dari kedua pundakmu. Kau melihat sebuah jalan terbentang dan begitu terang di depanmu. Jalan di mana tak ada lagi kebohongan-kebohongan. Namun benarkah atas semua keyakinanmu itu? Keyakinan bahwa membunuh bisa dibenarkan? Ah, mungkin kau terlalu banyak minum malam itu. Terlalu banyak menghisap serbuk yang kau dapatkan dari rekanmu di ibu kota, sehingga kau menjadi asik dengan fantasi gilamu.
Atau mungkin pikiranmu yang terlalu lelah karena bekerja terus menerus dari Senin sampai Sabtu, dari jam delapan pagi dan tak jarang sampai larut malam. Kau kekurangan istirahat, kurang olah raga dan yang pasti kurang liburan dan hiburan. Itu tentu memiliki pengaruh besar dalam hidupmu.
Tapi apakah semua ini benar adanya, ketika kau tetap kokoh pada keyakinanmu walaupun sedang berada di balik jeruji besi, dan kau mengatakan kau baik-baik saja saat atau sebelum kejadian itu. Dalam arti kau memang membunuhnya lantaran kelelakianmu merasa dikibuli. Bukan membunuh atas dasar atau efek lainnya.
Tidak, itu bukan alasan yang tepat di mata hukum. Bahkan apa pun alasannya, menghilangkan paksa nyawa orang lain tetap tidak dibenarkan. Agama melarang, hukum pemerintah melarang, nurani manusia juga melarang. Kau tak punya tameng untuk bersembunyi dari perlakuanmu itu, tameng satu-satunya adalah kau cuma merasa benar terhadap tindakanmu.
“Kata siapa nurani melarang membunuh orang? Buktinya nuraniku tak pernah melarangnya, bahkan menyuruh untuk membunuhnya!” begitu pembelaanmu.
Oke. Jika memang begitu kata nuranimu, berarti nuranimu yang sedang tidak beres. Kau sakit! Nurani Hitler mungkin berkata begitu juga saat peristiwa Holocaust, berkata bahwa tindakannya sesuai nuraninya. Begitu pun Weterling atau para pembantai 50 tahun silam di negeri ini. Mereka mengikuti nuraninya, nurani tidak beres!
Para pembantai itu mungkin masih lebih baik karena mereka membunuh orang-orang yang dibenci, sedangkan kau membunuh orang yang kau cintai. Hewan saja tidak sebiadab itu. Namun bagaimanapun pembunuhan tetap tidak dibenarkan, baik membunuh orang yang dibenci, apalagi orang yang dicintai.
Kau hanya tersenyum sambil menyandarkan badanmu ke tembok di balik ruang pengap. Dan teman-temanmu tentu berharap setelah mendekam di ruangan tanpa udara itu kau akan menyesali tindakanmu atau paling tidak menyadari bahwa apa yang kau lakukan itu tidak benar. Tapi memang itulah kau, bukannya berterima kasih pada mereka karena telah mengunjungi dan membawakanmu makanan, dan tentu juga menghiburmu, kau malah mengata-ngatai mereka sebagai orang yang ikut andil dalam menghianatimu. Bukan itu saja, kau juga mencekik salah satu dari mereka, sahabatmu sendiri, sehingga polisi di penjara itu harus turun tangan untuk melerainya, kemudian memborgolmu pada satu bagian jeruji.
Karena ulahmu ini pulalah persidangan yang akan digelar pada minggu depan kini ditunda lagi, dan kau tentu akan semakin lama menghuni ruangan sempit ini (semoga kau tak membusuk di situ). Kau akan semakin ketar-ketir menunggu putusan hakim. Oh tidak, kau tak pernah ketar-ketir karena kau memang merasa tidak bersalah. Mungkin juga kau tak butuh sidang karena hanya akan membuat keadaan menjadi bertele-tele. Yang kau butuhkan kali ini hanya seorang yang mau mendengarkan kisahmu dengan seksama, tanpa membantah apa yang kau ceritakan, tanpa menyalahkan apa yang kau benarkan. Ya itu saja. Dan kau lebih tahu siapa dia yang akan mendengarkan kisahmu itu.
Setelah seharian kau diborgol, pada malam harinya borgol yang mengikat tanganmu dengan satu ruas besi jeruji itu telah dibuka oleh seorang polisi yang piket di situ. Mungkin ia merasa kasihan padamu, atau mungkin pula polisi itu ketika melihatmu menjadi ingat pada saudaranya sendiri dan bergumam: Bagaimana jika seorang dari keluargaku yang mengalami keadaan seperti ini?
Kini pun kau lebih leluasa menikmati ruang tahanan. Dan sejak malam itu kau berjanji pada diri sendiri bahwa esok pagi kau akan menceritakan semuanya pada seseorang. Seseorang? Ah tidak juga.
Dengan perasaan mantap dan pikiran yang dikondisikan setenang mungkin kau sudah siap untuk membeberkan sedetail-detailnya peristiwa maupun hubunganmu dengan perempuan itu, kekasihmu. Mulailah kau melihat dengan seksama gambar seorang perempuan di salah satu tembok dalam penjara itu, gambar perempuan tanpa badan, hanya kepala dengan rambut tergerai. Matanya sangat tajam tapi juga lembut ketika melirikmu. Entah siapa yang menggambar, mungkin tahanan sebelumnya. Dan bisa diduga tahanan itu sangat mahir menggambar, atau ia seniman lukis yang dipenjara di situ? Buktinya gambar itu sangat bagus, bahkan bisa dikatakan sempurna, padahal cuma digambar dengan menggunakan spidol hitam. Setiap kali kau menatapnya, kau merasa sedang menatap seorang perempuan yang paling mengasihimu, perempuan yang tak pernah membohongimu. Kau juga merasa ia adalah jelmaan ibumu, adalah peri yang turun di bulan Juli, adalah pohon kehidupan yang melindungi anak manusia.
“Aku tahu bagaimana perasanmu sebagai seorang lelaki ketika dihianati orang yang paling kau cintai,” begitu kau menerjemahkan ucapan gambar perempuan itu saat kau mulai bercerita. “Kau memang layak membunuhnya karena di situlah letak kemormatan seorang lelaki. Kau juga layak membunuh selingkuhan kekasihmu itu. Dan kau tidak salah. Budaya mengajarkan begitu.”
Kau melongo ketika mendengar kata “budaya”. Ya, ya, kau kini menemukan perlindungan baru, yaitu ketika agama, hukum pemerintah dan nurani melarang orang membunuh, maka bagimu kini budaya mengijinkannya. Tapi tentu kau tak paham juga, budaya macam apa pula yang menghalalkan manusia membunuh manusia?! Itu hanya budaya kanibal, budaya primitif, budaya hutan rimba, budaya yang bertentangan dengan budaya modern yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Kau tetap tidak dibenarkan. Karena budaya kita budaya yang memanusiakan manusia.
Tapi kau lebih percaya ucapan gambar perempuan itu daripada suara-suara lain, ucapan yang sebenarnya terpantul dari imajinasimu sendiri, imajinasi yang bermasalah. Kau pun menciumi gambar perempuan yang menurutmu menggambarkan karakter perempuan sejati itu. Perempuan dengan segala kasih sayang harus dicintai dan dilindungi, begitu katamu. Tapi saat itu pula kau sedang menjadi tersangka karena membunuh perempuan. Otak paradoks!
Puas menciumi gambar perempuan itu, kau menarik nafas untuk melanjutkan bercerita. Dan ia dengan wajah tenang menatapmu, tak sabar ingin segera mengetahui kelanjutan ceritamu. Namun sebelum kau melanjutkan bercerita, perempuan itu tiba-tiba bertanya?
“Mengapa kau tak membunuh selingkuhannya juga?”
Kau hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kemudian melanjutkan. Bukan hanya dia dan selingkahannya yang aku bunuh, melainkan juga seluruh dunianya, ucapmu. Gambar perempuan itu sedikit terkejut mendengarkan itu, tapi cepat-cepat disembunyikan keterkejutannya dengan senyumnya yang manis.
“Aku tak mengerti apa yang kau ucapkan,” ia menatapmu seperti meminta penjelasan.
Kau agak kebingungan untuk menjelaskannya secara lugas. Kau tolah-toleh ke polisi yang sedang bekerja di ruangannya, takut ia mendengarkan ucapanmu. Ah, ternyata kau masih punya rasa takut juga! Kemudian kau mendekat ke telinga gambar perempuan itu. Berbisik. Lama, sangat lama…
Akhirnya gambar yang diajak bicara itu mengerti bahwa kau membunuh kekasihmu bukan karena ia benar-benar selingkuh, tapi karena kamu curiga bahwa kekasihmu memiliki kekasih lain dalam mimpi di tidurnya. Bahwa kekasihmu sering tersenyum ketika tidur, seperti sedang tersenyum pada seseorang. Bahwa kekasihmu sering berbicara saat tidur dan tak jarang kata-kata yang keluar dari mulut kekasihmu yang sedang tidur itu adalah kata-kata mesra, lembut dan menyebut nama lelaki. Yang jelas nama lelaki itu bukan namamu. Bahwa kekasihmu saat tidur sering mengeluarkan rintihan-rintihan nikmat selayaknya sepasang kekasih yang sedang bercinta. Dan kau meyakini ia memang memiliki selingkuhan di alam mimpinya.
Kini kau pun lega setelah menceritakan itu semua dan yang diajak bercerita mendengarkan dengan seksama. Kau ingin menciumi gambar perempuan itu lagi sebagai ucapan terima kasih karena ia mengerti tentang dirimu. Tapi sebelum hidungmu menyentuh pipinya tiba-tiba ada yang menyeretmu dari belakang, ada tenaga begitu kuat memegang kedua tanganmu. Sambil berusaha untuk melepaskan diri dari tenaga itu kau mendongakkan muka ke belakang, ternyata tak lain dua orang polisi dan kini menyeretmu ke luar. Sedangkan di luar jeruji beberapa dokter telah menunggu dan akan membawamu ke sebuah rumah sakit jiwa.
Yach! semoga suatu saat kau paham bahwa membunuh itu memang dilarang agama, dilarang hukum pemerintah, dilarang hati nurani dan dilarang oleh budaya. Yang memperbolehkan hanya jiwa dan pikiran tidak waras. Dan tentu saja itu tidak akan berurusan dengan hukum, tetapi dengan dokter ahli atau dengan kerangkeng dan pasung, ditempatkan secara khusus dan dijauhi manusia.