Daftar Blog Saya

Senin, 08 Januari 2018

Talang Tegajul

Cerpen Ida Refliana (Jawa Pos, 07 Januari 2018)
Talang Tegajul ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Talang Tegajul ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
DI batang luka ia hidup. Dari parut yang menyimpan perih. Kesunyian medang. Kesepian yang membuat diri kukuh sebagai si tua yang lekang pada setia. Pada tanah hitam—tempat sulur beribu akar. Tak ada gelap secantik Talang Tegajul.
Way Tenong, bukit-bukitnya mirip bahu perempuan sebelum matahari terbit. Puncak hijau segala pohon. Tempat daun dan ranting bercengkerama demi tunas-tunas tumbuh. Gaharu semula tempat bertengger para codot yang kekenyangan. Medang, meranti, nyiur, sebagai pohon harapan.
Bagi Radin Alam tak ada bedanya. Hutan Talang Tegajul adalah peradaban yang tak boleh musnah. Agui [1], rupanya cita-cita keburu dilalap api. Pohon-pohon menjerit. Hutan musnah. Tunggul buruk berserak di atas jutaan hektare tanah. Dan, orang-orang kampung yang dulu setia saban pagi menekuri setapak jalanan, memikul bertandan pisang, kelapa, telah kehilangan rupa. Tanah adat tergadai oleh ambisi dan nafsu yang setiap hari tumbuh subur memenuhi dada. Tak ada lagi setia menziarahi tanah leluhur.
Petaka menghapus semua. Kejayaan Pekon [2] Tambak Jaya. Dusun yang dihuni 53 KK termasuk Radin Alam sebagai kepala dusun. Way Tenong berada di lembah kaki bukit Talang Tegajul; rimba perawan yang diperkirakan luasnya 315 Ha. Hutan perbukitan yang terjaga karena hukum adat. Siapa pun yang terlahir membawa marga Way Tenong berhak menguasai dan menikmati hasil hutan dan kehidupan di dalamnya tanpa harus merusak.
Kekayaan hutan Talang Tegajul begitu magis. Tanah hitam yang subur menumbuhkan senya wa hidup bagi jutaan pepohonan yang dibutuhkan warga. Kami makan dari tetumbuhan yang tak meminta balas. Kami minum dari rahim tebing yang melahirkan ribuan mata air, meleleh, dan pecah, sebagai sungai di lembah Way Besai.
“Aku tidak percaya lagi padamu, Radin!”
“Ya! Istrimu hanya tinggal makam. Untuk apa kami percaya dengan orang yang sudah mati. Kami lebih percaya pada orang kota itu.”
Halaman rumah Radin sesak oleh gemuruh amarah. Puluhan orang laki-laki dan wanita berdiri dengan muka tengadah ke rumah panggung tempat Radin tinggal bersama dua anak lelaki dan menantunya.
Mereka menuntut Radin tidak memengaruhi warga yang ingin membuka rimba Talang Tegajul. Seminggu sebelumnya, Rapidin datang menemuinya menuturkan niat yang sama. Merayu Radin Alam agar mau menggerakkan orang-orang desa memugar rimba Talang Tegajul menjadi areal perkebunan kopi. Katanya, soal bibit kopi, sudah ada pihak tertentu yang akan menanggungnya. Nanti keuntungan hasil panen kopi akan dibagi dua. Radin menolak. Baginya, hukum adat tak bisa diusik oleh alasan apa pun.
“Radin! Hutan ini tidak memberikan banyak pilihan buat kita! Tidakkah kau lihat orang-orang di Pekon Suoh itu? Mereka berani membuka hutan di sebelah utara dan menanam tanahnya dengan ribuan pohon kelapa sawit?”
“Tapi sebagian tanah di sana sudah dikuasai orang asing. Sekarang ini rakyat cuma jadi petani penggarap. Itukah yang kalian mau?”
“Setiap orang berhak untuk menjual tanah mereka. Buktinya mereka yang sudah menjual tanah bisa hidup kaya di kota!”
“Terserah pendapatmu. Tapi aku tidak akan bergeser sejengkal pun dari tanah moyangku ini.”
Rupanya Rapidin tak kehabisan akal. Kali ini ia datang bersama puluhan warga untuk menentang Radin Alam.
***
“Rapidin! Aku tidak gentar dengan rencana busukmu itu. Kau dan pengikutmu bisa saja meng habisiku berikut anak dan cucuku. Tapi kau tidak boleh lupa riwayat tanah yang kita pijak ini, keluargaku sebagai keturunan tertua dari marga Way Tenong. Maka setiap ucapanku adalah lelaku seluruh rakyat di sini!” Tanpa gentar sedikit pun Radin Alam menuruni tangga dari rumah panggung miliknya. Dua anak lelakinya menatap cemas di belakang.
Jarak Radin Alam dan Rapidin terhalang rerimbun bunga asoka. Rumput-rumput yang terpijak kaki-kaki seperti terkejut. Puluhan burung di pohon kersen melesat ke pohon-pohon lain yang memberi lebih rasa aman.
“Kau bukan siapa-siapa tanpa Holati. Kau hanya orang asing yang menikahi wanita berdarah bangsawan. Dang cawoh [3] juluk adok [4] bila piilpusanggiri [5] tak bisa kau tunaikan sebagai ulun lampung [6]!” Rapidin melepas songkoknya. Dilemparnya benda itu ke dekat kaki Radin Alam. Berdesir darah Radin Alam. Songkok pemberiannya puluhan tahun silam tanda persahabatan dan persaudaraan.
Pernah, di suatu masa, dua laki-laki itu terjebak di pusaran api ketika hutan di bagian utara terbakar. Sekelompok orang sengaja melakukannya. Hutan yang diklaim milik penduduk Pekon Suoh. Rapidin dan Radin Alam bahu-membahu bersama warga Tambak Jaya memadamkan api. Kalau mereka tak cepat bertindak maka ikut habislah hutan Talang Tegajul.
Diberikannya songkok dari ayah mertuanya, Sutan Rahmad, sebagai penghargaan karena kecintaannya menjaga hutan rakyat. Konon kakek moyang mereka merupakan orang pertama yang mendiami wilayah itu. Maka itikad memberi songkok pada Rapidin sebuah keputusan yang tepat. Ia berani memertaruhkan nyawa dan hidupnya demi hutan yang telah di keramatkan. Pada orang-orang berjiwa seperti Rapidin, Radin Alam meletakkan harapan.
Tetapi cinta saja tak cukup rupanya. Rapidin bukan lagi lelaki polos dengan mimpi sederhana, sejak menikahi gadis dari Pekon Suoh. Ia bukan lagi sebatang medang yang tumbuh kokoh menjulang. Rapidin kini mirip tanaman perdu yang bergerak liar mencari tempat tumbuh.
“Abah! Abah! Kata Emak cepat pulang! Adik muntah-muntah lagi,” tiba-tiba seorang remaja berwajah mirip Rapidin muncul di tengah perdebatan. Seketika Rapidin mengikuti langkah anak lelakinya. Begitu pula puluhan orang yang menyertainya.
Halaman rumah lengang.
***
RADIN terus bersiaga. Siang malam dipeluknya hutan. Bersama orang-orang pilihan dari Desa Way Tenong. Tentu mereka yang pandai menjaga setia. Tidak mendirikan gubuk, tenda, sebagai rumah berjaga. Tetapi hidup di pucuk-pucuk gaharu dan meranti. Sesekali ke dua anak lelakinya datang bergantian membawakan makanan.
“Anak Rapidin meninggal, Abah,” anaknya memberi tahu.
Radin Alam terkesima. Hampir sebulan berjaga-jaga di tengah belantara Talang Tegajul, semua tampak tenang. Semak belukar dan pepohonan geming. Tak ada jerit gelisah dan ketakutan dari para hewan. Rusa, menjangan, masih riang melompat dan berkejaran di antara rebahan dahan tumbang dan sulur akar beringin. Tak ada tanda-tanda seperti yang dicemaskan selama ini.
***
RADIN Alam kembali. Pekon Tambak Jaya menyambut kedatangannya dengan kabar duka. Tidak hanya anak bungsu Rapidin yang tewas. Dua hari kemudian dua balita juga meninggal. Awalnya musibah itu diyakini sebagai takdir dari Sang Pencipta. Ada pula yang beranggapan bahwa arwah puyang [7] penjaga hutan Talang Tegajul sedang marah. Karena memang musibah itu terjadi setelah Rapidin berniat merambah hutan adat.
“Aku tidak percaya hal itu,” tegas Radin Alam.
Hari itu ia mengumpulkan warga untuk berdiskusi. Diajaknya orang-orang ke tepian Sungai Way Besai. Sungai dengan debit air yang mulai keruh. Kemarau panjang telah merenggut keperkasaan arus Way Besai. Sungai yang memisahkan antara Pekon Suoh dan Pekon Tambak Jaya. Namun sudah lama masyarakat Tambak Jaya sepenuhnya mengandalkan air sungai sebagai keperluan hidup.
“Aku yakin air sungai ini penyebabnya. Jadi bukan karena arwah puyang atau hutan Talang Tegajul yang mengirim petaka.”
“Ya. Aku yakin juga begitu. Sebelum anak Rapidin mati, awalnya sering muntah-muntah dan buang air,” sahut warga.
“Bertahun-tahun kita mandi dan minum dari sini. Tidak ada masalah. Apalagi sebabnya kalau bukan kutukan roh nenek moyang?” tandas yang lain.
“Sudahlah. Berdebat kosong tidak ada gunanya. Kubawa kalian ke sini untuk rencana membuat sumur. Kita bisa melakukannya sendiri atau bersama-sama. Terserah keinginan kalian semua!”
Hari itu seluruh warga sepakat membuat sumur bersama. Hanya Rapidin dan sejumlah orang setianya yang tidak terlihat dalam kegiatan tersebut. Seminggu setelah itu orang-orang desa tidak lagi menggunakan air Way Besai untuk keperluan memasak.
Sebelum fajar tiba, Radin sudah didatangi warga yang mengabarkan musibah kembali merenggut nyawa penduduk. Empat orang meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Sebelum meregang nyawa, mereka mengalami muntah-muntah dan buang air.
“Tidak usah ke sana, Radin!” Syukri yang membawa kabar itu mengingatkan Radin Alam. “Aku mohon sekali ini kau dengar aku.”
“Betul, Abah. Sejak kematian anaknya Rapidin semakin terang-terangan menghasut warga.”
Kepala Radin Alam mengangguk-angguk. Senyum simpul. Membayangkan Rapidin sedang menggonggong di depan wajah orang-orang yang berduka. Maka bukan Radin Alam jika ia gentar menghadapi Rapidin. Puluhan tahun ia telah mengenal orang-orang di desanya. Wabah ini bisa saja penyebabnya hasil rekayasa seseorang. Bisa pula karena pola hidup yang tidak sehat penduduknya. Namun kemiskinan bukan untuk ditukar dengan kekayaan yang mengorbankan sumber daya alam.
***
MALAM merah muncul dengan tiba-tiba. Lidah api bergerak liar menghanguskan rumah-rumah dan pepohonan. Keheningan berubah menjadi pekik histeris orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri.
Syukri tergesa-gesa mendatangi rumah Radin Alam. Sungguh tak ada yang bisa ditemukannya lagi, kecuali kobaran api dan bangunan rumah yang satu per satu ambruk. Tubuh Syukri jatuh ke tanah. Air matanya berderaian. Rasa sedih dan tidak percaya memenuhi pikirannya.
Sore tadi Radin Alam menangis ketika diberi tahu bahwa Rapidin telah meninggalkan desa. Sebagai orang yang sudah dikhianati seharusnya ia bergembira. Tetapi tidak pada kejadian yang dilihatnya. Radin Alam terus menangis. Berkisah tentang kenangan masa kecilnya bersama Rapidin.
“Hei, apa yang kau sedihkan, Syukri?” suara Rapidin menyentak lamunannya. “Tugasmu belum selesai, Kawan, ayo kerja lagi!”
Di bawah ancaman pedang, Syukri mengikuti langkah kaki Rapidin menembus belukar Talang Tegajul. Nyala obor yang dibawa Rapidin menyergap kegelapan belantara. Di bawah medang sejumlah orang sudah menunggu dengan obor di tangan.
“Sisakan satu medang saja, ya? Hutan ini boleh berubah jadi kebun kopi. Tapi pohon medang harus ada. Supaya ruh puyang tidak gentayangan. Ha ha ha…”
Kobaran api makin menggila. Malam tua menghitung kepedihan hutan yang bakal menyisakan puing-puing di keesokan hari. Tiga hari setelah hutan terbakar. Tepat di atas kepala Rapidin, matahari melesatkan panasnya. Senyum lebar tak lepas dari bibirnya sepanjang obrolan bersama tiga orang berkulit kemerahan. Di sebelah Rapidin, berdiri Syukri, celingak-celinguk mengawasi sekeliling luas tanah yang hampir merata berwarna hitam. Bangkai hewan, reranting, dan dahan-dahan yang menjelma arang.
Dan, sebatang medang tegak menjulang. Di tubuh medang ia tinggal. Menghirup udara dari ketulusan batang dan pelepah daun. Ia tak akan pernah pergi. Sebagai lelaki setia yang menjaga kekasih. ***

Catatan:
[1] Agui : aduh
[2] Pekon : desa/dusun
[3] Dang cawoh : jangan berkata
[4] Juluk adok : mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandang (falsafah orang Lampung)
[5] Piilpusanggiri : malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri(falsafah orang Lampung)
[6] Ulun Lampung : orang Lampung
[7] Puyang : kakek/nenek moyang

Ida Refliana, cerpenis, tinggal di Bandar Lampung.

Mahar yang Tertinggal

Cerpen Krismarliyanti (Republika, 07 Januari 2018)
Mahar yang Tertinggal ilustrasi Da'an Yahya - Republika.jpg
Mahar yang Tertinggal ilustrasi Da’an Yahya/Republika
(HABIS)
Air mata terus mengalir seperti hujan diluar sana. Aku kecewa ketika menyadari perasaan ini tersimpan lama dan berbalas. Meskipun balasan yang terungkap sangat terlambat. Kututup telepon dan kucoba menahan sedihku. Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mebasuh wajah dan airmataku. Aku tidak mau temna kerja memepertanyakan keadaanku atau curiga dengan airmataku.
Kilatan halilintar saling bergantian. Suara Guntur terus bergemuruh. Awan hitam semakin pekat. Bergulung dan bergerak. Hatiku hancur dan tersayat. Tiba-tiba HP-ku bergetar. SMS. Kamu tidak pernah tahu Airin, aku berusaha keras untuk mutasi ke kota ini. Hanya untuk bisa berdekatan denganmu.Wa laupun terlambat, ijinkan aku mengatakan cinta ini untukmu. Tolong simpan di hatimu semua kenangan kita.
Sebuah pesan singkat yang semakin membuat air mataku deras. Rentetan kalimat yang menghentakkan bawah sadarku bahwa aku hanya mencintai dia. Dan perasaanku terhadap Mas Hemi hanya rasa hormat terhadap semua kebaikannya. Selain itu, aku tidak mau membuat ibu dan bapak kecewa.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Ardi masih berani mengunjungi kami walaupun sudah jelas aku meminta dia pergi dan tidak mengganggu kami. Tetapi dengan alasan silaturahi, dia masih saja bertandang sesekali ke rumah ibu.
Untuk menghindari kecurigaan suami dan orang tuaku, aku berusaha bersikap normal ketika Ardi masih saja berkunjung ke rumah ibu. Ibu pun sangat senang menerima kehadirannya, “Ardi itu sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Lagi pula dulu bapaknya Ardi sangat baik sama kamu ‘Rin,” itulah alasan ibu ketika kutanyakan perihal undangan makan malam untuk Ardi.
Rupanya kejutan dari Ardi belum juga berakhir. Entah apa maksudnya, dia terus merepotkanku dengan permintaan gila dan tidak masuk akal. Dan aku sendiri seperti terkena guna-guna yang hanya mampu mengiyakan permintaannya.
“Kamu gila!”
Please ‘Rin. Aku harus minta tolong sama siapa lagi?”
“Kenapa tidak minta calon istrimu yang memilihkan?”
“Kamu satu-satunya sahabat perempuan yang aku punya ‘Rin.”
“Sahabat”, dengusku. Enak saja kamu bilang sahabat setelah dengan lantang mengatakan cinta kepadaku dan sekarang kamu meminta aku memilih baju pengantinmu. Kamu tidak punya hati Ardi, aku terus membatin dan menggerutu.
Dengan dalih tidak mau dianggap sebagai perempuan cengeng pengemis cinta, aku ikuti kemauannya. Senyumku tetap mengembang. Tidak kuijinkan sedikit Ardi mengetahui bagaiman luka hati ini menggerogoti hari-hariku.
Kebetulan pula, hari itu Mas Hemi sedang pergi keluar kota. Tidak pernah sekali pun aku pergi tanpa memberitahunya. Termasuk sore itu. Di hati kecilku, aku tetap tidak mau menyakiti perasaan suami yang telah kutitipkan mimpi dan masa depanku.
“Sebagai sahabat, Ardi. Jangan kamu berpikir aneh-aneh.”
“Ya, sebagai sahabat terbaik, Airin. Aku jemput kamu nanti sore.”
Jadilah sore itu menjadi pertarungan batin yang cukup hebat bagiku. Kuhirup napas dalam-dalam ketika Mas Hemi mengatakan untuk membantu Ardi membeli jas terbaik untuk hari istimewanya, “Aku juga dulu minta tolong ibu untuk pilih jas pernikahanku,” katanya dengan tawa yang terdengar hangat. Kurasakan dadaku tertohok cukup tajam. Aku sekali lagi tersakiti oleh kebaikan Mas Hemi yang selalu memahamiku. Bukan sekali ini saja aku menangisi ketulusan dan kebaikan laki-laki yang telah mendampingikku beberapa tahun terakhir ini.
Duduk bersebelahan dengannya mengingat kanku pagi terakhir ketika aku mengantarnya ke stasiun. Yang berbeda adalah rasaku. Saat itu aku sedih dengan seribu harapan sedangkan saat ini adalah nestapa yang diliputi rasa perih dan sesal. Perjalanan singkat sore itu terasa sangat perih dan sunyi. Kulirik Ardi diam-diam. Tidak ada yang berubah dari dirinya. Masih berkulit bersih dan bermata coklat.
Hujan masih deras. Aku memilih diam dan menatap rintik hujan yang berjatuhan tanpa lelah. Sore yang kelabu seperti hatiku yang digelayuti awan hitam masa lalu. Tibalah kami di sebuah mall terbesar di kota Bandung. Dulu mall ini belum ada ketika kami mengukir kenangan, beberapa tahun lalu. Gedung yang begitu megah dan semarak. Keriangan perayaan natal dan tahun baru menambah suasana semakin meriah.
Tetapi buatku, lantai yang aku pijak adalah medan pertempuran batinku. Aku harus berperan sebagai sahabat Ardi. Dan tugasku memilihkan baju pengantinnya. Terpaksa senyum kusunggingkan ketika Ardi sibuk bertanya tentan pilihannya. Dan akhirnya penderitaanku berakhir ketika dia berkata, “Aku ambil yang ini saja.”
Buru-buru aku seret langkahnya untuk segera pulang. “Biyan menungguku ‘Di,” lalu kemudian, Ardi tiba-tiba berhenti dan menahanku. Dia menunjuk sebuah toko perhiasan yang terlihat cukup mewah.
“Rin, ini permohonan terakhirku. Setelah itu, aku tidak akan memintamu lagi.”
“Apalagi Ardi?” Sungguh aku tidak mengerti apa yang ada dikepalanya. Tidakkah dia mengerti bahwa saat ini dadaku bergemuruh menahan sedih dan kecewa.
“Lihat toko disana, aku mau beli cincin.”
“Kamu, kenapa lakukan semua ini kepadaku?” Airmata mengalir deras membasahi pipiku. Sungguh tidak punya perasaan, setelah jas lalu sekarang dia memintaku memilih mas kawin.
“Terakhir Rin. Janji. Setelah itu akan pergi.” Tidak kupedulikan lagi hati yang terluka. Kuseret langkahku megikutinya. Kepalang semua sudah terjadi dan aku kuat,gumamku.
Cincin dengan ukiran berbentuk kelopak melati yang sangat cantik dengan berlian di tengahnya. Semakin megah dengan warna rose gold, warna kesukaanku. Tanpa aku sadari, senyum bahagia tersunging di wajahku. Rose gold, warna yang selalu membuatkku tersenyum. Entah kapan dan bagaiman awalnya, aku hanya mencintai warna ini.
Sore ini, seminggu sebelum pernikahannya. Dia tiba-tiba saja menelponku dan panik. Mas kawinnya tertinggal sementara dia sudah terbang jauh ke Medan sana. Dia memintaku untuk mengambilnya. Begitu saja, terdengar tanpa beban.
Aku masih terpaku sejak kututup telepon dari Ardi. Tuhan, apalagi ini? Drama apalagi yang harus aku perankan. Dadaku terhimpit sembilu yang tidak pernah aku sangka. Bawa dia pergi jauh dariku Tuhan. Aku hanya ingin bahagia, biarkan kami bahagia dengan jalan kami.
Doa pun terus aku gumamkan sepanjang perjalanan menuju apartmennya. Aku ambil dan besok aku kirim lalu selesai sudah kisah konyol ini, batinku. Perlahan kubuka pintu apartemn dengan kunci yang telah Ardi titipkan di resepsionis.
Ruangan yang tidak begitu besar itu tampak sangat rapih dan kosong. Hanya furniture seperlunya saja yang tersisa. Tidak ada yang mencuri perhatian sama sekali di ruangan ini. Sungguh berbeda dengan selera Ardi yang suka sekali dengan lukisan dan pernak-pernik unik.
Tiba-tiba perhatianku teralih ke atas meja kerja yang sangat rapih. Ada satu bungkusan berwarna merah hati dengan pita berwarna emas. Hanya benda ini satu-satunya ayang mencuri perhatianku. Di sampingnya tergeletak surat tanpa amplop dengan warna kesukaanku. Dengan tulisan yang besar, tertera UNTUK AIRIN.
Airin. Maaflan aku yang tidak pernah mampu mengucapkan ini. Bertahun aku simpan rasa cinta dan rindu ini hanya untukmu. Hatiku hancur ketika aku mendengar ijab kabul pagi itu. Ya, aku datang ke pernikahanmu dan bersembunyi di antara kerumun undangan. Cincin ini adalah maharku untukmu. Mahar yang tertinggal, tetapi melalui mahar ini aku serahkan cinta suciku untukmu, walaupun terlambat. Aku mencintaimu Airin, seperti malam mencintai rembulan. Simpanlah rose gold kesukaanmu di mana pun kamu mau, tetapi tolong ukirlah kenangan kita dalam hatimu.
Kutasbihkan selalu namamu dalam doaku. Maaafkan aku yang telah mencintaimu. Dan bisikkan maafku pada suamimu karena telah memujamu. Bahagia selalu, Airin. Dan terima kasih untuk empat minggu yang indah ini.
O ya satu lagi Airin, maafkan aku. Karena pernikahan itu tidak ada. Aku hanya ingin menikmati waktu bersamamu. Sekarang aku tahu, aku sangat bahagia ketika kita memilih baju dan mas kawin ini. Semua ini untuk pernikahan kita. Pernikahan kita dalam alam khayal dan harapku.
Memang gila. Tetapi cinta ini telah membuatku hilang akal. Seperti janjiku, aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku akan pergi dengan mebawa semua kenangan kita. Airin, istri impianku, saat kau baca surat ini aku sudah pergi jauh ke tempat yang selalu kamu inginkan. Mencintaimu adalah sebuah episode tersuci yang telah aku bekukan. Bahkan matahari pun tidak mampu mencurinya.
Kuremas kertas berwarna biru muda itu layaknya aku meremas mimpi tentangnya. Hujan semakin deras, begitu pun airmataku. Suara rintik hujan yang menjatuhi kaca jendela pun seperti ribuan pisau yang menghujam jantungku. Tubuhku menggeletar menahan semua sesak dan sakit yang telah merasuki pembuluh darahku. Cinta yang selama ini aku simpan rapih telah terluka tanpa pernah mekar dan berkembang. Tidak ada yang tersisa dalam kisah kami berdua, hanya cincin berukir melati berbungkus kain beludru merah hati.
Episode singkat kisah hidupku yang telah membuatku sadar tentang cinta dan takdir. Potongan puzzle kehidupan yang menggiringku kepada arti sebuah perjuangan dan ketulusan.
Aku memang tidak ditakdirkan untuk bersamanya, tetapi Tuhan mengirimkan Mas Hemi sebagai suami yang penuh pengertian. Terima kasih Tuhan, Engkau berika aku cinta tanpa syarat dan menguat kan hatiku untuk tetap bertahan dalam bahtera rumah tanggaku. Cinta tidak selalu tentang kebersamaan. Tetapi cinta adalah melepaskan kenangan dalam diam. Lalu mengukir rasa dalam doa.

KRISMARLIYANTI
adalah seorang penulis yang lahir di Rangkasbitung, Banten. Hobi membaca dimulai sejak sekolah dasar dan mulai menulis dari tahun 2000. Dunia seni sudah dikenalnya sejak usia remaja dan menjalani serius dunia teater ketika kuliah di Yogyakarta. Mulai menulis dengan naskah drama lalu kemudian tertarik menulis puisi. Salah satunya puisinya sudah dimuat di buku Medan Puisi, antologi puisi Sempena the 1st International poetry Gathering yang diadakan di Medan pada tahun 2007. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Poetry Anthology Lentera, telah terbit pada tahun 2016. Selain menulis, Krismarliyanti pun seorang perupa. Hasil karyanya telah dijadikan sebagai cover dan ilustrasi di buku antologi pertamanya. Beberapa karya tulis dan lukisan serta drawing art dapat dinikmati di Fb : htttps://www.facebook.com/krisdonaldson; https://thelantern07.blogspot.co.id atau Instagram KrisDonaldson

Malam Sebuah Rumah Sakit

Cerpen Mashdar Zaenal (Lampung Post, 07 Januari 2018)
Malam Sebuah Rumah Sakit ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Malam Sebuah Rumah Sakit ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Malam ini, saya terbaring lemas di sebuah sal rumah sakit. Hawa dingin bagai mengupas tiap inci pori kulit. Begitu hening. Begitu ganjil. Seakan-akan kehidupan menjadi sebuah ruang kosong yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Tak ada tawa. Tak ada tangis. Tak ada tujuan. Dan sesuatu yang ada di balik yang nyata, tampak begitu dekat. Bagai menggeliat-geliat. Hingga putaran bumi terasa kian melamban, menampilkan adegan-adegan kehidupan yang tidak menarik sama sekali. Dan pada detik itu, satu-satunya hal yang menjadikan segalanya lebih baik adalah menyebut nama Tuhan.
***
Karena ruangan ini bukanlah ruangan berkelas, maka ranjang pasien yang satu dengan yang lain terserak begitu saja tanpa dinding pembatas. Tampak beberapa pasien mengerang lirih dan panjang, beberapa yang lain terbaring lunglai dengan mata rapat, sementara helaan napasnya terdengar sangat mengganggu, ngik… ngiiik. Bagai tambang kematian yang ditarik-ulur dari sebuah tempat yang tak kasat mata.
Beberapa keluarga pasien yang menunggui turut terlelap di sembarang tempat: tersandar di dinding dan meja, terkapar di bawah ranjang, beberapa terkantuk-kantuk di atas kursi plastik di samping ranjang pasien, kepalanya menunduk lunglai di bibir ranjang.
Aku menghela napas. Berat. Saat terbaring di rumah sakit begini, rasanya, hawa kematian telah begitu dekat. Bagai mengintai. Bila kematian itu terdapat dalam sebuah ruang tak terbatas dengan sebuah pintu, maka kami telah berjalan sampai di ambang pintu itu. Kemudian, sebuah tangan akan membukakan pintu itu, lantas mempersilahkan kami masuk. Dan ketika itulah, ketika kami menyeberangi pintu itu, sebenarnya kami tengah sekarat.
***
Di jantung sebuah dinding, jarum jam terus bergerak, menunjuk angka dua, dini hari. Dingin bertambah dingin. Hening bertambah hening. Ganjil semakin ganjil. Sayup-sayup, entah dari ruangan mana, terdengar suara seseorang menyiram air ke dalam kloset. Seorang pasien—perempuan tua—yang menggigil di sudut ruang tengah dibantu bangun oleh keluarganya untuk meneguk sebotol air putih. Lantas perlahan ia berbaring lagi. Berselimut lagi.
Entah musabab apa, malam ini rasanya begitu dingin, begitu hening, begitu ganjil. Tadi pagi seorang pasien—lelaki paruh baya—yang terkapar di ranjang tepat sebelah kiri saya dikabarkan telah meninggal dunia. Padahal sehari yang lalu, ia masih bercakap-cakap dengan saya. Ia mengaku demam biasa, tapi sudah dua hari demamnya tak juga reda. Kemudia ia periksa ke puskesmas. Kata perawat di puskesmas, ia terkena gejala tifus, sudah stadium mengkhawatirkan, hingga ia disarankan untuk periksa ke rumah sakit saja.
Setelah sampai rumah sakit, ia diperiksa kembali berdasarkan gejala-gejala yang ia rasakan. Dan dokter mengatakan, bahwa itu bukanlah tifus, tapi demam berdarah. Sebagai orang awam yang tak pernah meneliti jenis penyakit, ia pasrah saja.
Ketika saya masuk rumah sakit, hari pertama, lelaki paruh baya itu bercerita, bahwa ia sudah menginap hampir seminggu. Dan ia sama sekali tidak betah. Maka, pada hari itu pula—hari perkenalannya dengan saya—ia bersikeras untuk pulang. Katanya, di rumah atau di rumah sakit sama saja, sama-sama sakit. Sama-sama sakitnya mending ia sakit di rumah, tidak perlu bayar, katanya. Saya sempat tertawa simpul menyimak ceritanya.
Entah bagaimana cara ia meyakinkan dokter, kemarin malam, sekitar pukul tujuh, lelaki paruh baya itu berpamitan pada saya. Cepat sembuh, tuturnya sambil mengusap pundak saya. Saya hanya mengucapkan terima kasih. Setelah ia enyah dari hadapan saya, beberapa jam kemudian, seorang perawat menyampaikan kabar yang sekadarnya, bahwa lelaki paruh baya itu sekarang tengah dibawa ke UGD, katanya, ia ambruk di ruang administrasi saat hendak pulang. Dan tadi pagi, tiba-tiba ia sudah dikabarkan tidak ada.
Kematian memang begitu misterius, sama misteriusnya dengan kehidupan. Tak bisa ditebak ataupun direka-reka.
***
Malam masih utuh dalam heningnya. Mata saya masih menyala, menerawang langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Tiba-tiba warna langit-langit itu mengingatkan saya pada warna kafan. Warna yang selalu tulus. Mata saya terus saja mengerjap-ngerjap. Tak kuasa dipejamkan.
Siang tadi, seorang pasien baru datang dan menempati ranjang di sebelah kiri saya—ranjang yang semula ditempati lelaki paruh baya yang meninggal tadi pagi. Oh, di dunia ini kian banyak saja orang sakit. Pasien baru yang menempati ranjang di sebelah kiri saya adalah seorang pemuda yang sangat pemalu. Pertama kali bersitatap, ia hanya mengangguk dengan sedikit senyum. Selepas itu ia terbaring dan menutup mukannya dengan syal.
Melihat kondisinya tampaknya ia mengalami cedera yang parah di kaki sebelah kanan. Kaki sebelah kanannya penuh balutan perban. Ketika saya tanyakan, ia mengaku baru saja mengalami kecelakaan, dan kakinya dinyatakan patah. Entah musabab apa, sorenya ia digotong ke UGD, dan sampai detik ini tak ada kabar. Ranjang di sebelah kiri saya kembali kosong.
Mata saya terus melata, menelanjangi seisi ruang. Dalam ruangan ini ada sepuluh ranjang. Delapan terisi, dan dua (tepat di sebelah kiri dan kanan saya) kosong. Tiba-tiba saya kembali berpikir tentang kuasa Tuhan, bahwa manusia, ternyata, adalah sesosok makhluk yang sangat kecil dan rapuh. Sebentar-sebentar sakit, kepala pusing, tak bisa berjalan, tak enak makan. Sedikit-sedikit terluka, tersayat pisau, terantuk batu, tertubruk mobil. Dan tentu saja, selain kecil dan rapuh, manusia adalah makhluk paling lalai. Lalai menjaga kesehatan yang dianugerahkan sehingga ia terserang sakit. Lalai pada kehati-hatian hingga ia mudah sekali terluka. Begitulah tabiat manusia.
***
Malam kian hening, dan mata saya masih nanar menatap apa saja. Pikiran saya masih berpijar memikirkan apa saja. Di sudut ruang, tiba-tiba, seorang pasien—perempuan tua, menjerit-jerit, membangunkan seisi rumah sakit. Ia terus menjerit, ketakutan, matanya menengadah ke langit-langit, bagai menyaksikan sosok yang sangat besar. Keluarganya terus menerus-mengelus kepalanya dan beristigfar. Namun, perempuan tua itu masih saja menjerit-jerit, hingga seorang perawat datang, menyuntik lengannya perlahan. Beberapa saat kemudian, perempuan tua itu terbaring lunglai di atas ranjangnya.
Beberapa pasien yang turut terbangun kembali merebahkan badan mereka. Suasana kamar kembali menjadi tenang. Dingin. Hening. Dan ganjil. Beberapa jam berlalu, masih hening, hingga suara tangisan itu muncul dari sudut ruang. Pasien perempuan—yang beberapa jam lalu menjerit-jerit, kini sudah tiada. Beberapa perawat datang dengan ranjang beroda, beberapa orang membopong jasad perempuan itu ke atas ranjang dan menutupinya dengan kafan. Suara tangisan dari keluarganya masih saja membahana, bagai mata pisau yang mencacah keheningan.
Ranjang jenazah itu melintas di hadapan saya. Suara rodanya berdecit-decit bagai jeritan tertahan. Selintas, kafan yang menutupi jasad perempuan itu tersingkap diterpa angin. Dari balik kain yang tersingkap itu, sepasang mata mendelik menatap saya. Seketika itu saya terdiam. ***

Malang, 2012

Kado Tahun Baru Tiar

Oleh Iwan Ridwan (Lampung Post, 07 Januari 2018)
Kado Tahun Baru Niar ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post
Kado Tahun Baru Niar ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Tak lama lagi Tahun Baru. Tiar berkeinginan membeli video game terbaru. Alat canggih itu berisi permainan yang bermacam-macam. Ia cemburu melihat Roni yang telah memiliki benda tersebut. Sepulang ayahnya, ia berniat mengatakan keinginannya.
***
Ayah Tiar sangat terampil dalam kerja kayu. Keahlian ini pun dimiliki oleh Tiar. Sejak kecil, Tiar mulai akrab dengan palu dan kayu. Dia pun pandai membuat main-mainan dari kayu. Ia merupakan anak yang rajin dan cerdas. Sering membantu kedua orang tuanya. Bahkan, ia senang membantu ayahnya ketika membuat kursi pesanan tetangga.
Anak lelaki ini sangat suka makan emping buatan ibunya. Kini, Tiar duduk di kelas I SMP Banyusari. Mobil-mobilan dia buat dari sisa kayu pekerjaan ayahnya. Dia pun suka membuat roda-rodaan yang biasa dimainkan sambil berlari. Dia sangat suka dengan permainan kayu itu.
Sampai sekarang, Tiar masih senang jika ayahnya bekerja di rumah. Dia bangga karena ayahnya sangat andal membuat kursi. Juga lemari-lemari penghias yang sangat indah untuk dilihat. Namun, kini Tiar bosan dengan permainan miliknya itu.
Dalam hatinya, ia ingin permainan seperti teman-temannya, terutama milik Roni. Dia pun sering diolok-olok temannya karena tak punya game canggih. Awalnya, Tiar masih tak menghiraukan ejekan temannya. Lama kelamaan, dia pun jadi ingin membeli game seperti kawan-kawannya.
“Bu, Ibu sayang Tiar, Kan? Boleh gak Tiar minta sesuatu dari Ibu?” Tanya Tiar pada ibunya yang sedang masak di dapur.
“Iya tentu, Ibu sayang sama Tiar. Oh, memang mau minta apa? Ini Ibu lagi masak emping kesukaannya Tiar,” jawab Ibu dengan penuh kasih sayang.
“Tiar mau dibelikan video game terbaru, Bu. Kayak teman-teman itu loh. Game-nya seru banget, Bu. Belikan ya, ya Bu?”
Ibu terdiam sebentar. Memikirkan jawaban yang tepat untuk anak tercintanya itu.
Sambil tersenyum, Ibu pun berbicara pada Tiar.
“Iya, nanti Ibu bilang dulu ke ayah ya. Lagi pula, Tiar masih senang, Kan, dengan mainan ciptaan Tiar sendiri. Mainkan mainan kayu dulu aja, ya. Kan, Tiar anak yang cerdas,” jawab Ibu kepada Tiar dengan lembut.
Tiar pun agak kecewa. Dia khawatir permintaannya tak bisa diwujudkan oleh ayahnya. Tiar memang anak yang baik kepada siapa pun. Tak pernah menyusahkan orang tua.
Keinginan untuk punya video game terbaru masih jadi mimpi Tiar. Ibu pun telah mengatakan keinginan Tiar pada ayah. Ayah hanya bilang, “Iya”, tanpa berkata apa pun lagi.
Tiar menjalani sekolahnya dengan semangat. Minggu ini dia harus belajar tekun karena akan ulangan semester. Selama seminggu, teman-temannya terlihat asyik dengan game-nya masing-masing. Tiar tetap teguh belajar meski hatinya ingin memiliki game itu.
***
Tahun baru sudah semakin dekat. Ulangan semester sudah selesai dilaksanakan. Tinggal menghitung beberapa jam, tahun 2018 akan datang.
Tiar masih belum mendapatkan video game seperti kawan-kawannya. Dia jadi malu untuk bermain bersama kawan-kawannya. Sore hari, Tiar bertanya lagi pada Ibunya.
“Bu, Ayah jadi pulang, Kan?” Tanya Tiar menanyakan kepastian Ayahnya yang sudah seminggu bekerja di Bogor.
“Iya, kita doakan saja semoga Ayah bisa pulang cepat ya. Dan selamat sampai rumah,” jawab Ibu dengan lembut.
Memang sudah seminggu, Tiar tak bisa menemui Ayahnya. Dia hanya bisa berbicara dengan ayah saat ayahnya menelepon Ibu. Yang diingat Tiar adalah senyum Ayah ketika ia membantu pekerjaannya.
***
Tiar masih menantikan kedatangan Ayah. Dia menjadi cemas karena Ayahnya belum pulang. Keinginan Tiar untuk membeli video game hilang. Kehadiran Ayah lebih penting daripada game yang diinginkannya.
Ibu memanggil Tiar untuk masuk ke dalam rumah. Tiar masih menunggu kedatangan Ayah. Makan kali ini tidak seperti biasanya. Tiar kurang nafsu makan karena terus memikirkan ayahnya.
“Ayo makan, sayang. Ibu masak lauk kesukaannmu, nih. Ditambah emping favoritmu pasti sedap,” rayu Ibu pada Tiar yang terlihat kurang bersemangat.
“Iya Bu, terima kasih. Kurang enak rasanya jika Ayah tak makan bersama kita ya,” jawab Tiar yang matanya mulai mengeluarkan air mata.
Hati Tiar semakin tidak karuan. Makanan yang ada di depannya kurang diminatinya. Dalam hatinya, ia berdoa agar ayah bisa pulang sebelum pergantian tahun tiba.
Tak seperti pergantian tahun lalu. Tiar dan ayah menyalakan kembang api bersama. Tiar masih menantikan ayah.
Tok…tok…tok. “Assalamualaikum.”
Terdengar suara ayah di balik pintu. Seketika Tiar berlari menuju gagang pintu. Ia langsung membukakan pintu.
Dan ternyata yang datang adalah orang yang selama ini ditunggunya. Ayah yang sangat dia kagumi.
“Ayah, Ayah, Ayah.” Langkah Tiar cepat memeluk Ayah.
“Bu, Ayah datang, Bu!”
Tiar sangat gembira dengan kedatangan ayahnya. Video game yang diinginkannya sudah jauh-jauh ia lupakan. Yang terpenting dia sudah bertemu dan berkumpul bersama ayah.
Tanpa diduga, ayah membelikan jam tangan kayu. Tiar pun sangat senang dengan kado tahun baru dari ayahnya itu. Tiar pun berjanji untuk merawat kado itu baik-baik. Dan percaya diri untuk bermain lagi meski tak punya video game seperti kawan-kawannya.n

Cicinde, pergantian tahun 2017

Penunggu Senja

Cerpen Alim Musthafa (Media Indonesia, 07 Januari 2018)
Penunggu Senja ilustrasi Tiyok - Media Indonesia.jpg
Penunggu Senja ilustrasi Tiyok/Media Indonesia
PEMUDA itu bernama Royhan. Hidupnya kaku bagai rumah yang diguyur hujan. Perasaannya gersang bagai ladang yang dilanda kemarau. Sejak merasakan kehilangan, ia mulai memahami bahwa kesendirian ialah teman paling pengertian, dan senja adalah penghibur yang membuatnya kerasan larut dalam kesedihan.
Setiap sore hari, Royhan selalu mendatangi Bukit Tinggi, duduk di atas hamparan batu besar sambil memandangi senja yang temaram. Dari sepasang matanya yang sayu, kadang bulir-bulir bening berguguran, lalu menyatu bersama tanah yang kerontang.
Di bukit yang terletak di Desa Daramista itu, Royhan seperti hanya larut dalam dirinya sendiri. Tidak pernah tersenyum, tertawa, atau berbuat apa pun untuk menyenangkan dirinya. Bahkan, ia tak pernah mengusik orang-orang yang memadu kasih di sekitarnya.
Saat bosan, Royhan hanya memutar wajah, memandang sepasang kekasih yang tak jauh di sampingnya. Sepasang kekasih itu kadang terlihat saling mencubit, menyandarkan tubuh, lalu kembali menatap senja dengan senyum bahagia.
Namun, kemesraan pasangan kekasih yang ia lihat kali itu justru menarik ingatannnya kembali tentang kebersamaannya dengan Ariza, gadis cantik yang selama lima tahun menjadi kekasihnya dan selalu setia menemaninya hingga akhirnya menghilang entah ke mana.
Sebagaimana pasangan kekasih lain, Royhan dan Ariza juga menggemari senja. Mereka kerap bepergian hanya untuk mencari tempat di mana senja bisa dilihat dengan sejelas-jelasnya. Telah mereka datangi Gunung Payudan, Pantai Sembilan, Dermaga Kangayan, dan tempat-tempat lain di mana senja bisa terlihat menyala dengan sempurna.
“Ini wisata senja yang mengagumkan, Sayang. Sungguh beruntung aku memilikimu, yang selalu memanjakan aku dengan kebahagiaan ini,” kata Ariza pada suatu hari, saat sedang asyik menyaksikan senja berdua.
“Apa pun yang membuatmu semakin jatuh cinta kepadaku, Sayang, akan kulakuan. Aku hanya ingin kau menjadi gadisku yang pertama dan terakhir.”
“Aku janji, Sayang, aku tak akan pernah mengecewakanmu, dan aku akan selalu berusaha menjadi gadis yang terbaik untukmu.”
Mereka tak pernah bosan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk merasakan senja dengan nuansa yang berbeda dan istimewa. Hingga pada suatu hari, mereka saling berjanji akan mengahabiskan senja di Bukit Tinggi, sebuah bukit yang menawarkan pemandangan yang sangat indah, lebih-lebih di sore hari menjelang matahari terbenam.
Hari itu, tak seperti biasanya, Ariza datang sendirian lebih awal. Senja masih belum menyala dengan sempurna. Namun, pasangan-pasangan kekasih lain seakan telah menjejali hamparan bukit, memilih berduaan di sudut-sudut yang lebih sepi.
Di bukit romantis itu, hanya Ariza yang datang tanpa pasangan. Ia duduk dengan cemas di atas hamparan batu besar sambil menunggu Royhan yang tak kunjung datang, padahal sudah melewati waktu perjanjian. Sementara itu, pasangan-pasangan kekasih ain seolah hanya peduli dan sibuk dengan pasangannya sendiri tanpa perduli yang lain.
***
Sore itu, Royhan mengalami kebingungan dan kecemasan yang luar biasa ketika tidak mendapati Ariza di tempat seperti yang dijanjikan. Padahal, ia telah mencarinya hingga ke tempat-tempat yang paling sepi. Maka, keadaan itu kemudian menggiring pikirannya untuk percaya pada sebuah mitos yang beredar di sekitar.
“Di Bukit Tinggi, perempuan-perempaun akan hilang dibawa senja jika dibiarkan menunggu hingga melewati waktu perjanjian,” begitu kata orang-orang yang mendiami sekitar bukit itu ketika Royhan bertanya tentang kekasihnya yang tak kunjung ditemukan.
Dan Royhan merasa menyesal telah datang terlambat sore itu. Namun, ia masih belum percaya sepenuhnya bahwa Ariza benar-benar hilang dibawa senja. Maka, ia pun mencari keberadaan gadis itu di luar sana, di samping selalu mendatangi bukit itu setiap sore hari.
Keadaan itu terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Hingga Royhan pun berubah, menjadi sosok yang tertutup dan acuh terhadap siapa pun, termasuk gadis-gadis yang mencoba mendekat.
“Royhan, kenapa kau selalu membiarkan gadis-gadis pergi dengan kesal?” tanya salah satu teman gadisnya suatu hari.
“Biarlah! Aku hanya tak ingin melihat mereka berharap dan terluka.”
“Tapi kau telah membuat mereka kecewa.”
“Itu lebih baik daripada membuat mereka merasa nyaman di sisikku, tapi kemudian aku mengabaikan mereka setelah menaruh harapan besar menjadi kekasihku.”
Mendengar jawaban Royhan, teman masa kecilnya itu langsung bungkam. Memahami bahwa kepedulian dan perhatian seseorang pada orang lain kadang tak bisa ditebak. Bisa saja dalam bentuk yang tak biasa, bahkan kadang tidak disukai.
Kenyataannya, Royhan memang tidak selalu bersikap begitu. Kadang ia menampakkan kepedulian yang nyata ketika melihat orang lain menderita. Seperti yang terjadi pada suatu ketika di siang hari, ia melihat seorang gadis yang sedang menangis, duduk sendirian di atas bangku taman di bawah rindang pohon damar.
Melihat gadis menangis, Royhan jadi teringat Ariza yang hilang. Ia pertama kali kenal dengan Ariza saat ia juga sedang menangis di pinggir jalan. Dan setiap begitu, ia akan selalu teringat kata-kata guru agamanya, “Jika kamu mencintai perempuan dengan benar, maka kamu tidak akan pernah membuatnya menangis selamanya.”
Maka, setelah mendekat dan mengamati wajah gadis itu yang terus menangis, Royhan lalu berpikir bahwa gadis itu layak dicintai. Adakah gadis yang kurang layak dicintai? Hmm, tentu saja ada, yaitu gadis yang suka menyiakannyiakan cinta yang diberikan para lelaki kepada dirinya.
“Tak baik seorang gadis menangis,” tegur Royhan begitu berdiri tak jauh di sisinya.
Gadis itu menoleh.
“Apa pedulimu?”
“Aku hanya tak tahan melihat gadis menangis. Pasti seorang lelaki yang telah tega membuatmu begini, bukan?”
“Bukan urusanmu!”
“Memang. Tapi aku kenal siapa kekasihmu. Aku pernah melihatmu berdua di Bukit Tinggi tempo hari.”
“Terus?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja sebaiknya kaulupakan saja dia. Ada banyak lelaki yang lebih baik darinya.”
Seketika gadis itu menatap wajah Royhan lekat-lekat, seperti mencari sebuah kebenaran di sana.
Beberapa saat suasana menjadi kaku. Tapi, Royhan kemudian mengajak gadis itu berkenalan. Dan gadis itu pun mulai tersenyum saat Royhan menghiburnya dengan guyonan-guyonan humor. Selama beberapa hari, Royhan terus menemani dan menghibur gadis itu hingga wajahnya kembali ceria dan menampakkan kecantikannya yang purba.
“Kau sebenarnya beruntung bisa bersamaku, Izara!” kata Royhan suatu ketika.
“Kenapa, Royhan?”
“Apa yang tampak di matamu tentang aku, tidak seperti apa yang tampak di mata gadis-gadis lain.”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Tak perlu mengerti sekarang. Bila sampai waktunya, kau akan mengerti sendiri suatu hari nanti.”
***
Para pengunjung bukit selalu merasa heran, kenapa pemuda itu selalu duduk sendirian sambil memandangi senja seperti sedang mengurai kesedihannya yang seolah tak pernah berkurang.
“Apakah pemuda itu sedang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang?” Begitulah tanya para pengunjung pada pengunjung lain. Namun tetap saja, tak pernah ada yang mempu menjawabnya dengan pasti.
Para pengunjung juga tidak pernah tahu tentang asal muasal dan riwayat pemuda itu. Sebelum senja menyala, ia tiba-tiba sudah duduk di sana seperti biasa. Mereka juga tidak pernah melihatnya di tempat lain kecuali di sana menjelang senja.
“Sudah, kita tak perlu mengusiknya. Dia mungkin datang dari jauh dan tidak waras.” Begitulah akhirnya mereka berkesimpulan.
Dan memang tidak ada siapa pun yang berani mengusik keberadaanya. Orang-orang hanya bisa berbisik-bisik setiap kali merasa heran dan penasaran dengan sikapnya. Namun, di sore itu ada seorang gadis yang nekat mendekat.
“Aku baru tahu, ternyata kita menyimpan kesedihan yang sama, Royhan,” tegur gadis itu.
Dan pemuda itu seolah tak merasa terusik. Ia tetap menampakkan keacuhan yang tajam.
“Tidak juga. Sedihku tidak sama dengan sedihmu,” tanggapnya kemudian, seperti telah tahu siapa gadis di sisinya.
“Maksudmu?”
“Sedihmu karena cinta. Tapi sedihku karena senja.”
“Kau aneh. Bukankah senja dipilih orang untuk merasakan bahagia?”
“Memang, yang lumrah begitu. Tapi setiap orang harusnya tahu bahwa senja bukanlah momen yang tepat untuk berbahagia.”
“Kenapa begitu?”
“Karena senja adalah isyarat akan datangnya kepergian dan kehilangan.”
“Tapi kenapa kau suka menunggui senja.”
“Aku hanya ingin setia menunggui seseorang yang telah pergi bersama senja, meski aku tak tahu apakah ia akan kembali kepadaku untuk terakhir kalinya.”
“Sampai kapan kamu akan begini?”
“Sampai senja menghilang dan aku dibawa pergi bersamanya.”
***
Setelah habis mengobrol, Royhan lalu mengajak Izara pulang. Senja memang sudah tampak semakin menyurut dan bukit itu sudah sepi dari pengunjung.
Dengan saling menggamit tangan, mereka lalu melangkah menyisir jalan ke timur. Dengan hati-hati, mereka mencoba menuruni lahan bukit yang miring. Namun sebelum mereka jauh, tiba-tiba sebuah suara memanggil dari belakang.
“Royhan, kembalilah!”
Royhan buru-buru membalik tubuh. Di sana tiada siapa pun yang terlihat. Namun kemudian ia kaget begitu melihat senja kembali menyala dan semakin menyala di ufuk barat.

Karduluk, 2017
Alim Musthafa asal Sumenep suka menerjemahkan dan menulis puisi dan cerpen.