Daftar Blog Saya

Kamis, 04 Januari 2018

Mahar yang Tertinggal

Cerpen Krismarliyanti  (Republika, 31 Desember 2017)
Mahar yang Tertinggal (Bagian 2) ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Mahar yang Tertinggal (Bagian II) ilustrasi Rendra Purnama/Republika
(Bagian II)
Dengan alasan ingin mandiri, kami pun memutuskan untuk membangun rumah di sebelah kediaman ibu dan bapak. Keputusan yang kami rasa cukup adil karena rumah kami hanya terpisah tembok. “Nanti ibu dan bapak kan bisa tiap hari mengunjungi Biyan. Tinggal buka pintu pagar saja kok, Bu,” senyumku berusaha membuat ibu mengerti. “Iya, Bu, cuman dipisah tembok saja kok. Airin sudah besar sekarang, biarkan mereka menikmati rumah sendiri,” timpal bapak. Dan sepertinya ibu pun tidak punya alasan lain untuk menolak rencana kami.
Tahun berlalu, aku pun menjalani kehidupan rumah tanggaku dengan bahagia. Tidak lagi aku mengenang Ardi, mungkin dia sudah menemukan pujaan hatinya, batinku. Dan aku sadar bahwa aku sekarang telah menjadi istri Mas Hemi. Apalagi dengan kehadiran Biyan, hidupku semakin bahagia.
Mas Hemi suami yang baik. Dengan kesabarannya menghadapi ibu yang terkadang berusaha mengatur kehidupan kami. “Turuti saja ibu, Rin, namanya juga sudah sepuh,” kata Mas Hemi ketika ibu mengutarakan keinginannya untuk membuat pintu tembus ke halaman belakang kami.
Hingga sekitar empat pekan lalu, ibu dikejutkan oleh seorang tamu yang tidak kami sangka sama sekali. Sore hari, seperti biasa ibu selalu meminta pengasuh anakku membawa Biyan ke rumahnya. Aku yang masih bekerja pun dengan senang hati meluluskan permintaan ibu.
“Assalamualaikum.” Ibu yang tengah bersenda gurau dengan cucunya pun dikagetkan suara laki-laki muda yang pernah dikenalnya. Laki-laki muda yang tampak gagah dengan kemeja berwarna biru langit dan celana katun berwarna abu-abu. Kulitnya bersih terawat, rambutnya yang hanya bersisa 5 cm, serta mata coklat yang berbinar.
Butuh beberapa saat buat ibu mengenali tamu itu, sampai akhirnya ibu teringat mata coklat yang selalu dilontarkan ibu kepadaku.
“Walaikumsalam … sebentar-sebentar, ibu tidak salah lihat kan?” Dengan mata tuanya ibu berusaha keras memastikan siapa laki-laki muda yang berdiri tersenyum di depannya.
“Tidak, Bu, saya Ardi. Ibu masih ingat saya?” katanya sambil tersenyum lalu meraih dan mencium tangan ibu.
“Tentu saja. Ya ampun, kamu sekarang ganteng … mari masuk.” Semburat bahagia pun tampak jelas di wajah ibu. Terlihat jelas kerinduan seorang ibu terhadap anak laki-lakinya.
“Bukannya saya ganteng dari dulu, Bu?” Ardi selalu berhasil membuat orang lain tertawa, termasuk ibuku. Ardi memang sangat dekat dengan ibu dan bapak. Maklum saja kami berteman dari kecil dan Ardi memang tidak pernah mengenal sosok ibu sejak bayi. Menurut bapaknya, ibu Ardi meninggal ketika melahirkan Ardi.
Sebetulnya ibu sudah menggodaku tentang Ardi. Teringat pembicaraan ibu beberapa tahun lalu, “Rin, kamu pacaran sama Ardi?” Entah kenapa sepertinya ibu tahu perasaanku. “Ah! Enggak kok, Bu, kami hanya berteman.” Dan ibu hanya tersenyum.
“Ardi itu baik ya, sopan, pintar, ganteng pula. Kulitnya saja bersih terawat. Sama itu loh, ibu suka matanya Ardi coklat.” Aku pun hanya melongo ketika ibu menggambarkan Ardi secara rinci. Ternyata bukan aku yang menyukai mata coklat Ardi, ibu diam-diam memuja matanya.
Seperti biasa, pulang kerja aku selalu mampir ke rumah ibu untuk menjemput Biyan. Dan sore itu sungguh tidak akan pernah aku lupakan dalam hidupku. Senja ketika Ardi kembali hadir di dekatku. Aku sangat yakin, aku tertegun cukup lama di depan pintu pagar ibu ketika kulihat sosok bertubuh bidang yang telah merebut perhatianku bertahun-tahun. Wajahku pucat pasi, kukucek mataku berulang kali. Lututku rasanya tidak mampu lagi menopang tubuhku . Aku betul-betul tidak memercayai apa yang aku lihat di depan mataku.
Ya, laki-laki yang sedang memangku anakku dan bersenda gurau dengan ibuku itu adalah Ardi. Tidak, aku harus bersikap biasa saja. Ayo, Airin. Dia hanya temanmu, Airin. Tuhan, please, tolong aku.
Kubulatkan tekadku untuk terus melangkah dan bersikap sewajarnya. Kutenangkan degupan jantungku yang semakin kencang. Dan kuatur napasku yang semakin memburu.
“Apa kabar Airin?” sapa Ardi dengan senyum yang sama sekali tidak berubah.
“Baik, kamu ke mana saja, Di? Lama menghilang. Aku kira kamu sudah lupa sama kami,” kataku dengan wajah yang terasa kaku dan tegang. Aku sadari sepenuhnya ada nada kecewa ketika kuucapkan kalimat itu. Dan sore itu menjadi senja yang dipenuhi gemuruh rasa kecewa, bahagia, dan canggung.
Malam itu pun aku dan suamiku mengundang Ardi untuk makan malam di rumah kami. Beruntunglah, suami dan sahabatku menemukan bahan pembicaraan yang membuat mereka cepat akrab. Ditambah dengan bapak yang selalu mengenang masa kecil kami dulu. Sehingga rasa rikuhku pun terobati.
“Rin, aku mau menikah,” katanya suatu siang saat dia mengajakku makan siang. Kebetulan kantor di mana dia bekerja hanya beberapa blok dari gedung di mana aku bekerja. Sungguh, aku merasa sangat bodoh sampai tidak mengetahui kalau selama ini dia begitu dekat.
“Oh … Selamat ya. Akhirnya kamu laku juga,” jawabku sambil tertawa hambar.
Entah apa yang aku rasakan, sejak kedatangannya kembali, hatiku seperti sakit dan hampa. Ada rasa menyesal dengan perjodohan orang tuaku, walaupun aku sendiri tidak tahu apa yang Ardi rasakan kepadaku setelah lama berpisah.
“Ya mau gimana lagi, masa iya aku harus menunggu jandamu,” jawabnya sambil menyeruput minuman dingin yang dipesannya. Wajahnya terlihat tidak peduli sama sekali.
“Maksudmu? Gak lucu tahu, sama saja kamu mendoakan aku cerai kalau begitu. Sembarangan!”
Aku cukup terbelalak dengan ucapannya hingga nada jawabannku sedikit tinggi dengan tampang yang jengkel. Sedangkan dia hanya senyum-senyum tidak peduli dan dengan mudahnya mengganti topik pembicaraan. Apa maumu, Ardi? batinku sembari terus memeperhatikan sikapnya yang terlihat acuh.
Hari pun berlalu, dan Ardi semakin rajin menyapaku lewat telepon ataupun pesan singkat. Pikiranku dipenuhi tentang teka-teki perasaan antara aku dan ardi. Aku terlihat sering banyak melamun dan kosong. Bahkan, pernah satu kali Mas Hemi menegurku saat aku melamun cukup lama di depan komputer. Bahkan, sering kali aku tidak fokus ketika diajak bicara suamiku.
Ada rasa takut menyusup, takut Mas Hemi mengetahui perasaanku terhadap Ardi. Dan aku selalu berusaha bersikap wajar ketika di rumah. Bagaimanapun aku harus menjaga keutuhan rumah tangga kami. Aku tidak akan rela jika Biyan harus tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh.
Sore itu, dua minggu setelah kedatangannya, dia meneleponku dengan nada yang sangat serius. Pembicaraan yang membuka lebar perasaan yang telah terkubur dalam, syahdu dan membiru. Dadaku selalu sesak dan anganku melayang setiap kali Ardi menelponku.
“Rin, aku bicara penting sama kamu.”
“Ada apa, Di?”
“Tentang kita.”
Aku semakin gelisah. Badanku bergetar, mecoba menebak apa yang akan dia utarakan. Lagi, dia membuatku terhenyak. Diri ini pun masih belum percaya dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Lalu sekarang dia telah menyeretku pada kotak masa lalu yang telah aku kunci rapat.
Aku menjauh dari meja kerjaku dan menghindari kesenyapan agar leluasa bicara dengan Ardi. Tidak mampu kusembunyikan debaran jantungku yang semakin cepat. Aku gelisah dan keringat dingin pun membasahi tubuhku.
“Rin, aku mencintaimu … ”
“Apa maksudmu?”
“Aku mencintaimu sejak di bangku sekolah.”
“Ardi, aku sudah menikah. Kamu jangan konyol.”
“Aku serius. Aku hanya ingin jujur sebelum aku mengakhiri masa lajangku. Aku tidak mau menyesal dan menyimpan ini sendiri.”
“Kamu egois! Kamu pikir kamu siapa? Sekian tahun tidak ada kabar lalu sekarang kamu dengan seenaknya mengganggu hidupku!”
“Maafkan aku, Airin. Aku Hanya ingin jujur.”
“Aku menunggumu tetapi tak satu pun kabar yang aku terima. Dan kamu tahu, aku tidak mampu menyakiti ibu dan bapak. Aku bahagia dengan kehadiran Biyan.”
“Kamu mencintai Mas Hemi kan, Rin? Dia suami yang baik.”
“Jangan pernah tanyakan tentang perasaan kepadaku, Di. Kamu tidak tahu apa pun tentang cinta. Kamu pengecut!”

Krismarliyanti adalah seorang penulis yang lahir di Rangkasbitung, Banten. Hobi membaca dimulai sejak sekolah dasar dan mulai menulis dari tahun 2000. Dunia seni sudah dikenalnya sejak usia remaja dan menjalani serius dunia teater ketika kuliah di Yogyakarta. Mulai menulis dengan naskah drama lalu kemudian tertarik menulis puisi. Salah satunya puisinya sudah dimuat di buku Medan Puisi, antologi puisi Sempena the 1st International Poetry Gathering yang diadakan di Medan pada tahun 2007. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Poetry Anthology Lentera telah terbit pada tahun 2016. Selain menulis, Krismarliyanti pun seorang perupa. Hasil karyanya telah dijadikan sebagai cover dan ilustrasi di buku antologi pertamanya. Beberapa karya tulis dan lukisan serta drawing art dapat dinikmati di FB: htttps://www.facebook.com/krisdonaldson; https://thelantern07.blogspot.co.id atau Instagram @KrisDonaldson.

Pangrukti Laya

Cerpen Hendromasto Prasetyo (Jawa Pos, 31 Desember 2017)
Pangrukti Laya ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Pangrukti Laya ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Setiap ada orang mati, ibu selalu mendatangi. Tak pernah ada ketakutan yang menyertai. Tiga kotak kapas, dua botol alkohol 70 persen, dan seperangkat piranti rias wajah menjadi bekal ibu.
ENTAH bagaimana mulanya ibu bisa menjadi seorang perias jenazah di kelompok pangrukti laya [1] gereja kami di Margoyudan. Sedari aku bisa mengingat dan sependek cerita bapak, ibu sama sekali bukan ahli merias wajah. Apalagi wajah orang yang sudah meninggal. Yang membuatku semakin heran, mengapa orang-orang di gereja begitu percaya dengan kemampuan merias ibu sementara ia sendiri tak suka memoleskan gincu di pipinya?
“Ini pelayanan, ini bentuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Kamu mestinya mengerti apa arti kasih dan mengasihi.” Ibu selalu menyorongkan kalimat itu bila aku mulai bertanya buat apa menjadi perias mayat jemaat gereja. Tak mendapat gaji, tak boleh menerima amplop isi uang pula. Paling banter ibu hanya akan mendapat sekotak kue atau piring bertulis peringatan sekian hari matinya si ini atau si itu.
Alasan-alasan yang sangat Alkitabiyah lantas ia ucapkan sebagai dasar kesibukannya sebagai anggota pangrukti laya gereja kami. Ya, ibu memang aktivis gereja. Saking aktifnya, bapak sering menyebut ibu sebagai anggota panitia surga alias orang-orang di dunia yang terlalu sibuk dengan hal-hal surgawi tanpa pernah pusing kelak bisa jadi penghuni surga atau tidak.
Baik surgawi atau tidak, tetap saja aku tak habis pikir mengapa ibu yang tak suka bersolek dapat menjadi penata rias tubuh-tubuh tak bernyawa. Bagaimana bila ternyata bedak pada wajah mayat yang diriasnya tebal sebelah? Atau ada gincu menor di pipi beku tubuh tanpa nyawa itu? Lalu bagaimana bila kemudian mayat-mayat itu bangkit dari kubur untuk meminta ibu merapikan riasannya? Segala hal yang sulit kubayangkan ada pada ibu dan kesibukannya bersama kematian.
Le, tolong jemput Bude Rose. Nanti kamu mampir sekalian ke gereja. Pak Ayub dan Pak Switadi sudah menunggu. Ibu siap-siap dulu.”
Perintah dari ibu semacam itu adalah tanda ia mendapat panggilan duka dari warga gereja. Aku tak mungkin mengelak. Sejak menjadi penggangguran tak kentara setelah lulus kuliah tiga tahun lalu, aku adalah kaki bagi ibu. Ke mana ibu pergi, aku mengantarnya.
Bude Rose, Pak Ayub, dan Pak Switadi adalah pangrukti laya yang selalu bertugas bersama ibu. Bude Rose adalah ketua kelompok itu. Pengalamannya selama 30 tahun sebagai perawat rumah sakit Dokter Oen di Nji Seng Yan menjadi alasan utama mengapa Bude Rose jadi ketua. Ia paham benar bagaimana membersihkan mayat sebelum layak kubur. Maklum, separo lebih dari waktunya menjadi perawat adalah tugas di kamar mayat. Aku selalu ingin menyumpal mulutnya bila di dalam mobil ia mulai berkisah tentang pengalaman-pengalaman aneh di sekitar kamar mayat.
***
SETIAP kali aku menjadi sopir rombongan pangrukti laya, di saat itu pula aku mendengar pembagian tugas di antara mereka. Bila yang kehilangan nyawa adalah perempuan, maka ibu dan Bude Rose mendapat tugas lebih banyak. Mulai dari memandikan dan membersihkan jenazah, hingga memasangkan baju. Sementara itu Pak Ayub dan Pak Switadi bertugas merencanakan kebaktian bagi keluarga yang berduka.
Beda cerita bila yang kehilangan nyawa adalah laki-laki. Pak Ayub dan Pak Switadi yang akan memandikan dan membersihkan tubuh tak bernyawa itu, lalu memasangkan baju. Sedangkan ibu dan Bude Rose akan bertugas merencanakan kebaktian. Selain itu, tak peduli laki-laki atau perempuan, ibu juga bertugas merias wajah mayat-mayat itu.
Pembagian tugas tersebut akan berubah bila kematian tidak datang di rumah sakit. Bude Rose dibantu Pak Switadi dan Pak Ayub akan melakukan tugas-tugas pulasara [2] berupa memandikan dan mengeluarkan cairan-cairan dalam tubuh jenazah dengan tepukan-tepukan bagian perutnya.
Bila urusan pulasara sudah beres, ibu dan teman-temannya akan berkonsentrasi membersihkan tubuh yang mulai kaku itu. Memotong kuku, membersihkan dan merapikan bulu-bulu di tubuh mayat, lalu meriasnya. Selain pisau cukur dan gunting kuku, pekerjaan ibu dan teman-temannya di bagian ini sangat membutuhkan kapas beralkohol.
Kapas dan alkohol menjadi senjata untuk membersihkan daerah sekitar dubur, kelamin, pusar, mulut, hidung, telinga, mata, dan luka di bagian tubuh mana pun. Selain ketiak, titik-titik itu rawan menjadi sumber bau busuk tubuh manusia dan alkohol 70 persen sangat ampuh mengaburkan aroma-aroma itu.
Ibu dan teman-temannya selalu berkeringat bila mendapati tubuh kaku mengeluarkan aroma tak sedap yang bersumber di sekitar bagian ketiak. Tangan yang sudah mulai kaku terlipat di atas perut sangat sulit kembali direntangkan agar sumber bau bisa terjamah alkohol.
Tak seperti Pak Mahbub, ustad sebelah rumah, yang mengharamkan jenazah terkena alkohol, ibu dan tiga karibnya itu justru benar-benar mengandalkannya. Senyatanya, alkohol adalah senjata ampuh untuk membersihkan daki di sekujur tubuh, baik tubuh yang masih bernyawa atau tidak. Alkohol juga ampuh untuk sedikit mengendurkan urat-urat wajah mayat yang mulai kaku.
Pada mayat yang mati cemberut, olesan alkohol di sekitar bibir dapat sedikit melunakkan kekakuan hingga bisa ditarik ke samping agar roman wajah tanpa nyawa tak cemberut-cemberut amat. Begitu pula untuk mayat bermulut nganga. Olesan alkohol di bagian geraham hingga dagu dan ikatan ujung dagu ke atas kepala selama beberapa jam jadi cara mengatupkan mulut terbuka.
Namun, alkohol sama sekali tak mampu menunjukkan keajaibannya bila berjumpa dengan mayat yang sudah berumur lebih dari 12 jam. Mayat berumur setengah hari macam itu sudah menuju puncak kaku dan sulit disiasati. Setali tiga uang, alkohol juga tak berguna untuk mayat berumur 24 jam atau lebih.
Memuncaknya kekakuan yang terjadi pada umur sehari akan berlanjut dengan proses pembusukan berupa melemasnya kembali jaringan tubuh mayat tanpa pernah bisa kembali kaku. Tubuh tak bernyawa itu akan terus melembek, berangsur mengeluarkan cairan, lalu benar-benar busuk.
***
MENGANTAR ibu saat bertugas menjadi pangrukti laya adalah horor yang sesungguhnya buatku. Maklum, selain pembagian tugas, tak jarang rombongan ini membicarakan dugaan-dugaan atas mayat macam apa yang akan mereka hadapi di rumah duka. Biasanya, dugaan-dugaan itu berlanjut pada cerita menjahit wajah cuwil, merias wajah di kepala retak yang direkatkan lakban transparan, hingga menutup luka busuk oleh penyakit.
Bila sudah begitu, tak mungkin aku memutar kaset dan mengencangkan suaranya agar cerita-cerita itu tak sampai ke telingaku. Mau tak mau aku mendengarkannya walau rasa mual, seram, dan takut teramat leluasa menghunjam pikiranku. Mereka tak pernah tahu daya imajinasiku yang luar biasa kerap berujung pada ketakutan ke kamar mandi pada malam-malam usai mendengar cerita mereka. Aku memang penakut dan mereka sebetulnya paham benar soal itu.
Suatu kali Pak Switadi pernah berhalangan hadir untuk tugas pangrukti laya. Ibu, Bude Rose, dan Pak Ayub mendadak memintaku untuk menggantikannya. Di sepanjang jalan menuju rumah duka, diselingi tawa, mereka terus-menerus memintaku menggantikan Pak Switadi. Entah bercanda atau serius, aku menganggap permintaan itu dengan sangat serius. Mobil kutepikan, pintu samping kemudi kubuka, lalu aku pergi meninggalkan mereka. Selama dua jam mereka terdampar di jalanan hingga keluarga yang berduka datang menjemput. Sejak itu, mereka tak pernah lagi memintaku terlibat dalam urusan mayat walau hanya candaan. Cukup jadi sopir, titik.
Seperti siang itu, saat aku diminta mengantar rombongan pangrukti laya ke Bibis, sementara Pak Ayub tak bisa bergabung. Tak sepatah kata pun permintaan agar aku membantu mereka kudengar. Mereka sudah memutuskan untuk minta bantuan anggota keluarga yang berduka untuk mengganti peran Pak Ayub. Tentu saja keputusan itu membuatku nyaman dan sedikit tenang.
Seperti biasa, aku mengantar rombongan ibu hingga rumah duka. Kali ini rumah duka yang menjadi tujuan berada di tepi jalan besar utara Pasar Mebel. Segala jenis truk bebas berlalu lalang di jalanan sejajar Kali Anyar itu. Tak ada horor yang kudengar di sepanjang perjalanan. Kalaupun ada, sejak dari rumah aku sudah siap dengan walkman yang telah tersambung kabel-kabel pengantar lengking Phil Collins menutup telinga.
***
SAMPAI di rumah duka, aku ikut turun sebentar untuk minum teh dan camilan yang sudah disiapkan tetangga kiri kanan rumah duka. Sudah cukup banyak orang yang datang. Sebagian besar sibuk menata tenda, kursi, dan memasang bendera merah di halaman sebagai tanda rumah duka. Aku memilih segera menghabiskan teh lalu menyingkir. Tidur di dalam mobil yang terparkir di bawah rindang pohon jambu di pinggir jalan depan rumah duka adalah pilihan utama bagiku ketimbang ikut menata tenda dan kursi.
Di dalam mobil, cuaca bagian utara Solo yang begitu terik siang itu sama sekali tak membuatku berkeringat. Sebaliknya, aku sangat merasakan kesejukan pendingin udara yang dua hari lalu sudah berisi freon baru. Kaca jendela mobil kututup rapat agar udara dingin tak merembes ke luar percuma. Aku tak memusingkan bau knalpot bocor yang belum sempat kubereskan di bengkel meruap di dalam kabin mobil.
Aku benar-benar menikmati udara sejuk dengan sedikit bau asap knalpot di dalam mobil. Rindang pohon jambu yang menangkis terpaan matahari pada kaca mobil menyempurnakan kesejukan ini. Dan, pilihan lagu-lagu terkini di sela suara Herman Jambojay yang tengah siaran dari studio Radio SAS menjadi pengantar tidur siang itu. Tak butuh waktu lama untuk membuatku pulas di kursi belakang kemudi yang sudah kuatur sandarannya sedemikian rupa agar tubuhku nyaman.
Entah sudah berapa lama aku lelap di dalam mobil. Rasanya belum pernah aku tidur senyenyak ini. Pulasku masih panjang saat kurasakan dingin di sudut kiri kanan bibirku. Dingin itu diikuti pijitan lembut yang menarik sudut bibir ke kiri dan kanan ke arah samping. Aku tak peduli. Pulasku belum tanak.
Tak lama setelah hilang rasa dingin itu, aku merasakan sensasi lain. Wajahku seperti tersapu kuas lembut. Sapuan kuas itu berlanjut dengan aroma bedak. Tak lama setelah aroma bedak dan sapuan kuas itu hilang, aku kembali merasakan pipiku basah oleh air. Berkali kuusap, berkali pula basah itu datang. Aku semakin merasa basah. Kini tak lagi pipi, namun sekujur wajah kurasakan basah.
Aku terpaksa membuka mata. Namun, hanya gelap yang tampak. Aku makin bingung saat kusadari gelap itu berasal dari wajah ibu yang tengah mencium keningku. Ibu menangis. Linangan air matanya membasahi wajahku. Aku mencoba mendorongnya, ibu bergeming. Aku mencoba teriak namun ibu tetap menangis tepat di wajahku. Sekencang apa pun aku berteriak, ibu sama sekali tak mendengarnya.
Belum hilang bingungku, aku semakin tak paham saat dapat melihat diriku sendiri. Kulihat tubuhku terbujur di dalam peti di pendapa rumahku dengan wajah sedikit cemerut. Tak ada celana pendek dan kaus hitam yang kukenakan saat mengantar ibu ke rumah duka di utara Pasar Mebel. Aku justru melihat tubuhku terbalut jas milikku satu-satunya dengan tangan terlipat di depan perut menggamit kitab suci. Tepat di samping ibu aku melihat bapak yang bermata sembab mencoba menenangkannya. Kudengar lirih bapak menggumamkan penyesalan.
“Maafkan Bapakmu, Nak. Mestinya kita segera ke bengkel selagi sempat.”
Bapak tak mampu menahan air matanya. Ia menangis bersama ibu di depan peti berisi tubuhku. Aku mulai bisa meraba apa yang terjadi. Wajah-wajah kerabat yang hanya datang saat ada kematian menguatkan rabaanku. Mereka saling berbisik tentang bahayanya berada di dalam mobil berhenti dengan pendingin udara dan mesin yang menyala selama berjam-jam. Mereka juga menggunjingkan ibu sebagai pangrukti laya yang tetap tabah merias wajah anaknya sendiri yang sudah tak bernyawa. Ah… ***

Catatan:
[1] Pangrukti Laya: pengurus jenazah dan perkabungan
[2] Pulasara: merawat, membersihkan

Hendromasto Prasetyo, penulis budaya, tinggal di pinggiran Jakarta.

Lelaki Penyair dan Perempuannya

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Media Indonesia, 31 Desember 2017)
Lelaki Penyair dan Perempuannya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Lelaki Penyair dan Perempuannya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
IA seorang penyair, lelaki, penyuka kopi, namun tak terlalu suka dengan sepi—ia tahu sepi bagian dari puisi. Rambutnya tak panjang, tidak seperti kebanyakan penyair muda. Lelaki itu sebenarnya tak pernah menyebut dirinya sendiri penyair.
Sehari saja tanpa bergelut dengan kata-kata, lelaki itu tak akan tenang dalam mengarungi waktu. Dan ke mana-mana ia selalu membawa buku. Tentu saja yang dimaksud buku adalah buku puisi. Singkatnya, jiwa kepenyairannya sudah mendarah daging.
Jika keluar rumah, terutama saat menghadiri acara kesastraan yang di mana di situ ada puisi, lelaki itu pasti mengenakan topi berwarna coklat, secoklat kayu yang warnanya pekat karena usia yang begitu tua. Tak pernah yang namanya ia mengenakan sepatu. Ia selalu memakai sandal. Kekasihnya beberapa kali menegurnya, namun ia tak peduli. Baginya, masalah penampilan, orang lain tidak boleh ikut campur.
Sore ini ia memandang langit jingga, tangannya tak membawa apa-apa, dan mungkin memang ia sedang tak mau apa-apa. Lelaki itu diam, khusyuk, seakan di balik langit jingga ada teka-teki dan ia sedang berusaha memecahkannya. Tak jauh dari lelaki itu berdiri, ada kafe. Namanya Kafe Pura-pura Sepi—penulis sama seperti lelaki itu, tidak habis pikir, kenapa nama kafe itu, Kafe Pura-pura Sepi. Memandang langit jingga di dekat kafe adalah rutinitasnya, namun bukan berarti hal itu ia lakukan setiap hari. Biasanya bila sudah menikmati sajian alam yang begitu melankolis, ia akan melangkahkan kaki ke kafe itu, menunggu kekasihnya. Tentu saja sebelum pertemuan tercipta, ada pertemuan lain, pertemuan itu di alam maya.
***
Perempuannya sangat cantik, ia seorang model papan atas, pinggulnya indah setengah mati. Jika ia kata-kata, ia lebih indah dari puisi romantis manapun. Tak jarang lelaki itu menulis puisi tentang perempuannya sendiri.
“Sudah lama?” Lelaki itu kaget, begitu ia merasakan lehernya dililit kelembutan tiada tara. Tapi ia segera menghilangkan kekagetannya. Sudah biasa lelaki itu diberlakukan seperti itu oleh kekasihnya.
“Terlambat lagi?” Lelaki itu bertanya, nadanya mengandung kekesalan.
“Maaf, tadi ada pemotretan dadakan. Aku harus profesional.”
Lelaki itu ingin berkata-kata, namun keinginan itu hanya keinginan belaka. Dipandanginya cangkir yang ada di hadapannya. Tak berisi, isinya sudah habis sejak setengah jam lalu. Perempuannya menyibakan rambut, seketika menguar aroma perempuan.
Suasana kafe sendiri tak begitu ramai. Kekasih lelaki itu memanggil pelayan, memesan apa yang diinginkan.
Sesungguhnya beberapa hari setelah memacari perempuan yang kini menjadi pacarnya, dada lelaki itu tak tenang, hari-harinya diliputi kabut kegelisahan. Lelaki itu tak habis pikir dengan perempuannya yang sangat sulit diberi pengertian. Sesungguhnya gelisah yang ada di dada lelaki itu gelisah cemburu, tapi apa mau dikata? Lelaki itu tak pernah berpikir panjang dulunya, rasa senang telah membuatnya tak dapat berpikir waras.
Setiap malam, perempuan itu ke klab malam, menari-nari dengan botol bir, atau kalau tidak minuman biasa. Bersama para lelaki yang kehausan perempuan—pacar lelaki itu bukan kupu-kupu malam. Lelaki itu pernah diajak. Pada awalnya ia senang menikmati kehidupan malam yang semacam itu. Namun lambat laun ia tak habis pikir, karena perempuannya seenaknya berciuman dengan para teman lelakinya. Itu sungguh tak dapat diterima akal sehatnya.
“Bisakah kau berhenti bergaul pada malam hari?” Akhirnya lelaki itu tak dapat menahan gejolak yang ada di balik dadanya. Jantungnya berpacu cepat.
“Kenapa?” Padahal perempuannya tahu isi hati lelaki itu, ia masih saja bertanya kenapa.
“Aku tidak ingin moralmu rusak.”
“Hah rusak?” Hampir saja perempuannya tersedak, perempuan itu sedang menikmati gelas pesanannya. “Aku tidak ingin kau terlalu mengaturku.”
“Kehidupan model telah membuat hatimu gelap. Sulit ternyata menyadarkan orang yang berjalan di jalan yang tidak benar.”
“Lho berjalan di jalan yang tidak benar bagaimana? Kan yang penting tidak kelewatan.”
Tiba-tiba saja lelaki itu membayangkan perempuannya pulang malam-malam, lewat tengah malam. Lalu di jalan, kendaraan yang dikendarai dicegat oleh begal. Tak ada orang yang menolong, tak ada siapa pun.
Tiba-tiba saja ia tak kuat membayangkan. Lelaki itu mengibaskan kepalanya.
***
Berhari-hari sudah lelaki itu mengoceh ini dan itu di depan perempuannya. Tak pernah bosan, tak henti-henti. Pernah pada suatu malam, lelaki itu mengasari perempuannya, menyeretnya pulang dari dunia malam itu. Tapi itu tak membuatnya jera. Hari berikutnya ia mengulangi lagi. Tersirat di benaknya, bagaimana jika hubungan ini diakhiri saja. Lelaki itu yang tak kuasa bila itu direalisasikan atau terealisasikan, ia sudah terlanjur mencintai perempuannya.
Kemudian ia membiarkan saja, ia juga meminta maaf, dan perempuannya tak sekeras batu, ia mau memaafkan, untuk yang kesekian kalinya. Mereka tetap seperti dulu, akan apel bila ada waktu yang tak mengganggu aktivitas masing-masing. Mereka juga masih sering mengunjungi Kafe Pura-Pura Sepi.
Dan perempuannya pun terlihat bahagia. Ya, kehidupannya sudah tak begitu diurusi oleh lelakinya. Lelaki itu sendiri bukan berarti merelakan perempuannya begitu saja dengan kehidupan malam harinya. Lelaki itu justru berpikir keras seiring berjalannya waktu. Dan pada suatu hari yang dipenuhi air hujan, ia tersenyum.
“Ya, aku harus segera melakukannya,” ucapnya mirip gumaman, rekahan senyumnya penuh kemenangan.
***
Sore ini lelaki itu duduk melamun di teras dengan layar laptop menatapnya. Sore ini ia tak apel. Kopi yang diraciknya sendiri telah mendingin, dan agaknya sebentar lagi hujan akan turun begitu deras karena langit yang begitu hitam. Mungkin saja malam nanti akan ditemani hujan. Bersamaan dengan angin yang berembus kencang, lamunan lelaki itu buyar.
Jari-jarinya kemudian mengetuk tuts laptop. Matanya sesekali ditajamkan.
Lelaki itu sedang membuat puisi sekaligus mengutak-atik file-file puisinya untuk dijadikan satu file—untuk dijadikan sebuah naskah. Lalu naskah itu nantinya akan ditawarkan ke penerbit.
“Aku harus segera menyelesaikannya, supaya hatiku tentram. Tunggulah, Ana. Aku akan segera memasukanmu ke dalam puisiku,” ucapnya.
Memasukan perempuannya ke dalam puisi?—penulis pun mengerutkan dahi. Tapi yang ada di dalam otak lelaki itu memang itu. Ia ingin memasukan perempuannya ke dalam puisinya sendiri—ia mendapat ilmu memasukan sesuatu ke dalam puisinya dari guru lamanya.
Lelaki itu berusaha mengatur keadaan seolah tidak akan terjadi apa-apa. Perempuannya, senja kali ini lebih manja dari biasanya. Telapak tangan lelaki itu meremas telapak tangan perempuannya—begitulah cara mereka mengisi waktu sebelum pesanan minuman sampai ke meja mereka. Senyum tersungging di bibir perempuannya. Lelaki itu tak ingin sesegera mungkin melaksanakan hasratnya. Ia mencoba menasehati sekali lagi. Dan yang ada, perempuannya naik darah. Cepat-cepat lelaki itu menenangkan.
“Kalau kau masih saja membahas itu, aku tak segan-segan mengakh…” Ucapan perempuannya terpotong.
“Cukup… Cukup… Aku tidak akan mengusikmu lagi. Aku janji, bila masih mengusik kehidupanmu itu, kau boleh melakukan apa saja terhadapku, termasuk mengakhiri hubungan ini.”
“Aku sangat mencintaimu, Egi.” Tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas, perempuannya berkata dengan nada sendu. “Kau juga mencintai aku kan?”
“Tentu saja, Ana.”
“Kalau kau sangat mencintai aku, tolong jangan usik aku lagi soal itu. Aku tak bisa meninggalkannya. Aku janji, akan baik-baik saja.”
Lelaki itu tak menanggapi ujaran perempuannya. Lalu ia membuka laptop, dibukanya file naskah puisi yang sudah siap untuk ditawarkan ke penerbit. Lelaki itu komat-kamit mulutnya.
“Kau kenapa, sih?”
Lelaki itu terus komat-kamit, tak menghiraukan pertanyaan perempuannya. Beberapa saat kemudian kata-kata yang terlontar dari mulutnya amat misterius, tak lebih dari sebuah mantra.
“Egi?”
Tubuh perempuannya berubah menjadi bercahaya, lelaki itu belum juga berhenti mulutnya.
“Lho, tubuhku… Egi… Egi…”
Kemudian terdengar teriakan yang begitu panjang. Setelah teriakan itu hilang, perempuannya sudah tak ada lagi di hadapannya. Lelaki itu lega, ia telah berhasil, memasukan perempuannya ke dalam salah satu puisinya. Sekarang ia tak perlu khawatir lagi, hari-harinya tak akan ia lewati dengan gelisah. Kalau semisal ia rindu dengan perempuannya, ia tinggal membuka puisinya.
Tapi sayangnya lelaki itu telah teledor. Amarah telah membuatnya tak sadar. Ia tidak tepat memasukan perempuannya ke dalam puisinya. Keteledoran itu baru ia sadari tiga hari setelah perempuannya masuk ke dalam puisinya. Seharusnya ia tak memasukan ke dalam puisinya yang berjudul, “Lelaki Mata Keranjang”. Lelaki itu kembali tak tenang, ia memikirkan perempuannya. Ia tahu, di dalam puisi ada kehidupan.
“Ana…” Ia menyebut nama perempuannya dengan lirih pada suatu malam yang tak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Seketika di pikirannya timbul pertanyaan, bagaimana bila kekasihku digagahi oleh tokoh ciptaanku sendiri?

Bantul, 2017
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen.

Catatan Kebodohan

Cerpen Umi Salamah (Kedaulatan Rakyat, 31 Desember 2017)
Catatan Kebodohan ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Catatan Kebodohan ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
KARMAN menatap sendu lembaran demi lembaran kertas di hadapannya. Diusapnya pelan sembari tersenyum miris. Hati prianya sangat terluka. Untuk kesekian kalinya, dia menumpahkan gundah hatinya ke dalam lembaran itu. Tangannya telah siap dengan pena. Hingga dia membuka semua lembaran yang tergores pena.
#3 Desember 2017
Kebodohan Karman-Menginjak akhir tahun, kebahagiaanku memuncak. Inilah saatsaat yang kutunggu. Pekerjaanku sebagai supir bus antarkota pasti akan menumpuk.
#10 Desember 2017
Kebodohan Karman-Istriku di kampung menelepon. Menagih janji kepulanganku. Sudah lewat 3 kali tahun baru aku tidak pulang. Aku hanya bisa menyanggupinya. Memang seharusnya aku menengok istri dan anakku di kampung. Tapi tabunganku belum cukup. Harus bagaimana aku?
#12 Desember 2017
Kebodohan Karman-Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengajukan diri kepada bos agar menambah jam bekerja. Aku tidak peduli dengan lelah dan penat. Tahun 2018 aku harus pulang ke kampung. Ketekatanku akhirnya membuat bos setuju.
#17 Desember 2017
Kebodohan Karman-Tabunganku masih belum cukup. Bulan Desember telah menginjak pertengahan, tetapi lonjakan penumpang belum terasa. Tapi aku tidak boleh menyerah.
#23 Desember 2017
Kebodohan Karman-Dua hari sebelum libur Hari Natal, lonjakan penumpang akhirnya datang. Hari ini sangat melelahkan, tetapi rasa ini tidak ada apa-apanya. Rasa rinduku kepada orang yang kucintai lebih mendominasi.
#25 Desember 2017
Kebodohan Karman-Tepat libur Hari Natal, aku masih bergelut dengan kemudi bus. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penumpang yang memilih hari ini sangat banyak. Lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Aku tentu bahagia. Hanya saja, tubuhku berkata lain. Kepalaku mulai pusing.
#26 Desember 2017
Kebodohan Karman-Rasa pusing yang datang terasa menyakitkan hari ini. Aku ingin menyerah dan memilih libur, tetapi aku tidak bisa. Tujuanku harus tercapai.
#27 Desember 2017
Kebodohan Karman-Rasa pusing yang amat sangat menimpaku. Tetap saja egoku berkata untuk bekerja. Mungkin atau memang benar, hari ini aku membuat kesalahan fatal karena mengabaikan rasa pusingku. Aku… aku membunuh. Delapan nyawa melayang akibat kelalaianku. Aku tidak seharusnya mengemudi dengan keadaan sakit. Akibatnya aku menabrak mobil yang tengah berbelok di depanku. Tanganku gemetar, lebih tepatnya tubuhku. Apakah Tuhan akan mencabut rencanaku?
#28 Desember 2017
Kebodohan Karman-Apa yang kutakutkan terjadi. Akulah tersangka utama dari kecelakaan itu. Semua impianku musnah. Terkungkung oleh jeruji besi dan hukum yang menjeratku. Haruskah aku menangis, berteriak, dan merutuki diriku?
Air mata Karman terus mengalir. Dia telah menyelesaikan membaca catatan kebodohannya. Tangannya membuka lembaran baru. Masih putih dan tidak tergores sedikit pun. Pena di tangannya bergerak di atas lembaran itu. Menumpahkan satu catatan kebodohannya.

Kebumen, 23 Desember 2017
*) Umi Salamah, lahir di Kebumen, 21 April 1996. Menulis novel, cerpen, puisi dan artikel. Buku terbarunya Because You Are My Star (Novel Remaja Kontemporer, Alra Media 2017). Alamat di Dukuh Ganggeng Desa Tanjungrejo RT 06 RW 03 Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen.