Daftar Blog Saya

Minggu, 08 April 2018

Orang Gila di Bawah Papan Iklan

Cerpen A. Warits Rovi (Tribun Jabar, 01 April 2018)
Orang Gila di Bawah Papan Iklan ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Orang Gila di Bawah Papan Iklan ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
AZAN subuh baru saja berlalu, seolah lenyap bersembunyi ke setiap tetes embun yang mengeramasi tanah. Aku masih dengan doa purba, di tempat yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya, di sebuah pasar tradisional, duduk bersimpuh menengadah, angin lesap di sepasang tangan yang tertangkup sunyi, air mataku jatuh, hatiku luluh, kenangan masa lalu menusuk-nusuk dalam dada. Tangisku semakin pekik, dan sepuluh malaikat yang semalaman menemaniku mengelus-elus rambutku, lantas pamit karena matahari segera terbit. Sepuluh malaikat itu mengepakkan sayap, lalu terbang jauh, menembus langit yang temaram. Aku memandangnya dengan mata yang lengang, tanpa tangan melambai. Ketika matahari sudah terbit, aku kembali ke asal mula, menjadi orang gila, seperti kata mereka, walau sebenarnya keadaanku tak seburuk yang mereka duga. Aku tidak gila.
Matahari kian meninggi, melumati pepucuk waru yang masih bersanggul titik-titik embun, di pohon yang condong ke barat, di sisi papan iklan. Orang-orang sudah mulai ramai berdatangan. Kuselipkan selembar foto kenangan ke dalam saku. Foto itu tak boleh hilang karena foto itu adalah kekuatan bagi hidupku, kekuatan untuk tersenyum sekaligus kekuatan untuk menangis. Dan siapa pun tak boleh tahu foto itu, kecuali kelak bila perempuan di foto itu datang kembali, menyelamatkanku dari kesunyian ini.
***
JIKA orang Sumenep mendengar nama Mahmud, pasti ia akan ingat kepadaku; orang gila yang biasa mangkal di pojok tenggara Pasar Gapura, tepat di bangku beton di bawah papan iklan. Karena orang menganggapku gila, maka aku sering diledek, padahal hari ini orang gila itu bermacam-macam. Banyak di antara mereka yang mengaku waras sebenarnya juga gila, hanya saja mereka mendapat takdir yang baik sehingga baik-baik saja di tengah masyarakat, tanpa dipasung, meski kenyataannya mereka mengamuk secara diam-diam. Mereka gila.
Orang-orang hanya memandang fisikku yang tak pernah mandi, berkuku panjang berdaki hitam, berambut gimbal apek penuh kutu, tanpa kukenakan baju, sandal, dan peci, kecuali hanya sarung lusuh yang lekat di tubuhku, motif batik liris dengan sisa tetes getah di sana-sini. Ciri-ciri fisik semacam itu sangat cukup syarat bagi seseorang untuk disebut gila. Padahal kalau orang-orang mau melihat hatiku, mereka pasti malu menyebutku gila. Setiap hari aku memungut sampah, menyapu dan membersihkan sekawanan rayap di Pasar Gapura, tentu tanpa kuabai salat lima waktu beserta seluruh amalan sunahnya. Tapi kelakuan waras yang menempel pada fisik yang nyeleneh tetaplah disebut kelakuan gila. Ah, sebenarnya yang menilaiku juga gila.
Satu hal yang tak gampang kulupa, pada suatu malam yang disorot kilau rembulan, ketika kunang-kunang mengitari tiang-tiang listrik, angin lirih menyapu plastik transparan hingga beterbangan ke emperan toko. Pada saat itu seorang lelaki memarkir mobil di depan sebuah toko, setelah tak terdengar bunyi mesin mobilnya, lelaki berdasi dan bersepatu itu membuka pintu, ia turun pelan seperti ragu dan berdiri agak lama di samping mobilnya seraya tak kedip menatapku. Aku yang kebetulan sedang duduk bersila hanya diam melihat kedatangannya. Seketika keadaan pasar disekap sunyi, minus suara, kecuali hanya kucing betina yang mengeong, memberi makan anak-anaknya di pojok warung tukang cukur.
Setelah menoleh ke sana-kemari, barulah ia melangkah pelan ke arahku. Jantungku berdetak agak kencang, dengan kekhawatiran dan dugaan-dugaan buruk tentang kedatangan lelaki itu. Beruntung kehawatiranku sirna, setelah tahu lelaki itu menyapa dengan lembut, bibir ranumnya yang disorot bulan tak henti tersenyum. Ia berbicara begitu santun, seraya tak banyak mengubah posisi duduknya yang bersila di paving, sekitar setengah meter di bawah ketinggian bangku beton yang yang kududuki. Lantas kami bercakap banyak hal, dan beberapa kali lelaki itu menyodorkan rokok, roti, dan minuman ke hadapanku, tapi semuanya kutolak dengan sopan karena aku memang kenyang.
“Maukah sampean membantu saya, Mas?” ucap lelaki itu menunduk muram.
“Apa yang bisa diandalkan dari orang gila sepertiku?”
“Saya yakin, Mas bisa membantu masalah ini.”
“Apa itu?”
“Saya ingin Mas bisa menyebut angka apa saja yang akan keluar minggu ini. Saya suka berjudi, Mas.”
“Kenapa suka judi?”
“Karena saya banyak utang dan tahun depan ingin mencalonkan diri di bursa caleg. Untuk dua hal itu tentu saya harus banyak uang.”
“Kenapa banyak utang?”
“Entahlah, Mas. Padahal saya sering korupsi dan menyunat banyak proyek, tapi utangku malah bertambah. Saya pusing.”
Aku tak merespons permintaan lelaki itu meski dia menangis sambil memeluk betisku, ia terus membujukku agar membantunya menyebut nomor. Aku lebih banyak diam meniru bulan, hingga lelaki itu pulang dengan kecewa, setelah menendang keras sebuah botol bekas. Ia adalah satu di antara sekian banyak orang waras yang justru meminta saran atau nasihat kepadaku. Aku heran, kenapa di saat zaman semakin maju dan sebagian besar orang memuja rasionalitas justru masih banyak yang memimpikan nasihat dari dunia sunyi yang jauh dari jangkauan akal sehat. Mereka menyebutku gila dan menganggap diri waras, tapi percaya kepada kata-kataku, meminta pendapat dan doa kepadaku. Aku jadi berkesimpulan bahwa kegilaan masa kini hanya disekat oleh tampilan fisik, sementara inti jiwa setiap orang hampir semuanya pernah gila.
Malam itu, aku tertawa bersama sepuluh malaikat yang menjagaku, sambil kuamati selembar foto rahasia milikku, kuelus kertasnya, seiring air mata jatuh dan sepuluh malaikat menatapku tanpa kata-kata.
Bulan mematung di balik rimbun dan waru.
***
SETIAP hari, aku berjalan dari lokasi pasar ke beberapa tempat yang tak lebih dari satu kilometer untuk meminta makanan kepada warga. Jika sudah lelah, aku akan balik ke lokasi pasar, kembali ke bangku beton, menyandarkan tubuh ke tiang papan iklan, atau tiduran sambil mengamati tampilan iklan yang ada di atasku. Kali ini ada iklan sabun mandi. Tampak gambar seorang model tersenyum sembari memegang sabun, sedang di bawahnya tertera kalimat-kalimat sanjungan terhadap sabun itu, dan di bagian pojok kanan, pada sebuah lingkaran hijau tertera tulisan diskon 15%. Banyak orang-orang membaca iklan itu dengan mata yang melotot.
“Wah! Model cantik itu memakai sabun itu juga,” ujar salah seorang kepada temannya.
“Iya. Ada diskonnya lagi,” jawab temannya sembari menunjuk lingkaran hijau.
Mereka berdua rela berlama-lama di depan papan iklan meski keduanya menjinjing barang belanjaan yang agak berat. Lalu keduanya sepakat untuk membeli sabun itu. Aku tertawa mendengar keputusan mereka. Mereka adalah di antara orang-orang yang mudah dijebak oleh iklan. Dari beberapa iklan produk yang dipampang di papan ini, semuanya memakai dua alat jebak bagi konsumen. Pertama, dijebak dengan kehadiran tokoh artis. Kedua, dijebak dengan janji diskon. Padahal belum tentu artis di iklan itu memakai produk yang diiklankan dan diskon yang ditawarkan tentu sudah dikalkulasi dengan laba. Ah, tapi ini pikiranku, pikiran orang gila dan mereka menganggap dirinya waras meski cara berpikirnya kadang gila.
Di akhir tahun, ketika memasuki masa kampanye caleg, papan iklan di atasku dipasangi baliho salah seorang caleg. Fotonya tersenyum wibawa dengan jas hitam, diapit dua tokoh masyarakat dengan lilitan serban agak tebal, di bawahnya ada tulisan tercetak warna biru “Pembela Hak-Hak Rakyat”. Aku hanya tersenyum, sebab aku tahu caleg itu selama ini sering menyunat dana proyek dan menggelapkan dana bantuan rakyat.
“Dua tokoh yang mengapitnya belum tentu memilih dia. Tulisan yang dicetak tebal itu hanyalah bahasa iklan, semuanya serba iklan,” gumamku kecut sembari kuelus dada.
“Lihat! Dia orang gila,” teriakku tiba-tiba sambil menunjuk foto caleg itu, dan orang-orang menoleh ke arahku. Beberapa di antara mereka berkata, “Kau yang gila.”
“Kalian juga gila, percaya sama caleg seperti dia,” suaraku meninggi, dan aku beranggapan bahwa hampir semua orang di dunia ini pikirannya pernah gila.
Keesokan harinya, saat loper koran melepas lelah di sampingku, secara tak sengaja kulihat di halaman utama sebuah koran lokal, caleg bangsat yang sok merakyat itu berfoto dengan istrinya. Melihatnya, hatiku jadi teriris. Wanita yang ia nikahi ternyata wanita yang sama dengan wanita di fotoku. Kukeluarkan selembar foto dari saku celana kumal dengan sangat hati-hati, tanganku gemetar, jantungku berdebar dan mataku nanar. Air mataku tak henti memancar.
“Sayang! Sejak kau dipisah oleh ayahmu dariku, sejak saat itu aku jadi begini. Aku berharap kaulah suatu saat yang bisa menangkisku dari duniaku yang sunyi ini. Tapi nyatanya…,” air mataku semakin deras, merambahi lengkung dagu.
“Orang gila biasanya cenderung tertawa, tapi orang gila ini kok malah menangis. Hei! Sebenarnya kamu gila atau pura-pura gila?” tanya loper koran, membuatku terperanjat, dan aku tak tahu harus menjawab apa.
***

Gapura, 01.18
A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional dan lokal: Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, dll. Ia juga guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura.

Menanti Kabar Ibu


Cerpen Dody Wardy Manalu (Banjarmasin Post, 01 April 2018)
Menanti Kabar Ibu ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Menanti Kabar Ibu ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Dilanda sepi sudah hal biasa bagimu. Mengalaminya sejak lima tahun silam ketika hujan baru saja berhenti turun. Halaman penuh lumpur. Kamu sedang memberi makan ketiga adikmu. Darl celah pintu kamar, kamu melihat ibumu sedang merias diri. Sebentar lagi ibumu akan berangkat kerja.
Ibumu sengaja memilih shiff malam karena gajinya lebih besar. Ia suka memakai pakaian minim meski cuaca sangat dingin. Memoles bibir dengan lipstik merah menyala. Mengenakan sepatu bertumit tinggi, ibumu berangkat pukul sebelas malam. Hingga pagi tiba. Ibumu tak kunjung pulang. Kamu duduk di tangga rumah bersimbah air mata. “Ibumu tidak akan kembali. Ia kawin lari dengan seorang pengusaha.” Seorang wanita berdandan menor, sama seperti penampilan ibumu bila berangkat kerja, menyampaikan kabar itu. Kamu hapus air mata dan masuk rumah. Sejak itu, hidupmu dihinggapi sepi tak bertepi.
Suatu malam, ketiga adikmu merengek minta makan. Kaleng beras sudah kosong. Kamu keluar tak tahu melangkah ke mana. Setangkup ragu menyergap ketika berada di depan rumah makan. Ada empat perut harus diberi makan. Kamu, anak perempuan yang dadanya masih rata dipaksa keadaan menjadi dewasa.
“Tolong berikan aku pekerjaan. Aku bisa mencuci piring, mengelap meja atau menyapu lantai. Tuan harus menerimaku untuk bekerja. Jika tidak, Tuan akan membunuh ketiga adikku serta aku karena kelaparan.”
Pemilik rumah makan enggan bertanya. Dengan gerakan kepala, ia menyuruhmu ke belakang. Segera bekerja sekuat tenaga berharap bisa membawa pulang empat nasi bungkus. Sekitar jam sepuluh malam, pemilik rumah makan menyuruhmu berhenti. “Pulanglah, beri makan adik-adikmu.”
Ia menyodorkan empat nasi bungkus dalam plastik. “Boleh aku bawa nasi sisa yang ada di ember?”
“Buat apa.” Pemilik rumah makan melotot penuh selidik. “Aku punya tiga ekor anjing harus diberi makan.”
Kebohongan dengan mudah meluncur dari bibirmu. Kamu tidak punya anjing. Hanya teringat ketiga adikmu yang kuat makan. Kamu pulang memundak nasi sisa. Sampai di rumah, segera memberi makan ketiga adikmu, lalu mencuci nasi sisa, meniriskan dan menunggu besok pagi untuk dijemur.
Mengenang ibumu, sama saja membuka kembali luka lama. Bukan tidak tahu apa yang ibumu kerjakan tiap malam. Ibumu seorang pelacur. Tiap malam melayani para lelaki hidung belang.
Pemilik rumah makan menerimamu sebagai karyawan tetap. Tugasmu mencuci piring, mengelap meja, mengiris bawang, dan menyapu lantai. Waktu kerjamu berakhir pukul lima petang. Setiap pulang kerja, kamu menyempatkan diri duduk di pinggir sungai tidak jauh dari rumah makan. Kamu bisa melihat sekumpulan pemuda bermain bola di tanah lapang seberang sungai.
Beberapa hari ini, seorang anak laki-laki ikut menikmati pergantian petang di pinggir sungai. Kalian tidak pernah saling menyapa. Anak laki-laki itu selalu membawa gitar. Ia bernyanyi dan tidak mau berhenti sebelum kamu tertawa. “Satria bergitar! Besok aku ulang tahun. Boleh menyanyikan lagu happy birthday untukku?”
Petang ini, kamu beranikan diri menyapa anak laki-laki itu untuk pertama kali. Suara cemprengnya seketika berhenti. Ia mengangguk seiring bibirnya melengkungkan senyum.
“Aku suka panggilan itu. Boleh memanggilmu bidadari sungai?”
Bidadari sungai? Kamu tertawa tak kuasa menahan lucu. Tidak ada bidadari sejelek dirimu. Hari semakin gelap. Lapangan bola di seberang sungai sudah sepi. Kamu dan Satria bergitar beranjak pulang. “Siapa namamu sebenarnya?” ujarmu.
“Lebih senang bila kamu memanggilku Satria.” Jawabnya sebelum kalian berpisah di simpang jalan.
***
Sudah terlambat tiba di pinggir sungai. Semua gara-gara tumpukan piring kotor harus kamu cuci. Di ulang tahunmu ketiga belas, seseorang akan menyanyikan lagu happy birthday buatmu.
Kamu berdiri di hadapan Satria dengan napas tersengal. Tubuhmu basah oleh keringat. Satria mempersiapkan diri sesempuma mungkin. Dari tubuhnya menguar aroma parfum. Kepala ditutupi topi kerucut terbuat dari koran bekas. “Pakai topimu.”
Satria memakaikan topi kerucut di kepalamu. Ini pertama kali ulang tahunmu dirayakan meski tanpa kue tart dan nyala lilin. Satria memetik gitar. Suara cemprengnya melantunkan lagu happy birthday. Air mata jatuh tanpa kamu sadari. “Kamu menangis karena suaraku jelek?”
Satria menghentikan petikan gltarnya. “Justru aku sangat bahagia.”
“Hapus air matamu. Aku ingin memberi kado untukmu.” Satria menggapai tanganmu, lalu membawamu melompati batu-batu menyeberangi sungai. Kalian melintasi lapangan bola dan memasuki kebun karet.
“Kita mau ke mana?” tanyamu.
“Menjemput kadomu.” Begitu keluar dari kebun karet, kalian disambut hamparan rumput. Satria mengajakmu duduk di alas rumput mulai berembun.
“Di tempat ini, aku sering melukis di awan.”
“Ini kado yang kamu maksud?”
Satria mengangguk.
“Bagaimana bisa. Awan itu tinggi.” Matamu membola seperli mata kucing. “Cukup menggerakkan jarimu di udara. Bayangkan apa ingin kamu lukis. Biarkan awan mengikuti jalan pikirkanmu. Mau mencoba?”
Satria meraih tanganmu, lalu mengangkat ke udara. “Gerakkan jemarimu.” Matamu terpejam membayangkan sosok yang akan kamu lukis, menggerakkan jari di udara mengikuti bentuk khayalanmu. Sudah selesai. Kamu membuka mata. Awan menggumpal membentuk sosok dalam pikiranmu.
“Apa kamu berhasil melukis di awan?” Kepalamu mengangguk.
“Apa yang kamu lukis?”
“Ketiga adikku sedang bernyanyi. Dan kamu bermain gitar mengiringi mereka.”
Kebahagiaan itu hanya sekejap. Keesokan hari, Satria tidak muncul di pinggir sungai. Mungkin ia sibuk hingga tak bisa datang. Mencoba berpikir positif. Kamu menunggu berhari-hari. Satria tidak muncul juga. Pesona sungai mendadak tidak menarik lagi.
***
Ketiga adikmu sudah bersekolah. Mereka pergi mengumpulkan barang bekas setelah makan siang. Hari ini, kamu keluar dari rumah makan dengan lesu. Gajimu banyak dipotong untuk membayar beberapa buah piring tak sengaja kamu pecahkan. Sejenak berdiri di trotoar menatap lurus ke dalam kedai kopi seberang jalan. Seorang pemuda berambut ikal duduk dl sudut kedai. Pemuda itu lumayan tampan. Ia memiliki rahang kokoh. Saking sering melihat pemuda itu bisa menebak berapa tinggi dan ukuran lingkar pinggangnya.
Kamu melanjutkan langkah hendak pulang. Sekitar sepuluh meter di depanmu, seorang ibu membuang satu kotak kue tart ke tong sampah. Kue itu masih layak dimakan. Mungkin ia punya persediaan kue terlalu banyak hingga meja makannya tidak cukup untuk menampung. Kamu percepat langkah, lalu berhenti tepat di samping tong sampah. Kepalamu bergerak ke sekeliling, memastikan apa ada orang melihat ke arahmu. Jalan tampak sepi. Segera mengambil kue dan memasukkan dalam tas.
Keesokan hari, kembail melewati tong sampah itu, berharap ada lagi makanan bisa dibawa pulang. Kali ini, tanpa rasa malu, kamu melongok ke dalam. Seakan tak percaya, empat bungkus roti keju kamu temukan di dasar tong. Matamu berbinar ketika mengangkat roti itu. Namun seseorang menamparnya dari tanganmu hingga terjatuh. Tak menyangka, pemuda yang duduk di kedai kopi pelakunya. Wajahmu bersemu merah. Pemuda itu menarik tubuhmu lebih dekat. Tak ada kata. Mata kalian beradu sesaat. Ia menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke tanganmu, lalu pergi.
“Kamu kira aku seorang pengemis?” Kamu sangat malu ketahuan mengacak-acak isi tong sampah bagai anjing kelaparan. Pemuda itu telah berada di sisi jalan. Kalian berseberangan saling menatap.
“Ambil kembali uangmu.” Kamu lemparkan uang itu ke tengah jalan.
“Kamu bidadari sungaiku.” Ucapan pemuda itu melempar ingatanmu pada sungai, lapangan bola dan hamparan rumput.
“Kamu Satria?” ucapmu ragu-ragu. Pemuda itu mengangguk sembari mengambil secarik kertas dari kantong kemeja.
“Mengapa tiba-tiba menghilang. Sungai tak lagi indah tanpamu.”
“Aku menghilang karena ibumu.” Kamu terkejut. Meski ibumu seorang pelacur dan telah meninggalkan kalian bertahun-tahun, masih berharap ibumu kembali. Kamu ingin melihat surga di telapak kakinya?
“Di mana ibuku sekarang.”
Tiba-tiba sebuah bus melintas dan berhenti di antara kalian. Pandangan terhalang beberapa detik. Bus kembali melaju. Satria tidak ada lagi di seberang jalan. Di atas aspal, secarik kertas bergerak ditiup angin menuju ke arahmu. Kamu memungut kertas itu dan membaca tulisan yang ada di sana: Jangan mencari ibumu lagi. Aku sudah membunuhnya. Ibumu telah menghancurkan keluargaku hingga ibuku nekat mengakhiri hidup dengan mengiris kemaluannya. Mendadak pandanganmu mengabur. Kamu berdiri mengumpulkan roti kejumu yang berserak. Kalian berempat harus tetap hidup. ***

Dody Wardy Manalu. Guru Ekonomi SMA Negeri 1 Sosorgadong. Domisili di Sosorgadong, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Pengorbanan Kakek Gio

Cerpen Teny May Rodiah (Pikiran Rakyat, 01 April 2018)
Perjuangan Hidup ilustrasi Dede Wahyudin - Pikiran Rakyat.jpg
Perjuangan Hidup ilustrasi Dede Wahyudin/Pikiran Rakyat
PAGI itu, matahari baru saja menampakkan sinarnya. Di sebuah rumah kecil, Kakek Gio sudah bersiap untuk berangkat mengayuh becaknya. Tak lupa dia memakai topi yang sudah agak kumal.
“Kakek Gio….tunggu!” panggil seorang anak di depan rumahnya. Kakek Gio menoleh ke arah suara. Dilihatnya seorang anak berpakaian seragam sekolah. Anak itu tetangganya Kakek Gio.
“Kek…. saya mau berangkat sekolah naik becak!”
“Oh ya…. silakan naik. Sekolahmu di mana, Nak?”
“Di SMPN 5, yang dekat Bale Desa.”
Kakek Gio mengangguk dan mengayuh becaknya menuju sekolah. Jalan ke sekolahan banyak sekali jalan berbatu dan berlubang, hingga Kakek Gio harus berhati-hati dalam mengayuh becaknya. Akhirnya becakpun sampai ke sekolah dan anak itu turun membayar ongkos becak.
Kakek Gio memang tak pernah memasang tarif untuk ongkos becaknya. Dia menerima dengan sukarela berapa pun ongkos yang diberikan penumpangnya. Belum lagi zaman sekarang becak memang sudah agak jarang jadi angkutan umum. Namun Kakek Gio tak bisa berbuat banyak, karena hanya becak yang dia punya.
Kakek Gio masih berkeliling mengayuh becaknya dan berhenti ketika hari sudah menjelang senja. Dia pulang ke rumahnya. Rumah kecil yang dia tempati bersama istri dan anak satu-satunya. Di rumah, istrinya menyambut dengan hangat.
“Pak… kamu pasti sudah capek dan lapar ya. Ayo makan dulu, ibu sudah sediakan makanan!” ajak istrinya.
“Iya, Bu. Tapi aku mau mandi dulu nih. Badanku sangat kegerahan,” ucap Kakek Gio sambil membawa handuk dan pergi ke kamar mandi. Namun melihat kamar mandi, air di baknya sudah tinggal sedikit Kakek Gio bergegas menimba air dari sumur dan mengisi baknya sampai penuh. Maklumlah, Kakek Gio masih menggunakan timba untuk mendapatkan air karena belum memasang listrik untuk memakai airnya.
Selesai mandi, Kakek Gio menghampiri meja makan. Istri dan anaknya sudah menunggu di meja makan. Sebelum makan tak lupa mereka berdoa dan mereka pun makan dengan lahap walau dengan lauk seadanya. Ketika istrinya sedang membereskan piring-piring kotor bekas makan mereka, terdengar pintu diketuk dari luar. Kakek Gio membuka pintu dan mempersilakan masuk. Pak Tito, tetangganya membawa keresek dan sepiring makanan.
“Ini Kek, ada sedikit makanan. Tadi siang kami memetik hasil kebun kami.”
“Wah…. terimakasih Pak. Alhamduliliah… mudah-mudahanBapak selalu diberikan rezeki berlimpah… Aamiin…”
“Iya, Kek…sama-sama ya Kek. Aamiin…” Pak Tito pun berpamitan pulang.
Kakek Gio membuka bungkusan itu yang isinya pisang ambon, manggis dan sepiring kue-kue yang enak. Mereka pun menikmati makanan tersebut.
Perut telah kekenyangan, Kakek Gio merasa sudah mengantuk lalu pergi tidur merajut mimpi di malam yang semakin sepi.
Hari yang terus berganti. Kakek Gio masih setia dengan becaknya yang telah menemaninya selama puluhan tahun.
Suatu hari, Kakek Gio mengayuh becaknya melewati sebuah kampus. Seorang mahasiswa memanggil dan menghampirinya. Rupanya dia seorang mahasiswa dari fakultas kedokteran gigi.
Sambil naik becak, mereka berbincang-bincang. Dan mahasiswa itu pun menanyakan apakah Kakek Gio mau menjual giginya. Pada awalnya, mungkin Kakek Gio menganggapnya bercanda.Tapi rupanya mahasiswa itu serius bahkan memberikan tawaran harga yang lumayan untuk ukuran tukang becak seperti Kakek Gio.
Akhirnya, Kakek Gio pun tergiur dan bersedia menjual giginya. Ditemani mahasiswa itu, Kakek Gio menemui temannya yang sudah jadi dokter gigi. Dan gigi depannya pun benar-benar sudah terjual.
Kakek Gio pulang membawa uang hasil dari menjual giginya. Dan dia bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Istri dan anaknya bisa membeli makanan enak, hingga keperluan lainnya. Gara-gara diajual gigi, sampai beberapa hari, Kakek Gio dapat memberíkan asupan gizi cukup untuk keluarganya.
Namun seiring berjalannya waktu, dan zaman membuat perubahan yang teramat cepat. Alat transportasi yang baru yang terjangkau dan semakin canggih mengalahkan segalanya. Mengalahkan alat transportasi seperti tukang becak yang dipunyai Kakek Gio.
Kakek Gio termenung di depan rumahnya. Memandangi jalanan berdebu, jalan yang penuh kerikil tajam. Hari-hari teramat berat dijalaninya. Hari itu dia tidak punya satupun bahan makanan. Dia dan istrinya jadi gelisah. Terpaksa mereka berutang lagi pada warung sebelah untuk sekilo beras. Meski utangnya sudah banyak, yang punya warung tetap berbaik hati memberikannya.
“Pak…. kita tak mungkin terus begini. Ibu ingin Bapak cari kerja yang lain saja kalau bisa,” saran istrinya sambil memasak nasi.
“Bu….Bapak juga tahu, topi zaman sekarang orang sudah sangat jarang mau naik becak lagi, Bu. Mereka sudah punya kendaraan sendiri dan bahkan sekarang kan banyak kendaraan online. Bapak masih pikirkan untuk bekerja yang lain…” Kakek Gio berusaha menyabarkan hati istrinya.
Karena mengingat makin beratnya kebutuhan hidup yang harus ditanggung, Kakek Gio kembali menemui mahasiswa yang menerimanya untuk menjual gigi. Setelah gigi keduanya tanggal, Kakek Gio bisa pulang ke rumah dengan membawa uang untuk anak istrinya. Berhari-hari tercukupilah kebutuhan hidupnya.
Semenjak itu, Kakek Gio seperti tidak mempunyai cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan terus menjual gigi-giginya. Hingga akhirnya tak ada satu gigi pun yang tersisa.
Betapa getir hidupnya, sampai harus mengorbankan semua giginya. Lebih getir lagi tak berselang lama, istri dan anaknya pun tiada. Tinggallah Kakek Gio seorang diri. Hanya becak itu masih setia menemaninya.
Bahkan rumahnya pun telah dijual, hingga dia jadikan becak sebagai tempat tinggal. Jika dia merasa perlu hiburan, dia suka ikut nongkrong bersama orang-orang di sebuah warung. Mereka berkumpul dari berbagai latar belakang kehidupan mulai dari tukang becak, seniman dan masyarakat kecil lainnya.
Di warung itu mereka berkumpul saling bercerita menumpahkan kegetiran hidup masing-masing tanpa kemarahan dan caci maki.
Kakek Gio pun tak pernah marah atau menyesali keadaan ini. Mungkin batinnya penuh luka dan derita, namun dia tetap tegar menghadapinya.
Kebetulan warung itu sangat dekat dengan bekas rumahnya. Dia selalu mampir ke warung itu hanya sekadar melepas rindu atau mengenang kebersamaan dengan keluarganya. Tak terasa air matanya menetes, seakan kepedihan terpancar di sana.
“Kek… ini kopinya lekas diminum. Nanti keburu dingin.”suara pemilik warung membuyarkan lamunannya. “Iya….terimakasih Bu….”
Kakek Gio menghapus air matanya dan meraíh cangkir kopi di depannya. Perutnya juga sangat lapar, maka dipasanglah gigi palsunya untuk mengunyah makanan. Sepiring nasi dan lauknya telah tandas. Dia masih duduk di warung itu sambil melepas gigi palsunya. Dia kehilangan giginya untuk sebuah pengorbanan menghidupi keluarganya. Namun entah, mungkin pengorbanan ini akan jadi sia-sia jika nasibnya tidak juga berubah.
Hari telah menjelang maghrib. Kakek Gio bergegas pulang walau entah ke mana kakinya kan melangkah. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik dan burung malam yang terasa memilukan. Langkahnya makin tak pasti dan kemudian hilang ditelan kegelapan malam. ***