Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Bukannya perubahan itu penting ya untuk hidup yang lebih baik? (hlm. 132)
Selalu ada cara untuk memperbaikinya kan? (hlm. 177)
Selalu ada saat pertama untuk segala hal. (hlm. 208)
Hanya kamu yang bisa membantu dirimu sendiri. (hlm. 272)
Setiap kejadian selalu ada sisi positifnya. (hlm. 277)
Jalan hidup mirip sungai. Mengalir ke percabangan yang berbeda-beda.
Kita hanya bisa mengikuti arus, atau tenggelam karena berusaha
melewatinya. (hlm. 323)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Mati lebih baik, daripada hidup jadi pecundang. (hlm. 36)
Siapa di dunia ini yang nggak pernah sakit hati? (hlm. 94)
Balas dendam, bahkan cuma dengan memikirkannya saja, membuat energimu habis. (hlm. 96)
Yang pertama selalu jadi yang tersulit. Begitu kau mampu melakukannya, yang kedua akan jauh teramat sangat mudah. (hlm. 109)
Keajaiban bekerja dengan cara misterius. Yang kita pikir kita bisa kendalikan, ternyata mengendalikan kita. (hlm. 134)
Kenapa sih harus takut kelihata single? (hlm. 137)
Single belum tentu nggak bahagia. (hlm. 137)
Jatuh cinta membabi buta akan membuatmu benar-benar buta. (hlm. 170)
Kamu lagi cinta-cintanya dengan dia, mana mau mendengarkan. (hlm. 176)
Memang unik, mimpi itu. Kadang indah. Kadang buruk. Lebih sering
tidak ada artinya. Tetapi, ada kalanya, mimpi itu berarti
segala-galanya. (hlm. 183)
Apa pun yang kita minta akan selalu kembali kepada kita. (hlm. 265)
Berhentilah menghidupkan kenangan. (hlm. 301)
Orang yang marah, dendam, sakit hati, bisa melakukan apa saja. (hlm. 305)
Kalau jodoh, pasti jadi milik. Kalau bukan jodoh, tidak bisa dipaksa. (hlm. 332)
Cerpen Mustofa W Hasyim (Kedaulatan Rakyat, 04 Maret 2018) Terbongkar ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan RakyatTERJADI percakapan sengit di antara dua karyawan
teras perusahaan yang baru saja mendapat direktur baru. Siang hari. Saat
istiharat. Mereka sengaja mencari restoran serba ikan yang agak jauh
dari kantor. Tujuannya agar apa yang mereka percakapkan tidak terdengar
oleh orang lain.
“Apakah dia punya waktu untuk mengurus perusahaan ini?”
“Tidak. Dia hanya punya nafsu.”
“Nafsu apa?”
“Nafsu berkuasa.”
“Apakah dia mampu?”
“Tidak. Tapi dia mau, sangat mau.”
“Apakah dia punya teman atau sahabat yang cerdas dan ikhlas yang dapat dimintai pendapatnya?”
“Tidak punya. Hidupnya menyendiri.”
“Lantas apa dia punya konsep mengelola perusahaan ini?
“Saya belum pernah mendengar itu. Hanya dia pernah bilang, zaman ini
uang segalanya. Dia bisa memesan konsep mengelola perusahaan dari siapa
pun. Yang penting, semua berjalan lancar. Melaju.”
“Tapi yang menyiapkan konsep itu belum paham sejarah dan karakter perusahaan ini.”
“Sejarah dan karakter tidak penting?
“Lantas yang penting apa?”
“Dia berkuasa. Lantas segalanya berjalan seperti biasa.”
“Kau kok tahu sampai serinci ini sih?”
“Saya kan teman dia sejak kecil. Teman sejak sekolah menengah.”
“Kalau begitu kau aman.”
“Belum tentu juga.”
“Kok belum tentu? Dia kan juga mengenalmu sebagaimana kau mengenalnya.”
“Ya. Tapi kadang dia suka berubah-ubah pikiran.”
Percakapan terhenti. Yang satu tersenyum simpul. Yang satunya heran, kenapa temannya malah tersenyum seperti itu.
“Kenapa kau tersenyum, padahal aku pusing memikirkan rumitnya masalah ini.”
“Tenang, tenang. Kau tadi bilang teman sejak kecil dan dia suka
berubah pikiran. Itu dapat kau manfaatkan untuk mengubah situasi.”
“Mengubah situasi yang seperti apa maksudmu?”
“Sebentar. Dia suka makan apa?”
“Lho kok malah percakapan bergeser ke makan segala.”
“Sebentar. Sabar. Dia paling suka makan apa sih?”
“Sate. Segala macam sate dia suka.”
“Nah, bilang padanya kalau kau mau mengundang dia makan sate yang
paling enak di kota ini. Bilang kalau kau mentraktir dia untuk merayakan
ulang tahunmu. Nah saat makan sate itulah kau harus bisa mengubah
pikirannya.”
“Maksudmu?”
“Kau bilang saja padanya, bahwa ada posisi yang lebih mulia dan
kerjanya lebih ringan dibanding menjadi direktur perusahaan. Yaitu
menjadi komisaris utama.”
“Tapi,masalahnya, komisaris utama sekarang dipegang ayah boss kita ini.”
“Kalau dia yang meminta kedudukan itu, pasti ayahnya akan setuju. Kalau perlu kau yang membujuk ayahnya itu.”
Teman yang teman direktur sejak kecil itu mulai paham dengan alur
pikiran temannya. Hanya dia yang belum paham akan langkah selanjutnya.
Kalau direktur itu menjadi komisaris. Siapa penggantinya?
“Pasti kedudukan direktur itu akan jatuh ke tanganmu. Karena kau
berjasa mengangkat temanmu jadi komisaris dan karena ayahnya tahu kau
temannya sejak kecil, apalagi di perusahaan tempat kita bekerja ini, kau
adalah karyawan paling senior. Ayahnya sudah mengenalmu dan tahu
prestasimu di kantor kita ini.”
Sambil mengangguk-angguk bahagia lelaki calon direktur itu berkata, “Mudah-mudahan begitu.”
“Ya, mudah-mudahan begitu. Saya yakin perusahaan tempat kita bekerja ini akan lebih selamat kau pegang ketimbang dia pegang.”
Tiga bulan setelah itu terjadilah apa yang mereka harapkan. Direktur
baru itu naik menjadi komisaris, dan temannya menjadi direktur baru.
Saat temannya yang memberi gagasan segar itu masuk ruangan untuk memberi
ucapan selamat, sang direktur baru menjabat tangannya lalu menyerahkan
map dan amplop berisi uang yang sangat banyak.
“Lho, ada apa ini?”
“Saya terpaksa memecatmu dan memberimu pesangon.”
“Kenapa?”
“Karena aku tahu rencana busukmu selanjutnya. Kau dan ayah temanku
itu kan punya dua rencana sekaligus. Temanku akan dibuang ke Jakarta
untuk menjadi komisaris perusahaan baru ayahnya. Dan aku akan diangkat
jadi komisaris. Lantas, kau yang diplot jadi direktur baru kantor ini.”
Teman itu pucat. Tanyanya, “Kau kok tahu?”
“Karena pemilik warung serba ikan itu adikku. Dia memergokimu ketemu
ayah temanku setelah kita ketemu disana. Waktu kau dan ayah temanku
merancang skenario untuk mengangkatmu sebagai direktur dan membuang aku
di kursi komisaris, adikku sempat merekam percakapanmu itu. Dia lalu
memberikan rekaman percakapanmu dan ayah temanku itu padaku. Gimana?
Masih mau membantah?”
Lelaki itu diam. Dia mengambil map dan uang dalam amplop. Pergi tanpa pamit. n-e
Cerpen Jemmy Piran (Haluan, 04 Maret 2018) Kisah Kera pada Minggu Pagi ilustrasi Haluan
Menatap ladang jagung yang selama ini ia bersihkan dari rumput-rumput
liar, membuat dada Teus geram. Jagung muda yang siap dipanen rebah ke
tanah. Kulit-kulit jagung berhamburan ke tanah. Tongkol-tongkol jagung
yang masih tertempel beberapa biji jagung mengingatkannya pada cerita Tonu Wujo Besi Pare.
Gerahamnya beradu. Darahnya mendidih.
“Sial,” umpatnya. “Kau tunggu.”
Teus memutar badan, kembali ke jalan yang mengarah ke kampung. Kadang
di tanah datar ia berlari kecil, Joli dan Mimo, anjingnya nguik-nguik
di belakang. Ia tidak peduli pada tajam batu sepanjang perjalanan. Bias
matahari mulai tampak di langit bagian timur.
“Kenapa kau pulang awal sekali, Bang?” tanya istrinya.
Teus tidak peduli dengan pertanyaan semacam itu. Tidak penting,
pikirnya. Ia langsung ke dapur. Mengambil senapan angin, anak panah, dan
busur.
Melihat Teus mengambil benda-benda itu, istrinya menegur.
“Sekarang Hari Minggu, Bang.”
Teus tidak menjawab. Ia mengambil botol aqua, mengisinya dengan air,
mengambil tas yang terbuat dari sak semen. Memasukkan botol air ke dalam
tas.
“Joli…Joli…Mimo…mimo.” Dua ekor anjing itu menjulurkan lidah dan
menggoyangkan ekor. Binatang yang setia itu pun melompat kegirangan
mengikuti langkah gegas Teus. Sudah lama sekali Teus tidak menggunakan
panah dan senapannya untuk membidik kera di hutan. Entah sepuluh atau
belasan tahun ia mengubur naluri berburunya. Tapi hari ini, naluri itu
muncul membuncah dalam dadanya.
Sebetulnya ia seorang pemburu hebat. Bakatnya membidik dan memanah
babi hutan, kera, musang, rusa, babi landak, ayam hutan, diturunkan dari
kakeknya. Tapi sejak binatang hutan itu berkurang, bakat itu pun
sedikit menyusut.
Mata panah tampak berkarat tapi masih tergurat ketajaman. Memang
selama ini ia tidak menyentuh pusaka berharga itu lantaran bekerja di
Kalimantan. Namun, meskipun begitu ia yakin bahwa benda-benda itu bisa
menembus kulit babi yang keras.
Ini hanya soal membidik dengan tepat, menarik panah hingga batas
terakhir lalu melepaskan tali busur, begitu pikirnya. Apalagi ini hanya
kera. Jika ia berada di dahan yang rendah akan ia gunakan panah agar
kera-kera itu tahu rasa. Kalau berada di dahan yang tinggi ia membidik
dengan senapan untuk melemahkan tubuh kera.
“Saya masih tetap pemburu,” gumamnya geram.
***
Nun di dalam hutan, segerombolan kera berlompat riang dari satu dahan
ke dahan yang lain. Ada sepasang yang duduk di dahan rendah sambil
mencari kutu. Di ranting yang lain seekor betina dengan anaknya yang
masih menempel di dada mengantuk. Pada ranting yang agak kecil seekor
penjantan muda terluka di bagian telinga kiri.
Pada sebuah pohon yang menjulang tinggi, segorombolan pejantan muda
saling menunjukkan kehebatan di depan betina yang siap kawin. Yang kalah
berarti siap menerima bahwa sang pemenang berhak memiliki betina.
Sang pemimpin gerombolan bersama beberapa betina duduk di dahan yang
paling tinggi. Dengan bahasa yang mereka sendiri mengerti, mereka
bercakap-cakap.
“Beberapa tahun lagi kita akan banyak seperti dulu,” sang pejantan
membuka. Dialah pejantan tertua di hutan itu. Dia meraba bekas luka di
pahanya. Dulu, dia mulai membayangkan, suatu pagi, dari kejauhan
terdengar anjing menyalak, membangunkan penguni hutan. Babi, rusa, dan
semua yang bernyawa berlari menyelamatkan diri. Segerombolan kera
berhamburan dan sebagian bersembunyi di pucuk tertinggi.
Saat itulah si kera melihat satu per satu temannya tumbang. Dia
diselamatkan sebatang dahan besar. Tubuhnya tidak terlihat. Sebelumnya,
kera-kera yang duduk di pucuk pohon itu akan selamat, karena batang
pohon cukup besar dan tinggi menjulang. Tapi setelah ada senapan angin,
maut begitu dekat setiap kali terdengar anjing menyalak.
***
“Hulau… lau… lau… Sigi…gii…giii…” Teus membakar hasrat anjing sebagai
binatang pemburu. Mendengar kata-kata itu, Joli dan Mimo tidak sabar.
Kedua anjing tersebut mengiuk-ngiuk, menerobos semak-semak sambil
menyalak. Teus berlari mengikuti suara anjingnya. Semakin menjauh ke
dalam hutan, suara anjing semakin menggema. Segerombolan kera tadi
berhamburan. Pemimpin kera yang sudah berpengalaman itu memimpin
pelarian. Dia tahu tempat terbaik untuk bersembunyi. Ada beberapa kera
yang memilih bertahan karena kekenyangan dan di perut masih
bergelantungan bayi-bayi kera.
Sementara pejantan dan betina muda sudah menghilang ke dalam lembah yang jauh.
Di bawah pohon, anjing menyalak, mendongakkan kepala. Beberapa kera
gemetar di dahan-dahan yang menjulur jauh. Ada niat ingin melompat ke
pohon sebelah tapi terlalu jauh untuk sebuah lompatan. Jika saja
lompatan itu meleset, anjing siap menyambut. Taring-taring Joli dan Mimo
siap menancap ke dalam daging.
Melihat kera-kera seperti tidak berdaya, Joli dan Mimo semakin keras
menyalak, berputar-putar di bawah pohon. Lidahnya menjulur-julur, liur
meleleh di sudut mulut.
Begitu Teus sampai, anjing mengiuk-ngiuk. Teus mendongakkan kepala ke
cecabang pohon. Ia tersenyum setelah menelusuri satu per satu cabang
pohon. Setidaknya ada tujuh ekor di atas sana. Ia bergeser ke arah
timur. Hanya ada sedikit celah. Ia ke selatan karena melihat seekor yang
lebih besar.
Teus tahu mana yang akan ia panah terlebih dahulu. Jika menggunakan
busur ia tahu berada sudut yang harus diambil. Melihat arah angin yang
menerpa dedaunan. Ia tidak mau membuang percuma anak panahnya.
Seekor kera menggeliat dan seluruh badannya terlihat jelas. Teus tersenyum. Ia memasang panah, mengarahkan ke objek.
Sebelum panah dilepaskan, ia mendengar erangan Joli dan Mimo. Seperti
erangan meregang nyawa. Mendengar itu ia tak jadi melepaskan panahnya.
Ia letak kembali panah dan busur. Juga senapan di bawah pohon. Lalu
mengambil parang, mengendap-endap ke balik gundukan tanah. Di depannya
ada dua ekor kera jantan dewasa berdiri dengan mulut berlumuran darah.
Joli dan Mimo meregang nyawa.
Teus menjadi geram. Ia memutar arah menuju tenggara, lewat sisi
jurang. Sebelum sampai ke bawah pohon tadi ia di cegat tiga ekor kera
yang tiba-tiba sudah berada di depan dan sampingnya. Mata kera-kera itu
menembakan sengat bara. Mata itu semerah saga. Kera-kera berlompatan
turun, berkumpul bersama kawan yang lain membentuk barisan.
Teus menggeretak tapi kera-kera bergeming. Ia mengancungkan parang ke
arah kawanan kera tapi kera-kera menyeringai memperlihatkan
taring-taring panjang yang berwarna kuning. Teus maju selangkah, tapi
kawanan kera tetap di sana menatapnya dengan penuh. Tatapan yang
melumurkan dendam panjang.
Teus meraih batu, melempar ke arah kawanan yang bergerak maju itu
tapi sekilat batu, kera-kera menghindar dengan cepat. Dari belakang
seekor kera berjalan tegap mematahkan anak panah.
Teus menahan napas. Dadanya bergetar hebat. Wajahnya menjadi pucat.
Keringat mengalir di wajahnya. Tiba-tiba ingatannya terlempar pada
cerita kakeknya. Semua binatang yang ada di hutan punya tuan. Seketika lututnya lemas.
Ia menatap sekawanan kera dengan nanar.
Barisan kera itu maju selangkah. Teus mundur. Kera-kera kembali
melangkah dengan pasti. Sekali lagi Teus mundur. Ia tercekat. Ada
sesuatu yang kosong di belakangnya. Kakinya persis berada di tubir
tebing. Di bawahnya batu-batu seperti menganga siap menyambutnya.
“Kami punya hak hidup,” seekor kera, pemimpim gerombolan itu,
berbicara dengan suara lantang. Teus melotot seperti tidak percaya,
seperti sedang menunggu maut yang tidak masuk akal. Tepat saat itu di
gereja orang-orang sedang menyanyikan lagu Tuhan Kasihanilah Kami.
Alak, April 2017
Jemmy Piran lahir di
Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universitas Nusa Cendana,
Kupang. Puisi dan cerpennya tersiar di berbagai media lokal dan
nasional. Kini tinggal di Waimana 1, Nusa Tenggara Timur.