Daftar Blog Saya

Rabu, 21 Maret 2018

Apakah Cinta Sepasrah Itu?

Cerpen Danang Cahya Firmansah (Pikiran Rakyat, 18 Maret 2018)
Surat Pagi ilustrasi Mariska Ratri Handayani - Pikiran Rakyat.jpg
Surat Pagi ilustrasi Mariska Ratri Handayani/Pikiran Rakyat
DYASS nama gadis itu. Gadis bertahi lalat di pipi kiri sebesar biji kacang tanah, wajah oval, rambut hitam mengilat itu selalu membuyarkan hari-hariku sejak kali pertama melihat dia dan kemudian berkenalan. Awalnya dalam beberapa diskusi buku di kampus, ia selalu hadir. Ia datang bersama kawan-kawan perempuan, dan aku datang bersama kawan-kawan laki-laki. Dia selalu memandangku, berkali-ulang dalam setiap acara diskusi buku.
Bermula dari gesekan mata kami, kemudian aku memberanikan diri berkenalan. Lalu kami tukar kontak nomor hape. Saat bertemu, kami tak banyak ngobrol, namun mata kami lebih banyak berkata.
Setelah mendapat nomor dia, aku langsung menyapa lewat SMS. Dia pun membalas, dan obrolan pun berlanjut. Obrolan yang membuat hari-hariku terisi lambungan harapan-harapan bahwa dia segera menjadi milikku.
Dyass pun membalas setiap pesan yang kukirim dengan hangat, seperti seseorang yang lama kenal. Kami berdua dengan mengandalkan sinyal, bercakap-cakap banyak hal, tentang perkuliahan, keluarga hingga menjurus soal cinta. Ya, soal cinta.
Obrolan lewat dunia maya terasa kurang mantap. Aku meminta bertemu Dyass keesokan hari. Dyass dengan antusias mengiyakan. Oh betapa indah dunia, aku merasa tak rugi telah membeli pulsa dan paketan internet. Usahaku di dunia maya kuubah ke dunia nyata. Aku ingin bertemu langsung sambil menatap mata, tahi lalat, dan rambut hitamnya.
Kami sepakat bertemu.
Saat bersama di sebuah kedai, aku memendam rasa gugup. Keringat dingin membasahi tubuh. Sesekali aku mencium aroma tubuhku, apakah minyak wangi yang kusemprot ke tubuhku kalah oleh bau keringatku? Aku salah tingkah.
Namun Dyass seperti tak merasa gugup. Dia bicara dengan mengalir diiringi tawa. Saat ia tertawa, aku pun tertawa. Meski tawaku bukan lantaran lucu. Aku tak enak hati pada orang yang tertawa di depanku. Sekaligus agar dia tak tahu kegugupanku.
Setelah berjam-jam di kedai, kami pun pulang ke kos masing-masing. Dan malam- malam berikutnya kami sering bertemu. Intensitas pertemuan itu membuat kegugupanku lenyap. Kini cinta bangkit di jiwaku.
***
PADA hari-hari berikutnya hubungan kami makin akrab, kian dekat mengikat erat. Aku tumbuh kangen jika tak bertemu, tumbuh gelisah jika tak ada kabar dari dia. Dyass menjadi candu yang kian hari membuatku tak bisa lepas. Seperti ada tali mengikat, bagai lem yang merekatkan.
Sebagai lelaki, aku sadar dalam membangun hubungan cinta, lelakilah yang sepantasnya memulai, mengutarakan, bukan malah memendam menimbun rasa yang kian menumpuk. Tergerak atas kesadaran itu, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku, menyatakan cinta, sekaligus memintanya menerima menjadi pasanganku.
Malam itu juga aku memintanya bertemu. Seperti hari-hari biasa, ia pun mengiyakan. Ya, pada malam itu saat di perjalanan, keringatku keluar membasahi badan. Keringat yang keluar dari rasa gugup seperti kali pertama bertemu. Aku memikirkan rangkaian kata yang pas dari mulutku untuk membungkus ungkapan perasaan. Perasaan yang menggumpal, bermula dari sorot matanya yang tertuju padaku setiap acara diskusi buku.
Sesampai di kedai, dia justru telah datang lebih awal, menungguku. Dyass duduk dengan berpakaian serba merah, bibir berwarna merah darah. Lampu kedai yang remang membuat dia bagai meteor terbakar di langit malam. Bagiku dialah pusat perhatian.
Setelah memesan minum, kami ngobrol. Kegugupanku makin merunyak bangkit seperti kali pertama aku mengajaknya bertemu di kedai ini. Saat aku hendak mengutarakan isi hatiku, tiba-tiba lidahku kelu dan kaku. Kata-kata macet di tenggorokan. Dada sesak.
Dyass malah memegang tanganku yang bergerak-gerak karena salah tingkah. Ya. ketika tanganku di atas meja, dia segera meremas lembut sambil berkata. “Maukah kau jadi pasanganku?” Aku tercekat kaget. Hatiku berdebar-debar hebat, antara bahagia, malu, dan benci menyeruak di rongga dada.
Suka karena dia ternyata menyimpan perasaan sepertiku. Malu, sebagai lelaki sepantasnya aku mengutarakan lebih dulu. Benci karena kejantananku ternyata lebih kecil dari tahi lalat gadis di depanku. Sialan!
“Kenapa melamun? Keberatan ya atas permintaanku?”
Lamunanku buyar. Aku segera mengangguk keras. Dan, ganti meremas tangan Dyass. Dyass pun tersenyum, matanya berbinar-binar bagai bintang berkelipan di langit malam. Oh, betapa bahagia hatiku saat itu, meski masih memendam benci pada diri sendiri.
***
HARI-HARIKU kini tak menggigil lagi. Dyass mewarnai kain kanvas kosong di hatiku dengan lukisan-lukisan indah. Namun segera, lukisan itu tercoret oleh tinta hitam yang membuyarkan keindahan. Aku sebenarnya telah curiga, namun perasaan itu selalu kusingkirkan. Kecurigaanku itu tanpa sengaja menemui titik jelas. Curiga berubah menjadi percaya. Dyass ternyata memiliki pacar selain aku.
Aku sangat cemburu mengetahui perkara itu. Kejelasan itu berawal saat kubuka hape dia dan tanpa sengaja membuka pesan dari seseorang cowok di kontaknya. Kontak itu ia namai Honey. Kuperiksa nomornya dan ternyata bukan nomorku. Hampir saja hape itu kulemparkan ke muka Dyass. Sekuat hati aku mengendalikan amarah. Namun perlahan kubaca pesan itu kembali. Pesan berisi amarah seorang cowok. “Aku sangat cemburu mengetahui kau bersama cowok lain. Sudah lima tahun kita bersama, tapi kau….”
Aku tak melanjutkan membaca pesan itu. Aku justru membayangkan betapa lebih sakit hati si cowok itu ketimbang aku. Aku baru seminggu menjalin cinta dengan Dyass pun merasakan sakit seperti ini! Apalagi jika telah lima tahun? Amarahku pun surut. Meski belum lenyap tuntas.
Aku bertanya pelan dengan nada berat perihal statusnya. Dia pun mengakui. Cowok itu bernama Made, mahasiswa asal Pulau Dewata. Namun dia tak kuasa memilih aku atau Made. Dia tak kuasa. Dyass menangis sesenggukan. Tangisan itu meluluhkan perasaanku. Amarahku bertumpuk oleh belas kasihan.
Sejak kejadian itu aku pun bingung antara memilih melepaskan Dyass atau tetap menjaganya dengan status memiliki pacar selain aku. Setelah berhari-hari, aku menegaskan untuk menjaga Dyass, dengan alasan suatu saat Made tak betah dan menyingkir.
Aku selalu berbuat baik pada Dyass. Sering pula aku menanyakan kabar mengenai Made. Meski penuh kemarahan, namun aku tutupi sekuat hati.
Suatu ketika Dyass bercerita kalau Made sedang sakit. Ya, aku segera mencarikan obat dan memberikan pada Dyass. Dengan langkah semacam itu aku berharap Dyass lebih memilihku karena kebaikanku. Namun hingga berbulan-bulan, Made masih bertahan bersama Dyass.
Di kontak nomor hape Dyass, nama Honey ada dua. Honey 1 dan Honey 2. Honey 1 adalah Made dan Honey 2 itu aku. Hal ini, kata Dyass juga diketahui Made.
***
SAAT bulan memasuki musim pancaroba tepatnya pada Oktober, aku mengalami flu berat. Kukabarkan keadaanku pada Dyass. Ia pun segera datang ke kosku membawakan banyak buah dan beberapa tablet obat. Aku tersipu. Betapa perhatian dia padaku.
“Kaubeli di mana buah ini?”
“Aku nggak beli, Sayang.”
Aku kaget dan bangkit dari rebahan.
“Lantas?”
“Ini dibelikan Made. Dia bilang, ini buat kamu, Sayang.”
Oh betapa mulia hati dia. Lalu sampai kapan ini berakhir? Kataku dalam hati.
Dyass memegang dahiku. “Oh panas sekali suhu tubuhmu, Sayang.”
Tubuhku tetap panas, namun setelah dia mengusap dahiku, amarahku pun reda.
“Bagaimana kabar Made?” tanyaku kemudian sambil merebah lagi.
“Baik kok, Sayang,” katanya sambil mengupas jeruk untukku. ***

Daun yang Sombong, Bunga yang Bodoh, dan Rumput yang Pasrah

Cerpen Adi Zamzam (Tribun Jabar, 18 Maret 2018)
Daun yang Sombong, Bunga yang Bodoh, dan Rumput yang Pasrah ilustrasi M Nurhamzah - Tribun Jabar.jpg
Daun yang Sombong, Bunga yang Bodoh, dan Rumput yang Pasrah ilustrasi M Nurhamzah/Tribun Jabar
ANGIN berembus sepoi, namun cukup kuat untuk menguarkan harum semerbak bunga-bunga yang sedang bermekaran di pucuk pepohonan depan sekolah dasar itu.
“Karena harumku, kalian lihat saja nanti, kumbang-kumbang pasti akan berebut singgah ke sini. Karena kecantikanku, kalian perhatikan saja nanti, kupu-kupu pasti takkan mau kalah untuk mencicipi maduku.”
Aku, yang sering kesepian dalam deraan umur yang sudah sekian lama ini, hanya terdiam. Drama seperti ini sebenarnya sudah sangat aku hafal. Tentu aku sadar bahwa takdir semacam ini harus bisa kami terima dengan lapang dada jika tak ingin terus-menerus merana. Toh sakit telinga ini hanya semusim.
Tapi kalian tentu bisa membayangkan seberapa kadar penderitaan telinga kami ketika musim itu tiada henti mengirimkan angin panasnya.
“Karena kami tidaklah seperti makanan hama semata.”
“Karena kami bukanlah hanya penambah kesuburan tanah sebelum punah.”
Maka ketika musim yang memekakkan telinga itu hampir tiba, kami pun harus sudah mempersiapkan mental untuk mendengarkan kalimat-kalimat menyakitkan semacam itu.
***
KETIKA itu hujan mampir lama di beranda kami. Dengan sifat sejuk dan kebeningan menerjemahkan cahaya kepada mata, ia menitipkan sebuah sajak yang entah bagaimana langsung bisa menghunjam ke dalam kalbu kami.

Sebab kelopak mata
butuh sekian detik untuk terbuka
dan menemukan cahaya

“Persoalan akrobatik bahasa memang selalu menimbulkan kerancuan dalam penyampaian makna,” gumamku, di depan serpihan hujan itu.
“Ah, bias makna itu sebenarnya adalah masalah hatimu sendiri. Segala yang terlihat pada akhirnya menjadi bias lantaran tercampur aduk dengan masalah masing-masing individu.”
Seberkas cahaya yang memancar terang dari bulir tubuhnya membuatku kesilauan, tak mampu berujar apa-apa.
“Apa?” tanyanya.
“Aku tak mengerti. Kau masih saja seperti itu. Seolah kau adalah utusan langit yang butuh kebijaksanaan level tertentu jika ingin memahami bahasamu.”
“Sabarlah,” ujarnya, :kau pasti akan mengerti maknanya, saat waktunya tiba,: jawabnya dengan gaya filosofis lagi.
“Jadi aku harus menunggu, hanya untuk memahami celotehmu yang sok tahu itu? Duh, seolah-olah perkataanmu dapat berkecambah dalam pemahaman saja.”
“Memang,” tangkisnya. Dengan nada amat yakin.
Dan aku mulai mual. Toh ia hanyalah seorang pengembara yang setelah ini akan hilang entah ke mana.
***
KAMI masih menunggu ketika musim kemarau membawa bisikan-bisikan riuh nan jahat. Kami bersorak ketika gerumbul bunga-bunga sudah mulai berguguran, mengering, dan kemudian kembali menyatu dengan tanah. Diam-diam ada doa jahat yang mengendap-endap dalam gelap—semoga bunga-bunga nan sombong itu tak pernah muncul lagi!
Tapi tentu saja aku sadar bahwa doa itu takkan terwujud jika siklus kehidupan masih berjalan seperti biasanya. Mestinya memang ada kebiasaan yang harus diubah untuk mendapatkan perubahan yang pasti.
Ketika kubisikkan hal itu kepada teman-teman, kami sepakat menamainya Revolusi untuk Perubahan Masa Depan. Musim kemarau kali ini pun menjadi musim paling berat yang harus dilewati, hingga tubuh kami terlihat mengerut lantaran kekurangan bahan makanan.
“Apa kalian tak merasa sedang menyiksa diri sendiri?” akar-akarlah yang pertama kali memprotes tindakan kami. Itu wajar saja, sebab bahan makanan yang mereka setorkan sebagiannya kami tolak—hingga konon membuat mereka “hamil palsu”. Tapi bukannya senang dengan beban kerja yang bertambah ringan, mereka justru mengkhawatirkan stamina pohon yang mereka topang.
“Tanpa makanan dan gizi yang cukup, bagaimana ia bisa menopang kehidupannya dengan baik? Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?”
“Kami masih menunaikan tugas kami,” kami pun berkeras dengan rencana itu. Tak peduli kepura-puraan itu telah diketahui.
***
KETIKA pertumbuhan sang pohon tersendat, angin yang lewat terdengar mengeluh sayu perihal bunga-bunga yang tak dapat lagi mereka jumpai. Kami juga bersorak tatkala mendengar lagu-lagu patah hati dari para kumbang yang terdera rindu dan rasa kehilangan.
“Andai saja mereka mau mengakui jasa kita, sedikit saja,” gumam salah seorang sejawatku.
Dan kesedihan yang mereka tanggung itu semakin kompleks tatkala beberapa manusia yang biasa memuji-muji kami (lebih tepatnya hanya memuji-muji bunga) mendadak menyatakan bahwa kami (satu pohon) hanyalah parasit lingkungan yang seharusnya disingkirkan demi kebaikan bersama. Kami baru menyadari bahwa musim ulat telah membawa sejumlah pasukan herbivora yang kembali mengingatkan kami dengan ejekan-ejekan yang amat menyakitkan itu.
Dasar makanan ulat!
Hanyalah daur ulang kotoran ulat!
Didih amarah akhirnya sempurna membakar kesabaran kami. Sampai di sini, ketika kami berhasil membuat bunga-bunga itu tak pernah lagi muncul ke dunia, kami benar-benar merasa senang dan puas. Apakah kalian masih bisa mendengar semua ejekan itu lagi, sekarang?
Seperti ada yang meletus-letus di udara, dan bingarnya memenuhi pendengaran. Diam-diam kami pun bersorak.
“Hidup, para kuli!!”
“Hidup, para budak!!”
Semacam teriakan sarkastis untuk merayakan kemenangan berhamburan tak karuan.
***
SEMUANYA berubah hampa tatkala pohon tempat kami bersemi rebah ke tanah dengan pasrah. Oksigen mulai menciut. Sekujur kulit terasa mengering dengan begitu cepatnya. Kami berlomba tersengal. Sungguh tak disangka jika akhirnya mereka benar-benar memutuskan menebang dan menghilangkan kami.
Dalam perjalanan menuju sekarat itu kami sempat mendengar alunan nyanyian merdu kaum rerumputan, yang persis berada di bawah tubuh kami yang telah tumbang.

Mengapa mesti risau dengan hidup
yang kembangnya hanya mekar satu pekan
Cukuplah dirimu menghirup udara segar
Dan setelah tuntas manfaat
Kematian adalah kado berbungkus biru

Nyanyian yang terdengar seperti ejekan. Tawaku tersulut ketika seekor kambing tiba-tiba datang melahap mereka dengan bahasa kerinduan tak terperi. Seolah nyanyian itulah yang justru memanggil para penguasa rantai makanan itu.
Hampa. Setelah itu aku benar- benar disergap perasaan hampa yang semesta. Aku merasa ada yang telah tersia-sia.
Kubayangkan, andai diriku adalah kaum rumput yang malang itu, pasti diriku sekarang akan menjalani sebuah perjalanan panjang seperti yang pernah dikatakan mereka, “Seharusnya kalian bisa melihat kebahagiaan dari sudut pandang lain. Bahwa kebahagiaan tak melulu bermuara dari pujian semu.”
Lagi-lagi kalimat itu terdengar seperti menyindir. Apalagi kemudian mereka meneruskan dengan…
“Mempersembahkan sekuntum bunga seharusnya adalah kebahagiaan paling besar bagi kita,” sembari menari bersama angin yang sependapat dengan kalimatnya. Bunga nan halus yang baru saja mekar di ujung tubuhnya terlihat seperti mahkota yang menambah keelokannya.
“Bagaimana jika bunga itu justru membuat hidupmu terasa buruk dan tak berarti?” protesku.
“Itu lantaran lagi-lagi kalian tak mau memandang segala sesuatu dari sudut pandang kedua.”
Percakapan itu menghilang seiring dengan perginya seekor kambing yang masih saja mengembik kelaparan.
Sementara dalam detik-detik menjelang padamnya penglihatanku, sebuah doa telah melesat sedemikian cepatnya ke udara. Semoga saja di kehidupan selanjutnya aku dikaruniai bunga-bunga yang tahu berterima kasih dan sadar akan asal-usulnya.

Banyuputih – Kalinyamatan, Jepara, 2017
Adi Zamzam lahir di Jepara, Jateng, 1 Januari 1982. Cerpennya tersebar di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, dan lain-lain. Bukunya antara lain Menunggu Musim Kupu-kupu-Kumpulan cerpen (Basabasi/DIVA Press Grup, 2018).

Balada Seorang Gemblak

Cerpen Devi Eka (Radar Surabaya, 18 Maret 2018)
Balada Seorang Gemblak ilustrasi Fajar - Radar Surabaya
Balada Seorang Gemblak ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Klik.
Angger menutup teleponnya. Gamang, kabut hitam menyelimuti semesta batin. Suara adik perempuannya menyadarkan, ia belum terpisah dari masa lalu. Kata-kata merajuk bak aliran derita tiada putus, merongrongnya menghadapi hidup yang ingin ditinggalkan. Haruskah ia pulang ke Ponorogo setelah sepuluh tahun melarikan diri?
Angger merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya berkeliaran. Wajah-wajah dari masa lalu berkelebatan. Cerita-cerita terurai dalam alur liku ngilu. Ternyata Surabaya tak membebaskannya. Jarak terentang hanya pilinan bumi yang menyeretnya pada luka menahun. Tubuhnya di sini, tetapi jiwanya tertinggal di sana. Hatinya terus menjerit kecewa, mendendam kenyataan yang tak diinginkannya. Ia ingin menyudahi segalanya. Namun suara-suara liar membentangkan lembaran cerita yang belum tamat, belum ada titik akhir. Dan pelariannya semakin memperdalam beban diri, leluka hati. Barangkali sekarang saatnya.
Masa sepuluh tahun tak memadamkan bara. Tiada guna membakar lebih lama. Biarlah hangus menjadi abu bila itu jalannya. Ia menarik napas dalam, diembuskan sangat pelan. Ia akan menamatkan gejolak ini, mengakhiri jeritan hati. Biarlah yang terjadi biar saja terjadi. Ia pasrah tanpa menyerah, meski hilang arah.
Telepon menyala. Satu pesan masuk.
Kesehatan Warok Sumitro semakin kritis. Hanya nama kamu yang disebutnya, Ngger. Dokter sudah angkat tangan. Pulanglah, Ngger, pulanglah.
***
Bus Restu bergerak meninggalkan terminal Bungurasih, Surabaya. Angger duduk di pojok paling belakang. Ia memejamkan mata, berusaha tidur. Tak bisa. Endapan kenangan terangkat ke permukaan, membentuk jalinan cerita hidupnya, yang kembali terulang di benaknya. Ia menggigit bibirnya sendiri. Getir.
Angger baru lulus Sekolah Dasar. Ia memendam keinginannya melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Bapaknya telah meninggal dunia. Ibunya sakit-sakitan. Adiknya kelas tiga Sekolah Dasar. Ia menjadi tulang punggung keluarga. Entah apa yang akan dikerjakannya. Mungkin menjadi buruh tani, kuli batu, atau tukang kebun. Tak ada pilihan lebih baik. Ia hanya ingin melanjutkan hidup keluarganya. Apa boleh buat, mimpinya sekolah tinggi harus diluruhkan dari pikiran.
Sore itu, perempuan separuh baya bertandang ke rumah. Melihat ibunya terbaring di amben bambu, mengamati rumahnya yang reot, dan mengenaskan. Angger diajak keluar rumah. Duduk di bangku kayu. Perempuan itu mengamati dari kepala sampai kaki. Terlihat puas. Entah apa yang hidup di pikirannya. Lalu melambaikan tangan ke kusir dokar. Kusir turun dari dokar sambil membawa bungkusan besar.
“Angger, Cah Bagus, ini titipan dari Warok Sumitro,” ucapnya sopan.
“Matur suwun.” Ia mengangguk, menunduk-nunduk.
Lalu perempuan itu beranjak naik dokar, meninggalkannya dalam tanya kabur. Tumben Warok Sumitro memberi oleh-oleh? Ia masuk ke dalam rumah, membuka bungkusan berisi bahan makanan dan amplop uang.
Ia menjerang air untuk menanak nasi. Bahagia membalut hatinya. Setelah berhari-hari makan gaplek, hari itu bisa menikmati nasi putih, sambal terasi, dan kerupuk udang. Syukur, berkah hidup.
Seminggu kemudian, perempuan itu datang lagi, mengajaknya ke rumah Warok Sumitro. Ia lekas mandi, pakai baju terbaik. Niat hatinya mengucapkan terima kasih. Di atas dokar, ia menimbang kata, bagaimana mesti mengucapkannya. Krama inggil. Ya, itu yang terbaik. Ia menebarkan pandangan ke kanan-kiri jalan. Hamparan padi menguning, pokok-pokok tebu, kekayaan kampungnya, kemiskinan hidupnya. Ia merasa senasib dengan kuda penarik dokar dan penumpang, berimbal rumput dan air putih. Nasib orang kecil, orang miskin.
Tiba di rumah priyayi itu, ia duduk di ruang tamu dalam takjub sekaligus gentar. Bunyi selop berderik meletupkan hatinya. Ia menundukkan kepalanya, melirik dengan ekor matanya. Warok Sumitro duduk di hadapannya, mengisap rokok. Wajahnya bertabur bulu hitam, perutnya buncit, geraknya menandakan perkasa. Hening. Priyayi itu terus menelisik tubuhnya dari hadapannya. Ia hanya mampu diam gemetaran.
“Angger, Cah Bagus, katanya kamu sudah lulus sekolah?” Suaranya menggelegar mantap.
“Inggih, Ndoro.”
“Pingin sekolah SMP, Ngger?”
“Inggih, Ndoro.”
Sejak detik itu laju hidupnya berubah arah. Warok Sumitro menjadikannya gemblak. Kebutuhan keluarganya dicukupi. Ibunya diobati sampai sembuh. Biaya sekolah adiknya ditanggung semua. Rumahnya diperbaiki. Seekor sapi di kandang belakang rumah, prasyarat pinangan. Ia melanjutkan sekolah, tinggal di rumah sang warok, menapak hidup dengan pemahaman baru. Setiap malam Warok Sumitro ngeloni sambil menembang Jawa. Ia damai. Seolah yang pergi telah kembali, yang kosong terisi. Dekapan hangat mengingatkan pelukan almarhum bapaknya. Kebutuhan batinnya tercukupi. Ledakan gejolak akil baliq terluahkan di dalam kamar. Ia dan Warok Sumitro menggila dalam epos malam banjir keringat. Angger hadir di setiap pagelaran reog, kumpul-kumpul sinoman, atau jalan-jalan keliling kampung. Suara-suara memuji ketampanannya. Sepasang alis tebal hitam, sinar mata jerih, bibir ranum, dan kulit kuning langsat bersih. Ia diam, menatap Warok Sumitro tersenyum bangga. Entah apa yang membanggakan dari dirinya. Terkadang ia tak bisa berkelit dari warok-warok lain yang menggodanya, menjawil bagian tubuhnya. Tetapi, ah, itu sudah risiko menjadi pemuda tampan. Dan perasaan muda menumbuhkan cinta. Angger melihat Warok Sumitro tidak lagi sebagai malaikat penolong, melainkan kekasih. Perasaan memiliki mengikatnya dalam manja, tak ingin terpisah. Di sisi lain, ia tak mampu menyelami kedalaman hati pujaannya. Adakah perasaan sama atau sekadar laku budaya? Taburan bahagia seakan tiada habisnya. Ia mencoba percaya, itu bukti cinta yang sama.
Ada yang tak bisa ditepis: waktu. Tahun-tahun mengalirkan madu cinta. Tibalah akhir muara. Angger masuk SMA. Suara-suara warok di luar rumah menggerogoti batinnya. Seharusnya Warok Sumitro mengakhiri penggemblakan ini. Seharusnya Warok Sumitro mencari gemblak baru yang lebih muda. Ia menepis suara-suara itu. Percaya penuh, Warok Sumitro mempertahankannya. Desas-desus menguat. Para warok menggelar pertemuan untuk membicarakan hal itu. Batas telah dilanggar. Harus diingatkan. Keputusan pun mengacu masa lalu. Gemblak baru harus dihadirkan mengganti gemblak lama. Gemblak lama diwariskan pada warok lain. Begitulah. Akhir budaya. Tiada pertimbangan cinta.
Pripun?” Ia bertanya.
Embuh, Ngger,” jawab tuannya menggantung.
Hatinya panas. Ia tak sudi dimainkan bak bola pingpong. Ia ingin terus bersama sampai tua. Ia menggerutu ngilu, mengunci diri di dalam kamar. Kecewa hatinya menyadari tak ada balasan cinta yang sama, yang diperjuangkan berdua. Cintanya hanya benalu dalam tangguhnya cengkeraman budaya. Apa yang terjadi esok hari, leluka sama dengan gemblak sebelumnya. Apa boleh buat.
Ia terbangun lebih pagi. Kuda meringkik di halaman rumah. Ia menajamkan telinga, mengintip dari celah jendela. Perempuan separuh baya yang dulu menjemputnya, sekarang membimbing anak lelaki bau kencur. Cemburu merobek-robek hatinya. Ia meratap, menangis sejadi-jadinya, sambil memukuli Warok Sumitro yang masih tertidur. Warok Sumitro gelagapan menerima serangan di pagi buta. Begitulah. Cinta muda terluka budaya.
Angger memilih meninggalkan Ponorogo, minggat ke Surabaya, daripada menghancurkan diri dengan warok lain atau menikahi perempuan. Kecewanya meradang tak tertebus perasaan. Lukanya tak tersembuhkan. Ia melarikan diri dari segala masa lalu. Menggantinya dengan cengkeraman hidup metropolitan. Dan ia bersumpah tak akan pulang ke kampung halaman lagi. Sumpah yang ternyata goyah.
***
Setelah enam jam perjalanan, Ponorogo menyambutnya bak kawan lama. Ingatannya tertumpu pada cerita-cerita adiknya setiap kali telepon atau berkunjung ke Surabaya. Cerita tentang penyesalan Warok Sumitro melepas dirinya, tak sudi mengambil gemblak baru, dan hidup sendiri dalam tembang nelangsa Jawa. Ah, kalau pun benar, masihkah ada gunanya? Tak ada. Nasi sudah menjadi bubur. Segalanya telah berubah. Seperti wajah Ponorogo yang menggeliat dengan kosmetik modern bernama kemajuan. Dari atas ojek, ia mengamati setiap sudut kota berbenah. Ya, hidup menawarkan dua hal: mengikuti perubahan atau terlindas zaman.
Rumah itu sepi. Tak seramai dulu. Ia melangkah masuk diiringi tatapan asing para pembantu. Kamar itu terbuka. Ia mempercepat langkahnya. Berhenti di dekat pembaringan, duduk di tepiannya. Di hadapannya, Warok Sumitro terlihat kurus kering, hilang keperkasaannya. Matanya terpejam. Deru napasnya pelan. Ia meraih telapak tangan yang terkulai, mengecupnya lembut. (*)

Penulis tinggal di Purworejo, Kedu. Sejumlah cerpennya sudah dimuat di berbagai media cetak.

Ziarah Kawan Lama

Cerpen Basuki Fitrianto (Lampung Post, 18 Maret 2018)
Ziarah Kawan Lama ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Ziarah Kawan Lama ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Malam, di sebuah pekuburan. Nisan-nisan itu seakan sepasukan prajurit perang yang sedang tidur pada sebuah tanah lapang. Tidur yang dibalut mimpi kesunyian panjang dan dingin. Cahaya bulan menimpa hamparan nisan, seakan selimut tidur keabadian. Pohon-pohon kamboja dengan angkuhnya berdiri selang-seling di antara nisan. Seperti para penjaga ruh. Kumpulan kunang-kunang, kuku-kuku orang meninggal itu, beterbangan bercahaya.
Dalam kesunyian yang ngelangut itu, terlihat seorang lelaki sedang jongkok di samping salah satu nisan. Terlihat seperti bayangan. Hanya sebagian wajahnya terlihat agak jelas karena tertimpa cahaya bulan. Nama lelaki itu, Harto. Sudah hampir setengah jam ia jongkok di tempat itu memandangi nisan di hadapannya. Sesekali tangan kanannya menepuk-nepuk batu nisan. Kini ia perlahan berdiri. Menggerak-gerakkan kedua kakinya mencoba menghilangkan rasa kesemutan.
“Maaf, baru kali ini aku bisa menemuimu,” kata Harto pelan, seakan ia bicara pada dirinya sendiri.
“Sudah berapa tahun sejak kau meninggal aku tak menemuimu? Sepuluh tahun? Sebelas tahun?” Harto mencoba mengingat-ingat.
“Hemm, mungkin lima belas tahun? Ya, lima belas tahun. Sahabat macam apa aku ini?”
Suara burung hantu terdengar dari kumpulan pohon di seberang pekuburan, diselingi teriakan-teriakan kelelawar yang beterbangan di langit, di bawah cahaya bulan. Harto mendongak melihat tingkah kelelawar berseliweran di langit.
“Apa kabarmu hari ini?” Kembali Harto jongkok menghadapi nisan.
Sejak nisan itu diletakkan di tempat itu, ia tetap seperti semula. Dingin. Hanya kini batu nisan itu terlihat kusam. Lumut-lumut bermunculan di sekeliling, di atas batu nisan.
“Aku berharap kau berada di tempat baik di atas sana. Meski kau tahu, aku tak percaya hal-hal tak masuk akal itu. Mati adalah mati. Tak akan hidup lagi. Tapi, aku menghargai kepercayaanmu. Aku berharap, Tuhanmu menerimamu.” Sesaat Harto tersenyum. “Aku ingat, beberapa kali kau pernah membujukku agar percaya hal gaib yang meracuni otakmu itu.”
“Tak ada salahnya kau percaya hal seperti itu. Tak ada ruginya,” katamu waktu itu.
“Aku tertawa mendengar bujukanmu. Aku bukan anak kecil lagi, sobat. Aku tak tertarik dengan permen lagi.”
Harto berdiri lagi. Kali ini ia membentangkan kedua tangannya. Lalu kemudian ia mengambil bungkusan rokok dan korek api di saku jaketnya. Mengambil satu batang rokok dan menyelipkan di sela bibir dan membakar ujung rokok dengan korek api. Asap mulai mengepul.
Harto berputar mengelilingi nisan sahabatnya dan berhenti tepat di depan papan nama. Kembali Harto jongkok. Ia usap papan bertuliskan nama Karno, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Beberapa kali ia usap papan itu hingga terlihat agak bersih.
“Aku tak pernah dengar lagi kabar ayah dan ibumu. Entah di mana mereka sekarang.”
Harto mengisap rokoknya dalam-dalam. “Tapi aku pernah dengar tentang penyesalan kedua orang tuamu soal kematianmu yang tak wajar. Kau anak satu-satunya. Kau harapan mereka.” Suara Harto terdengar berat. Asap rokok membuat tenggorokannya terasa kering. Harto pun menelan ludahnya mencoba membasahi tenggorokannya. Harto beranjak berdiri dan duduk di atas nisan sebelah nisan sahabatnya.
“Kala kita masih satu kampus, aku sering bertemu kedua orang tuamu. Ibumu adalah perempuan penyabar. Ia sangat mencintaimu. Ia juga menganggapku seperti anaknya.” Sebentar Harto terdiam. “Sebenarnya, aku pun menyesali kematianmu.”
***
Kini bulan mulai meninggi, tepat tegak lurus. Pohon-pohon kamboja makin terlihat angkuh. Daun-daunnya bergerak-gerak tertiup angin. Bunga-bunga kamboja beberapa berguguran, satu di antaranya jatuh di atas kepala Harto. Harto mengambil bunga itu. Mengamati, menciumi aromanya, lalu mengelupas kelopak demi kelopak, dan ditaruh di atas nisan Karno.
“Meski kita berbeda pikiran, kita tetap bersahabat,” kata Harto. “Soal kesukaan, kita juga berbeda. Soal wanita?” Harto kembali tersenyum, teringat ketika ia dan Karno masih kuliah. “Kau menginginkan seorang perempuan saleh.” Kali ini Harto tertawa geli.
“Istri adalah jalan menuju surga,” katamu di rumah kontrakanku. “Itulah alasanku, kenapa aku mengidamkan perempuan saleh.”
“Aku tertawa waktu itu mendengar alasanmu. Itu kuno, sobat. Perempuan adalah perhiasan dunia. Perempuan adalah tempat berahi lelaki.”
“Kejam sekali kau menilai perempuan seperti itu.”
“Wajahmu tiba-tiba menjadi kaku. Mungkin kau tersinggung dengan pendapatku.
Sobat, setiap manusia pasti mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Seharusnya kau menghargai setiap pendapat, sekalipun pendapat itu tak sesuai dengan pendapatmu dan terdengar kejam.”
“Maaf, aku harus pergi.”
“Mau ke mana?” tanyaku waktu itu.
“Mempersiapkan aksi demo esok hari.”
Harto mempermainkan puntung rokoknya yang tinggal separuh. Memutar-mutarkannya di sela jari. “Juga soal demonstrasi itu. Sungguh, aku tak mengerti soal demonstrasi itu. Kau sepertinya suka sekali melakukan aksi demo.”
“Demonstrasi adalah salah satu alat untuk menegakkan kebenaran,” alasanmu waktu itu. Harto membuang puntung rokoknya. Kembali berdiri dan memutari nisan sahabatnya. “Sekali lagi kita berbeda pendapat. Soal makanan, soal perempuan, soal demo…” Harto membelakangi nisan sahabatnya, menatap jau ke depan, mencoba menembus pekatnya malam.
“Demonstrasi membuat hubungan kita renggang dan akhirnya putus. Kita tak pernah bertegur sapa sama sekali.” Harto terdiam agak lama. “Dulu aku pernah memberi nasihat kepadamu, jangan kau lakukan aksi itu lagi. Itu membahayakan dirimu sendiri. Apa yang kau dapatkan dengan aksimu itu? Ketenaran? Ya, mungkin ketenaran. Kau lihat teman-temanmu yang dulu pernah getol melakukan aksi demonstrasi. Sekarang? Setelah menjadi pejabat? Kini duduk manis di kursi empuknya.” Sesaat Harto tersenyum sinis. “Ironis bukan?”
Handphone di saku celana Harto berbunyi. Harto merogoh dan mengambil handphone-nya. “Halo? Ya, mungkin lima belas menit lagi aku keluar dari tempat ini.” Harto mematikan handphone dan memasukkan handphone ke saku celananya.
“Berita kematianmu menggegerkan satu kampus. Kau ditemukan tewas tenggelam di danau buatan di tengah kampus kita. Semua berkeyakinan bahwa kau tewas dibunuh. Tapi dibunuh oleh siapa? Tak ada yang tahu sampai saat ini. Apakah kau tewas dibunuh karena aksi demonstrasimu? Tak ada yang bisa memastikan sampai hari ini.”
***
Kini bulan sudah memiringkan posisinya. Angin malam berhembus bertambah dingin. Suara teriakan kelelawar sudah jarang terdengar.
“Aku siap menghadapi akibatnya karena aksiku,” katamu dulu.
“Mendengar kematianmu, sebenarnya aku syok juga,” Harto memeluk tubuhnya sendiri, “dan kau menerima akibatnya.”
Nisan itu kini sudah terlihat basah akibat embun, atau mungkin akibat keluarnya air mata dari jasad yang ada di dalam kubur.
“Aku tak lama di kota ini. Hanya mampir saja,” kata Harto. “Soal kematianmu, aku minta maaf.” Sesaat Harto terdiam. “Aksi demonstrasimu sudah membahayakan keselamatan Ayahku. Ayah memang korup. Ayahlah yang telah menyuruh orang-orangnya menenggelamkanmu di danau itu. Dan jauh hari aku sudah tahu soal rencana pembunuhanmu itu. Bukankah aku sudah pernah memberi nasihat padamu, agar kau meninggalkan aksi demonstrasimu?”
Pelan awan bergerak menutupi bulan. Malam di pekuburan semakin pekat.
“Baik sobat, aku harus pergi sekarang. Terima kasih, kita pernah menjadi sahabat.”

Kutipan Call Me Miss J.

Yang namanya orang lagi beranjak dewasa, sah-sah aja punya jerawat. (hlm. 101)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Suatu saat ada, kok, orang yang bakal menerima kamu apa adanya. (hlm. 22)
  2. Apa salahnya sama tiba-tiba? Cinta bisa datang kapa aja. (hlm. 92)
  3. Setiap orang punya orang lain di belakangnya. (hlm. 249)
  4. Orang yang terlibat dalam sebuah persahabatan lambat laun akan memiliki kemiripan. (hlm. 258)
  5. Kesalahan kecil saja bisa membuat hidup seseorang hancur. (hlm. 280)
Banyak juga sindiran halusnya:
  1. Nggak perlu punya tampang buat jadi ketua OSIS. (hlm. 19)
  2. Semua cowok di sekolah ini kayak klon, mereka punya stereotip cewek yang sama! (hlm. 21)
  3. Untuk apa sih lo ngejer-ngejer orang yang nggak bisa nerima lo apa adanya? (hlm. 21)
  4. Kadang-kadang binatang bisa jadi sangat menyenangkan saat mereka hanya diam dan –mungkin- mendengarkan. (hlm. 41)
  5. Serial Amerika memang kadang-kadang membingungkan karena ceritanya hanya berputar-putar soal si ini pacaran dengan si itu, begitu terus sampai musim-musim berikutnya. (hlm. 126)
  6. Cowok nggak pernah ngasih komentar tentang cowok lain. (hlm. 146)
  7. Bego bisa diubah. Tinggal belajar aja. (hlm. 149)
  8. Lo harusnya belajar menerima kemenangan orang lain. (hlm. 160)
  9. Hati cewek emang gampang banget luluh. (hlm. 163)
  10. Lebih enak nggak punya temen. Nggak repot. (hlm. 171)
  11. Lo cuma lagi jatuh cinta. Orang bisa ngelakuin hal yang nggak wajar kalo lagi jatuh cinta. (hlm. 191)
  12. Itu kecanggihan teknologi. Photoshop itu teman baik wanita. (hlm. 244)