Daftar Blog Saya

Selasa, 25 Juli 2017

Angka Kematian


Cerpen Amir Syam (Republika, 23 Juli 2017)
Angka Kematian ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpeg
Angka Kematian ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Ia terlahir ke dunia ini dengan nama Aji. Ya, panggil saja Aji. Pria yang satu ini benar-benar senang berhitung. Ia akan menghitung apa saja yang ditangkap oleh matanya, direkam oleh te linganya, dan dikecap oleh hatinya. Misal, mengkalkulasi tapak kakinya ke sekolah, lalu mencacah burung dissermurus paradiseus yang meliuk-liuk di langit cerah, menganalisa sebaran awan putih yang terkatung-katung di langit biru, meramal peluang hujan, membilang banyaknya dedaunan yang gugur per satuan waktu, dan entah apa lagi.
Semua itu akan ia hitung sebisa mungkin. Pria dengan binar mata yang selalu liar dan tajam menerobos apa saja itu kerap berhitung dengan mulut kadang terkunci, komat-kamit, atau kombinasi keduanya. Kebiasaannya ini diakari oleh rasa cintanya pada ilmu hitung yang bergejolak sejak kecil. Hati dan pikirannya telah tertambat kuat pada hal yang kadang tak disukai oleh teman-temannya.
“Berapa lama waktu tempuhmu hari ini?” tanya Badrun saat Aji memasuki ruang kelas yang masih sepi. Pagi itu, Badrun belum lama tiba bersama Indra.
“12 menit lebih 15 detik,” sahut Aji mantap seraya melirik arloji hitam di tangan kirinya. Tanpa membuang tempo, ia kemudian menghitung banyaknya petak-petak lantai berbentuk persegi 30 cm x 30 cm yang ditapakinya.
“Hei, Aji! Bisakah kau sehari saja tidak berlaku aneh seperti itu?” pekik Indra. Suaranya memecah keheningan kelas pagi itu. Lengang patah. Damai pagi ternodai.
“Aku tak peduli dengan kata-katamu! Berhentilah mengurusi kelakuanku!” Aji mengaum geram. Badrun kaget. Terperanjat. Indra tersudut.
Aji sudah akrab betul dengan kata-kata Indra itu. Sejurus, ia menyapu Indra dengan pandangan tajam. Sesuatu bergetar di dasar dadanya. Mula-mula getarannya lemah. Tapi makin lama getaran itu kian mendesir-desir dalam darahnya.
Kesiur angin pagi berhembus seolah ingin melumuri kalbu yang sesak. Sesaat senyap pun hadir. Mereka berada pada pikirannya masing-masing. Badrun terpaku. Indra membisu. Aji mengurai detik yang luruh.
***
Malam ini resah menggelayuti Aji. Sindiran Indra itu masih mengiang-ngiang di telinganya. Kata-kata itu menelusup perlahan ke ceruk-ceruk pikirannya, membuatnya mengail-ngail sesuatu yang terasa menikam-nikam. Ia tak mampu memejamkan mata. Ah, ia mencoba menghitung sesuatu, berharap bisa tertidur.
“Di mana aku? Mengapa aku berada di tempat seperti ini? Tempat apa ini? Tolong keluarkan aku dari sini!”
Lima….lima….lima….. Mengapa banyak sekali angka lima di tempat ini? Ah… makhluk apa itu? Tiiidaaak….” Aji terjaga dari tidurnya. Ia tergeragap. Keringat dingin pun mengucur deras. Mukanya pucat pasi. Dipandangnya jam dinding kamar menunjukkan pukul 03.37 dini hari. Batin dan benaknya berletupan. Baru kali ini ia bermimpi seaneh dan sekejam itu. Ia limpung seketika.
***
“Aku seperti terjebak di dalam ruangan gelap yang dipenuhi oleh begitu banyak angka 5. Apa kau tahu arti mimpiku itu?”
“Selain angka 5, aku juga melihat seorang lelaki berpakaian hitam terus mengejarku. Aku takut jika sesuatu yang buruk akan menimpaku.” Aji gundah. Air mukanya tak menentu.
“Aku tidak begitu mahir menafsirkan mimpi, Ji. Tapi yang kutahu angka 5 itu sering disebut sebagai bintang jahat. Bintang yang tidak menguntungkan setiap orang. Angka 5 adalah angka yang paling susah dikombinasikan dan dipercaya membawa gangguan penyakit. Dalam ilmu Feng Shui angka ini selalu diperangi, Ji.” ujar Badrun.
“Ceritakan padaku lebih banyak lagi tentang angka 5, Drun! Apa lagi yang kau tahu tentang angka 5?” desak Aji penasaran berbaur khawatir. Ada yang terasa berat menyesak.
“Jika angka itu muncul bersamaan dalam bagan tahunan dan bulanan maka sangat diyakini akan menciptakan kecelakaan fatal.” Badrun mengeluarkan isi otaknya dengan hati-hati.
“Ada yang lebih menakutkan selain angka 5, Ji. Yaitu angka 4. Angka yang satu ini sering disejajarkan dengan huruf ‘D’ yang merupakan huruf ke-4 dalam Alphabet. ‘D’ sendiri adalah huruf awal dari kata ‘Death’ atau ‘Die’ sehingga angka ini dianggap sebagai angka kematian. Angka yang juga bisa berasal dari penjumlahan bilangan sial 13, Ji.”
“Jadi, angka 4 lebih sial dari angka 5? Begitu kanmaksudmu, Drun?”
“Ya, Ji.” Aku pernah membaca bahwa sebagian bangsa-bangsa di Asia, khususnya di bagian utara mulai dari daratan Cina ke timur, angka 4 dipercaya merupakan simbol bencana, tidak mendatangkan keberuntungan, dan berbagai kepercayaan yang mengarah pada sebuah kegagalan. Jika suatu saat nanti kau pergi ke Korea, jarangkan kau temui gedung bertingkat dengan nomor lantai 4.” Badrun mencoba meyakinkan Aji.
“Lalu, aku harus bagaimana menghadapi semua ini?”
“Kau tak perlu takut berlebihan. Mungkin itu hanya akibat dari kebiasaanmu yang selalu menghitung apa saja yang tak penting untuk dihitung. Begitu banyak nikmat Tuhan untuk kita. Dan, kau tahu kan bahwa manusia tak mampu menghitung nikmat Tuhan? Syukur, itu kuncinya, Ji.” Badrun meluncurkan solusinya.
“Aku bingung memikirkan mimpimu itu, Ji. Mengapa kau tak bermimpi angka 1 yang dalam Feng Shiu dikenal sebagai bintang uang, angka 6 atau bintang surga, atau angka 8 yaitu bintang kekayaan? Mengapa harus angka 5?” Badrun kini bertanya pada Aji. Aji terdiam sejenak lalu mencoba menjawab.
“Kurasa itu masih lebih baik daripada angka 4,” ucap Aji lirih, menepis rasa takut.
“Ah, kau ini. Sudah lupakanlah semua itu. Kau tahu, kita tak boleh percaya dengan hal-hal tahayul seperti ini. Cukup tahu saja, Ji. Tak usah kita yakini. Lebih baik kau perbanyak shalat dan zikir. Dengan begitu, kuharap kau akan tenang.”
Aji termenung sejenak lalu matanya melalang lepas menghitung banyaknya dedaunan yang luruh dari atas pohon yang tegak menjulang di depannya.
***
Malam acap kali bergulir dengan mengukir mimpi angka 5 yang getir. Bunga tidur yang tak pantas disebut bunga itu tak hanya bertandang sekali, tetapi berepetisi. Pikirannya seolah terbebani oleh mimpi bintang penyakit itu. Belakangan ini, ia sering kalut kala terjaga dari tidurnya. Tapi herannya, semangat menghitungnya semakin menjadi-jadi. Kecintaannya pada angka kian bergelora penuh gairah. Aji menghitung tak kenal henti. Ketika mimpinya itu datang kembali, hati dan pikirannya disesaki dengan berbagai tanda tanya. Ia berusaha mengingat angka 1, 6, dan 8 di siang hari agar berharap bisa berselayar di dunia mimpi dengan angka-angka itu. Tapi usahanya itu sia-sia belaka. Mimpinya tetap saja menyodorkan angka 5.
Kembali malam ini matanya belum bernafsu untuk terpejam. Perasaannya berkata bahwa sesuatu yang luar biasa ganjil akan terjadi. Ia seperti mencium aroma angka 5 yang dibumbui bau penyakit. Nalarnya berkelana mengacak berbagai angka. Dibacanya berbagai buku yang terkait dengan angka. Lembar demi lembar buku The History of Mathematics: From Mesopotamia to Modernity karya Luke Hodgkin yang membongkar sejarah perkembangan matematika dari masa Mesopotamia hingga abad modern, ia santap habis-habisan. Tak cukup dengan buku itu, ia melahap juga buku Occult Numbers and Sacred Geometry yang mengupas tentang angka-angka gaib dan geometri keramat.
Tetapi tetap saja, perasaan itu masih terus bergelayut dalam dirinya.
Aji memacu otaknya mencari tahu apa tafsir mimpinya itu. Betapa tidak, sudah hampir sepekan ia merasa dihantui oleh angka 5. Ia mencoba menekan kegalauan yang terus menggendang benak dan sukmanya. Matanya makin ganas terbius oleh rasa penasaran. Gugus waktu luruh seiring keinginannya mencari arti mimpi itu. Diamatinya dengan sangat lekat semua benda yang bertuliskan angka 5. Mulai dari NIP guru-gurunya, plat nomor kendaraan yang tertera angka 5, baju pemain sepakbola dengan angka 5, nomor telepon instansi di papan reklame yang ada angka 5, sampai dengan berbagai hal yang tertera angka 5. Nalarnya terus bekerja hingga akhirnya pikirannya melayang pada alam yang belum pernah ia datangi.
***
“Kau mulai kurus. Wajahmu pucat. Apakah kau masih memikirkan mimpi itu? Berhentilah memikirkan angka 5 itu. Itu hanya akan membebani pikiranmu saja. Semoga kau cepat sembuh, Ji.” Kata-kata sayu Badrun mengusap-ngusap celah jendela salah satu ruangan rumah sakit jiwa. Kata-katanya beradu dengan tatapan kosong Aji. Beban pikiran yang tak mampu dibendung telah menggiring Aji mencicipi suasana rumah pesakitan itu.
Setelah hampir sepekan merasakan dinginnya kamar rumah sakit, akhirnya Aji diizinkan rawat jalan oleh tim dokter. Ia hanya butuh waktu sekitar tiga bulan untuk kembali sembuh. Tetapi ada yang berubah dari perangainya. Ia kini tak lagi senang berhitung. Ya, ia sekarang tidak lagi menghitung jejak langkahnya ke sekolah, mencacah burung dissermurus paradiseus yang melayang di langit cerah, atau menganalisis banyaknya dedaunan yang luruh seperti yang gemar ia lakukan dulu. Kini, ia seolah lupa pada kebiasaannya itu. Pikirannya tak tergerus lagi oleh hal yang beraroma angka. Semenjak kejadian itu, hidupnya terasa ringan tanpa beban. Namun, itu semua ternyata tak bertahan lama seiring kesibukannya mencari-cari sesuatu yang telah hilang dalam dirinya.
Pencariannya itu berlabuh pada suatu malam yang hitam lagi pekat ketika mimpi serupa yang pernah menyergapnya hadir kembali dengan angka baru, yaitu 4…4…4.

Amir Syam adalah nama pena dari Amir Tjolleng. Saat ini, ia tengah menempuh studi S3 di Jurusan Teknik Industri Universitas Ulsan Korea Selatan. Cerpen yang pernah ditulisnya yaitu “Senyum Lastri di Cangkir Kopi” (Suara Merdeka, 2017) dan “Di Antara Pilihan” (Balai Bahasa Sulut, 2008).

Rolly Penjaga Hutan


Dongeng Muhammad Fauzi (Suara Merdeka, 23 Juli 2017)
Rolly Penjaga Hutan ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Rolly Penjaga Hutan ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Wali Kota Kurcaci memberikan pekerjaan baru kepada Rolly kurcaci sebagai penanam pohon di hutan. Wali Kota prihatin karena pohon di hutan semakin berkurang. Akibatnya, cuaca menjadi panas. Warga kurcaci juga mengeluh pada Wali Kota karena debu dan asap yang menyesakkan dada.
Dengan senang hati Rolly menerima pekerjaan barunya. Setiap pagi, Rolly bergegas menuju hutan sambil membawa gerobak dorong berisi bibit pohon. Agar tidak bosan, Rolly bekerja sambil bernyanyi.
“Hai, Rolly…”
Tiba-tiba ada yang menyapa Rolly. Rolly mencari asal suara itu. Ternyata Pak Wood, si kurcaci penebang pohon. Selain menebang pohon, Pak Wood juga pandai membuat perabotan rumah tangga dari kayu.
“Selamat pagi, Pak Wood. Ada berapa pohon yang Pak Wood tebang pagi ini?” tanya Rolly.
“Aku akan menebang tiga pohon, Rolly. Ini untuk membuat lemari pesanan Nyonya Tarra,” jawab Pak Wood sambil memotong pohon menjadi bagian-bagian kecil agar mudah dibawa pulang.
“Baiklah, Pak Wood. Aku akan menanam lagi tiga pohon di hutan ini. Sampai bertemu lagi, Pak Wood,” Rolly bergegas pergi meninggalkan Pak Wood.
Setelah berjalan cukup jauh, langkah Rolly terhenti saat mendengar suara pohon yang ditebang. Rolly menajamkan pendengarannya sambil berjalan. Ternyata Pak Topan kurcaci dibantu kedua anaknya sedang menebang pohon.
“Selamat siang, Pak Topan. Berapa pohon yang Pak Topan butuhkan hari ini?” tanya Rolly.
“Sepertinya aku membutuhkan banyak pohon, Rolly. Besok aku akan membangun rumah baru di tepi danau. Rumah lamaku sudah rusak. Mungkin aku membutuhkan 10 pohon hari ini,” jawab Pak Topan.
“Baiklah, Pak Topan. Aku akan menanam 10 pohon di hutan ini. Selamat bekerja kembali, Pak Topan,” Rolly segera mengambil bibit pohon dari gerobak dorongnya. Satu jam kemudian, Rolly berhasil menyelesaikan pekerjaannya.
***
Sebulan bekerja, Rolly mulai bosan. Ia merasa pekerjaannya tidak menguntungkan. Sejak Rolly bekerja menanam pohon, banyak kurcaci yang menebang pohon sesukanya. Akibatnya, pekerjaan Rolly semakin berat.
Seharian berpikir, Rolly akhirnya menemukan ide. Diam-diam Rolly tidak akan menjalankan tugasnya sebagai penanam pohon. Rolly jengkel karena pohon yang ditebang setiap hari semakin bertambah.
“Itu, kan sudah menjadi pekerjaanmu, Rolly,” jawab Wali Kota ketika Rolly menyampaikan idenya.
“Aku capai, Pak Wali Kota. Para kurcaci semakin ganas menebang pohon. Kita lihat saja reaksi warga setahun lagi. Aku yakin mereka akan segera sadar,” kata Rolly.
“Baiklah Rolly, aku mengerti maksudmu.”
***
Baru dua bulan Rolly berhenti bekerja, para kurcaci sudah mengeluh pada Wali Kota karena cuaca panas. Mereka protes karena tempat tinggal mereka yang dulunya sejuk menjadi gersang.
“Sepertinya Rolly tidak menjalankan tugasnya dengan baik, Pak Wali Kota,” lapor Pak Wood kesal.
“Sekarang hutan mulai gundul karena Rolly tidak menanam pohon lagi.”
“Betul, Pak Wali Kota. Rolly harus bertanggung jawab,” timpal Pak Bullo.
“Kami sebagai penebang pohon, bingung memilih pohon yang akan ditebang. Semua pohon di hutan masih muda. Kualitas kayunya tentu tidak sebagus kayu yang sudah puluhan tahun. Kalau Rolly tidak menanam pohon lagi, bagaimana nasib kami selanjutnya?” ucap Pak Topan geram.
Wali Kota yang bijaksana itu menjawab, “Seharusnya hutan menjadi tanggung jawab kita semua. Namun alangkah baiknya jika kita yang menebang pohon, wajib menanam kembali pohon di hutan. Bukannya membebankan tugas kepada Rolly. Ini semua memang salah saya. Sekarang, kalian semua sudah tahu pentingnya menjaga hutan. Mulai sekarang, yang menebang pohon wajib menanam pohon juga. Bagaimana, setuju?”
Para kurcaci tertunduk malu sambil mengangguk. Sekarang mereka sadar betapa pentingnya menjaga hutan. Rolly yang sejak tadi mengawasi di balik pagar, akhirnya bisa tersenyum lega. (58)

Sang Penyair


Cerpen Sri Wintala Achmad (Kedaulatan Rakyat, 23 Juli 2017)
Sang Penyair ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Sang Penyair ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
…. Bukankah anjing akan mencuri, bila dididik seorang maling?
SEREMPAK applause seluruh penonton baca puisi di dalam gedung pertunjukan. Fadal Lazuardi, penyair yang bernama asli Suwardi itu turun dari panggung dengan langkah senyap. Wajahnya dingin. Tak melontarkan sepatah kata pun ketika sebagian penonton menanyakan makna baris terakhir puisinya yang baru saja dipanggungkan bergaya seorang demonstran.
Fadal mengumpat setengah berbisik, “Bagaimana negeri yang melahirkan banyak maling ini dapat berubah, kalau orang-orang yang suka menonton penyair baca puisi tak paham simbol. Bagaimana mereka akan turut menjaga kekayaan negeri ini agar tak dijarah anjing-anjing berwatak maling, namun selalu menyebut dirinya sebagai penyelamat rakyat.”
“Tak sepantasnya kau bilang begitu!” Liztya Maimunah, istri Fadal mengingatkan. “Seharusnya sebagai penyair yang bijak, kau menjelaskan pada mereka tentang makna puisimu itu.”
“Kalau aku menjelaskan makna yang terselubung di dalam puisiku, tak perlu aku mencipta puisi.”
“Apa gunanya menjadi penyair, bila bahasamu hanya kau sendiri yang paham? Apa artinya kau berapi-api membaca puisi di atas panggung, bila hanya dapat tepuk tangan, pulang tak membawa amplop? Lebih baik jadi buruh aduk di bangunan. Bekerja konkret dan menghasilkan.”
Pertanyaan dan merangkap pernyataan Liztya yang melebar ke mana-mana itu dirasakan Fadal melampaui tikaman belati. Karena tak ingin berdebat di depan banyak orang, Fadal membawa istrinya meninggalkan gedung pertunjukan. Sepanjang perjalanan pulang, mereka tak saling bicara. Hanya suara mesin motor butut yang nyempreng. Mengharu-biru suasana malam yang mulai lengang.
Setiba di rumah, perang dingin antara Fadal dan Liztya masih berlanjut. Manakala Liztya memasuki kamar, Fadal masih duduk di ruang tamu. Menyedu kopi tanpa gula. Mengisap rokok tingwe. Dalam diam, ia merenungkan ucapan istrinya yang sejak mula tak sepakat bila dirinya menekuni profesi penyair.
Berlarut-larut direnungkan, ucapan Liztya semakin mengganggu pikiran Fadal. Hingga saat ia tertidur, ucapan istrinya itu telah menjelma menjadi hantu dalam mimpi. Mengejar-ngejarnya hingga ke kolong jembatan, ke lambung gua, dan ke sebalik rerimbun awan paling pekat. Sungguh malam itu, ia senasib seorang maling yang diburu-buru anjing gila.
***
Berhari-hari Fadal berhelat dengan pikirannya yang berkecamuk. Tak tega melihat Liztya yang bekerja siang-malam sebagai buruh pabrik tekstil untuk memenuhi kebutuhan dapur, Fadal memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan sebagai buruh aduk di bangunan. Melepas profesinya sebagai penyair dengan membakar seluruh puisinya.
Bosan sebagai buruh aduk, Fadal belajar menjadi tukang batu pada Kasmin. Karena bakatnya, ia menjadi tukang batu. Sesudah tiga tahun menjadi tukang batu, ia menekuni pekerjaan baru sebagai mandor bangunan. Dengan modal yang dikumpulkan, ia menjadi pemborong. Sejak itu, keadaan ekonomi keluarganya semakin membaik.
Setiap malam Minggu, Fadal yang baru sebulan memiliki Avanza second itu selalu membawa Liztya ke pantai. Mampir ke shopping center. Membeli baju, celana, gaun, beha, celdam, hingga sepatu bermerek. Mampir di restoran termewah untuk menikmati hamburger, sosis, dan fried chicken yang tak pernah dirasakan semasih menekuni profesinya sebagai penyair.
Habis mengantar istrinya pulang, Fadal melajukan Avanza second-nya ke kafe. Ngobrol bersama bos-bos pengembang. Berkaraoke bersama gadis-gadis lacur papan atas. Pulang sesudah teler berat. Tidur mendengkur serupa babi. Sampai lepas tengah siang.
***
Seratus delapan puluh derajad, kehidupan Fadal berubah. Oleh tetangga kiri-kanan, Fadal tak lagi diremehkan sebagai penyair kere, namun sebagai raja uang. Setiap barang yang diinginkan dapat dibelinya. Setiap tujuannya dapat diwujudkan. Tak heran jika ia berhasil menduduki jabatan Kades Slarangsari sesudah membeli 75 persen suara warga.
Sebagai istri yang mendapat sebutan “Bu Kades”, Liztya sangat bangga dengan apa yang dicapai Fadal. Namun kebanggaannya itu hanya seumur jagung, ketika Fadal yang ingin mengembalikan modal saat Pilkades itu terbukti melakukan korupsi dana desa. Setiap malam, ia meratapi nasib Fadal yang telah dicopot jabatannya sebagai lurah Slarangsari. Mendekam ke dalam penjara.
Sebagaimana Liztya, jiwa Fadal pun hancur berkepingan. Hari-hari dalam sel dirasakan Fadal seperti panjangnya waktu di dalam neraka. Setiap malam, ia tak dapat tidur. Hingga suatu waktu, ia ingin mengutuk dirinya dengan baris terakhir puisinya yang dihafal luar kepala, “Bukankah anjing akan mencuri, bila dididik seorang maling?” Membaca baris terakhir puisinya itu berulang-ulang di depan empat napi yang sesel dengannya.
Empat napi yang semuanya maling itu sontak berang ketika mereka dihubung-hubungkan dengan anjing. Serempak mereka menghunjamkan pukulan ke perut, dada, dan kepala Fadal. Seusai Fadal tak sadarkan diri, mereka merebahkan tubuh di lantai sel yang dingin. Tertidur. Malam hening.
Sore harinya, Fadal siuman. Wajahnya pucat, matanya tak bercahaya. Sering bicara, menangis, dan tersenyum sendiri tanpa sebab. Selalu mengigaukan baris terakhir puisinya yang dihafal luar kepala itu berulang-ulang saat tidur. Hingga sewaktu Liztya membezuk di penjara, Fadal telah dinyatakan gila oleh sipir. Mendengar pernyataan sipir itu, ia hanya dapat menghela napas panjang. Sontak, air mata meleleh di pipinya yang menyerupai langit kelabu. q-c

Cilacap, 29 Juli 201
Sri Wintala Achmad. Menulis dalam tiga bahasa (Inggris, Indonesia dan Jawa). Nama kesastrawanannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste).