Daftar Blog Saya

Senin, 02 Oktober 2017

Penagih Hutang Bersepeda Kumbang

Cerpen Farizal Sikumbang (Kompas, 01 Oktober 2017)
Penagih Hutang Bersepeda Kumbang ilustrasi Made Meiada - Kompas.jpg
Penagih Hutang Bersepeda Kumbang ilustrasi Made Meiada/Kompas
Perihal cerita tentang seorang penagih hutang bersepeda kumbang, memang sudah banyak dilupakan oleh orangtua di kampung Kuranji. Bagi anak-anak, dan remaja yang beranjak dewasa, tentu saja cerita itu kini bagai tak pernah ada, karena tak pernah dituturkan oleh orang tua mereka. Tapi bagi keluarga kami, cerita itu tetaplah hidup.
Si penagih hutang itu, memang sudah tidak ada di kampung Kuranji. Mungkin itu yang membuat kisah ini tidak abadi di banyak orang. Karena musim mengikisnya, dan juga masa telah melupakannya. Tapi tentang sepeda kumbang itu? Ia benar-benar ada. Karena sepeda kumbang itu tergantung rapi di sudut dapur rumah kami.
Rumah kami? Masih seperti dulu. Berpuluh-puluh tahun lampau tidak jauh berbeda ketika si penagih hutang itu ada. Rumah panggung berdinding papan. Dan karena usia, sebagian papan-papan itu sudah lapuk dimakan rayap, sebagian lagi sudah diganti oleh Uni Ida dengan papan yang baru. Uni Ida dan suaminya, beserta tiga anaknya tinggal di rumah itu. Dan di rumah itu pula, bila aku pulang dari rantau, aku akan tinggal di sana untuk beberapa lama.
Usiaku dua belas tahun kala itu. Di kala si penagih hutang muncul pertama kali di kampung Kuranji. Saat itu aku sedang sibuk mencabut rambut putih almarhum Amak.
“Siapa itu Buyung yang bersepeda kumbang?” Tanya Amak sambil telunjuk lurus beliau mengarah ke laki-laki itu.
Mataku pun tertuju kepadanya, tapi tanganku masih sempat menarik sehelai rambut putih Amak.
“Entah Mak, tak kutahu siapa dia. Belum pernah kulihat wajahnya,” jawabku.
Laki-laki itu menyandarkan sepedanya pada serumpun pohon pisang batu di halaman rumah kami. Di tempat duduk belakang sepedanya, kulihat kayu memanjang yang diikatkan. Pada dua ujungnya, terlihat buntalan karung yang berisi barang pecah belah. Aku ingat ada baskom plastik. Ember, piring plastik dan beberapa lagi aku lupa.
“Maaf Amak, aku si pedagang keliling, si tukang jual barang pecah belah. Boleh kontan dan kredit. Perkenalkan namaku, Udin Leman asal Rengat,” katanya dengan girang.
Mak berdiri meninggalkanku di sudut pintu.
“Si tukang kredit? Belum pernah ada orang yang menjajakan barang-barang di kampung ini, buyung,” jawab Mak.
“Apa yang kau jajakan,” tanya Mak lagi.
“Baskom, piring, rantang nasi. Ambillah satu mak, mak cicil pun boleh.”
Mak memperhatikan setiap barang yang dibawanya. Nampaknya mak mulai tergiur juga.
“Rantangku sudah tak baik lagi.”
“Mak ambillah. Harganya lima belas ribu. Mak angsur per hari saja, ya.”
“Kau tiap hari kemari?”
“Ya, mak. Aku baru menyewa rumah di kampung sebelah.”
“O, begitu.”
Mak mengambil satu rantang nasi. Mak mencicilnya setiap hari. Kala itu kampung kami masih sepi. Semak-semak masih semarak di halaman, dan pohon-pohon besar juga masih melingkari kampung. Alat transportasi umum masih sulit ditemui, yang ada hanya pedati, dan dengan hitungan jari ada pula bendi.
Laki-laki penagih hutang bersepeda kumbang itu pun setiap hari mengunjungi rumah kami. Seperti perjanjian Mak dengan dirinya. Setelah itu dia akan mengelilingi kampung kami. Menjajakan barang dagangannya kepada orang lain. Dan semakin hari, semakin banyak orang kampung kami yang berlangganan dengannya.
***
Kakakku, Uni Ida baru saja menyelesaikan es-em-a-nya kala itu. Jadi kalau Mak mau pergi ke pasar atau ada keperluan lainya, beliau akan menitipkan uang pada Uni Ida yang akan diberikan pada si tukang kredit itu. Aku tidak tahu entah berapa kali Mak memberikan tugas itu pada Uni Ida.
Namun yang aku ingat adalah, bahwa beberapa hari kemudian, si tukang kredit itu dengan Uni Ida semakin bersahabat saja. Bukan, bukan seperti orang bersahabat, tetapi seperti dua orang yang saling menyukai. Mereka sering terlihat duduk berdua di rumah beberapa lama. Saling berbincang entah apa. Tapi dari wajah Uni Ida, seperti senang riang tak kepalang, begitu juga dengan laki-laki si penagih hutang.
Pernah beberapa kali aku diusir Uni Ida jika mereka sedang duduk berdua, atau Uni Ida akan membesarkan dua matanya sebagai isyarat agar aku pergi jauh. Aku juga sempat berpikir kala itu, begitukah cara bila dua orang saling menyuka?
Berbulan kemudian, hubungan mereka tercium oleh Abak. Dan suatu malam, Abak menginterogasi Uni Ida. Aku ingat itu malam yang dingin. Hujan turun sangat lebat memukul-mukul atap seng rumah kami. Mak menggigil di sudut ruang tamu dengan membisu.
“Kau masih baru tamat sekolah. Kau belum pantas berpacaran. Aku tak ingin kau berhubungan dengan, si tukang kredit itu.”
Uni Ida hanya diam dengan menekukkan wajah ke lantai. Tak berani menatap wajah Abak. “Aku tak ingin lagi mendengar bila kau berjumpa dengannya. Aku merasa dia bukan orang baik-baik. Jangan pernah berhubungan dengan orang yang tak tahu asal-usulnya. Kau mengerti?”
Uni Ida tak menyahut kata-kata Abak. Mulutnya membisu. Tubuhnya kaku. Ia serupa patung. Tapi airmata Uni Ida tumpah. Membasahi pipinya. Dan Abak tidak memikirkan tentang airmata. Bagi Abak, keputusannya tak boleh dilanggar. Mak, tak berani menyahut. Mak hanya diam. Kaku. Tapi di akhir pertemuan malam itu, Abak sempat menyalahkan Mak.
“Ini ulahmu, mengundang si tukang kredit itu datang ke rumah,” kata Abak.
Seperti Uni Ida, Mak juga hanya diam.
Di hari berikutnya, Mak tidak pernah lagi menitipkan uang pada Uni Ida. Ini adalah salah satu cara agar Uni Ida dan si tukang kredit itu tidak pernah lagi berjumpa. Setiap tukang kredit itu datang ke rumah, Maklah yang memberikan uang cicilannya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada si tukang kredit itu setelah dia tidak berjumpa dengan Uni Ida untuk beberapa lama. Yang kuingat tentang Uni Ida adalah, bahwa setiap malam datang, Uni Ida tidak pernah lagi keluar kamar. Mukanya terlihat murung setiap hari. Dia pun sudah tidak banyak bicara. Dan Abak, tidak pernah hirau pada perubahan sikap Uni Ida itu.
Aku tentu kasihan pada Uni Ida kala itu. Beberapa kali aku sengaja membawakan makanan ke kamarnya. Tapi setiap makanan yang pernah kubawakan, tak pernah dimakan Uni Ida. Begitu juga bila aku menyapanya, Uni Ida tak pernah menyahut.
Suatu sore, aku mendengar suara gaduh di depan rumah kami. Dengan langkah gegas aku menyusul asal suara itu. Sesampai di pohon nangka, di samping rumah, kulihat Abak sedang mendorong tubuh si tukang kredit itu agar meninggalkan rumah. Di teras rumah, Mak memegangi tubuh Uni Ida yang sedang menangis.
“Pergi kau! Pergi! Pergi!” Berulang-ulang Abak mengucapkan kata-kata itu dengan lantang.
“Jangan pernah lagi kau injak rumahku ini. Pergi! Pergi!”
Abak baru berhenti berteriak setelah tubuh si tukang kredit itu hilang di balik semak dan sebatang pohon asam kandis. Sedangkan Uni Ida, tak henti-hentinya menangis, kadang seperti orang meraung. Suaranya mengalahkan kicauan suara burung, dan pekikan monyet-monyet liar yang hendak mencuri nasi basi jemuran mak.
Tiga hari berikutnya peristiwa aneh terjadi, Abak pulang dengan menaiki sepeda si penagih hutang. Mak jadi sangat kebingungan. Apa yang telah terjadi? Mungkinkah Abak telah membunuh si penagih hutang dan merampas sepeda kumbang? Ketika Mak menanyakan kepada Abak tentang sepeda itu, Abak tidak pernah menjawab. Bukan hanya tidak pernah menjawab. Abak jadi seperti orang bisu. Tidak lagi mau bicara. Dalam hal apa saja. Ini terjadi dalam dua minggu. Dan kejadian ini membuat Mak sering mengalami sakit kepala.
Memasuki minggu ketiga, Abak jatuh sakit. Abak mengalami sakit yang aneh. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Abak hanya bisa terbaring. Apabila Abak bersuara, apa yang beliau ucapkan nyaris tak terdengar. Kami terpaksa harus mendekatkan telinga ke mulut Abak setiap beliau hendak bicara.
Seorang mantri desa telah di datangkan Mak. Obat yang mereka berikan tak mampu menyembuhkan sakit Abak. Bahkan Mak, pernah pula mendatangkan dukun bermata elang dari kampung seberang. Si dukun mengatakan, bahwa Abak diserang ilmu hitam nujum orang. Lalu si dukun menyiram tubuh Abak dengan air batang pisang yang telah dibakar dan diselingi mantra-mantra yang aku sendiri tak paham. Namun usaha si dukun tak menghasilkan apa-apa. Lalu, apa yang membuat Abak mengalami sakit begitu rupa? Adakah ini hubungannya dengan si penagih hutang bersepeda kumbang?
Ya, lima hari setelah kematian Abak, pertanyaan itu terjawab sudah. Adalah mamak Odang, kakak Mak yang menguraikan semuanya.
“Pagi itu Abak kalian mendatanginya. Ia meminta agar si penagih hutang segera pergi jauh dari kampung seberang. Dia tentu saja sangat ketakutan. Abak kalian tak hanya membawa parang, tapi juga menceritakan dirinya, seorang mantan pejuang yang pernah berkali-kali menebas leher penjajah. Bisa kulukiskan ketakutan penagih hutang bersepeda kumbang itu. Tubuhnya gemetar. Keringat membasahi mukanya.”
“Selama dia membereskan barang-barangnya sebelum pergi, si penagih hutang sempat mengatakan asal usulnya. Dalam ketakutan dia mengatakan bahwa dia berasal dari Rengat. Anak yatim piatu. Dua orangtuanya mati dieksekusi Belanda, di saat Belanda menyerang kota Rengat. Setelah itu si penagih hutang itu langsung pergi. Dan Abak kau tak menyahut lagi. Selain membawa sepeda kumbang itu pulang. Tapi di dalam perjalanan pulang, Abak kalian dalam keadaan bimbang, merasa bersalah.”
“Jadi, penyakit Abak, karena beban pikiran,” simpulan Mak kala itu.
“Ya. Kalian tahu Abak kalian seorang pejuang. Dia pernah berperang di Rengat. Dia merasakan sendiri tragedi di kota Rengat itu. Abak kau merasa bersalah telah mengusir si penagih hutang itu. Seandainya ia tahu si penagih hutang itu anak yatim korban tragedi Rengat, tak akanlah dia mengusirnya. Setelah kejadian itu, Abak kalian pernah menyuruhku untuk mencarinya kembali, tapi aku tak pernah menemukannya sampai Abak kalian meninggal. Abak kalian sungguh menyesal.”
Mamak Odang menceritakan peristiwa itu dengan mata berkaca-kaca. Setelah selesai bercerita, beliau langsung mohon pamit minta pulang. Tak kutahu mengapa beliau begitu tergesa, mungkin saja beliau juga merasa berdosa tak menemukan kembali si penagih hutang, atau tak tahan melihat Uni Ida berurai airmata dengan tangis tertahan.
Lalu sampai berapa lama Uni Ida bergelut dalam kesedihan setelah kepergian si penagih hutang? Entah sampai kapan aku tak tahu, yang tahu hanya Uni Ida. Sebab dua minggu setelah kematian Abak, Uni Ida kembali hidup seperti biasanya. Tapi ada kebiasaan aneh Uni Ida yang muncul tiba-tiba, yakni Uni Ida suka sekali merawat dan membersihkan sepeda kumbang si penagih hutang. Dan sampai sekarang, sepeda kumbang itu tergantug rapi di dapur rumah kami. Tentang bagian cerita ini, aku yakin suami Uni Ida tidak tahu sama sekali.

(Banda Aceh, 2017)
Farizal Sikumbang lahir di Padang. Bekerja sebagai pengajar di daerah pedalaman Kabupaten Aceh Besar. Tinggal di Kota Banda Aceh. Cerpennya dipublikasikan di media nasional dan daerah. Kumpulan cerpennya “Kupu-Kupu Orang Mati” (2017).

OTT

Cerpen Rita Nuryanti (Kedaulatan Rakyat, 01 Oktober 2017)
OTT ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
OTT ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
GEMPAR. Warga padukuhan Manggisan mendadak heboh dengan berita, Marni, anak Mak Wiji, terjaring OTT ketika mencoba menyuap pejabat penting di kabupaten.
“Sudah baca Sorot Kota belum?” Bu Sri membuka kran pembicaraan ketika belanja di warung Mak Surip.
“Masalah OTT?” sahut Dini.
“Semalam di pos ronda menjadi topik hangat layaknya issu di televisi.”
“OTT, apa sih?” Mak Surip memotong.
“OTT itu, Operasi Tangkap Tangan. Artinya, tertangkap basah ketika sedang menyuap!” kata Bu Sri.
“Kok gitu ya? Untung saya tidak terkena OTT ketika menyuap Menik. Aneh ya, anak kecil tidak boleh disuap?”
“Mak Surip…, Mak Surip! Bukan itu!” Bu Sri melempar pandangan pada Dini. “Menyuap itu memberi pelicin atau sogokan agar keinginannya terwujud dengan mudah walaupun melanggar hukum!”
Mak Surip mengangguk.
“Sudah, Mak! Belanjaan saya, semua berapa? Pagi-pagi sudah ngrumpi!” Bu Sri dan Dini undur diri.
Mak Surip sendirian. Pikirannya melayang pada Mak Wiji, teman senasib dalam kehidupan. Bedanya, Mak Surip menggantungkan hidup dengan berjualan sayuran, sedangkan Mak Wiji sebagai buruh nyuci.
Mak Surip menghempaskan napas panjang. Sesama janda Mak Surip dapat merasakan kepiluan yang menghantam Mak Wiji. Dari ketiga anaknya, hanya Marnilah harapan bergantung di hari tua. Nyatanya? Marni terancam masuk bui.
Mak Surip segera menutup pintu. Dengan langkah terburu kakinya menuju rumah Mak Wiji. Jantung Mak Surip berdetak semakin kencang tatkala melihat kerumunan pemuda seakan membentengi rumah Mak Wiji.
“Ada apa ini? Ayo minggir! Semoga kamu tidak apa-apa, Wiji!” Mak Surip berteriak sekuat tenaga menyibak jalan dan menyeruak ke dalam. “Wiji…!!!” Mak Wiji yang tengah mengurai air mata didekap erat. Keduanya berpelukan, suara tangis keras mengguncang.
“Sudahlah, Mak! Jangan berkepanjangan. Kita cari solusi untuk menolong Marni!” Bu RT yang sejak awal mendampingi Mak Wiji berusaha mendinginkan.
“Bagaimana Marni bisa…, OTT ya?” bisik Mak Surip.
“Kamu tahu, Marni jadi pembantu wong mblegedhu, orang kaya raya,” dengan terbata Mak Wiji bercerita. “Lumayan, aku sering dapat kiriman uang. Tapi kok…, huaaa…!!!” Mak Wiji kembali meluapkan tangis. “Katanya, Marni akan bebas jika dalam dua hari dapat mengembalikan uang limapuluh juta.”
“Mak…,” dengan lembut Bu RT membelai Mak Wiji. “Warga Manggisan itu satu tubuh! Satu sakit, lainnya ikut merasakan. Para pemuda dan pengurus dusun siap mencari donatur untuk meringankan beban Marni. Mak berdoa ya?”
“Aku ikut!” Mendengar kata mencari sumbangan, Mak Surip bangkit. “Akan kudatangi para juragan dan pedagang di pasar!” Tanpa menunggu jawaban, Mak Surip segera beranjak. Langkah Mak Surip diikuti para pemuda. Mereka segera mengatur strategi agar target tidak sekedar mimpi.
Petang datang menjelang. Warga berkumpul di balai dusun. Uang Rp.44.655.000 telah di tangan. Semua berdecak.
“Izinkan saya menggenapkan jadi 50 juta!” kata Pak Maksum, pengusaha penggilingan padi.
Sepakat. Pak Dukuh, Pak RT dan Soni sebagai wakil menjenguk Marni.
“Aku ikut!” teriak Mak Surip.
Semua setuju. Duapuluh menit perjalanan, sampailah pada tempat Marni ditahan. Tegang. Petugas bersikukuh Marni tidak boleh ditemui. Nego, berbelit. Akhirnya, hanya lima menit waktu untuk bertemu Marni.
“Mar..,” Pak RT berbisik. “Kami telah membawa uang limapuluh juta!”
“Sudahlah!” Senyum Marni merekah. “Untuk kas dusun saja! Emak akan lebih bersanding harta jika saya telah masuk penjara.”
“Marni?!!!” Semua tertegun.
“Parno?!” terbayang di benak Mak Surip, anaknya yang lontang-lantung jadi panji klantung. “Mungkinkah terjaring OTT saja agar keluarga bahagia?”

Semanu, Gunungkidul, 2017
*) Rita Nuryanti, pecinta sastra Indonesia dan Jawa, bekerja di SMPN 3 Semanu, Gunungkidul. q-e

Hari yang Kosong

Cerpen Yulina Trihaningsih (Jawa Pos, 01 Oktober 2017)
Hari yang Kosong ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Hari yang Kosong ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
HANING tidak tahu pasti berapa lama ia menghabiskan waktu di kamar mandi memandang keran yang bocor. Mungkin sudah sepagian ini. Atau malah baru beberapa menit saja. Beberapa waktu terakhir, ia seperti mengalami disorientasi.
Tes… tes… tes…
Suara tetesan air yang berirama menjadi latar yang sempurna untuk kekosongan yang terasa kental di sekitarnya. Haning berusaha mengingat-ingat, apa yang membuat sekelilingnya terasa begitu muram dan sunyi. Mungkin semua ini dimulai sejak Una, putrinya, berpamitan sambil menitipkan pesan-pesan.
“Hari ini aku pulang sore, Ma. Ada pelajaran tambahan di sekolah. Kalau Mama tidak repot, aku ingin sekali makan puding cokelat buatan Mama sepulang sekolah nanti.”
“Jangan lupa obat dan vitaminnya diminum, ya, Ma!”
Wajah gadis berusia 14 tahun itu berkilau terkena cahaya matahari pagi. Ia mendekatkan wajahnya, berusaha menelisik hati Haning.
“Mama tidak boleh sedih sendirian. Berjanjilah Mama akan menungguku pulang dulu sebelum mulai menangis untuk nenek.”
Haning tertawa kecil. Ah, gadis itu selalu mengerti apa yang ia rasakan.
Setiap menjelang hari kepergian ibunya, Haning akan mulai demam sehari sebelumnya. Begitu saja, tanpa ia rencanakan dan harapkan. Lalu, ia akan mengajukan izin cuti selama dua hari dari kantornya. (Haning tak pernah mengajukan cuti kecuali untuk momen ini). Dan sudah berapa lamakah ritual itu berlangsung? Una pasti akan langsung bisa menjawabnya dengan cepat.
“Tiga tahun, Ma. Nenek pergi tiga tahun yang lalu.”
Tak tahan dengan suara tetesan air yang terus menyeret perasaan langut, Haning bergegas keluar dari kamar mandi menuju ayunan kursi kesayangannya. Ia berpikir akan langsung menelepon Pak Muji saja. Pria tua, tukang langganan keluarga mereka, yang akan dengan senang hati merapikan apa-apa yang membutuhkan sentuhan tangannya di rumah itu. Tentu saja ia senang hati. Sejak dulu, Haning termasuk royal dalam memberi upah. Pernah Haris memprotes nominal yang Haning berikan kepada pria tua itu atas jasanya memperbaiki pintu kamar mereka yang tak bisa ditutup.
“Lain kali aku saja yang memperbaiki pintu atau apa pun yang rusak di rumah ini.”
Haning menatap Haris datar. “Aku akan dengan murah hati mengalokasikan dana perawatan rumah kita padamu, asal kau bisa menjamin pekerjaanmu selesai sebelum salah satu anggota keluargamu datang mendadak lagi.”
“Apa maksudmu?” Ada nada terhina dalam suara pria itu.
Perempuan itu mengalihkan pandangan sebelum berbicara lagi seolah tak peduli.
“Kau tahu, kali terakhir adik lelakimu datang ke sini, aku sedang mengganti bajuku di kamar yang terbuka. Hari itu ia sedang berinisiatif menjemput Una di sekolah dan mengantarnya ke rumah. Kalau kau tak siap untuk memperbaiki apa pun kerusakan yang timbul di rumah ini, lebih baik kau serahkan saja urusan itu padaku.”
Wajah Haris menggelap, namun ia tak berkata apa-apa lagi.
Ah, Haning mulai mengerti, mengapa ibunya selalu melarangnya untuk mengingat-ingat masa lalu. Diperlukan energi yang besar untuk melakukannya. Bila ia tak siap, ingatan itu akan mengisap seluruh kesadarannya. Dan, sebagai akibatnya, menghadirkan perasaan kosong yang menyedihkan.
Sayangnya, setiap tahun, ia terjebak untuk kembali berbuat hal itu. Hari kematian orang-orang yang ia cintai selalu menjadi pemicunya. Ibunya adalah perempuan dengan banyak teori di kepalanya. Buah pikirannya selalu ia jejalkan ke dalam hari-hari Haning setiap ada kesempatan. Dan filosofi ibunya tentang pernikahanlah yang paling Haning ingat saat ini.
“Perhatikan kerusakan-kerusakan kecil di dalam rumahmu. Jangan dibiarkan hingga bertambah besar.”
Haning mengingat ibunya yang selalu penuh perhatian pada bak kamar mandi yang bocor, pagar yang berdecit karena karatan, atau kaca jendela yang retak. Ibunya tak pernah membiarkan kerusakan-kerusakan itu bertahan lama.
“Kerusakan kecil yang kau biarkan, akan membawamu pada kerusakan yang lebih besar. Bila sudah demikian, akan semakin mahal harga yang harus kau keluarkan untuk memperbaikinya. Bila para pria tak ada waktu, kita yang harus menyelesaikannya sendiri, Haning.”
Haning sangat menyadari itu. Dalam kesendiriannya kini, betapa Haning ingin memutar waktu. Kembali ke saat kerusakan-kerusakan di dalam rumahnya masih kecil dan lebih mudah diperbaiki. Mungkin, entah bagaimana caranya, perbaikan tidak akan menghabiskan begitu banyak usaha.
“Jangan terlampau mencintai suamimu. Cintai sewajarnya saja.”
Tawa tersemburdari mulut Haning saat mendengar nasihat ibunya itu di malam pernikahannya.
“Ya ampun, Bu, aku tak mungkin menikahi Haris jika tak teramat mencintainya.”
Ibunya tersenyum tipis. Seperti menyesali kenaifan Haning.
“Kau harus menjaga hatimu juga, Haning. Jangan kau biarkan seluruh hatimu terisi cinta untuknya. Karena, hati adalah organ tubuh yang paling mudah berubah. Jika kau tak terlampau mencintai, kau tak akan mudah sakit hati.”
Selama 25 tahun tinggal bersama orang tuanya, Haning bersumpah bahwa ibunyalah yang berada dalam posisi teramat mencintai ayahnya. Ia menyaksikan bagaimana ibunya memuja ayahnya. Melakukan semua hal di dalam rumah mereka secara sempurna. Namun, cinta ibunya yang posesif telah membuat jarak tak kasatmata dengan ayahnya yang pendiam itu. Haning merasakan rumah mereka semakin rapi, semakin sempurna. Namun, beku.
Ibunya semakin sering menghabiskan waktu dengan lemarinya. Ya, lemari bajunya. Ia menjadi begitu gemar membongkar isi lemari, untuk kemudian merapikannya lagi dengan gaya berbeda. Suatu waktu, baju-baju ayahnya akan terurut berdasarkan gradasi warna. Di lain waktu, berdasarkan motif dan coraknya: mulai dari yang polos hingga abstrak. Bahkan, pernah berdasarkan urutan terbaru, atau terusang.
“Lemari baju adalah tempat yang termudah untuk menemukan cinta dan bahagiamu, Haning. Kau mencuci dan menyetrika pakaian suamimu. Merapikannya. Menyentuhnya. Mencium aromanya. Maka, kau akan selalu bisa mencintainya sekali lagi. Percayalah!”
Satu hal yang ibunya tak pernah sadari bahwa Haning kerap memergokinya menangis diam-diam di hadapan baju-baju ayahnya yang tersusun rapi itu. Begitu terus, hingga saat ayahnya berpulang, tak lama setelah kelahiran Una. Entah dimulai sejak kapan, Haning mulai memikirkan nasihat ibunya tentang kerusakan-kerusakan di dalam rumahnya tidak secara harfiah semata. Mungkin, retaknya komunikasi di antara dirinya dan Haris pun telah luput dari perhatiannya. Perlahan berupa lubang kecil. Hingga, semakin lama semakin membesar.
“Mengapa berbicara denganmu menjadi begitu sulit sekarang?” Haris pernah berkata dengan sorot mata lelah, usai debat berkepanjangan yang kembali terjadi di antara mereka. Pada suatu waktu, entah untuk keberapa kali.
Ya. Haning pun tak mengerti, mengapa begitu sukar memahami pria itu kini. Ia juga mencoba mengingat, dimulai sejak kapan cinta menggebu-gebu yang ia miliki di awal pernikahan perlahan mulai menyusut kadarnya. Pudar serupa kaus putihnya yang terlalu sering dicuci.
Mungkin, retakan-retakan di dalam rumahnya yang tak kunjung ia perbaiki –mereka perbaiki, semakin merenggangkan hubungan mereka. Menjadikan mereka sepasang orang asing yang tak kunjung menemukan lintasan jalan yang sama. Ia berjalan ke utara, sementara Haris ke selatan. Dan di dalam perjalanan mereka masing-masing, sementara ia masih tersesat, Haris telah bertemu dan beririsan dengan orang baru. Seseorang yang, tiba-tiba saja, masuk ke dalam jalan Haris. Mengiringi langkahnya. Menjauhkan jarak mereka.
“Apakah kau pernah sungguh-sungguh mencintaiku?” Haning gantian bertanya dengan sorot mata lelah.
Haris menatapnya lama tak bersuara. Sementara Haning masih mencoba mencari apa yang masih tersisa di mata pria itu.
“Bukankah aku yang seharusnya bertanya itu?” Haris berkata tegas. “Kau menarik cintamu perlahan dariku. Kau seperti takut untuk mencintaiku utuh. Aku tak pernah bisa memahami dirimu, Haning.”
Rasanya, sudah sangat terlambat bagi Haning untuk menceritakan ketakutan-ketakutannya. Bahwa ia takut terlampau mencintai pria itu dan berakhir sama merananya seperti ibunya. Karena itu juga, ia berusaha sekuat mungkin untuk mandiri. Ia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan kantor, tak ingin seperti ibunya yang menghabiskan sepanjang hari berurusan dengan lemari. Ia melaju tinggi dalam karirnya. Begitu sibuk. Sekaligus begitu rapuh. Ia terus (berusaha) meyakinkan dirinya bahwa ia perlu melakukan semua itu agar memiliki pertahanan diri yang cukup. Tapi, ia tahu, yang menyedihkan dari semua itu adalah ia tak pernah bisa merasa cukup.
“Mengapa harus perempuan itu, Haris?” Ia pernah mencoba mengonfrontasi pria itu. Bayangan gadis lugu dan sederhana, penjaga toko bunga langganan mereka, mengirimkan sengatan yang berdenyut-denyut di sekujur tubuh Haning.
Haris menatapnya tajam. “Kau terlalu tinggi untuk kuraih, Haning. Kau tegak berdiri, seakan tak membutuhkan diriku. Kau mengatasi semua masalah di dalam rumah—masalah  kita, tanpa pernah melibatkanku dan membiarkanku merasa berarti sebagai pria. Bersamanya, aku tahu rasanya dibutuhkan…”
“Jangan mengada-ada!” Ia mulai histeris. “Kau yang sejak awal mengabaikan semua kerusakan dan masalah di rumah ini!”
“Itu karena kau tak pernah memberiku kesempatan untuk memperbaikinya! Tidakkah kau sadar? Aku suami. Dan aku punya harga diri!”
“Kau suami. Tapi, kau juga seorang ayah! Jika itu memberimu sedikit pemikiran untuk hubungan kita selanjutnya.” Haning membenci nada ancaman dalam kalimatnya. Namun, ia tahu, Una adalah segalanya baginya. Terlebih, bagi pria itu.
***
SUARA tetes air dari keran di kamar mandi belum berhenti. Haning mengerjap. Tubuhnya meringkuk pada ayunan kursi yang menempel di dinding dekat jendela. Ia seakan baru tersadar dari sebuah mimpi panjang. Apakah ia sempat tertidur? Sudah berapa lama ia duduk di sini? Matahari semakin turun ke barat. Langit yang mulai kemerahan dan angin yang berangsur sejuk membuat Haning teringat pesan Una saat berpamitan. Oh, bagaimana ia bisa lupa tentang puding cokelat itu?
Dengan cepat Haning mengambil bahan-bahan dari kulkas yang sudah ia siapkan sejak tiga hari lalu. Agar-agar, susu, cokelat bubuk, hingga cokelat batang yang dengan segera ia lelehkan terlebih dahulu. Sejak dulu, baik Una maupun Haris, tak pernah bisa menolak manisnya puding cokelat yang ia buat. Puding cokelat yang sama seperti yang biasa ibunya buat untuknya di masa silam.
“Ini adalah waktu favoritku. Aku, Mama, Papa, dan puding cokelat!” Una pernah berkata dengan kegembiraan yang tak ia tutup-tutupi. Matanya bersinar saat mereka duduk bertiga di meja makan mungil, menghadap gelas puding masing-masing. Haning ingat betapa lembut tatapan Haris kepada Una dan dirinya saat itu. Betapa mudah mereka bahagia dulu.
Aroma cokelat yang manis memenuhi seisi rumah. Cairan puding cokelat itu sudah mengisi gelas-gelas bening, tinggal menunggu dingin dan memadat. Haning menyadari, sudah beberapa kali Una memintanya membuatkan makanan kesukaannya itu. Tapi, lagi-lagi, kesibukannya di kantor selalu memberinya alasan untuk selalu menunda dan mengingkari janjinya. Kali ini ia akan memastikan Una tersenyum saat memasuki pintu rumah.
Detik waktu menyeret matahari tenggelam, membawa gelap merambat pada dinding-dinding rumah. Haning sengaja tidak menyalakan lampu-lampu. Ia menatap tiga gelas puding di hadapannya. Menghirup aromanya perlahan. Menunggu. Lalu, mulai menangis begitu saja. Mendadak, Haning ingin bisa memercayai satu saja dari filosofi ibunya tentang pernikahan. Ia berjalan cepat ke kamarnya, menuju lemari bajunya. Ia ingin menyentuh baju-baju Haris. Mencium aromanya. Lalu, jatuh cinta sekali lagi pada pria itu.
Di hadapan pintu lemarinya yang terbuka lebar, Haning akhirnya menyadari mengapa kekosongan hari itu terasa begitu pekat. Pria itu telah membawa pergi semua pakaiannya. Tak ada lagi yang tersisa di dalam sana. Ia dan Haris telah gagal, dan rasanya teramat menyakitkan. Bukan, bukan karena gadis lugu dan sederhana itu. Ia rasa, mereka berdua telah terluka sama hebatnya sejak kepergian Una.
Dan sudah berapa banyak terang dan gelap berlalu sejak Una tak pulang ke rumah? Ia masih mengalami disorientasi.
Mungkin, itu dua tahun yang lalu. Saat ia mulai demam menjelang hari kematian ibunya, Una pamit sambil menitipkan pesan-pesan. Mengingatkan Haning untuk tidak bersedih sendirian dan menunggunya pulang bila ingin mulai menangis. Hanya saja, gadis itu tak pernah bisa menagih janji Haning. Bayangan wajah Una yang berkilau terkena sinar matahari pagi adalah yang abadi terpatri di dada Haning. Sebuah sepeda motor menghantam tubuh Una saat menyeberang jalan sepulang sekolah. Maka, mengingat hari kematian ibunya sejak itu akan selalu diawali dengan mengingat hari kematian putrinya. Juga, hari kepergian Haris setelahnya.
Sepi yang bergulung-gulung mencengkeram hatinya. Suara tetesan air di kamar mandi serupa nada lagu sedih yang tak memiliki akhir. Haning sudah memutuskan, Pak Muji tak perlu terburu-buru menghentikannya. Ia membutuhkan hiburan itu saat ini. ***

Pasuruan, Agustus 2017
YULINA TRIHANINGSIH, menulis cerpen, cerber, dan artikel ringan yang termuat di beberapa media nasional.