Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Fabel Bisri Nuryadi (Suara Merdeka, 13 Agustus 2017) Si Cantik dan Buruk Rupa ilustrasi Suara Merdeka
Di depan rumah sederhana, terdapatlah bunga sepatu yang mekar di atas
pot. Bunga-bunga itu tampak mempesona berwarna-warni. Ada putih, ungu,
dan merah. Suatu hari datanglah si kuning, seekor kupu-kupu cantik
menghampiri.
“Waahh… Bunga yang elok dan segar. Pasti banyak serbuk sari yang bisa
aku makan,” ucap si kuning sembari menciumi harum mahkota bunga.
Dengan gembira, ia lalu menuju kepala sari bunga. Di situlah si kuning mendapatkan makanan tersebut.
“Lezat sekali serbuk sari bunga ini,” gumam si kuning.
Setelah perutnya kenyang, ia segera pulang. Si kuning beranggapan
bunga itu bisa menjadi cadangan makanan selama sebulan. Karena itu,
esoknya ia kembali lagi untuk sarapan pagi.
“Selamat pagi bunga-bungaku yang cantik,” si kuning menyapa bunga sepatu.
Lalu ia melakukan hal yang sama seperti kemarin, yaitu menuju ke
kepala sari yang berada di tengah-tengah mahkota bunga dan memakan
serbuk sarinya.
Belum lama makan, ia mendengar suara siulan dari bawah.
“Suiiit… suiitt.”
“Eh.. siapa yang bersiul di bawah?” tanya si kuning.
“Ini aku si coklat, kamu siapa?” terdengar jawaban dari bawah.
Karena penasaran, si kuning lalu terbang dan hinggap di kelopak bunga.
“Aku si kuning. Kamu di mana?” kata si kuning sambil turun menghinggapi setiap daun-daun hijau yang rimbun.
Akhirnya si kuning menemukan dari mana asal suara tersebut. Namun
alangkah terkejutnya, karena melihat binatang yang ia anggap sangat
menjijikan.
“Iiihhh.. Binatang apa kamu? Kotor dan bau,” kata si kuning sambil menutup hidungnya.
Mendengar ucapan si kuning, si coklat menjadi minder.
“Maafkan aku. Aku hanya seekor cacing,” ucap si coklat menunduk.
“Hey… Cacing coklat jelek, kenapa kamu bisa ada di sini? Ini bunga makananku. Setiap hari aku ke sini,” bentak si kuning.
Si coklat mencoba menjelaskan, namun si kuning tetap tidak bisa
menerima alasan tersebut. Bahkan si kuning dengan tega mengusir si
coklat.
“Cacing jelek dan bau. Kamu harus pergi dari sini sekarang juga!”
Mendengar bentakan itu, si coklat menjadi sedih dan menangis.
Kemudian badannya yang panjang pelan-pelan melata meninggalkan pot dan
tanah kesayangannya.
Sejak saat itu, si kuning menjadi senang karena tidak lagi bertemu
dengan si buruk rupa yaitu cacing coklat. Ia pun bisa menikmati hidangan
serbuk sari dari waktu ke waktu.
***
Suatu hari bunga sepatu terlihat layu. Serbuk sarinya pun menjadi
hambar di mulutnya. Karena tidak kuat menahan lapar, kupu kuning segera
mencari bunga yang lain. Setelah terbang ke sana ke mari akhirnya
terlihat juga bunga yang sedang mekar. Namun ada kupu-kupu lain yang
hinggap terlebih dulu. Kupu-kupu itu bernama si oranye.
“Perutku lapar, bolehkah aku ikut menikmati sari bunga itu?” tanya si kuning memelas.
“Maaf, bunga ini menjadi persediaan makananku setiap hari,” jawab si oranye.
“Tolonglah aku, dari pagi aku belum makan,” rengek si kuning.
Merasa kasihan, si oranye akhirnya mempersilakan tamunya untuk makan.
“Memangnya persediaan makananmu yang dulu di mana?” tanya si oranye.
“Di depan rumah ujung sana.” Tangan Si kuning menunjuk ke barat.
Si kuning melanjutkan, “Tapi beberapa hari ini terlihat layu dan
tidak segar lagi. Padahal tanah dalam pot masih terlihat basah.”
Si oranye kemudian menjelaskan bahwa tanah yang hanya disiram air
belum tentu subur. Tanah yang subur itu harus ada cacingnya sebagai
penggembur tanah.
“Di dalam pot ini juga ada cacingnya,” lanjut si oranye.
Setelah mendengarkan penjelasan itu, si kuning menjadi sadar. Ia
menyesali perbuatannya karena telah mengusir si coklat. Walaupun wajah
si coklat buruk rupa, ternyata sangat berguna untuk pertumbuhan bunga
sepatu miliknya.
Si kuning lalu berpamitan untuk mencari si coklat. Setelah beberapa
jam mencari, ia akhirnya menemukan si coklat sedang menangis di bawah
pohon tetean.
“Si coklat, maafkan aku ya,” ucap si kuning sembari memeluknya. Ia
kemudian mengusap air mata si coklat dan berjanji akan menjadi sahabat
untuk selamanya.
Kini si kuning menyadari bahwa dengan wajahnya yang cantik, bukan
berarti harus sombong dan menjelekkan binatang lain yang buruk rupa.
(58)
Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 13 Agustus 2017) Semua Ayah Itu Sama ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosKABAR kepulangan arwah ayahku ke rumah sudah sejak
lama bukan lagi cerita yang mengejutkan untukku. Sampai kini, saat
menelepon, ibu ku masih kerap mengabarkan kalau ia kembali memergoki
arwah Papa pulang.
“Sosoknya begitu jelas. Ia masih mengenakan pakaian waktu meninggal,”
kata Mama dengan suara datar. “Aku baru habis makan ketika melihatnya
berdiri di bawah tangga. Ia hanya menoleh padaku sekilas, kemudian naik
ke lantai atas tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin ia cuma pulang untuk
melihat-lihat.”
Aku menarik napas pendek. Tidak mencoba menanggapi, hanya
mendengarkan saja Mama terus bercerita sampai akhirnya ia berganti topik
sendiri. Ya, kukira memang tak ada yang perlu aku tanggapi. Toh
demikian, aku mencoba membayangkan sosok Papa yang terlihat ibuku itu:
wajahnya yang tirus dengan tulang pipi menonjol, hidung mancung, dan
mata besar yang cekung. Namun kau tahu, betapa waktu memang kerap
memudarkan ingatan. Aku lagi-lagi jadi sedih ketika tak bisa mengingat
dengan persis warna kemeja yang ia pakai—apakah putih atau krem
muda—saat tubuhnya dimasukkan ke peti jenazah. Tetapi celana panjangnya
tak pernah aku lupa, berwarna biru tua dan sedikit kependekan untuk
kakinya yang panjang.
Itu bukanlah celana panjang milik Papa, namun pesanan seorang
pelanggan yang tak pernah diambil. Apa boleh buat, kala itu Mama tak
berhasil menemukan celana panjang yang cukup layak untuk Papa kenakan ke
alam baka. Meskipun ia seorang penjahit, Papa boleh dikatakan tak
pernah memiliki banyak pakaian. Dari tahun ke tahun, kemeja dan celana
panjangnya hanyalah beberapa setel yang ia pakai sehari-hari. Itu pun
sudah kusam dan dipenuhi lubang-lubang kecil berkas percikan api rokok.
Duh, tiba-tiba aku merasa begitu kangen pada Papa; pada
dongeng-dongeng, gurauan, bahkan kemarahan-kemarahannya. Mama pastinya
juga amat merindukan Papa, pikirku gundah. Jika sudah begitu, kembali
aku disergap oleh rasa bersalah lantaran mesti meninggalkannya begitu
jauh ke Jawa. Sebagai anak tunggal, bagaimanapun akulah satu-satunya
pelipur hatinya sepeninggalan Papa. Tidakkah Papa marah padaku karena
meninggalkan Mama? Atau, akankah ia bisa memaklumi aku jarang pulang
belakangan ini?
Aku jadi terkenang saat-saat masih duduk di bangku SMA. Kala itu Papa
kerap mengomel panjang-pendek setiap kali aku telat pulang ke rumah
selepas sekolah, apalagi jika aku sampai menginap di rumah teman tanpa
memberi kabar terlebih dahulu.
Tetapi arwah Papa tak pernah berkata apa-apa. Tidak kepada Mama
setiap ia pulang, tidak juga saat beberapa kali ia muncul dalam mimpiku.
Ya, berbeda dengan arwah nenekku (ibu Mama) yang suka bertanya ini-itu
jika menampakkan diri kepada Mama.
***
AYAHKU meninggal pada umur 59 tahun, awal November
1999. Dua tahun setelah Akong berpulang. Ketika ia jatuh sakit kemudian
bertambah parah, aku sedang berada di Lampung dan ikut terseret
“huru-hara” reformasi. Aku bergegas pulang begitu menerima kabar buruk
itu. Ia dirawat hampir satu setengah bulan di Balai Pengobatan Bakti
Timah, Belinyu. Komplikasi, kata dokter. Kena di ginjal, juga paru-paru
dan lambung.
Kami hanya bisa menghela napas. Dengan gaya hidup Papa yang
berantakan; makan tidak teratur, tidur tidak teratur, jarang minum air
putih dan perokok berat, ia memang rentan terkena bermacam-macam
penyakit. Lagi pula jika sakit ia tak pernah mau pergi ke dokter dan
cukup mengonsumsi obat-obat China yang dijual bebas di toko. Ia tak
pernah percaya pada medis Barat, apalagi di tangan fan ngin yisang. [1]
“Pengobatan Barat itu memasukkan racun ke dalam tubuh kita. Metodenya
adalah membunuh virus penyakit, tapi seringkali membuat badan kita jadi
semakin lemah. Berbeda dengan medis China. Metode dalam pengobatan kita
adalah memperbaiki kerusakan organ dan menguatkan pertahanan tubuh
sehingga serangan virus tak lagi mempan,” katanya suatu kali.
Ia benar dalam hal ini. Namun masalahnya, obat-obatan China yang ia
minum pun buatan pabrik yang melewati proses kiamiwi. Bukan obat herbal
China termashyur hasil riset ribuan tahun yang ia banggakan itu!
Kami sebetulnya ingin membawa ia ke rumah sakit yang lebih besar dan
komplit di Sungailiat atau Pangkalpinang. Tetapi keuangan kami kala itu
begitu sulit selepas krisis moneter. Untuk membayar rawat-inap Papa di
rumah sakit kelas C itu saja, Mama terpaksa meminjam uang pada salah
satu adiknya dan menjual perhiasan pemberian nenek saat ia menikah.
Kondisi Papa awalnya membaik dan ia diizinkan pulang oleh dokter
dengan catatan tiga hari sekali harus memeriksakan diri. Selama seminggu
ia tampak baik-baik saja. Saban petang ia malah terlihat begitu
bergairah mendengarkan siaran sandiwara “Sam Kok” [2]dan
undian lotre dari Radio Internasional Singapura [3] yang berbahasa
Mandarin. Bahkan pada hari terakhir dalam hidupnya, ia sempat membeli
kupon lotre dari Leu Sukkong yang datang ke rumah. Namun keesokan
subuhnya, mendadak ia mengeluh sesak napas. Aku dan Mama panik seketika.
Dan semua terjadi begitu cepat. Belum sempat aku memanggil dokter,
arwah Papa sudah keburu terbang meninggalkan jasadnya.
***
“SETAN barbar! Ular tanah India!” [4] sumpah
serapah dalam bahasa Hakka itu meluncur tak terkendali dari bibir Papa
yang gemetar setelah pemuda Melayu itu keluar dari toko jahit kami.
Wajah cekungnya tampak merah padam. Ia menggebrak mesin jahitnya, lalu
meludahkan segumpal dahak hijau kental ke lantai toko; teronggok
menjijikkan di antara perca-perca kain yang berserakan.
Luapan kemarahannya itu sering membuatku kecut, tak berani berada
dekat-dekat dengannya. Demikian pula Mama. Hanya kakekku yang tampaknya
tak begitu peduli. Akong terus bekerja di belakang meja besarnya,
membuat pola-pola kemeja di atas selembar kain dengan kapur, seolah-olah
segala sumpah serapah Papa yang menyakitkan kuping itu tidaklah lebih
mengganggu daripada siaran radio yang tak berada pada frekuensi tepat.
Pemuda Melayu itu telah mengakali Papa. Ia datang dan menyuruh ayahku
mengecilkan kaki celana jeansnya. Dan Papa sudah mencoba mengingatkan
kalau permintaannya itu tak masuk akal; ukurannya terlalu kecil sehingga
tidak bakal muat. Namun pemuda itu tetap bersikeras, sehingga Papa mau
tak mau menuruti keinginannya. Apa yang terjadi kemudian?
Keesokan harinya ia datang kembali ke toko kami membawa blue jeansnya
yang tak bisa dipakai dan meminta ganti rugi! Ya, dapat kami pahami
betapa gusarnya Papa. Meski, tentu saja, tak seorang pun di antara kami
yang tidak menyesali hal ini. Setiap kali Papa marah, kau tahu, suasana
rumah bakal terasa sesak, panas, dan muram. Apalagi jika kemarahan itu
berlanjut berkepanjangan. Semua orang jadi serbasalah; yang tak
tahu-menahu persoalan pun kerap ikut terkena percikan. Ibarat ujar-ujar
orang Hakka: “Mo sit polo ta to nen”. [5]
Tetapi apa mau dikata, sifat meledak-ledak tampaknya memang sudah
menjadi karakter Papa. Selalu ada saja hal yang menggusarkan hatinya dan
memicu kemarahannya: Paman bungsuku ketahuan mencuri uang Akong di
laci, masakan Mama terlampau hambar, Paman Ngiu Long salah menjahit kain
kasur, tim badminton putra RRC gagal merebut Thomas Cup, tebakan nomor
lotrenya meleset tipis, atau kegiatan gereja yang terlalu banyak menyita
perhatian Akong sehingga toko menjadi sedikit terabaikan…
Ah, terkadang terjadi perdebatan alot antara Akong dan Papa yang tak
jarang berujung pada pertengkaran hebat. Dua lelaki, ayah dan anak, tak
ada yang mau mengalah. Sama-sama bertabiat keras. Jika sudah demikian,
Mama biasanya akan memberiku isyarat agar masuk ke kamar. Namun tetap
saja pertengkaran itu cukup menarik untukku dan serta merta menjelma
jadi sebuah lakon-kisah yang seru. Bentakan atau gedebuk tinju di atas
meja tidaklah terlampau mencemaskan dari balik dinding papan kamarku, di
mana aku dengan tenang menyimak semuanya di atas tempat tidur.
Papa bahkan tak segan-segan mencaci-maki saudara-saudaranya—paman dan bibiku—dengan umpatan-umpatan menyakitkan seperti cu keu, silo, pot bun, san cu.
[6] Tentu bisa dibayangkan betapa kasar caci-maki yang terlontar dari
mulutnya saat ia terlibat percecokan (yang kadangkala nyaris menjelma
jadi baku-hantam jika tak segera dilerai orang-orang) dengan Bong Kim
Loi, tukang mi tetangga sebelah rumah kami. Walaupun sama-sama penggemar
berat Yang Yang dan Han Jian [7], keduanya memang bagaikan kucing dan
anjing. Sedikit saja bersenggolan, alamat palang pintu bakal teracung di
tangan. Ya, kendati bertahun-tahun kemudian, pada masa-masa terakhir
hidup Papa, keduanya kembali berbaikan layaknya dua orang sahabat lama
yang berjumpa lagi setelah sekian waktu.
Hanyalah kepadaku Papa tak pernah melontarkan makian kasar, meskipun
pukulan penggaris bambu tebal tak jarang mampir di tangan atau kakiku.
Dan itu sungguh menciutkan nyali…
***
NAMUN begitu, apabila suasana hatinya sedang baik, ayahku sebenarnya adalah tipe lelaki periang yang suka bercanda.
“A Ngo itu, kalau bayinya sampai keluar di tengah jalan, anak itu
harus diberi nama Lu Ngo!” [8] Demikian suatu kali ia mengomentari perut
seorang penjaja kupon lotre langganannya yang sedang hamil tua dengan
perut membusung besar namun masih tetap berkeliling jualan. Dan kami
semua tak bisa menahan tawa.
Ya, jika sedang senggang, lagi tak banyak pesanan jahitan, kasur,
atau pakaian yang mesti dipermak, atau semua pekerjaan itu sudah
dirampungkan atau boleh ditunda, Papa senang menemaniku bermain. Ia
membuatkan untukku banyak pedang-pedangan, mobil-mobilan, pistol dan
senapan dari kayu. Bahkan dijahitkannya buatku sebuah kerudung ninja.
Aku ingat betul, kerudung merah dari kain sisa menjahit celana seragam
SD itu dibuatnya tak lama setelah kami menonton film Black Ninja yang dibintangi Yasuaki Kurata.
Papa juga pernah membuatkan untukku sebuah kipas lipat dari bambu dan kertas yang dihiasinya dengan tulisan kaligrafi berbunyi “Yi lu shun feng” [9] yang membuatku merasa benar-benar menjadi Pendekar Harum, Chu Liu Xiang.
Ah, itu masa-masa kejayaan bioskop di Indonesia. Setiap malam turun,
di kota kecil kami, pusat keramaian akan bergeser dari sepanjang ruas
jalan di mana ruko kami berada di samping pasar ikan ke seputaran dua
buah bioskop besar, Belia dan Gelora, yang tegak berdekatan sejak zaman
Belanda. Suasana tak ubahnya pasar malam dengan warung kopi, toko
pakaian, kios sewa buku, toko kaset, gerobak-gerobak jajanan, penjual
mainan, dan warga—China maupun Melayu—yang tumpah ruah.
Bioskop Gelora yang awalnya bernama Mi Liong Cai lebih luas ketimbang
Belia yang mula-mula bernama Bioskop Bintang atau lebih dikenal oleh
orang-orang China sebagai Ng Sen Hi Jan. Namun Bioskop Belia memiliki
balkon, tempat orang-orang bisa menonton dari atas, tepat di bawah
lubang tembak proyektor. Di kiri-kanan bagian luar gedungnya terdapat
dua buah tangga beton untuk naik ke balkon tersebut dan sampai
bertahun-tahun lamanya setelah bioskop itu bangkrut, anak-anak kecil
masih suka bermain pelosotan di pegangan tangga besinya yang bulat.
Kedua bioskop berarsitektur Eropa itu sama-sama memiliki jadwal
tayang dua kali sehari, yakni pada pukul lima sore dan pukul delapan
malam. Namun keduanya punya segmen masing-masing. Jika Belia selalu
memutar film-fi lm Hollywood dan Mandarin, Gelora kebanyakan menayangkan
film India dan produksi dalam negeri yang digemari orang-orang Melayu.
Aku masih ingat bagaimana orang-orang Melayu entah dari kampung mana
saja keluar berbondong-bondong setiap kali film-film yang dibintangi
para pesohor Bollywood pada masa itu seperti Amitabh Bachchan, Sridevi,
Mithun Chakraborty, Hema Malini, atau Dharmendra ditayangkan Gelora.
Tetapi Papa tak suka film India. Seingatku hanya tiga kali ia berkenan membawaku nonton film India. Pertama film Hanoman, kedua Nagina, dan yang terakhir film Tarzan India dengan bintang Herman Birje. Nagina dan Tarzan tak mengecewakan dirinya. Namun tidak demikian dengan Hanoman yang membuat ia menggerutu panjang-pendek, bahkan bersumpah takkan pernah menonton film “jin tu thai so” [10] lagi.
Ya, kami lebih kerap menonton film di Bioskop Belia, terutama film-film wuxia produksi
Hongkong yang dibintangi oleh aktor-aktris idola Papa: Lin Ching Sia,
Lo Lieh, Ti Lung, Chen Kuan Tai, Hu Hui Chung, Cheng Pei Pei, Liu Chia
Hui, Erl Tung Sen… Tetapi toh se sekali aku dibawanya juga menonton film-film silat produksi dalam negeri di Gelora: Jaka Sembung, Tutur Tinular, Mandala dari Sungai Ular, Sundel Bolong.
Biasanya jam empat sore aku sudah disuruh Mama mandi, berpakaian
rapi, dan makan lebih dulu agar tidak kelaparan nantinya. Dan kau tahu,
betapa mendebarkannya saat-saat itu. Waktu serasa berjalan begitu
lamban. Namun begitu, aku seolah-olah sudah bisa membayangkan serunya
adegan-adegan kungfu dalam film yang akan kami tonton dari poster
selebaran yang kudapatkan sebelumnya. Poster-poster itu—yang biasa kami
sebut kai cau—dicetak bolak-balik di atas kertas berukuran A4,
kebanyakan dalam dua warna: merah dan biru. Tetapi untuk film-film
tertentu, yang tergolong box office, sering dicetak full colour.
Setiap hari, menjelang sore, mobil pengiklan film akan melintas di
depan ruko kami dengan suara speakernya yang soak: “Saksikanlah
beramai-ramai, Shaolin melawan Ninja! Pertama kali di bioskop kesayangan
Anda! Film besar yang membuka lembaran baru dalam dunia kungfu, jurus
maut tingkat tinggi! Menampilkan Alexander Lou…”
Dan kami, anak-anak, berlarian ke pinggir jalan, berebutan kai cau-kai cau terlipat dalam bentuk segiempat yang dilemparkan dari jendela mobil. “Awas ada motor!” teriak Mama cemas.
Papa juga mandi lebih cepat dari biasanya dan berganti pakaian
bersih. Aku suka melihat ia meminyaki rambutnya dengan Tanco, menyisir
rambut yang agak gondrong itu ke belakang lalu menekan-nekan bagian
depannya dengan tangan. “Ini rambut Elvis,” katanya nyengir. Tetapi aku
dan Mama lebih suka menyebut model rambutnya itu sebagai “kai kung ki” atau jambul ayam jago!
Berdua, kami, ayah dan anak, kemudian berjalan kaki menuju bioskop.
Ada banyak orang yang juga pergi menonton film dengan berjalan kaki dan
sesekali Papa saling menyapa dengan mereka. Kami berjalan ke arah barat,
di mana langit sore tampak memerah seperti udang rebus, terkadang
dengan ratusan ekor burung walet beterbangan ke sana-kemari. Ah, sampai
kini aku masih sering terpesona setiap kali mengingat pemandangan itu.
Kala itu, kendati belum banyak orang meninggikan ruko-ruko mereka
untuk memelihara walet, namun sebagai kota di pinggir laut sudah sejak
lama langit kota kecil kami senantiasa dipenuhi oleh burung-burung
berliur emas itu. Dan setiap pergi ke bioskop kami selalu melewati
sebuah rumah kayu tua bertingkat tiga yang menjadi sarang walet. Rumah
itu sudah reyot dan tampak sedikit miring, sehingga aku sering cemas
sewaktu-waktu ia akan ambruk menimpa orang-orang yang lewat di depannya.
Namun kata Papa, itu salah satu rumah terkaya di kota kami.
“Air liur walet itu mahal sekali karena bergizi tinggi. Biasanya dijual ke Singapura,” ayahku memberitahu. Toh, tetap saja aku tidak bisa menyingkirkan bayangan seram
yang tercipta dalam benakku setiap melihat rumah tua itu menjulang di
kejauhan dengan ratusan ekor walet meng itarinya sambil bercericit
ribut. Di bawah langit sore, di mataku, ia tak ubahnya istana drakula
yang kusaksikan dalam film-film. Dan, tentu saja, burung-burung walet
itu tampak olehku seperti kelelawar-kelelawar pengisap darah.
***
SEPERTI halnya diriku, ayahku lahir di tahun ular,
tepatnya 28 Februari 1941. Hanya setahun kurang sebelas hari sebelum
Jepang berhasil menduduki Pulau Bangka pada 17 Februari 1942.
“Kau tahu, kalau monster-monster cebol itu terlambat sedikit saja
menyerah, mungkin aku sudah mati,” demikian katanya sekali waktu.
Mungkin ia tidak berlebihan. Sebab lantaran kekurangan gizi, ketika itu
nenek hampir tak punya air susu. Akibatnya Papa pun terpaksa diberi air
perasan singkong.
Akong juga dilahirkan pada tahun ular 1917. Sehingga di keluarga kami
ada tiga orang yang bershio ular. “Keluarga ular,” begitulah Mama
sering berkelakar. Akong adalah ular tua, Papa ular muda, sementara aku
ular kecil, katanya sambil tertawa.
Syahdan, orang yang bershio ular mahir mengatur waktu, bijaksana
dalam segala hal, serta selalu penuh perhitungan. Tetapi kurasa tidak
seorang pun dari kami bertiga yang pandai mengatur waktu, tidak pula
cukup bijak dalam menghadapi berbagai persoalan. Barangkali kami memang
cukup perhitungan, namun hal ini menurutku justru sering merugikan.
Kerap membuat kami telat mengambil keputusan karena kelamaan
terombang-ambing.
Pada tahun enam puluhan akhir, Papa memutuskan berangkat ke
Palembang. Ia bertekad untuk mencoba peruntungannya sendiri, lepas dari
Akong. Namun setelah belasan tahun lamanya merantau, toh akhirnya ia
kembali juga ke rumah dan bekerja pada ayahnya. Tidak banyak yang kami
ketahui tentang episode kehidupan Papa selama di Palembang. Meskipun
ia—seperti halnya Akong—memiliki begitu banyak kisah yang bakal
membuatmu ternganga, merinding, atau tertawa, Papa tampaknya tidak
pernah berkenan bercerita banyak mengenai masa-masa tersebut. Kami hanya
tahu ia bekerja di sebuah penatu milik seorang keluarga jauh kami (yang
masih satu nama keluarga). “Se yi,” [11] begitulah jawabannya setiap ada yang menanyakan pekerjaannya di Palembang, dan selebihnya gelap.
Tak lama setelah kepulangannya dari Palembang inilah ia dikenalkan
pada Mama oleh seorang sanak. Mereka menikah pada tahun 1974 dan aku
lahir tiga tahun kemudian. Aku tidak tahu sebesar apa pengaruh
kelahiranku ini pada pilihan Papa untuk secepatnya beralih
kewarganegaraan menjadi WNI pada tahun 1980. Namun kukira hal ini cukup
menguatkan keputusannya. Apalagi Mama sudah jauh lebih dulu menjadi
Warga Negara Indonesia, yakni pada 1961.
Ya, seperti sejumlah orang China lainnya di Belinyu, bersama
paman-paman dan bibi-bibiku ketika itu ia buru-buru mendaftarkan diri ke
pengadilan negeri begitu terbuka kesempatan menjadi WNI. Kau tahu,
sebagai partai yang berkuasa, Golkar kala itu memang sengaja mempermudah
golongan China Peranakan yang lahir di Indonesia untuk mendapatkan
kewarganegeraan demi memantapkan legitimasi politiknya dan mendulang
perolehan suara pada pemilu 1982. Alhasil, berkat Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang Papa peroleh, pada akta
kelahiranku pun tertera kalimat “Dari daftar kelahiran untuk warga
negara Indonesia di Belinyu” bukan lagi berbunyi “Dari daftar kelahiran
untuk Golongan Tionghoa” sebagaimana yang tertulis pada akta kelahiran
dirinya.
Maxine Hong Kington barangkali benar bahwa semua ayah di dunia ini
kerap tampak sama. Tetapi tentu saja aku bersepakat dengannya akan hal
ini bukan lantaran seperti Tom Hong ayahnya, Papa juga pernah bekerja di
penatu. Melainkan karena membaca kisah sosok yang disapa Ed dalam novel
China Men itu, kurasa kita semua bakal menemukan betapa
beratnya perjuangan ayah kita ketika membesarkan kita; dan betapa mereka
memang selalu mengupayakan hal yang terbaik untuk anak-anaknya.
Hanya, Papa tak pernah memberiku nama Indonesia sebagaimana Ed
memberi nama Barat kepada Maxine. Ia cuma memberiku nama China “Sun Lie”
[12] yang bermakna doa pengharapan: sukses atau lancar. ***
Krapyak Wetan, Jogjakarta, Juli 2017
*) Cerita ini merupakan kelanjutan dari himpunan cerita “Memoar Pulau Timah”.
Catatan
[1] Mandarin: Fanren Yisheng, dokter bumiputra.
[2] Kisah Tiga Negara (Romance of the Three Kingdoms/Mandarin: Sanguo Yanyi adalah
sebuah roman klasik berlatar belakang sejarah dari zaman Dinasti Han
dan Tiga Kerajaan. Di kalangan Tionghoa di Indonesia, kisah ini lebih
dikenal sebagai Sam Kok (dialek Hokkian dari Sanguo atau Tiga Negara).
[3] Mandarin: Xinjiapo Guoji Diantai.
[4] Terjemahan dari Fan Gui dan Yindu Nishe, Hakka: Yindu Naisa,
sebuah olok-olok—di bawah pengaruh politik kolonial Belanda—terhadap
nama Indonesia yang kemungkinan berasal dari masa perang kemerdekaan
atau agresi militer Belanda.
[5] Bahasa Hakka, artinya: Tidak makan nangka kena getahnya.
[6] Cu keu: babi anjing, silo: mayat, pot bun: sejenis penyakit ayam, san cu: celeng (bahasa Hakka).
[7] Yang Yang dan Han Jian adalah dua bintang bulu tangkis RRC pada tahun 1980-an.
[8] Mandarin: Lu E, angsa jalanan.
[9] Mandarin: Yi lu shun feng, Secara harfiah: Sepanjang jalan searah angin, maknanya: Semoga lancar.
[10] Mandarin: Yindu taisha, India konyol.
[11] Mandarin: Xiyi, penatu/binatu.
[12] Mandarin: Shun Li.
Sunlie Thomas Alexander, lahir pada 7 Juni 1977 di Belinyu, Pulau Bangka. Pernah kuliah di Deskomvis ISI Jogjakarta. Bergiat di Komunitas Rumah Lebah.