Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Maya Sandita (Rakyat Sumbar, 03-04 Februari 2018) Tanya di Sepanjang Sungai, di Rimbun Hutan ilustrasi Rakyat SumbarSUDAH menjadi obrolan biasa di warung desa sebelah
tentangku. Sebab mungkin menurut mereka aku tak istimewa. Biasa saja.
Sama dengan apa yang ada di desa mereka. Ada air yang mengalir, bukit
yang hijau, dan rumah-rumah panggung di kebun. Bukan sesuatu yang perlu
diributkan mendengar aku diperkosa, karena itu hal biasa. Ya, aku
diperkosa sampai retak seluruh tubuhku dan tangisku dari hulu
menyambangi rumahmu. Aku yakin kau ingat. Kusapa kau ke darat, kutunggu
kau bahkan jika nanti akhirnya hanya sempat melayat.
Hampir sewindu sejak saat itu. Barangkali kau butuh waktu untuk siap
melihat rambut rontokku tersangkut di tepian mandi. Di mana anak-anak
kecil melompat dari batu besar dan ibu-ibu dengan kain cokelatnya
membilas cucian, baju kotor satu keluarga satu hari. Mereka adalah saksi
yang—jika punya waktu untuk menghitung—bisa tahu jumlah helai rambut
rontok itu.
Tahukah kau, suatu waktu pulanglah seorang anakku dari luar desa.
Kusambut kakinya dengan haru lewat sejuk air mataku yang mengalir
sepanjang hidupnya. Lewat telapak hingga mata kakinya yang buta, kubuat
ia mengerti, aku sangat rindu padanya. Lama ia tertegun di tepian,
menghirup napas dalam sambil bahunya naik dan kemudian dilepas bersama
apa yang ada di dadanya. Aku tak tahu ada apa di sana, tapi jatuh
alisnya menjelaskan sesuatu padaku.
“Aku selalu memaafkanmu, Nak. Sama seperti bagaimana aku merindukan
kepulanganmu,” desau angin sore menyampaikan jawabanku untuknya.
Anakku lebih pendiam dari biasa. Jika dulu ia suka melompat dari
batu, menyelam di sungai yang dalam, dan berenang hingga lupa waktu,
kini ia hanya termangu sembari melempar satu dua kerikil. Padahal aku
rindu suaranya, apalagi ketika ia bercerita tentang perempuan desa
seberang yang membuatnya jatuh hati. Berbait-bait puisi dirangkainya,
dibacakannya, dihanyutkannya jadi perahu.
Kupikir perempuan itu alasannya.
Tapi kemudian lirih suaranya terdengar, “Bu, selama aku di kota, aku
menemukan tabib-tabib. Mereka punya penawar untuk sakit yang kau derita.
Esok mereka tiba, Bu. Jangan menangis terlalu keras sebab bahagia, ia
suka jika kau tenang-tenang saja. Pasang wajah ceria untuk menyambut
mereka.”
Ia menyebut namamu dalam daftar tabib-tabib. Jadi merona pipiku. Bisa
kaulihat dari langit senja yang kupantulkan. Itulah mengapa sejak kau
datang sampai saat ini langit dan aku berwarna merah jambu.
Rambutku tak rontok beberapa hari, kupikir karena aku bahagia sebab
kau dan kawan-kawanmu datang ke mari. Tapi maaf, aku belum sempat
membersihkan yang sudah terlanjur tersangkut di tepian sungai. Ah, jadi
tidak enak. Kau menemukan pemandangan tak elok dan segera tahu bahwa
sakitku cukup parah.
Di atas perahu kecil dengan muatan lima sampai sepuluh orang, kau dan
kawan-kawanmu duduk tenang. Beberapa kali perahu kandas di bagian
sungai yang terlalu dangkal. Tapi tenang saja, Datuk yang jadi nahkodamu
sudah paham medan. Aku sangat yakin kau bisa sampai di rumah dan
menemui anakku yang menunggu.
Anakku sudah mempersiapkan yang terbaik agar kau dan kawan-kawanmu
nyaman berada di rumah. Ia siapkan mesin pembangkit tenaga listrik
dengan bahan bakar bensin agar lampu bisa menerangi malam panjang di
desa. Ia siapkan banyak kayu bakar jika kau ingin duduk dan
bercengkerama bersama di luar. Ia juga siapkan tenda di halaman jika
dipan kayu kami tak cukup membuatmu nyaman.
Suatu kali, kau bicara pada anakku. Perkataanmu membuat malam jadi tak berujung.
“Selama ini pemerkosaan telah merusak tubuh ibumu seutuhnya.
Rambutnya rontok, air matanya hampir kering, kulitnya keriput dan retak.
Jika mengandalkan kami saja, sungguh, kami tak cukup menjadi obat.
Sehebat apa pun kami para tabib ini dikatakan orang.”
Malam benar-benar jadi tak berujung meski pagi, siang, dan senja
tetap datang keesokan hari. Selama jalan keluar belum ditemukan, tak
akan ada terang. Anakku dan para tabib itu mencari cara agar tindak
kriminal atas tubuhku diusut sampai ke akarnya. Mereka perlu tahu siapa
dalang pemerkosaan, siapa germonya, dan kenapa tubuh ibunya yang
dieksploitasi?
Sering kudengar anakku bertanya dalam doanya. Sajak untuk perempuan
desa seberang yang kini entah di mana, berganti. “Bukankah ibuku telah
berikan udara untuk napasmu? Bukankah ibuku telah berikan getah karet
untuk jadi rupiah dalam dompet? Bukankah ibuku telah berikan ikan dari
aliran air matanya?”
Sementara beribu pertanyaan muncul di kepala, cerita tentang tabib
yang berusaha menyelamatkanku dari kematian, sampai ke telinga
seseorang. Celoteh warga dari warung desa sebelah agaknya mengancam
dirinya dan bos besar. Anakku tahu itu. Ia tahu dari Datuk pengemudi
perahu yang singgah di tepian menambal papan yang rusaknya makin besar.
Ia butuh bantuan anakku, tak ingin perahunya karam.
Subuh baru saja dijemput pagi, di sepanjang sungai, di rimbun hutan.
Hampir terang. Tinggal kau sekarang, ingin pulang atau meneruskan
perjalanan hingga benderang? (*)
Padangpanjang, 31 Januari 2018
(Selamatkan Hutan Rimbang Baling, Kampar, Riau dari pembalakan liar)
Oleh Yusna Rusin (Rakyat Sumbar, 03-04 Februari 2018) Misteri Penemuan Istana Dewa ilustrasi Rakyat SumbarPERNAH dengar lagu Ragam Pasisia? Sebagian syairnya berbunyi Bayang Sani di Koto Baru/Yo Ngalau Dewa di Koto Ranah/Indak diliek mangko tak tau/ Di puluik-puluik jambatan aka atau Bayang Wisata Ciptaan Zai Sefei dan Tusriadi: Walkum dulu namonyo/ maso dahulunyo/ kiniko banamo Bayang Sani/ aia tajunnyo batingkek tujuah tapian mandi sajauak aianya// Nagalau dewa/ isatano dewa/ kiniko banamo ragam pesona/ indak diliek manggko tak tau di Puluik-puluik jambatan aka.
Di dalam lagu itu disebut-sebut salah satu objek wisata yang bernama
Istano Dewa atau Ngalau Dewa di Koto Ranah Bayang Pessel. Gua dengan
kedalaman 25 meter dan di bibirnya mengalir Sungai Bayang Janiah ini
pernah dikunjungi Nandine sekitar tiga tahun yang lalu.
Di tahun 1991 objek wisata ini diresmikan Bupati Masdar Saisa. Di
sekelilingnya dibangun pondok-pondok dengan atap bundar seperti payung
yang terbuat dari lalang. Gua ini telah ditemukan sejak tahun 1956.
Inilah kisah penemuannya.
Pada suatu hari di tahun 1956 seorang ibu hendak pergi ke sawah.
Begitu bersiap-siap hendak berangkat, salah seorang anaknya yang masih
berumur lima tahun langsung mendahuluinya, berlari ke pintu sambil
berkata, “Aku ikut Mak!”
“Jangan,” kata Maknya. “Nanti cuaca panas. Kalau panas, kamu
menangis-nangis minta pulang. Mak bekerja. Siapa yang akan mengantarkan
kamu pulang?”
“Aku janji tidak akan ganggu, Mak.” Begitu dia menjelaskan supaya permintaannya dikabulkan.
Akhirnya dengan kaki kecilnya dia berlari-lari kegirangan. Senang sekali hatinya boleh ikut ke sawah.
Sesampainya di sawah, Maknya mulai bekerja menebas rumput pematang
sawah yang sudah mulai menebal. Lama-lama bekerja, lupa waktu entah
sudah jam berapa. Dilihat matahari, rupanya lampu raksasa itu sudah
tepat berada di atas kepala, berarti hari sudah kira-kira pukul 12.00.
Burung elang berputarputar di udara, di sekitar dia bekerja. Begitu
melihat burung elang berputar-putar itu, darahnya langsung berdebar dan
hatinya berkata ini pasti ada tanda-tanda.
Memang benar. Dilihatnya anaknya sudah tidak ada lagi. Dia
panggil-panggil, tidak ada sahutan. Dia cari-cari, tidak ketemu.
Akhirnya dia bergegas pulang sambil menangis.
Di sepanjang jalan, setiap bertemu orang dia tanyakan apakah ada
melihat anaknya. Setiap yang ditanya menjawab tidak ada. Hatinya semakin
galau. Sesampai di rumahnya dia juga tidak menemukan anaknya. Dia
semakin cemas lalu menangis-nangis. Orang kampung beramai-ramai
membantu. Tempat-tempat tersembunyi termasuk sungai dan pondokpondok
tengah sawah rasanya tak ada yang terlewati. Pencarian dilanjutkan pada
malam harinya ada yang menggunakan suluh, senter, dan ada pula yang
menggunakan lampu stromkeng, namun anaknya tak diketemukan juga.
Masyarakat Koto Ranah tidak bisa tidur. Mereka dibalut rasa cemas,
takut, dan risau bercampur aduk. Ibu-ibu dan anak-anak tidak ada yang
berani tinggal di rumah sendirian. Mereka semua berkumpul-kumpul.
Anak-anak kecil tak ada yang lepas dari pangkuan ibunya. Takut
kalau-kalau anak mereka akan hilang pula. Untuk menghilangkan rasa takut
itu, mereka ramai-ramai membaca Alquran.
Hari-hari berikutnya pencarian dilanjutkan. Seluruh masyarakat desa
di kecamatan Bayang termasuk para dukun dimintai pertolongan.
Orang-orang biasa diminta mencari di tempat-tempat yang tidak dianggap
angker, sedangkan para dukun diminta mencari di tempat yang dianggap
angker, namun hasilnya masih tidak ada.
Pada hari yang ketiga diadakan musyawarah bersama ninik mamak, alim
ulama, dan cerdik pandai untuk mengetahui tempat-tempat mana yang belum
disilau. Akhirnya, tersebutlah sebuah gua di pinggir sebuah sungai. Maka
didatangilah gua itu beraramai-ramai yang dipimpin Datuk Gamuk dan
Katik Malim Bungsu serta dukun gadang Peto Kayo ditambah dengan
dukun-dukun lain, Pak Wali Syukur, serta Angku Basir.
Sesampainya di sana, mereka masuk ke dalam gua. Begitu masuk, mereka
terkesima melihat pemandangan yang begitu indah dan bersih. Ada meja dan
kusi batu yang tertata rapi. Di tengah-tengahnya terlihat anak sungai
mengalir santai. Pasirnya yang putih laksana mutiara. Setelah mereka
teruskan perjalanan ke dalam, mereka melihat banyak pintu kiri kanan.
Pada pandangan terakhir, mereka melihat sebuah pintu berukuran kecil.
Hanya sebesar kotak korek api, tetapi di dalamnya sangat lapang.
“Coba lihat di atas pasir ada jejak kaki manusia,” teriak Datuk
Gamuk. Semua rombongan menyaksikan jejak kaki manusia, namun setiap
jejak kaki manusia itu selalu diiringi jejak kaki harimau. Dan jejak
kaki anak kecil yang diperkirakan jejak kaki Mahyunar.
“Tidak ada harapan lagi,” teriak Angku Basir. “Sekarang mari kita
berdoa bersama semoga dia bisa kembali lagi.” Selesai berdoa mereka
kembali keluar dengan perasaan sedih.
Tiga tahun setelah kehilangan itu, Mahyunar mendatangi Maknya ke
rumahnya. Hal itu diberitahukan dukun. Menurut dukun, dia akan datang
pada petang Kamis Malam Jumat. Mak Mahyunar disuruh bentangkan tikar
putih di dalam kamar, di atasnya letakkan nasi putih, nasi hitam, dan
nasi kuning, segelas kopi dan kacang goreng.
Petang Kamis malam Jumat berikutnya diulang lagi. Setiap makanan dan
minuman yang sama disajikan, selalu habis, tapi dia tak pernah
kelihatan.
Pernah Maknya merasakan bersalaman dengan dia, suaranya terdengar
menangis meminta maaf. Dan pada tahun 2000, sesudah ayahnya meninggal,
di saat di rumah itu tidak ada orang karena ditinggal sebentar untuk
pergi ke Sago Painan, terdengarlah orang menangis di rumah itu. Sesudah
itu terdengar suara orang mengaji atau membaca Alquran.
Menurut cerita orang pandai atau atau orang pintar atau dukun,
Mayunar itu sudah kawin dengan orang bunian atau di Bayang disebut
“urang aluih” dan tinggal dalam gua tersebut. Maka ketika gua itu akan
dijadikan objek wisata, dia dan istrinya disuruh pergi meninggalkan gua
itu dengan jampi-jampi pengusir jin.
Pada tahun 1990 Koto Ranah dipimpin oleh Kepala Desa Muknis Malin
Sinaro. Dengan kerja sama semua lapisan masyarakat mulai dari remaja
sampai orang dewasa, tidak ketinggalan ninik mamak, alim ulama, cerdik
pandai, serta bundo Kanduang meminta persetujuan Camat Bayang dan Bupati
Pesisir Selatan Masdar Saisa untuk menjadikan gua itu sebagai tempat
wisata.
Setelah mendapat persetujuan, masyarakat melakukan perlombaan membuat
rumah-rumah bulat di sekitar intano dewa. Siapa yang bagus rumah
bulatnya, diberi hadiah. Secara berangsur-angsur jalan ke sana
diperbaiki. Jembatan dibangun sehingga dapat dilewati kendaraan roda
empat. Dan pada tanggal 1 Oktober 1990 objek wisata itu diresmikan oleh
Bupati Pesisir Selatan, Masdar Saisa. Akhirnya tempat itu menjadi
terkenal sampai ke manca negara. Sayang sekarang sudah kurang terawat
dengan baik. (*)
Puisi-puisi Aji Ramadhan dan Inggit Putria Marga (Kompas, 20 Januari 2018) Berkah Ibu II ilustrasi Gigih Wiyono/ Kompas
Melempar Matahari Merekah
Matahari merekah dan
bulan bergegas ke kantung waktu.
Embun-embun kehilangan
bayangan bulan.
Sebelum lenyap di ketinggian daun,
embun-embun
mulai terbuka meminang tanah.
Embun-embun cepat terjun
melengkungi sekuen kehidupan.
Di batas langit dan bumi, pagi
melempar matahari merekah
ke kembang-kembang.
Di tanah, para semut lega
selesai berpatroli memutari
kembang-kembang.
Punggung para semut yang pegal
habis berpatroli
perlu asupan vitamin K
milik matahari merekah.
Matahari merekah sempurna.
Sepasang mawar be rad u argumen
tentang cara terbaik
bersatu dengan matahari merekah.
Melati punya pandangan lain:
Bulan bergegas ke kantung waktu
karena jarak-berjarak, bukan
tersaingi oleh matahari merekah.
Surakarta, 2017
Rugi
Kita kembali berjalan setelah berkemah
di perut gunung. Kita harus menemu pagi sebelum
langit mengirimnya. Semoga halimun
tak pergi ketika kita datang. Kita butuh halimun
untuk merangkum keletihan diri ini.
Puncak gunung ternyata jauh dari dugaan, meski
terpandang dekat di mata kita. Api unggun
yang semalam kita buat belum mati
di hati. Jangan kita menyeka peluh. Kita membawa
peluh masing-masing sebagai kado untuk pagi.
Nyanyian perjalanan ke puncak gunung telah kita
nyaringkan. Sesekali kita melihat ke bawah: Aneka
warna lampu menjadi repetisi halus. Murni
direkam mata kita. Kadang kita mengalami sangsi
kenapa bisa sekecil ini.
Di sela-sela pohon sana, kita bertemu ular yang
sedang mengawas. Kita takut tapi tinggal berpuluh
langkah akan sampai ke puncak gunung. Tapi
kita mulai menangis ketika terompet langit telah
mengirim pagi. Kita mematung rugi.
Surakarta, 2017
Datang
Pagi datang menyelamatkan aku
setelah memasang
daur ulang ekor matahari
dan membuang selimut malam.
Hangat sahaja pagi datang:
Aku belqjar menggapai awan
hingga menepuki waktu
biar lambat memasuki gerakku.
Kamar mimpi kehilangan aku
setelah pagi datang. Tapi tersisa
goresan kamar mimpi
di dalam benak lunakku:
Bantal membudak kepalaku dan
hantu kolong ranjang menakut
mataku.
Pagi datang memberi aspirasi
kepadaku lewat moncongnya:
“Kubur masamu yang redup itu,
lalu tinggikan tiang lagu.”
Pagi datang membuka
petualangan baru denganku. Dan
aku berlagu:
Seorang anak enggan lagi tidur karena pagi datang menghiasi dinding hari barunya.
Surakarta, 2017
Aji Ramadhan lahir di
Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Mahasiswa Desain Interior di
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Buku puisinya adalah Sang
Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012).
Festival Purnama
november, entah hari keberapa
setelah kelopak matahari mengatup
dari balik bukit berpohon sedikit
kepala purnama menyembul
matanya menabur cahaya
serupa cakra mata ketiga yang mekar sempurna
seperti tangan petani menebar benih
di tanah yang matang oleh doa
ke yang halus dan yang kasar, cahaya menyebar:
ke tangan istri yang sedang mencengkram leher kekasih suami
ke tangan ibu yang gemetar menghapus keringat dingin di dahi bayi
ke kucing pincang yang tak henti mengeong
usai dilempari batu oleh penghuni rumah yang disinggahi, ke anjing
yang berbaring di rumput menunggu kedatangan tuannya, ke balita
yang lari ke sana ke mari, tanpa berpikir untuk apa ia lahir
dan ke mana kelak pergi setelah detak jantung berakhir, ke lelaki tua
yang sibuk merayu malaikat maut agar tak datang buru-buru
sebab dosa-dosa masa lalu belum sempat tersapu.
selama kelopak matahari terkatup
purnama menebar cahaya
tak seperti petani
tak berharap menuai yang ditabur di bumi.
2017
Tawa Maitreya
beberapa detik setelah dinyalakan, asap dupa meninggalkan dupa
sebagian mengambang di bawah lampu gantung kristal berbentuk padma,
sebagian mencari celali menuju sumber cahaya, menuju langit nila.
memisahkan diri dari keriuhan pengunjung kuil, menjauh dari gelak tawa
para tamu yang berfoto bersama rupang-rupang dewa genta raksasa, barisan lotus
yang sebagian telah tiba masa mekarnya, seorang perempuan berdiri sambil bersandar
di pilar altar, ia pandangi dupa-dupa mengabu, yang meski gerak asapnya menjalar
di dalam dan di luar ruangan, tak sebatang pun ada yang diajak foto bersama,
tak seorang pun peduli makhluk halus itu berpencar ke mana, di hadapan mereka
perempuan menangkupkan tangan, menundukkan kepala, menyembunyikan air mata.
dari atas altar, menyaksikan yang tertawa herbinar dan yang menangis samar,
yang riuh berkelompok dan yang sendiri mematung setegak batang rokok,
garis tawa di bibir maitreya semakin lebar.
2017
Pengasih Kedasih
telah hamba patahkan sepasang sayap kedasih, sebab telur-telur kesedihan
yang bertahun dieram ulu hati hamba, menetas usai teringat takdir sayap
adalah membuat kedasih melayang menuju hutannya sendiri,
memilih ranting tempatnya hinggap sesekali, menembus udara berdebu
yang bisa saja membuat burung itu mati di suatu pagi.
kemelekatan hamba pada burung itu, bahkan pada tiap bulu
yang tumbuh di pori-pori kulit kedasih itu, lebih erat dibandingkan
pada helai-helai uban yang tiap hari, dari kepala hamba, berjatuhan.
maka, hamba lakukan yang dapat membuat hamba dan kedasih tak terpisahkan
terlebih lepas menyaksikan televisi, di penghujung sebuah pagi, hamparkan
pemandangan ini: langit warna melon mengatapi bongkahan awan.
seekor burung besi membara di situ usai melepas ratusan telur
yang jatuh menghantam bumi, menghajar perkampungan, melantakkan hutan,
menumbangkan pepohonan, dari salah satu cabang pohon yang tumbang
helai-helai jerami terbang, seekor kedasih gagal membuat sarang.
beberapa menit sebelum patahkan sayap burung
hamba pandangi pigura-pigura yang berderet di dinding dekat televisi.
benda yang membingkai foto-foto kerabat lama, mereka mati
bersama rumah masa kecil hamba yang hancur tertimpa telur burung besi
saat hamba menggoreskan krayon warna melon
di kertas bergambar ibu bapak
yang tergeletak di meja kelas taman kanak-kanak.
2017
Inggit Putria Marga bermukim di Bandar Lampung. Kumpulan puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Cerpen Ainun Najib (Rakyat Sumbar, 21-22 Janauri 2018) Gadis yang Menunggu di Tepi Hujan ilustrasi Rakyat SumbarNAMAKU Naya. Nayla nama kecilmu. Ibumulah yang
memanggilmu begitu. Di kampus nama Naya lebih familiar di telingamu.
Setelah kau lulus, kau menikah dengan kekasihmu. Tentu saja kau sangat
mencintainya. Dinda Naya.
Malangnya, bagaimana kau bersedih hari ini?
Barangkali kau tak akan bercerita denganku. Tentu. Bagaimana mungkin?
Tentu kau tak mengenalku. Bertemu pun barangkali tidak. Terlebih
bercakap. Kecuali aku, aku tahu tentangmu. Tuhan telah mempertemukan
kita di sini. Dengan cara ini.
Aku terlalu banyak tahu tentangmu. Maaf. Dari kecil kau suka boneka
india. Betul? Ayahmu selalu memanjakanmu. Mungkin aku tak tahu berapa
banyak koleksi bonekamu saat ini. Ditambah satu boneka yang dibeli
suamimu untuk hadiah ulang tahun pernikahanmu. Tahun lalu. Rupanya ulang
tahun yang kedua. Maka kau terlihat bahagia sekali. Aku terkesan, kau
cantik sekali.
Matamu berbinar. “Terima kasih, Sayang,” ucapmu mengecup keningnya.
Aku baru melihatmu kemaren sore meski sebenarnya sudah lama aku mengenalmu. Benar. Kau manis sekali.
Mengapa kau menangis?
Hari itu kita berdiri berdekatan. Bersebelahan hampir beradu bahu.
Kita tidak saling bicara. Diam. Meski sebenarnya stasiun tak pernah
diam. Bising. Ketika kau melirik ke arahku dan aku berusaha tersenyum
berharap kau juga membalasnya. Setidaknya begitu. Namun tak semudah itu.
Sikapmu dingin. Dan itu tak pernah terjadi. Kau hanya memperlihatkan
matamu yang basah. Matamu yang merah. Matamu yang kaulempar ke arah
kereta api yang datang. Barangkali kau sedang menunggu seseorang.
Tidakkah kau mengulang melirikku sekali lagi? Tidakkah kau ingin
mengenalku? Aku sungguh berharap. Itu saja. Kau mengenalku.
Kau menunggu suamimu? Ya, benar. Aku baru ingat itu.
Kemarin, beberapa bulan yang lewat, suamimu pamit padamu. Tengah
malam. Tentu saat itu burungburung masih mendengkur meni mati mimpi yang
belum usai. Pesan singkat yang diterimanya membuatnya terburu-buru. Kau
tahu isinya?
“Urusan kantor. Mendadak,” katanya membenahi kancing bajunya.
“Apa tidak bisa menungu besok?” tanyamu setengah berseru.
“Penting, sayang. Satu minggu paling lama,” katanya, “baik-baik di
rumah,” pesannya meninggalkan jejak ciuman di pipi dan keningmu.
Kau hanya mendesah. Menatap derap langkahnya yang semakin jauh
mendekati pintu. Lalu kau menutupnya kembali dan meredupkan lampu. Kau
melanjutkan tidurmu. Betapa kau tak peduli bintang-bintang harap-harap
cemas di atas sana. Dan sebentar lagi fajar menyingsing. Bisakah kau
ingat mimpi apakah malam itu?
Hingga jam lima sore, siang begitu cepat menghitam. Bongkahan awan
hitam menggantung di atas langit. Harusnya aku masih bisa melihat
rambutmu yang terurai sebahu. Ah, akhirnya gerimis menyayat udara di
depan kita. Semua menjadi remang-remang. Tapi tenanglah, mataku masih
bisa menangkap bayangmu. Hujan semakin deras. Kita berlari menembus
hujan mencari tempat berteduh. Disana! Ya, di bawah pohon perdu kita
sama-sama menepi.
Lalu kau mulai merogoh isi tasmu. Kau mengeluarkan jaket bulu
berwarna cokelat tua lalu memakainya untuk berlindung dari dinginnya
percikan hujan. Saat itu aku mulai menyadari kau sedang mengandung.
Aku tambah iba melihatmu.
Aku semakin sedih, kau sedang hamil sedang suami tak bersamamu.
Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke rumah. Rumahku tidak jauh dari
stasiun. Kau dapat melihatnya dengan jelas andai saja hujan reda. Di
sana rumahku. Bersebelahan dengan toko butik yang cukup terkenal di
daerah ini. Nah, itu dia! Rumah berpagar besi dengan cat kuning
keemasan. Hujan reda, kau bisa beristirahat di sana. Atau kau mau
bermalam? Sungguh. Sungguh aku akan merasa senang. Akan kusuguhkan teh
hangat untukmu. Kau pasti kedinginan.
“Tidak. Terima kasih,” katamu menolak. Kau melangkah. Kau memutuskan
untuk pulang daripada menerima tawaranku (tak usah cemas, aku tidak
marah kau menolaknya). Karena kau memang belum tahu.
Besoknya kita kembali bertemu. Rupanya lebih awal dari kemaren.
Matahari baru saja mencorong lebih ke barat di atas kepala. Kau masih
menunggu suamimu?
Aku senang sekali kau jauh lebih berbeda hari ini. Kau menatapku
dengan tersenyum seolah kau mengenalku. Meski aku tahu sebenarnya matamu
masih terlihat sedih. Aku harap kali ini kau akan terbuka, kita
berkenalan begitu. Akan bercerita denganku betapapun sudah banyak kutahu
tentangmu, Naya. Sekali lagi kutanya, adakah kau tak ingin mengenalku?
Aku menatap parasmu dari samping, tak sepatah kata pun yang mencoba
keluar dari bibirmu. Hanya saja lipstik merah di bibirmu membuatmu
tampak lebih segar. Aku tekesan, kau benar-benar mempesona, Naya. O, ya,
tentang suamimu, sudahkah ia menghubungimu, atau kau menghubunginya?
Mengabarkan kapan ia akan pulang. Ah, kurasa percuma menanyakan padamu.
Kau tetap tak menanggapi satu pun yang kutanyakan.
Terhitung dari kepergian suamimu, sudah delapan bulan kiranya ia tak
kunjung pulang. Aku tahu kecemasan yang kaurasakan sangat menyiksamu,
terlebih kau mengandung janin di rahimmu.
Sore ini tak kelihatan akan turun hujan. Lihat saja langit begitu
cerah sampai nanti akan memerah jingga di ujung langit. Dan begitu mudah
bagimu menyelidiki satu demi satu orang yang turun dari kereta.
Barangkali suami yang kautunggu akan tiba hari ini. Mungkin saja ia
pulang dengan membawakanmu boneka india. Boneka kesukaanmu. Lalu
tersenyumlah sekali lagi. Kau pasti kelihatan lebih cantik daripada
senja yang sebentar lagi akan mengurap dinding langit.
Suara derit kereta terdengar. Tiga kali peluit dibunyikan pertanda
kereta akan segera berhenti. Jelas saja pandanganmu segera tertelan
olehnya. Kau tampak sibuk mengamati mereka yang tiba hari ini. Aku tak
begitu yakin dan menerka-nerka apakah suamimu akan tiba hari ini. Aku
berdiri tepat di sampingmu. Sejenak, aku menatap wajahmu dari samping,
berusaha mengamati sisa-sisa rindu di matamu. Jangan sampai meleleh.
Kita masih sama-sama diam. Hingga beberapa saat mendung kembali terurai
di matamu membentuk sayatsayat di pipimu. Kau kembali menangis, Naya?
Betapa aku harus iba terhadapmu. Dan kau harus tahu tentangku, Naya.
Namaku Laela. Hari itu aku mendapati seonggok boneka di gudang
belakang. Kau tahu? Itu boneka India. Sama persis dengan boneka yang kau
punya. Boneka yang mengenalkanku padamu. Aku tidak bisa menahan
penasaran yang tiba-tiba mengairi di kepala. Tak ada kanak-kanak di
rumah ini. Seorang pun, aku tahu tak ada yang suka boneka di rumah ini.
Suamiku? Kurasa tidak. Bi Nah? Kusangka bukan. Atau aku? Dengan jujur
kuakui tidak.
Aku memutuskan menanyakannya pada siapa pun di rumah ini. Semua
menjawab tidak tahu. Lantas? Kembali aku amati boneka asing tak bertuan.
Kubolak-balik barangkali ada tanda pengenal di sana. Pada saat itulah
mataku dengan jelas mendapati sebuah nama di bagian punggungnya. Dinda
Naya. Dadaku berdebar keras. Tangisku pecah membaca surat yang terselip
gaunnya. Selamat ulang tahun, sayang, aku telah membacanya sebelum kau. Lima tahun aku bersamanya, aku tak pernah tahu hubunganmu dengannya.
Sekarang, setelah sekian lama aku menyembunyikannya, haruskah aku
membencimu? Ah, kurasa percuma menanyakan padamu. Kau tetap tak
menanggapi satu pun yang kutanyakan. Kau lebih suka berdiam diri
meratapi kesesalanmu. Kita tidak saling bicara. Tepatnya, kita hanya
menunggu kereta yang akan membawanya pulang. Suami kita.
Hari sudah gelap, mari kita pulang. Ingin aku berbisik di telinganya, “Sampai jumpa besok, Dinda Naya.”
Suara derit kereta terdengar. Tiga kali peluit dibunyikan pertanda kereta akan segera berhenti. Akankah ia pulang sesore ini?
AINUN NAJIB. Lahir di Gili Raja, 26 Januari 1996. Saat ini aktif bergiat di LPM At-Tsaqafah STIQ Nurul Islam.