Daftar Blog Saya

Minggu, 21 Januari 2018

Lokot Tak Kembali

Cerpen Eva Riyanti Lubis (Analisa, 14 Januari 2018)
Lokot Tak Kembali ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Lokot Tak Kembali ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
KETIKA bersamamu, waktu terkikis begitu cepat. Apa benar kebersamaan sering melenakan? Ya, mungkin saja. Yang harus kamu tahu, seberapa besar aku percaya padamu, adalah seberapa besar kutitipkan cinta pada hatimu. Maka, jangan pernah kecewakan aku. Jangan sia-siakan hati yang telah kuberi.
Lokot namanya. Lelaki yang berhasil menyentuh hatiku, dari sekian banyak lelaki yang mencoba mendapatkan cinta dariku. Benar kata sebagian orang. Cinta itu buta. Ya, aku telah dibutakan oleh cinta. Karena dia, aku rela meninggalkan keluargaku—bapak, emak beserta saudaraku tak pernah menyetujui hubungan kami. Kata mereka, Lokot tidak berpendidikan, tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak terlahir dari keluarga terpandang. Aku seharusnya bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik darinya.
Aku benarkan apa yang dikatakan orang tentangnya. Sayangnya, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada lelaki itu. Aku tak perduli apa pendapat orang tentangnya, juga tentangku.
Mengapa aku bisa jatuh cinta padanya? Hmmm. Tentu setiap orang memiliki jawaban berbeda. Bagiku, Lokot mampu menghangatkan pagi, sekaligus menyalakan hari. Bersamanya, aku tak pernah takut pada apapun. Di sampingnya, semua terasa mudah dan tak ada masalah. Lantas, mengapa aku harus ragu?
Kami memutuskan untuk menyatukan cinta. Berbekal tabungan masing-masing seadanya. Dari Medan, kami menuju salah satu kota kecil yang masih berada di Sumatera Utara, Kota Padangsidimpuan.
Aku pikir dengan cinta, semua akan berjalan dengan sempurna. Ternyata pemikiranku salah. Setelah lima tahun pernikahan kami, Lokot mulai menunjukkan perubahan sikap dan perilaku. Malas bekerja, sering keluyuran tak jelas dan pulang ke rumah selalu tengah malam. Kamu tahu apa yang paling menyakitkan?
Tak ada lagi sorot cinta dari matanya untukku. Aku dan dia tak lagi menjadi satu.
Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan daripada sebuah kehilangan? Menyangka bahwa hal itu tak akan pernah terjadi, namun akhirnya hal itu tiba-tiba saja terjadi padamu. Tanpa pertanda. Tanpa peringatan. Tanpa aba-aba. Tanpa petunjuk bahwa sesaat lagi kamu akan ditinggalkan oleh orang yang kamu cintai. Ironis, bukan?
Aku sungguh mencintainya. Sangat mencintainya. Aku ingin dia berbahagia denganku. Hanya denganku. Aku tak ingin cintanya meninggalkanku. Aku ingin mendapatkan cinta itu kembali. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?
Sekeras apapun aku berusaha, ternyata cinta tak lagi bisa disatukan. Semakin aku ingin mempertahankan cinta, semakin dia menyakiti seluruh tubuh dan relung hatiku.
Aku takut. Kenangan-kenangan itu terus menghantuiku. Aku bersumpah, jika ada tombol untuk mematikan otak secara mudah, tentu hidupku tidak akan semenyedihkan ini.
***
Ketika memikirkan suamiku, aku selalu teringat pada jantung dan otaknya. Kubayangkan membelah dadanya yang bidang. Mengambil jantungnya dan bertanya mengapa dia tak lagi berdetak untukku.
Kubayangkan memecah kepalanya dengan penuh kelembutan, lalu kuambil otaknya. Mencari jawaban atas semua pertanyaan yang membelenggu.
“Apa yang tengah kamu pikirkan?”
“Bagaimana perasaanmu saat ini?”
“Mengapa kamu melakukan semua ini padaku?”
“Sebenarnya apa yang kamu cari dari pernikahan kita?”
***
Sepuluh hari sejak Lokot pergi dari hadapanku. Aku gamang, takut, cemas dan penuh kekhawatiran dalam menjalani hidup. Aku tak memiliki teman untuk berbagi. Aku tak memiliki anak untuk mencurahkan isi hati. Aku tak memiliki uang untuk bisa meringankan sedikit sedih di hati. Aku… tak memiliki apa-apa.
Lokot tidak hanya meninggalkan aku. Dia juga meninggalkan tanggung jawab dan hutang yang jumlahnya bahkan tidak pernah terpikirkan olehku.
Kamu tahu apa yang membuatku semakin sakit? Dia meninggalkan perempuan hamil yang terus-menerus mendatangiku dan bertanya di mana keberadaanmu.
Gila!
Kamu benar-benar lelaki gila. Atau aku yang lebih gila karena tidak menyadari tingkah busukmu selama ini?
Lokot… Lokot…
Sungguh luar biasa permainanmu. Seharusnya kamu bisa mendapat penghargaan aktor terbaik di Indonesia. Bagaimana menurutmu? Kamu menyukai itu, kan?
Aku ingat percakapan kita kala itu. Percakapan yang menimbulkan pertengkaran. Untuk pertama kalinya kita bertengkar sejak bertemu dan menikah. Tepat pada hari jadi empat tahun pernikahan kita.
“Bang, sepertinya ini waktu yang tepat.”
“Maksudmu?”
“Waktu yang tepat untuk kita memiliki anak.”
“Anak tidak akan membuat pernikahan menjadi lebih baik, Sri!”
“Sampai kapan aku harus menanti, Bang? Dari dulu kamu selalu bilang nanti… nanti… nanti. Nanti sampai kapan, bang? Kalau dari awal abang tidak ingin memiliki anak, jangan beri aku janji! Kamu benar-benar lelaki pengecut!”
Kamu tahu apa yang dia lakukan? Dia mendorongku. Mendorongku, hingga terjatuh. Untuk pertama kalinya dia berhasil menyakitiku.
Untuk pertama kalinya dia berhasil membuatku takut padanya. Hal seperti itu terus berlanjut. Terkadang hanya masalah sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Lokot benar-benar berhasil menyiksa hati dan tubuhku. Dia meminta maaf, kembali menghujani cinta, lalu menyakiti aku. Terus terjadi, hingga hari jadi pernikahan kami yang kelima.
Setelah itu, dia semakin gila. Semakin terobsesi menyakiti. Aku berusaha memahaminya. Berusaha memaafkannya. Ah! Ternyata, lagi-lagi aku lebih gila darinya.
***
Hari demi hari kulalui dengan berpikir. Mencari jawaban atas semua hal yang tengah kulalui. Sebenarnya aku bisa kembali pada bapak dan emak. Menangis dan mengadu akan nasib hidupku yang malang. Meminta maaf atas semua sakit hati yang kutorehkan pada mereka. Bersimpuh dan memohon ampun. Aku tahu, sebesar apapun kesalahanku pada mereka, mereka pasti menerimaku kembali.
Inikah jalan yang kuingankan? Lari, menangis dan mengadu layaknya anak kecil? Tidak. Ini tidak bisa selesai begitu saja.
Lokot harus dihukum. Lokot harus merasakan semua sakit yang kurasa. Dia sudah merenggut martabatku, harga diriku, uangku dan juga harapanku. Dia jadikan aku istri yang dia inginkan. Dia jadikan aku boneka, hingga aku tak lagi mengenal diriku sendiri.
Aku mencari tahu keberadaannya. Sayangnya, aku tak menemukan jejak apapun.
Dia menghilang seperti ditelan bumi. Satu sisi, aku bahagia. Sebab dia tidak akan menyakitiku lagi. Satu sisi, aku sedih. Karena dia menghancurkan cinta yang kuberi. Selayaknya dia mendapat hukuman setimpal dariku. Aku benar-benar menginginkan kesempatan itu tiba.
Dua bulan Lokot meninggalkanku. Hidup terus berjalan, ada tidaknya dirinya. Meski kusadari hidup ini juga tidak lebih mudah tanpa dirinya.
“Sriiii… Sriiii… Sriii…” panggil seseorang dari balik pintu rumahku.
“Ohhh Kak Erni. Ada apa, kak?” tanyaku setelah membuka pintu. Kak Erni, tetanggaku.
“Kamu sudah lihat berita?”
“Tidak. Memangnya ada apa, Kak?”
“Suamimu, Sri. Lokot merampok dan membunuh. Polisi berhasil menangkapnya dan dia telah sah menjadi tersangka.”
Aku berdiri, kaku. Mungkinkah ini jawaban atas doa-doaku?
“Apa hukumuman yang dia dapatkan, Kak?”
“Engak tau. Aku bukan ahli hukum.”
Fantastis! Luar biasa!
Aku bisa merasakan air mata menetes di wajahku. Bukan… bukan… ini bukan tangisan kesedihan. Ini sebuah tangisan kemenangan. Lokot… Lokot… Kamu memang Lokot yang tak lokot. Selamat menikmati kehidupan baru.

Padangsidimpuan, November 2017

WOW! Banyak Orang Menangis Membaca Cerpen Ini


Cerpen Maulidan Rahman Siregar (Haluan, 14 Januari 2018)
WOW! Banyak Orang Menangis Membaca Cerpen Ini ilustrasi Haluan
WOW! Banyak Orang Menangis Membaca Cerpen Ini ilustrasi Haluan
Hesti akan menikah, dan lelaki itu memilih jadi atheis. Tapi, dia salat juga. Mengaji juga. Berdoa juga. Dia tidak tahu kenapa berdoa, tapi dia selalu berdoa. Doanya baik, Hesti dan siapa pun yang ada di dekatnya harus baik, selalu baik, dan tetap baik. Kadang kalau hujan, dia tidak mau berteduh, begitu yang dia lakukan sebagai bentuk mensyukuri nikmat Tuhan. Tuhan yang mana?
Hesti menikah pada hari baik, bulan baik, dan dengan lelaki yang baik, namanya Ridwan. Sebagai penjaga surga, pasti Hesti suka, pasti orangtuanya mau. Ilmu keagamaan Hesti akan makin mumpuni. Ini penting, sebab, agama sudah muncul di mana-mana. Di tiang listrik, di balik selimut, di kamar mandi, dan di tivi-tivi. Menikahi dan dinikahi Ridwan, adalah cara bernegosiasi dengan Tuhan. Tuhan yang mana?
Tuhan yang ketika kau lari, dia tidak sembunyi. Tuhan yang ketika kau mati, dia tetap ada. Tuhan yang…
“Abang datang, ya. Hesti sudah menyiapkan undangan.”
“Tapi Abang maunya Hesti. Inginnya Hesti. Cintanya Hesti.”
“Bilang sama Tuhan, Abang.”
“Tuhan yang mana?”
“Pokoknya Abang harus datang. Jangan bilang tidak. Hesti tidak mau pacaran kita yang 3 jam itu, termasuk ke dalam golongan pacaran yang sia-sia.”
“Bagaimana kalau, calon imammu, tidak paham ilmu seksologi.”
“Dokter Boy, sudah ada akun youtube-nya, Abang.”
Lelaki yang ingin menikah dengan Hesti banyak. Sebab, di ranah fiksi, Hesti juga banyak. Ada Hesti biduan. Hesti penyair. Hesti presenter. Hesti penyayang hewan. Hesti feminis. Hesti psikolog, dan Hesti apoteker. Agar cerpen ini keren, riset telah dilakukan untuk itu, selama 3 tahun, 9 bulan, 22 hari. Akan tetapi, dan sungguh disayangkan, Hesti yang banyak itu harus kita kesampingkan.
Mari kita menuju pada Hesti yang satu. Hesti yang ketika kau melihat matanya, yang tampak hanya cahaya. Hesti yang ketika kau ingin tahu apa yang ada di balik baju yang dipakainya, matamu mendadak buta. Hesti yang ketika kau ingin menggali kedalaman hatinya, kau harus menggali 7 lautan, 7 sungai, dan mencari 7 mata air di kaki gunung.
Ke mana kau akan lari? Kalau memang benar Tuhan tak ada. Ke mana kau akan sembunyi, kalau Tuhan sudah mati?
***
Lelaki itu sudah tidak lagi jadi atheis, dia mulai rajin ibadah, dan menabung ke tanah suci. Tanah impian. Memang sudah menjadi fakta umum pula, kalau kadang Tuhan tidak ada di tengah-tengah kita. Lalu, Tuhan datang lagi. Bisa lewat ilham, bisa lewat orang. Orang lewat tentu ada di mana-mana.
Lelaki itu sudah tidak mencintai Hesti sekaligus mencintai Hesti, tepat setelah Hesti menikah. Dan Hesti menikah pun sebetulnya tidak jadi masalah. Lelaki itu sudah melupakan Hesti yang satu, Hesti yang ketika melihat matanya, yang terlihat hanya cahaya itu, dan lelaki itu bertemu secara tidak sengaja dengan Hesti baru pada konser band indie yang sesungguhnya tidak tepat dijadikan tempat konser. Mereka bertemu di Gedung Olahraga.
Mengapa setiap perempuan yang ditemuinya selalu bernama Hesti, lelaki itu tidak tahu. Tapi, di situlah lelaki itu mulai merasa, Tuhan tidak tidur. Tuhan memang ada. Tuhan tidak tidur ketika hamba-Nya begadang.
Kadang, ketika tidak bisa begadang, lelaki itu salat malam. Dan di sana dia bertemu dengan Tuhan untuk pertama kalinya.
***
“Abang, masih ingat Hesti?”
“Maaf, ini siapa? Anda salah sambung.”
“Ridwan sedang tidak di rumah, Abang.”
“Setengah jam lagi aku datang.”
Pintu tidak dikunci. Tidak bisa tidak, lelaki itu masuk, dan mendapati Hesti dan meja makan yang sudah ramai dengan makanan. Lengkap. Dendeng, randang, ayam bakar, ikan bakar, kerupuk mama. Hesti menutup buku Sapardi yang dibacanya, dan agak sedikit sebal. Ada orang masuk, tapi tidak ada salam.
“Ridwan sedang di luar kota, Abang. Lihat perutku, Abang. Agak gembung. Mungkin masuk angin”
“Kau mengandung?”
“Badanku pegal semua. Sudah lama tidak diurut. Piring-piring belum kucuci semua. Tapi aku masih bisa masak. Aku tentu harus makan, kan? Kalau tidak, nanti meninggal.”
“Tenang, Hesti. Aku lama di asrama, dan pengalaman mengajariku menjadi pencuci piring profesional. Silakan masuk ke kamar. Tidurlah. Jangan sibuk kali sama puisi. Tidak baik.”
Ketika ingin menggosok pinggir kuali yang penuh arang, terdengar bunyi katak yang merdu dari handphone pintar lelaki itu. Yang menunggu di ujung suara adalah Hesti juga. Setelah 3 menit berselang, dan bunyi katak saling bersahutan, lelaki itu menjawab panggilan itu.
“Cepatlah pulang. Lekaslah. Abang sekarang di mana? Perutku dari tadi serasa ada yang menendang. Ngilu”
“Kau mengandung? Kita kan belum menikah.”
“Orang lain, Abang. Ada seseorang yang mampu mengisi apa yang tak sanggup kau isi. Kau sih terlalu takut dengan dosa. Padahal, Tuhan sangatlah baik. Nanti tinggal taubat.”
“Tuhanku masih Tuhanmu?”
Sama. Pintu tidak dikunci. Lelaki itu langsung menuju kamar, tempat di mana biasanya mereka bercakap-cakap, sambil mendengarkan lagu-lagu indie. Lelaki itu memahami, kalau setiap manusia pasti memiliki kesalahan, dan Hesti wajar mendapatkan itu. Terlebih ketika di dalam perut, ada yang sedang ditahannya. Ilmu pengetahuan mengajarkan, kalau kemanusiaan adalah sisi yang mulia.
Mungkin karena iseng, petugas keamanan setempat mendapati sepasang muda-mudi sedang di dalam kost mahasiswi. Ilmu komunikasi tidak berlaku lagi kali ini.
***
“Keluar kalian! Ke tengah jalan! Kalau tidak mau telanjang, akan kami bakar. Kalau tidak mau…”

Padang, 02 Januari 2018
MAULIDAN RAHMAN SIREGAR, lahir di Padang, 03 Februari 1991. Banyak membaca dan sesekali menulis. Cerpennya dimuat beberapa media seperti: Haluan, Padang Ekspres, dan Wartalambar.

Ngarot

Cerpen Kedung Darma Romansha (Koran Tempo, 20-21 Januari 2018)
Ngarot ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg
Ngarot ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
“Larangan, Larangan!” teriak kernet bus sambil bergelantungan di pintu—aku pikir ia lebih mirip monyet di kebon binatang. “Yang merasa Celeng [1], siap-siap!” Ia meludah ke jalan. “Nah, ini dia celengnya,” ujarnya kemudian ketika seorang penumpang berpindah tempat duduk di dekat sopir. “Kirik,” [2] umpatnya.
Larangan tak banyak berubah, masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Penjual warung makan yang berada di dekat jalan raya juga masih orang yang sama. Orang memanggilnya Yu Darkem. Kalung emasnya yang mencolok dan serentengan gelang di tangannya tak pernah lepas dari tubuhnya. Bibirnya selalu merah oleh gincu, dan setiap kali aku turun di Larangan kulihat senyumnya terkesan dimanis-maniskan. Abang-abang lambe. Dan setiap ada penumpang turun dia berkata: “Mang, mampir-mampir di warungku.”
Lalu sopir angkot—lebih tepatnya pickup yang disulap menjadi angkot dengan menggunakan terpal biru sebagai atapnya—yang sedang tidur di jok kemudinya, seolah-olah tidak membutuhkan penumpang. Sebab angkot ini satu-satunya yang bisa ditumpangi.
Aku masuk ke dalam angkot yang panas. Di dalam angkot hanya dua orang. Aku dan seorang ibu yang sedang meneteki bayinya. Kami hanya diam. Lengang. Inilah yang paling memuakkan. Kami harus menunggu penumpang lain sampai mendapat target. Sementara kami terbengong-bengong mirip kambing yang hendak dijual. Sialnya sopir angkot masih tertidur pulas dengan suara dengkur yang keras sambil bertelanjang dada di jok kemudinya.
Setelah kira-kira satu jam menunggu, ada dua orang masuk ke dalam angkot. Dua-duanya laki-laki bertubuh tegap. Dua laki-laki itu tepat duduk di depanku. Jujur saja aku agak terkejut dengan keberadaan dua laki-laki itu. Rasanya aku pernah mengenalnya. Tapi entah di mana. Dan mata itu, mata laki-laki yang persis berada di depanku, seperti ingin menelanku.

1/
Aku memang bajingan. Tapi siapa bajingan yang mau merampok di kampungnya sendiri? Itu goblok. Jadi jika aku baik dengan orang-orang kampungku, itu tak lebih untuk menjaga nama baikku saja. Setidaknya aku bisa dikatakan rampok yang baik hati di kampungku sendiri.
Rasmini memang cantik. Gadis berbokong indah ini sudah aku incar sejak usia dua belas tahun. Mana ada remaja yang tidak suka dengan perempuan berbokong indah dan cantik seperti Rasmini. Kalaupun ada, pasti laki-laki itu tidak normal.
Bunga desa satu ini memang lain dengan bunga desa-bunga desa yang pernah aku coba. Kenapa? Iya, aku memang sudah banyak mencoba gadis desa dari kampung ke kampung. Dari rambut keriting, lurus, kulit kuning langsat, sawo matang, semampai, montok, hingga kurus, semua sudah aku coba.
Satinah. Gadis ini memang luar biasa. Cantiknya benar-benar keparat. Tapi dia mempunyai kakak tentara yang galaknya benar-benar kirik. Tapi upacara Ngarot di kampung Jambak ini benar-benar berkah buatku. Malam itu, berbekal jimat dari Mang Kartijah, aku datang menemuinya. Terus terang sebelumnya kami sudah pernah bertemu. Namun kalian tahu sendiri, kakaknya itu seperti kirik penjaganya saja. Tapi malam ini memang ajaib. Sungguh ajaib, karena aku tidak melihat si kirik keparat itu.
“Waktu kecil aku sering ke sawah sendiri jika aku dimarahi orangtuaku.” Ungkapan cengeng—dan ini menjijikan sebenarnya—semacam inilah yang sering aku katakan pada perempuan-perempuanku sebelum akhirnya aku mengajak mereka ke gubuk tengah sawah. Dan kamu tahulah kenapa perempuan selalu keibuan. Selain itu, berkat jimat dari Mang Kartijah, Satinah menurut dengan apa yang kukatakan.
Malam itu aku berhasil melucuti Satinah. Dia hanya pasrah. Sudah untung aku bisa merayunya. Lebih untung lagi kakaknya tidak mengetahuinya. Menyesal? Dia tidak menyesal. Maka esok harinya dia minta lagi, dan lagi.

2/
Pulung guna pulung sari, kata orangtua dulu. Sebab hari ini adalah hari terbesar dan bersejarah dalam hidupku. Aku, si gadis belia bernama Rasmini, terpilih menjadi kesinoman [3] dalam upacara Ngarot. Kesinoman berarti muda-mudi. Persis dengan usiaku yang baru saja menginjak empat belas tahun. Setiap gadis di kampungku tentu saja bangga jika terpilih menjadi kesinoman dalam upacara yang diadakan setahun sekali ini. Dalam upacara ini kami diarak seperti seorang putri raja. Orang-orang akan berduyun-duyun untuk melihat kami, melihatku, sebagai gadis pilihan yang dielu-elukan kesuciannya dan tentu kecantikannya. Sebab salah satu syarat menjadi kesinoman dalam upacara Ngarot ini mesti masih perawan. Sementara laki-laki harus masih perjaka.
Mang Sukri, pemuda yang baik hati. Meskipun beberapa orang mengatakan kalau dia bajingan. Ada yang mengatakan perampok, ada juga yang mengatakan begal. Tapi aku tidak percaya dengan gosip murahan itu. Yang jelas, sekalipun dia tidak pernah membikin ulah di kampungku. Dia laki-laki yang baik dan sopan. Juga murah senyum. Dan upacara ini benar-benar membawa berkah untukku. Rasanya keberuntungan memihakku. Tapi barangkali tidak hanya aku yang mendapatkan kebahagiaan malam ini. Banyak dari teman-temanku juga mendapat kebahagiaan yang serupa. Karena hampir semua yang terpilih di upacara Ngarot, tidak sampai seminggu sudah mendapatkan jodoh.
Kakekku pernah bercerita, kalau upacara Ngarot ini konon awalnya dilakukan oleh seorang tokoh adat yang mempunyai lahan sawah yang sangat luas. Hasil panen sawahnya berlimpah ruah. Rumahnya setiap hari banyak dikerumuni anak muda. Dia orang tua yang murah hati. Seluruh makanan dan minuman dia keluarkan cuma-cuma. Hingga suatu kali dia membuat perkumpulan yang bertujuan untuk mempersatukan anak-anak muda di desanya. Ia memanfaatkan tanah miliknya untuk diolah bersama-sama. Dan ketika menjelang musim pengolahan sawah, ia mengumpulkan anak-anak muda di rumahnya. Mereka berpesta. Lalu setelah musim pengolahan sawah tiba, mereka mengerjakannya secara bergotong-royong.
Begitulah adat ini dilakukan terus-menerus sampai sekarang. Konon katanya kalau ada kesinoman yang sudah tidak perawan lagi, bunga kenanga yang menghiasi kepalanya akan layu seketika.
Konon Desa Lelea pada masa itu masih dalam kekuasaan kerajaan Sumedang Larang, karena itu sampai sekarang bahasa penduduk Lelea di beberapa daerah masih memakai bahasa Sunda lama.
“Heh…” Mang Sukri tiba-tiba mengejutkanku dari belakang. Aku terpaku sebentar. Malam itu wajahnya lebih tampan dari biasanya. Rambutnya berminyak. Kancing baju atasnya sengaja ia buka sehingga tampaklah kalung emasnya. Celana cutbrainya berwarna merah hati. “Aku perhatikan dari tadi kamu mondar-mandir terus, cari siapa?” tanyanya kemudian. Aku masih terpaku memandang wajahnya. Bingung dan tampak tolol.
“Aku hanya jalan-jalan, cari angin,” aku basa-basi.
“Cari angin atau cari laki-laki?”
Aku tersenyum. Saritem mencubit lenganku, lalu dia menatapku dengan pandangan dan senyuman yang aneh.
“Aku duluan, ya? Aku punya janji sama temanku, dia sudah menunggu lama di Balai Desa.”
“Janjian sama Nasir, ya?”
“Mau tahu saja.”
Saritem ngeloyor begitu saja meninggalkan kami berdua.
Malam semakin larut. Pertunjukan wayang kulit sudah mulai. Balai Desa penuh. Orang-orang akan bertahan sampai pagi, sampai cerita wayang tutup lawang sigotaka. Sementara di jalan-jalan beberapa pedagang sudah mulai tutup. Termasuk penjual serabi kepunyaan Mak Sasmi. Serabi kepunyaan Mak Sasmi memang selalu laris. Tidak sampai larut malam, serabinya sudah habis terjual. Ia seorang perempuan yang perkasa. Ia selalu bercerita pada pembelinya kalau semasa gadisnya dia banyak digandrungi laki-laki dan dia sudah menikah empat puluh kali di usianya yang menginjak tujuh puluh enam tahun. Aku selalu suka dengan cerita-ceritanya. Tapi malam ini aku tak sempat mendengar ceritanya yang selalu diulang-ulang itu. Aku hanya melewatinya sambil lalu saat Mang Sukri mengajakku ke pematang sawah.
Dari gubuk tempat kami duduk, aku bisa melihat garis-garis langit yang dibatasi sawah. Angin dari barat menabrak tubuhku. Mang Sukri menangkap tubuhku. Aku kikuk dan bulu kudukku berdiri. Darahku berdesir. Tak lama kemudian ia memandang wajahku, dan entah kenapa aku selalu terpaku jika menatap matanya. Perlahan ia menciumku dan tubuhku tiba-tiba rebah. Malam pun rebah dalam gelap.
Mang Sukri masih terkulai lemas di sampingku. Aku beranjak, memakai pakaianku dan duduk di tepi gubuk. Airmataku kembali menetes untuk kali kedua pada malam itu. Entah kenapa aku menangis, padahal aku menikmati hubungan kami malam itu. Tapi yang jelas tahun depan aku tidak akan terpilih menjadi kesinoman di upacara Ngarot.
Pandanganku menjurus ke arah kampung yang berkelip-kelip lampunya. Dari jauh aku melihat dua orang mendekat ke arahku. Aku tidak tahu siapa mereka. Mereka semakin dekat ke arahku, dan berhenti persis di depanku. “Sukri?” Tanyanya kemudian. Pandangannya ia arahkan ke Mang Sukri, lalu kepadaku. Aku hanya diam memandangi dua laki-laki bertubuh tegap itu. Tak lama setelah laki-laki itu bicara, Mang Sukri terbangun dan terkesiap memandang ke arah kedua laki-laki itu. “Dor! Dor! Dor!!!” Suara tembakan bertubi-tubi mengenai tubuh Mang Sukri yang telanjang bulat. Aku hanya menangis dan takut. Aku tidak bisa berteriak. Bibirku gemetar dan lidahku kaku. “Sebaiknya kamu cepat pulang!” ujar laki-laki yang baru saja menembak Mang Sukri. Sementara laki-laki yang satunya hanya diam. Aku pulang dengan kesedihan yang mendalam. Langkahku gontai. Malam tiba-tiba jadi gelap. Gelap seluruhnya. Bulan jadi pucat. Dan angin seperti menusuk-nusuk tubuhku.

MOBIL ini terus berjalan menuju kampungku. Kampung yang sudah lama aku tinggalkan. Ya, malam itu tak lagi malam yang gemilang untukku. Aku tak lagi tuan putri yang dielu-elukan banyak orang. Aku hanyalah makhluk celaka yang bodoh. Mungkin ini yang dinamakan layangan pegot sing benange.
Tiga tahun yang lalu, aku mengandung bayi Mang Sukri. Mula-mula aku simpan sendiri, tapi lama-lama aku tidak tahan juga. Akhirnya aku katakan pada orangtuaku kalau aku mengandung bayinya Mang Sukri. Kedua orangtuaku tak habis-habisnya memarahiku. “Makanya cari laki-laki yang benar! Rampok kok disukain! Dengerin kalau orangtua ngomong!” Aku tidak mendengar lagi kalimat-kalimat berikutnya. Aku hanya sibuk dengan perasaanku sendiri.
Satu bulan kemudian ayahku mengantarku ke Jakarta. Menyusul pamanku yang waktu itu aku tidak tahu kerjanya apa. Kata ayahku, pamanku bekerja di pabrik. Mereka sudah lima tahun tinggal di Jakarta. Biasanya mereka pulang jika lebaran saja. Setiap lebaran mereka selalu membelikanku baju baru. Mereka sangat baik. Mereka pula yang sibuk mengurus kelahiran anakku. Dan sekarang anakku sudah berumur dua tahun. Orang-orang kampungku tidak ada yang tahu tentang peristiwa ini. Mereka hanya tahu aku ikut bekerja dengan pamanku di Jakarta.
Laki-laki tegap yang duduk di depanku sesekali menatap ke arahku. Kejadian tiga tahun itu terus berkelebatan dalam ingatanku. Musim karungan [4], kata orang-orang kampungku. Ada rasa takut yang menyelimuti sekujur tubuhku. Tubuhku tiba-tiba menjadi lemas. Tapi benarkah…, mobil tiba-tiba berjalan dan mengejutkanku.
Sepanjang jalan, aku melihat sawah yang kelabu dan retak. Di musim kemarau seperti ini kebanyakan dari mereka akan membuang air besar di celah-celah sawah yang retak. Sepanjang jalan aku melihat parit-parit kering, sungai-sungai kering, pohon-pohon kurus dan gersang. Pemandangan di sekitarku berwarna coklat. Coklat kering dan tandus. Seluruhnya.
Mobil berhenti tepat di depan gang menuju rumahku. Begitu aku turun, orang-orang berduyun-duyun menyambutku. Aku jadi teringat ketika aku menjadi kesinoman di upacara Ngarot. Saat orang-orang menyanjungku dengan sejuta pujian. Kini orang-orang itu mulai menyalamiku dengan ucapan yang berlebihan.
“Wah, selamat, selamat, nok ayu, katanya dapat jodoh orang Jakarta ya?” Aku hanya tersenyum tanggung. “Eh, iya, kata ayahmu, kamu sudah punya anak juga ya? Wah, begitu berangkat ke Jakarta langsung sukses. Dapat jodoh, uang banyak, dan sekarang sudah punya anak. Benar-benar berkah. Ini salah satu berkah menjadi kesinoman di upacara Ngarot. Selamat, selamat, nok ayu….”

Yogyakarta, 2012-2018

Catatan:
[1] Selain nama hewan sejenis babi hutan, Celeng juga nama Desa di Indramayu.
[2] Anjing
[3] Pengiring
[4] Petrus (penembakan misterius).

Karungan: mayat dimasukkan ke dalam karung dan dibuang di tepi jalan atau sungai.
Pulung guna pulung sari : Datangnya sinar kebahagiaan dalam hidup
Abang-abang lambe : Merah-merah di bibir
Layangan pegot sing benange : Layangan putus dari benangnya


Kedung Darma Romansha kelahiran Indramayu, Jawa Barat, 1984. Kumpulan puisinya Uterus (Gambang Budaya, 2015) dan Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu (Merpati Jingga-Malaysia, 2016). Novel terbarunya berjudul Telembuk (Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat), terbit pada 2017. Mengelola komunitas Rumah Kami Yogyakarta.

Apa Bapak Wafat?

Cerpen Radhar Panca Dahana (Kompas, 21 Januari 2018)
Apa Bapak Wafat ilustrasi RE Hartanto - Kompas.jpg
Apa Bapak Wafat? ilustrasi RE Hartanto/Kompas
Pagi itu, pagi biasa, seperti pagi-pagi sebelumnya. Di rumah kami, inilah pagi ke sekian ratus terakhir, di mana aku dan kakak perempuanku menyambung hidup dalam kesederhanaan bersama Bapak kami. Pensiunan pegawai negeri yang sudah melewati 70 tahun usianya dan dalam kondisi kesehatan yang sangat tidak baik.
Bapak adalah seorang tradisionalis sejati, pengikut ajaran Taman Siswa yang belajar langsung dari Ki Hajar Dewantara. Secara politis, ia mengikuti orientasi ayahnya yang nasionalis tulen ala Tan Malaka, teman seperjuangan sang kakek walau berasal dari komunitas yang berbeda. Jadi dapat dibayangkan, bagaimana sepanjang hidup Bapak bangun jam empat sebelum Subuh, bebenah rumah—terutama kamar mandi plesteran yang selalu rapi dan bersih—tiba di kantor, instansi negara, pukul tujuh, kembali pukul 5 sore, berkebun, mengawasi anak belajar hingga sembilan petang, membereskan rumah pukul 10 malam, mendengarkan wayang di radio dua band pukul 11 dan tertidur antara pukul satu dini hari.
Tidak merokok, tidak ngopi, juga tak suka kongkow dengan tetangga, makan pepaya dua kali sehari untuk tidak memperparah ambeiennya yang sudah seperempat abad: Bapak bisa dibilang sangat konservatif, kolot boleh anak muda bilang begitu. Tapi penyakit berat, karena usia tentu saja, lebih utama lagi karena—kata orangtua—kepaten obong, setelah istrinya meninggal tujuh tahun lalu, tentu saja membutuhkan perawatan agak lebih. Kami berdua, kakak beradik, mengambil pilihan untuk menjalankan tugas itu. Lebih dari kewajiban kakak sebagai istri dari seorang pegawai negeri juga, dengan satu anak. Atau aku, karyawan perusahaan media yang sangat dituntut kinerja dan loyalitasnya.
Kami habiskan hampir semua waktu di luar kewajiban sosial-formal yang ada untuk Bapak. Bapak tentu tahu. Walau sudah tiga tahun lebih ia yang hanya bisa berbaring memilih memejamkan mata sepanjang hari. Seolah dengan begitu ia lebih bisa “melihat”, antara dunia nyata yang masih dihidupinya atau dunia baqa yang seakan menghidupinya. Kami sangat paham. Tak menuntut lebih dari itu. Sudah hampir sepuluh windu ia hidup, sebagian besar untuk anak dan keluarga, tentu tidak berarti apa-apa pengabdian yang kami berdua berikan. Tanpa harus cemburu dengan lima saudara kami yang lain, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing di kota berbeda.
Apa yang kami bingung harus bersikap bagaimana, adalah hal kecil terjadi sore kemarin. Bapak membuka matanya, menatap kakakku dengan seksama. Tentu tanpa bicara, seperti sudah ia lakukan sekitar 5,5 tahun terakhir. Aku datang dan kulihat matanya pun beralih padaku. Entah apa arti pandangan itu. Hingga jam 11 malamnya, saat ia dahulu biasa mulai mendengarkan wayang kulit, ia minta dibangunkan, hanya untuk mandi di kamar mandi. Kami bukan hanya bingung dengan permintaan itu, tapi juga malu karena ketekunan kami belum ada apa-apanya dibanding cara Bapak dahulu merawat kamar mandi.
“Kamar mandi masih kotor, Pak,” kakak coba menutupi rasa malunya. Bapak berkeras. Ia malah seperti coba bangkit dengan mengangkat kepalanya. Sejak momen itu, Bapak banyak meminta atau melakukan sesuatu yang tidak “biasa”, bahkan luar biasa. Esok paginya, ketika aku terbangun karena azan Subuh, kulihat Bapak sudah duduk di pinggir tempat tidur. Bahkan ia minta sarapan bersama di meja makan.
Kami tidak pernah berani berpikir tentang “keajaiban”, ketika matahari mulai tinggi Bapak berjalan keluar rumah menikmati kehangatannya. Kakakku masak, aku bolos kerja untuk mendampingi “keluarbiasaan” Bapak hari ini. Sampai tengah hari, kehidupan seolah kembali “normal” seperti dulu. Bapak baca koran sambil minum teh hangat pada jam delapan pagi, tradisinya setelah pensiun. Sampai siang ia sibuk dengan dokumen, arsip hingga kepustakaan yang selama ini ia kelola dengan rapi. Makan siang diisi obrolan ringan yang —jarang sekali—sesekali ditingkahi candaan dan tawa.
Tidak berani kami menggambarkan situasi menjelang sore, ketika Bapak mulai masuk kebun, menyapu, membersihkan sampah dedaunan dan merawat pepohonan seperti merawat keluarganya sendiri. Bahkan kami harus melongo melihat Bapak membawa dua ember air untuk menyirami tanaman di kebun itu. Kakak cuma berdiri terpaku, seperti lupa atau tidak tahu harus mengucap istighfar atau hamdalah, sebagaimana refleks ia katakan dalam menghadapi sesuatu.
Aku sendiri hampir tidak tahan untuk bertanya, “apa yang terjadi pada Bapakku?”. Ingin rasanya langsung bertanya pada yang bersangkutan. Tapi ketika aku tidak tahan menyampaikan langsung pertanyaan itu, telepon selularku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Aku ingin tidak peduli, tapi karena selintas terbaca pesan singkat itu berasal dari adik bungsu, anak yang merasa paling mencintai dan dicintai Bapaknya, aku terpaksa membuka pesan itu.
“Ya Allah …. Ya Allah…” begitu awal pesan itu, “Innalillahi wainna ilaihi roji’un …. (emotikon tanda orang bersedih sangat). Kenapa bukan Mas dan Mbak yang kasih tahu pertama, malah tetangga. Bagaimana sih? Ya Allah…Bapak…Bapak…”
Aku terhenyak. Belum mengerti apa maksud dari SMS adikku itu. Namun setelah itu berduyun pesan singkat datang, dari semua saudara, kerabat, hingga kenalan dekat. Begitupun yang diterima oleh kakakku. Telepon yang menyatakan belasungkawa begitu luar biasa, mungkin bukan karena banyaknya, tapi lebih karena kekagetan kami berdua: “Bapak sudah meninggal??” Bagaimana orang-orang itu semua tahu, dari mana info itu semua, sedangkan Bapak sendiri ….
Belum selesai pikiran kami menyelesaikan kalimatnya, tubuh keropos tua itu lewat di depan kami, dengan dua ember air di kanan kirinya. Kedua matanya memandang kami, seakan tersenyum dan menegur, “Ayo hidup jangan kebanyakan bengong…kerja!”. Tapi kami benar-benar bengong. Semua peralatan tubuh tidak mampu kerja.
Namun akhirnya kami bergerak. Meminta Bapak istirahat, dengan alasan antara lain hari telah mendekati maghrib. Bapak tentu bersedia, duduk di kursi rotan yang setengah tidur, meminum air putih segar dan menghela nafas panjang. Pisang tanduk rebus hangat di sisinya, tidak ia sentuh. Matanya terpejam. Kami memandangnya tajam. Sedang apakah ia? Benarkah ia masih hidup, atau mungkin ia sudah…jadi mayit seperti banyak SMS dan telepon yang masuk?
“Bapak…” kakak saya coba menegur. Bapak diam. Kami berpandangan. “Ini banyak SMS dan telepon yang…” Belum habis kata-kata kakak, Bapak membuka sedikit matanya, seperti menegur, “Aku tahu…” Tapi…tapi…mengapa… “Aku tahu…” sekali lagi Bapak menegur dengan pandangnya.
Kami tetap tak bisa menjawab. Kenapa…atau…apakah benar Bapak sebenarnya…
Kedua mata tua itu menutup perlahan seperti menyatakan, “Benar…” Lalu…kenapa…kenapa… “Kenapa Bapak tidak buktikan bahwa itu tidak benar?! Bapak sehat, sehat sekali!” aku tidak tahan untuk bicara, bahkan agak keras.
Kali ini bibirnya yang bicara. Ia senyum kecil. Satu peristiwa langka dalam hidup kami. Tapi bermakna banyak, tentu saja, apalagi di saat ini. Senyum itu seperti mengatakan, “Bapak memilih yang benar.”
Kami tidak tahu harus berbuat apa, bahkan berkata apa. Bapak tetap diam terbujur di kursi rotan itu. Posisi setengah rebah yang semeleh. Mata terkatup rapat tanpa ketegangan, bibir berjungkit sedikit mencipta senyum yang langka. Kami tak sempat lagi hendak berbuat. Ketukan pintu, tetangga, teman dan kerabat terdekat hingga saudara-saudara akhirnya membanjir datang. Menciptakan dengung, orkestra tangisan, hingga jeritan.
Aku yang masih bingung, membuka kembali selular yang memberi tanda pesan masuk. Kulihat pesan itu tiba pukul 06.17 PM. Kalau orang-orang ini berdatangan selama seperempat jam terakhir, berarti Bapak tersenyum terakhir sekitar pukul enam petang. Lalu SMS adik bungsu, yang pertama kali masuk menangisi kepergian Bapaknya, kuperiksa seksama, pukul 06.25 PM. Eh?!! Pukul berapa sekarang sebenarnya? Kutengok penunjuk waktu di selular itu, menunjuk angka digital: 05.50 PM. Yang benar saja? Yang benar saja?!!
Tapi…angka digital itu…ternyata tidak bergerak. Jam itu mati, sudah mati di angka yang ditunjukannya. Bapak…

Radhar Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa Kemdikbud dan terakhir dianugerahi harian Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Cerpennya Sepi pun Menari di Tepi Hari menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2014.
RE Hartanto lahir di Bandung tahun 1973. Lulus Jurusan Seni Murni FSRD Institut Teknologi Bandung tahun 1998. Hartanto membuka akun Klinik Rupa dr Rudolfo di Instagram, didedikasikan bagi mereka yang ingin berlatih menggambar dengan langgam realisme secara gratis.

Perempuan Satu Tahun Lalu

Cerpen Ongky Arista UA (Media Indonesia, 21 Januari 2018)
Perempuan Satu Tahun Lalu ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Perempuan Satu Tahun Lalu ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
PEREMPUAN yang berjalan pelan, seperti malas, seperti manja, seperti bermain-main dengan pasir di sebuah pantai satu tahun lalu membawa ingatan tentang perempuan yang telah sempurna kulupakan satu tahun sebelumnya. Lupaku menjadi tak benar-benar sempurna selain sempurna menjadi ingatan lama yang datang kembali, lebih baharu lagi.
Ini tentang perempuan yang kukenal satu tahun sebelum kulihat perempuan yang membawa ingatan itu satu tahun lalu. Susah payah kulupakan. Sudah kuletakkan ingatan itu dalam peti lalu kubuang ke sungai mati. Berharap semua ingatan mati bersama arus yang kian jauh, kian mengering, lalu benar-benar mati di suatu muara paling jauh.
Ah, perempuan satu tahun lalu sungguh benar-benar tak tahu betapa dirinya membawa ingatan tentang perempuan satu tahun sebelum dirinya kuingat satu tahun lalu. Dan kau, kaulah yang paling bertanggung jawab. Kaulah kunci utama dari segala ingatan.
Jika satu minggu lalu kau tak muncul di pinggir pantai dan berjalan seperti perempuan yang mengingatkanku pada perempuan dua bulan lalu, yang membawa ingatan tentang perempuan empat bulan lalu, yang membawa ingatan tentang perempuan yang keenam, lalu membawa yang kedelapan, membawa ingatan yang kesepuluh, dan membawa ingatan tentang perempuan satu tahun sebelum satu tahun lalu, sudah pasti, aku akan benar-benar bahagia.
Kaulah sebenarnya yang membawa segala ingatan, segala ingatan. Jika bukan karena kau, sudah tak memungkinkan lagi ingatan tentang perempuan satu tahun sebelum perempuan satu tahun yang lalu, yang berjalan pelan di sebuah pantai, akan datang. Sudah tak mungkin lagi.
Kembalinya ingatan tentang perempuan sebelum perempuan satu tahun yang lalu, dari dirimu, harus kau tanggung. Kau harus mencari perempuan sebelummu dengan petunjukku. Atau, jika tidak, aku akan menganggapmu sebagai perempuan itu.
“Apakah kau mau kuanggap sebagai perempuan jalang itu?”
“Aku akan mencari mata rantai perempuanmu.”
“Bagus.”
“Jika aku tak berhasil, pantaslah diriku kau sebut perempuan jalang karena memang tiada perempuan lain untuk kau sebut jalang selainku.”
Menghela napas. Diam sejenak menuntaskan napas lelah. Menatap ke arahku. Melanjutkan, “Meski tak mungkin bagiku untuk jalang meski kau sebut sebagai jalang. Jikapun mungkin, itu sebab kau yang telah membuatku benar-benar jalang.”
***
Bekas luka ini, ya, bekas luka ini. Kau masih ingat? Siapa lagi jika bukan karena ulahmu yang berusaha membuat telinga suamimu lebar dan matanya seperti kelelawar.
Ini awalku mencarimu. Untuk menebus bekas luka ini dengan luka yang lain dan tentu bukan luka di tubuhku lagi, tapi di tubuh orang yang meninggalkan bekas luka ini. Suamimu. Suamimu akan kuberikan bekas luka yang sama seperti bekas luka yang ada padaku.
“Sudah kau dapatkan perempuan itu?”
“Sudah, tapi suaminya telah meninggal!”
“Apa?”
“Kalau begitu, harus dengan apa kubalas bekas luka ini?”
“Kau harus juga meninggal!”
“Buat aku meninggal!”
“Hanya perempuan itu yang dapat membuatmu meninggal lalu bertemu dengan suaminya yang kau incar itu.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Kau harus meninggal di tempat di mana lelaki itu meninggal!”
“Bawa aku pada perempuan itu!”
Kau. Kau tak tahu bahwa ada benci yang mengendap di bawah berlembar-lembar cinta di bumi ini. Endapan itu akan menuju ke permukaan saat cinta mulai habis dikhianati. Pengkhianatan selalu terjadi di mana pun. Bahkan di tempat dan kondisi yang paling tidak mungkin sekalipun.
Cintaku untuk kau adalah sama dengan cinta lelaki yang merebut kau dari cintaku. Percintaan kita di malam yang bisu itu sudah kutimbang-timbang sebagai pengesahan cinta kita berdua. Kau mencintaiku sebagaimana aku yang sebaliknya.
Cintamu kepadanya adalah pengkhianatan cinta bagiku. Pelanggaran berat bagi pengesahan itu. Seharusnya kau bisa mencintai siapa pun yang mencintaimu, mengapa kau hanya memilih dia yang ujung-ujungnya lebih dahulu meninggal daripadaku yang umurnya dan tentu cintanya jelas lebih pendek dari cintaku?
Cintaku takkan pernah kau tahu pula lebih besar daripada siapa pun yang apabila dikhianati, kebencian akan lebih besar daripada apa pun, bahkan dari besarnya cinta yang besar.
“Perempuan itu baru saja meninggal!”
“Apa kau tak suruh dia menungguku datang terlebih dahulu?”
“Kau harus segera mati!”
Beberapa detik setelah itu, aku menyusul kematian perempuan itu. Kuingat, beberapa detik sebelum itu, perempuan yang menjadi kunci segala perempuan sebelumnya menusukku memakai benda tajam dan tipis.
“Harus mati!”
Perempuan itu memasukkan pisau tajam dan mengilap ke bagian atas perutku. Aku pun mati dan tak sempat bercerita panjang. Mengapa mati tak menungguku bercerita terlebih dahulu. Cerita ini pun beralih ke tangan perempuan yang masih hidup.
***
Laki-laki itu kuantar menemui suami seorang perempuan. Dan, mungkin juga di sana, tempat kuantar dia, akan bertemu dengan perempuan yang suaminya dia incar. Hanya dengan begitu, lelaki yang akan menyebutku jalang akan bertemu dengan orang yang dicarinya, laki-laki sebagai suami perempuan atau perempuan satu tahun sebelum perempuan yang satu tahun lalu berjalan manja di sebuah pantai.
Ingin kuikut denganmu. Sayangnya, aku tak benar-benar ingin. Tapi aku ingin tahu, apakah kau sudah menemukan lelaki atau perempuan yang kau cari. Jika tidak, akankah kau masih memanggilku jalang? Jika sudah bertemu dengan apa yang kau cari, apakah akan selesai sampai di sini cerita kau yang berpindah ke tanganku?
Aku terlalu percaya bahwa kematian mempertemukan segala makhluk yang samasama mati andai saja betul ingin bertemu dengan salah satunya. Tapi bagaimana caranya? Sebetulnya aku tak begitu yakin. Mengantarmu pada kematian tak kumungkiri sebetulnya lahir bukan dari sepenuhnya keyakinanku. Itu hanya percobaanku. Seharusnya kau tak perlu membenci siapa pun yang telah mati hingga kau menyusulnya ke sana dan tentu, aku tak perlu benar-benar percaya dan ikut mengantarmu ke sana.
Ini ternyata soal cintamu yang tiada satu pun dapat menghalangi. Tapi, mengapa cinta?
Mengapa kau cinta pada perempuan satu tahun sebelum perempuan satu tahun yang lalu? Sedangkan kau tengah bersamaku. Apa yang kurang dariku? Bukankah aku sudah memberimu kebebasan? Tak harus menikahiku agar kau benar-benar menikmatiku melebihi menikahiku. Bukankah itu kenikmatan bagi setiap lelaki?
Kau boleh datang kapan saja dan pergi kapan saja. Kau boleh mencintai siapa saja dan membenci siapa saja. Tapi, apakah kau tak sadari betapa aku sebenarnya mencintaimu? Haruskah aku membencimu sebagaimana kau membenci perempuan itu? Haruskah pula endapan kebencian ini membentuk gunung ke permukaan sebagai cerita lain daripada cinta yang dikhianati?
Kau masih mencintai perempuan itu dan mendendam suaminya yang telah memukulmu sebab pergumulanmu dengan perempuan satu tahun itu. Kau menjerit-jerit. Luka dan luka di tubuhmu memaksa kau berbuat sesuatu selain menjerit. Entah, apa? Sampai pun pada detik ini, aku tak tahu selain kau hanya ingin membalas bekas luka di tubuhmu dengan bekas luka yang akan kau buat di tubuh yang bukan tubuhmu. Lagi pula, apa hakmu bercinta dengan perempuan orang selain hak untuk dipukul bahkan jika perlu dibunuh?
Dan kau benar-benar harus mati demi mengejar balas. Kau minta aku membunuhmu. Jelas aku mau. Apa boleh buat jika kenikmatan tubuhku yang telah puluhan tahun tak kuberikan pada siapa pun yang menawarnya justru jatuh pada lelaki yang tak sungguh-sungguh akan menemaniku sepanjang hidup. Kau harus mati sebagaimana keperawananku yang telah mati diisap olehmu.
Dan aku, harus juga mati untuk mengejarmu. Membalas sesuatu yang tak kau pernah ketahui. Pisau ini telah membunuhmu dan akan pula membunuhku. Kita bertemu di sana. Kita akan berdebat soal siapa yang salah. Di sana, konon, ada pengadilan yang paling adil tanpa kita ikut campur suapmenyuap di dalamnya.
Aku harus mati. Sebentar lagi.
Setelah aku tusukkan tembaga mengilap dan tajam ke perutku, nyawaku akan perlahan menjauh dari jasadku, dibawa malaikat, semakin jauh, semakin mengecil, lalu benar-benar hilang ditelan gedung-gedung gaib, lalu gelap, sungguh gelap.
Nyawaku sudah hampir habis, tinggal beberapa detik lagi, akan ikut alunan detik jam, lalu benarbenar berlayar jauh bersama darah yang terus terkuras menuju muara ajal. Beberapa detik sebelum mati, tanganku tak akan lagi dapat menulis apa-apa dan jika tak selesai cerita ini, anggaplah sudah selesai bersama aj…(al).

Ongky asal Sumenep ini pernah meraih juara II di ajang menulis cerpen nasional bertema bebas oleh Forum Aktif Menulis Indonesia pada 2017 dengan cerpen berjudul Sumur Darah.

Selepas Bapak Meninggal

Cerpen Rifat Khan (Republika, 21 Januari 2018)
Selepas Bapak Meninggal ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Selepas Bapak Meninggal ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kakiku sudah terasa begitu lemah menyusuri dinding bukit kapur ini. Aku, Paman Sahdan, Basir, dan Alif Rahman mengangkat peti mati Bapak. Peti itu berisi jenazah Bapak yang meninggal kemarin pagi. Kami mengangkatnya sudah ratusan meter dari rumah dan harus membawanya ke tebing untuk dimakamkan pada lubang-lubang di atas tebing. Namun kakiku terasa goyah. Paman Sahdan bilang, “Coba istirahat sebentar, lalu kita lanjutkan sedikit lebih atas lagi. Agar arwah bapakmu cepat diterima di pangkuan sang pemberi hidup.”
Alif Rahman dan Basir mengangguk. Aku menghela napas panjang dan mengusap keringat yang memenuhi wajahku. Selang dua menit, mereka bertiga bangun dan memintaku bangun juga untuk kembali mengangkat peti mati Bapak lebih tinggi lagi. Kami berjalan pelan. Sesekali kakiku hendak terpeleset.
“Di sini saja, Paman. Bapak bisa istirahat dengan damai di sini.” Aku mengisyaratkan berhenti, sembari menunjuk sebuah lubang yang teduh. Dan kurasa, di lubang itu, arwah Bapak akan istirahat dengan sedemikian tenang. Alif Rahman mengangguk dan Paman Sahdan mengangguk juga. Kami meletakkan peti itu dan mengucap doa sebentar lalu kembali turun ke bawah meninggalkan jasad Bapak yang sudah tidur tenang.
***
Rumah terasa sepi sejak Bapak pamit meninggalkan dunia ini selamanya. Ibu sudah sakit-sakitan, hanya bisa terbaring di ranjang dengan batuk parah yang sudah setahun terakhir menggerogotinya. Namun Aisah, seorang perempuan yang sudah kulamar itu, sering memberi perasaan bahagia di sela-sela kesedihan mengenang mendiang Bapak.
Malam selepas kami mengantar jenazah Bapak, Paman Sahdan datang ke rumah. Disusul oleh Alif Rahman yang merupakan putranya. Alif Rahman umurnya sudah tiga puluh, tapi belum menikah. Selang sepuluh menit, Paman Ridwan, adiknya Bapak yang paling kecil di bawah Paman Sahdan, juga datang.
Aku pamit sebentar ke dapur membuatkan mereka teh hangat. Aku melihat ada perihal serius yang akan dibicarakan ma lam itu. Aku berjalan pelan membawa empat cangkir teh. Kemudian memberi mereka satu per satu. Paman Sahdan tersenyum dan menghela napas lumayan panjang. Sementara Alif Rahman membakar sebatang rokok dan Paman Ridwan memilin tembakau dengan daun jagung kering.
Aku duduk bersila di antara mereka. Paman Sahdan sejenak menghirup teh hangat di depannya. Bibirnya komat-kamit meniup teh itu sebelum dihirupnya. Sementara suara batuk Ibu terdengar jelas, diselingi suara tokek yang setia pada dinding rumah.
Paman Sahdan akhirnya membuka suara, “Begini, Nak Randuse. Bapakmu kan baru saja meninggal. Kami datang ke sini hendak membawa sebuah anjuran.” Paman Sahdan bicara pelan dan terlihat sangat hati-hati. Aku hanya menunduk, sementara Paman Ridwan dan Alif Rahman mengangguk.
“Alangkah baiknya jika beberapa hari selepas ini, kamu beli seekor sapi lalu korbankan pada perayaan nanti,” Paman Sahdan melanjutkan.
“Maaf sebelumnya, Paman, buat apakah sapi yang dikorbankan itu?” Aku memberanikan diri bertanya, sebab memang aku tak ngerti dengan pembicaraan tentang seekor sapi dikorbankan dan hubungannya dengan jasad Bapak.
“Walah-walah, Nak Randuse kok seperti bocah ingusan. Sebentar lagi kan mau kawin. Masa gak mengerti tentang adat kita di sini.” Paman Ridwan kali ini yang bicara. Paman Sahdan menggeleng-gelengkan kepalanya. Alif Rahman menatapku begitu tajam. Aku hanya menunduk saja dan tak tahu musti berkata apa. “Begini, Randuse…,” Alif Rahman angkat bicara.
“Setiap orang yang meninggal sebenarnya akan melakukan perjalanan yang teramat panjang untuk menemui surga sang pemberi hidup. Nah, dalam perjalanan yang teramat panjang itu, jasad seorang yang meninggal akan menemui berbagai rintangan. Konon, dalam perjalanan itu, bisa saja binatang buas mengganggunya dan menerkamnya. Bisa saja jasad yang meninggal itu menemui lubang besar dan teramat dalam. Lalu dia terperosok dan masuk. Dan surga hanya menjadi angan-angan saja. Nah, untuk memudahkan perjalanannya itu, kita, terutama keluarga dekat, dianjurkan untuk mengorbankan sapi. Seekor bisa, lebih seekor pun alangkah baiknya. Pengorbanan sapi itu dipercaya dapat mempermudah jalannya untuk menemui surga,” Alif Rahman menambahkan sekaligus menerangkan. Omongannya terlihat lebih dewasa dari umurnya.
Aku hanya menunduk, bingung hendak berkata apa. Tiba-tiba Paman Ridwan bicara sedikit lebih keras. “Randuse, kenapa kau menunduk saja? Apa tak bisa kau menatap paman-pamanmu ini yang sedang bicara? Kau hormatilah kami sedikit saja!”
Aku tersentak dan mengangkat kepala menatap Paman Ridwan, “Maaf, Paman, tak ada maksud untuk tidak menghormati kalian….”
“Apa mendiang bapakmu tak pernah mengajarkanmu adat kita di kampung ini? Oh, Randuse, merugi kau jadi orang. Janganlah kamu kikir begitu, jangan terlena pada duniawi ini saja. Paman yakin, kamu ada banyak tabungan. Usahamu akhir-akhir ini lancar. Apa susahnya jika kau sisihkan untuk hanya seekor sapi, itu juga untuk keselamatan bapakmu, orang yang sudah susah payah mendidik dan membesarkanmu.” Paman Ridwan bicara sembari menatapku begitu tajam.
Aku membenarkan posisi duduk, menatap mereka satu per satu. Kemudian mencoba bicara, “Maaf, Paman. Maaf, Saudara Alif Rahman. Bukannya aku pelit, bukannya aku tak mau melihat Bapak selamat dan cepat menemui surganya, namun sekira boleh aku bercerita sedikit saja. Mungkin paman semua akan faham….” Aku masih menatap mereka bergantian.
“Apa yang hendak Nak Randuse ceritakan?” Paman Sahdan masih bicara pelan. Berbeda dengan Paman Ridwan yang agak sedikit keras.
“Aku ingin cerita tentang pernikahanku yang beberapa hari lagi. Sekira aku tau Bapak akan meninggal, mungkin aku tak melakukan lamaran dulu. Tapi semua sudah terjadi dan tak mungkin lamaran itu aku tunda atau batalkan. Bukankah paman-paman semua tau, kalau pernikahan adalah ibadah dan tak baik jika ditunda-tunda. Bisa-bisa pamali dan Tuhan murka. Mendiang Bapak juga yang menganjurkanku untuk menikah. Beliau yang begitu ingin memiliki menantu dan secepatnya menimang cucu. Tapi kematian Bapak tak terduga. Bapak tak pernah sakit, hanya malangnya tertabrak truk. Dan kejadian itu begitu cepat. Aku memang punya tabungan, tapi sungguh itu cuma cukup buat kawinan. Bukannya aku hendak tak menghargai kalian, tak menghargai Ibu dan mendiang Bapak….” Aku bicara sangat pelan dan sesekali menunduk.
“Apakah benar memang tidak ada sama sekali, kami bisa membantu sedikit untuk harga seekor sapi.” Paman Ridwan bicara lagi.
“Sungguh, Paman, ini saja aku hendak menjual motor untuk menambah biaya kawinan.” Aku memandang Paman Ridwan.
Mereka bertiga geleng kepala, saling pandang dan menggeleng lagi. “Bukankah perjalanan mencapai surga juga ditentukan oleh perbuatan seseorang di masa hidupnya. Bapak orang baik, dia banyak ibadah semasa hidup. Tuhan akan memudahkan jalannya.” Aku memberanikan diri bicara lagi.
Ketiganya menggeleng, lalu Paman Ridwan bicara lagi, “Baiklah, Randuse, perjalanan itu amat panjang dan rumit. Kau pernah kan dengar cerita tentang apa yang didapat manusia sebelum menemui surga. Bisa saja tubuhnya dipanggang, lidahnya dipotong, badannya ditusuk besi yang nian panasnya. Alangkah mengerikan semua itu. Tapi apa hendak dikata kalau kau sudah bicara seperti itu. Kami pamit untuk pulang saja. Kabarkan kalau kau sudah berubah pikiran.”
Mereka bertiga pamit. Aku berdiri dan menyalami Paman Sahdan, kemudian menyalami Alif Rahman. Namun ketika hendak menyalami Paman Ridwan, ia melengoh tak menggubris uluran tanganku. Aku merasa bersalah sejenak padanya.
***
Ketika kuceritakan semuanya pada Aisah, gadis itu tak bisa memberi saran apa-apa. Malah ia menangis di ujung telepon.
Aku duduk termenung, memikirkan semua omongan malam itu. Otakku melayang jauh dan tiba-tiba muncul pertanyaan di otakku. “Apa benar segala ucapan Paman Ridwan? Sedang apa mendiang Bapak saat ini?” Aku menyandarkan badan di ranjang, pikiranku terasa kacau. Belum lagi jika memikirkan perkawinanku dengan Aisah yang tinggal hitungan hari.
Dalam keadaan kacau demikian, aku tanpa sadar tidur lelap. Dan dalam tidur itu, entah kenapa aku bermimpi tentang masa kecilku. Dalam mimpi itu, aku tengah berjalan dengan Bapak.
“Bapak, aku mau beli eskrim.” Aku merengek.
“Uang di kantong Bapak hanya dua ribu, Nak. Kan mau beli pensil juga. Eskrim harganya tiga ribu. Pensil harganya dua ribu. Pensil kan kebutuhan buat sekolah. Mending dipake beli pensil, yang ada manfaatnya. Kelak, jika sudah memiliki uang lebih, baru kita beli eskrim. Kita harus bisa memilah dan memilih, mana yang merupakan kebutuhan, mana yang merupakan keinginan.”
Bapak bicara amat pelan. Lalu dia memelukku begitu hangat. Sangat hangat. _

RIFAT KHAN. Lahir di Pancor, NTB, pada tanggal 24 April 1985. Beberapa karyanya dimuat Metro Riau, Majalah Cempaka, Suara NTB, Radar Surabaya, Harian Waktu, Lombok Post, Harian Rakyat Sumbar, Satelit Post, Bali Pos, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Riau Pos, dan Republika. Bermukim di NTB dan bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.

Kutipan Dia Adalah Dilanku Tahun 1991

Aku tidak ingin mengekangmu, terserah! Bebas kemana engkau pergi! Asal aku ikut. (Pidi Baiq, 1972-2098)

KALAU
Kalau limun menyegarkan, kamu lebih. Kalau cokelat diisi kacang mete katanya enak, tapi kamu lebih. Atau ada roti diisi ikan tuna berbumbu daun kemangi, kamu lebih. Kamu itu lebih sehat dari buah-buahan. Tahu gak? Lebih berwarna dari pelangi. Lebih segar dari pagi. Jadi, kamu harus ngerti ya, aku menyukaimu sampai tujuh ratus turunan, ditambah lima ratus turunan lagi. (hlm. 30)

  1. Kamu piker bandel itu gampang? Susah. Harus tanggung jawab sama yang dia udah perbuat. (hlm. 21)
  2. Penjahat aja jadi korban, pasti pelakunya lebih jahat lagi. (hlm. 46)
  3. Kalau kamu ninggalin aku, itu hak kamu. Asal jangan aku yang ninggalin kamu. Aku takut kamu kecewa. (hlm. 49)
  4. Apa tidak ada cara lain nyelesain masalah selain berantem? (hlm. 67)
  5. Cowok emang harus digalakkin, biar nggak ngelunjak. (hlm. 101)
  6. Di mana pun, sepanjang jalan hidup, kita hendaknya bisa menghargai dan saling menghormati. (hlm. 103)
  7. Kadang-kadang, mengenal seseorang yang sudah lama tidak bertemu, itu benar-benar sulit. Seseorang yang sudah terlupakan oleh perkembangan hidup masing-masing jika lalu jumpa lagi, kita akan merasa seperti canggung, seolah-ola kita sedang bertemu orang asing. (hlm. 129)
  8. Hidup begitu misterius, kita tidak akan pernah benar-benar mengerti mengapa kenyataannya harus berakhir seperti ini. (hlm. 341)