Melalui hati..
Hanya dengan hati..
Tak banyak yang dapat dilakukan oleh Alya kala perasaan itu datang menghampirinya. Dia hanya
bisa diam dan menyimpan perasaannya itu sendiri, di dalam hatinya. Tak ada seorang pun yang
tahu kecuali dirinya sendiri. Nama seorang ikhwan telah bertahta di kedalaman relung hatinya
tapi sungguh tak pernah ia sengaja meletakkan nama itu di hatinya. Perasaan itu pun tak pernah
ia pupuk sehingga bisa berkembang dengan indah.
Melalui hati, ya, hanya dengan hati ia merasakan perasaan itu. Tidak dengan katakata, ucapan,
atau pun tingkah laku yang membuatnya jadi tak berdaya atas rasanya itu. Dialah seorang
muslimah yang sangat pintar memanage perasaannya sendiri.
Tak pernah ia biarkan setan-setan menjerumuskannya ke lembah kenistaan yang pada akhirnya
membuat kurva keimanannya menurun drastis. Jika kesendirian tengah melanda dirinya, bukan
nama itu yang ia pikirkan, melainkan Allah lah yang ia ingat melalui lantunan dzikir yang ia
lafadzkan atau dengan membaca ayat-ayat cinta-Nya yang membuat ia semakin cinta pada
tuhannya. Tak pernah ia menangisi perasaannya terhadap ikhwan itu, walau tak jua bisa dengan
segera ia membuangnya. Sebisa mungkin ia memusatkan pikiran dan seluruh jiwa raganya hanya
untuk Rabbnya. Dan bukan selain-Nya. Pikirnya, kalaupun jodoh tak akan kemana.
***
Di belahan bumi Allah yang lain, seorang ikhwan bernama Fajar tengah memperhatikan tulisan
puisi yang ditulis di secarik kertas, yang dibagian bawahnya tertulis nama seorang akhwat, yang
menandakan bahwa si akhwat lah yang menulis puisi tersebut. Kertas itu ia dapat dari mading
kampus. Tanpa sengaja ia melihat kertas itu terjatuh dari mading dan ia ambil. Setelah dilihat
siapa pembuatnya, ternyata yang membuat adalah seorang akhwat yang namanya sudah lama
bertahta di kedalaman relung hatinya. Namun ia tak menyimpan kertas itu, melainkan ia pajang
kembali di mading, lalu ia pun berlalu tanpa mau memperpanjang khayalnya akan sosok akhwat
itu.
***
Di Rumah Alya.
Disaat ia tengah mengerjakan proposal acara masjid kampusnya, sang ibu menghampiri dirinya
dan duduk di kursi tua di samping dirinya.
“Lagi apa Al?” Tanya sang ibu.
“Ngerjain proposal acara masjid kampus. Ada apa bu?” Jawabnya dengan mengajukan
pertanyaan balik pada ibunya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
“Nggak. Ibu lagi kangen aja sama kamu.” Jawab ibu yang langsung disambut dengan senyuman
manis Alya. Hanya sebuah senyuman yang membuat ibunya semakin rindu. Entah mengapa
akhir-akhir ini, rasa rindu terhadap anaknya ini begitu besar. Bisa jadi karena selama beberapa
hari ini, dari pagi sampai malam Alya selalu berada di luar rumah, tepatnya di kampus bersama
teman-teman masjid kampusnya untuk persiapan acara seminar motivasi yang sepekan lagi
diadakan.
“Kamu nggak kangen sama ibu Al? “
Alya mengalihkan pandangannya.
“Nggak ada yang Alya rindukan setelah Allah, selain Rasulullah dan Ibu.” Setelah meninggalkan
senyum manisnya lagi di hati ibunya, ia kembali memandang layar komputernya.
“Al, apa selama ini kamu nggak punya teman dekat?” Tanya ibu takut-takut.
“Teman dekat yang bagaimana maksud ibu?” Tanya Alya yang sudah bisa membaca
kemana arah pembicaraan yang ibunya utarakan.
“Yaaa beberapa teman-teman ibu, anak-anaknya hampir semua punya teman dekat.
Apa kamu tidak ingin seperti mereka? “
“Maksud Ibu pacar?” Tembak Alya pada ibunya. Lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari
layar komputer. Bukan ibu yang ngomong loh. Kamu ya yang barusan bilang pacar. Ibunya
berusaha mengelak meskipun memang itu maksudnya. Alya hanya tersenyum kecil tanpa
mengeluarkan sepatah katanya lagi. Dia hanya ingin diam.
“Kok diam Al?” Tanya ibunya.
Kali ini Alya memutar kursinya kearah ibunya. Dengan diawali senyuman, ia pun
mulai berkata,
“Bu, tanpa seorang pacar disamping Alya, Alya sudah sangat bahagia sekali dengan
adanya ibu, ayah, dan semua keluarga kita disamping Alya. Dan Alya nggak butuh
seorang pacar untuk dapat menemani Alya kemana-mana, karena sudah ada Allah. Dan
kalaupun Alya ingin mencari seorang pendamping, bukan pacar yang Alya cari,
melainkan suami. Suami yang bisa menuntun dan membimbing Alya kearah yang lebih
baik. Ibu nggak perlu khawatir ataupun cemas jika Alya nggak seperti anak dari teman-teman Ibu,
karena Alya yakin, apa yang Alya jalani saat ini adalah jalan kebaikan dengan cara yang baik dan
untuk menuju sesuatu yang baik pula. Ibu mengerti kan? “Sang Ibu hanya menatapnya penuh
haru. Betapa mulianya hatimu nak, hatinya membatin. Lalu ia pun kembali bertanya,
“Lalu, apa saat ini ada sosok yang kamu cenderungi Al? “
Jujur, Alya sangat terkejut atas pertanyaan ibunya itu karena saat ini memang ada nama lain di
hatinya yang akhir-akhir ini mengusik hatinya, namun segera ia tepis keterkejutan itu dengan
istighfar dalam hatinya.
“Kalaupun ada, memang kenapa?” Jawab Alya tanpa harus jujur meski tak jua berbohong.
“Ehm. Ya nggak kenapa-kenapa sih. Ibu hanya ingin memastikan kalau saat ini anak ibu sudah
dewasa. Sudah bisa memilah-milah mana yang terbaik untuk dirinya. Ya sudah, kalau begitu
teruskan lagi kerjaan kamu. Ibu tinggal dulu ya? “
Alya hanya tersenyum. Lagi-lagi hanya senyuman yang menutup perbincangan dia dengan ibunya.
Dia tak berusaha untuk memunculkan wajah ikhwan itu meskipun dalam hatinya sangat ingin.
Namun ia tahu bahwa itu dosa. Dia kembali terus beristighfar sambil terus melanjutkan
pekerjaannya. Dan rasa itu, biar hatinya saja yang merasakan. Tak perlu diungkapkan apalagi
dibeberkan ke khalayak ramai. Tak perlu dengan kata-kata dalam memaknai rasa itu. Cukup
melalui hati, hanya dengan hati. Dan diam adalah kunci dari semua masalah itu.
***
Di Masjid kampus.
Saat ini mereka tengah asyik syuro di dalam masjid kampus. Sedang membicarakan segala yang
akan dipersiapkan untuk acara training motivasti pekan depan. Alya yang bertugas sebagai
sekretaris tengah mengutak atik laptopnya. Masih ada pembetulan surat disana sini. Sementara
itu, Fajar yang juga tengah sibuk dengan berbagai macam kertas dihadapannya, sudah tak
sempat lagi mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya. Namun karena ponselnya sudah
bunyi berkali-kali, akhirnya dia memaksakan diri untuk menjawabnya.
“Ya Assalamualaikum” Ucapnya sambil tak melepaskan pandangnya dari kertas yang ia pegang.
Kertas itu adalah surat permohonan dana kepada sebuah perusahaan yang akan ia datangi untuk
pengajuan proposal acara training motivasi. Namun tiba-tiba ia terdiam mendengar suara yang
keluar dari ponselnya. Suara itu suara ayahnya, yang mengabarkan kalau ibunya harus dilarikan
kerumah sakit karena terjatuh di kamar mandi dan kepalanya terbentuk lantai kamar mandi.
Seketika itu pula ia pun segera pamit kepada seluruh temannya yang hadir kala itu sambil
menjelaskan bahwa kepulangan dia yang mendadak ini karena ibunya masuk rumah sakit. Namun
masih ada satu permasalahan lagi, ia seharusnya pergi ke sebuah perusahaan untuk mengajukan
proposal permohonan dana. Dan saat ini ia masih bingung, siapa yang akan menggantikannya
pergi ke perusahaan itu.
“Ana saja!” Ucap Alya ditengah kebingungan para teman-temannya.
“Alhamdulillah!” Sahut Fajar.
“Kalau begitu ana minta tolong ya ukh, untuk pergi ke perusahaan ini. Ini surat
pengajuan dana dan proposalnya.” Lanjutnya sambil memberikan dua benda yang ia sebutkan
tadi pada Alya. Alya pun menerimanya.
“Memang kamu tahu tempatnya Al?” Tanya Gaby, salah satu teman akhwatnya.
“Kan ada kamu..” Jawab Alya sekenanya.
“Maksudnya?” Tanya Gaby tak mengerti.
“Buat apa aku punya teman yang tahu jalan sekaligus punya motor seperti kamu,kalau nggak aku
manfaatkan. Hehehe” Jawab Alya sambil terkekeh pelan. Yang dimaksud pun hanya terdiam
sambil memancungkan mulutnya. Dan semua yang ada pada saat itu pun juga ikut tertawa,
kecuali Fajar.
“Eh, afwan ya akh” Ucap Alya pada Fajar.
“Iya nggak apa-apa. Kalau begitu ana pamit dulu ya. Assalamualaikum “
“Waalaikumussalam.” Sahut seluruh teman-temannya. Namun belum jauh Fajar melangkah, dia
kemudian menoleh lagi.
“Ada apa lagi akh?” Tanya Alya spontan.
“Syukron ya ukh atas bantuannya.” Ucap fajar. Alya tersenyum.
“Sama-sama. Semoga ibu antum cepat sembuh ya? “
Fajar mengangguk kemudian segera melanjutkan langkahnya. Dalam kegamangan langkahnya,
entah mengapa seperti ada kegamangan lain yang tiba-tiba saja menyergap dirinya. Kegamangan
dan kecemasan akan kehilangan sesuatu. Tapi kenapa?? Dia tak hiraukan rasa itu. Mungkin hanya
perasaannya saja karena kekhawatirannya terhadap ibunda tercinta.
Di saat yang sama, Alya sudah mematikan laptopnya dan bersiap berangkat ke perusahaan yang
ingin ia tuju bersama dengan Gaby. Setelah pamitan, mereka pun segera bergegas pergi
menyusuri gersangnya jalanan ibu kota dengan semangat yang menggebu- gebu, demi sebuah
acara yang mulia, yang bisa turut serta memajukan idealisme generasi bangsa.
***
Tiga jam berselang, di kediaman Alya
“Assalamualaikum” Ucap Ibunda Alya mengangkat telepon. Tiba-tiba ia terkejut setelah
mendengar kabar dari si pembawa berita di sebrang sana. Orang itu dari pihak kepolisian, yang
mengabarkan bahwa Alya mengalami kecelakaan. Dan yang membuat ibunya lebih syok lagi,
pihak kepolisian itu mengabarkan bahwa dalam kecelakaan itu, Alya meninggal di lokasi kejadian.
Tubuh sang ibu sudah tak dapat lagi tertahankan. Seluruh keluarga yang menyaksikan hal itu
panik dan ayah mengambil gagang telepon. Reaksi yang ditimbulkan ayah pun sama, namun tak
seperti ibu yang pingsan.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi kerumah sakit, dan benar saja, jasad Alya sudah di
tutup oleh kain putih. Pihak keluarga tak kuat melihat hal itu. Ibunya kembali pingsan sementara
kakak dan adik-adik Alya berusaha menenangkannya. Di waktu yang sama, pihak kepolisian
tengah berbincang dengan ayah. Mereka mengatakan, penyebab kecelakaan itu adalah, ada
sebuah bus yang melaju kencang dari arah berlawanan, yang berusaha menyalip dari jalur lain,
yang kebetulan di jalur itu, motor yang tengah ditumpangi Alya tengah melaju kencang.
Terjadilah kecelakaan itu.
Gaby yang mengendarai motor masih dalam keadaan kritis. Dia koma dan belum sadarkan diri,
sementara Alya tidak dapat terselamatkan dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di lokasi
kejadian. Betapa terpukulnya hati sang ayah. Dia kembali kepada keluarganya dan segera
mengurus kepulangan jenazah Alya dari rumah sakit.
***
Di rumah sakit, di waktu yang sama. Fajar masih terus menatapi wajah ibunya yang belum juga
sadarkan diri dari komanya. Namun tiba-tiba ia melihat garis lurus yang timbul di layar monitor
yang ada disamping ibunya yang tengah terbaring. Diapun segera memanggil keluarganya dan
dokter yang bertugas kala itu. Setelah beberapa saat dokter memeriksa keadaan ibunya,
Alhamdulillah ibunya masih bisa diselamatkan.
Di tengah kesedihannya karena ibunda tak kunjung sadar, tiba-tiba Fajar mendapat telepon dari
Amir sahabat masjid kampusnya kalau Alya meninggal dalam kecelakaan menuju perusahaan
yang ingin ia kunjungi bersama Gaby. Bagai dihantam godam besar, keadaan Fajar kala itu. Entah
bagaimana perasaannya saat ini. Ingin mengutuk dirinya karena telah menyebabkan Alya pergi ke
perusahaan itu sehingga terjadilah kecelakaan
yang merenggut nyawa Alya, tak mungkin ia lakukan karena itu sama artinya dengan menolak
takdir dan ketetapan Allah. Tapi tidak ingin merasa bersalah pun juga tak bisa, sebab seharusnya
Alya tak pergi kemana-mana jika ia yang pergi pada saat itu. Tapi itu juga tak mungkin ia lakukan
sebab ia harus pergi kerumah sakit melihat keadaan wanita tercintanya kala itu. Yang dapat ia
lakukan saat ini adalah berdoa untuk sang ibu yang belum sadar juga dari koma dan untuk Alya
yang telah pergi mendahuluinya.
***
Di kediaman Alm. Alya Semua yang hadir pada saat itu turut serta mengirimkan doa untuk Alya
yang pergi secepat itu. Jasad Alya diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Fotonya yang
menyunggingkan senyum termanisnya pun dipajang di dekat kepalanya. Tak ada yang tak
menangis kala itu. Terutama teman-teman kampusnya yang sama sekali tak percaya akan
kepergian Alya yang begitu cepat.
Ditengah suara orang-orang yang sedang membacakan surat Yasin untuk Alya, tiba - tiba Fajar
datang. Dia mengucapkan turut berbela sungkawa pada keluarga Fajar lalu segera bergabung
dengan teman-teman yang lain untuk membacakan surat Yasin.
***
Di kamar Alya.
Ibunya membuka-buka buku harian Alya. Siapa tahu ada sesuatu yang penting yang Alya tulis
sebelum ia pergi meninggalkan dunia ini. Ada !! Sebuah puisi.
Aku tak mengerti dengan rasa dalam hatiku
Aku hanya bisa merasakannya lewat hati
Hanya dengan hati
Tak perlu dengan kata-kata
Karena kata hanya akan membuat luka
Aku akan terbang jauh
Bersama anganku yang melayang
Menerawang menembus angkasa
Lalu jatuh bersama derai air mata
Aku tak akan mau mengingatmu
Demi rasa harus sembunyikan cinta
Demi rasa sedih karena tak bisa berbagi cinta
Demi rasa sakit memendam asa
Akan kupendam dalam-dalam cinta ini
Dan akhirnya, demi cinta itu sendiri
Ibunya kembali menangis. Belum sempat ia selesai membacanya, ia tutup kembali buku harian
anaknya itu dan ditaruhnya di laci meja belajarnya. Tanpa ia sadari, di akhir puisi itu, ada nama
seorang ikhwan yang Alya maksudkan.
Teruntuk Fajar Ariswandi
***
Setelah dimandikan, dishalatkan, dan dikafankan, jenazah Alya pun segera dikebumikan. Semua
teman-temannya ikut mengiringi kepergian Alya untuk yang terakhir kalinya.
Setelah dibacakan doa, semua yang hadir pada saat itu pun pulang. Keluarganya pun juga pulang
setelah menaburkan bunga diatas tumpukan tanah yang menimbun jasad Alya. Fajar yang kala itu
juga turut mengantarkan jasad Alya, tiba-tiba mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.
Secarik kertas bertuliskan puisi yang pernah ia baca dari mading kampus. Dibagian bawahnya
tertulis sebuah nama yang pernah mengisi relung hatinya.
Hanya dengan hati..
Tak banyak yang dapat dilakukan oleh Alya kala perasaan itu datang menghampirinya. Dia hanya
bisa diam dan menyimpan perasaannya itu sendiri, di dalam hatinya. Tak ada seorang pun yang
tahu kecuali dirinya sendiri. Nama seorang ikhwan telah bertahta di kedalaman relung hatinya
tapi sungguh tak pernah ia sengaja meletakkan nama itu di hatinya. Perasaan itu pun tak pernah
ia pupuk sehingga bisa berkembang dengan indah.
Melalui hati, ya, hanya dengan hati ia merasakan perasaan itu. Tidak dengan katakata, ucapan,
atau pun tingkah laku yang membuatnya jadi tak berdaya atas rasanya itu. Dialah seorang
muslimah yang sangat pintar memanage perasaannya sendiri.
Tak pernah ia biarkan setan-setan menjerumuskannya ke lembah kenistaan yang pada akhirnya
membuat kurva keimanannya menurun drastis. Jika kesendirian tengah melanda dirinya, bukan
nama itu yang ia pikirkan, melainkan Allah lah yang ia ingat melalui lantunan dzikir yang ia
lafadzkan atau dengan membaca ayat-ayat cinta-Nya yang membuat ia semakin cinta pada
tuhannya. Tak pernah ia menangisi perasaannya terhadap ikhwan itu, walau tak jua bisa dengan
segera ia membuangnya. Sebisa mungkin ia memusatkan pikiran dan seluruh jiwa raganya hanya
untuk Rabbnya. Dan bukan selain-Nya. Pikirnya, kalaupun jodoh tak akan kemana.
***
Di belahan bumi Allah yang lain, seorang ikhwan bernama Fajar tengah memperhatikan tulisan
puisi yang ditulis di secarik kertas, yang dibagian bawahnya tertulis nama seorang akhwat, yang
menandakan bahwa si akhwat lah yang menulis puisi tersebut. Kertas itu ia dapat dari mading
kampus. Tanpa sengaja ia melihat kertas itu terjatuh dari mading dan ia ambil. Setelah dilihat
siapa pembuatnya, ternyata yang membuat adalah seorang akhwat yang namanya sudah lama
bertahta di kedalaman relung hatinya. Namun ia tak menyimpan kertas itu, melainkan ia pajang
kembali di mading, lalu ia pun berlalu tanpa mau memperpanjang khayalnya akan sosok akhwat
itu.
***
Di Rumah Alya.
Disaat ia tengah mengerjakan proposal acara masjid kampusnya, sang ibu menghampiri dirinya
dan duduk di kursi tua di samping dirinya.
“Lagi apa Al?” Tanya sang ibu.
“Ngerjain proposal acara masjid kampus. Ada apa bu?” Jawabnya dengan mengajukan
pertanyaan balik pada ibunya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
“Nggak. Ibu lagi kangen aja sama kamu.” Jawab ibu yang langsung disambut dengan senyuman
manis Alya. Hanya sebuah senyuman yang membuat ibunya semakin rindu. Entah mengapa
akhir-akhir ini, rasa rindu terhadap anaknya ini begitu besar. Bisa jadi karena selama beberapa
hari ini, dari pagi sampai malam Alya selalu berada di luar rumah, tepatnya di kampus bersama
teman-teman masjid kampusnya untuk persiapan acara seminar motivasi yang sepekan lagi
diadakan.
“Kamu nggak kangen sama ibu Al? “
Alya mengalihkan pandangannya.
“Nggak ada yang Alya rindukan setelah Allah, selain Rasulullah dan Ibu.” Setelah meninggalkan
senyum manisnya lagi di hati ibunya, ia kembali memandang layar komputernya.
“Al, apa selama ini kamu nggak punya teman dekat?” Tanya ibu takut-takut.
“Teman dekat yang bagaimana maksud ibu?” Tanya Alya yang sudah bisa membaca
kemana arah pembicaraan yang ibunya utarakan.
“Yaaa beberapa teman-teman ibu, anak-anaknya hampir semua punya teman dekat.
Apa kamu tidak ingin seperti mereka? “
“Maksud Ibu pacar?” Tembak Alya pada ibunya. Lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari
layar komputer. Bukan ibu yang ngomong loh. Kamu ya yang barusan bilang pacar. Ibunya
berusaha mengelak meskipun memang itu maksudnya. Alya hanya tersenyum kecil tanpa
mengeluarkan sepatah katanya lagi. Dia hanya ingin diam.
“Kok diam Al?” Tanya ibunya.
Kali ini Alya memutar kursinya kearah ibunya. Dengan diawali senyuman, ia pun
mulai berkata,
“Bu, tanpa seorang pacar disamping Alya, Alya sudah sangat bahagia sekali dengan
adanya ibu, ayah, dan semua keluarga kita disamping Alya. Dan Alya nggak butuh
seorang pacar untuk dapat menemani Alya kemana-mana, karena sudah ada Allah. Dan
kalaupun Alya ingin mencari seorang pendamping, bukan pacar yang Alya cari,
melainkan suami. Suami yang bisa menuntun dan membimbing Alya kearah yang lebih
baik. Ibu nggak perlu khawatir ataupun cemas jika Alya nggak seperti anak dari teman-teman Ibu,
karena Alya yakin, apa yang Alya jalani saat ini adalah jalan kebaikan dengan cara yang baik dan
untuk menuju sesuatu yang baik pula. Ibu mengerti kan? “Sang Ibu hanya menatapnya penuh
haru. Betapa mulianya hatimu nak, hatinya membatin. Lalu ia pun kembali bertanya,
“Lalu, apa saat ini ada sosok yang kamu cenderungi Al? “
Jujur, Alya sangat terkejut atas pertanyaan ibunya itu karena saat ini memang ada nama lain di
hatinya yang akhir-akhir ini mengusik hatinya, namun segera ia tepis keterkejutan itu dengan
istighfar dalam hatinya.
“Kalaupun ada, memang kenapa?” Jawab Alya tanpa harus jujur meski tak jua berbohong.
“Ehm. Ya nggak kenapa-kenapa sih. Ibu hanya ingin memastikan kalau saat ini anak ibu sudah
dewasa. Sudah bisa memilah-milah mana yang terbaik untuk dirinya. Ya sudah, kalau begitu
teruskan lagi kerjaan kamu. Ibu tinggal dulu ya? “
Alya hanya tersenyum. Lagi-lagi hanya senyuman yang menutup perbincangan dia dengan ibunya.
Dia tak berusaha untuk memunculkan wajah ikhwan itu meskipun dalam hatinya sangat ingin.
Namun ia tahu bahwa itu dosa. Dia kembali terus beristighfar sambil terus melanjutkan
pekerjaannya. Dan rasa itu, biar hatinya saja yang merasakan. Tak perlu diungkapkan apalagi
dibeberkan ke khalayak ramai. Tak perlu dengan kata-kata dalam memaknai rasa itu. Cukup
melalui hati, hanya dengan hati. Dan diam adalah kunci dari semua masalah itu.
***
Di Masjid kampus.
Saat ini mereka tengah asyik syuro di dalam masjid kampus. Sedang membicarakan segala yang
akan dipersiapkan untuk acara training motivasti pekan depan. Alya yang bertugas sebagai
sekretaris tengah mengutak atik laptopnya. Masih ada pembetulan surat disana sini. Sementara
itu, Fajar yang juga tengah sibuk dengan berbagai macam kertas dihadapannya, sudah tak
sempat lagi mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya. Namun karena ponselnya sudah
bunyi berkali-kali, akhirnya dia memaksakan diri untuk menjawabnya.
“Ya Assalamualaikum” Ucapnya sambil tak melepaskan pandangnya dari kertas yang ia pegang.
Kertas itu adalah surat permohonan dana kepada sebuah perusahaan yang akan ia datangi untuk
pengajuan proposal acara training motivasi. Namun tiba-tiba ia terdiam mendengar suara yang
keluar dari ponselnya. Suara itu suara ayahnya, yang mengabarkan kalau ibunya harus dilarikan
kerumah sakit karena terjatuh di kamar mandi dan kepalanya terbentuk lantai kamar mandi.
Seketika itu pula ia pun segera pamit kepada seluruh temannya yang hadir kala itu sambil
menjelaskan bahwa kepulangan dia yang mendadak ini karena ibunya masuk rumah sakit. Namun
masih ada satu permasalahan lagi, ia seharusnya pergi ke sebuah perusahaan untuk mengajukan
proposal permohonan dana. Dan saat ini ia masih bingung, siapa yang akan menggantikannya
pergi ke perusahaan itu.
“Ana saja!” Ucap Alya ditengah kebingungan para teman-temannya.
“Alhamdulillah!” Sahut Fajar.
“Kalau begitu ana minta tolong ya ukh, untuk pergi ke perusahaan ini. Ini surat
pengajuan dana dan proposalnya.” Lanjutnya sambil memberikan dua benda yang ia sebutkan
tadi pada Alya. Alya pun menerimanya.
“Memang kamu tahu tempatnya Al?” Tanya Gaby, salah satu teman akhwatnya.
“Kan ada kamu..” Jawab Alya sekenanya.
“Maksudnya?” Tanya Gaby tak mengerti.
“Buat apa aku punya teman yang tahu jalan sekaligus punya motor seperti kamu,kalau nggak aku
manfaatkan. Hehehe” Jawab Alya sambil terkekeh pelan. Yang dimaksud pun hanya terdiam
sambil memancungkan mulutnya. Dan semua yang ada pada saat itu pun juga ikut tertawa,
kecuali Fajar.
“Eh, afwan ya akh” Ucap Alya pada Fajar.
“Iya nggak apa-apa. Kalau begitu ana pamit dulu ya. Assalamualaikum “
“Waalaikumussalam.” Sahut seluruh teman-temannya. Namun belum jauh Fajar melangkah, dia
kemudian menoleh lagi.
“Ada apa lagi akh?” Tanya Alya spontan.
“Syukron ya ukh atas bantuannya.” Ucap fajar. Alya tersenyum.
“Sama-sama. Semoga ibu antum cepat sembuh ya? “
Fajar mengangguk kemudian segera melanjutkan langkahnya. Dalam kegamangan langkahnya,
entah mengapa seperti ada kegamangan lain yang tiba-tiba saja menyergap dirinya. Kegamangan
dan kecemasan akan kehilangan sesuatu. Tapi kenapa?? Dia tak hiraukan rasa itu. Mungkin hanya
perasaannya saja karena kekhawatirannya terhadap ibunda tercinta.
Di saat yang sama, Alya sudah mematikan laptopnya dan bersiap berangkat ke perusahaan yang
ingin ia tuju bersama dengan Gaby. Setelah pamitan, mereka pun segera bergegas pergi
menyusuri gersangnya jalanan ibu kota dengan semangat yang menggebu- gebu, demi sebuah
acara yang mulia, yang bisa turut serta memajukan idealisme generasi bangsa.
***
Tiga jam berselang, di kediaman Alya
“Assalamualaikum” Ucap Ibunda Alya mengangkat telepon. Tiba-tiba ia terkejut setelah
mendengar kabar dari si pembawa berita di sebrang sana. Orang itu dari pihak kepolisian, yang
mengabarkan bahwa Alya mengalami kecelakaan. Dan yang membuat ibunya lebih syok lagi,
pihak kepolisian itu mengabarkan bahwa dalam kecelakaan itu, Alya meninggal di lokasi kejadian.
Tubuh sang ibu sudah tak dapat lagi tertahankan. Seluruh keluarga yang menyaksikan hal itu
panik dan ayah mengambil gagang telepon. Reaksi yang ditimbulkan ayah pun sama, namun tak
seperti ibu yang pingsan.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi kerumah sakit, dan benar saja, jasad Alya sudah di
tutup oleh kain putih. Pihak keluarga tak kuat melihat hal itu. Ibunya kembali pingsan sementara
kakak dan adik-adik Alya berusaha menenangkannya. Di waktu yang sama, pihak kepolisian
tengah berbincang dengan ayah. Mereka mengatakan, penyebab kecelakaan itu adalah, ada
sebuah bus yang melaju kencang dari arah berlawanan, yang berusaha menyalip dari jalur lain,
yang kebetulan di jalur itu, motor yang tengah ditumpangi Alya tengah melaju kencang.
Terjadilah kecelakaan itu.
Gaby yang mengendarai motor masih dalam keadaan kritis. Dia koma dan belum sadarkan diri,
sementara Alya tidak dapat terselamatkan dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di lokasi
kejadian. Betapa terpukulnya hati sang ayah. Dia kembali kepada keluarganya dan segera
mengurus kepulangan jenazah Alya dari rumah sakit.
***
Di rumah sakit, di waktu yang sama. Fajar masih terus menatapi wajah ibunya yang belum juga
sadarkan diri dari komanya. Namun tiba-tiba ia melihat garis lurus yang timbul di layar monitor
yang ada disamping ibunya yang tengah terbaring. Diapun segera memanggil keluarganya dan
dokter yang bertugas kala itu. Setelah beberapa saat dokter memeriksa keadaan ibunya,
Alhamdulillah ibunya masih bisa diselamatkan.
Di tengah kesedihannya karena ibunda tak kunjung sadar, tiba-tiba Fajar mendapat telepon dari
Amir sahabat masjid kampusnya kalau Alya meninggal dalam kecelakaan menuju perusahaan
yang ingin ia kunjungi bersama Gaby. Bagai dihantam godam besar, keadaan Fajar kala itu. Entah
bagaimana perasaannya saat ini. Ingin mengutuk dirinya karena telah menyebabkan Alya pergi ke
perusahaan itu sehingga terjadilah kecelakaan
yang merenggut nyawa Alya, tak mungkin ia lakukan karena itu sama artinya dengan menolak
takdir dan ketetapan Allah. Tapi tidak ingin merasa bersalah pun juga tak bisa, sebab seharusnya
Alya tak pergi kemana-mana jika ia yang pergi pada saat itu. Tapi itu juga tak mungkin ia lakukan
sebab ia harus pergi kerumah sakit melihat keadaan wanita tercintanya kala itu. Yang dapat ia
lakukan saat ini adalah berdoa untuk sang ibu yang belum sadar juga dari koma dan untuk Alya
yang telah pergi mendahuluinya.
***
Di kediaman Alm. Alya Semua yang hadir pada saat itu turut serta mengirimkan doa untuk Alya
yang pergi secepat itu. Jasad Alya diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Fotonya yang
menyunggingkan senyum termanisnya pun dipajang di dekat kepalanya. Tak ada yang tak
menangis kala itu. Terutama teman-teman kampusnya yang sama sekali tak percaya akan
kepergian Alya yang begitu cepat.
Ditengah suara orang-orang yang sedang membacakan surat Yasin untuk Alya, tiba - tiba Fajar
datang. Dia mengucapkan turut berbela sungkawa pada keluarga Fajar lalu segera bergabung
dengan teman-teman yang lain untuk membacakan surat Yasin.
***
Di kamar Alya.
Ibunya membuka-buka buku harian Alya. Siapa tahu ada sesuatu yang penting yang Alya tulis
sebelum ia pergi meninggalkan dunia ini. Ada !! Sebuah puisi.
Aku tak mengerti dengan rasa dalam hatiku
Aku hanya bisa merasakannya lewat hati
Hanya dengan hati
Tak perlu dengan kata-kata
Karena kata hanya akan membuat luka
Aku akan terbang jauh
Bersama anganku yang melayang
Menerawang menembus angkasa
Lalu jatuh bersama derai air mata
Aku tak akan mau mengingatmu
Demi rasa harus sembunyikan cinta
Demi rasa sedih karena tak bisa berbagi cinta
Demi rasa sakit memendam asa
Akan kupendam dalam-dalam cinta ini
Dan akhirnya, demi cinta itu sendiri
Ibunya kembali menangis. Belum sempat ia selesai membacanya, ia tutup kembali buku harian
anaknya itu dan ditaruhnya di laci meja belajarnya. Tanpa ia sadari, di akhir puisi itu, ada nama
seorang ikhwan yang Alya maksudkan.
Teruntuk Fajar Ariswandi
***
Setelah dimandikan, dishalatkan, dan dikafankan, jenazah Alya pun segera dikebumikan. Semua
teman-temannya ikut mengiringi kepergian Alya untuk yang terakhir kalinya.
Setelah dibacakan doa, semua yang hadir pada saat itu pun pulang. Keluarganya pun juga pulang
setelah menaburkan bunga diatas tumpukan tanah yang menimbun jasad Alya. Fajar yang kala itu
juga turut mengantarkan jasad Alya, tiba-tiba mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.
Secarik kertas bertuliskan puisi yang pernah ia baca dari mading kampus. Dibagian bawahnya
tertulis sebuah nama yang pernah mengisi relung hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar