Daftar Blog Saya

Selasa, 27 Maret 2018

Pencatat Kematian

Cerpen Mustafa Ismail (Jawa Pos, 25 Maret 2018)
Pencatat Kematian ilustrasi Budiono - Jawa Pos.jpg
Pencatat Kematian ilustrasi Budiono/Jawa Pos
LELAKI itu membawa sebuah buku tulis ke mana-mana. Bukan buku tulis istimewa, tapi buku tulis seperti yang biasa digunakan anak sekolah. Sampul depannya berwarna merah dengan gambar burung garuda. Sampul bagian belakang ada rumus perkalian. Buku itu dulu dibeli untuk anaknya, tapi belum dipakai. Puteh, nama lelaki itu, mencomot begitu saja buku tulis tersebut dari tas anaknya enam bulan lalu ketika sang anak meninggal ditembak orang tak dikenal.
Puteh mencatat kisah anaknya, sejak lahir hingga ia tertembak malam itu. Kala itu, Agam pulang malam sehabis belajar bersama teman SMP-nya di kampung dekat kota kecamatan. Bocah berusia lima belas tahun itu tadinya ingin menginap, tapi entah mengapa memutuskan pulang. Pagi-pagi, ia bersama seorang temannya ditemukan telungkup di pinggir jalan berjarak sekitar setengah kilometer dari kota kecamatan. Sepeda motor yang mereka naiki teronggok beberapa meter dari tubuh mereka.
Agam terkena tembakan di kepala, adapun temannya tertembak di dada tembus ke belakang. Mendengar kabar itu, Puteh langsung pingsan. Tapi hanya beberapa menit ia sadar dan memacu sepeda motor sekencang-kencangnya menuju tempat Agam tertembak. Di sana sudah ramai orang, tapi tak satu pun yang berani mengurus jenazahnya. Kampungnya memang sedang gonjang-ganjing. Orang mati adalah biasa. Orang tertembak dan ditemukan di jalanan menjadi lazim.
Maka itu, menemukan sesosok atau bersosok-sosok mayat di jalanan adalah hal biasa. Sebab, tiap pagi bisa ada belasan sosok mayat tergeletak di pinggir-pinggir jalan kampung berjejer. Memang, ada dua kelompok yang bertikai, tapi sebagian dari mayat-mayat itu bukanlah orang-orang dari kedua kelompok tersebut. Agam dan temannya salah satu contoh. Mereka adalah siswa sebuah sekolah menengah pertama, yang tak tahu apa-apa dengan pertikaian kedua kelompok orang dewasa tersebut.
Maka itu, Puteh sangat sedih, sangat marah, sangat kecewa. Ia kecewa dengan keadaan tak normal di kampung itu. Keadaan tak normal itu telah berlangsung bertahun-tahun. Seolah tak ada yang bisa menyelesaikannya. Sehingga ia sempat berpikir: jangan-jangan kondisi itu memang dipelihara? Mungkin ini adalah pikiran yang konyol. Tapi ia sungguh-sungguh tak tahan dengan kondisi itu. Ia menyaksikan kematian demi kematian tiap hari. Seolah nyawa menjadi begitu murah. Orang-orang pun hidup dalam ketakutan. Mereka terperosok dalam kemuraman. Kampung seperti daerah mati. Sunyi.
Dan, pagi itu ia menyaksikan kematian orang yang sangat disayanginya, yakni Agam. Tapi Puteh tidak menangis. Benar ia sempat pingsan mendengar kabar itu, tapi ia bertekad tak akan menangis. Air mata tidak akan mengubah keadaan. Air mata hanya memperlihatkan kelemahan. Hidup keras harus dihadapi dengan keras juga. Setidaknya tidak boleh menyerah. Siapa yang menyerah ia akan tergilas dan hilang. Menyerah serupa kematian sebelum waktunya.
Puteh memang sempat merasa kehilangan harapan ketika anak laki-laki satu-satunya itu tewas. Tapi, sekali lagi, ia tidak boleh menyerah. Bahkan, ia sempat berpikir untuk datang ke markas kedua kelompok yang berseteru itu dan melabraknya. Sebab, gara-gara merekalah semua hal menjadi tak normal. Tapi, ia kembali menimbang-nimbang, jika itu dilakukan sama saja dengan menyetor nyawa. Serupa menyiram bensin ke dalam api yang sedang berkobar, ia akan terbakar.
Bermalam-malam Puteh tidak tidur memikirkan apa yang bisa dilakukannya. Sementara kematian demi kematian terus berulang. Ada yang mati ditembak di depan rumah, di kebun kosong, pinggir pantai, hingga di tepi jalan. Tentu saja paling banyak ditemukan orang mati di pinggir jalan. Entah apa maksudnya. Boleh jadi itu semacam ketakutan yang diciptakan oleh salah satu dari kelompok yang bertikai itu. Tapi itu tidak menyurutkan kelompok satunya untuk melakukan perlawanan. Mereka sering menghadang kelompok seterunya di jalan-jalan yang jauh dari perkampungan.
Setiap ada kejadian penghadangan, bisa dipastikan bakal ada orang-orang yang tak berdosa jadi korban. Bahkan, kerbau dan sapi pun bisa jadi korban. Terkadang, mereka yang bertikai itu melepas tembakan sembarangan, bahkan hingga menembak hewan ternak. Rumah-rumah di sekitarnya pun—jika ada—bisa terbakar dengan dalih untuk mencari kelompok yang meng hadang. Sementara kelompok satu nya memprovokasi dengan membakar bangungan-bangunan yang ada kaitannya dengan kelompok lawan.
Setiap malam, ada saja orang yang dijemput oleh kelompok satunya yang diduga anggota kelompok lawan, atau setidak-tidaknya mendukung atau simpatisan kelompok lawan. Puteh terus berpikir apa yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti itu. Ia tak punya kuasa untuk membungkam amarah dan dendam di hati kedua kelompok itu. Siang malam ia berpikir apa yang harus dilakukan. Tapi ia tidak menemukan jawaban. Lalu, pada ma lam ketujuh kematian anaknya, setelah semua prosesi tahlilan selesai, ia tak lagi bisa menahan kantuk hingga tertidur di bangku panjang di teras rumah.
Puteh tertidur tujuh hari tujuh malam.
Bangun dari tidur itulah, seperti ada yang menuntun untuk masuk ke dalam rumah lalu mengambil buku tulis di tumpukan buku-buku anaknya. Ia mencomot begitu saja salah satu buku kosong yang belum digunakan. Lalu, mulailah ia menulis riwayat anaknya, seperti menulis catatan diary. Ia juga menyelipkan perasaan-perasaannya, termasuk kemarahannya pada Agam ketika ia tidak menuruti perkataannya dan kegembiraannya ketika Agam dapat ranking terbaik di sekolah. Lengkap. Detail.
Itulah kematian pertama yang ia tulis. Selanjutnya, seperti ada yang menuntun pula, ia mendatangi satu per satu keluarga orang yang mati karena tertembak. Ia datangi semuanya. Ia berangkat pagi-pagi dan pulang menjelang senja turun. Ia melakukannya dengan tekun dan penuh tanggung jawab, seperti melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Demi itu, ia pun mengundurkan diri sebagai guru honorer pada sebuah sekolah dasar.
Sejak itulah ia dikenal sebagai pencatat kematian. Begitu mendengar ada orang mati, ia langsung bertandang. Bahkan, terkadang, pihak keluarga atau ahli waris orang mati yang mencarinya. Mereka ingin kematian keluarga atau familinya dicatat.
Dan, Puteh tak pernah meminta upah atau apa pun. Juga tak ada yang mengupahinya. Ia melakukannya dengan rela. Ia tidak tega melihat kematian demi kematian lewat begitu saja. Kematian adalah sebuah peristiwa yang sama pentingnya dengan kelahiran. Kalau kelahiran perlu dicatat, mengapa kematian tidak. Tetapi ia kerap tidak mengerti, mengapa tidak ada orang yang secara sungguh-sungguh mencatat kematian. Seolah kematian hadir untuk dilupakan. Bahkan, di nisan pun tak dicatat. Lebih bikin miris lagi, nisan pun tak ada.
Ia sering sekali menemukan orang-orang mati tanpa nisan. Kuburan terkadang hanya sebuah lubang besar yang dijejali tubuh-tubuh yang tak berdaya. Tak jarang pula tubuh-tubuh itu sebetulnya belum mati, tapi sudah dikuburkan. Ia tidak mengerti. Memang tak ada yang bisa mengerti, mengapa kematian datang bertubi-tubi.
“Memang tak ada yang tak mungkin di negerimu,” kata seseorang entah siapa. “Terutama di kampungmu ini,” tambah suara itu entah datangnya dari mana, “Kematian seperti sebuah karnaval yang semarak dan panjang.”
Lelaki itu tercengang mendengarnya. Ia hanya menjawab singkat: “Ya, di sini kematian dirayakan.”
Karena itulah, sambung lelaki itu, aku ingin berbeda dengan mereka, orang-orang merayakan kematian orang-orang. Buatku, kematian adalah sebuah kenangan. Kenangan duka. Ketika melihat orang-orang mati, segera saja segala peristiwa tentang mereka muncul tanpa bisa dibendung: seperti siaran televisi yang bertubi-tubi. Mereka lebih berhak hidup daripada para lelaki pencabut nyawa itu sendiri.
Puteh tak sanggup lagi menghitung sudah berapa orang mati yang sudah dicatat. Ia tidak sanggup menghitung. Buku tulis setebal 40 halaman itu nyaris habis lembarannya. Nyaris semua terisi. Bahkan, saking banyaknya kematian, ia tidak kuat lagi untuk mendatangi satu per satu keluarga orang yang mati. Ia cukup mendengar berita dari orang-orang atau berita koran dan televisi. Tetapi kalau bisa dijangkau, ia tetap datang sendiri, melihat sendiri jasad orang mati, dan turut berbaur dengan pelayat lainnya untuk menyampaikan duka cita.
Orang-orang pun kemudian pelan-pelan makin merasa penting untuk mencatat kematian. Orang-orang menjadi sadar bahwa sebuah catatan itu sangat penting. Mereka sangat sadar catatan itu pada suatu saat akan diperlukan dan dicari orang. Catatan itu akan menjadi bukti sejarah, sekaligus bagian dari sejarah itu sendiri. Catatan itulah yang akan bicara kepada dunia tentang berbagai peristiwa kematian, tentang kegelisahan dan kedukaan orang-orang.
Itulah yang terus mendorong lelaki itu untuk terus menekuni profesinya, meskipun tak digaji. Ia tidak pernah memikirkan lagi hidupnya. Ia percaya apa yang dia lakukan mendapat tempat di hati Tuhan. Selagi berbuat baik, Tuhan selalu memberi rezeki dan pendapatan. Terbukti, ada saja yang menyumbang untuk lelaki itu. Bukan dari keluarga orang yang mati, tetapi dari orang-orang yang tak pernah dikenalnya.
Ia terus membawa catatan itu ke mana pun dia pergi. Ia tidak pernah meninggalkannya. Dan makin hari kesibukannya makin bertambah. Belakangan, ia bahkan tidak bisa lagi tidur. Karena malam pun ia kerap dijemput untuk datang ke rumah orang-orang yang anggota keluarganya meninggal. Ia tidak pernah menolak datang.
Seiring kesibukan, waktu istirahatnya pun menjadi sedikit. Pelan-pelan, tubuhnya makin aus. Istrinya sempat memperingatkan agar ia menjaga kesehatan, tetapi lelaki itu tidak peduli. Ia langsung pergi begitu tahu ada orang mati. Lama-lama tubuhnya makin kurus dan wajahnya menjadi pucat. Kumisnya makin tebal dan jambangnya makin panjang. Ia mirip lelaki tak terurus.
Kali ini bukan hanya istrinya yang merasa tak nyaman dengan ketidakpedulian lelaki itu pada dirinya sendiri maupun keluarga. Diam-diam ada juga orang lain yang merasa tak aman dengan keberadaannya. Lelaki itu menyadari ada orang-orang yang tak suka padanya. Tetapi ia tidak peduli.
Pada suatu tengah malam, seseorang mengetuk pintunya. Lelaki itu segera bangun dan berlari ke pintu. Ia memastikan sang pengetuk pintu adalah orang yang menjemputnya untuk datang mencatatkan sebuah kematian. Ia sempat geleng-geleng kepala, mengapa ada saja orang mati di tengah malam begini?
Ketika pintu dibuka, ia melihat beberapa lelaki menyambutnya: “Kami mohon Bapak bisa ikut kami,” kata salah seorang di antara mereka. Suara yang berat, tegas seperti memerintah.
“Siapa lagi yang mati?” Begitulah pertanyaan pertama yang selalu ia lontarkan.
“Tidak ada yang mati.”
“Lalu?”
“Pokoknya ikut saja.”
Lelaki itu tercenung sejenak, menarik napas dan berkata: “Kalau begitu tunggu sebentar. Saya ganti pakaian dulu.”
Tanpa menunggu persetujuan, lelaki itu berbalik arah, masuk ke kamar. Ia memakai baju dan celana, lalu mengambil buku catatan kematian yang kerap dibawa ke mana-mana. Ia membuka halaman terakhir buku itu dan menulis sesuatu di dalamnya, yang tak lain namanya sendiri. ***

Mustafa Ismail. Lahir di Aceh, 1971. Buku puisinya Tarian Cermin (2007), Menggambar Pengantin (2013), dan Tuhan, Kunang-kunang & 45 Kesunyian (2016). Sedangkan buku kumpulan cerpennya, Cermin (2009) dan Lelaki yang Ditelan Gerimis (Mei 2017).

Amplop

Cerpen Abdul Karim (Fajar, 25 Maret 2018)
Amplop ilustrasi Issar - Fajar
Amplop ilustrasi Issar/Fajar
HIDUPNYA kini tak kurang sepuluh meter saja. Kamar dan teras depan. Di situ saja berputar saban hari. Itu pun kakinya tak menapak di lantai lagi. Di atas kursi roda, ia menghabisi hari-harinya.
Di rumah megah berlantai dua itu, pensiunan pejabat pemerintahan ini hidup bersama seorang pembantu setia. Istrinya, telah lama wafat akibat penyakit yang dideritanya. Tujuh orang anaknya telah berkeluarga dan tak tinggal lagi bersamanya.
Memasuki masa pensiun, berbagai penyakit menggerogotinya. Mula-mula rematik, asam urat, dan mag. Menyusul strok kemudian. Gangguan ginjal tak ketinggalan. Kolestrol dan diabetes tak absen.
Penanganan medis berulangkali ia tempuh untuk sembuh. Ia bahkan pernah berobat berkali-kali di Singapura. Namun, semua itu percuma, penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh. Hanya bubur dan air putih yang nyaman di tubuhnya. Sedikit saja ia menyantap makanan bergaram, bergula, lehernya terasa kaku.
Awalnya ia yakin pengobatan medis dapat mengusir sakit yang dideritanya. Tapi ternyata sakitnya tak kunjung sembuh. Tabungannya terkuras habis. Bahkan harta bendanya terjual. Dua buah mobil mewahnya melayang demi kesembuhannya. Tapi sembuh yang dinanti tak kunjung tiba.
Satu-satunya harta miliknya hanyalah rumah dua lantai yang kini ditempatinya mengisi hari-harinya dengan penyakitnya. Malangnya, tak satupun anaknya rela mengurusnya. Memang sekali-sekali anaknya datang, tetapi mereka datang untuk mendesak agar sang ayah menjual rumah itu lalu hasil penjualannya dibagi rata ke seluruh anaknya.
Untung saja pensiunan keriput ini masih memiliki pembantu setia. Mariani, sudah sepuluh tahun lebih bekerja dirumah itu. Ia bahkan sudah dianggap bagian dari keluarga itu. Bersama suami dan dua orang anaknya, Mariani menempati sebuah kamar jumbo dibagian samping di rumah itu. Kesetiaan dan kesabaran Mariani merawat pensiunan tua ini tak ternilai harganya.
***
Baru saja matahari memancarkan sinarnya pagi itu, di depan pagar terdengar suara pria memanggil Mariani. Rauf, suami Mariani bergegas ke depan membuka pagar. Di depan pagar, seorang pria berusia 45 tahun menyodorkan senyum pada Rauf. “Bapak ada?” Tanya Solihin, pria di depan pagar pagi itu.
Solihin bukan tamu asing di rumah ini. Sekali sebulan Solihin ke rumah ini menemui pensiunan tua itu. “Tunggu yah, bapak masih dikamar”, kata Mariani sambil menyuguhkan secangkir teh panas untuk Solihin.
Sebenarnya Solihin tak ada urusan dengan pensiunan tua ini. Rahmat, beranak empat, putra ketiganya yang berurusan dengan Solihin. Solihin adalah pedagang pakaian dan aksesoris impor, seperti; jam tangan, baju, celana dengan sistem kredit pada semua pelanggannya. Setiap Rahmat membeli barang pada Solihin, tagihannya diserahkan pada ayahnya.
Tak lama, pensiunan tua itu menghampiri Solihin dengan kursi rodanya. “Assalamu ‘alaikum, apa kabar?” sapa pensiunan tua ini dengan suara terpatah-patah, namun terasa akrab.
Seperti biasa, sebelum membayarkan utang kredit Rahmat, pensiunan tua ini bersenda gurau terlebih dahulu dengan Solihin. Tapi, pagi itu tema senda gurau pensiunan ini sangat pribadi. “Sakit yang kuderita ini bukan cobaan, tetapi hukuman dari Tuhan,” kata mantan pejabat ini. Raut wajahnya yang keriput tak bisa menutupi kesedihan yang dialaminya.
Solihin terdiam mendengar kalimat itu. Rasa penasarannya muncul. Tapi Solihin segan. Ingin bertanya apa sesungguhnya yang terjadi, tetapi khawatir kalau pensiunan tua ini tersinggung.
“Maksud bapak?” Solihin memberanikan diri bertanya.
“Yah, penyakitku ini hukuman dari Tuhan, saya sudah tak kuasa dengan hukuman ini. Setiap kali soalat hanya satu doaku; Tuhan, cabutlah nyawaku.”
Sesekali diselingi batuk kering, pensiunan tua ini menceritakan keadaannya pada Solihin. Ia menceritakan masa jayanya, ketika masih menjabat sebagai pimpinan Dinas dua puluh tahun lamanya. Ketika itu, uang begitu mudah diraihnya. Dalam hitungan menit saja ia bisa meraih uang jutaan rupiah setiap hari kerja. Setiap berkas yang disodorkan di atas mejanya, ia tolak menandatanganinya bila tak disertai amplop pelicin. Orang-orang yang memerlukan tanda tangannya mesti menyelipkan amplop berisi uang di dalam berkas. Belum lagi setoran dari proyek ini dan itu.
“Dengan uang begitu, saya kaya. Dan uang itulah kugunakan membesarkan anak-anakku hingga mereka berkeluarga. Istriku, apalagi,” cerita pensiunan tua ini dengan rona wajah sedih.
Solihin semakin khusyuk menyimak.
“Hasilnya, lihatlah anak-anakku, tak satupun peduli keadaanku. Memang mereka sering ke sini, tetapi bukan untuk merawatku, mereka datang malah bertengkar hendak menjual rumah ini,” lanjutnya sedih.
“Amplop telah merusak kehidupanku dan keluargaku. Penyakit dan segala derita yang kualami ini adalah hukuman dari Tuhan karena amplop-amplop itu. Saya tak kuasa menanggung derita ini”, ujarnya lagi. Sesekali pensiunan tua itu meneguk air putih digelas yang disiapkan Mariani.
Amplop telah membuat ia kehilangan segalanya. Istrinya, kasih sayang anak-anaknya, dan kesehatannya. Penderitaan itu kadangkala berlanjut di pembaringannya. Ia seringkali terbangun dari tidur lantaran bermimpi melihat dirinya dijepit oleh sebuah ampol.
“Ha..ha..ha…, kamu harus masuk di dalam sini. Tubuhmu yang ringkih itu harus kujepit. Jangan takut. Bukankah kamu akrab denganku?” kata amplop itu. Bila mimpi begitu, ia kesulitan bernafas. Badannya terasa remuk, dihimpit ampol sempit. Ia menjerit kesakitan. Ia lantas takut dengan amplop. Ia benci amplop.
Suatu siang, Mariani menaruh sebuah amplop permintaan sumbangan dari panti asuhan dimeja ruang tamu. Tak lama berselang, pensiunan tua itu menuju ruang tamu dengan kursi rodanya menanti dzuhur. Ia melihat amplop panti asuhan yang diletakkan Mariani tadi. Buru-buru ia meninggalkan ruang tamu, memacu kursi rodanya dengan kedua tangannya. Dan naas melanda, kursi rodanya menabrak pinggiran lemari besar diruang tamu. Ia terjatuh. Terkapar tak berdaya seorang diri.
Mariani yang datang kemudian bermaksud membawakan semangkuk bubur, histeris menyaksikan majikannya terkapar di lantai. Buru-buru ia menelepon ambulans.

Makassar, Maret 2018

Gadis yang Membungkus Hujan

Cerpen Alif Febriyantoro (Media Indonesia, 25 Maret 2018)
Gadis yang Membungkus Hujan ilustrasi Media Indonesia
Gadis yang Membungkus Hujan ilustrasi Media Indonesia
SETIAP kali kau melewati perbatasan antara Jember-Bondowoso ini, ketika hujan baru saja berhenti, kau akan menemukan seorang gadis kecil sedang memungut sisa hujan, lalu kau akan melihat gadis itu memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik bening. Ketika hujan itu sudah terbungkus, hujan itu masih saja bergerak seperti hujan pada umumnya yang jatuh beramai-ramai ke bumi. Maka seperti itulah, setiap kali turun hujan, gadis itu akan setia menunggu di lereng bukit, sampai hujan berhenti. Kemudian ia akan pulang, membawa kenangan tentang hujan.
Begitulah yang sering dikatakan orang-orang kawasan perbukitan ini. Tapi kisah itu sudah 15 tahun yang lalu. Sebelum akhirnya….
***
Tapi siapakah sebenarnya gadis itu? Apakah orangtuanya tak pernah melarang? Atau gadis itu tak memiliki orangtua? Atau, apakah gadis itu hantu? Atau ia hanyalah seorang gadis kecil yang mengalami kesedihan yang begitu mendalam, sehingga ia hanya bisa melampiaskannya kepada hujan? Atau….
Kenapa tak ada yang menghampirinya? Kenapa tak ada satu orang pun yang mengikutinya setelah ia selesai membungkus hujan? Tapi ke mana ia akan pulang? Apakah tak ada satu orang pun yang tahu tentang asal usulnya?
Percayalah, sudah banyak orang yang menanyakan semua tanda tanya itu. Tapi tetap saja, tak ada yang bisa menjawab. Dan tak ada yang berbuat sesuatu. Semua orang terdiam. Barangkali kagum. Atau bisa saja mereka ketakutan. Sebab gadis itu selalu memasang wajah yang pucat. Tapi tentu saja gadis itu bukan hantu. Sebab bayangannya sendiri itu selalu mendampinginya. Menjadikannya seorang gadis kecil yang tak pernah merasa sendirian.
Anehnya, ketika menjelang senja, dan walaupun masih tampak orang-orang yang menyaksikan caranya membungkus hujan, gadis itu akan berlari ke atas bukit, cepat sekali. Orang-orang bengong ketika melihatnya melesat, kemudian menghilang entah ke mana. Ketika sebagian orang mencarinya, tak ada satu pun jejak yang ditinggalkan oleh gadis itu. Ia benar-benar menghilang bersama senja. Tapi esoknya, ketika hujan turun lagi, gadis itu sudah duduk manis pada sebuah batu lonjong yang berada di lereng bukit. Tetap dengan baju putih bercorak bunga yang sama. Tetap dengan wajah pucat yang sama.
“Boleh, Kara main dengan dia, Bu?” tanya seorang anak laki-laki kepada ibunya. Dilihat dari ukuran tubuhnya, kira-kira anak laki-laki itu seumuran dengan gadis itu, sekitar 10 atau 11 tahun.
“Untuk apa? Jangan!”
“Sepertinya dia baik, Bu.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Itu dari matanya yang biru.”
“Ah, mana ada mata biru, jelas-jelas hitam begitu. Kamu ini mengada-ada!”
Kara hanya diam. Sebab ia tahu, bahwa semua omongan anak kecil jarang diterima oleh orang dewasa.
Dan hari-hari pun berlalu. Hujan demi hujan berlalu. Dan peristiwa yang sedikit tidak masuk akal itu, akhirnya lambat laun telah menjadi sebuah rutinitas yang selalu ditonton oleh orang banyak. Barangkali begitu saja sudah cukup. Tak perlu tahu siapa gadis itu sebenarnya, atau dari mana asalnya.
Dua bulan kemudian, cerita tentang seorang gadis yang membungkus hujan itu secepatnya tersebar ke berbagai kota. Bahkan kota-kota yang berada di luar pulau Jawa. Ceritanya tetap sama. Tak ada yang diubah, ditambah, atau dikurangi. Sehingga di perbatasan kota Jember-Bondowoso itu telah menjadi tempat wisata yang baru. Warung-warung, kios-kios kecil, pusat oleh-oleh dan cendera mata, bahkan tempat-tempat penginapan tumbuh dengan cepat di kawasan perbukitan itu. Dan begitulah, keadaan ekonomi di kawasan itu semakin berkembang dengan pesat.
“Tapi bagaimana mungkin gadis kecil itu bukan makhluk halus?” tanya seorang wisatawan kepada salah satu warga lokal.
“Kami sudah tidak memikirkan tentang hal itu, Pak. Toh, akhirnya gadis itu terlihat luar biasa.”
“Tapi bagaimana ketika ada seseorang yang diam-diam merencanakan sesuatu, semisal menculik gadis itu?”
“O… itu tak akan terjadi.”
“Gadis itu akan menghilang dengan sendirinya ketika telah selesai membungkus hujan, atau setelah selesai senja,” lanjut warga itu.
“Agak serem juga saya mendengarnya.”
“Dulu kami juga berpikir seperti itu, tapi lambat laun kami sudah terbiasa.”
“Tapi sebenarnya, untuk apa gadis itu membungkus hujan?”
Tampaknya pertanyaan itu terdengar begitu asing bagi orang-orang yang tinggal di kawasan itu. Sebab tak pernah ada yang menanyakan tentang hal itu. Atau lebih tepatnya, untuk apa gadis itu mengumpulkan hujan?
“Saya juga tidak tahu. Kami semua tidak tahu.”
“Tapi biarlah… wajahnya yang cantik, dengan caranya ia memungut sisa-sisa hujan, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik, sudah cukup untuk menghibur kami para pengunjung.”
Namun, sebenarnya, sudah ada yang pernah menemui gadis itu. Sekali. Bertanya dan menyapa. Siapa lagi kalau bukan Kara? Anak laki-laki itu begitu penasaran sehingga pada sebuah malam yang dingin, selepas hujan yang berangin-angin, ia diam-diam pergi keluar ketika kedua orangtuanya sudah tertidur. Ia percaya bahwa gadis itu akan menemuinya. Benar saja, ketika Kara mulai menaiki bukit dengan membawa senter milik ayahnya, tiba-tiba gadis itu muncul tepat di hadapannya. Awalnya Kara kaget. Tapi sejenak Kara terdiam ketika melihat gadis itu tersenyum kepadanya.
“Namamu Kara, kan?” Kara memasang wajah heran.
“Dari mana kamu tahu namaku?”
“Aku tahu semuanya.”
“Memangnya kamu siapa?”
“Aku Elena, datang dari Bulan.”
“Ha? Bulan?”
“Ya. Bulan.”
Lagi-lagi Kara tampak begitu heran. Namun kemudian ia melenturkan cara bicaranya. “Terus kenapa kamu datang ke sini dan mengambil hujan?”
Elena tiba-tiba menarik tangan Kara. “Ayo ikut aku,” pintanya tiba-tiba. Mereka berlari-lari kecil, menyusuri jalan setapak yang sedikit licin. Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di sebuah gua yang samar dan jalan masuknya dipenuhi dengan berbagai macam tumbuhan. Mungkin orang-orang tak akan pernah ada yang tahu tentang keberadaan gua itu. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tanya Kara lagi ketika mereka mulai memasuki gua tersebut.
Untuk ketiga kalinya Kara terheran-heran, karena di dalam gua tersebut, tampak hujan berjatuhan memenuhi seluruh gua. Dan di setiap sudut-sudutnya, hujan itu telah menghasilkan pelangi yang mungkin tampak lebih indah daripada aslinya, sebab pelangi itu terpampang jelas tepat di hadapannya. Sungguh begitu dekat.
“Semua ini akan aku bawa ke bulan,” ucap Elena. “Tapi jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia kita berdua.”
“Boleh aku menyentuh salah satu pelangi itu?”
“Kamu tidak akan bisa menyentuhnya.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena kamu manusia.” Kemudian Elena tertawa ringan. Tapi Kara seperti ingin menanyakan sesuatu.
“Kamu… kamu kapan kembali ke bulan?” Entah kenapa Kara menanyakan sebuah pertanyaan yang mengandung ketakutan akan perpisahan. Padahal ia masih anak-anak.
“Sebentar lagi, Kara.”
Sejenak Kara terdiam dengan raut wajah yang lesu.
“Apakah aku akan bertemu lagi dnganmu, Elena?”
Elena pelankan cara bicaranya, seakan-akan ia ingin memberitahukan kepada Kara bahwa sesuatu yang akan diucapkan selanjutnya itu begitu penting. “Jika suatu saat kamu lihat cahaya bulan mulai meredup, itu berarti aku akan kembali ke sini untuk mengambil hujan dan pelangi.”
“Bagus kalau begitu, aku harap bulan tak akan pernah mengeluarkan cahayanya lagi. Hehe….”
Elena juga tertawa. Sejenak mereka berdua tampak begitu akrab. Karena mungkin tingkat keakraban dan kepercayaan yang dimiliki anak-anak memang lebih tinggi daripada orang dewasa. Begitulah kenyataannya.
Tiba-tiba suara Elena menggema memenuhi gua itu. “Kara, aku haru….”
Dan akhirnya Elena benar-benar pergi, hilang begitu saja bersama hujan dan pelangi yang sejak tadi menemani mereka berdua. Dan Kara, tiba-tia saja ia menemukan dirinya terbaring di kasurnya yang empuk dengan menggenggam sebungkus hujan dalam kantong plastik. Tentu saja itu pemberian Elena.
“Semoga kita bisa bertemu kembali, Elena….” Akhirnya Kara pun terlelap. Matanya tertutup rapat-rapat. Dan bibirnya tampak sedikit tersenyum.
Tapi, selain kisah Kara yang bahagia karena telah mendapat sebuah kepastian bahwa suatu saat ia akan bertemu kembali dengan Elena, ada kisah lain yang justru sangat menyedihkan untuk kawasan perbukitan itu. Sejak hari itu, hari ketika gadis kecil itu menghilang, semua keadaan berubah drastis. Tak ada lagi wisata. Tak ada lagi pengunjung. Pendapatan orang-orang menurun. Hinaan demi hinaan dari luar terus bermunculan. Ada yang bilang bahwa gadis itu hanya rekaan belaka. Ada yang bilang semua orang terkena halusinasi yang sangat hebat. Dan pada akhirnya, kawasan perbukitan itu tampak sepi dan lebih mirip seperti kawasan yang telah mati.
***
Hingga 15 tahun kemudian, tepat malam ini, atau malam-malam selanjutnya, barangkali kawasan perbukitan itu akan kembali ramai oleh pengunjung. Sebab pada setiap malam, akan selalu ada seorang pemuda yang melakukan ritual untuk melemahkan kekuatan bulan, untuk meredupkan cahayanya. Agar kekasihnya kembali ke bumi, untuk membungkus hujan lagi. (*)

Jember, 2018
Alif Febriyantoro, kelahiran Situbondo, 23 Februari 1996. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa. 60 Detik sebelum Ajal Bergerak (Karyapedia Publisher, 2017) ialah buku kumpulan cerpen pertamanya.