Daftar Blog Saya

Senin, 05 Maret 2018

Kutipan Second Chance Series: Revenge

Ada banyak hal baik di depanmu, tapi kamu selalu memikirkan hal-hal yang menggerogotimu dari dalam. (hlm. 95)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Ternyata kesempatan kedua itu benar-benar ada. (hlm. 43)
  2. Jatuh cinta selalu diikuti lahirnya harapan-harapan. (hlm. 58)
  3. Lakukan hal-hal menyenangkan. Jangan mikir hal-hal aneh seperti balas dendam. (hlm. 97)
  4. Bukannya perubahan itu penting ya untuk hidup yang lebih baik? (hlm. 132)
  5. Selalu ada cara untuk memperbaikinya kan? (hlm. 177)
  6. Selalu ada saat pertama untuk segala hal. (hlm. 208)
  7. Hanya kamu yang bisa membantu dirimu sendiri. (hlm. 272)
  8. Setiap kejadian selalu ada sisi positifnya. (hlm. 277)
  9. Jalan hidup mirip sungai. Mengalir ke percabangan yang berbeda-beda. Kita hanya bisa mengikuti arus, atau tenggelam karena berusaha melewatinya. (hlm. 323)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Mati lebih baik, daripada hidup jadi pecundang. (hlm. 36)
  2. Siapa di dunia ini yang nggak pernah sakit hati? (hlm. 94)
  3. Balas dendam, bahkan cuma dengan memikirkannya saja, membuat energimu habis. (hlm. 96)
  4. Yang pertama selalu jadi yang tersulit. Begitu kau mampu melakukannya, yang kedua akan jauh teramat sangat mudah. (hlm. 109)
  5. Keajaiban bekerja dengan cara misterius. Yang kita pikir kita bisa kendalikan, ternyata mengendalikan kita. (hlm. 134)
  6. Kenapa sih harus takut kelihata single? (hlm. 137)
  7. Single belum tentu nggak bahagia. (hlm. 137)
  8. Jatuh cinta membabi buta akan membuatmu benar-benar buta. (hlm. 170)
  9. Kamu lagi cinta-cintanya dengan dia, mana mau mendengarkan. (hlm. 176)
  10. Memang unik, mimpi itu. Kadang indah. Kadang buruk. Lebih sering tidak ada artinya. Tetapi, ada kalanya, mimpi itu berarti segala-galanya. (hlm. 183)
  11. Apa pun yang kita minta akan selalu kembali kepada kita. (hlm. 265)
  12. Berhentilah menghidupkan kenangan. (hlm. 301)
  13. Orang yang marah, dendam, sakit hati, bisa melakukan apa saja. (hlm. 305)
  14. Kalau jodoh, pasti jadi milik. Kalau bukan jodoh, tidak bisa dipaksa. (hlm. 332)

Terbongkar

Cerpen Mustofa W Hasyim (Kedaulatan Rakyat, 04 Maret 2018)
Terbongkar ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Terbongkar ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
TERJADI percakapan sengit di antara dua karyawan teras perusahaan yang baru saja mendapat direktur baru. Siang hari. Saat istiharat. Mereka sengaja mencari restoran serba ikan yang agak jauh dari kantor. Tujuannya agar apa yang mereka percakapkan tidak terdengar oleh orang lain.
“Apakah dia punya waktu untuk mengurus perusahaan ini?”
“Tidak. Dia hanya punya nafsu.”
“Nafsu apa?”
“Nafsu berkuasa.”
“Apakah dia mampu?”
“Tidak. Tapi dia mau, sangat mau.”
“Apakah dia punya teman atau sahabat yang cerdas dan ikhlas yang dapat dimintai pendapatnya?”
“Tidak punya. Hidupnya menyendiri.”
“Lantas apa dia punya konsep mengelola perusahaan ini?
“Saya belum pernah mendengar itu. Hanya dia pernah bilang, zaman ini uang segalanya. Dia bisa memesan konsep mengelola perusahaan dari siapa pun. Yang penting, semua berjalan lancar. Melaju.”
“Tapi yang menyiapkan konsep itu belum paham sejarah dan karakter perusahaan ini.”
“Sejarah dan karakter tidak penting?
“Lantas yang penting apa?”
“Dia berkuasa. Lantas segalanya berjalan seperti biasa.”
“Kau kok tahu sampai serinci ini sih?”
“Saya kan teman dia sejak kecil. Teman sejak sekolah menengah.”
“Kalau begitu kau aman.”
“Belum tentu juga.”
“Kok belum tentu? Dia kan juga mengenalmu sebagaimana kau mengenalnya.”
“Ya. Tapi kadang dia suka berubah-ubah pikiran.”
Percakapan terhenti. Yang satu tersenyum simpul. Yang satunya heran, kenapa temannya malah tersenyum seperti itu.
“Kenapa kau tersenyum, padahal aku pusing memikirkan rumitnya masalah ini.”
“Tenang, tenang. Kau tadi bilang teman sejak kecil dan dia suka berubah pikiran. Itu dapat kau manfaatkan untuk mengubah situasi.”
“Mengubah situasi yang seperti apa maksudmu?”
“Sebentar. Dia suka makan apa?”
“Lho kok malah percakapan bergeser ke makan segala.”
“Sebentar. Sabar. Dia paling suka makan apa sih?”
“Sate. Segala macam sate dia suka.”
“Nah, bilang padanya kalau kau mau mengundang dia makan sate yang paling enak di kota ini. Bilang kalau kau mentraktir dia untuk merayakan ulang tahunmu. Nah saat makan sate itulah kau harus bisa mengubah pikirannya.”
“Maksudmu?”
“Kau bilang saja padanya, bahwa ada posisi yang lebih mulia dan kerjanya lebih ringan dibanding menjadi direktur perusahaan. Yaitu menjadi komisaris utama.”
“Tapi,masalahnya, komisaris utama sekarang dipegang ayah boss kita ini.”
“Kalau dia yang meminta kedudukan itu, pasti ayahnya akan setuju. Kalau perlu kau yang membujuk ayahnya itu.”
Teman yang teman direktur sejak kecil itu mulai paham dengan alur pikiran temannya. Hanya dia yang belum paham akan langkah selanjutnya. Kalau direktur itu menjadi komisaris. Siapa penggantinya?
“Pasti kedudukan direktur itu akan jatuh ke tanganmu. Karena kau berjasa mengangkat temanmu jadi komisaris dan karena ayahnya tahu kau temannya sejak kecil, apalagi di perusahaan tempat kita bekerja ini, kau adalah karyawan paling senior. Ayahnya sudah mengenalmu dan tahu prestasimu di kantor kita ini.”
Sambil mengangguk-angguk bahagia lelaki calon direktur itu berkata, “Mudah-mudahan begitu.”
“Ya, mudah-mudahan begitu. Saya yakin perusahaan tempat kita bekerja ini akan lebih selamat kau pegang ketimbang dia pegang.”
Tiga bulan setelah itu terjadilah apa yang mereka harapkan. Direktur baru itu naik menjadi komisaris, dan temannya menjadi direktur baru. Saat temannya yang memberi gagasan segar itu masuk ruangan untuk memberi ucapan selamat, sang direktur baru menjabat tangannya lalu menyerahkan map dan amplop berisi uang yang sangat banyak.
“Lho, ada apa ini?”
“Saya terpaksa memecatmu dan memberimu pesangon.”
“Kenapa?”
“Karena aku tahu rencana busukmu selanjutnya. Kau dan ayah temanku itu kan punya dua rencana sekaligus. Temanku akan dibuang ke Jakarta untuk menjadi komisaris perusahaan baru ayahnya. Dan aku akan diangkat jadi komisaris. Lantas, kau yang diplot jadi direktur baru kantor ini.”
Teman itu pucat. Tanyanya, “Kau kok tahu?”
“Karena pemilik warung serba ikan itu adikku. Dia memergokimu ketemu ayah temanku setelah kita ketemu disana. Waktu kau dan ayah temanku merancang skenario untuk mengangkatmu sebagai direktur dan membuang aku di kursi komisaris, adikku sempat merekam percakapanmu itu. Dia lalu memberikan rekaman percakapanmu dan ayah temanku itu padaku. Gimana? Masih mau membantah?”
Lelaki itu diam. Dia mengambil map dan uang dalam amplop. Pergi tanpa pamit. n-e

Yogyakarta, 2018

Kisah Kera pada Minggu Pagi

Cerpen Jemmy Piran (Haluan, 04 Maret 2018)
Kisah Kera pada Minggu Pagi ilustrasi Haluan.jpg
Kisah Kera pada Minggu Pagi ilustrasi Haluan 
Menatap ladang jagung yang selama ini ia bersihkan dari rumput-rumput liar, membuat dada Teus geram. Jagung muda yang siap dipanen rebah ke tanah. Kulit-kulit jagung berhamburan ke tanah. Tongkol-tongkol jagung yang masih tertempel beberapa biji jagung mengingatkannya pada cerita Tonu Wujo Besi Pare.
Gerahamnya beradu. Darahnya mendidih.
“Sial,” umpatnya. “Kau tunggu.”
Teus memutar badan, kembali ke jalan yang mengarah ke kampung. Kadang di tanah datar ia berlari kecil, Joli dan Mimo, anjingnya nguik-nguik di belakang. Ia tidak peduli pada tajam batu sepanjang perjalanan. Bias matahari mulai tampak di langit bagian timur.
“Kenapa kau pulang awal sekali, Bang?” tanya istrinya.
Teus tidak peduli dengan pertanyaan semacam itu. Tidak penting, pikirnya. Ia langsung ke dapur. Mengambil senapan angin, anak panah, dan busur.
Melihat Teus mengambil benda-benda itu, istrinya menegur.
“Sekarang Hari Minggu, Bang.”
Teus tidak menjawab. Ia mengambil botol aqua, mengisinya dengan air, mengambil tas yang terbuat dari sak semen. Memasukkan botol air ke dalam tas.
“Joli…Joli…Mimo…mimo.” Dua ekor anjing itu menjulurkan lidah dan menggoyangkan ekor. Binatang yang setia itu pun melompat kegirangan mengikuti langkah gegas Teus. Sudah lama sekali Teus tidak menggunakan panah dan senapannya untuk membidik kera di hutan. Entah sepuluh atau belasan tahun ia mengubur naluri berburunya. Tapi hari ini, naluri itu muncul membuncah dalam dadanya.
Sebetulnya ia seorang pemburu hebat. Bakatnya membidik dan memanah babi hutan, kera, musang, rusa, babi landak, ayam hutan, diturunkan dari kakeknya. Tapi sejak binatang hutan itu berkurang, bakat itu pun sedikit menyusut.
Mata panah tampak berkarat tapi masih tergurat ketajaman. Memang selama ini ia tidak menyentuh pusaka berharga itu lantaran bekerja di Kalimantan. Namun, meskipun begitu ia yakin bahwa benda-benda itu bisa menembus kulit babi yang keras.
Ini hanya soal membidik dengan tepat, menarik panah hingga batas terakhir lalu melepaskan tali busur, begitu pikirnya. Apalagi ini hanya kera. Jika ia berada di dahan yang rendah akan ia gunakan panah agar kera-kera itu tahu rasa. Kalau berada di dahan yang tinggi ia membidik dengan senapan untuk melemahkan tubuh kera.
“Saya masih tetap pemburu,” gumamnya geram.
***
Nun di dalam hutan, segerombolan kera berlompat riang dari satu dahan ke dahan yang lain. Ada sepasang yang duduk di dahan rendah sambil mencari kutu. Di ranting yang lain seekor betina dengan anaknya yang masih menempel di dada mengantuk. Pada ranting yang agak kecil seekor penjantan muda terluka di bagian telinga kiri.
Pada sebuah pohon yang menjulang tinggi, segorombolan pejantan muda saling menunjukkan kehebatan di depan betina yang siap kawin. Yang kalah berarti siap menerima bahwa sang pemenang berhak memiliki betina.
Sang pemimpin gerombolan bersama beberapa betina duduk di dahan yang paling tinggi. Dengan bahasa yang mereka sendiri mengerti, mereka bercakap-cakap.
“Beberapa tahun lagi kita akan banyak seperti dulu,” sang pejantan membuka. Dialah pejantan tertua di hutan itu. Dia meraba bekas luka di pahanya. Dulu, dia mulai  membayangkan, suatu pagi, dari kejauhan terdengar anjing menyalak, membangunkan penguni hutan. Babi, rusa, dan semua yang bernyawa berlari menyelamatkan diri. Segerombolan kera berhamburan dan sebagian bersembunyi di pucuk tertinggi.
Saat itulah si kera melihat satu per satu temannya tumbang. Dia diselamatkan sebatang dahan besar. Tubuhnya tidak terlihat. Sebelumnya, kera-kera yang duduk di pucuk pohon itu akan selamat, karena batang pohon cukup besar dan tinggi menjulang. Tapi setelah ada senapan angin, maut begitu dekat setiap kali terdengar anjing menyalak.
***
“Hulau… lau… lau… Sigi…gii…giii…” Teus membakar hasrat anjing sebagai binatang pemburu. Mendengar kata-kata itu, Joli dan Mimo tidak sabar.
Kedua anjing tersebut mengiuk-ngiuk, menerobos semak-semak sambil menyalak. Teus berlari mengikuti suara anjingnya. Semakin menjauh ke dalam hutan, suara anjing semakin menggema. Segerombolan kera tadi berhamburan. Pemimpin kera yang sudah berpengalaman itu memimpin pelarian. Dia tahu tempat terbaik untuk bersembunyi. Ada beberapa kera yang memilih bertahan karena kekenyangan dan di perut masih bergelantungan bayi-bayi kera.
Sementara pejantan dan betina muda sudah menghilang ke dalam lembah yang jauh.
Di bawah pohon, anjing menyalak, mendongakkan kepala. Beberapa kera gemetar di dahan-dahan yang menjulur jauh. Ada niat ingin melompat ke pohon sebelah tapi terlalu jauh untuk sebuah lompatan. Jika saja lompatan itu meleset, anjing siap menyambut. Taring-taring Joli dan Mimo siap menancap ke dalam daging.
Melihat kera-kera seperti tidak berdaya, Joli dan Mimo semakin keras menyalak, berputar-putar di bawah pohon. Lidahnya menjulur-julur, liur meleleh di sudut mulut.
Begitu Teus sampai, anjing mengiuk-ngiuk. Teus mendongakkan kepala ke cecabang pohon. Ia tersenyum setelah menelusuri satu per satu cabang pohon. Setidaknya ada tujuh ekor di atas sana. Ia bergeser ke arah timur. Hanya ada sedikit celah. Ia ke selatan karena melihat seekor yang lebih besar.
Teus tahu mana yang akan ia panah terlebih dahulu. Jika menggunakan busur ia tahu berada sudut yang harus diambil. Melihat arah angin yang menerpa dedaunan. Ia tidak mau membuang percuma anak panahnya.
Seekor kera menggeliat dan seluruh badannya terlihat jelas. Teus tersenyum. Ia memasang panah, mengarahkan ke objek.
Sebelum panah dilepaskan, ia mendengar erangan Joli dan Mimo. Seperti erangan meregang nyawa. Mendengar itu ia tak jadi melepaskan panahnya. Ia letak kembali panah dan busur. Juga senapan di bawah pohon. Lalu mengambil parang, mengendap-endap ke balik gundukan tanah. Di depannya ada dua ekor kera jantan dewasa berdiri dengan mulut berlumuran darah. Joli dan Mimo meregang nyawa.
Teus menjadi geram. Ia memutar arah menuju tenggara, lewat sisi jurang. Sebelum sampai ke bawah pohon tadi ia di cegat tiga ekor kera yang tiba-tiba sudah berada di depan dan sampingnya. Mata kera-kera itu menembakan sengat bara. Mata itu semerah saga. Kera-kera berlompatan turun, berkumpul bersama kawan yang lain membentuk barisan.
Teus menggeretak tapi kera-kera bergeming. Ia mengancungkan parang ke arah kawanan kera tapi kera-kera menyeringai memperlihatkan taring-taring panjang yang berwarna kuning. Teus maju selangkah, tapi kawanan kera tetap di sana menatapnya dengan penuh. Tatapan yang melumurkan dendam panjang.
Teus meraih batu, melempar ke arah kawanan yang bergerak maju itu tapi sekilat batu, kera-kera menghindar dengan cepat. Dari belakang seekor kera berjalan tegap mematahkan anak panah.
Teus menahan napas. Dadanya bergetar hebat. Wajahnya menjadi pucat. Keringat mengalir di wajahnya. Tiba-tiba ingatannya terlempar pada cerita kakeknya. Semua binatang yang ada di hutan punya tuan. Seketika lututnya lemas.
Ia menatap sekawanan kera dengan nanar.
Barisan kera itu maju selangkah. Teus mundur. Kera-kera kembali melangkah dengan pasti. Sekali lagi Teus mundur. Ia tercekat. Ada sesuatu yang kosong di belakangnya. Kakinya persis berada di tubir tebing. Di bawahnya batu-batu seperti menganga siap menyambutnya.
“Kami punya hak hidup,” seekor kera, pemimpim gerombolan itu, berbicara dengan suara lantang. Teus melotot seperti tidak percaya, seperti sedang menunggu maut yang tidak masuk akal. Tepat saat itu di gereja orang-orang sedang menyanyikan lagu Tuhan Kasihanilah Kami.

Alak, April 2017
Jemmy Piran lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universitas Nusa Cendana, Kupang. Puisi dan cerpennya tersiar di berbagai media lokal dan nasional. Kini tinggal di Waimana 1, Nusa Tenggara Timur.