Daftar Blog Saya

Rabu, 18 Oktober 2017

Imbu


Cerpen Bambang Widiatmoko (Kedaulatan Rakyat, 15 Oktober 2017)
Imbu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Imbu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
KAPAL cepat Sigeri berayun di atas ombak lautan Banda Selatan. Ombak terasa keras menghantam dinding kapal. Rasa mual menjalar di ujung tenggorokan. Aku beranjak ke buritan dan bersandar di dinding kapal. Beberapa penumpang serentak bertepuk tangan saat sekawanan Lumba-lumba berenang mendahului kapal. Apalagi ketika mempertunjukkan atraksinya berloncatan di lautan bebas. Seketika rasa letihku berkurang.
Perjalanan terasa panjang untuk memenuhi undangan dari seorang sahabat berlibur di Pulau Kaledupa. Setelah penerbangan dari Jakarta berakhir di Bandara Kendari, aku memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan. Keesokan harinya, Arif sahabatku itu, telah menungguku di dermaga. Bersama puluhan penumpang lainnya kami menaiki kapal menuju Kaledupa.
Arif tinggal bersama orang tuanya di pesisir Pulau Kaledupa. Seperti penduduk lainnya, secara turun temurun mewarisi ketrampilan sebagai nelayan. Kekayaan hasil lautan yang berlimpah membuat rata-rata nelayan di sini hidup berkecukupan. Orangtuanya menyekolahkan Arif di Kendari. Karena kecerdasannya Arif memperoleh beasiswa sampai tingkat doktoral di universitas terkemuka di Jakarta.
“Masih berapa jauh pelayaran, Rif?” tanyaku.
“Tidak lama lagi karena Pulau Wangi-Wangi sudah kelihatan,” kata Arif sambil menunjuk sebuah pulau di kejauhan.
“Wangi-Wangi adalah ibukota Kabupaten Wakatobi. Wakatobi adalah singkatan dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko,” jelasnya.
Dari brosur yang kubawa tertulis Wakatobi terletak di segi tiga karang dunia dan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Sebagian besar wilayah Wakatobi merupakan lautan. Kondisi ini menyebabkan masyarakatnya menggantungkan kehidupannya pada hasil laut. Selain menjadi nelayan juga banyak yang menjadi pedagang antarpulau atau merantau ke Malaysia dan daerah lainnya.
Tanpa terasa, menjelang senja kapal merapat di dermaga Pulau Kaledupa. Arif mengajakku berjalan kaki menuju rumah orangtuanya. Sinar mentari masih terasa hangat menerpa muka. Jalanan beraspal yang sebagian telah terkelupas menampakkan bayang-bayang semak rumpun matahora. Rumah yang dituju akhirnya sampai juga. Sebuah rumah berhalaman luas. Bergelantungan jaring ikan di batang bambu yang berfungsi sebagai tempat jemuran.
Kedua orang tua Arif mempersilakan aku masuk ke dalam rumah. Di dinding rumah tergantung foto ketika mendampingi puteranya wisuda di universitas negeri di Kendari. Sorot matanya terkesan keras namun terpancar kebanggaan yang luar biasa. Bagi keluarga pak Madira, pendidikan adalah hal utama yang ditanamkan dalam keluarganya.
“Supaya anak-anak tidak menjadi nelayan seperti bapaknya,” selorohnya sambil menawarkan minuman.
“Ah, Bapak bisa saja. Menjadi nelayan kan profesi yang membanggakan dan menuntut keahlian. Apalagi nenek moyang kita kan orang pelaut,” jawabku.
***
Malam itu selepas salat Isya aku dan Arif berjalan-jalan di sepanjang pantai. Ribuan bintang terlihat jelas di langit. Cahaya bulan memantulkan sinarnya di permukaan laut dan menimbulkan keindahan tersendiri. Di sebuah kios yang menjual peralatan nelayan aku dan Arif menumpang duduk.
Banyak benar pertanyaan yang ingin kuajukan terhadap Arif. Perkembangan Wakatobi menjadi tempat tujuan wisata tentu mengubah cara pandang masyarakat Wakatobi. Di seputar Wakatobi masih banyak warga suku Bajo yang dahulu hidup dan tinggal di lautan, kini banyak yang beralih pindah membangun rumah di daratan. Ini tentu menarik karena mengubah kebiasaan hidup di lautan dan di daratan pasti jauh berbeda.
Sudah sering aku mendengar mitos yang terdapat pada masyarakat yang tinggal di pesisir. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Yogyakarta, kuceritakan pada Arif tentang Nyai Roro Kidul. Mitos tentang keberadaan Nyai Roro Kidul yang menguasai laut selatan. Lantas bagaimana Panembahan Senopati jatuh asmara melihat kecantikan Sang Ratu Kidul dan muncul hasrat untuk memperistrinya. Namun diingatkan bahwa hasrat sang Panembahan sulit diwujudkan, karena antara Sang Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul beda alamnya.
“Apakah masyarakat pesisir di sini juga mempercayai mitos tentang lautan?” tanyaku.
Arif tersentak dari rasa kantuknya. Sebagai seseorang yang menaruh perhatian terhadap tradisi yang ada di pulaunya, Arif merasa senang dengan pertanyaanku itu.
“Mitos yang diyakini masyarakat Wakatobi adalah sosok yang disebut imbu,” tuturnya.
Angin laut terasa semakin dingin. Kerlip lampu bagan di tengah lautan membuat suasana sepi menyentuh perasaan.
“Seperti apakah sosok imbu. Apakah seperti Nyai Roro Kidul yang berwajah cantik tapi misterius?” tanyaku tak sabar mendengarkan ceritanya.
“Imbu adalah mahluk gaib yang mirip dengan gurita,” jelasnya.
Aku semakin penasaran mendengar kisah selanjutnya. Mitos selalu ada di berbagai daerah, namun tentang mitos berupa mahluk mirip gurita baru kali ini aku dengar.
“Berbeda dengan gurita yang memiliki delapan lengan. Sosok imbu konon memiliki sembilan lengan,” lanjutnya.
“Sembilan lengan?” tanyaku antusias sambil merapikan sarung.
“Ya, selain memiliki sembilan lengan, sosok imbu berukuran besar layaknya raksasa. Imbu memiliki kekuatan yang besar sehingga mampu merusak atau menenggelamkan kapal yang dikehendakinya.
Aku bergidik membayangkan jika di tengah lautan tiba-tiba muncul sosok imbu. Kenangan indah saat melihat sekawanan Lumba-lumba dalam pelayaran menuju Pulau Kaledupa berubah menjadi seperti mimpi.
“Sosok imbu banyak yang meyakini sebagai saudara kembar manusia. Meski diyakini sebagai saudara kembar namun wujudnya berbeda karena tempat tinggalnya di laut,” kata Arif.
Ingatanku melayang ke daerah asalku di lereng Gunung Merapi. Masyarakat di sekitar tempat tinggalku juga meyakini adanya sosok penunggu Gunung Merapi. Sosok yang disebut danyang ini di antaranya Eyang Sapu Jagad, Sapu Angin, Kyai Megantara, Kyai Petruk. Bahkan pernah ada yang melihat awan panas menyembul dari puncak Gunung Merapi yang menyerupai bentuk kepala Petruk, lelaki berhidung panjang. Munculnya awan berbentuk Petruk ini diyakini, letusan Merapi akan besar dan agar masyarakat di lereng gunung Merapi berhati-hati. Oleh karena itu, setiap tahun Kraton Yogyakarta mengadakan upacara Labuhan Merapi yang merupakan upacara religius dan dimaknai jalinan hubungan yang harmonis.
“Tapi banyak juga yang meyakini imbu berasal dari bongkahan darah kotor seorang ibu yang baru melahirkan. Darah kotor yang tidak menyatu dengan tanah dilarungkan ke laut disertai sesajen dan batata,” lanjut Arif membuyarkan lamunanku.
“Bagaimana caranya untuk mengenali kehadiran imbu?” tanyaku.
“Jika gelombang laut tiba-tiba membesar diluar kewajaran atau bahkan menghilang saat nelayan mengharapkan hembusan angin, hal itu merupakan penanda datangnya imbu,” ujarnya.
Arif menceritakan bahwa kehadiran imbu dapat diartikan agar manusia tidak mengusik alam laut.
“Oleh karena itu masyarakat melarungkan sajen. Berdoa agar kesalahannya dimaafkan dan agar terhindar dari bencana akibat kemarahan imbu,” lanjutnya.
“Jadi kehadiran imbu adalah pemahaman kearifan lokal dalam menjalani kehidupan sehari-hari masyarakat di sini?” tanyaku.
“Begitulah. Kehadiran imbu membuat kesadaran masyarakat setempat untuk selalu menjaga dan merawat kelestarian laut,” ujarnya. q-e

Catatan:
Gurita: Onychoteuthis engulata
Batata: pernyataan atau pengharapan seseorang yang sungguh agar harapannya terkabul (doa)

Perempuan XXX


Cerpen Abul Muamar (Analisa, 15 Oktober 2017)
Perempuan XXX ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Perempuan XXX ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
Pembaca yang budiman, ketika membaca judul cerita ini, janganlah berpikir yang tidak-tidak, atau menerawang kelewat jauh. Percayalah, cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang barangkali pembaca pikirkan, atau bayangkan, itu. Tidak ada sama sekali. Agar tidak menerka-nerka, baiknya pembaca yang budiman langsung saja membaca cerita ini dengan santai. Sambil minum kopi dan makan pisang goreng panas, mungkin.
***
MULANYA, aku sungguh tak menyangka, perempuan XXX itu betul-betul ada. Siapa saja juga tak percaya ketika kucoba menceritakan tentang keberadaannya. Aku sulit menjelaskan secara spesifik dan gamblang, tapi dia, nyatanya, betul-betul ada. Dia muncul di hadapanku, masuk ke dalam hidupku dan berbuat sekehendak hatinya.
“Ah, kau ada-ada saja. Mana mungkin ada perempuan XXX!” seorang kawan menanggapi dengan malas.
“Perempuan itu XX, bukan XXX. Kau macam tak pernah belajar Biologi saja!” ucap yang lain.
“Makanya kau jangan terlalu banyak berkhayal!” cecar yang lain lagi.
Aku nyaris putus asa ketika tak ada seorang pun mau menanggapi penjelasanku, sebelum akhirnya kutemui Pak Arianto. Guru Biologiku dulu semasa SMA.
Kecuali jumlah keriput di sudut matanya yang bertambah banyak, Pak Arianto belum banyak berubah. Saat itu kuperhatikan dia ketika menyambut kedatanganku. Rambutnya hitam mengkilap, meski barangkali baru disemir. Dia sempat kesulitan mengingatku, bahkan walaupun cukup lama memindai wajahku.
“Siapa ya?” ia bertanya dengan mata setengah memicing, mencoba mengingat-ngingat.
“Saya Sukir, Pak. Murid Bapak dulu.”
Lama dia berpikir, menaksir, sebelum ingatannya bergulir.
“O ya, Sukir!” ucapnya akhirnya, sambil merangkul dan menggoncang-goncang bahuku.
“Wah, wah, sudah lama tidak jumpa. Ayo masuk!”
Dulu, semasa SMA, rumahku dan rumah Pak Arianto tidaklah berjauhan. Hanya berjarak kurang lebih satu kilometer. Sejak tiga tahun terakhir, tak lama sejak aku menamatkan sekolah, Pak Arianto pindah ke kabupaten sebelah. Di sana dia diangkat menjadi kepala sekolah di sebuah SMA negeri yang baru dibuka.
Rumah Pak Arianto yang sekarang cukup besar. Halamannya lebar. Kursi bambu yang ada di belakang rumahnya, menghadap langsung ke pematang sawah, kami pilih untuk duduk dan mengobrol.
“Apa kabarmu?” tanyanya.
“Kenapa datang tiba-tiba begini? Bapak jadi tak sempat menyiapkan apa-apa.”
Kumentahkan rasa tak enaknya dengan penjelasan mengenai tujuanku mendatanginya. Raut wajahnya berubah serius sesaat. Sekonyong-konyong ketawanya pecah, seusai kujelaskan apa maksud lawatanku.
“Jadi, kau datang meminta pertanggungjawaban atau berkonsultasi?” katanya setengah meledek. Rasa gelinya tak dapat dibendungnya.
“Atau mau saya mengulang pelajaran itu?” katanya lagi, masih menahan tawa.
“Saya senang. Ternyata kau mendengarkan pelajaran yang saya sampaikan dengan serius.” Tawanya perlahan mereda.
Pak Arianto adalah guru yang baik, meskipun aku sebenarnya tak terlalu menyukai Biologi. Aku lebih suka Fisika atau Kimia. Pelajaran tentang genetika yang disampaikan Pak Arianto waktu itu masih membekas dalam ingatanku sampai sekarang. Manusia normal terlahir dengan 46 kromosom. Terdiri atas 22 pasang autosom dan sepasang kromosom penentu kelamin. Kromosom Y merupakan kromosom memiliki gen untuk sifat laki-laki.
Berapapun jumlah kromosom X yang dimiliki seseorang, asal dia masih memiliki kromosom Y sebuah saja, maka orang itu tetaplah lelaki. Sebaliknya, jika orang itu tak punya kromosom Y, berapa pun banyak kromosom X yang dia miliki, dia tetaplah perempuan. Autosom sama sekali tidak mempengaruhi kelamin. Dalam sistem penentuan kelamin, laki-laki terlahir membawakan kromosom XY, sedangkan perempuan membawa kromosom XX.
“Ada juga perempuan XXX. Mereka berpenampilan cewek, tapi watak dan hati mereka tidak benar-benar seperti cewek. Hati dan darah mereka dingin. Cowok, berhati-hatilah!” begitulah Pak Arianto menerangkan kala itu sambil berguyon. Seisi ruangan tergelak.
***
“Kau nampaknya sangat penasaran dengan perempuan XXX yang saya bilang waktu itu,” Pak Arianto memulai jawaban yang kutunggu-tunggu.
“Perempuan XXX itu memang ada,” katanya, memulai penjelasan. Aku menyimak serius.
“Sekarang yang ingin kau tanyakan, perempuan XXX yang bagaimana?” tanyanya.
Pak Arianto sepertinya sudah membaca pikiranku. Aku tidak akan bertanya soal perempuan XXX. Seperti yang ada dalam daftar kasus kelainan genetika–bahwa dalam kasus kelainan genetika, memang ada perempuan yang terlahir dengan kromosom XXX. Disebut dengan istilah Sindrom Triple X atau Sindrom Superfemale; di mana si perempuan XXX bukan memiliki 46 kromosom, melainkan 47. Jelas bukan perempuan XXX yang demikan yang kumaksud, batinku.
Untuk meyakinkan diri, perempuan XXX yang kutemui bukanlah perempuan XXX yang diakibatkan oleh Sindrom Superfemale. Kucoba ingat-ingat kembali watak perempuan itu. Tinggi badannya normal, tidak unggul-unggul amat dibanding perempuan lain. Organ kelaminnya juga normal.
Kemudian, otaknya juga cerdas. Bahasa dan komunikasinya juga baik dan lancar. Orientasi seksualnya juga normal. Dia sudah pernah pacaran beberapa kali. Bahkan dia mengaku menikmati bersenggama dengan laki-laki. Sama sekali tidak seperti perempuan XXX yang dideskripsikan dalam Sindrom Triple X itu, batinku meyakinkan.
“Bagaimana pula kau bisa menyimpulkan, dia perempuan XXX?” tanya Pak Arianto.
Ah, aku hampir lupa memberitahunya. Aku bertemu dengan perempuan itu tepat sebulan sebelumnya. Di halaman Gedung Rektorat Universitas Negeri Tapi Komersil atau yang sering disingkat dengan UNTK.
“Kamu yang bernama Sukir?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku Elsa,” dia memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku.
“Kok kamu tahu namaku?”
“Tahu dong,” katanya. “Semua orang kenal sama kamu.”
Aku tertawa. Percaya diriku melambung.
“Oke. Ada keperluan apa kamu menemui aku?”
“Nggak ada. Aku cuma mau menemui rektor. Kamu kenal, kan, sama rektor? Bisa temenin aku, nggak?”
Aku terdiam agak lama, saat memandangi sepasang matanya yang indah dan tajam. Aku tak sempat berpikir bahwa statusku sebagai pemimpin pemerintahan mahasiswa, membuatku bisa bertemu rektor dengan mudah.
“Bisa, nggak?” ulangnya, membuyarkan lamunanku.
“Bisa. Kapan?” kataku, tanpa sempat menanyakan apa keperluannya.
“Besok ya,” balasnya.
“Oke. Besok.”
***
Hari kedua. Kami bertemu di halaman depan gedung rektorat. Dia duduk di bawah pohon ketapang menungguku. Semilir angin berembus menyibakkan rambut coklat kepirangannya yang pendek tapi halus. Pertemuan dengan rektor yang kami janjikan berlangsung singkat. Rupanya tiada sesuatu yang teramat penting yang ingin dia sampaikan. Dia hanya mencoba menegosiasikan untuk mendapatkan ijazah tanpa mengikuti wisuda.
“Wisuda itu nggak penting,” katanya.
“Aku juga nggak akan ikut wisuda.”
“Aneh, orang-orang justru lebih semangat mengikuti wisuda. Wisuda bagi mereka adalah hari paling ditunggu-tunggu. Padahal sehari-harinya mereka jarang datang, jarang masuk kelas. Cuma datang, duduk, diam, pulang.”
Aku tertawa. Dia pun tertawa. Kami bertatap-tatapan. Daun ketapang yang tadi kupungut tak terasa telah remuk di genggamanku. Tulang tengahnya tanpa sadar kulingkarkan menjadi cincin-cincinan di jariku.
Aku tahu dia kecewa. Rektor menolak permintaannya itu. Betapapun keras dia menyembunyikan, kekecewaan itu tetap tampak dari wajahnya. Aku tak hendak mengungkit. Kubiarkan keberduaan kami mengalihkan rasa kecewanya.
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Diam mengambil-alih pembicaraan kami. Hanya ada tatap yang dibalas tatap dan senyum yang dibalas senyum. Seakan pembahasan serius mengenai apapun. Termasuk soal wisuda atau gelar atau ijazah atau cita-cita mengenai pekerjaan setelah tamat, hanyalah basi-basi yang tak penting.
“Kamu mau langsung pulang?” tanyanya.
“Belum,” kujawab, “aku masih mau di sini.”
“Lihat rusa, yuk,” ajaknya.
Kami berjalan menuju halaman fakultas pertanian. Di sana terdapat hamparan rumput yang cukup luas. Di sana rusa-rusa dan hewan pengerat lainnya dipelihara.
“Mau ngasih makan? Ini,” kuserahkan padanya batang-batang kangkung yang tumbuh liar di sekeliling penangkaran hewan-hewan tersebut.
Dia tampak sangat manis sewaktu memberi makan rusa-rusa itu. Kulitnya yang sewarna susu semakin indah ditempiasi sinar mentari sore. Memandanginya, dadaku membuncah. Dia diam saja, memberi makan rusa dengan asyiknya. Seakan tak menyadari, aku dari tadi terus memelototinya.
***
Hari berikutnya yang diringkas dengan yang hari-hari berikutnya. Setiap detik dan menit dan jam dalam setiap hari adalah interaksi antara aku dan dia. Instens dan nyaris tanpa jeda. Kami sering berduaan di kampus, hingga malam dan orang-orang sudah pada pulang. Akhirnya, di depan kolam kecil yang dipenuhi teratai yang mengering. Di bawah langit malam. Di bawah sinar rembulan bersama hewan-hewan kecil yang bernyanyi riang. Benar-benarlah tanganku dan sikunya berlaga, mataku dan matanya berlaga, hidungku dan hidungnya berlaga, dengkulku dengan dengkulnya berlaga…
“Itu tidak berarti apa-apa,” katanya, pada hari kesekian setelah sekian hari pula ia enyah dan tak berkabar.
“Kesalahan terbesarmu adalah menganggap apa yang kita lewati sebagai sesuatu yang tak semestinya,” katanya lagi pada hari berikutnya, menambahkan jawaban-jawaban sebelumnya.
Awalnya, kuanggap dia hanya mengujicoba. Rupanya aku salah. Bukan hanya tak pernah mengenal yang namanya berkasih-kasih. Dia juga sama sekali tak menganggap setiap yang kami lalui itu berarti.
Pak Arianto menyimak tanpa ekspresi. Sesekali mengangguk. Ketika kulihat wajahnya, dia memintaku meneruskan.
Dua minggu lalu sebelum aku kemari, mendatangi Pak Arianto, kulihat perempuan itu dari jauh, bertengkar dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu sudah tua. Jelas bukan mahasiswa. Pria itu, jika saja tak kuenyahkan pikiran burukku, sungguh mirip dengan rektor. Aku menduga, dia masih bernegosiasi dengan rektor tanpa sepengetahuanku. Ah, mana mungkin, batinku. Laki-laki berwajah rektor itu seperti menuntut sesuatu darinya. Lamat-lamat kudengar laki-laki itu marah-marah padanya.
“Semua itu ada alasannya,” dalihnya, ketika menerangkan kepadaku tentang pertengkarannya dengan laki-laki berumur itu. Jawaban yang sama seperti yang sudah entah sekian kali setiap kali kutanyakan kepadanya. Ketika kutanya tentang siapa pria tua itu, ia sempat tergagap sebelum melarikan diri dari hadapanku.
Aku bukan tak mau menerima. Aku sudah ikhlas dan akan tetap ikhlas. Sampai meskipun kutemukan dirinya dengan beberapa pria yang lain lagi hanya dalam hitungan hari.
“Perempuan XXX itu memang ada,” Pak Arianto menyahut pelan, setelah tuntas mendengarkan ceritaku. “Mereka terbentuk bukan oleh kelainan kromosom,” katanya. Pak Arianto berkata dengan serius, mafhum bahwa aku membutuhkan jawaban yang demikian.
“X milik mereka yang satu lagi itu muncul oleh pengalaman, oleh keadaan.”
Benarkah ada yang seperti itu? Aku membatin.
“Kamu tidak percaya?” lagi-lagi Pak Arianto bisa membaca pikiranku. “Memang sulit untuk memercayainya. Itulah mereka. Kau hanya gagal memahaminya.”
***
Seminggu kemudian, suasana sudah tenang. Aku mulai terbiasa tak mendengar kabar dari perempuan itu. Satu pagi, kehebohan tersiar di kampus. Aku tak begitu saja memercayai kabar yang kudengar di sepanjang jalan menuju kampus. Akhirnya tak dapat menampik lagi, ketika pada halaman pertama koran pagi, kubaca judul kepala berita berbunyi, “Rektor UNTK Ditangkap Bersama Mahasiswinya di Hotel Tali Air”, dengan subjudul, “Minta Syarat untuk Ijazah Tanpa Wisuda”. (*)

Medan-Yogyakarta, Januari 2016-Agustus 2017.

Ayunan


Cerpen Aminullah (Waspada, 15 Oktober 2017)
Ayunan ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Ayunan ilustrasi Denny Adil/Waspada
LIHAT ayunan itu, tepat setahun yang lalu kau duduk di atasnya sedangkan aku mendorong tubuhmu dari belakang, kau sangat menikmati ayunan di sore itu. Kini semua telah berubah, bahkan lelaki tua penjual gulali kesukaanmu telah tiada, banyak orang bilang ia sudah meninggal enam bulan yang lalu.
***
Senja kala itu memaksa kami untuk kembali ke rumah, kenangan yang dulu masih kami ingat di ayunan itu, di mana api cinta kami masih berkobar. Pertama kali aku jumpa dengan Nensi ketika pulang kuliah. Aku melihatnya berteduh kedinginan di malam hari, ia sendirian dan aku mendatanginya untuk menawarkan tumpangan. Kebetulan sekali arah yang kami tuju sama.
Nensi kala itu malu-malu campur rasa takut. Ya, karena aku orang baik-baik aku mengeluarkan KTP dan kuberikan kepadanya untuk jaminan.
Keesokannya aku mencari tentang wanita itu, aku bertanya kepada temanku satu kampus, namun belum ada yang tahu hingga suatu saat temanku memberi tahu tentang wanita itu, ternyata wanita itu bernama Nensi, ia kuliah fakultas KIP semester 4. Akhirnya rasa penasaranku agak sedikit lega mendengarnya. Waktu pulang kuliah aku sengaja menunggunya di depan gerbang, saat itu ia sedang lewat untuk pulang.
“Nensi!” Panggilku.
Aku melambaikan tangan dan ia melihatku dan langsung datang ke arahku. Dengan perasaan sedikit grogi aku berkaca pada spion motorku sambil merapikan rambut dengan air ludahku.
“Kamu manggil aku, Nik?” Tanya Nensi.
“Ii..iya, Nen. Hai, Nen, apa kabar?” Ujar Niko dengan grogi.
Tidak lama mereka ngobrol, Niko mengantar Nensi pulang kerumahnya.
Keesokannya Nensi tidak terlihat di kampus, Niko bertanya-tanya pada teman-temannya dan ternyata Nensi sakit dan sedang istirahat di rumah. Tanpa pikir panjang Niko langsung pulang dan mendatangi rumah Nensi. Setibanya di rumah Nensi, Niko mengungkapkan perasaan sayang Niko kepadannya, dan di situ pula Nensi menerima perasaan Niko.
***
Di saat mereka pacaran, kini Niko harus berangkat keluar kota untuk bekerja, Niko memberi pesan kepada Nensi untuk saling berkomunikasi, dan saling ingat. Nensi pun memberi pesan kepada Niko bahwasannya jangan pernah sekalipun untuk meninggalkan Nensi kecuali bekerja. Mereka berdua saling berpelukan melepas kerinduan sementara.
Kini mereka telah berpisah jarak dan Niko sudah bekerja empat bulan, Niko sekarang bekerja di Kota Medan, sedangkan Nensi masih kuliah di Jakarta tempat dulu Niko kuliah juga. Mereka saling berkomunikasi walau jarak mereka sangat jauh. Niko kembali ke Jakarta satu tahun sekali, rasa rindu yang menggebu-gebu sudah terbiasa bagi mereka.
***
Kini di saat usia pacaran mereka lima tahun, Nensi sudah lulus kuliah dan sudah bekerja. Nensi bekerja di perusahaan di Jakarta. Ketika itu Niko tidak memberi kabar selama tiga bulan. Nensi kecarian dan sangat khawatir bercampur rindu. Nensi tidak tahu selama satu tahun bahwasannya alasan Niko tidak ada kabar karena Niko sudah dipecat dari tempat kerjanya dan semua barang-barang pentingnya sudah terjual demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kini Niko bekerja sebagai juru parkir, ia mencari nafkah untuk dirinya dari pagi hingga malam. Ia sangat rindu dengan pasangannya, sehingga ada niat Niko untuk menabung agar bisa kembali ke Jakarta untuk berjumpa dengan kekasihnya.
Dua tahun berlalu mereka tidak ada kabar, bahkan kepada orang tua Niko sendiri.
Hari demi hari Niko berusaha mengumpulkan recehan demi recehan. Uang yang dikumpulkannya sebagian untuk membayar rumah kontrakan. Niko tinggal di sebuah rumah kontrakan, tempat tinggalnya sangat kecil dengan ukuran 2×2 meter. Niko tinggal demi beristirahat dari kerja kerasnya, bahkan makan hanya satu kali dalam sehari. Tubuhnya kini kurus, hitam, tidak seperti dulu yang putih.
Kini Niko telah sampai di kampung halamannya, ia cuma mempunyai uang lima ratus ribu, dan niatnya dengan uang segitu Niko ingin melamar Nensi pacarnya yang telah lama tidak berkomunikasi. Ketika Niko berjalan, langit mendung seketika, dan langit menurunkan hujan, Niko berteduh di teras rumah orang, namun Niko diusir dari tempat berteduhnya.
Rasa dingin menusuk tulang tubuhnya, ia berusaha menyelamatkan sisa uangnya untuk Nensi agar tidak basah. Tiga jam berlalu, kini hujan telah berhenti, dengan kondisi basah kuyub Niko berjalan menuju rumah Nensi. Dengan hati senang Niko ingin berjumpa dengannya lalu melamarnya.
Dua jam Niko berjalan dan kini ia telah sampai tepat di depan rumahnya, Niko langsung bergegas menekan bel yang ada di gerbang rumahnya, tidak lama satpam yang dulu pernah Niko temui kini membuka pintu.Tidak lama Niko melihat Nensi keluar dari dalam rumah.
“Nensi!” Panggil Niko. Nensi melihat dan mendatanginya.
“Iya, siapa ya?” Tanya Nensi.
“Aku Niko, maaf ya Nen selama ini aku tidak ada kabar.” Jawab Niko.
Seketika Nensi terkejut dan langsung meninggalkannya. Selang beberapa menit Niko melihat dua anak kecil berlari memanggil mama kepada Nensi, dan seorang laki-laki keluar dari rumahnya. Niko terkejut, ia langsung mengejar Nensi dan meminta menjadi istrinya. Dengan uang lima ratus ribu, Niko sangat serius kepada Nensi, namun apa yang terjadi? Nensi mencampakan uang Niko begitu saja dan diseret keluar oleh satpam dengan kasar. Begitu cepat Nensi melupakan Niko yang selama ini berjuang untuknya.
Dengan rasa kecewa Niko berjalan, ia menangis, ia tidak tau mau ke arah mana langkahnya berjalan. Waktu telah sampai pada malam hari. Niko berjalan menuju ayunan sambil menggigit sebuah sumpit bekas yang dijumpainya di jalan. Sesampainya di sebuah ayunan yang dahulu tempat itu tempat Niko dan Nensi melepas rindu, kini tinggal Niko seorang.
Ia duduk di ayunan sambil memanggil-manggil nama Nensi. Kini Nensi tidak ada, yang ada hanya Niko dan bayangannya, di saat Niko melihat bayangannya, Niko menganggap bayangan tubuhnya adalah Nensi. Niko langsung memeluk bayangannya sendiri sambil mengucap nama Nensi. Tepat di sampingnya, tumbuh satu bunga yaitu bunga kamboja, Niko melihat bunga itu dan langsung mencabutnya lalu memberikan kepada bayangannya sendiri dan melamar bayangan yang dia anggap adalah Nensi.
Malam itu bulan menjadi saksi akan Niko yang sekarang. Di saat Niko sedang bermesraan dengan bayangannya sendiri, Niko teringat kejadian saat di rumah Nensi. Niko seketika lepas kendali, ia mengamuk dan seketika kedua bola matanya dicucuk menggunakan sumpit yang dipegangnya hingga berdarah.
Kini Niko buta, ia tidak bisa melihat apa pun termasuk pujaan hatinya yang telah meninggalkannya dan menikah bersama lelaki lain. Mungkin ini jalan terbaik untuk Niko, dengan kedua mata buta Niko menjadi tenang tanpa melihat Nensi bahagia bersama lelaki lain dan kedua anaknya.

Debu Terbenam Peluh


Cerpen Sari Rahmadani Hsb (Waspada, 15 Oktober 2017)
Debu Terbenam Peluh ilustrasi Denny Adil - Waspada
Debu Terbenam Peluh ilustrasi Denny Adil/Waspada
KITA masih sama seperti dahulu, mengeja setiap waktu tanpa tahu bahwa lelah sudah sampai di batas ketidakmampuan. Kita masih sama seperti dahulu, menikmati aroma senja sampai burung-burung berlari keperaduan dan kita pun pulang. Kita masih sama, berharap tentang harapan pupus hingga realita adalah omong kosong.
***
Ini adalah tentang harapan-harapan yang kubiarkan mengambang, mengalir bersama riak pantai dan menghilang di antara pasir-pasir putih. Ini adalah tentang cerita-cerita yang kurangkai menjadi indah bak sekuntum kembang yang baru mekar.
Aroma bau senja masih membingkai kenangan empat tahun silam. Cincin yang masih melingkari jari manisku hingga kini. Pernikahan yang dilaksanakan dengan meriah dan penuh suka cita bersama dia, lelaki yang hingga kini mendampingi pahit manisnya kehidupan. Pernikahan yang dilandasi perjodohan antara dua keluarga yang merasa hangat. Pernikahan yang tanpa dilandasi demokrasi antara kedua mempelai tetap saja terjadi demi arti dicap anak yang berbakti. Hanya sebulan, persiapan pernikahan sampai pada akhirnya gadis belia nan ayu naik pelaminan.
“Bun, apa boleh menikah tanpa saling mencinta?” Tanyaku pada Bunda, perempuan hebat yang telah memperjuangkanku sampai saat ini, di umurku yang ke-21.
“Berapa kali lagi pertanyaan itu kau ucapkan Humairoh?” Jawab Bunda kesal. Memang, pertanyaan itu sudah berulang kali kutanyakan pada Ayah Bunda. Bahkan sampai detik ini, detik dimana esok adalah hari pernikahanku. Hari dimana aku tak lagi menjadi tanggung jawab Ayah.
“Kenapa Bunda tega memutuskan hubunganku dengan Andre yang sudah terjalin selama tujuh tahun, kemudian Bunda dengan mudahnya menikahkanku dengan Hafizh, si tua bangka yang baru Bunda kenal!” Aku semakin terisak. Hatiku patah. Bunda yang mematahkannya.
Aku teramat mencintai Andre, begitupun sebaliknya. Rencana pernikahan telah kami susun, tinggal menunggu aku menyelesaikan kuliahku setahun lagi. Awalnya Bunda setuju dengan semua rencana-rencana dan harapan yang kami bangun. Tapi semenjak Bu Ratna mengenalkan anaknya ke Bunda, semua harapan itu dengan mudahnya hancur berkeping.
Aku teramat menyayangi Bunda, itulah sebabnya semarah apapun aku, aku tetap menuruti kemauan Bunda. Bahkan meski harus mempertaruhkan perasaan. Bunda berlalu tanpa sepatah kata yang terucap dari bibirnya. Meninggalkanku berteman sepi.
Tibalah hari pernikahanku. Semua orang bersuka cita kecuali aku. Gaun pengantin telah terbalut rapi di tubuhku, lengkap dengan pernak-pernik dan perhiasan. Sekali lagi Bunda mengingatkan agar aku tidak membuat kacau acara, atau yang paling mudah agar aku jangan menangis. Bunda juga melarangku mengundang Andre, mantan kekasih yang sampai detik ini namanya masih memenuhi ruang hati.
Hafizh dengan lantang  mengucap ijab kabul. Saksi berteriak sah. Dan pada detik itu aku telah sah menjadi istrinya. Pada detik itu pula kulihat raut wajah bahagia Ayah, Bunda dan saudara-saudaraku. Wajah-wajah orang terkasih yang dengan tega mematahkan hatiku, menghentikan sebagian nafasku.
“Sayang, mulai hari ini, seluruh tanggung jawab Ayah serahkan pada Hafizh. Dialah yang akan menjadi pendampingmu. Dialah yang berhak marah ketika kamu masih suka pulang malam. Dialah yang akan menegurmu ketika lalai dari lima waktu. Dia pulalah yang akan menjewer telingamu ini kalo masih suka bohong haha. Anak gadis Ayah udah jadi milik orang. Patuhilah dia, Nak, surga seorang istri ada di bawah telapak kaki suaminya.” Ayah meneteskan air mata haru sambil memelukku erat. Begitupula Bunda, nasihatnya sama dengan Ayah, agar aku menjadi istri yang patuh pada suami. Bagaimana mungkin patuh sementara hatiku masih milik yang lain?
Entah apa yang Bunda pikirkan tentang Hafizh, lelaki biasa yang sudah berdampingan denganku selama setahun belakangan. Tak ada keistimewaan yang kudapatkan. Wajah dan fisik Hafizh sangat jauh dari kata ‘lelaki sempurna’. Pekerjaannya juga hanya sebagai guru honorer, kalau sore Hafizh mengajar mengaji di masjid. Entah apa yang Bunda pikirkan, bahkan gajiku lebih besar dari Hafizh. Usiaku pun terpaut jauh dengannya, berbeda sepuluh tahun. Kenapa Bunda bersikeras menikahiku dengan tua bangka ini? Aku tidak bahagia Bunda.. Seringkali aku terisak di sepertiga malam, memohon pada Ilahi agar memisahkanku dengannya. Memohon pada malam agar segera mengusir sepi. Memohon pada angin agar segera membawa Andre lebih dekat denganku.
Tanpa sepengetahuan Hafizh, aku sering jalan berdua dengan Andre. Mengulang kembali kasih yang sempat terputus. Berjalan-jalan di bibir pantai, menghabiskan waktu sampai senja menenggelamkan diri. Atau bahkan sekedar bertemu, meneguk secangkir kopi di sudut cafe langgananku.
Memasuki tahun kedua pernikahanku dengan Hafizh. Perasaan bahagia justru semakin jelas kurasakan dengan Andre. Hingga kejadian itu menimpaku. Aku hamil. Justru ini adalah kehamilan yang membawa petaka padaku. Aku mengandung janinnya Andre.
“Apa? Kau gila Humairoh! Kenapa kau meminta pertanggungjawaban padaku sementara suamimu adalah Hafizh?” Andre membentakku.
“Aku tak pernah tidur seranjang dengan Hafizh kau tau! Hafizh tak pernah menyentuhku. Bagaimana mungkin aku mengandung anaknya. Kau yang gila!” Kemarahanku memuncak. Terlebih Andre tidak mengakui dan tidak ingin bertanggung jawab atas semua kekhilafan yang kami perbuat.
Dua tahun usia pernikahanku dengan Hafizh, selama dua tahun itu pula kebohongan-kebohongan membanjiri lisan dan sikapku sebagai istri. Aku tak pernah menjalankan kewajibanku, aku selalu mengacuhkan keinginannya. Sampai pernah suatu ketika aku tak pulang ke rumah selama dua hari, tak seorang pun keluarga yang tau keberadaanku, termasuk Bunda.
“Sekarang, katakan apa yang kau inginkan. Semuanya akan kuturuti,” pinta Hafizh di sela-sela tangisku. Biasanya, Hafizh tak pernah mencampuri saat aku menangis di sepertiga malam seperti ini. Kali ini, untuk pertama kalinya, selain melakukan sholat malam, ia ikut nimbrung dalam masalahku.
Aku diam
“Humairoh, istriku. Kalaupun kau ingin kita bercerai, insyaa Allah mulai detik ini aku ridho. Sebab, tak akan ada seorang suami yang ikhlas jikalau istrinya telah mengandung janin orang lain, padahal ia belum menyentuh sedikitpun, meski bagian terkecil dari tubuh istrinya,” Hafizh mengucapkan kalimatnya dengan terbata, air mata memenuhi pelupuknya.
Ia melanjutkan kalimatnya, “Maaf, kalau selama ini aku sebagai seorang suami tak pernah membuatmu bahagia. Maaf, kalau selama ini gajiku tak mencukupi untuk membeli semua yang kau inginkan. Aku minta maaf Humairoh, kalau selama ini aku belum bisa menjadi suami dan menantu yang dibanggakan Ayah Bunda,” Hafizh semakin terisak. Hatinya hancur. Dihancurkan oleh perempuan yang tak pernah mencintainya.
Aku semakin hancur, Hafizh mengetahui semuanya. Sungai-sungai yang mengalir dari mataku mengering. Andre menghilang tanpa meninggalkan secarik jejak yang bisa kubaca. Hafizh bersedia mendampingiku sampai proses persalinan. Sebulan setelah persalinan, di hadapan seluruh keluarga, Hafizh menceraikanku. Bunda menangis sejadi-jadinya. Tapi apa yang bisa kuperbuat, semuanya telah terjadi. Tiga tahun pernikahan yang kusia-siakan. Hafizh memilih sendiri. Begitu pula denganku, memilih membenamkan perasaan bersalah dan memendam cinta yang semakin menjadi-jadi untuknya.
Putra yang kulahirkan semakin tumbuh besar. Shafwan Hafizh, nama yang diberikan Hafizh untuknya. Memasuki tahun keempat pernikahan kami yang seharusnya. Hafizh dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Separuh jiwaku terkubur bersama jasadnya, separuh lagi kubiarkan tumbuh bersama Shafwan Hafizh, putraku.

Hanya Ingin Dia


Cerpen Rabitah Tasya Amaliah Lubis (Waspada, 15 Oktober 2017)
Hanya Ingin Dia ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Hanya Ingin Dia ilustrasi Denny Adil/Waspada
JAM dinding sudah menaikkan matahari ke puncaknya. Orang-orang sudah ramai di luar sana, menunggu acara dimulai. Aku masih di sini, duduk di atas kasur sembari menatap bingkai foto.
Seseorang mengetuk pintu, memanggil namaku berulang kali. Itu ayah, ia sudah kesekian kalinya ia memanggilku untuk keluar dari kamar. Aku tidak ingin, sungguh tidak ingin.
“Shabrina, ayo keluar. Sebentar lagi acaranya akan dimulai.”
Ayah terus mengatakan seperti itu sambil mengetuk pintu dan memutar knopnya. Percuma, aku mengunci pintunya. Dan ingat, aku tetap tidak ingin keluar meski diiming-imingi uang atau apa pun itu.
Hari ini ayah menikah. Benar, ia akan menikah lagi dengan wanita satu kantornya. Aku sungguh tidak terima dengan semua ini.
Awalnya, ketika ayah membawa wanita berhijab itu ke rumah, aku tidak curiga. Aku kira hanyalah teman kerja biasa yang menyelesaikan pekerjaan bersama ayah. Namun, semakin lama kecurigaanku muncul.
Wanita itu lebih sering datang ke rumah, bahkan mengajakku dan ayah makan malam bersama. Di akhir pekan pun tidak lupa ayah mengajaknya jalan-jalan. Aku sempat cemburu dengan kedekatan mereka.
Hingga suatu malam, ayah mengajakku berbincang di ruang tamu. Di sana sudah ada wanita itu. Ia tersenyum ke arahku. Aku tidak membalasnya, jahat memang. Aku sungguh tidak suka dengannya, kehadirannya merubah segalanya.
Dengan adanya dia, perhatian ayah berkurang. Sampai ayah berkata bahwa ayah akan menikah dengannya. Aku begitu terpukul. Tidak cinta lagi kah ayah dengan bunda?
Air mataku menetes membasahi kaca bingkai foto bunda. Ketukan pintu tidak berhenti. Dengan terpaksa aku turun dari kasur. Sempat berpikir sejenak, kasihan ayah sedari tadi menungguku dan membujuk untuk keluar.
Saat knop pintu kuputar, air mataku semakin deras. Aku tidak kuat jika membuka pintu nanti melihat ayah tengah mengenakan pakaian pengantin. Menyaksikannya mengucapkan ijab qabul untuk wanita lain.
Pintu terbuka. Ayah menatapku sambil tersenyum. Namun sedetik kemudian senyumnya memudar.
Aku menutup pintu kembali. Tapi ayah langsung menahannya. Karena tidak kuasa lagi, aku kembali ke kasur. Berbaring membelakanginya sambil memeluk foto ibu.
Kurasakan ayah duduk di ujung kasur. Ayah tidak keluar, kenapa ia tidak pergi saja keluar sana dan menikahi wanita itu? Semuanya akan mudah tanpa diriku.
Tangisku pecah, ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik ia meninggalkanku sendiri di sini. Tidak usah repot-repot menungguku untuk keluar dan merestui semuanya.
“Aku rindu bunda.”
Tanpa sadar, ayah sudah ada di lantai. Terduduk menghadapku yang terisak. Ia menghapus air mataku yang terurai di pipi. Tangannya yang berat mengelus rambutku.
“Aku cuma mau bunda, yah. Aku enggak mau yang lain,” ucapku dengan memejamkan mata.
Ayah tidak berkata-kata. Mulutnya membisu tapi raut wajahnya masih sama.
Tidak ada yang dapat menggantikan bunda. Siapa pun itu. Bunda hanya satu, dan tidak tergantikan. Tidak ada yang boleh mengambil posisinya. Baik itu di keluargaku maupun di hatiku. Bunda tetap bunda, bukan yang lain.
Lupus yang menggrogoti bunda membawanya ke Yang Esa 3 tahun lalu. Semenjak itu, semua berubah. Tidak ada lagi yang membangunkanku untuk sholat subuh. Tidak ada lagi yang memasakkan makanan kesukaanku. Dan tidak ada lagi yang mengecup keningku sesusah sholat berjamaah.
Aku menjadi gadis yang rapuh. Satu tiang yang menopang hidupku sudah rubuh. Aku menjadi gadis yang lemah. Kasih sayang ayah saja tidak cukup, aku rindu bunda.
Begitupun ayah, ia menjadi berbeda pula semenjak bunda tiada. Ia menjadi lebih pendiam, bidadari dunianya tidak ada lagi.
Tiga tahun merupakan waktu yang sulit kulewati tanpa bunda. Dan semuanya bertambah sulit ketika ayah bilang ia akan menikah lagi. Wanita yang sedang menunggu dinikahkan di luar sana membuat cinta ayah pada bunda perlahan menghilang.
Ayah bahkan tidak pernah mengajakku berziarah ke makam bunda. Hal itu semakin meyakinkanku bahwa ayah tidak lagi mencintai bunda. Rasa benciku semakin membesar dengan kenyataan yang aku tahu itu.
Bunda pasti sedih, sesaat itukah ayah mencintainya? Aku tidak menyangka. Aku yakin bunda sangat kecewa dengan ayah, apalagi aku yang merasakan langsung.
Kulihat ayah tertunduk. Aku harap dia menyesal dan membatalkan pernikahan. Mencintai bunda kembali dan menjalankan kehidupan bersama anaknya.
“Ayah enggak mau kamu sedih lagi, Shabrina.”
Tangisku terhenti. Ayah mendongkak menatapku. Ia menangis.
“Ayah mau kamu hidup tanpa berlarut dalam kesedihan. Kematian bunda bukan untuk ditangisi, tapi membuat kita untuk terus mendoakannya. Selama ini ayah kesepian tanpa bunda, ayah enggak bisa mengurus kamu layaknya bunda, Shabrina.”
Mendengar perkataan ayah, aku terduduk. Aku mencermati apa saja yang ayah katakan. Mengenai bunda, kesepiannya, dan mengurusku.
“Dulu, bunda pernah bilang. Kalau bunda udah enggak ada, ayah boleh menikah lagi. Tapi hal itu ayah abaikan,” ayah mengusap air matanya.
“Tapi, tiba-tiba kalimat itu muncul lagi dalam mimpi ayah. Dan benar, ayah tidak sanggup menjalani ini semua sendiri. Ayah butuh orang lain, yang bukan hanya menyayangi ayah, tapi menyayangi gadis ayah juga. Ada kalanya kita harus memulai yang baru, walaupun itu menyakitkan.”
Ayah bangkit dari duduknya. Tidak ada senyum sedikitpun di bibirnya. Matanya menatapku dengan lekat, seakan-akan meminta perestuan. Ayah menjauh, keluar kamar.
“Asal kamu tau,” kata ayah sebelum menutup pintu. “Ayah masih sangat mencintai bunda sampai kapan pun.”
Suara pintu tertutup mengisi telingaku.
Aku tersadar. Ayah melakukan semua ini bukan untuknya. Tapi untukku. Ayah tidak berusaha menggantikan bunda dalam kehidupan kami. Tapi ia berusaha untuk memperbaiki semuanya. Benar kata ayah, tidak boleh terus bersedih.
Dengan segera aku memperbaiki penampilanku dan keluar kamar. Ayah dan wanita itu tersenyum kepadaku, aku membalasnya. Aku ikhlas jika ada bunda baru dalam hidupku. Namun, yang terpenting aku tetap mencintai bunda.

Berubah 2

Banyak Yang Mau Ini Tetapi Tidak Melakukan Ini

 

Rahasia berubah adalah mengubah diri sendiri. Semakin baik diri anda, akan semakin banyak perubahan yang akan terjadi, perubahan ke arah yang baik.

Dua KESALAHAN yang akan menghambat Anda berubah:

1. berharap apa yang diluar dirinya berubah. Dia berharap orang lain berubah, berharap kondisi berubah, berharap kondisi berubah.

2. ingin ada cara ajaib agar langsung berubah, biasanya suka bertanya, bagaimana caranya ....

Kesalahan pertama: Anda akan sulit bahkan bisa mustahil mengubah yang diluar Anda. Yang paling mudah adalah Anda mengubah diri Anda sendiri. Saat diri Anda berubah, maka kondisi Anda akan berubah.

Dan cara pertama untuk mengubah diri Anda adalah dengan mengubah pola pikir Anda.

Kesalahan kedua: sebenarnya tidak masalah jika Anda bertanya bagaimana cara lepas dari masalah saat ini. Namun yang lebih penting adalah bagaimana mengubah diri sendiri agar sanggup mengatasi masalah Anda.

Karena masalah akan terus datang. Satu-satunya cara menghadapinya adalah mengubah diri Anda menjadi orang yang optimis, pantang menyerah, berpikir positif, percaya diri, dan seterusnya.

Jika Anda merasa sering kesulitan menghadapi masalah (kecil), itu artinya kualitas diri Anda perlu ditingkatkan.

Mulailah dengan meningkatkan kualitas pikiran Anda. Setelah Anda mengubah pikiran Anda seperti dijelaskan , diri anda akan lebih baik, dan memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari masalah dan menjadi orang yang lebih baik.
 

Gerhana

Cerpen Iin Farliani (Padang Ekspres, 15 Oktober 2017)
Gerhana ilustrasi Padang Ekspres.jpg
Gerhana ilustrasi Padang Ekspres
Gerhana bulan yang akan muncul malam nanti adalah gerhana bulan yang paling langka. Menurut berita di televisi dan surat kabar, peristiwa gerhana bulan kali ini terjadi seratus empat puluh tahun sekali. Gerhana bulan yang akan muncul berwarna merah darah. Sayang jika anda tak menyaksikannya, kata seseorang yang sedang diwawancara.
Istri saya melingkarkan tangannya di pinggang saya. Tangannya menunjuk ke atas dan kepalanya mendongak. Ia berputar-putar sambil terus melihat langit dan saya ikut berputar-putar karena tangannya yang masih merangkul pinggang saya. Matanya berkedip-kedip. Wajahnya nampak kecewa sekali.
“Kamu bohong,” katanya.
“Televisi yang bohong, sayang,” jawab saya sambil menawarinya es krim vanila.
Malam itu sangat dingin. Hujan yang turun tadi sore masih meninggalkan bau basah. Aroma rerumputan yang tergilas sepatu orang-orang yang berkumpul di lapangan ini menambah kesan suasana dingin. Malam ini cuacanya tetap buruk. Tidak ada bintang yang menyembul di langit. Tidak juga ada gerhana. Saya mengatakan pada istri saya sesuai apa yang telah diberitakan di televisi. Gerhana bulan merah darah tidak akan terlihat jika cuaca tidak mendukung. Tapi, mukanya masih nampak sebal. Ia menjilat es krim yang sudah saya tawari. Mulutnya belepotan. Ia semakin nampak kedinginan. Tapi, ia suka es krim dan saya terus merangkulnya.
“Kau bilang bisa disaksikan di seluruh wilayah.”
“Ya. Itu kalau cuaca mendukung, sayang.” Saya mengulang jawaban ini sebanyak tiga kali, menekankan pada kata “kalau cuaca mendukung” dan menghilangkan kata “sayang”. Saya ikut sebal karena ia terus saja merajuk.
Dari tempat kami berdiri, orang-orang yang tadi berkerumun di tengah lapangan untuk sama-sama mendongakkan kepala ke langit, mulai menepi ke tempat pedagang kaki lima. Ada gerobak bakso, mie ayam, ketoprak, siomay, nasi goreng dan tentu es krim vanila. Mereka mungkin sudah bosan mencari-cari gerhana bulan dengan mata sendiri dan bukan teleskop. Mereka lelah dan mulai lapar.
Tak ada komando dari siapa pun yang mengumumkan untuk bersama-sama berkumpul di lapangan kota ini. Tiba-tiba saja banyak orang yang datang mengenakan jaket dan sarung tangan lalu membentuk koloni sendiri untuk secara serempak melihat ke langit. Bulan merah darah tak muncul juga.
“Pulang, yuk,” kata saya sambil berbisik. Istri saya tidak menyerah. Ia memang tangguh untuk tidak menghiraukan rasa pegal di lehernya karena sedari tadi mendongak ke langit.
“Kita harus melihat bulan merah darah itu. Kamu mau melewatkan kesempatan langka ini?” tanyanya dengan mata tak berdosa yang membuat saya gemas.
“Sepertinya tidak akan muncul, sayang.”
“Kamu mau menunggu seratus empat puluh tahun lagi?”
“Siapa bilang?”
“Tadi kamu katakan gerhana bulan merah darah hanya muncul seratus empat puluh tahun sekali.”
“Televisi. Itu kata televisi.”
Istri saya menjelaskan panjang lebar tentang rasa keingintahuannya yang aneh. Ia mengingatkan kepada saya, tolong bayangkan, katanya dengan sungguh-sungguh. Jika dihitung dari hari ini, apa yang akan terjadi seratus empat puluh tahun ke depan? Gerhana itu hanya muncul seratus empat puluh tahun sekali sementara kita tidak mungkin mencapai umur menahun sebanyak itu. Lalu apa yang akan terjadi pada kita? Ia bertanya sangat serius. Saya menjawab pertanyaannya sambil membersihkan mulutnya yang belepotan.
“Kita sudah jadi fosil yang akan dimanfaatkan sebagai minyak bumi oleh anak cucu kita.”
Istri saya tertawa. Ia mengatakan saya berlebihan. Saya itu orang yang suka berlebihan, begitu pendapatnya dahulu. Kalau anak-anak muda sekarang menyebutnya lebay. Tapi, saya tidak mengatakan pembelaan diri seperti ini, “Saya tidak lebay” ketika dulu masih pacaran, istri saya mengatakan saya hanya membual dan tidak bisa dipercaya. Ia menganggap apa yang saya janjikan sebagai ganti hadiah ulang tahunnya terlalu kikir dan mengada-ada. Saya tidak kikir, hanya tidak memiliki uang untuk membeli kado setiap tiba tanggal ulang tahunnya.
Saya selalu menghindar jika pembicaraan sudah mengarah ke segala tetek bengek mengenai perayaan ulang tahun. Gara-gara ini kami ribut, lalu memutuskan hubungan selama beberapa hari. Setiap kami putus, saya merasa sedih sekaligus lega. Saya sedih karena istri saya tetap merayakan ulang tahun bersama teman-temannya. Saya lega karena tidak perlu merasa risau dengan perihal kado ulang tahun. Biasanya, saya duluan yang mencari perkara kecil sebagai penyulut menyalakan pertengkaran dengannya. Ketika ia merasa curiga mengapa hubungan kami selalu putus seminggu menjelang ulang tahunnya, ia langsung menarik kesimpulan.
Ini persoalan harga diri, saya membela. Bayangkan, seorang mahasiswa perantauan seperti saya tidak bisa membelikan kado untuk pacarnya yang sedang berulang tahun. Sementara, sang pacar terbiasa menjalankan ritual mendapatkan kado ulang tahun tepat jam dua belas malam. Teman-temannya mengetuk pintu kamarnya dengan membawa kue ulang tahun. Mereka juga membawa kado yang ukurannya besar-besar. Setelah itu, mereka menggiring istri saya ke kolam renang di belakang rumah lalu menceburkannya ke kolam. Saya marah melihat mereka menceburkan istri saya di tengah malam yang dingin itu. Mereka ini sebetulnya yang lebih pantas disebut lebay. Tapi, saat itu istri saya tertawa riang. Ia kelihatan bahagia sekali. Teman-temannya membalas kemarahan saya dengan tatapan yang seolah mengatakan, “Kamu ini ketinggalan zaman.”
Saya buktikan kepada istri saya (waktu itu masih menjadi pacar) bahwa saya—meskipun orang dusun—tidak ketinggalan zaman dalam soal ilmu pengetahuan. Saya mengajaknya ke museum iptek untuk menyaksikan gerhana bulan menggunakan teleskop yang disediakan di sana. Saat itu bertepatan pula dengan ulang tahunnya. Ia menangis ketika tiba gilirannya meneropong.
“Saya ingat Ibu,” katanya. “Dulu Ibu suka menceritakan dongeng. Dia pernah bercerita tentang raksasa Kala Rahu yang mengejar Batara Candra yang dikenal sebagai Dewa Bulan untuk dilahap. Raksasa Kala Rahu ingin membalas dendamnya karena gagal minum air suci Tirta Amerta untuk mencapai keabadian. Pada saat itulah terjadi gerhana bulan. Saya sangat terkesan dengan cerita itu karena Ibu suka menceritakannya berulang-ulang disaat ia kehabisan bahan untuk mendongeng. Saya merindukan kebersamaan kami apabila tiba waktu Ibu mendongeng.”
Saya menyeka air matanya. Saya katakan padanya mungkin saat ini di langit, arwah Ibunya ikut membantu menyelamatkan Batara Candra atau Dewa Bulan dari kejaran raksasa Kala Rahu yang ingin melahapnya. Ia tidak percaya dan langsung menepuk pundak saya sambil mengatakan saya ini berlebihan. Entah mengapa sejak saat itu, istri saya menganggap setiap peristiwa gerhana bulan yang terjadi adalah kado ulang tahun dari saya untuknya. Saya bermaksud menjelaskan kepadanya bahwa dulu saya hanya sekadar bercanda tentang perihal kado gerhana bulan itu. Tapi, akhirnya saya tidak berkomentar apa-apa. Saya tahu istri saya kesepian sejak ikut bersama saya tinggal jauh dari teman-temannya. Saya mencoba memutus menghiburnya bahwa tak ada pertemanan yang abadi. Setiap orang akan kembali pada kesibukannya masing-masing. Kau bisa merayakan ulang tahun kapan pun kau mau, kata saya. Tidak harus dengan keriuhan masa muda yang pernah dicecapinya. Tapi, istri saya kurang mendengar atau ia memang masih membiarkan hatinya berada di masa lalu. Suatu hari, ia harus menerima perubahan ini.
“Ini kado termahal karena hanya terjadi seratus empat puluh tahun sekali. Tapi, karena bulannya tak muncul, kau gagal memberikan kado termahal ini. Bahkan, kamu tidak memberitahu gerhana bulan saat ini hadiah untuk ulang tahunku yang keberapa. Tahun-tahun sebelumnya ketika saya ulang tahun, tidak terjadi gerhana bulan. Kau jangan mengira saya kecewa karena tidak bisa mendapatkan kado gerhana bulan merah darah. Memang, saya kecewa tidak bisa menyaksikannya. Tapi, saya bahagia karena dengan ini kamu mengajarkan kepada saya ada sesuatu yang tidak bisa kita jangkau dengan kedua tangan kita. Tangan kita hanya dua, seperti katamu yang mengingatkan apabila saya menderita karena kehilangan. Kamu mengajarkan saya untuk perlahan-lahan mengikhlaskan kepergian Ibu yang dulu selalu memanjakan saya hingga saya merasa lebih baik mati tanpanya.”
Istri saya tertidur dengan kepalanya yang tersandar di bahu saya. Saat itu, saya menyaksikan orang-orang kembali berkumpul di tengah lapangan sambil melihat ke langit. Salah satu suara mengatakan gerhana bulan sedang dalam proses pembukaan ke kondisi bulan normal. Sayang, kita tidak bisa menyaksikannya. Sayang sekali.

Iin Farliani lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram dan santri di Komunitas Akarpohon. Menulis cerpen dan puisi. Karyanya antara lain terbit di surat kabar Padang Ekspres, Suara Merdeka, basabasi.co, Riau Pos, Harian Rakyat Sultra, Banjarmasin Post, Sumut Pos, Serambi Indonesia, Indo Pos, Lombok Post, Suara NTB, Jurnal Santarang, Metro Riau. Cerpennya terangkum dalam antologi Melawan Kucing-Kucing (2015).