Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Jangan fokus sama kerjaan melulu. Enjoy your life, cari pacar, jalan. (hlm. 32)
eberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Di balik laki-laki hebat, selalu ada perempuan-perempuan hebat. (hlm. 158)
Sabar ya, rezeki mah nggak kemana. (hlm. 221)
Cinta tidak bisa memilih. Kalau mau tahu, cinta itu bukan dilihat, tapi dirasakan. (hlm. 231)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
Kuliah semester akhir dan bergelut sama skripsi bikin stress. Dosen
susah banget dimintain ACC, ada aja yang kurang. Tanda baca salah satu
doang, langsung ngambek. Boro-boro dibaca selanjutnya. Padahal tinggal
sedikit lagi, bisa langsung ke kesimpulan. (hlm. 15)
Bandung yang dulu bukanlah yang sekarang. (hlm. 21)
Namanya juga mahasiswa, yang gratisan selalu terasa istimewa. (hlm. 22)
Udah lah, resign aja kalau memang enggak betah kerja di sana. (hlm. 26)
Udah sayang-sayangnya, jalan ke mana-mana bareng, apa-apa saling bayarin, ujungnya putus. (hlm. 32)
Barang kan bermanfaat kalau dipakai, kalau dipajang gini nggak ada manfaatnya. (hlm. 46)
Dibandingin sama Kendall. Siapa pun kebanting, lah, kalau dibandingin sama dia mah. (hlm. 49)
Mana ada laki-laki normal yang sama sekali enggak pernah pacaran dengan serius seumur hidupnya? (hlm. 51)
Ngapain dipacarin kalau nggak suka? (hlm. 51)
Penting mana kesehatan dan nyawa lo kalau dibandingin sama duit? (hlm. 53)
Murah amat harga diri lo ya? Permen yupi gini udah bisa bikin lo senyum. (hlm. 63)
Gue nggak bisa bohog, takut kualat. (hlm. 76)
Dasar laki-laki! Enggak ada peka-pekanya! (hlm. 103)
Gue beneran salut sama betis cewek yang kuat berdiri lama buat belanja. (hlm. 107)
Mending diajak nikah muda. Biar nggak banyak dosa. (hlm. 141)
Apa sedang banyak orang yang lagi cemburu hari ini sehingga mereka butuh jus untuk mendinginkan hati? (hlm. 154)
Barang baru terasa berharga kalau udah hilang atau direbut orang. (hlm. 160)
Orang marah rentan kehilangan akalnya, dan memungkinkan dia untuk melakukan hal-hal di luar batas. (hlm. 180)
Cerpen Jemmy Piran (Koran Tempo, 10-11 Maret 2018) Harin Botan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Wanita beraroma kerang, apa kamu masih menunggu saya dalam laut?
Berdiri di bibir pantai ini sambil memandang pada kejauhan, bayangan
perempuan itu memenuhi kepala saya. Pertemuan pertama, secara tidak
sengaja itu, masih saya rahasiakan dari sesama teman penyelam. Memang
sudah saya pikirkan, saya tetap merahasiakan dari mereka. Karena, jika
saya menceritakan, mungkin sekali mereka akan memilih berhenti menjadi
penyelam. Memilih bercocok tanam untuk menyambung hidup, barangkali.
Atau memilih pekerjaan selain menjadi penembak ikan. Atau, jika saya
bercerita, mereka akan menuduh saya tidak beres. Mereka sendiri belum
tentu menerima kenyataan bahwa ada perempuan cantik yang selalu saya
temui setiap kali turun menyelam. Di dalam laut di hadapan saya inilah
segala cerita tentang pertemuan, percintaan, dan perayaan pernikahan
yang meriah telah berlangsung. Semua tetap rahasia dan akan tetap saya
rahasiakan dari siapa pun.
Hasrat saya selalu membuncah setiap menelusuri kedalaman laut
dangkal, karena di sana saya berjumpa dengan perempuan itu. Yang berdagu
tirus dan berbibir lembap beraroma agar-agar ketika saya telusuri
dengan ciuman. Aroma asin selalu membuat saya ingin kembali dan
membiarkan kepalanya bersandar di dada ringkih saya. Atau membiarkan
bibirnya menghunjam sekujur tubuh saya dengan hasrat yang penuh. Tapi,
kini, laut di hadapan saya ini bagai bara dan, ketika saya menyentuhnya,
tubuh saya panas.
***
Mula-mula saya tertegun oleh sekelabat bayang yang melintas cepat.
Dada saya bergetar, dan saya tidak bisa memastikan. Semuanya kembali
seperti biasa. Saya kembali ke permukaan laut. Mengelap kacamata selam
yang sudah tampak tua dan kabur, lantas kembali meluncur ke bawah dengan
cepat. Saya memburu seekor ikan kakap yang terlepas dari mata panah.
Saya menelusuri sisi batu dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Jika
sekelebat ikan dengan gesit berlari menghindar, saya pastikan, tidak
pernah bisa terlepas dari bidikan. Saya belum bisa tenang jika ikan yang
pernah terlepas dari mata panah saya belum menemukan ajalnya di ujung
tombak ini lagi.
Sebagai lelaki yang sudah lama menyelam, saya tahu bagaimana cara
mengambil sudut terbaik untuk membidik seekor ikan yang berada di bawah
terumbu karang. Itulah sebabnya mengapa jiwa ikan selalu berakhir di
tangan saya.
Tapi, ada satu hal aneh yang sampai sekarang belum saya pahami. Bahwa
sepertinya ikan dengan suka rela menyerahkan nyawanya tanpa harus
bersusah memburunya dengan terburu-buru. Semakin ke sini, ikan-ikan
tidak lagi menghindar, malah justru semakin berkitaran di sekitar saya.
Dan, tak sampai sejam, tali sepanjang sedepa sudah penuh dengan
ikan-ikan kakap. Saya tidak bersusah payah mengejar ikan. Atas dasar
itulah hasrat saya selalu membuncah untuk turun ke laut. Dan, melihat
tangkapan saya selalu melimpah, warga lantas menyandar gelar baru untuk
saya sebagai penembak sejati.
Pada suatu petang, saat matahari tenggelam dalam genggaman awan. Saat
memanah ikan terakhir, sebelum saya kembali ke permukaan untuk
mengambil napas, seorang perempuan berdiri di sisi batu, menatap saya.
Saya terkejut. Jantung saya bergetar hebat. Saya mengumpulkan
kekuatan pada kaki, lalu dengan satu hentakan, saya mengambang ke
permukaan. Saya tidak percaya.
Setelah mengambil napas, saya menenggelamkan kepala ke dalam laut. Ia
masih berdiri di sana, menatap saya dan memberikan sebuah senyuman.
Menawan sekali. Saya percaya, siapa pun akan luluh dan bersedia bertekuk
lutut pada kecantikannya.
Begitu saja ia merentangkan tangannya, seperti hendak mengundang saya
agar mendekat. Saya merasa seperti ditarik oleh sebuah kekuatan mistis,
dan begitu saja diluar kendali, saya berenang ke arahnya. Saat saya
hendak mencapainya, ia berenang menjauh, bersembunyi di balik batu,
melongokkan kepala, lalu memberikan senyum yang begitu menawan. Senyuman
mengundang.
Saya mengejarnya. Ia semakin gesit menghindar.
Ia menghilang di balik batu. Saya putus asa, dan hendak kembali ke
permukaan, dari arah belakang ada tangan mungil, lembut, menangkap dan
memeluk saya. Rambutnya beraroma kerang. Wangi yang menenteramkan.
“Dapat kau,” bisiknya dekat daun telinga. Ia tertawa. Saya bergidik.
Tangan saya langsung memegang tangannya. Ia semakin erat memeluk saya.
“Siapa kamu?”
“Kekasihmu.” Tanpa beban ia berujar. Saya agak terkejut, tapi bisa
menguasai diri. Sebelum saya menyeringai, ia sudah mencium saya. Lelaki
mana yang bisa menolak sebuah ciuman dari wanita asing yang berparas
menawan? Wanita yang seolah siap menyerahkan dirinya dengan utuh untuk
dijamah. Saya membalas ciumannya dengan rasa gugup.
Setelah ciuman panjang, ia berujar manja, “Apa kamu mencintaiku?”
“Saya mencintaimu.”
“Apa kamu percaya bahwa ada sesosok makhluk yang menjaga segala
sesuatu di dalam laut? Katakan saja seperti ini, dia yang mengendalikan
alam dalam air. Hmm, ya, semacam makhluk tak kasatmata.”
Saya berpikir sejenak. “Antara percaya dan tidak, Nona. O, ya, kita
belum berkenalan, nama kamu siapa? Apa saya panggil dengan sebutan nona
saja?”
“La Calca. Rerata nama kami di sini menggunakan nama ilmiah. Dari nama Latin.”
“Nama yang manis.”
Kami terdiam cukup lama. Saya tidak tahu apa yang ia pikirkan. Saya hanya diam dan sesekali menatapnya.
“Saya ingin memperkenalkan kamu ke orang tua.”
Usai berkata demikian, ia menggandeng tangan saya, lalu kami berenang
dan terus berenang. Sesekali saya menoleh ke belakang dan menemukan
segerombolan ikan mengikuti kami dari belakang. Ikan-ikan itu tampak
bahagia.
“Apa yang mereka inginkan dari kita?” tanya saya sambil menunjuk ke arah ikan di belakang.
“Mereka bahagia karena kehadiran kita,” ia berkata tapi seperti ada
yang tidak selesai dalam nada kalimatnya. Saya tidak sempat bertanya
lagi karena sudah memasuki sebuah gerbang. Di sisi kiri dan kanan
gerbang, para penjaga menghormat takzim begitu kami lewat. Mereka
menyambut kami dengan wajah berbinar.
Begitu pintu dibukakan, seorang lelaki dan perempuan duduk manis di
atas takhta, menyambut kami. Dari pancaran wajah, saya menduga mereka
sudah mengetahui kedatangan kami. Sang lelaki segera turun dan
merentangkan tangannya. Kami berpelukan, dan begitu juga dengan sang
wanita.
Kami cepat akrab dengan obrolan-obrolan tentang ikan-ikan yang berada
di dalam laut. Sang lelaki mengisahkan kepada saya tentang
perburuannya. Ia pernah menjadi seorang pemukat dan pernah dibenci oleh
orang-orang hanya karena tangkapannya selalu melimpah. Tapi ia tidak
pernah membenci orang-orang yang menaruh benci terhadap dirinya. Dengan
dada terluka karena cacian warga, ia masih sempat menjelaskan kepada
mereka bahwa menangkap ikan itu tidak hanya menggunakan ilmu
pengetahuan, tetapi juga harus memanfaatkan warisan turun-temurun.
Usai bercerita, saya dan La Calca berkeliling. Saya sangat takjub
dengan tata ruang di tempat ini. Dengan singkat kata bisa dikatakan
seperti ini: segala yang ada, yang tampak kasatmata adalah sebuah
perpaduan yang memanjakan mata.
“Sepertinya kamu harus kembali dulu,” ujarnya.
“Ikutlah bersama saya.”
“Nanti ada waktunya saya akan ikut bersama kamu, Sayang.”
Sepertinya ia tak ingin melepaskan saya, ia cemberut. Tapi cepat ia menguasai diri agar terlihat biasa.
“Besok saya menunggu kamu di sini.”
***
Sejak pertemuan dalam laut yang tidak pernah saya duga itu, saya
merasa ada keterikatan penuh dengan laut. Ketika saya berada di darat,
saya merasa ia seperti terus mengikuti ke mana langkah bergegas. Dan,
setiap kali turun menyelam, saya selalu bertemu dengan wanita itu. Ia
selalu menunggu saya di tempat kami bertemu pertama kali.
Ia senang menemani saya menembak ikan. Dan, yang paling saya senang
dari kehadirannya di sisi saya adalah ikan-ikan seperti begitu jinak. Ia
hanya merentangkan tangan maka segerombolan ikan akan mengitari kami.
Lalu selanjutnya ia akan menyuruh saya memilih untuk menembak ikan yang
mana.
Sesekali ia mengajak saya berkeliling ke tempat-tempat yang belum
pernah saya singgahi. Ia selalu berhasil memenangkan hati saya dengan
keindahan bawah laut. Bahkan pernah saya tinggal bersamanya beberapa
hari. Kami dibiarkan tidur bersama oleh orang tuanya.
Di tanjung, kami duduk berdua sambil memandang senja yang kuning
berkilauan. Saya tidak tahu di mana tepatnya kami saat ini. Tapi, yang
pastinya ini bukan dunia khayalan karena saya bisa mendengar dengan
jelas debur ombak di bawah sana. Sebelum matahari tenggelam tadi bisa
saya rasakan hangatnya.
La Calca melirik ke arah saya, kemudian memandang jauh ke depan,
mendesah, seolah-olah ia seperti sedang menanggung beban yang amat
berat. Setelah diam beberapa saat, ia menarik lengan saya lebih
mendekat.
“Apa yang kamu pikirkan?”
Ia menarik napas panjang, mengembuskan, lalu bertanya, “Apa kamu percaya bahwa dalam hidup ada kebetulan?”
Saya menggangguk tapi ragu.
“Kamu tidak ingin hidup di sini? Maksudnya bersama kami dalam laut.”
Saya tercengang mendengar pertanyaannya. Kenapa sekarang ia meminta
saya tinggal bersamanya di dalam laut? Kenapa? Apa karena kami telah
menikah? Sebelum menemukan jawaban, ia sudah memandang ke arah mata
saya. Lama sekali. Saya juga memandangnya. Dan saya menemukan sesuatu
dalam liang matanya. Mata yang sarat dengan luka.
“Ceritalah apa yang ingin kamu bagikan.”
Sekali lagi ia menarik napas, mengembus ke arah wajah saya.
“Saya tidak percaya akan adanya kebetulan. Perjumpaan kita bukan
kebetulan. Sejak dulu leluhurmu selalu memerhatikan kehidupan kami di
sini. Dan, itu membuat kami cukup bahagia dan tetap melimpahi
berkah-berkah dari laut untuk kehidupan mereka. Tapi, setelah generasi
leluhurmu berlalu, perlahan-lahan orang-orang mulai melupakan kami. Itu
menyedihkan.
“Dan, mungkin ini kedengaran kejam: kamu adalah hadiah atas
keserakahan orang-orang terhadap laut. Itu sebabnya kenapa saya berkata
perjumpaan kita bukan kebetulan. Pernikahan kita adalah perayaan
terbesar yang pernah terjadi karena kamu adalah satu-satunya orang yang
bersedia dengan tulus untuk dinikahkan dengan putri dari ayah saya.”
Ia memberi jeda, menelan ludah.
“Apa kamu tahu siapa saya?”
“Tahu.”
“Lantas?”
“Saya tidak peduli. Saya sudah membutakan dan menulikan mata dan
telinga. Kalau kamu berkenan, kita pergi ke kampung, tinggal di sana.”
“Dunia kita tetap berbeda.”
“Bukankah kita sudah menikah?”
“Kita hanya terikat secara jiwa. Saatnya nanti, jiwamu yang telah
diikatkan itu akan menyatu kembali dengan tubuhmu. Mau tidak mau, kamu
akan meninggalkan sanak kerabat di kampung dan akan bergabung bersama
kami di sini.
“Kami sudah melakukan pertemuan akbar membicarakanmu. Dalam pertemuan
itu mereka menghendaki agar kamu menjadi seperti yang mereka inginkan.
Saya keberatan. Saya meyakinkan mereka bahwa saya bisa berbicara
baik-baik, mengajakmu kemari dan tinggal bersama kami selamanya. Tanpa
harus membuat dirimu terseret arus, atau tali membelit sekujur tubuhmu,
atau menenggelamkan tubuhmu dalam gulungan ombak sampai kamu meregang
nyawa. Mereka setuju dengan usulan saya. Dan, mereka menawarkan segala
kenyamanan untuk kamu. Kamu hanya perlu hilang selama-lamanya dari
kehidupan di kampungmu, dari rutinitasmu sebagai manusia yang
membosankan itu.”
Ia menggenggam tangan saya. Saya menatap matanya, tapi pikiran saya
mengambang. Saya mengusap matanya karena matanya berair. Mungkin
perasaan haru menyergap dirinya.
“Apa kamu tidak ingin hidup dan tinggal bersama kami?”
Sekali lagi saya menatap matanya. Saya temukan ada sesuatu yang pasti
dari sorot matanya. Seperti sesuatu yang bisa membebaskan jiwa saya
dari segala keterikatan. Di ujung bisu saya mengangguk pasti.
Setelah menghilang dua hari dari kampung dan ditemukan kembali oleh
salah seorang warga di dalam tubuh pohon bakau, rumor langsung beredar.
Mereka terang-terangan mengatakan bahwa jiwa saya telah “diikat” oleh
harin botan. Saya tidak menjawab.
Tetua di kampung langsung melakukan ritual pembebasan jiwa saya dan
menangkal agar saya dijauhi dari segala pengaruh. Saya hanya diam. Saya
tahu mereka tidak bisa mengembalikan jiwa saya. Mereka membuang semua
peralatan menyelam milik saya.
Kini, saya tidak lagi melaut karena hamparan laut di depan saya
terlihat bagai bara dan terasa panas saat disentuh. Tapi, hasrat untuk
datang ke pantai ini selalu membuncah, mengalahkan larangan itu. Walau
mereka sudah menangkal dengan ritual-ritual yang tiap bulan dilarungkan
ke laut, saya yakin ia, kekasih saya, akan membawa saya ke dunianya,
dunia bawah air. Sebuah dunia yang tidak perlu menuntut saya untuk
bekerja lebih keras karena semuanya telah disediakan. Bagaimana juga,
suatu saat saya akan ke sana, sebab mereka telah mengikat jiwa saya.
“Apakah ritual yang mereka lakukan membuat jalanmu kepada saya untuk
bertemu di pantai ini secara diam-diam telah tertutup? Jangan khawatir,
saya akan menemuimu dengan cara apa pun, bukan hanya karena kita telah
terikat, tapi sebagai hadiah agar orang-orang saya tahu bahwa ada
kehidupan lain dalam air, yang selalu menjaga keseimbangan laut.”
Wanita beraroma kerang, apa kamu masih menunggu saya dalam laut?
Waimana I, September 2017
Catatan: Harin Botan: makhluk penjaga laut yang berwujud perempuan cantik.
Jemmy Piran lahir di
Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universitas Nusa Cendana,
Kupang. Beberapa tulisannya, puisi dan cerpen, tersiar di sejumlah
media. Kini ia tinggal di Waimana 1, Larantuka, Flores, Nusa Tenggara
Timur.
Cerpen Mashdar Zainal (Kedaulatan Rakyat, 11 Maret 2018) Hantu Pelakor ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Dikampung kami, para istri selalu cemas ketika melepaskan suaminya
keluar rumah. Lantaran, beberapa bulan terakhir, tersiar kabar perihal
hantu perempuan yang suka memangsa para lelaki beristri. Hantu itu
bernama Pelakor. Tak seorang pun pernah menjumpai penampakan hantu
perempuan itu. Konon, mereka hantu yang pandai bersolek, ahli merayu dan
berkata manis, sebelum menjerumuskan para lelaki ke tempat lain. Hantu
perempuan itu adalah hantu yang paling pandai berkedok.
Lelaki yang sudah dirasuki hantu Pelakor akan menghilang
perlahan-lahan dari adapan istrinya. Ciri-ciri lelaki yang sudah
dirasuki hantu Pelakor adalah, mereka tidak pernah betah berlama-lama di
rumah. Kata-kata dan sikapnya menjadi dingin. Serta kehilangan selera
bercinta dengan istri sendiri. Kalau suamimu di rumah mulai dijangkiti
hal-hal semacam itu, maka kau patut was-was. Sebab, ruh suamimu sudah
dibawa dan disembunyikan oleh hantu Pelakor. Sosok lelaki yang ada di
hadapanmu itu cuma jasad. Dan tak lama lagi, jasad itu pun bakal pergi
seutuhnya dari hadapanmu. Meninggalkanmu. Pergi dan menjadi budak hantu
yang telah memegang ruhnya.
Hal seperti itu sudah terjadi di kampung kami. Persis. Tiga hari
lalu, suami Bu Dewi pergi membawa koper meninggalkan rumah. Untuk pindah
ke rumah hantu perempuan yang telah membawa jiwanya. Betapapun usaha Bu
Dewi mempertahankan suaminya, suaminya tetap saja tak sudi kembali. Bu
Dewi sempat adu mulut dengan suaminya di teras rumah, hingga menjadi
tontonan orang-orang. Menjadi bahan rumpian para tetangga.
“Kasihan Bu Dewi, ya.”
“Betul, kasihan sekali.”
“Jadi, bagaimana sebenarnya cara melindungi suami kita dari hantu Pelakor?”
“Caranya sebenarnya gampang, kita para istri, harus pandai-pandai
menjaga suami. Dengan cara memusatkan perhatian. Fokus. Memuaskan suami,
lahir dan batin. Tidak usah terlalu cerewet dan menuntut pada suami.
Dan tentu saja, harus pandai merawat diri sendiri. Meski di rumah,
perempuan harus tampil cantik. Rajin maskeran. Sisir rambut yang betul.
Pakai minyak wangi. Jangan kentut sembarangan di muka suami. Intinya
jangan sampai pesona kita kalah dengan pesona hantu Pelakor.”
“Tapi, meski perempuan sudah melakukan itu semua, kadang para lelaki tetap saja didatangi dan mendatangi hantu Pelakor.”
“Betul juga. Bu Dewi contohnya, kurang apa coba. Sudah cantik,
bahenol, pandai memasak sampai punya restoran lima cabang. Tapi tetap
saja suaminya hilang.”
“Jadi, menurutku, sebenarnya bukan cuma perempuan yang harus waspada.
Laki-laki pun juga demikian. Laki-laki itu nafsunya kecil, tapi buas.
Sedikit saja nafsu itu dibiarkan terjaga, hantu Pelakor datang langsung
sikat, dikira istrinya.”
“Betul itu, rumah tangga kan bukan cuma milik perempuan, tapi juga
milik laki-laki. Jadi, dua-duanya harus saling menjaga. Ketika sosok
mempesona datang menjelma orang ketiga, para pasutri ini harus
benar-benar ingat, bahwa di belakang mereka ada orang-orang yang
mengandalkannya, ada pasangan masing-masing, ada anak-anak, ada orang
tua, ada mertua, dan semuanya punya hati, dan tak suka dikhianati. Masa
iya, rumah tangga harus hancur gara-gara sesosok hantu yang menjelma
orang ketiga.”
“Tapi mungkin juga tidak semudah itu. Sebab, dalam beberapa hal,
kadang manusia tak bisa berbuat banyak. Diketeki sama nafsunya sendiri.”
Semenjak ditinggal suaminya, Bu Dewi mulai malas kumpul-kumpul dengan
tetangga. Ia enggan datang ke arisan, tidak pula ke pengajian.
Pekerjaannya cuma bermuram durja di dalam rumah. Sekalinya keluar rumah,
Bu Dewi tidak pulang selama beberapa hari. Anak-anaknya dititipkan ke
pembantu. Kata pembantunya, Bu Dewi pelesir keluar kota buat menghibur
diri. Kelewat bulan, tak ada lagi orang yang memerhatikan kehidupan Bu
Dewi. Hingga suatu malam, keributan kembali terjadi. Seorang wanita
paruh baya, melabrak rumah Bu Dewi dan menyerapahi Bu Dewi sebagai hantu
perempuan perebut laki orang. Kami tak pernah tahu bahwa hantu Pelakor
bisa saja menulari korbannya.
Semakin hari, hantu Pelakor pun semakin memakan banyak korban. Di
kampung kami, dari hari ke hari. Semakin banyak perempuan yang
kehilangan suami. Semakin banyak rumah tangga yang porak poranda
gara-gara hantu satu itu. Bahkan belakangan, muncul fenomena hantu baru.
Hantu laki-laki yang suka merasuki istri orang. Hantu itu bernama
Pebinor. Modusnya sama dengan Pelakor. Yang satu korbannya laki orang,
dan yang satu korbannya bini orang. Kedua hantu itu konon semakin sakti
dan merajalela. Hingga tak bisa lagi dibedakan. Kadang korban hantu
Pelakor adalah hantu Pebinor itu sendiri. Atau, korban hantu Pebinor
adalah hantu Pelakor itu sendiri.
Begitu rumit dan bersilang sengkerutnya kehidupan rumah tangga yang
dijangkiti hantu-hantu menyeramkan semacam itu. Hantu yang telah ada
sejak zaman primitif, dan akan terus berevolusi menjadi hantu-hantu baru
dengan nama-nama baru.q– g
Malang, 6 Maret 2018
Mashdar Zainal, lahir di
Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Buku
terbarunya “Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran”, 2018. Kini bermukim di
Malang.
Cerpen Sori Siregar (Kompas, 11 Februari 2018) Menjelang Bebas ilustrasi I Komang Mertha Sedana/Kompas
Dengan debar jantung seorang penderita aritmia, Hendar terus menatap
ke luar jendela dari lantai dua rumahnya. Cemas menghantuinya sejak
sebulan lalu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hari tuanya setelah ia
pensiun akan terganggu seperti ini.
“Ayah tidak boleh terus-menerus ketakutan seperti itu. Putusan yang
ayah jatuhkan benar-benar berdasarkan hati nurani dan sesuai dengan
ketentuan undang-undang,” ujar putranya Hamonangan.
Hendar tampaknya tidak mendengar kata-kata anaknya itu. Atau
pura-pura tidak mendengarnya. Ia terus menatap ke luar jendela.
Kelihatannya ia menunggu sesuatu atau seseorang yang entah kapan
munculnya.
“Ia tidak sejahat seperti yang ayah katakan. Ayah adalah temannya
sejak sekolah dasar. Walaupun ia bekas kepala preman dan dikenal dengan
sebutan Preman Besar, aku yakin ia tidak akan berbuat sesuatu yang
merugikan dirinya sendiri. Kebebasan yang akan diperolehnya tidak akan
membuatnya gegabah. Percayalah, Ayah,” Hamongan melanjutkan.
Hendar mengalihkan tatapannya ke wajah anaknya. Namun, ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Ia tetap yakin, Gorga akan datang
menemuinya dan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Itu yang tak
pernah terpikirkan olehnya selama lima tahun terakhir, selama Gorga
disekap, sejak ia menjatuhkan putusannya. Karena keputusan itu pula
banyak pujian yang dilontarkan kepadanya, termasuk dari berbagai media
arus utama. Hendar dianggap berani, karena tokoh yang dihadapinya adalah
orang yang terkenal berdarah dingin dan berani berbuat apa saja untuk
kepentingannya.
Karena ayahnya tidak mengindahkan sarannya, Hamonangan meninggalkan
orangtuanya seorang diri di lantai dua itu. Hamonangan merasa ia harus
mengucapkan kata-kata yang sama keesokan harinya, keesokannya lagi dan
hari-hari seterusnya.
Gorga bukan hanya sekali diajukan ke pengadilan. Tetapi ia senantiasa
lolos, karena para hakim yang mengadilinya tetap mengeluarkan keputusan
bebas murni. Desas-desus pun tak terelakkan. Keputusan bebas murni itu
diberikan karena para hakim takut pada orang yang mereka adili. Hanya
Hendar yang berani menjatuhkan putusan lima tahun penjara kepada Gorga,
temannya sejak sekolah dasar itu.
Sebelum putusan mengejutkan itu diucapkan, Gorga sudah merasa Hendar
akan berani mengambil keputusan sesuai dengan tuntutan jaksa. Gorga
merasa seperti itu karena Hendar bukan orang mudah melumpuhkan hati
nuraninya. Hati nurani itu tidak mengenal kompromi, teman, famili, atau
ancaman. Apalagi ia sadar, putusan yang dijatuhkan bukanlah putusan yang
diambilnya seorang diri, tetapi keputusan bersama dengan empat hakim
anggota lainnya. Karena itu Gorga tidak berharap kali ini ia akan bebas
dari hukuman. Ia akan menerima hukuman tersebut dan tidak akan berupaya
untuk mengajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Hendar sendiri pun yakin, Gorga akan menerima hukuman seperti yang
dijatuhkan kepadanya. Karena itu ia tidak pernah sedikit pun merasa
takut untuk mengucapkan putusan yang telah disepakati bersama itu.
Hendar sadar, ia dan Gorga berteman sejak sekolah dasar. Tetapi
perjalanan hidup telah membuat mereka berada pada kutub yang berbeda dan
tidak saling berkomunikasi selama bertahun-tahun. Tidak berkomunikasi
bukanlah berarti mereka saling melupakan apalagi berseteru. Hendar tahu
bahwa Gorga adalah raja dunia hitam yang ditakuti di kota mereka. Begitu
pula Gorga. Ia tahu Hendar adalah penegak hukum yang tegas dan tidak
jarang membuat terdakwa yang diadilinya gentar walaupun mereka
didampingi penasihat hukum yang punya nama besar yang selalu memenangkan
kliennya.
“Masih Gorga juga yang ditunggu?” tanya istrinya.
Hendar yang menghadapkan kursinya ke jendela rumahnya di lantai dua
itu tidak merasa perlu menjawab pertanyaan istrinya. Ia merasa anaknya,
Hamonangan, dan istrinya, Lumongga, hanya berupaya mengusir, paling
tidak mengurangi rasa takutnya. Bisa saja mereka juga takut, tapi itu
tidak mereka perlihatkan.
“Bapak dan teman-teman hakim pernah menjatuhkan hukuman yang sama
beratnya kepada seorang tokoh politik, pemimpin partai dan pejabat
penting. Tapi Bapak tenang-tenang saja sampai bekas pejabat penting itu
dibebaskan. Apa bedanya dengan Gorga? Mengapa Gorga begitu menyiksa
pikiran Bapak?”
Lalu lintas di jalan raya masih ramai dengan kekurangajaran pengguna
jalan itu. Masing-masing saling mendahului, saling serobot dan saling
menyalib. Hendar menyaksikan semua itu tanpa reaksi, karena hal itu
memang telah menjadi kebiasaan pengguna jalan. Tidak ada yang perlu
dirisaukan karena lalu lintas yang semrawut itu.
“Mengapa Bapak tidak menemui keempat hakim teman Bapak ketika
menjatuhkan hukuman itu untuk mengetahui apakah mereka juga gusar dan
takut karena Gorga akan bebas bulan depan? Bapak tidak perlu menanggung
beban ini seorang diri,” tutur istrinya lagi.
Pemikiran yang baik, ujar Hendar kepada dirinya. Bisa saja
teman-temannya yang menjatuhkan hukuman itu tidak merasa ada yang
mengkhawatirkan yang akan terjadi. Apalagi mereka adalah hakim-hakim
yang baik, jujur dan terpuji integritasnya. Tetapi mereka semua bukan
teman Gorga sejak sekolah dasar. Bahkan, mereka tidak mengenal Gorga
secara pribadi. Perlukah aku menemui mereka? Hendar bertanya kepada
dirinya. Ah, tidak. Kerisauanku ini tidak perlu diketahui orang lain,
selain istri dan anakku.
Hari pembebasan Gorga semakin mendekat. Kegalauan Hendar juga
meningkat. Terkadang tengah malam ia membuka gorden jendela dan menatap
jauh ke ujung jalan. Waktu tidurnya semakin berkurang dan tubuhnya
semakin kurus. Tanpa ada yang menganjurkan akhirnya ia memutuskan untuk
langsung menemui Gorga di penjara dan menghentikan aktivitasnya menunggu
di depan jendela di lantai dua rumahnya.
“Aku akan ke penjara menemui Gorga,” katanya kepada istrinya setelah selesai sarapan pagi.
Istrinya yang tidak percaya pada pendengarannya itu, berpaling dan bertanya. “Menemui Gorga di penjara?”
“Ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk meminta maaf.”
“Bapak tidak bersalah. Bapak telah mengambil putusan yang benar.”
“Ada wartawan yang mengatakan, Gorga menjadi korban peradilan sesat.
Yang bersalah sebenarnya bukan Gorga, tetapi orang lain yang sama sekali
tidak dikenalnya. Orang itulah yang membunuh hakim pemberani itu. Gorga
hanya menjadi korban dari orang yang akan menggantikannya.”
“Orang yang akan menggantikannya?”
“Ya, orang yang akan menggantikannya sebagai pelindung dan penyelamat
orang-orang penting di kota itu. Sebelum ini mereka membutuhkan Gorga,
belakangan mereka berpaling dari Gorga karena Preman Besar ini telah
melanggar janji dan bersekutu dengan aparat.”
“Aku harap setelah menemui Gorga dan meminta maaf Bapak akan merasa lebih tenang.”
“Tidak jadi membesuk Gorga, Ayah?” tanya Hamonangan.
Hendar diam. Ia menunda kunjungan menemui Gorga diambilnya satu jam
sebelumnya. Ia tidak yakin Gorga disekap di penjara yang akan
dikunjunginya itu. Jangan-jangan Gorga telah dipindahkan entah ke mana,
atau telah dilenyapkan. Kata kerja pasif “dilenyapkan” tiba-tiba seakan
memberikan kekuatan kepadanya. Mudah-mudahan Gorga memang telah
dilenyapkan. Dengan demikian sebuah dendam juga tak terbalaskan. Hendar
kelihatan tenang. Ia telah menemukan jalan keluar. Mulai besok ia tidak
akan duduk menunggu lagi di depan jendela di lantai dua itu karena Gorga
telah tiada. Yang pernah ada telah menjadi tiada. Yang ditakutkan tidak
pernah akan datang menyergapnya.
“Kan Ibu sudah lama mengatakan kepada Ayah, Gorga yang sering Ayah
sebut itu tidak pernah dijatuhi hukuman dan tidak pernah disekap dalam
bui. Ia teman Ayah, teman sejak sekolah dasar. Teman baik yang selalu
datang bersilaturahim.”
“Kau yakin Gorga tidak pernah di penjara?”
“Sangat yakin. Lihat itu siapa yang datang.”
Hendar berpaling dan melihat ke halaman depan rumahnya.
“Gorga, ya Gorga.”
“Ayah dihantui pemikiran yang bukan-bukan setelah pensiun. Padahal
Ayah tidak pernah menjadi hakim seumur hidup Ayah. Ayah hanya bekerja di
Kementerian Kehakiman sebagai pegawai tata usaha.”
Hendar berupaya keras memanggil kembali ingatannya yang bersembunyi
entah ke mana. Begitu ingatan itu kembali ke tempatnya, Hendar langsung
bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Mendengar pertanyaan Ayahnya itu Hamonangan dengan tenang berkata:
“Berbagai pemikiran dan khayalan sering kali timbul setelah seseorang
pensiun. Banyak yang seperti itu. Terutama buat orang yang tidak
menjaga kejernihannya berpikir. Mengurus bunga-bunga di halaman yang
luasnya tidak seberapa hanya dapat menolong sedikit. Kerja-kerja sepele
juga tidak membantu banyak. Mengobrol setiap hari dengan tetangga juga
membosankan. Pensiun bukanlah momok. Ini merupakan momen yang sangat
baik untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya terlupakan, misalnya
membaca. Ayah penggemar buku, tapi Ayah jarang sekali membaca karena
rutinitas di kantor. Aku lihat Ayah terlalu banyak membuang waktu untuk
menjelajah dunia khayalan yang begitu liar dan menakutkan. Temuilah
Gorga, ia sudah duduk di ruang tamu.”
Tanpa membantah ia memasuki ruang tamu menemui temannya sejak sekolah dasar itu.
Gorga adalah satu-satunya temannya yang paling tidak seminggu sekali
datang menemuinya. Di luar waktu satu kali seminggu itulah Hendar
berselancar dengan khayalan-khayalan yang mengantarkannya kepada
perilaku yang tidak biasa itu. Termasuk duduk di depan jendela di lantai
dua rumahnya setiap hari. Dan, semua kata-kata anak dan istrinya yang
menyusup ke telinganya adalah ciptaannya sendiri.
Sori Siregar lebih dikenal
sebagai penulis cerpen, walaupun ia juga menulis novel dan sejumlah
tulisan di rubrik kolom berbagai media. Ia pernah dua kali mendapat
penghargaan Dewan Kesenian Jakarta untuk novel-novelnya. Beberapa
cerpennya juga terpilih dalam kumpulan cerita pendek Pilihan Kompas. Kini ia menetap di Jakarta. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
I Komang Mertha Sedana, biasa disapa Mang Gen, lahir di Tabanan, Bali. Ia menjadi salah satu penggagas Komunitas Djamur, sekelompok seniman street art di Denpasar. Ia pernah menjadi juara I Lomba Mural Kutabek 2007, juga menjadi juara I Lomba T-Shirt Panting Kutabek.
Cerpen Zainul Muttaqin (Radar Surabaya, 04 Maret 2018) Ulat Mata ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Penyakit yang menyerang Sulaep bukan penyakit biasa, semacam penyakit
kiriman. Awalnya gatal biasa dari mata yang kiri hingga mata sebelah
kanan. Tak dinyana, rasa gatal itu berubah jadi nanah. Lama kelamaan
pecah jadi borok. Dan tiba-tiba saja ulat-ulat berdatangan secara ajaib,
tanpa diketahui muasalnya.
“Penyakitnya tidak biasa.”
“Tidak biasa bagaimana?”
“Mata Sulaep digerogoti ulat. Makin hari mata itu membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap.”
“Sudah diperiksakan ke dokter?”
“Lebih tiga dokter mengobatinya. Tapi, tidak ada hasil.”
“Pasti penyakit kiriman.”
“Huss…. Jangan ngawur!”
“Aku yakin itu penyakit kiriman. Mata Sulaep menguarkan bebabuan tak sedap.”
“Allah yang memberi penyakit. Dia pula yang memberi obat. Kau tak perlu menyebar isu, biar tak ada prasangka yang bukan-bukan.”
“Orang-orang percaya kalau Sulaep kena santet. Penyakitnya tak lazim.”
Kurang lebih tiga bulan Sulaep menderita sakit mata. Tak ada yang
bisa dilakukannya, kecuali terkulai di atas ranjang. Sebab sepasang
matanya digerogoti ulat. Matanya bernanah dan menguarkan bebauan tak
wajar. Ulat-ulat datang silih berganti menerkam dua bola mata Sulaep. Ia
tidak lihai lagi memainkan persendiannya. Ulat-ulat itu melumpuhkan
sekujur tubuhnya.
Pada waktu yang jauh sebelum kabar tentang santet dihubungkan dengan
penyakit mata Sulaep itu menyebar. Malam sehabis waktu Isya, Sulaep
berseteru dengan Arsap. Kedua lelaki itu saling menyumpal, menyerapahi
satu sama lain. Gerimis jatuh di antara pertengkaran yang tak
tanggung-tanggung seperti gelegar petir yang membelah angkasa. Sulaep
mengayunkan celuritnya, hingga ujung celurit berlaras panjang tersebut
berhasil merobek lengan kiri Arsap.
“Jaga baik-baik matamu! Aku tak suka kau lama-lama menatap istriku.
Kalau tidak, kucongkel matamu!” Arsap berhasil membanting celurit
tersebut. Lalu jari telunjuknya menodong mata Sulaep.
“Cuah!” Sulaep melempar ludah ke arah Arsap.
“Lihat saja. Kubuat busuk matamu! Bangsat! Awas kau!” Arsap mengancam. Nyala di matanya meradang.
“Kau ada-ada saja. Hahahah,” Sulaep melenggang pergi, meninggalkan
Arsap sendirian dengan luka sabetan celurit di tangan sebelah kiri.
Hari kesekian belas sehabis pertengkaran itu. Tiba-tiba Sulaep
merasakan gatal-gatal di mata sebelah kiri, lama-lama merambat ke mata
sebelah kanan. Laki-laki berusia senja itu mengira kalau itu hanya
penyakit mata biasa. Namun, lama kelamaan mata yang mulanya gatal
berubah menjadi borok dan mengeluarkan darah berbau tak sedap.
Sulaep merasakan hebatnya sakit pada kedua matanya. Mata itu tak
kunjung sembuh, malah penyakit itu semakin parah menggerogoti kedua
matanya. Suatu malam yang larut, tubuh Sulaep menggigil. Mulutnya tak
henti-henti mengumpat. Ulat-ulat berkeliaran di kedua matanya. Ulat-ulat
itu seperti punya dendam tersendiri pada Sulaep.
“Kubalas kau Arsap!” kutuk Sulaep meledak-ledak.
“Arsap dukun santet. Awas saja kau!” mulut Sulaep kembali meradang, menyerapahi Arsap berkali-kali.
Sementara Arsap sudah lama menjadi seorang dukun. Tetapi tidak ada
satu pun orang yang tahu apakah benar laki-laki pendatang biasa itu
seorang dukun santet seperti yang dikoarkan Sulaep. Orang-orang hanya
datang padanya bila mereka diserang penyakit gaib. Semisal kesurupan
atau penyakit lainnya yang berhubungan dengan persoalan jin.
Kelebihan Arsap membaca perkara gaib tidak lagi diragukan. Saat
langit menggaris senja. Anaknya Lessap yang sedang bermain
perang-perangan bersama kawan- kawannya seketika kejang-kejang. Tubuhnya
membiru. Matanya membelalak. Tangannya mencakar-cakar. Bocah laki-laki
berumur belasan tahun itu berteriak tak karuan. Mengetahui anaknya
kesurupan, Lessap bersigegas mendatangi Arsap.
“Pulang saja. Anakmu sudah tiada,” kata Arsap tiba-tiba.
“Apa yang kau maksudkan?” Lessap seketika cemas. Laki-laki itu pulang.
Apa yang dikatakan Arsap mendapat pembenaran setelah Lessap tiba di
rumah. Anaknya memang sudah tidak kejang-kejang lagi. Matanya
benar-benar terpejam. Tubuhnya berubah dingin. Bocah laki-laki itu
meninggalkan raganya saat langit tengah menurunkan gerimis.
“Tak mungkin kalau Arsap dukun santet.”
“Tapi, tak mungkin juga kalau Sulaep berbohong apalagi memfitnah.”
“Memangnya apa yang dikatakan Sulaep?”
“Katanya, Arsaplah yang menyebabkan matanya membusuk. Ia mengaku kalau Arsap yang menyantet dirinya.”
Mata Sulaep mengucurkan darah dengan bau busuk yang sangat menyengat.
Ulat-ulat berdatangan satu demi satu memenuhi mata tersebut. Mata itu
dimakan ulat, mulai mata sebelah kiri hingga mata sebelah kanan. Sulaep
menahan hebatnya rasa sakit. Ia menjerit berkali-kali. Tetapi ulat-ulat
itu seperti semakin buas mencabik mata Sulaep.
Belakangan ini Suminah, istri Sulaep itu berencana meminta Arsap
mengobati suaminya. Tidak ada jalan lain. Satu-satunya dukun sakti yang
belum dicoba hanya Arsap. Sudah banyak dokter dan dukun sakti dari semua
pelosok angkat tangan pada penyakit yang terus bersarang di kedua mata
Sulaep. Semua menyerah. “Bukan penyakit biasa!” kata mereka setelah
berulangkali memeriksa mata Sulaep yang justru tambah membusuk itu.
“Arsap itu tukang santet. Jangan pernah kau memohon padanya!” kata Sulaep kepada Suminah sambil menahan nyeri di kedua matanya.
“Tak ada pilihan lain. Hanya Arsap harapan kau sembuh. Kalau pun ia
tak bisa menyembuhkan, setidaknya Arsap memiliki jalan keluar atas
penyakitmu itu.” Suminah membersihkan darah yang merembes lagi dari mata
Sulaep. Selalu ada bau busuk setiap mata itu mengeluarkan darah.
“Lebih baik berkalang tanah dari pada harus berobat sama Arsap,”
tukas Sulaep bengis. Bara dendam meletup-letup di dadanya. Pikirannya
menuduh ulat-ulat yang menggerogoti matanya tak lain adalah kiriman dari
Arsap.
Menjelang petang, Sulaep tertidur di atas ranjang. Suminah melangkah
hati-hati menembus hujan yang baru saja turun. Kakinya melangkah begitu
lekas menyibak genangan air yang setumit orang dewasa. Tujuannya cuma
satu, rumah dukun sakti bemama Arsap. Setelah kurang lebih lima belas
menit susah payah melangkah, ia tiba di halaman rumah Arsap. Dari ambang
pintu Arsap mempersilahkan istri Sulaep itu masuk.
“Mata Sulaep kian hari semakin membusuk. Mungkin kau bisa
menyembuhkannya. Semua sudah menyerah pada penyakit gaib tersebut. Hanya
kau satu-satunya harapan Sulaep sembuh,” kata Suminah menjelaskan.
Matanya berkaca-kaca. Air matanya tertahan.
“Separah apa penyakitnya?”
“Sangat parah. Mata Sulaep diserang ulat bertubi-tubi, ulat-ulat itu
tak henti-henti menerkam,” suara Suminah terdengar merinding.
“Itu bukan penyakit biasa,” tukas Arsap enteng.
“Apa itu penyakit kiriman?”
“Ya, betul,” tukas kembali Arsap dengan nada ringan.
“Siapa yang menyantetnya?”
“Bukan. Bukan santet. Itu penyakit kiriman. Kiriman dari Allah.” Arsap menegaskan.
“Bukankah semua penyakit datangnya memang dari Tuhan?”
“Ya, betul.”
“Lantas, bagaimana menyembuhkan penyakit mata Sulaep? Ulat-ulat itu
tak kunjung hilang. Selalu datang tiba-tiba. Menyerang dan terus
menyerang tanpa rasa ampun,” suara Suminah bergetar. Ia menjatuhkan air
matanya. Pada malam-malam tertentu, ulat-ulat itu memang datang memakan
daging di bagian mata tersebut. Setelah merasa kenyang ulat-ulat itu
tiba-tiba saja menghilang. Dan akan datang lagi pada malam-malam yang
tak bisa diduga.
Sulaep tergolek kaku di atas ranjang. Mata itu tak habis-habisnya
mengeluarkan darah. Sulaep merinding karena luka di kedua matanya adalah
perkara amat besar baginya. Bukan masalah hebatnya sakit yang kerap
menyerang, tapi lebih karena seolah tak mungkin bisa disembuhkan dengan
apa pun dan siapa pun.
Tidak ada yang tahu bagaimana ulat-ulat itu datang. Tiba-tiba saja
ulat-ulat yang ukurannya lebih kecil dari semut itu ada setelah malam
ketiga penyakit itu tumbuh. Ulat yang tidak biasa. Ulat yang tiba-tiba
datang, dan tiba-tiba pula menghilang.
“Ulat-ulat itu hanya suka menyerang mata yang selalu menggoda istri
orang. Tak ada obat, kecuali taubat,” demikian kata Arsap, tanpa punya
perasaan apapun.
Setibanya di rumah. Istri Sulaep tersebut kaget bukan kepalang.
Matanya terbelalak. Urat di tubuhnya seketika melumpuh bersamaan dengan
ulat-ulat yang mengoyak mata sang suami. Dua bola mata Sulaep dibanjiri
ulat-ulat buas yang jumlahnya ribuan dan tak henti-henti menerkam. (*)
Pulau Garam, 2017
Penulis adalah lulusan Studi Tadris Bahasa Inggris STAIN Pamekasan.