Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak
bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang
turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan
sendirinya. (hlm. 201)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan
sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas.
Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok. (hlm. 205)
Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati
kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah
begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia
ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan
baik justru membawa kedamaian. (hlm. 255)
Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu
pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang
pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa
dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. (hlm. 256)
Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok lusa. (hlm. 281)
Hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. (hlm. 298)
Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa
tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri.
(hlm. 299)
Jika tidak bisa menerima, tidak pernah bisa melupakan. (hlm. 308)
Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran
kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat
semua hal menyakitkan yang mereka alami. (hlm. 317)
Banyak selipan kalimat sindiran halus dalam buku ini:
Semaju apa pun teknologi di muka bumi, tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Bencana alam yang sangat mematikan. (hlm. 18)
Kebaikan adalah cara terbaik melupakan banyak hal, membuat waktu melesat tanpa terasa. (hlm. 63)
Mulutmu membantah, tapi wajahmu bilang sebaliknya. (hlm. 247)
Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang. (hlm. 289)
Cerpen Irepia Refa Dona (Media Indonesia, 23 Juli 2017) Mencuri Matahari ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
AKU selalu menatap sayu matahari yang meluncur perlahan ke ufuk
barat. Satu hal yang aku yakini bahwa matahari itu tidak terbenam, tapi
berendam. Ia sengaja merendamkan dirinya dalam lautan karena kepanasan
seharian memancarkan sinarnya.
Pernah suatu ketika aku berenang ke tengah lautan—menyelam jauh ke
dasar laut, mencuri matahari yang sedang berendam. Tapi belum sampai
beberapa jam, aku merasa kesusahan bernapas. Badanku terasa berat untuk
digerakkan. Seolah ada tangan yang menahanku dan berangsur-angsur tangan
itu menarikku jauh ke dasar lautan.
Aku tahu makhluk jenis apa yang menarikku. Kata orang, itu adalah
hantu air. Aku mendengar cerita itu dulu. Saat berita duka yang
membuatku mengubah cita-cita sederhanaku yang semula ingin menjadi guru
di sebuah sekolah dasar menjadi pencuri matahari. Mungkin bagi anak-anak
seusiaku, cita-cita memang sering kali berubah-ubah.
“Kenapa harus matahari, Ntur?” tanya guruku dengan nada yang aku
tidak bisa mengartikannya. Yang jelas, nada bicaranya berbeda dari
biasanya.
“Karena Ibu bilang matahari memancarkan cahaya sendiri,” jawabku biasa.
“Bintang juga memancarkan cahaya sendiri. Bintang banyak di langit.
Jika kau mencurinya satu atau bahkan lebih, tidak ada yang tahu. Tapi
jika matahari, saat kau mencurinya, orang-orang akan tahu.”
“Bintang tidak pernah turun ke bumi, Ibu. Aku juga tidak bisa
memanjat langit. Aku tahu, bintang tidak pernah jatuh. Yang jatuh itu
meteor.”
“Jadi kapan matahari jatuh ke bumi?”
“Pada saat sore dan pagi harinya. Sore ia akan berendam di lautan dan
pagi sebelum ia terbit ia berada di pegunungan,” ujarku masih dengan
nada biasa. Semua orang di dalam kelas itu tertawa mendengar jawabanku.
Pun guruku. Aku tidak tahu kenapa mereka tertawa. Yang jelas aku dengar
ada yang mengatakan kalau aku ada peningkatan dalam hal melucu sejak aku
kehilangan ayahku.
***
Setiap sore aku berenang ke tengah lautan. Tidak ada yang melarangku.
Mereka hanya menatapku biasa. Seperti biasanya seseorang yang sedang
melihat sapi memakan rumput. Tapi aku tidak pernah berhasil menemukan di
mana tepatnya matahari itu berendam. Mungkin barangkali aku kurang
jauh. Bahkan aku belum sampai pada pertengahan lautan.
Hingga di sore itu aku memaksakan diriku untuk terus berenang. Aku
mengabaikan lelah yang menyerang seluruh tubuhku sampai akhirnya aku
tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya kaku. Aku rasa aku sudah mati saat
itu.
Tapi malamnya saat aku terbangun, aku menatap sekeliling. Bukan tanah
yang berada di sampingku. Tidak ada cacing atau kalajengking yang
bersiap menyantap tubuhku. Aku tidak berbaring di atas tanah dan diimpit
oleh tanah. Aku berbaring di atas dipan, tempat di mana aku biasa
tidur. Seingatku, aku telah mati tadi sore di lautan. Aku tidak tahu
kenapa aku berada di sini sekarang. Aku berjalan menuju kamar ibu. Aku
lihat ibu sedang tertidur pulas. Aku urung membangunkan ibu. Setidaknya
saat tidurlah ibu terlihat lebih tenang.
Besok paginya aku tanyakan pada ibu perihal kejadian semalam. Ibu
hanya menggeleng sambil mengatakan dua kata ‘tidak tahu’. Sejak saat itu
aku mengubah ruteku. Aku tidak lagi mencari matahari saat sore. Saat ia
membenamkan dirinya dalam lautan. Aku mulai mencarinya saat subuh, saat
ia bersiap-siap terbit di ufuk timur.
***
Hari itu sekitar jam tiga pagi aku telah bangun. Aku melihat ibu di
kamar. Ibu masih tidur nyenyak. Bukan takut ketahuan oleh ibu dan
akhirnya ibu melarangku untuk mencari matahari, tapi aku takut langkah
kakiku akan membangunkan ibu dari tidurnya sehingga aku usahakan untuk
sepelan mungkin melangkah dan menutup pintu kembali.
Ini adalah pertama kalinya aku keluar saat malam. Di luar masih
gelap. Hanya ada hening dan kesunyian. Barangkali jam segini orang-orang
sedang nyenyak dalam tidurnya. Atau mungkin ada sebagian orang yang
taat, ia sedang beribadah menghadap Tuhan mereka. Malam memang waktu
yang tenang untuk beribadah. Tapi aku malah keluar dan mencari matahari.
Aku menjadi anak yang pemberani kecuali perihal bicara. Akhir-akhir
ini frekuensiku bicara semakin berkurang. Aku hanya berpikir dan
berpikir.
Tidak jauh perjalanan yang aku tempuh. Cahaya matahari
berangsur-angsur mulai menyelimuti bumi. Aku rasa aku kurang tepat dalam
menghitung waktu. Jika besok aku ingin menemukan matahari, mungkin aku
harus berangkat lebih cepat dari hari ini. Aku tidak mungkin mencuri
matahari yang sudah tinggi di atas langit. Aku tidak punya tangga untuk
ke langit. Seandainya ada, orang-orang pasti akan membunuhku karena
mereka juga tidak akan mau kehilangan matahari dalam hidupnya.
Hingga suatu ketika, aku mulai berangkat saat pagi. Aku menghabiskan
beberapa hari di perjalanan. Aku telah berjalan jauh. Dan aku sudah
tidak pulang ke rumah dalam waktu yang lama. Ibu tidak akan
kehilanganku. Saat aku pulang, ibu juga tidak akan pernah bertanya ke
mana aku selama ini. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal.
Aku memasuki hutan demi hutan. Aku memakan apa pun yang bisa dimakan.
Aku menghindar dari binatang buas untuk menyelamatkan diriku agar tidak
menjadi santapannya. Tapi tubuhku mengenal lelah juga. Hingga akhirnya
aku terkulai lelah dan tertidur entah dalam waktu berapa lama. Saat aku
terbangun, seekor singa telah menatapku dengan tatapan kelaparan.
Aku berlari sekuat tenaga. Singa mengejarku dengan lari yang tak
kalah cepat. Dengan tubuh yang lelah, setidaknya aku hanya tidak boleh
membiarkan diriku menyerah begitu saja. Mungkin menunda waktu makan
singa, begitulah yang aku lakukan saat ini. Saat aku menoleh ke belakang
untuk memastikan seberapa dekat jarak singa itu dariku, sesuatu
menghalangi kakiku hingga membuat tubuhku terjatuh. Pandanganku mulai
kabur. Aku masih bisa melihat singa yang dengan gagah menghampiri
tubuhku yang lemah.
Di saat-saat gentingku, hanya satu hal yang bisa aku ingat. Ya, pesan
ibu dulu saat ayah masih berada di antara kami. Ibu menyuruhku untuk
rajin belajar supaya kelak bisa mendapatkan pekerjaan selain menjadi
nelayan yang hanya mempertarungkan nyawanya. Tapi ibu tidak ingat satu
hal, di atas rencana kehidupan yang seolah telah digambar ibu untukku,
masih ada Tuhan yang mengatur tentang takdir manusia. Buktinya, aku
hanya bisa bersekolah sampai sekolah dasar lantaran ayah mengakhiri
ajalnya hanya dengan segulung ombak besar yang menerjang perahunya.
Sejak kepergian ayah yang ibu sendiri tidak menguburkan jasadnya
layaknya orang lain, ibu menjadi perempuan tercengeng yang pernah aku
temui. Dunia ibu terlihat gelap. Dan aku rasa ibu telah kehilangan
matahari di matanya.
Setiap malam ibu menangis. Aku bertanya pada ibu kenapa ibu tidak
berhenti saja menangis. Lagian ayah juga tidak akan kembali sekuat apa
pun ibu menangis. Walau aku hanya menduduki kelas lima saja, setidaknya
aku pernah belajar kalau orang mati itu tidak akan pernah hidup lagi.
Tapi ibu tidak pernah menjawab pertanyaanku. Ibu hanya terus menangis.
Aku bahkan yakin telah memakan nasi yang dicampur dengan air mata ibu.
Aku seolah menjadi seseorang yang bernyawa tapi tak berjasad. Aku
seolah menjadi seseorang yang memiliki mulut untuk bicara, tapi tak
pernah didengar. Aku muak. Dan sejak saat itu aku menjadi anak lelaki
pemurung yang lebih memilih diam daripada bicara tapi lebih sering
meneteskan air mata.
Tapi di sore yang aku sendiri tidak tahu harus aku bilang apa, ibu
kembali dengan mata yang tidak lagi memancarkan kesedihan. Ibu tersenyum
menatapku dan berjalan menujuku yang saat itu telah berdiri di halaman
rumah dengan pakaian yang sangat kotor.
“Kau dari mana saja, Ntur?” ujar ibu dengan nada lembut sambil
membelai rambutku yang kotor dan mungkin berbau busuk. Aku hanya diam.
“Kau baik-baik saja?” ibu bertanya lagi padaku.
“Kau lapar?” Semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut ibu.
Dan kau tahu, aku hanya bisa menjawabnya dengan anggukan dan gelengan.
Mungkin sesekali mengatakan iya atau tidak.
Aku pikir, ibu tidak akan pernah membaik. Tapi aku lupa, luka seiring
berjalannya waktu pasti akan kering. Dan aku yakin luka ibu sudah mulai
membaik. Aku bahagia. Setidaknya aku tidak perlu lagi mencuri matahari
untuk ibu karena matahari itu telah bersinar kembali di mata ibu. Tapi
aku rasa, aku tidak bisa lagi menjadi anak lelaki periang. Aku sudah
terbiasa dengan sifat bekuku.
Aku hanya menatap ibu datar. Ibu mengajakku masuk. Saat itu mataku
menemukan seorang lelaki yang sedang berdiri di pintu rumahku. Ia
menatapku tersenyum. Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus bersikap
seperti apa. Aku tidak bicara atau bertanya. Aku hanya mencoba berpikir.
Sudah berapa lama aku pergi? Aku bahkan tidak bisa mengingatnya.
Padang, 2017
Irepia Refa Dona merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatra Barat. Cerpennya dimuat dalam antologi bersama Mimpi Merah Hari ke-40 (Lomba Menulis Cerpen) dan Kasam (20 Cerpen Terbaik Sayembara Cerpen Sumatra Barat).
Cerpen Mukti Sutarman Espe (Suara Merdeka, 23 Juli 2017) Mbah Nu Menangis Tersedu ilustrasi Suara Merdeka
“Innalilahi wa’innailahi rajiun! Telah meninggal dunia dengan tenang….”
Dengan saksama dia dengar pengumuman berita duka dari pengeras suara
musala kampung. Kata demi kata dia cermati sungguh-sungguh. Ketika suara
penyampai berita menyebut nama, dia menghela napas panjang, sebelum
mengembuskan dengan kuat.
“Ternyata kamu dulu yang dipanggil, Met,” gumam Mbah Nu berkali-kali.
Gurat kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Air mata bahkan meleleh di
pipi.
Siapa pun di kampung itu tahu mengapa setiap kali mendengar siaran
berita duka dari musala, Mbah Nu selalu begitu; bergumam berkali-kali,
sebelum berurai air mata. Usia Mbah Nu kini 79 tahun. Usia yang
tergolong istimewa. Sembilan tahun di atas rata-rata harapan hidup orang
negeri ini. Apalagi pada usia itu kesehatannya relatif masih baik.
Badannya masih kekar dan bugar. Hampir semua indra, kecuali penglihatan,
masih berfungsi sebagaimana mestinya.
Di kampung, Mbah Nu orang paling tua. Semua teman segenerasi sudah
meninggal, sehingga tak ada lagi kawan sebaya yang bisa diajak ngobrol,
membunuh waktu. Slamet, yang lima tahun lebih muda, sore tadi meninggal
dan beritanya barusan dia dengar.
Mbah Nu kesepian. Darsih, anak tunggal yang hidup serumah, sudah
sakit-sakitan. Asep, sang menantu, selalu pulang malam. Pekerjaan
sebagai pedagang keliling memaksa dia menghabiskan banyak waktu siang
hari dalam perjalanan. Situasi itu membuat Mbah Nu merasa begitu sulit
melupakan Mbah Mur, almarhumah istrinya.
“Kelak bila tiba saatnya dipanggil Allah, semoga aku lebih dulu,
Mbah!” kata Mbah Nu, suatu petang, ketika dia dan Mbah Mur duduk-duduk
di beranda, usai mendengar kabar kematian salah seorang tetangga yang
disiarkan dari musala.
“Kok begitu, Mbah?” tanya Mbah Mur sembari mengupas pisang rebus kesukaan Mbah Nu.
“Karena hidupku sangat bergantung kepadamu, Mbah.”
“Lo, aku pun begitu. Aku juga bergantung pada sampean.”
“Kukira tidak sepenuhnya begitu. Benar, kita memang saling
bergantung. Namun bila ditimbang, bobotnya jauh lebih berat
ketergantunganku kepadamu, Mbah.”
Mbah Mur menyodorkan pisang rebus yang sudah terkupas pada suaminya.
Petang itu hanya mereka berdua di rumah. Darsih sedang tetirah ke rumah
mertua. Beberapa bulan terakhir ini kesehatannya menurun. Penyakit TBC
membuat keadaannya bertambah parah.
“Saya atau sampean yang nanti kepundhut dulu, kita serahkan
sepenuhnya pada Allah, Mbah,” ucap Mbah Mur sambil beranjak, membawa
gelas yang tinggal berisi endapan ampas kopi ke dalam rumah.
Sekalipun Mbah Nu setuju ucapan istrinya, dalam hati dia berharap
dialah yang kelak lebih dulu dipanggil Allah. Dia tidak sanggup
membayangkan, pada usia senja, hidup sendirian, tanpa Mbah Mur di
sisinya. Namun Mbah Mur ternyata lebih dulu dipanggil Allah, meninggal
mendadak akibat serangan jantung.
Tak alang-kepalang dukacita Mbah Nu. Sang istri pergi selamanya tanpa
didahului pertanda apa pun. Berbulan-bulan dia larut dalam kesedihan.
Mbah Nu tak doyan makan. Badannya kurus dan layu. Nyaris setiap saat dia
berdoa sambil menangis. Berdoa, memohon Allah segera memanggil,
menyusul istrinya.
Pagi, siang, sore, malam, Mbah Nu menunggu panggilan itu. Manakala
yang ditunggu tak datang juga, dia pun putus asa dan kehilangan akal
sehat. Beberapa kali Mbah Nu bertindak nekat. Sekali dia gantung diri.
Gagal, sebab tali yang mengikat leher putus.
Sekali waktu, dia menghilang beberapa malam, sebelum ditemukan
tertidur pulas di samping kuburan Mbah Mur. Terakhir, ketika
mengantarkan jenazah seorang tetangga ke pemakaman, tiba-tiba Mbah Nu
menjatuhkan diri ke liang lahat.
Tak pelak, orang sekampung geger. Ada yang iba, ada yang terharu,
bahkan tak sedikit yang tertawa tertahan. Aneka perasaan yang sama
mungkin dialami sebagian warga kota lain yang membaca koran atau
menonton televisi yang memberitakan perbuatan nekat Mbah Nu.
Untuk mencegah peristiwa serupa terulang, Pak Darto, ketua RT,
mengundang pengurus. Pertemuan itu untuk menindaklanjuti surat perintah
Kepala Desa agar pengurus RT segera bertemu keluarga Mbah Nu.
Bermusyawarah dengan agenda tunggal, mencari solusi tepat dan
terukur—begitu istilah Kepala Desa—untuk mengatasi perilaku Mbah Nu.
Menurut info bocoran dari Kepala Desa, pemberitaan soal Mbah Nu di koran
dan beberapa stasiun televisi membuat Camat dan Bupati tidak nyaman
hati.
“Bapak-bapak, para petinggi kabupaten dan Kepala Desa khawatir, kalau
tidak segera kita hentikan, kelakuan Mbah Nu akan menjadi-jadi,” kata
Pak Darto. Langsung menyasar ke inti pertemuan.
“Gimana caranya, Pak?” Mas Jum, urusan keamanan RT angkat bicara.
“Itulah sebab Bapak-bapak saya kumpulkan. Kita bersama mencari solusi.”
“Bagaimana kalau dipasung saja?” usul Bang Bary, sekretaris RT.
“Jangan, Bang. Itu tindakan tidak bermartabat dan bertentangan dengan
harkat kemanusiaan,” sergah Pak Basuki, bendahara RT, dosen di sebuah
perguruan tinggi swasta.
“Sebelum memutuskan tindakan untuk Mbah Nu, mestinya dalam pertemuan
ini dihadirkan pula keluarganya.” Pak Margono, wakil ketua RT yang sejak
tadi diam saja, mengemukakan saran.
“Kepala Desa juga menganjurkan begitu, Pak Mar. Namun siapa yang akan
kita undang? Bu Darsih sakit-sakitan, suaminya selalu pulang larut
malam,” jawab Pak Darto dengan suara seperti mengeluh.
Sejenak sunyi menjalar di ruang pertemuan. Para petinggi RT 04 RW 02
Desa M terlihat sedang berpikir. Boleh jadi setiap orang sedang mencari
gagasan yang tepat untuk dikemukakan. Sepiring pisang molen dan kacang
rebus serta teh hangat di hadapan mereka sejenak terabaikan.
“Bagaimana kalau dibawa ke rumah sakit jiwa?” Suara lantang Bang Bary memecah kesunyian.
“Iya, setuju!” timpal Mas Jum dan Pak Margono, hampir serempak.
“Saya tidak sarujuk, Bapak-bapak. Kenapa mesti dibawa ke rumah sakit jiwa? Mbah Nu tidak gila!” tukas Pak Basuki dengan suara pelan, berwibawa.
“Kalau tidak setuju usul kami, usul kau apa, Pak?” Bang Bary menatap tajam Pak Basuki. Suaranya kering dan getas.
Pak Basuki menunduk. Sepertinya sedang berpikir keras. Seperempat
menit kemudian dia berkata, “Bagaimana kalau kita membentuk tim khusus
untuk mengawasi Mbah Ranu?”
“Tim khusus? Mengatasi masalah sepele begitu saja pakai tim khusus
segala, Pak. Lagian siapa mau jadi anggota?” tukas Mas Jum sambil
tertawa.
“Agar bisa lebih dimengerti, sila Pak Bas menjelaskan secara detail,” ujar Pak Darto.
“Begini, Bapak-bapak. Kita minta pihak desa ikut campur. Maksud saya,
kita minta bantuan satu-dua orang hansip untuk mengawasi Mbah Nu.
Hansip itu, ditambah beberapa tetangga, kita minta mengawasi segala
gerak-geriknya.”
Malam beranjak. Jarum jam dinding menunjuk angka 12 dan 10. Di luar
sepi mengental. Hanya sesekali terdengar suara penjual mi keliling
memukul-mukul wajan, menawarkan dagangan.
“Setuju. Itu cara elok dan aman,” ucap Pak Darto. “Bagaimana, Bapak-bapak?”
“Yah, kita coba saja,” jawab Bang Bary. Sementara Mas Jum dan Pak Margono hanya mengangguk-angguk.
Keesokan hari hasil pertemuan dibawa ke balai desa. Tanpa banyak
bertanya Kepala Desa menyetujui. Fauzi dan Sugeng, dua hansip desa,
ditambah beberapa tetangga Mbah Nu, bersedia mengawasi semua gerak-gerik
dan aktivitasnya.
Kini, sudah hampir satu setengah tahun Mbah Nu ditinggal Mbah Mur.
Pada kurun masa itu banyak peristiwa terjadi. Anaknya, Darsih,
meninggal. Asep, menantunya, kecelakaan dan nyawanya tak terselamatkan.
Dan entah tahu diawasi atau karena hidup sendirian di rumah, kini Mbah
Nu terlihat lebih tenang. Hal-ikhwal tentang dia berlangsung normal
sebagaimana orang kebanyakan. Dia menghabiskan hari-hari dengan duduk
mencangkung di beranda rumah sembari memandang ke kuburan desa.
Situasi itu membuat orang-orang yang bertugas mengawasi lengah. Suatu
pagi yang lembap, sepulang menunaikan salat subuh, orang-orang kampung
terkejut oleh berita duka dari musala.
“Innalillahi wa’innailahi rajiun. Telah meninggal dengan
tenang Mbah Ranu Wiharjo atau Mbah Nu pada usia 79 tahun. Jenazah akan
dimakamkan hari ini, Sabtu, 15 Juli 2017, pukul….”
Orang-orang yang mendengar kabar itu terperanjat, tidak percaya.
Sebab, tadi masih banyak yang melihat Mbah Nu salat berjamaah di musala.
Beberapa orang segera bergegas ke rumahnya. Sepi.
“Mbah Nu tak ada di rumah,” kata seseorang.
“Siapa tadi yang menyiarkan berita kematiannya?” tanya seseorang yang lain.
“Tidak tahu! Ayo, kita cek ke musala!”
Orang-orang bergegas menuju musala. Di sepanjang perjalanan orang
yang bergabung bertambah hingga terbentuk barisan panjang, tak
beraturan. Derap langkah kaki mereka memecah pagi dan membangunkan orang
yang belum terjaga dari tidur.
Pada jarak pandang sekian meter dari musala terdengar beberapa seruan, “Bukankah itu Mbah Nu?”
“Ya, itu Mbah Nu!”
“Ya, benar. Itu Mbah Nu!”
Seruan menyebut nama Mbah Nu pecah, bersahut-sahutan. Tanpa dikomando
mereka mempercepat langkah. Sampai di depan musala terjadi kegaduhan
kecil. Orang-orang serta merta menumpahkan ragam perasaan dengan cara
masing-masing. Ada yang beristigfar, ada yang menyumpah-nyumpah, ada
yang tertawa, ada juga yang matanya berkaca-kaca.
Di ambang pintu musala Mbah Nu duduk mencangkung dan menangis tersedu. Pandang matanya tak lepas tertuju ke kuburan desa. (44)
Mlati Lor, 2017
– Mukti Sutarman SP lahir di Semarang, 6 Maret 1956. Puisinya dimuat antara lain di Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Solo Pos, Kedaulatan, Koran Amanah. Dia
mendirikan Keluarga Penulis Semarang (KPS) bersama Bambang Sadono
(1981) dan pernah menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa
Tengah.
Cerpen Wina Bojonegoro (Jawa Pos, 23 Juli 2017) Marabunta ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosKENANGAN seringkali merapuhkan hati. Sepuluh tahun
sejak kepergian kakek, tidak lagi kunikmati aroma asin laut di Kali Mas,
wangi hio di Sampho Kong, gurih cakue di Pecinan atau aroma manis gurih
kuah lumpia di Pandanaran. Sebuah iklan baris di halaman belakang koran
pagi membuatku seperti tersedot pusaran kenangan itu: Dicari! Freelancer untuk pekerjaan di Semarang. Hub. 081XXXX999
Iklan singkat itu seketika membiangkan ribuan pijar. Lahan basah yang
menyemaikan kecambah di kepalaku. Tetapi, hal kedua, yang membuat aku
tertarik pada iklan itu, adalah fakta: sudah enam bulan aku menjadi
pengangguran. Rindu masa lalu hanyalah pelengkap penderita.
Maka, di sinilah aku. Duduk di dekat lengkung jendela, memesan kopi susu yang mereka beri nama latte macchiato, dan menunggu. Kulepaskan diri dari riuh bising lalu lintas, menyerah pada rengkuhan bangunan bergaya Spanish Colonial yang anggun. Sebuah pesan pendek berdecit: Seorang lelaki akan menemuimu.
Saat tengah kunikmati minumanku, lelaki berwajah cemerlang berjalan menuju mejaku. Tanpa ekspresi, ia duduk di hadapanku.
“Seberapa baik kau mengenal Kota Semarang?” Suaranya pecah di antara komposisi musik jazz tanpa vokal, The Shadow of Your Smile.
“Separo dari hidup saya tertambat di sini,” jawabku asal. Pria itu
menatap wajahku telak, seperti hendak mengaduk-aduk isi kepalaku. Namun…
“Apa yang paling kau takutkan dalam hidup?” Kembali ia bertanya.
Banyak jawaban sudah kusiapkan di tenggorokan, namun yang berhasil keluar dari bibirku hanya: “Kemiskinan.”
Pria tampan itu tersenyum.
“Pekerjaan ini rumit. Butuh waktu lama. Dan mengandung risiko.”
“Senyampang uang bisa menjadi alasan, segalanya akan menjadi mungkin.”
“Bayaranmu seratus juta.”
“Tidak buruk.”
Bagaimana mungkin aku setabah ini mendengar kabar seratus juta. Tidak
menjerit atau meloncat kegirangan. Layaknya pembunuh bayaran, kurasa
sikapku sangat tenang. Profesional. Lelaki tampan itu mengeluarkan
tangannya dari dalam saku celana, menyodorkan sebuah amplop berwarna
cokelat.
“Ini sebagai tanda jadi.”
Begitu saja ia memungkasi perjumpaan ini. Sangat efisien. Kami
berpisah dan hatiku tertindas jejak hijau, sehijau lapangan bola yang
baru saja dilindas mesin pemotong rumput. Segar. Aromatik.
Semalaman mendekam dalam kamar Hotel Pelangi Indah aku gagal memejam.
Pikiran terakuisisi oleh pertanyaan tentang siapa lelaki tampan itu
serta apa yang harus kulakukan. Tetapi enam bulan tanpa pekerjaan adalah
neraka. Begitulah suara hatiku berperang sendiri. Jadi, apa pun
pekerjaan itu, seratus juta layak diperjuangkan.
Fajar baru saja menetas, ketika sebuah pesan pendek berkata: “Temui seseorang di gedung yang dijaga semut raksasa.”
Demikianlah, kusibak pagi yang basah oleh embun. Berjalan kaki dari
Hotel Pelangi Indah menuju gedung Marabunta. Kakek menyukai gedung itu
dengan alasan romantis. Di situlah tempat kakek bertemu pertama kali
dengan nenek. Cinta bersemi di gedung tua, kata romantis tak cukup
mewakili.
“Gedung ini dulu bernama Schouwburg. Di sinilah keluarga priyayi dan
kompeni menghabiskan akhir pekan bersama keluarga sambil menikmati
pertunjukan balet, komedi, atau orkestra.” Setiap mengisahkan itu,
cahaya terbit dari sepasang mata kakek yang kelabu. “Temukan perempuan yang diabadikan dalam lukisan kaca.”
Aku mencari pintu masuk yang terdiri atas kaca-kaca patri berhias
lukisan. Kemudian terpaku pada sepasang kaca patri dengan lukisan penari
balet dan bulatan merah di atas kepala. Matahari.
“Margaretha Geertruida Zelle.” Kukirim gambar dan keterangan foto. “Apa yang kau tahu tentang dia?”
“Setara dengan Madonna atau Evita Peron. Selalu ada perempuan dengan ambisi luar biasa untuk menaklukkan dunia.” “Menurutmu dia apa? Penari? Pelacur? Matamata?”
“Tergantung angle yang kita gunakan.” “Apakah menurutmu garis keturunannya masih ada?”
“Anak laki-lakinya meninggal di Sumatera ketika masih bayi. Anak
perempuannya meninggal di Belanda pada tahun 1919 karena radang otak.” “Sejarah tidak selamanya seperti apa yang kau baca. Matahari memiliki seorang cucu pe rempuan dari Jeanne Louise.”
“Louise meninggal dalam keadaan belum menikah.” “Situasi politik saat itu tidak memungkinkan. Demi keamanan, keluarga memutuskan untuk merahasiakan kelahiran sang cucu.”
“Saya tidak percaya negara maju dapat membohongi publik.” “Fakta yang benar adalah: Louise, anak perempuan Matahari,
meninggal karena preklamsia. Bayi itu selamat, bersama ayahnya yang tak
lama meninggal dalam sebuah perang. Ia dijaga oleh pengasuh yang setia
pada sang kakek, Rudolph Macleod. Namanya Bernadette. Ia hidup
berpindah-pindah antara Belanda, Paris, Indonesia, India, untuk
menelusuri sejarah neneknya.”
“Matahari terlalu besar untuk dibuatkan opera sabun.” “Bayaranmu mahal. Inilah tugasmu. Perempuan berambut kelabu di tangga balkon Marabunta akan membantumu.”
Seketika aku menoleh ke arah tangga setengah melingkar yang menghubungkan hall dengan balkon. Seorang perempuan berusia 60-an mengenakan shack dress berwarna hijau segar berdiri menunggu. Aku menghampirinya. Tepat dua anak tangga di bawahnya, aku berhenti. “Bernadette was de naam van mijn moeder. Hij reisde de hele
wereld naar landen die ooit bewoond door mijn oma, Margaretha . Hij
stelde een boek dat niet werd voltooid tot aan de dood.”
(Bernadette adalah nama ibu saya. Ia berkeliling dunia ke negara-negara
yang pernah ditinggali oleh nenek buyut saya, Margaret. Dia menulis
sebuah buku yang tidak selesai sampai ajalnya tiba).
Jadi perempuan ini anak dari Bernadette, sekaligus cicit dari Matahari? Jika benar, maka dunia telah tertipu.
“Namaku Margaretha II. Bernadette, atau ibuku, menikah dengan lelaki
Semarang, melahirkan aku dan kakak lelakiku. Mereka bercerai saat aku
berusia dua tahun. Mama membawa aku kembali ke Belanda, menikah lagi
dengan pria Belanda sambil melanjutkan buku biografi itu: Blood Line of Matahari. The Untold Story.”
Perempuan itu melangkah turun perlahan, lututnya terlihat tidak sehat.
“Tugasmu adalah menemukan kakakku.”
Perempuan itu menyerahkan amplop cokelat besar.
“Ini ada sepuluh juta lagi buatmu.”
“Jika mereka kutemukan?”
“Kau akan menerima tiga puluh juta lagi.”
“Kenapa tidak seluruh pembayaran?”
“Karena masih ada tugas selanjutnya.”
***
Hingga pagi berikutnya aku masih terjaga dengan kabel-kabel menyala.
Sebuah kesadaran tiba-tiba meletus dari kepalaku. Berkas dalam amplop
ini menyesakkan dadaku. Foto-foto lama yang tidak asing, wajah yang
melekat di kepalaku. Benang kusut itu akhirnya terkuak selapis demi
selapis. Sebuah pesan kulayangkan:
“Aku menemukan puzzle yang Anda maksudkan.”
“Marabunta. Lunch time.”
Membayangkan angka tiga puluh juta akan kuterima siang ini serta
tagihan kartu kredit dan cicilan apartemen, membuatku bergegas melesat.
Perempuan berambut kelabu itu sudah di sana. Tersenyum kaku namun
wajahnya cerah. Dia sendirian, berdiri menyandar pada sebuah sisi tangga
menuju balkon. Sambil mengacungkan amplop di tangannya, ia berkata:
“Temukan kakak mamaku.”
“Sudah saya temukan. Anda menghendaki dipertemukan?”
“Kaulah yang akan menemuinya.”
Perempuan itu mengulurkan amplop cokelat dengan wajah dingin, tidak
seperti kemarin. Ketika aku tak kunjung menerima amplop itu, dia maju
selangkah menuruni tangga. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Sambil
menahan rasa gatal di dadaku, kuterima amplop itu dengan selapis curiga.
Uang 30 juta tak seharusnya seberat ini. Dengan penasaran kubuka di
hadapannya. Holly shit!! Uang merah tiga ikat sesuai janji dan sebuah pistol!! Perempuan berambut kelabu itu tersenyum dingin.
“Temukan dia dan gunakan pistol itu. Kemudian kau akan menerima bayaran sisanya.”
Jemariku bergetar. Gasing di kepalaku berputar cepat. Gemuruh di
dadaku meletup. Bagaikan lava hendak meluap ke muka bumi, rasa marahku
tak terbendung. Kuraih pistol itu, lalu mengaturnya dengan sederhana.
Perlahan kuarahkan moncongnya lurus ke arah perempuan berambut kelabu.
Tiba-tiba suara letusan pistol mengenai dadanya, sedangkan aku belum
menyentuh pelatuk sama sekali. Perempuan itu roboh di tangga. Spontan
aku menoleh ke belakang. Tepat di belakangku, lelaki tampan itu berdiri
dengan pistol masih di tangannya. Darahku berhenti mengalir.
“Ayo segera kita tinggalkan tempat ini.”
Ia berjalan mendahuluiku setelah memasukkan pistol ke dalam saku
dalam mantelnya. Pistol di tanganku segera kumasukkan ke dalam amplop,
bergegas mengikutinya.
***
Kami duduk berhadapan di Spiegel Bistro. Ia memesan jus mangga. Aku
hanya es teh sedikit gula untuk meredam dentam jantung. Saat kami
mereguk minuman separo gelas, suara sirine ambulans dan mobil polisi
meraung-raung. Pasti telah ditemukan tubuh berlumuran darah itu.
Tanganku membeku oleh cemas dan ketakutan. Pasti polisi segera menangkap
kami. Wajahku akan menyebar di berbagai media dengan status: pembunuh!
“Jangan cemas,” suara lelaki tampan itu menghentikan debarku. “Aku sudah mematikan CCTV di gedung itu.”
“Mengapa?”
“Karena aku sudah menduga Magaretha II palsu akan melakukan itu. Dia
akan memberimu pistol untuk membunuh target, yang notabene adalah salah
satu ahli waris Matahari.”
“Palsu?”
“Ya, dia telah membunuh Margaretha II asli. Mereka mirip, dan
kemiripan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Perempuan itu bernama asli
Ludwina. Ahli sejarah dari Universitas Leiden yang membantu Margaretha
II menyusun buku.”
“Dan kau…?”
“Aku Edward, staf pengacara yang menangani perihal warisan Tuan Rudolf McLeod.”
Sekarang tubuhku benar-benar beku. Haruskah kukabarkan kepada ayah bahwa kami adalah garis darah Matahari? ***
Wina Bojonegoro, pengarang Surabaya. Bukunya yang sudah terbit, Moonlight Sonata, The Souls, Episode Surat Kejantanan, dan Negeri Atas Angin.