Daftar Blog Saya

Selasa, 13 Februari 2018

Saya Hanya Berdiri dan Melihat Semuanya


Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 11 Februari 2018)
Saya Hanya Berdiri dan Melihat Semuanya ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Saya Hanya Berdiri dan Melihat Semuanya ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
SUDAH tiga jam saya memperhatikan perempuan itu. Telah tiga jam pula ia duduk di bangku kayu dengan mata menatap ke depan. Mata itu apakah terbuat dari batu? Saya benci mata yang terbuat dari batu—mata yang sulit sekali pecah. Saya pernah marah kepada pemilik mata seperti itu dan saya menembak kepalanya.
“Jangan menatap seperti itu!” kata saya mengertakkan gigi dengan keras. Ia tentu tidak mendengar suara saya. Kalaupun mendengar, ia sama sekali tidak akan peduli.
Ia duduk di sana untuk sebuah pertunjukan seni. Saya membaca pengumumannya tiga hari lalu dan memutuskan datang ke sini. Di depan pintu, setiap pengunjung diharuskan mempelajari aturan main sebelum memasuki ruangan dan bertemu dengannya. Saya tidak terbiasa tunduk pada peraturan yang dibuat orang lain. Saya seorang pembunuh dan punya aturan sendiri. Namun, saya sedang berada dalam sebuah permainan yang sepertinya akan berakhir menarik dan rugi sekali bila saya lewatkan. Sebuah permainan yang tidak pernah saya bayangkan ada di dunia ini dan mungkin hanya akan sekali saja terjadi.
Setelah tiga jam berlalu dengan biasa saja—tanpa ada kejadian berarti selain beberapa pengunjung yang menghampiri perempuan itu untuk sekadar melihat lebih dekat, memegang tangannya, mengucapkan sesuatu, berfoto bersama, memberikan bunga—perempuan itu masih akan di sana hingga pukul empat sore nanti. Semua bisa terjadi dalam rentang waktu lima jam lagi. Orang-orang akan terus berdatangan. Orang-orang yang penasaran. Orang-orang yang bisa saja melepas lapis-lapis topeng yang selama ini menutupi diri mereka dan berubah menjadi monster.
Dan saya memilih bertahan selama rentang waktu yang masih akan cukup panjang ini demi sesuatu yang mungkin tidak akan terlupakan. Sesuatu yang membuat saya ikut tertawa diam-diam bersama perempuan itu. Namun, segila apakah perempuan itu hingga ia mampu menertawai kematiannya sendiri?
***
SAYA tidak beranjak sedikit pun dan ia tetap menatap ke depan, persis ke tempat saya berdiri menyaksikan pertunjukan. Mata itu mata yang sama. Apa kau tidak lelah menatapku begitu? ejek saya dalam hati meski saya tahu sekali matanya sedang tidak menatap siapa-siapa. Ia sudah mematikan semua indranya saat memulai pertunjukan ini. Ia tak lagi memiliki rasa atau kehendak apa pun. Saya tetap saja ingin marah. Saya merasa ingin menggamparnya. Saya ingin menusuk-nusuk mata itu. Cepat saya menarik diri dari pengaruh emosi yang senga ja diciptakan perempuan itu di dalam pertunjukannya ini. Perasaan saya tak lagi marah, melainkan berubah kesal ke padanya. Saya tidak suka ia berhasil menguasai saya.
“Hai, ingat baik-baik ya, kalau kau tidak mati pada hari ini, maka satu hari aku akan membunuhmu ketika kau akan pergi membeli sebongkah roti di toko!” Saya benar-benar akan membuat kepala perempuan itu pecah dan isinya berhamburan dan ia tak sempat memikirkan kenapa seseorang melakukan itu kepadanya sebab saya segera memberondongnya dengan peluru demi peluru lagi dan ia mati dalam genangan darahnya sendiri. Ia harus tahu saya juga menyediakan permainan yang tak kalah menarik dan membuatnya menyesal telah gegabah menjalani kehidupan ini.
Perempuan itu sama sekali tidak tahu apa yang saya pikirkan. Seperti juga mungkin ia tidak menyangka bahwa di dalam ruang pertunjukannya ada seorang pembunuh yang sedang merencanakan kematian cadangan untuknya. Apakah ia tak pernah memperhitungkannya sebelum membuat karya nekat yang menarik perha tian ini? Apakah ia tidak tahu, bukankah kematian itu sama menyakitkannya dengan cara apa pun itu? Apa ia berpikir kematian seorang tuna wisma di pinggir jalan akan berbeda nilainya dengan kematiannya dalam sebuah pertunjukan seni? Sekonyong-konyong saya merasakan kepongahan perempuan itu. Lihatlah cara ia menatap. Mata batu itu. Mata yang meminta seseorang memberondongkan puluhan peluru ke kepalanya!
Udara di ruangan ini cukup dingin, tapi saya merasa gerah. Saya menata perasaan saya yang mulai tidak sabaran dan membuat napas sesak. Saya memang tidak terbiasa menunggu dan berada dalam sebuah permainan yang berjalan lambat. Setiap pembunuh cend erung berpikir ingin menyelesaikan sesuatu dengan cepat hingga ia bisa lekas keluar dan menghirup udara dengan dadanya yang bebas.
Na mun, perempuan itu sengaja membuat pertunjukannya berjalan sebaliknya. Ia telah menghitung berapa panjang waktu yang ia butuhkan untuk sampai pada puncak dari permainannya, sampai kepada kemungkinan terjadi sebuah pembunuhan atas dirinya oleh seseorang yang tidak pernah terbayangkan; bisa jadi remaja yang labil, seorang perempuan baik-baik yang bekerja di kantor pajak, lelaki tua yang menghabiskan hidup sebagai petani buah di pinggiran kota, penjual karcis kereta api, atau seorang pemuda cemerlang yang baru saja merayakan kelulusannya dari sebuah perguruan tinggi ternama.
Akan tetapi, sudah enam jam sejak saya di sini dan belum terjadi apa-apa selain orang-orang yang datang hanya untuk menjawil hidung perempuan itu, meremas pahanya, menarik rambut, menampar, memukul kepala. Saya ingin melihat orang-orang mengambil korek api dan membakar rambut perempuan itu. Saya mau ada seorang gadis pemberani meng ambil pisau kecil dan menggoreskan namanya di pipi perempuan yang tetap duduk diam di bangku. Tidak adakah orang yang memiliki hasrat melepas baju perempuan itu dan mengiris payudaranya? Mereka bisa memilih pisau kecil, palu, tali, cambuk, gunting, bahkan sepucuk pistol terisi peluru di atas meja besar yang disediakan untuk pertunjukan dan semua legal digunakan terhadap perempuan itu.
Belum selesai saya memikirkan cara-cara paling sadis yang bisa dilakukan terhadap perempuan itu, sebuah pisau kecil melayang ke arahnya. Kepala saya refleks menoleh dan menemukan seorang lelaki paro baya berdiri di sisi kanan dengan jarak sepuluh meter dari perempuan itu. Tubuh lelaki paro baya itu tampak kaku. Matanya memelotot. Tangannya masih teracung seperti saat ia melepaskan pisau beberapa saat lalu. Dua menit kemudian ia berteriak histeris.
Saya terbelalak. Pisau itu jatuh setengah meter di depan perempuan itu. Ruangan menjadi hening. Mata para pengunjung tertuju kepada pisau. Namun, tak lama, mendadak seorang lelaki lain mendekat dan langsung menarik pakaian hitam perempuan itu hingga sobek bagian depannya. Saya menegakkan punggung untuk menunjukkan kalau saya mulai tertarik dengan permainan di depan sana. Tunggu apa lagi, bisik saya dalam hati. Inilah saatnya! Saya suka orang-orang mengambil kesempatan ini dan mulai jujur kepada dirinya sendiri. Perempuan di depan itu juga pasti menginginkan hal yang sama. Ia sedang bermain-main dengan sesuatu yang terpendam di bagian terdalam dari diri manusia dan memancingnya keluar. Saya menyukai gagasannya yang berani itu—sekaligus ingin sekali menertawakan kenaifannya.
Lelaki itu rupanya tak sekadar membuat robek pakaian perempuan yang tetap saja menatap dengan mata batu. Ia menyeret perempuan itu ke lantai. Ia menciumi mulut dan leher dan daun telinga perempuan yang kini nyaris telanjang. Teruskan! Teruskan! Saya makin tertarik untuk mengamati. Beberapa lelaki dan perempuan lain datang berkerumun. Mereka mulai berani berbuat beringas. Mereka terbawa suasana brutal.
Salah satu dari mereka memukul kepala perempuan itu dengan palu. Saya tidak bisa mendengar suara perempuan itu. Mungkin ia mengaduh. Saya juga tidak bisa lagi melihat tubuhnya. Pandangan mata saya terhalang orang-orang yang mengerumuninya. Mereka semakin liar. Mereka berebutan ingin menghancurkan tubuh perempuan itu.
***
PEREMPUAN itu dibopong dan kembali diletakkan di tempat duduknya dengan tubuh telanjang dan selangkangan yang terbuka dan berdarah. Rambutnya kusut dan berantakan. Bibirnya pecah. Lehernya penuh luka cakaran. Daun telinganya bolong. Matanya yang sudah bengkak tetap menatap kepada saya atau tepatnya ke arah tempat saya berdiri. Jangan lagi menatap begitu, kata saya dalam hati.
Saya benar-benar tak menyukai mata itu. Saya bisa saja mengambil pistol yang disediakan di meja dan saya menembaknya. Namun, saya seorang pembunuh. Saya bukan seorang pemain sirkus yang menjadi bagian dari sebuah pertunjukan. Kau tidak mengerti juga ya? kata saya dalam hati mendapati mata batu perempuan itu. Ia tidak tampak meminta belas kasihan dari siapa pun. Tidak menginginkan ada orang lain menghentikan pertunjukan ini. Ia hanya menatap tanpa maksud atau malah sesungguhnya matanya itu tak melihat kemana-mana. Sebelum melakukan pertunjukan ia tentu sudah berlatih sangat keras untuk berada sekaligus tak ada di dalam ruangan ini.
Orang-orang kembali berdatangan ke arahnya. Seorang remaja berkata sambil menangis kepada ibunya, “Ia terluka parah, Mama!” Ibunya menjelaskan, “Ini karya seni, Elia. Buka matamu. Kelak ketika kau besar, kau bisa melakukan ini.”
Elia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibunya mencengkeram lengan Elia dan memaksa remaja itu menjerat leher perempuan di atas bangku dengan seutas tali. Elia meronta. Ia menangis dan kabur dari ruangan. Ibu Elia melemparkan tali ke lantai dan menyusul anaknya keluar. Seseorang, lelaki bertubuh pendek, memungut tali itu dan menjerat leher perempuan yang duduk di bangku, lalu menariknya kuat-kuat. Lidah perempuan itu terjulur dan napasnya megap-megap. Namun, matanya tetap menatap dingin dan tenang.
Tubuh saya bergetar untuk pertama kali. Lelaki bertubuh pendek meninggalkan tali di leher perempuan itu. Orang-orang terus berganti dan melakukan sesuatu terhadap perempuan yang kepalanya telah terkulai. Tubuh saya makin bergetar, terlebih ketika seseorang mengarahkan sepucuk pistol ke pelipis perempuan itu.
“Elia, hentikan!” teriak ibunya yang menyusul di belakang.
***
KOTA ini kembali bergerak seperti biasa. Perempuan yang mati dalam pertunjukan seni itu sempat menghiasi halaman pertama berbagai surat kabar dan dengan cepat berganti berita-berita lain dan sudah lewat bertahun-tahun lalu. Sehabis berdandan, saya buru-buru keluar dari kamar apartemen, berangkat ke tempat saya bekerja setelah menghabiskan secangkir kopi dan dua keping roti dan menyiram kamboja mini di dalam pot. Hari ini akan ada rapat rahasia dengan klien dan saya tidak boleh datang terlambat.
“Elia!” Seseorang menyapa saya begitu saya keluar dari lift. Saya mencoba mengingat-ingat wajah itu. Tidak, saya tidak menyimpan ingatan sama sekali tentangnya.
“Kau sungguh tidak ingat kepadaku? Satu hari kau menembakku dalam sebuah pertunjukan seni,” kata perempuan itu sambil menunjuk lubang bekas peluru di kepalanya.
Di belakang saya, pintu lift sudah tertutup dan membawa perempuan itu pergi tak berapa lama sebelum saya teringat kepada sepasang mata batu miliknya. ***

Bengkulu—Rumah Kinoli, 17/18

Catatan:
Cerpen ini ditulis sebagai tanggapan atas pertunjukan seni yang dilakukan seniman asal Yugoslavia, Marina Abramovic, yang ulasannya saya baca di media daring.


Yetti A.KA, tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerpen terbarunya, Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017).

Selimut Hitam, Dimensi Api Politik, Diorama Palestina, dan Lainnya

Puisi-puisi Ivan Aulia (Media Indonesia, 11 Februari 2018)
Selimut Hitam ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Selimut Hitam, Dimensi Api Politik, Diorama Palestina, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Selimut Hitam


Membalut kejiwaan terpuruk
Selimut hitam akan membawa alam keburukan
Merendam di akhiratmu
Menilam mimpi tak kunjung tenang

Berisi suara berisik
Tak kemungkinan akan tersirah apa-apa
Mengucapkan deringan senja yang memukau
Dan menggejolak di pening asa
Sia-sia menggumam siasat
Dan memejam mata memungkiri selamanya

Surabaya, 2018

Dimensi Api Politik


Kubu berdatangan
Tersemu paruh nyawa
Di tengah nasib memimpin lima tahun
Untuk mempergoyahkan asa
Serasa membara di penjuru selasar
Kemudian menggeroti misi
Membangun sejahtera

Kadang menduga
Tersentuh pilu membengkam di kubu politik
Kini terpandang bulu
Tergumam silam membahana
Rakyat menunggu
Kemudian membelenggu jantung tanah air
Bersiap bernyawa risiko
Situasi tak genting
Hanya menghitung hari
Menjadi pemimpin masa depan

Surabaya, 2018

Sajak Pujangga untuk Asmat


Saat ini Asmat telah kelaparan
Semenjak lama terpuruk gizi
Salah satu wilayah cukup terparah
Betapa kasihan menderita campak berujung maut
Kelaparan hampir melanda dimana-mana
Tepian merendahnya ekonomi

Sajak pujangga untuk Asmat
Sengaja ku lukisan sebuah hidup sederhana
Jangan menganggap sajak sepenggal batasan
Hanya disirna ke penjuru nusantara
Selamatkan Asmat dari penyakit
Beserta kelaparan yang menimpanya

Surabaya, 2018

Diorama Palestina


Jelajahi bumi tak kunjung damai
Diorama di antara persaudaraan begitu rapuh
Runtuhan merujuk penyiksaan
Serasa mengundang kesedihan amat dalam
Membengkam di ujung kalbu
Memilu pada kekuasaan
Serasa ingin menduduki kembali
Dengan cara mengembalikan hak
Dipaksa untuk bergoyah di tanah Yerussalem

Surabaya, 2018

Selamat Jalan Ustadz Hilman


Tahun ini kehilangan pendakwah setia
Selalu membara pesan di penjuru umat
Apa jadinya telah kehilangan sisimu
Mengusap kenangan tak kunjung hampa

Membengkam di suluh pendam
Kemudian memancarkan air mata
Serasa mengimbang di kota santri
Tanpa sekata apapun

Membedah suluh dialirkan pancaran kalbu
Mungkin meninggalkan tetesan
Temui di surga nanti
Akan selamatkan hidup tanpa henti
Sampai jumpa pendakwah agung
Memilu senja di tengah kalam
Jangan meninggalkan umat
Tetapi mencintaimu penuh seutuhnya

Surabaya, 2018

Kedzoliman Preman di Ujung Malam


Masih saja berkelana pada kota pahlawan
Menyembara hati digusur emosi
Di antara kedzoliman yang dirasuk oleh Preman
Mengintip kemesuman
Telembuk porna mencuci moral
Malam sangat dangkal
Tiada daya memilah taubat
Setiap saat mati akan menjemput sakaratul maut

Surabaya, 2018

Memprotes Kembalikan Sawah Kami


Mengembalikan lahan
Membangun tol tanpa izin pengembang
Rakyat telah mengamuk
Memasang kalimat sedikit menyindir pengembang bangunan
Semuanya tanpa terkecuali

Memprotes kembalinya sawah
Tetapi menolak dan dilanjutkan proyek
Jika dibiarkan akan dilapor ke lembaga pimpinan daerah
Atas insiden yang menerjangi seenaknya sendiri
Tiada jawaban lain selain menyelaraskan peradaban
Satu kalimat tak bisa terlupakan

Jangan sekali merebut tanah hak milik tanpa izin
Jika dibiarkan akan kehilangan pekerjaan
Dan menendang wajah pembangun jika terpaksa
mempertaruhkan nasibmu

Surabaya, 2018

Menikmati Fajar Subuh


Saksikan dirimu di fajar subuh
Serasa tubuh meruyup sujud
Betapa menghinggap di udara
Kembalilah pada purnama yang telah lewat
Terkobar pada air mata

Menakjubkan sayap
Sementara menerbitkan fajar
Tunaikan keakraban di waktu syuruq
Mengembara pagi sungguh segar
Selamat mencicipi fajar subuh
Serta selamat menikmati pagi yang bahagia

Surabaya, 2018

Bersebrangan Lautan Malam


Menatap sebrang jauh di tepi lautan
Sunyi pada pantai begitu sepi
Menggelorakan selaras keajaiban
Melalui sebuah kejutan yang tak pernah ada
Terpendam selembut hangatnya kopi
Mendiami malam begitu indah

Belum terlepas melekat oleh perempuan belia
Tak terpenggal sebuah kalimat
Yang belum dituliskan
Sepulang di pantai sendirian
Akan terasa membawa keajaiban
Melalui sebuah sajak untukmu serta melembutkan
kehangatan hatimu

Surabaya, 2018

Belajar di Malam


Anak tak sempat belajar di malam hening
Malah bermain sana sini
Belajar menetes teori
Tetapi meresap pengetahuan
Endap menggelapkan asa
Serasa esok lebih cemerlang
Hanya dua jam telah merampung kata-kata
Siapkan di pagi gemilang

Surabaya, 2018


M Ivan Aulia Rokhman, Mahasiswa Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Lahir di Jember, 21 April 1996. Karyanya dimuat di koran lokal dan nasional. Beberapa puisinya juga dimuat dalam antologi Bukan Kita (2017), My Teacher (2017), Syair dalam Nada (2017). Bergiat di FLP Surabaya, dan UKKI Unitomo.

Sumpah Maryam


Cerpen Linda A. Lestari (Radar Surabaya, 11 Februari 2018)
Sumpah Maryam ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Sumpah Maryam ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Tujuh hari dalam satu minggu, waktu Maryam dihabiskan untuk keluarga Karsa, si tukang ojek kampung. Setiap pagi Maryam bangun pukul empat tiga puluh. Salat subuh, lalu memeras pakaian dalam yang kotor, menyikat lantai kamar mandi, memasang wajan. Dan hal terakhir yang dialakukan di pagi hari adalah menghidangkan sarapan untuk Karsa dan istrinya, Farida.
Banyak orang bertanya mengapa Maryam yang miskin bekerja pada orang miskin. Secara stratifikasi, Karsa memang bukan priayi. Majikan Maryam hanyalah tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan jalan pantura di malam hari. Tapi lain persoalan jika orang-orang membicarakan Farida, istrinya. Farida punya banyak warisan. Tanah peninggalan orang tuanya yang terletak di dekat ladang dibiarkan kosong. Dia bingung mau dibuat apa pekarangan sebegitu luasnya. Farida adalah seorang wanita yang hampir memasuki usia kepala tiga. Tubuhnya molek. Kulit wajahnya yang kuning langsat selalu dipolesnya dengan bedak dan pemerah pipi setiap hari. Di kampung, dia terkenal sebagai penjual emas imitasi yang dikreditkannya kepada ibu-ibu yang doyan rumpi di warung-warung. Selain berbisnis emas, dia juga gemar arisan. Tentu saja arisan yang diikutinya cukup merogoh kocek yang dalam.
Di hari Kamis, Farida akan menghabiskan waktunya seharian berada di rumah dan meneriaki Maryam dengan segala macam perintahnya. Meminta pembantunya itu untuk memijatnya, memoleskan pewarna di kuku-kuku kakinya, dan hal yang paling Maryam benci adalah dia selalu mengakhiri kalimat perintahnya dengan pertanyaan nyinyir. “Kamu ngebet kawin?”, misalnya ketika Maryam tengah sibuk memanaskan sayur di sore hari. Dia masuk melalui pintu dapur dan mengomel, “He, Maryam. Lain kali sayurnya jangan terlalu asin. Kamu ngebet kawin?” Terkadang, ketika Karsa pulang ngojek di pagi hari, Farida pernah memergoki suaminya memandangi Maryam yang tengah mengepel lantai. Lalu dengan muka sehabis bangun tidurnya, Farida menatap pembantunya itu dengan sinis dan mengatakan, “Kalau ngepel, debu-debu yang ada di pojokan dibersihkan juga. Kamu ngebet kawin, ya?” Farida hanya lupa bahwa Maryam masih perawan.
Di usianya yang masih lima belas tahun, Maryam bekerja keras untuk menyembuhkan ibunya yang sakit-sakitan. Entah apa yang membuat ibunya sakit terus-menerus. Maryam pernah membawa ibunya ke puskesmas. Tapi obat-obatan puskesmas justru semakin membuat ibunya sekarat. Maka, Maryam mengantar ibunya ke Nyai Ronde. Nyai Ronde adalah seorang wanita tua yang tinggal sebatang kara di ujung jalan. Rumahnya yang terbuat dari pelepah bambu berdeot ketika Maryam masuk, memapah ibunya menghadap Nyai Ronde.“Ibumu kena tenung, anakku.” Ketika mengatakannya, Nyai Ronde sama sekali tak menatap kedua tamu yang datang ke pelepah bambunya.
Maryam berjanji akan mengobati penyakit ibunya sesegera mungkin. Maka setiap pagi dia kembali ke rumah Karsa, bekerja menjadi pembantu. Setiap hari Maryam menguras tenaga mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Dari mulai membersihkan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, sampai mencuci motor bebek yang biasa Karsa gunakan untuk mengojek. Maryam mengerti mengapa Farida yang sebagai seorang istri enggan mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Maryam sadar bahwa majikannya adalah wanita pemalas. Pernah sesekali Maryam libur kerja sehari, Farida teriak seperti orang kesetanan karena gelang imitasi yang dipakainya tersiram air ketika Karsa menyuruh istrinya itu mencuci bekas makannya sendiri.
Ada satu malam yang mengharuskan Maryam menginap di rumah Karsa, adalah ketika pekerjaan terlampau banyak. Maryam diminta menyiapkan dan membereskan hidangan untuk kocokan arisan yang sudah dijadwalkan di rumah majikannya. Malam itu waktu hampir menunjukkan pukul sebelas tiga puluh. Namun jari-jari Maryam masih sibuk menggosok noda minyak di setumpukan piring kotor.
Di kamarnya, Farida sudah tertidur pulas bersama uang arisan yang didapatnya sore tadi. Karsa, suaminya baru akan keluar ngojek. Namun, Karsa mendengar suara gemericik air dari dapur. Karsa tahu bahwa Maryam, pembantunya yang punya kaki jenjang itu masih sibuk mencuci piring. Karsa masuk melalui pintu dapur, “He, Maryam. Kamu ke pasarnya sekarang saja, ya. Supaya besok pagi kamu tidak perlu ke pasar lagi,” ujar Karsa. “Tapi, Pak. Ini sudah terlalu larut untuk belanja ke pasar. Lagian, Ibu juga belum beri saya uang belanja untuk besok.” Maryam menimpali. “Masalah uang, gampang. Nanti kuberi. Ayo, mumpung saya mau berangkat ngojek. Sekalian jalan, maksudnya”.
Maryam pun menuruti perintah Karsa untuk berbelanja ke pasar pada malam yang hampir pukul dua belas dini hari itu. Di tengah jalan menuju pasar, motor Karsa berbelok ke arah pabrik tahu. Jalanan sepi. Tengkuk leher Maryam bergidik. Bajunya yang tipis tidak cukup mahal untuk dapat melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Beberapa kilometer dari pabrik tahu, Karsa memberhentikan motor bebeknya tepat di depan sebuah ranggon kecil yang terbuat dari kayu. Maryam mulai ketakutan. Tengkuk lehernya semakin dingin. Pelan-pelan, Karsa menuntun Maryam ke arah ranggon dan mulai melucuti pakaiannya. Tanpa disadari, air mata Maryam menetes jatuh tepat membasahi kerah bajunya. Karsa bukan lelaki pertama yang menyentuhnya.
Ketika Maryam berusia dua belas tahun, Sasmita, mantan pacarnya adalah lelaki pertama yang meremas payudaranya. Tapi hanya sebatas itu. Maka, di usianya yang ke lima belas, Karsa adalah satu-satunya lelaki yang mencuri keperawanannya.
Beberapa bulan kemudian, Maryam menyadari banyak hal yang berubah dari dirinya. Hal yang tampak sangat jelas adalah kantung yang menggelambir di bawah matanya. Dan bokongnya, kini membesar. Maryam berpikir bahwa dirinya terlampau banyak makan. Karena Maryam sering mengeluh sakit kepala, Farida mengizinkannya untuk tidak bekerja selama dua hari, tetapi Maryam menolak. Maryam kembali ke dapur, menanak nasi, memasak lauk, dan merebus air untuk mengisi termos. Pada saat air itu mendidih, Maryam mengambil sebuah gayung dari dalam kamar mandi, dan menuangkan air panas itu ke kakinya. Kini, Maryam memiliki alasan yang cukup dramatis untuk tidak lagi bekerja di keluarga Karsa.
Maryam kembali ke rumah dan mengurus ibunya yang mendapat penyakit kiriman. Setiap malam, Maryam diteror dengan kenyataan bahwa ada banyak sekali paku di bawah kolong tempat tidur ibunya. Beberapa bulan berlalu, dan perut Maryam semakin membuncit. Maryam tahu di dalam perutnya tengah menyimpan seseorang. Tapi Maryam tidak peduli. Dia tidak peduli pada kesehatannya, pada wajahnya, pada kepalanya yang kini menjadi sarang kutu. Maryam juga menutup telinga rapat-rapat pada kasak-kusuk Farida dan ibu-ibu kampung yang membincangkannya di warung-warung sambil memilih model emas imitasi terbaru. Satu-satunya hal yang Maryam pedulikan hanya kesehatan ibunya.
Hingga suatu saat Nyai Ronde berhasil menyembuhkan ibu Maryam dengan cara yang tidak pernah diberitahunya kepada siapa pun.
Pada suatu sore hari yang terik, pintu rumah Maryam yang terbuat dari pelepah bambu disapa orang. Suara laki-laki. Maryam membuka pintu, dan kaget setengah mati ketika melihat Karsa telah berada di hadapannya. “Mengapa kau tak bilang padaku?” Karsa menanyakan hal itu dengan raut wajah yang berempati. Matanya yang kanan menatap Maryam, dan mata yang satunya lagi melirik perut Maryam yang sudah membesar. “Apa kau membiarkanku mengajukan pertanyaan yang sama ketika kau hendak memperkosaku?” Ketika mengatakannya, raut wajah Maryam berubah dingin. “Mengapa kau tak bilang padaku bahwa saat itu kau tak hendak mengantarku ke pasar. Melainkan malah memperkosaku di dekat pabrik tahu?”
“Dengar, Maryam. Saya sangat menyesal. Saya memang bersalah. Tapi saya ke sini untuk meminta maaf padamu. Dengar, sebentar lagi saya akan menjadi lurah di kampung ini. Farida memaksa saya untuk mencalonkan diri, kau tahu. Kami menjual tanah pekarangan yang ada di dekat ladang, dan uangnya kini habis dibagikan kepada orang-orang dan rekan ojek di pertigaan.” Karsa termangu sejenak, dan mulai membujuk Maryam.“Kalau kau mau, saya akan bertanggung jawab, menikahimu dan memberimu kehidupan yang lebih layak. Saya akan buatkan kau rumah yang jaraknya beberapa kilometer dari desa ini, dan kau akan aman tinggal di sana bersama anakmu, dan saya akan menjengukmu sesekali. Tapi, jangan sekali-kali kau menceritakan hal ini pada siapa pun, Maryam, saya mohon. Jangan ceritakan hal ini pada Farida.” Ketika mengatakan kalimat terakhir, suara Karsa lebih terdengar seperti rintihan.
“Tak usah Bapak buang-buang uang untuk menghidupi saya dan bayi ini. Saya tidak sudi menjadi gundik Bapak. Tenang saja, Bapak akan tetap bisa tidur nyenyak setiap malam. Saya tidak akan menceritakan hal ini pada siapa pun, asal Bapak tak pernah datang ke sini lagi, dan jangan pernah mengakui bahwa bayi ini adalah anak Bapak. Biarkan dia tumbuh tanpa laki-laki yang akan disebutnya Bapak.” Maryam menutup pintu rumahnya. Di luar, Karsa meneteskan air matanya.
Malam itu udara sangat dingin, sinar bulan di langit terlalu pucat untuk membuat malam menjadi lebih bersinar. Di dalam sebuah rumah berpelepah bambu, seorang wanita muda tengah mengejan berusaha mengeluarkan anak manusia dari dalam rahimnya. Sakit yang didera Maryam untuk melahirkan bayi ini tak sebanding dengan rasa sakit yang diterimanya di masa lalu. Nyai Ronde, satu-satunya wanita tua yang bisa segala hal di kampung itu, ikut membantu persalinan Maryam. Di samping tempat tidur, ibu Maryam menenangkan anaknya yang tengah kesakitan. “Sabar, wong ayu, sebentar lagi anakmu akan lahir,” ibu mengelap keringat Maryam yang mengalir di dahinya. Tepat pukul sebelas malam, seorang bayi perempuan lahir.
Bocah bagus, akhirnya kau keluar juga, Nak…. Mulai sekarang, kau akan dipanggil Maryamah. Namamu hampir sama dengan nama ibumu, Nak.” Bayi perempuan itu mendapat timangannya yang pertama dari sang nenek. “Kau mau lihat anakmu, Maryam? Ayo, lihat anakmu.” Ibu memberikan bayi perempuan itu kepada Maryam. Maryam menggendongnya, dan membisikkannya sesuatu, “Dengar, Maryamah. Semua laki-laki itu bajingan. Anggap saja mereka itu sebuah dosa sehingga kau tak perlu mendekatinya.” (*)

Penulis adalah kelahiran Indramayu, Jawa Barat.

Petani

Cerpen Arif Hidayat (Kedaulatan Rakyat, 11 Februari 2018)
Petani ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Petani ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
TASNO bersepeda. Derit rantai senantiasa terdengar setiap kali kaki mengayuh. Ia berhenti di Jl Soeparjo Roestam memandang sebuah hotel yang megah. Satu hal yang tidak pernah luntur dari ingatannya adalah pohon akasia yang tetap tumbuh di halaman hotel itu. Mungkin saja pemilik hotel itu tidak bisa menebang atau memang dianggap tidak mengganggu. Toh, tetap kelihatan indah seperti masa lalunya.
Tasno menaruh sepeda di dekat pohon akasia. Ia duduk melihat langit biru. Sebuah masa lalu terbayang dalam benak Tasno.
Tasno dulu sering berteduh di bawah pohon akasia ketika matahari di atas umbun kepala. Ketika ia harus mengusir burung-burung sawah atau saat lelah mencangkul. Pohon itu seperti penyejuk jiwa. Ia masih ingat persis pada batangnya pernah menuliskan Janaka Saputra sebagai nama anak satu-satunya. Ia mulanya berjanji bahwa sawah yang kini menjadi hotel itu sebenarnya menjadi milik sah anaknya. Pernah terbayang pula dalam benaknya akan mendirikan warung di tepi sawah, yang menjual beraneka sembako, namun impiannya kandas karena tak pernah punya modal yang cukup. Hidup serba pas-pasan.
Sawah yang dimilik Tasno adalah warisan ayahnya yang pernah menjadi kepala desa. Ia mendapat bagian yang sebenarnya cukup untuk ditanami padi dan kebutuhan makan. Ia tidak pernah kekurangan beras. Tetapi hidup hanya bertani semakin tertinggal dari tetangga yang mampu beli sepeda motor, mampu bangun rumah, dan hidup dengan makmur. Ia ingin anaknya bisa menjadi pegawai. Untuk bisa menyejahterakan hidup yang senantiasa berubah.
Kelulusan Janaka Saputra dari sekolah menengah atas membuat Tasno berinisiatif agar anaknya itu bisa menjadi pegawai. Kalau bisa polisi, tentara, atau apalah. Yang penting bisa negeri. Dapat pensiunan. Karena itu, ia mencari-cari orang yang bisa memasukkan Janaka agar bisa diterima.
“Berapa? 300 juta?”
Tasno menggernyitkan dahi. Jalan satu-satunya adalah menjual sawah yang menjadi tumpuan hidup. Sawah laku 400 juta. Seorang pengusaha yang telah lama ingin membangun hotel berani membayar. Strategis katanya. Tetapi, jumlah uang itu belum terpotong Mas Udin, Darmo, dan beberapa lainnya yang ikut membantu menjualkan.
Dengan uang itu, Janaka dititipkan kepada Pak Edi, kenalan teman dari teman.
“Kelak semoga bisa.”
“Pasti bisa masuk. Pak. Tenang saja.” Katanya.
Tasno pun bercerita kepada para tetangganya bahwa anak satu-satunya itu akan menjadi pegawai. Sudah pasti diterima. Orang seluruh desa kalau bertemu selalu disapa. Seolah sudah menjadi ayah yang paling sukses di seluruh dunia.
Siang yang terlalu terik menyengat Tasno. Dalam pengumuman penerimaan tak ada nama Janaka Saputra. Maka itu, buru-buru Tasno pergi menemui Pak Edi. Rumah sunyi. Gelap. Kata orang-orang di sekitar, Pak Edi itu cuma ngontrak di situ. Pekerjaan ya kurang tahu. Memang katanya di Pemda. Tapi kalau ditanya kenal pak ini, ibu itu ngakunya kenal. Saat ketemu pak ini dan bu itu, dia bilang bahwa di Pemda tak ada Pak Edi. Sudah sebulan, kontrakan itu selalu sepi.
***
Apabila mengingat peristiwa itu, hati Tasno seperti hancur. Ia serasa tidak punya harapan. Langit seperti runtuh. Sisa sedikit dari uang penjualan tanah akhirnya untuk beli sepeda motor yang sekarang digunakan untuk mengojek Janaka. Tak mungkin uang kembali. Tak mungkin tanah kembali. Tanah-tanah telah berubah menjadi bangunan. Padang hijau hilang.
Biarlah anaknya yang memegang sepeda motor, sementara ia tetap bersepeda. Gumannya. Ia ikhlas.
Yang paling menjadikan tak ikhlas adalah kondisi seperti sekarang ini. Ketika harga beras naik, ia menjadi buruh mencangkul milik tetangga, sementara sawahnya telah menjadi hotel megah milik orang lain. Sekarang ini, untuk beli beras 10 kg saja, semakin susah. Penghasilan Janaka selalu pas-pasan sebagai tukang ojek. Belum lagi kebutuhan keluarganya.
Tasno tidak ingin menjadi orangtua yang hidup mengandalkan anak. Selama masih mampu untuk berjalan, ia akan makan sendiri. Dalam siang itu, ia merasa rindang pohon akasia begitu menyejukkan di hati. Tasno terlelap seperti menahan lelahnya kehidupan.
Tasno terbangun ketika mendengar telolet bus. Ia ingat harus membeli beras. Beberapa warung di daerahnya sedang kehabisan stok. Ia mencoba untuk ke beberapa warung. Ia mengambil sepeda. Tapi roda sepeda tidak bisa berputar. Tampaknya, pelk melengkung. Mungkin terinjak oleh bus.
Tasno memanggul sepeda. q– g

Dodoku Ali, Sancang, Tapulaga, dan Lainnya

Puisi-puisi Acep Zamzam Noor (Kompas, 10 Februari 2018)
Tiger ilustrasi Heri Winarno - Kompas.jpg
Tiger ilustrasi Heri Winarno/Kompas

Dodoku Ali


Kutulis gazal untuk pagi terakhir
Dan kuberikan padamu sebagai amsal
Tiba-tiba angin berhenti menderu
Dermaga lengang di antara kita

Kutulis rubaiyat untuk camar kecil
Kutulis di atas permukaan selat
Darahku yang beku kembali mencair
Ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi

2014

Siapakah


Siapakah yang menyiramkan hijau
Ketika punuk bukit kembali bersemi

Siapakah yang menumpahkan biru
Ketika ombak berkejaran dengan sunyi

Siapakah yang menggambari langit
Dengan kuas sehalus awan pagi

Siapakah yang mengukir udara
Dengan pahat selentur jemari

2015

Sesungguhnya


Andai jemariku mengelus rambutmu
Aku hanya mengelus rambut waktu

Andai hanya mengelus rambut waktu
Sesungguhnya aku mengurai rahasia rindu

Andai mengurai rahasia rindu
Aku hanya mengungkapkannya lewat lagu

Andai hanya mengungkapkannya lewat lagu
Sesungguhnya aku telah memeras seluruh jiwaku

2015

Anjung Cahaya


Ketika sunyi menyeberangi selat
Aku sendiri di dermaga biru

Ketika angin mengirimkan isyarat
Aku melihat sampan meninggalkanku

Ketika rembang menebarkan kesumba
Aku menjengkal jarak ruang dan waktu

Ketika senja mematangkan cahaya
Aku tenggelam di palung rindu

2015

Tapulaga


Langkahku berujung di sebuah dermaga yang menjorok
Ke dalam teluk. Tak ada kata-kata yang menggambarkan
Bahwa kehilangan merupakan bentuk lain dari penyerahan
Tiang kayu hanya menunjukkan di mana aku mesti berdiri

Sebuah pulau nampak seperti bangkai perahu di tengah laut
Pondok-pondok terapung di antara keheningan dan kebisuan
Jejak sunyi yang kautinggalkan berupa riak yang memanjang
Dan lenyap di kejauhan. Suaramu tersimpan di balik ombak

Aku berusaha mengingatmu dalam jarak yang masih terjengkal
Selat demi selat tidak pernah mengantarkan kita ke mana-mana
Hatilah destinasi paling akhir dari semua persinggahan di dunia

Kekasihku, tulisan di atas pasir ibarat artefak percintaan kita
Hikayat yang terpahat di udara akan segera dihapus cuaca
Sebagaimana pertemuan langit dan bumi yang selalu tertunda

2016

Bukan Destinasi Akhir


Pelan-pelan langkah fajar mendekati tembok dermaga
Menjelang subuh tiba. Perahu-perahu mulai berlabuh
Ufuk yang kemerahan menggeraikan rambutnya ke udara
Dan udara menyisir rambut itu dengan hembusan angin

Dari ujung teluk menyembul matahari yang berawan
Tirai-tirai cahayanya membayang pada permukaan laut
Seorang penyair telah berlayar dan lenyap di balik ombak
Tapi waktu tak pernah menyebutnya sebagai kehilangan

Kehilangan hanyalah jeda dari sebuah perjalanan panjang
Persinggahan di antara keberangkatan dan kedatangan
Yang terus berulang. Kematian bukan destinasi akhir

Seorang penyair adalah nelayan yang mengarungi malam
Dan bertamng melawan sunyi. Epitaf tak menulis namanya
Tak ada artefak yang mengisahkannya sebagai pemberani

2017

Sancang


Tanpa alas kaki aku berjalan memasuki hutan terlarang
Batu-batu padas menjadi nubuat yang berasal dari sunyi
Sebuah ukiran nampak pada tebing yang ditoreh belati
Ada lelehan darah. Tahun kelahiran kita tertulis di sana

Lalu kita berpisah dan menjadi bagian dari kitab semesta
Bagian dari buku yang tak henti-hentinya mendedahkan
Keajaiban rindu. Aku membacamu hingga lubuk bahasa
Sebelum kau menghilang ditelan keremangan kata-kata

Aku berjalan menanjak dan menurun sepanjang hutan itu
Ingatan ibarat sulur-sulur pohon yang beijatuhan ke bumi
Dan kenangan adalah bunyi serangga menjelang subuh tiba

Di sebuah muara aku melihat waktu mengalir begitu lambat
Menit-menit mengambang di antara cabang-cabang bakau
Yang rapat Aku tabu kematian menunggu kita di dermaga

2017

Batupacakop


Bibirku hanya mendarat di kening batu karang
Ketika angin mengabarkan seseorang pergi ke selatan
Dan menghilang di balik ombak. Maka kecupanku
Kecupan pertamaku sebatas menyentuh jejak

Jejak sunyi yang kemudian menjadi sangat panjang
Dalam ingatanku. Di sinilah akhirnya aku membuang diri
Menjadi layar bagi perahu, menjadi jaring bagi nelayan
Menjadi petunjuk jalan bagi peziarah yang kebingungan

Bertahun-tahun kurenungi waktu sambil memejamkan mata
Kuhayati kesementaraan dengan menyumbat kedua telinga
Terus berlari mengejar bayangan yang sebenarnya tidak ada

Utara dan selatan adalah satu dalam napas panjang waktu
Hulu dan muara adalah rangkaian niat, ucapan serta perilaku
Berabad-abad menunggu hingga rinduku sematang terumbu

2017

Sagaraanakan


Aku melihat ujung cahaya di balik keremangan
Sebutir bintang jatuh dan tenggelam di muara
Perahu-perahu yang berlayar menghilang
Di seberang nusa. Tumpalian tinta menodai segara

Aku memasuki celah di antara dua karang besar
Menyelinap ke dalam kerumunan sulur-sulur kiara
Rembang telah menjadi titik yang tak terjangkau
Oleh kata-kata. Lalu mataku padam bersama senja

Di manakah jalan setapak yang menuntun masa kecilku
Ke arah sendang? Setiap pengembaraan selalu melahirkan
Berbagai kemungkinan yang sulit untuk digambar ulang

Di manakah tembang asmarandana yang menenungku
Menjadi batu? Goa-goa seperti menyembunyikan masa lalu
Namun semadiku adalah perjalanan lain di luar waktu

2017

Karangtawulan


Sambil mengingatmu aku berjalan menuju perbukitan
Menapaki undakan batu yang menanjak dan berkelok
Seperti tangga usia. Kudengar angin bersahutan di udara
Dan pelahan-lahan rembang menurunkan layar petang

Di atas hamparan samudera nampak titik-titik cahaya
Langit tanpa mega bagaikan lukisan yang belum selesai
Tapi permukaan ombak seakan menunjukkan tekstur lain
Selalu ada ruang bagi sunyi. Bagi siapa pun yang menanti

Sambil mengenangmu aku memaknai setiap perubahan
Sebagai kehilangan. Di antara ketapang, bunut dan randu
Bayang-bayang menegaskan bahwa jarak kita bukan waktu

Mungkin setiap kehilangan menyisakan jejak yang dalam
Semacam luka yang tak kunjung kering. Tapi pulau karang
Adalah kesendirianku yang tegak di tengah ganasnya musim

2018


Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Death Approaching and Other Poems (2015) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Inggris dan Jer man, sedangkan Ailleurs des Mots (2016) adalah antologi puisinya dalam terjemahan Perancis.