Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
“Membaca itu seperti melatih otot, semakin sering dilakukan, maka
otot membaca kita akan semakin kuat. Oleh karena itu, mulailah membaca
buku yang membuat kita tertarik untuk membacanya. Apabila otot membaca
kita sudah menguat, kita akan dapat membaca dengan variasi tema dan
bobot yang berbeda. Dengan begitu, minat membaca akan meningkat seiring
dengan banyaknya materi bacaan yang dapat kita peroleh.” –Dee-
“Untuk bisa membaca banyak buku, diperlukan dua hal, yang uang dan
waktu tidak termasuk di antaranya. Dua hal tersebut adalah gairah dan
kerendahan hati bahwa kita menjadi banyak tak tahu.” –Helvy Tiana Rosa-
“Buku seperti makanan, tetapi makanan untuk jiwa dan pikiran. Buku
adalah obat untuk luka, penyakit, dan kelemahan-kelemahan perasaan dan
pikiran manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, akan
timbul bahaya kerusakan yang sangat besar.” –Ali Syari’ati-
Ketika mencintai seseorang, kita menjadi terlalu mencintainya.
Sesuatu yang terlalu, apa pun itu, selalu menjadi tidak baik. Karena
yang terlalu akan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan. (hlm. 75)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Mungkin karena ini satu-satunya cara yang kita tahu untuk bisa tetap saling memiliki. (hlm. 41)
Ketika kita dicintai oleh orang yang kita cintai, ketika kita dapat
berbagi pada sesama, ketika kita dapat mewujudkan apa yang kita
inginkan. (hlm. 87)
Kebenaran adalah sesuatu yang hakiki dan ilahi. Begitu banyak hal
yang pada awalnya kita percayai sebagai suatu kebesaran Tuhan, secara
perlahan mulai dapat dijelaskan dengan logika manusia. (hlm. 91)
Tuhan menciptakan segala sesuatunya melebihi apa yang dapat
dipikirkan manusia dan segala yang terlihat maupun yang tak terlihat.
(hlm. 98)
Kita harus tahu kapan saat memulai dan kapan saat berhenti. (hlm. 344)
Masakan yang baik akan menghilangkan lapar, masakan yang hebat akan menggerakkan seluruh panca indra. (hlm. 362)
Cinta sejati adalah abadi dan tiada akhir. (hlm. 388)
Karena Tuhan membuat segalanya indah pada waktu-Nya. (hlm. 404)
Cinta membuat segalanya berubah. (hlm. 405)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Kamu jangan mulai naif. Kamu belum melihat dunia dan jangan kita terlalu yakin atas apa yang kita alami. (hlm. 38)
Berhati-hati dalam memilih istri. (hlm. 46)
Tidak ada artinya berkelakuan sempurna dalam tata perayaan agama
apabila tidak dapat memperlakukan sesama manusia dengan baik. (hlm. 52)
Tidak ada satu pun di dunia ini yang gratis atau setidaknya tanpa pamrih. (hlm. 159)
Dikelilingi oleh pikiran-pikiran terbaik dunia tidak akan membuat
kamu dapat menyentuh dunia. Saat kamu dikelilingi oleh pikiran-pikiran
yang biasa-biasa saja atau malah mungkin di bawah rata-rata, maka kamu
akan memiliki kekuatan yang menyentuh dunia. (hlm. 193)
Seharusnya kamu tidak percaya akan indahnya dongeng. (hlm. 405)
Dunia penuh dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk menipu kalau kamu begini lugu. (hlm. 405)
“Manusia itu diibaratkan sebuah pohon. Kita tumbuh tinggi, begitu
juga dengan pohon. Kita membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup,
begitu juga pohon membutuhkan daun-daun untuk bertahan hidup.” (hlm. 33)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Nikmati saja hidupmu. (hlm. 5)
Belajarlah untuk menghargai dirimu sendiri. (hlm. 36)
Semoga kita punya pemikiran yang sama tentang apa yang bisa disebut luar biasa. (hlm. 122)
Jangan ragu untuk mencoba lagi. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah awal yang baik. (hlm. 211)
Hiduplah dengan bahagia. Pohon kehidupanmu tidak boleh mati hanya karena kehilangan sehelai daun. (hlm. 247)
Lakukan yang ingin kau lakukan, gunakan setiap kesempatan, dan bahagialah. (hlm. 247)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan basa-basi membosankan yang tidak kau sukai. (hlm. 5)
Memangnya berteman butuh alasan? (hlm. 20)
Untuk ukuran laki-laki yang katanya berandal, ternyata kau ini cuma banyak gaya. (hlm. 23)
Sesekali cobalah untuk tidak bersikap sinis kepadaku. (hlm. 26)
Kau tidak perlu malu hanya karena meminta sedikit bantuan. (hlm. 31)
Membolos satu hari tidak serta membuat kami jadi dungu, kan? (hlm. 8
“Sama kayak baseball. Banyak kesempatan yang ada sampai akhirnya
bisa mukul atau pitching yang bagus. Tapi, kadang nggak banyak yang
sadar dan malah bersikap arogan, cuma mau menang. Lupa kalau kesempatan
itu ada untuk ngebuktiin usaha kita. Karena meski gagal, nggak mesti
kalah dan mesti berhasil, nggak berarti menang.” (hlm. 46)
Punya supporter itu kayak punya nyawa tambahan yang bikin lo berani ngadepin apa pun di dunia ini. (hlm. 30)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Manusia itu sebenarnya beruntung ya. Karena punya akal budi dan jadi
mahluk di kasta paling tinggi. Juga karena mereka sebenarnya punya
banyak kesempatan untuk ngelakuin sesuatu.” (hlm. 46)
Kesempatan terbaik selalu datang saat sabar menunggu. (hlm. 47)
Jika berteman baik dengan seseorang, sebagian dari dirinya akan menyatu dengan diri kita. (hlm. 54)
Karena perasaan suka itu perasaan yang muncul ketika lo jujur sama diri lo. (hlm. 77)
Kalo lo suka sama dia, lo harus usaha. Lo harus tunjukin dan kasih tahu kalau lo suka dia. (hlm. 80)
Yang namanya pacaran, nggak semuanya kenal pribadi satu sama lain.
Itulah kenapa pacaran disebut proses saling kenal. Tapi, yang penting
itu adalah seberapa jauh usaha lo untuk saling kenal dia. (hlm. 141)
Kadang memaafkan itu perlu proses. (hlm. 167)
Usaha itu nggak ada yang sia-sia. Berapa kali lo perlu berusaha
ngelempar buat matiin lawan? Selalu ada gagal dalam tiap usaha, tapi
bukan sia-sia. Mungkin lo belum benar-benar berusaha. (hlm. 176)
Usaha itu bukan Cuma soal untuk ngedapetin sesuatu. Kadang, lo perlu usaha ngelepas sesuatu untuk dapetin yang lain. (hlm. 176)
Tiap orang berhak dapat kesempatan kedua sebagai penentuannya. (hlm. 185)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Nggak usah khawatir. (hlm. 1)
Jangan tegang dong. (hlm. 5)
Nggak usah sedih. (hlm. 9)
Ada waktu yang membuat semuanya berubah. (hlm. 10)
Yang ribet mah lo. Masalah tugas doing diributin. (hlm. 32)
Lo tuh kenapa, ganggu urusan orang aja. (hlm. 37)
Kalau sori lo bisa dikumpulin jadi duit, mau deh, gue terima. (hlm. 41)
Memang kartun buat anak-anak doing? (hlm. 55)
Hati manusia nggak bisa ketebak. (hlm. 58)
Nggak ada yang lebih dan nggak mungkin lebih. (hlm. 58)
Nggak usah pura-pura baca. (hlm. 73)
Nggak usah sok tahu. (hlm. 76)
Nggak usah pura-pura nggak tahulah. (hlm. 79)
Nggak bisa manis dikit ngasihnya? (hlm. 94)
Menjadi orang baik tak selamanya menguntungkan. (hlm. 146)
Karena lawan terberat bukan saja diri sendiri, melainkan juga kenyataan. (hlm. 197)
Jangan kira segampang itu. (hlm. 233)
Perasaan suka itu bukan sekadar apa yang kita rasa. Tapi, sejuah
mana kita mau ngelakuin sesuatu buat orang itu, berkorban buat dia, dan
sejauh mana keberadaannnya terasa begitu penting. (hlm. 260)
Masih seperti serial Around the World With Love sebelumnya, novel
ini juga memuat selipan pengetahuan tentang Islam tanpa terkesan
menggurui. Beberapa diantaranya adalah:
Perihal hijab. Maghali konsisten mengenakan hijab meski di negeri dengan masyarakat yang muslimnya minoritas.
Makanan halal. Maghali juga konsisten untuk tetap memilih makanan
halal. Beruntungnya dia mendapatkan perhatian soal urusan makanan dari
orang-orang baru disekitarnya, dan mau memahaminya.
Modest fashion. Atau bisa juga disebut modest wear. Sekarang ini
banyak sekali fashion designer Indonesia yang khusus merancang hijab
melebarkan sayapnya ke mancanegara dan tak lupa menyelipkan kain
tradisional lokal. Sebut saja Dian Pelangi yang namanya kian naik daun.
Begitu juga dengan Maghali di buku ini, dia ingin menunjukkan bahwa
dengan pakaian serba tertutup bukan berarti kuno, bisa modis juga bisa
kok.
Pandangan Maghali untuk tidak terikat komitmen dengan lawan jenis
yang jelas-jelas bukan muhrimnya. Lagipula Maghali merasa belum
menemukan orang yang tepat.
Maghali tetap menjalankan puasa yang merupakan kewajiban umat Muslim
saat Ramadhan datang. Dan tidak mengganggu aktivitasnya yang padat.
Begitu juga dengan lebaran di negeri seberang yang artinya tidak
seramai di Indonesia. Maghali merayakannya secara suka cita meski
sederhana dengan mengundang beberapa temannya, itu pun sudah membuatnya
bahagia.
Sebagai umat muslim, tidak membeda-bedakan dalam berteman. Maghali
berteman dengan Kai yang memilih tidak memiliki agama. Maghali juga
berteman, bahkan menolong Isabelle yang terlibat skandal cinta sejenis.
Ini yang paling penting, menunjukkan bahwa Islam tidak sama dengan
teroris. Mewujudkannya dengan perbuatan bahwa muslim adalah cinta damai,
yang nantinya dapat melunturkan islamphobia yang dialami warga Eropa,
seperti buku ini. Maghali meski sederhana, berusaha membuktikannya.
“Aku percaya, dengan tetap bersikap baik, suatu saat mereka
sadar, Islam yang sebenarnya membawa damai dan kebaikan. Teroris itu
kriminal, nggak ada hubungannya dengan agama.” (hlm. 19)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Suami istri memang punya hak istimewa satu sama lain. (hlm. 27)
Apa pun yang kamu rasakan, jujurlah pada perasaanmu. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan keterpaksaan. (hlm. 75)
Hidup ini sesungguhnya indah, andaikan semua orang sebahagia ini,
bebas dari rasa benci dan saling curiga, meluapkan rasa ingin berbagi
kasih. (hlm. 103)
Kamu bebas mengembangkan kariermu menjadi apa saja. (hlm. 177)
Berbuat baik bisa di mana saja. Di mana pun pasti akan ada orang-orang yang membutuhkan bantuan sukarelawan.(hlm. 223)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
Generasi tua punya hak untu memilih cara hidup yang paling nyaman dibuatnya. (hlm. 8)
Untuk menjadi pribadi yang bahagia, tidak harus memiliki suami dan anak. (hlm. 12)
Perempuan mana yang tak akan meleleh jika dihadapannya berdiri sosok
laki-laki tinggi tegap, tampan, cerdas, dan ahli memasak? (hlm. 56)
Tidak ada yang melarangku makan daging apa pun. Tuhan pun tidak melarangnya. (hlm. 57)
Cinta tak seharusnya salah arah. (hlm. 62)
Bagaimana bisa dua gadis dengan fisik nyaris sempurna saling menyukai? (hlm. 66)
Seenak-enaknya di negeri orang, tetap lebih menyenangkan di negeri sendiri. (hlm. 85)
Lain kali berhati-hatilah. Jangan pergi malam-malam sendirian. (hlm. 101)
Apa salahnya punya ibu sakit jiwa? Itu bukan kesalahan. Itu kekurangan yang harusnya mendapat simpati kita. (hlm. 135)
Kamu bukan model, nggak perlu menahan lapar berlebihan. Kamu butuh banyak sumber energi. (hlm. 154)
Jangan terlalu lama berhubungan dekat dengan seorang laki-laki tanpa ada kejelasan. (hlm. 202)
Kalau nggak ada dokter yang mau dengan sukarela ditugaskan di
pedalaman, siapa yang akan mengobati mereka saat mereka sakit? (hlm.
216)
Beranikah kamu bilang, menyukaiku juga tanpa ada keragu-raguan? (hlm. 224)
Teruslah jadi yang terbaik. Apa pun hasil kalian terima hari ini,
teruslah berjuang dan jadi bintang yang paling terang digelapnya malam.
(hlm. 7)
Hari ini bukanlah akhir dari perjuangan kalian. Ini adalah awal perjuangan untuk sesuatu yang lebih besar. (hlm. 7)
Pedang menjadi tajam dan mampu membelah batang pohon karena ditempa
terus-terusan dalam panas. Begi pula kalian. Hasil apa pun yang akan
kalian terima hari ini, adalah dari tempaan yang akan kalian lalui
sebelum menjadi pedang dan mampu membelah ujian apa pun yang Tuhan
berikan. (hlm. 7)
Angkat dagumu, katakan pada dunia bahwa kamu benar, kalau tidak orang jahat akan senang menunjukkan kalau kita kalah. (hlm. 51)
Kadang-kadang, kebenaran itu relatif. Pada suatu titik, kamu mungkin
mendapati sesuatu yang lebih tepat lagi untuk dipertimbangkan. (hlm.
51)
Dengan bekerja keras siang dan malam, kamu akan memecahkan masalah,
dan pemecahannya bisa membawa kebaikan bagi kekhidupan orang lain. (hlm.
51)
Upaya apa pun yang telah kita lakukan dan pencapaian apa pun yang
kita peroleh, itu seharusnya membawa kebaikan sepanjang hidup, maupun
setelah kematian. (hlm. 52)
Orang paling cerdas adalah dia yang paling sering mengingat kematian. (hlm. 54)
Dengan mengingat kematian, tentunya kita akan melakukan apa pun untuk mempersiapkannya. (hlm. 54)
Segala macam usaha yang baik akan kita lakukan demi jaminan di akhirat kelak. (hlm. 54)
Jadilan kegagalan sahabat setiamu. Bukan berarti kamu harus selalu
gagal, namun ketika kegagalan datang, sambutlah ia sebagai sahabat.
Mengapa? Karena kegagalan adalah cermin yang mengingatkan kita untuk
berusaha lebih baik. Tanpa cermin itu kita tidak bisa melihat diri
sendiri, tidak bisa mengevaluasi diri. (hlm. 66)
Kegagalan adalah sebuah kepastian sebelum kesuksesan. Bahwa
kegagalan seharusnya disambut sebagai sahabat dan bukan sesuatu yang
menakutkan, apalagi akhir dari sebuah petualangan. (hlm. 67)
Di balik kesulitan yang terbatas, ada banyak kemudahan dari Tuhan. (hlm. 67)
Sebuah pertandingan adalah replika kerja keras pantang menyerah demi
tercapai puncak idaman. Ia adalah proses, memenangkan proses itu
sendiri lebih dahsyat daripada memenangkan skor pertandingan. (hlm. 98)
Hidup bentuknya seperti jalanan lurus, naik dan turun, berbelok ke
kanan kemudian sedikit ke kiri, atau barangkali harus sebentar berhenti
untuk rehat sekejap. Hidup tidak selalu penuh kembang berwarna, juga
tidak selalu tertawa bahagia. Hidup adalah kumpulan episode, rangkaian
cerita tentang perjalanan kita yang penuh suka dan cita. Kadang tangis
dan sedih melanda untuk membuatmu lebih kuat dari yang sebelumnya.
Lihat, hari yang telah lalu, lambaikan dan katakan salam perpisahan.
(hlm. 99)
Pelajaran hidup yang tak ternilai, hadiah bagi para pejuang yang yang pantang kembali sebelum mencapai puncak idaman. (hlm. 135)
Nalar manusia terkadang takkan mampu menguraikan rasionalitas di
balik takdir yang Tuhan tetapkan. Kadang kita hanya perlu rela tanpa
banyak tanya. (hlm. 139)
Selalu masih ada kesempatan untuk orang-orang yang mengikuti kata hatinya. (hlm. 177)
Manusia yang beranjak dewasa, suatu saat punya rasa kepada orang lain. (hlm. 187)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Di mana keadilan? Bukankah belajar adalah proses panjang, bukan
sesuatu yang dinilai dari satu atau dua jam ujian saja? (hlm. 10)
Pencopet jelas melakukan hal yang salah, mengambil paksa apa yang
bukan miliknya. Namun memukulinya tanpa ampun karena perbuatannya itu,
juga tidak benar. (hlm. 21)
Jangan berkawan dengan prasangka burukmu. (hlm. 30)
Jangan takut gagal, kecuali kalau kamu takut sukses. Apalagi hanya
soal ujian. Sejarah mengatakan, orang-orang sukses selalu jatuh bangun
dahulu sebelum mencapai puncak idaman. Itu seperti dari rumus
Tuhan.(hlm. 66)
Kegagalanmu dalam ujian adalah satu kegagalan saja. Di baliknya, Tuhan sudah menyiapkan kemudahan-kemudahan. (hlm. 66)
Hidup adalah proses, bukan sekedar sepintas kejadian! (hlm. 207)
Kesepian adalah kutukan bagi seorang petualang. Kesendirian adalah hantu bagi seorang asing. (hlm. 213)
Perempuan bukanlah mahluk lemah, sebaliknya, ia kuat dan mampu bertahan bagai karang di tengah ombak kehidupan. (hlm. 243)
“Masa depan yang kalian bayangkan, hanya setengahnya yang berupa
kenyataan. Setengahnya berupa kekhawatiran dan harapan kita. Namun, kita
tidak tahu mana yang nyata, yang mana yang hanya harapan. Alangkah
lebih baiknya jika kita tidak mengetahui masa depan agar hidup lebih
bermakna.” (hlm. 127)
“Hal apa pun yang mengganjalmu selama ini. Bukalah dengan rasa ingin
tahumu yang kuat. Berpikirlah dengan ‘gairah’. Kemudian, gabungkanlah
kedua rasa yang sama untuk memecahkannya!” (hlm. 23)
“Ruangan ini tempat direkamnya segala peristiwa di masa lalu dan di
masa depan. Dua tombol itu, tekan tombol merah untuk masa lalu dan
tombol biru untuk masa depan.” (hlm. 43)
“Sebelumnya akan aku peringatkan sekali lagi. Jika di masa lalu,
kalian tidak boleh bertindak ceroboh yang dapat mengubah masa lalu. Maka
di masa depan, kalian juga harus berhati-hati. Jangan pula melakukan
hal ceroboh yang berdampak pada masa depan kalian sendiri, mengerti?”
Dua Cerita dari Si Tuan Pengen Tahu Kepada Si Taun Resep ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Halo Kawan, apa kabarmu? Aku sih baik-baik saja. Semoga kau juga
begitu. Berapa tahun kita tak jumpa. Barangkali sebelas atau tiga belas
tahun. Tak pasti. Yang jelas, sejak perpisahan itu, kita seperti mencari
jalan sendiri-sendiri. Kau ke utara. Aku ke selatan. Kau ingin
mendalami ilmu masak-memasak. Aku menekuni ilmu ramal-meramal. Dan
kabarnya, kau kini telah berhasil jadi juru masak yang top. Sekaliber
master ya? Hmm, betapa hebatnya dirimu. Ingin sekali aku mencicipi
masakanmu itu. Yang kabarnya juga, penuh aroma rempah dan rasa yang
menggigit.
Sebaliknya, Kawan, aku justru gagal jadi tukang ramal. Meski itu
tukang ramal sekaliber marmut. Sebab, ternyata, selama di selatan, aku
tak ketemu guru peramal seorang pun. Yang aku temui justru guru-guru
pencerita. Guru-guru yang melihat bunga tak sekadar bunga. Tapi bisa
juga simbol gadis atau kelaraan. Jadinya, di selatan, aku pun tak sempat
belajar ilmu ramal-meramal. Ilmu yang sejak kecil aku mimpikan. Sebab
dengan ilmu itu, aku menganggap, akan gampang meramal kapan seseorang
akan naik derajat. Dan kapan pula sebaliknya, nyungsep.
Kawan, lewat ini, aku kirimkan dua ceritaku padamu. Dua cerita hasil
belajarku di selatan. Tapi dua cerita ini belum aku perlihatkan pada
guru-guruku. Terus terang saja, aku malu. Sebab, merasa, dua ceritaku
ini masihlah cerita-ceritaan. Belum cerita yang sejati. Cerita yang
memang muncul dari lubuk yang terdalam. Dan cerita, (yang meski simbol),
apabila berbeda dengan tingkah penulisnya, akan balik melawan. Tapi,
ya, sudahlah, kita lupakan itu semua. Yang pasti, aku kirimkan dua
ceritaku ini. Dua cerita yang mungkin akan membuatmu terkenang pada
hal-hal yang pernah kita alami dulu. Sewaktu aku memanggilmu Si Tuan
Resep. Dan kau memanggilku Si Tuan Pengen Tahu. Selamat membaca. Salam. Air Mata Warna-Warni
Apa arti sebuah cerita bagiku? Itu adalah pertanyaan yang aku
pikirkan. Tetapi tak dapat aku jawab. Sebab, setiap ingin menjawab, aku
selalu teringat pada masa kecilku. Sekitar tujuh tahunan. Pada masa
ketika ada seorang ibu yang selalu membuntutiku ke mana saja. Apa itu di
alun-alun, di kampung sebelah, atau bermain kelereng. Dan ibu itu, yang
aku panggil dengan nama Mak Ca, adalah pengasuhku. Pengasuh yang sayang
padaku. Pengasuh, yang meski tidak punya hubungan darah dengan
keluargaku, tapi rasa sayangnya padaku tak terukur. Pengasuh, yang
sebelum meninggal, masih sempat membelikan aku sebungkus nasi campur
kesukaanku. Nasi campur dari warung pojok pecinan yang sangat terkenal
dengan kelezatan acarnya.
Lewat Mak Ca, yang setiap malam, aku tidur di sisinya di kamar
belakang, kerap mendengar sekian dongengnya. Ada Jaka Kendil, Pangeran
Manuk, sampai pada dongeng yang aku pesan sendiri. Anehnya, di antara
keremangan lampu, dan di antara suaranya yang pelan itu, aku seperti
membayangkan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang terus aku bawa sampai
kini. Yaitu, sebuah dunia yang gampang untuk diluweskan. Dalam arti,
mungkin kali ini cerita tokoh A kalah. Tapi besoknya malah menang. Dan
ada obat sakti yang mampu menjadikan si buruk rupa jadi tampan, dst,
dst, dst. Jadinya, segalanya pun bisa terjadi, atau gagal sama sekali.
Atau malah akan ada tokoh lain yang nyelonong.
Dan suatu hari, ketika Mak Ca diminta ayahku ke Surabaya, aku diajak
serta. Kami berdua naik oplet yang berwarna hijau. Ongkosnya masih
sekitar 25 rupiah. Sesampai di Surabaya (tepatnya di daerah Praban), aku
melihat sebuah toko komik. Komik-komik yang dipajang begitu banyak.
Kover-kovernya pun menyala dan bagus-bagus. Oleh Mak Ca, aku dibelikan
dua buah komik. Harganya per komik 125 rupiah. Jika tak salah, komik itu
bercerita tentang sekuel Labah-Labah Merah karya Kus Bram. Dan di
sekuel itu, aku bisa melihat gambar-gambar yang menggetarkan.
Gambar-gambar tentang kefantastisan sebuah perjuangan, misalnya:
perjuangan Labah-Labah Merah melawan Manusia Kadal, atau Labah-Labah
Merah melawan Manusia Kelelawar.
Nah, atas dua pengalaman masa kecil itu (dongeng Mak Ca dan komik),
maka aku pun (mungkin) dapat menulis cerita. Dan karena, apa-apa yang
aku rasakan sejak kecil adalah sebuah cerita yang gampang diluweskan,
juga menggetarkan, dan fantastis, maka jangan heran jika di hampir semua
cerita yang aku tulis pun begitu. Yang kata teman-teman (yang setelah
membacanya), tak masuk akal, semau gue, dan jungkir-balik. Ha ha ha, aku
cuma tersenyum mendengarnya. Yang jelas, ketika kata pertama aku pilih,
maka cerita yang akan aku rajut, adalah cerita yang tak bisa aku
bohongi. Seperti cermin yang menegak di hadapanku. Selalu menampilkan
balik apa-apa yang ada di diriku. Apakah itu yang kelihatan nyata. Atau
yang tersembunyi di lipatan diri yang paling dalam.
Akhirnya, sekali lagi, izinkan aku mengingat Mak Ca. Terutama pada
kalimat yang pernah diucapkannya ketika sakit keras, bahwa dia tak mau
meninggal. Sebelum melihat aku menikah dan punya anak. Dan memang, apa
yang dikatakan itu terwujud. Mak Ca pun sembuh dari sakitnya. Dan sekian
puluh tahun kemudian, setelah aku menikah dan punya anak pertama,
barulah Mak Ca meninggal. Meninggal dengan masih sempat membelikan
sebungkus nasi campur kesukaanku. Nasi campur yang dalam tatapanku saat
itu, seperti sebungkus dunia yang gaib. Yang ketika aku buka, pun
berlompatan apa-apa yang ada di dalamnya. Apa-apa yang tak pernah bisa
tamat. Dan apa-apa yang membuatku cuma bisa menangis. Tangisan yang
berair-mata warna-warni. Kau Mendirikan Rumah
Kau mendirikan rumah. Aku mendirikan rumah. Rumahmu dan rumahku
berhadapan. Seperti sepasang kekasih yang saling menatap. Dan sesekali
merajuk dan melengos. Lumrah. Pintu dan jendela rumahmu terbuka. Begitu
juga pintu dan jendela rumahku. Dan dari sana aku kerap mengintip
dirimu? Apa kau memasak, membaca, atau memasang foto? Sayangnya tak
jelas.
Dan pernah di suatu pagi rumahmu terkunci. Lampunya mati sejak malam.
Guguran daun dan sampah bertebaran. Kenapa tak kau sapu? Apa kau sakit
atau bepergian? Rasa cemasku menebal. Aku, ya, aku, begitu liar
menggambarkan setiap depa dirimu. Dirimu yang diam-diam ingin aku
masukkan ke kotak kaca. Aku pajang di beranda rumahku. Lampunya aku
biarkan kedap-kedip.
Dan aku memutarinya sambil menebak. Tentang waktu mendatang. Waktu
aku sudah tua. Dan gagal menulis hikayat kenangan. Kenangan tentang
kita. Juga tentang rumahmu dan rumahku. Yang kerap membuat aku
menceburkan kepala sendiri ke bak mandi. Agar dapat melepaskan semua hal
yang ada tentangnya. Sebab nanti, pastilah, akan ada yang menjadi
perhitungan yang tak meleset.
Perhitungan yang tak meleset? Perhitungan apa ini? Kata orang, itulah
yang kelak akan menghadang kita di hari pembalasan. Sekaligus menguak
sendi yang ada di diri kita. Terus ditanya: “Apa tanganmu pernah
mencuri. Apa matamu pernah berbohong. Apa kakimu pernah menginjak. Apa
dagingmu pernah beracun. Apa lidahmu pernah bermain?” Sampai habis.
Sampai kita tinggal nama. Nama yang sebenarnya.
“Tapi, siapa namamu yang sebenarnya?” Dan itu pernah aku tanyakan
padamu. Yang saat itu aku lihat sedang sibuk di genting rumahmu. Kau
menyahut. Tapi tak jelas. Menyahut lagi. Tak jelas lagi. Lalu kau
melengos. Meneruskan kesibukanmu. Aku merajuk sekaligus menggeleng.
Waktu itu, aku melihat ada selengkung pelangi mengitari badanmu. Pelangi
yang menyala. Pelangi yang lentur. Yang bergerak secergas ular.
Kadang menegak. Lalu menjulur. Terus membebat. Menegak lagi. Menjulur
lagi. Membebat lagi. Dan kembali melengkung seperti sediakala. Tapi kau
tetap saja sibuk. Seperti tak merasa apa-apa. Malamnya, dari buku
peninggalan kakekku, aku membaca, bahwa jika ada orang (laki-laki atau
wanita), yang badannya dikitari selengkung pelangi, pertanda orang itu
adalah insan dari sorga.
Astaga! Apakah kau memang insan dari sorga? Aku tak berani menjawab.
Aku hanya menyimpan pertanyaan itu di dalam dada. Dan di dada itu,
biarlah berdenyut. Seperti denyut si makhluk lembut. Si makhluk lembut
yang melungker. Si makhluk lembut yang hidupnya cuma menunggu. Menunggu
kedatangan si ksatria yang dipuja. Yang akan menciumnya. Terus
membawanya ke negeri yang terimpikan. Aneh.
Dan keanehan pun memuncak. Ketika di suatu malam, aku melihat sebelas
bayangan hitam bergentayangan di atas rumahmu. Sebelas bayangan hitam
bersayap dan bersenjata lengkap.
“Ini rumahnya?”
“Benar.”
“Yang telah menewaskan teman kita?”
“Benar.”
“Ayo, kita libas!”
Dan menyerbulah sebelas bayangan hitam itu ke dalam rumahmu. Menyerbu
dengan gesit dan terlatih. Suara letusan, teriakan, dan tubuh jatuh
bersilangan. Aku ingin keluar dan membantumu. Tapi, kakiku terasa kaku.
Sejurus kemudian, aku melihat sebelas gumpalan api melesat dari
rumahmu. Melesat dengan teriakan panjang. Terus ke langit. Dan meledak
jadi sebelas bintang yang baru. Dan aku gemetar. Aku tak yakin dengan
yang aku lihat. Tapi sebelas bintang yang baru itu demikian terang.
Pasti jika ada peneropong yang melihatnya, segera mencatat sebagai
temuan bintang baru yang mendebarkan.
Lalu, paginya, aku melihatmu kembali menyapu halaman rumahmu. Kali
ini, rasanya gerakan tanganmu demikian enteng. Dan juga baru aku tahu,
jika kakimu tak lagi menjejak. Tapi mengambang. Mengambang sejengkal di
atas tanah. Tak ada keringat. Tak ada bayangan dari badanmu. Semuanya
tampak indah.
Sampai kemudian kau melirik padaku. Lirikan yang bukan milik
laki-laki atau wanita. Tapi tetap membuat aku terpesona. Apalagi,
selengkung pelangi yang mengitari badanmu tetap lentur. Dan tetap
bergerak secergas ular. Dan, akh, tiba-tiba selengkung pelangimu itu
melesat ke arahku. Aku tergeragap. Tapi terlambat. Aku dibebat olehnya.
Dibebat sampai megap-megap. Dan rasanya aku masuk ke kedalaman.
Kedalaman warna-warni. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku masih
berbentuk, atau sudah terurai?
Yang pasti, aku merasa tak lagi ingin apa-apa. Dan semua yang aku
pegang pun ingin dilepas. Lepas, lepas, dan lepas. Dan aku yakin:
“Dengan terlepasnya semua yang terpegang, aku pasti akan kembali ke
sediakala. Untuk kemudian menceburkan kepala sendiri ke bak mandi.” Hmm,
hari berlalu. Minggu pun berganti. Dan ternyata kita tetap seperti
biasa. Dan rumahmu tetap di tempatnya. Rumahku juga begitu. Berhadapan.
Seperti sepasang kekasih yang saling tatap. Yang sesekali merajuk dan
melengos. Lumrah. (*)
(Gresik, 2017)
Mardi Luhung lahir di
Gresik, 5 Maret 1965. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media. Tahun 2010
mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award. Buku cerpen
pertamanya: Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).
Perempuan yang Memegang Tali Anjing ilustrasi Yuswantoro Adi/Kompas
Perempuan itu selalu datang bersama seekor anjing pudel ke toko buku
yang hanya buka pada hari Minggu. Ia menambatkan tali anjing di sebuah
tiang besi di halaman toko, berbicara sebentar kepada pudel berbulu krem
kesayangannya—lebih banyak tentang larangan yang harus dipatuhi si
pudel—sebelum ia masuk dan mencari buku yang akan dibacanya selama dua
jam. Toko buku itu memang menyediakan buku-buku yang boleh dibaca oleh
pengunjung. Pemiliknya sudah tentu orang yang murah hati atau—jika itu
tidak berkaitan dengan kemurahan hati, mungkin saja ia sengaja membuka
toko itu agar ada orang-orang yang mengunjunginya di akhir pekan dan
membuatnya tidak kesepian. Pemilik toko buku, lelaki berusia 60-an tahun
dan telah lama hidup sendirian. Perempuan yang selalu datang bersama
anjing pudel—ia pelanggan tetap toko itu—tidak pernah berbicara dengan
lelaki pemilik toko, sebab ia ke sana memang hanya untuk membaca buku
dan itu membuatnya belum sekali pun pergi ke meja kasir tempat si
pemilik toko menghabiskan waktunya sambil mencermati berita di beberapa
surat kabar.
Pengunjung toko buku itu tidak terlalu banyak. Itu cukup
menguntungkan untuk perempuan yang selalu datang bersama anjing
pudelnya. Ia memang sudah lama meninggalkan kehidupan yang ramai dan tak
pernah ke mana-mana selain membawa anjingnya keluar untuk jalan-jalan,
sampai ia menemukan toko buku itu. Ia sangat senang bila mengunjungi
toko buku di Minggu pagi dan belum ada satu pengunjung pun yang datang
selain dirinya. Setelah memilih buku-buku yang akan dibacanya, ia
mencari tempat duduk di pojokan dan dari sana ia bisa mengawasi
anjingnya lewat kaca bening tembus pandang. Bila dilihatnya anjing itu
sedikit gelisah, ia berkata dengan gerakan bibirnya, “Tenang ya, tidak
akan ada yang mengganggumu di sana.”
Umur perempuan itu sekitar 40 tahun, memiliki pipi lebar dan
bintik-bintik coklat menumpuk di sekitar hidung akibat pengaruh buruk
matahari selama bertahun-tahun dan ketidaksukaannya mengenakan krim
pelindung kulit. Masel, demikian ia menyebut dirinya ketika ia sesekali
bergumam saat menemukan hal-hal menarik dari buku yang dibacanya.
Hi-hi-hi, ini lucu sekali, Masel! Oh, tidak, Masel, kau tidak boleh
berpikir ingin memelihara kelinci yang memiliki telinga kelewat panjang
(ia pun mengetuk-ngetuk batok kepala dengan salah satu jarinya).
Perempuan itu hanya membaca buku anak-anak—kebanyakan majalah atau buku
cerita bergambar. Buku-buku yang membuat wajahnya seketika mengeluarkan
warna kanak-kanak yang kental; kepolosan seorang bocah dan
ketidakpedulian akan apa pun selain kepada dunianya sendiri.
Masel, kau tidak ingin turun sarapan?
Kau harus keluar dari kamarmu, Masel.
Masel, bunga krokot pagi ini begitu merah.
Kau tidak boleh melewatkan warna langit yang biru ini, Masel.
Masel, aku pasti akan membuat dadaku terbelah dan aku berdarah, jika kau terus keras kepala.
Masel, sini, jangan takut kepadaku.
Masel, tolong cintai aku!
Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya. Ia melepaskan buku di
tangannya dan terdiam sebentar. Di luar, anjingnya bermain-main dengan
sebuah kotak. Anjing itu tidak pernah terlalu menyusahkannya. “Anjing
baik,” desahnya dan tersenyum. Pemilik toko buku diam-diam memperhatikan
dari tempat ia duduk, tapi perempuan itu sama sekali tidak tahu. Sama
seperti perempuan itu tak tahu kalau pudel yang selalu dibawanya itu
sebenarnya sudah lama tiada. Perempuan itu betul-betul lupa jika suatu
hari ia menemukan pudel itu sudah menjelma boneka dengan kepala terkulai
di gudang rumah dan lelaki itu berbisik di belakang telinganya, “Masel,
ini kejutan untukmu.”
***
Minggu pagi ini, perempuan itu kembali datang ke toko buku yang baru
saja dibuka dan kacanya masih lembap sehabis dibersihkan oleh petugas.
Ia memegang tali anjing seperti biasa dan segera berjongkok untuk
menambatkannya ke sebuah tiang besi di halaman toko. Dari dalam, pemilik
toko mengamati apa yang dilakukan perempuan itu. Pemilik toko mengenal
wajah orang yang biasa datang ke tempatnya—terlebih yang menjadi
pelanggan tetap. Ia sudah menganggap mereka teman dekat meski mereka tak
pernah berbicara panjang atau sama sekali tak bertegur sapa sebagaimana
ia dan perempuan itu. Untuk itu, pemilik toko merasa risau saat melihat
tamunya itu berjongkok dan mengikatkan tali anjing ke sebuah tiang
besi, sementara ia tak melihat seekor anjing bersama perempuan itu.
Begitu berdiri kembali, perempuan berambut pendek itu menepuk-nepukkan
kedua tangannya pelan seolah sedang membuang debu yang menempel, lalu
meninggalkan tali anjingnya dan cepat-cepat masuk ke dalam toko buku.
Di dalam toko, perempuan itu langsung menuju rak yang biasa ia
kunjungi. Deretan komik, ensiklopedia berbagai bidang ilmu pengetahuan,
cerita bergambar, fabel, novel anak terjemahan, berbagai jenis majalah
anak, tertata dengan baik (setiap toko akan ditutup, pemiliknya
menugaskan seorang pekerja untuk merapikan semuanya). Ia memilih satu
cerita anak terjemahan The BFG: Raksasa Besar yang Baik Hati
karangan Roald Dahl, buku dongeng Nusantara bergambar, sejumlah majalah
National Geographic Kids, dan menuju pojok tempat biasa ia membaca.
Pudel kesayangannya bermain di halaman. Pudel itu sedikit ribut dan
banyak menggeram. Ia berkata dengan gerakan bibirnya, “Ingat ya, jangan
nakal, aku mengawasimu.” Anjing itu berhenti menggeram, tapi tetap
berputar-putar mengelilingi tiang dan membuat perempuan itu merasa perlu
menambah latihan soal kedisiplinan agar anjingnya dapat tetap tenang
ketika dibawa ke tempat umum.
Masel, kau tidak boleh keluar rumah lagi, ingat itu.
Kau tidak disiplin, Masel!
Aku akan mati kalau kau sampai terlambat pulang, Masel.
Masel, kau satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.
Kau mencintaiku, Masel?
Masel, bulannya indah sekali, lihat sini.
Masel, aku tidak suka kau diam saja.
Masel, kau tidak makan lagi seperti kemarin?
Kau ingin melihat dadaku benar-benar terbelah, Masel dan aku berdarah?
Lihatlah nanti, Masel!
Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya sambil memandangi pudel
yang sekarang tak lagi berputar-putar. Ia berpikir ulang untuk memberi
latihan yang lebih keras untuk pudel. Mestinya tidak apa-apa jika pudel
sedikit nakal dan bebas. Ia senang bebas. Pudel pun harusnya begitu.
Lepaskan aku. Apa, Masel? Aku tidak bisa bersamamu lagi. Jangan
mengada-ada, Masel! Kau gila! Aku mencintaimu, Masel. Sudah cukup.
Tidak, Masel, kau tetap akan di sini sampai aku mati. Tapi kau sudah
lama mati. Tidak, Masel, aku tetap hidup dalam dirimu.
Perempuan itu buru-buru membuka majalah yang mengulas soal binatang
dan kekhasannya. Ia ingin segera membuat wajahnya kembali berwarna
kanak-kanak dan ia tak perlu mengingat apa-apa. Ia tahu hanya kembali ke
dunia kanak-kanak ia bisa selamat dari keruntuhan moral yang
menggerogotinya, membuatnya melupakan apa saja yang telah terjadi,
menjauhkannya dari ingatan tentang hari-hari ketika ia menyaksikan
lelaki itu mengiris-iris kulit lengan, membenturkan kepala ke dinding,
memukul tembok dan punggung tangan bonyok, hingga membelah dadanya
sendiri di puncak ketidakwarasannya.
Ini caraku mencintaimu, Masel.
Ini caraku agar kau selalu mengingatku.
Ma-sel, perempuan itu bergumam resah. Ia ingin sekali bebas dari
namanya sendiri. Nama yang bergetar begitu saja dari bibirnya. Nama yang
membuatnya tak pernah benar-benar bebas dari lelaki itu setelah sepuluh
tahun kematiannya. Ah, Ma-sel! Perempuan itu menggetap gerahamnya. Pagi
itu, ia baru saja terbangun dan di depannya lelaki itu berdiri dengan
dada yang terbelah dan berdarah dan menggumamkan namanya terus-menerus:
Masel, Ma-sel, Ma-sel…. Ma-sel.
Ma-sel, perempuan itu kembali bergumam dan berusaha menancapkan
matanya ke majalah yang ia bentangkan lebar-lebar dan berucap, ini
gambar panda, Masel. Hi-hi-hi, lucu sekali ya, panda ini bisa berdiri
dengan tangannya di bawah dan kaki di atas. Ia tak henti-henti bicara
kepada dirinya sendiri. Ia tak henti-henti tertawa.
***
Toko buku belum dibuka saat perempuan yang memegang tali anjing
berdiri di depannya. Perempuan itu tetap berdiri selama setengah jam. Ia
meremas-remas tali di genggamannya atau menekan jari-jari kakinya ke
tanah. Satu jam berlalu, tak satu orang petugas pun yang keluar untuk
mulai membereskan segala sesuatu. Dua jam berlalu, perempuan itu tahu
kalau toko buku tak akan dibuka pada hari Minggu ini, tapi ia tetap saja
berdiri di sana dan menunggu, sebab ia tak memiliki tempat lain yang ia
tuju selain toko buku itu.
Dari jendela lantai dua rumahnya, lelaki pemilik toko memperhatikan
perempuan yang berdiri menghadap toko bukunya dan, seperti biasa,
pelanggan yang dikenalnya itu memegang sebuah tali seakan-akan ia datang
bersama seekor anjing. Pemilik toko ingin sekali memberi tahu kalau
toko bukunya tidak akan pernah dibuka lagi pada hari Minggu karena ia
telah merencanakan perjalanan panjang ke sejumlah negara selama satu
tahun penuh dan meminta perempuan itu pulang saja. Namun, sebelum
pemilik toko itu beranjak untuk menemui perempuan itu, di tepi jalan, ia
melihat seorang anak kecil menarik-narik lengan ibunya sambil sebelah
tangannya menunjuk ke arah perempuan yang sedang berdiri memegang tali
anjing.
“Mama, lihat, ada anjing pudel.”
“Wah, ya, anjing itu pasti terlepas dari pemiliknya.”
Mereka mendekati anjing yang di lehernya dipasangi tali dan mengelus-elus bulunya.
“Kita bawa pulang, Ma?”
“Tidak, Masel, kita tunggu pemiliknya datang.”
Yetti A.KA, lahir dan besar di Bengkulu.
Tulisannya, berupa cerita pendek, puisi, dan artikel pernah dimuat di
beberapa media massa nasional. Buku kumpulan cerita pendek tunggal yang
telah terbit; NUMI (2004), Musim yang Menggugurkan Daun (2010), Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Kinoli (2012), Satu Hari yang Ingin Kuingat (2014), Penjual Bunga Bersyal Merah (2016), Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016). Novel Cinta Tak Bersyarat (2015) dan Peri Kopi (2017). Penerima Anugerah Kebudayaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2004 atas cerpen Musim yang Menggugurkan Daun. Kumpulan Cerpen Kinoli (2012) masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award, 2013, kategori prosa.
Burung-Burung Membangun Masjid ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Gaduh penolakan meledak seperti bom di tengah ruang an rapat itu.
Malam itu Kampung Karanongko mengadakan musyawarah pembangunan masjid.
Sudah lama memang Kampung Karangnongko memimpikan tempat ibadah yang
lebih luas dan layak, bangunan indah tempat berdoa secara khusyuk dan
berharap bertemu segala kebaikan. Kini cita-cita itu akan lekas
terwujudkan, mengingat tempat ibadah yang acap mereka gunakan sebelumnya
hanyalah mushala kecil. Itu pun milik tetangga kampung. Dan mereka
harus menyeberangi sungai terjal serta licin terlebih dahulu. Belum lagi
apabila air sedang naik, mereka harus berpikir dua kali untuk
mengunjunginya.
Setelah mimpi indah untuk membangun masjid sudah di depan mata,
mereka malah mendebatkan sesuatu yang tidak penting. Di ruang rapat itu
mereka saling tikam kata, menghujat kalimat pedas. Hal- hal yang tidak
pantas seharusnya dikatakan dalam musyawarah pembangunan masjid,
menggelontor seperti deras air dari jamban pembuangan. Pekik orang-orang
tersulut emosi terus terdengar. Wajah-wajah merah dan pias melekat di
genangan air muka mereka. Perdebatan bahkan bertahan sampai satu jam
lebih. Hingga musyawarah tidak menghasilkan apa-apa.
“Saya tidak setuju kalau masjid kita dibangun di RT 07,” kata salah seorang warga.
Pokoknya harus dibangun di RT 08. Karena tempatnya yang lebih luas dan strategis.
Sanggahan juga dilayangkan oleh salah seorang warga RT 07. “Tidak
bisa seperti itu! Kau tak paham apa? Tanah RT 08 tidak cocok untuk
pembangunan. Mau masjid kita tiba-tiba roboh karena kesalahan teknis?
Tidak! Masjid itu harus dibangun di RT 07!”
Rapat malam itu secara garis besar memang terbagi menjadi dua: antara
RT 07 dan 08. Kampung K secara geografis cukup luas. Kampung K memiliki
dua wilayah otonom yang melingkupi dua daerah. Karena hal inilah
mungkin rapat pembangunan harus diadakan.
Semua warga dikumpulkan di balai desa mencari pemecah masalah dari
pembangunan masjid tersebut. Namun, bukan solusi masalah yang mereka
dapatkan. Mereka malah menambah runyam keadaan dengan perdebatan. Dua
belah pihak masing-masing kukuh menginginkan masjid tersebut dibangun di
daerah mereka.
Perdebatan terus terjadi. Sepanjang sore hingga larut malam, warga
kampung masih mendebatkan hal yang sama. Sampai kemudian seorang kepala
desa, yang memang sengaja didatangkan untuk menengahi silang pendapat,
mengambil solusi. Kepala desa menyuruh warganya mengambil suara
terbanyak. Semacam pemilihan kecil di mana nanti masjid tersebut akan
dibangun. Begitulah. Seperti solusi yang diusulkan oleh kepala desa,
satu per satu warga mengambil suara. Tentu setiap warga akan lebih
mengutamakan daerahnya masing-masing. Namun, tidak menutup kemungkinan
ada satu atau dua orang warga yang menghendaki masjid itu untuk dibangun
di tempat lain.
Setelah beberapa saat berlalu, hasil pemilihan suara dapat
dikumpulkan. Kepala desalah yang menghitung hasil pemilihan. Dengan
wajah pucat kepala desa menatap ke setiap warganya yang cemas. Hasilnya
memang di luar perkiraan. Hasil dari pemilihan seimbang. Kepala desa
kembali menyarankan untuk mengambil suara. Dan sekali lagi hasilnya
sama. Sampai empat kali pengambilan suara, hasilnya tidak berubah.
Kepala desa yang menangani masalah ini lantas geleng kepala.
“Sepertinya Tuhan menyuruh kita untuk memecahkan masalah ini dengan
kepala dingin. Musyawarah ini harus menemukan hasil yang adil. Tapi
selalu saja ada hal aneh terjadi. Suara yang saya hitung selalu
jumlahnya sama,” kata kepala desa.
Kejadian ini tidak masuk akal. Secara kebetulan hasil suara selalu
sama; seolah jumlah warga di kampung ini memiliki jumlah yang genap.
Namun, masalah mengenai ‘Di mana masjid ini akan dibangun?’ harus lekas
dipecahkan. Kepala desa menarik napas. Udara yang menggumpal di dadanya
diembuskan berat. Ia tatap larik demi larik wajah warganya. Dengan
sikap, yang mungkin, putus asa, ia melempar kalimat ke tengah warganya
yang masih menunggu solusi.
“Adakah di antara kalian yang ingin mengalah dan membiarkan masjid
itu dibangun pada salah satu kampung. Karena nanti pada akhirnya, masjid
ini kalianlah yang menggunakan,” ujar kepala desa lagi.
Perdebatan malah kembali terjadi. Bahkan, adu pukul hampir tumpah di
balai desa tersebut. Masing-masing warga Kampung Karangnongko kukuh
dengan pendiriannya, kalau masjid itu harus dibangun di tanah RT mereka.
Sampai kemudian, karena sudah kehabisan ide, kepala desa menyarankan
untuk membagi saja material dan uang yang telah dikumpulkan. Hal ini
disetujui. Dua RT itu lantas membagi dengan berusaha seadil mungkin
material barang dan uang yang telah terkumpul. Mereka memutuskan
membangun masjid sendiri di daerah masing-masing.
***
Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya pembangunan itu dilakukan.
Kini masing- masing warga Karangnongko mulai sibuk menata masjid yang
telah diimpikan. Mereka dengan giat dan gotong royong membangun masjid
tersebut. Mereka merancang dengan teliti, sembari menyesuaikan dengan
modal, pembangunan masjid tersebut. Pembangunan pun mulai berjalan di
kedua belah pihak. Namun di sela-sela pembangunan, masih saja muncul
gunjingan mengenai masjid yang sedang mereka bangun.
Seorang warga RT 07 menggunjing masjid yang akan dibangun RT 08.
“Masjid tetangga kita sepertinya akan lebih mewah dan besar dari milik
kita. Kita harus membuat masjid yang tak kalah besar, luas, dan indah
dari mereka.”
Arkian warga RT 07 berusaha membangun masjid yang lebih besar dari
tetangga mereka. Warga pun berusaha membangun dengan mengumpulkan uang
lebih banyak lagi dari warganya. Gotong royong setiap sore dan akhir
pekan semakin giat dilakukan. Karena melihat semangat warga RT 07,
masyarakat RT 08 merasa tersaingi. Mereka, penduduk RT 08, tidak terima
dengan pembangunan masjid RT 07 yang pesat. Bahkan, saat melihat
kerangka bangunan yang lebih besar, warga RT 08 seolah terbakar
kecemburuan.
“Kita tidak boleh kalah oleh warga kampung RT 07. Mereka tidak boleh memiliki masjid yang lebih baik dari kita.”
Persaingan terus terjadi. Bahkan, kini di benak warga berlangsung
perang dingin. Mereka tidak saling menyapa satu dengan lain. Anak-anak
mereka pun tidak boleh bermain dengan warga yang menjadi saingan.
Pembangunan masjid itu berjalan semakin parah ketika modal salah satu RT
habis. Mereka dengan curang mencuri material bangunan dari RT pesaing
masing- masing. Pertengkaran bertambah memanas dan acap kali menimbulkan
konflik pertengkaran yang tidak terhindarkan.
***
Sengit perasaan warga memang telah menimbulkan perpecahan. Hubungan
yang sebelumnya baik menjadi runyam. Bahkan ada seorang warga, RT 08,
yang akan menikahkan anaknya ke RT 07, batal karena persaingan
pembanguan masjid. Dan mungkin dari semua warga yang sedang berkepala
batu itu, hanya Karta seorang yang dapat berpikir jernih. Karta
merupakan salah seorang warga RT 07. Setiap sore, ketika membangun
masjid di daerahnya, Karta berusaha menjembatani hubungan dua RT agar
kembali akur. Namun, selalu saja penolakan yang didapatkan Karta.
Begitu juga, yang dilakukan Karta ketika berkunjung dan berusaha
menyambung silaturahim dengan tetangga satu kampungnya. Bukan tanggapan
baik yang Karta dapat.
Ia malah dianggap sebagai mata-mata RT 07. Bahkan, Karta nyaris dihajar
ramai-ramai karena kedatangannya ke RT 08. Karta tidak lelah mencoba
menghubungkan kembali tali persaudaraan yang sempat putus itu. Pun
dirinya yang mulai dikucilkan oleh warga sekitar rumahnya karena
dianggap berkhianat, tidak ambil pusing. Karta, di tengah segala
keterbatasan, akhirnya membuat rencana, yaitu mempertemukan ketua RT
masing- masing. Dan seperti yang telah direncanakan, dua RT tersebut
datang.
“Apa maksudmu menyuruhku datang ke sini! Lebih-lebih aku harus
bertemu orang yang tak mau mengalah seperti ketua RT 07!” kata ketua RT
08.
“Ehh, lihat! Siapa yang tak mau mengalah!” Balas ketua RT 07. “Karta, apa maksud semua ini!”
Karta yang merasa muak dengan persaingan dua RT satu kampung ini
menjelaskan maksudnya. Karta mengundang mereka dengan maksud jalur
damai. Namun, bukan tanggapan baik yang Karta dapat. Karta malah seperti
menuangkan minyak di tengah tungku api. Kemarahan dan kebencian dua
belah pihak semakin membara. Karta kebingungan dengan hal itu. Sampai
kemudian, ketika Karta menengadah kepala, melihat puluhan burung bangau
terbang melintasi kepala mereka. Karta menyuruh kedua RT tersebut
menengadah.
Ujar Karta. “Kalian tidak malu dengan burung-burung itu. Mereka
terlihat kompak dalam segala hal. Apa hati kalian tidak terketuk? Kita
manusia diciptakan dengan akal dan pikiran lebih dari mereka.”
Penjelasan Karta seperti angin lalu yang tidak mengubah apa pun.
***
Usaha yang dilakukan Karta tidak menghasilkan apa-apa. Persaingan
yang mendekam di hati masing-masing warga semakin hitam menggumpal.
Seperti mendung malam itu. Setelah mempertemukan dua pihak, Kampung
Karangnongko diterjang hujan deras sempajang malam. Petir tidak luput
hadir. Bahkan, banjir menggelogok deras menenggelamkan kampung. Sampai
pagi menyingkap tirai malam, masing-masing RT menyadari kalau masjid
yang mereka bangun roboh, rata dengan tanah.
***
Sore harinya, di tengah segala ke dukaan atas robohnya dua masjid
yang dibangun, hal aneh terjadi. Sekelompok burung bangau datang dalam
jumlah ribuan. Burung-burung bangau itu membuat bayangan gelap di atas
kampung. Sampai salah satu warga menyadari kalau burung-burung bangau
itu memunguti material bangunan dua masjid sebelumnya yang roboh.
“Burung-burung bangau itu membangun masjid! Lihat burung-burung itu!”
Semua warga berkumpul menyaksikan keajaiban itu, ketika satu per satu
batu disusun kembali dengan ajaib oleh burung- burung bangau. Pun
sembari memandang burung-burung bangau yang terlihat kompak itu, di
benak masing-masing warga terbetik rasa malu dan menyesal dengan apa
yang mereka lakukan.
RISDA NUR WIDIA. Pernah juara dua sayembara
menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), Nominator Sastra
Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia (2015). Nominator tiga besar buku sastra terbaik
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yogyakarta 2016. Buku kumpulan
cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.
Bulu Perkutut Majapahit ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Joko bercerita setengah berkelakar, bisa hidup sukses karena
menyimpan bulu perkutut majapahit. Bulu perkutut itu pemberian dari Pak
Tua, yang berdagang buku bekas keliling di kampus.
Kini, Joko kini memang telah jadi tokoh publik sejak novel trilogi karyanya menjadi best seller. Joko, dengan nama pena Andrea El-Shirazy, tak hanya populer. Dia termasuk salah seorang dari 1.000 miliarder di negeri ini.
Aku tak mengagumi kesuksesan dia. Aku paham dan tahu benar secara
detail jejak langkahnya. Penampilan Joko sangat tak meyakinkan bagi
siapa pun. Sosok Joko sebagai guru dapat dikatakan memprihatinkan. Tubuh
kurus kering, rambut keriting, tatapan mata layu. Saat dia berpakaian
seragam kusam, orang menduga paling mentok dia tukang kebun di sekolah.
Aku tak bermaksud merendahkan. Namun begitulah kesan pertama saat
guru cum penulis itu bertamu ke kantor penerbitan yang kupimpin.
Kini, penampilan Joko tak berubah. Namun tak seorang pun berprasangka
dia tukang kebun di sekolah. Tak ada lagi, terutama aku, yang berani
menyatakan dia sungguh memprihatinkan. Semua orang tahu, dialah Andrea
El-Shirazy.
Meskipun bukan penggemar fanatik yang membaca karyanya dan hafal di
luar kepala tokoh-tokoh novelnya, aku bisa menceritakan ulang dengan
sangat baik novel Perkutut karya Andrea El-Shirazy. Dalam novel
itulah dia menceritakan tentang bulu perkutut majapahit. Akulah orang
pertama yang membaca novel itu dan langsung memutuskan untuk
menerbitkan, meski tim redaksi tak merekomendasikan.
Begini awal cerita dalam novel itu.
“Mas, maukah kau menyimpan bulu ini di sela-sela bukumu?” tanya Pak Tua, si penjual buku.
“Untuk apa, Pak?” tanya Joko agak heran.
Pak Tua menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu mengambil napas panjang. Raut wajah Pak Tua serius, agak gusar.
Saat itu memang cuma Joko yang memilih-milih buku Pak Tua yang
tergelar di bawah pohon mangga dekat gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa.
Padahal, tak biasanya Joko sendirian membaca-baca buku bekas dagangan
Pak Tua. Melihat gerak-gerik Pak Tua yang mencurigakan, Joko gelisah.
Hatinya dag-dig-dug. Dia ingin segera beranjak, meninggalkan Pak Tua.
Namun kakinya seolah tertanam di tanah. Dia tak berdaya untuk bangkit
dari posisi jongkok.
“Mas, ini bukan bulu biasa. Ini bulu burung perkutut majapahit. Bulu
ini sudah saya simpan secara turun-temurun. Menurun dari kakek saya ke
bapak saya, dan tersimpan sejak zaman Majapahit. Bahkan dulu disimpan
oleh Mahapatih Gadjah Mada. Gadjah Mada sukses mewujudkan Sumpah Palapa
menyatukan Nusantara karena menyimpan bulu ini.”
“Bagaimana bisa dia yang menyimpan?” batin Joko heran.
Muncul praduga dalam pikiran Joko, Pak Tua adalah trah Gadjah Mada.
Namun dia menyangkal dugaan itu. Masa trah Gadjah Mada hanya jadi
penjual buku bekas keliling? Betapa mungkin keturunan Mahapatih Gadjah
Mada yang tersohor hanya jadi orang pinggiran? Tak masuk akal!
Dalam benak Joko berkecamuk bermacam perkara soal klenik,
rasionalitas, sejarah Kerajaan Majapahit, kesuksesan, dan kemusyrikan.
Joko tertegun. Dia tersentak sadar saat mendengar, “Nanti saya ceritai.
Simpan dulu bulu ini di sela-sela bukumu, sebelum ada orang melihat,”
kata Pak Tua sambil menyerahkan bulu itu kepada Joko, setelah mengambil
buku yang terbungkus kain putih dan memasukkan ke kantong plastik.
Seolah tersihir, Joko segera menyimpan bulu itu. Lalu dia berdiri dan
mundur selangkah. Joko berbalik dan melangkah pergi. Seolah ada hawa
sihir menyelimuti tubuhnya, dia tak mengucapkan terima kasih. Padahal,
Pak Tua belum sempat bercerita.
Belum genap sepuluh langkah, Joko menoleh. Dia melihat ada mahasiswa
lain datang ke lapak Pak Tua. Degup jantung Joko mengeras dan
mengencang. Dia mempercepat langkah. Dia khawatir mahasiswa itu
memanggil dia, hendak mengetahui bulu perkutut pemberian Pak Tua.
Bukan perkara rahasia atau tak. Namun Joko yakin bulu perkutut itu
berbau klenik. Menerima pemberian bulu perkutut memang sederhana, tak
bisa disebut gratifikasi. Wong dia bukan pejabat. Namun bila
mengandung maksud agar bisa hidup sukses, itu berbahaya. Joko yakin cuma
kecerdasan, kerja keras, dan ketakwaanlah yang membuat seseorang
sukses.
Joko dan aku sudah sering bersama menghadiri bedah buku atau jumpa
penggemar. Terutama, sejak novel pertama karyanya kuterbitkan. Awalnya
sih dia kuminta ikut mempromosikan novel Perkutut melalui road sow dari kampus ke kampus. Setahun berlalu mulai ada undangan atau permintaan dari komunitas pencinta sastra agar penulis novel Perkutut menghadiri diskusi dan bedah buku yang mereka selenggarakan.
Sebagai penerbit, aku mendukung aktivitas Joko itu. Pada tahun kedua, Joko berhasil menyelesaikan novel kedua, Zaman Majapahit, dan tahun berikutnya novel ketiga, Burung.
Singkat cerita, setelah empat tahun kami bersama-sama, kini kami jadi
sahabat yang sama-sama menikmati kesuksesan. Saya tak lagi memanggil
dia Pak Joko, dia pun tak lagi menyapaku Pak Jono. Entah sejak kapan,
kami tak menyadari hal itu.
Suatu malam, pada peresmian sanggar penulisan fiksi milik Joko, tiba-tiba aku ingin melihat bulu perkutut majapahit itu.
“Apakah bulu perkutut itu masih ada, Jok?” tanyaku.
“Mungkin,” jawab Joko ringan.
“Lo?”
“Sejak jadi sarjana sampai punya rumah, telah puluhan kali aku pindah
tempat tinggal. Bahkah sampai menikah dan anak keduaku lahir, kami
masih tinggal di rumah kontrakan.”
“Aku cuma ingin melihat. Sama atau tidak dengan bulu ayam warisan ibuku yang kusimpan di sela-sela buku harian.”
“Apa wasiat ibumu saat kau menerima bulu ayam itu?” tanya Joko.
“Ibu meninggal setelah melahirkan aku. Bulu ayam itu kuterima dari
kakak sepupuku ketika aku berumur 11 tahun. Dari Kak Puspa, yang pernah
berkenalan denganmu.”
“Oh ya, aku ingat,” sahut Joko.
“Kata kakakku, ‘Ini warisan dari ibumu yang dititipkan pada ayahmu. Sebelum wafat, ayahmu menitipkan padaku.’ Begitu.”
“Apa bulu itu bisa membuatmu sukses? Atau agar kamu selamat? Atau
agar dicintai dan dikasihi banyak orang?” tanya Joko penasaran.
“Ah, jangan melantur. Mana bulu perkutut majapahit itu? Cepat ambil, aku mau lihat.”
“Mana kutahu!”
“Ah, yang benar saja!”
“Setelah menerima bulu perkutut itu, aku tak jadi kuliah hari itu.
Perasaan dan pikiranku campur aduk. Aku bahkan menggigil di kamar kos.”
“Apa itu pengaruh magis bulu perkutut itu?”
“Tak tahulah. Aku khawatir bila mengikuti kuliah kemungkinan besar
akan membuka buku itu. Bayanganku, semua teman akan menertawakan atau
jijik melihat bulu di bukuku. Aku khawatir mereka bertanya-tanya bulu
apa yang aku bawa dan untuk apa. Mengapa aku menyimpan bulu? Bagaimana
bila bulu itu mengandung virus flu burung?”
“Itu kan cuma perasaanmu.”
“Entahlah. Aku juga khawatir bila bertemu Mirza, bunga kampusku.”
“Lo? Kau punya utang pada dia dan belum bayar?”
“Ngaco! Semiskin-miskin aku, mana mungkin utang pada dia?
Itu akan menjatuhkan citraku ke titik nadir. Aku laki-laki normal, wajar
jika naksir gadis secantik Mirza.”
“Kamu nembak dia?”
“Ya, iyalah… Tapi tak secara langsung.”
“Bagaimana kau mengungkapkan cinta?”
“Kutulis puisi tentang dia, tentang kecantikannya yang tiada dua di dunia, tentang cintaku dan mimpiku pada dia.”
“Sudah kauberikan puisi itu pada Mirza?”
“Seharusnya kuberikan hari itu. Namun ternyata bulu perkutut majapahit terselip dalam buku kumpulan puisi itu.”
“Yah…, mana Mirza tahu kau mencintai dia!”
“Pupuslah harapan hidupku, semangatku, cintaku. Tiba di kos, kusimpan buku itu dalam kardus bersama buku-buku bekas lain.”
“Lalu?”
“Sejak saat itu aku tak pernah melihat lagi bulu perkutut itu. Oh ya, mana bulu ayam itu? Aku mau lihat.”
“Mana kutahu!”
“Yang benar saja?”
“Benar. Jujur, aku belum pernah lihat lagi sejak menerima bulu itu
dari Kak Puspa. Saat itu langsung kuselipkan dalam buku harian.”
“Apa pesan Kak Puspa?”
“Katanya, bulu ayam itu warisan dari kakek moyangku sejak zaman Majapahit.”
“Apa buku harian itu bernasib sama dengan bukuku?”
“Ah, kau sudah tahu jawabnya bukan?” (44)
– Mujiana A Kadir, menulis cerpen dan novel. Novelnya yang telah terbit Dua Perempuan (penerbit Tinta Institute Yogyakarta).
"Seseorang yang ahli dalam kesabaran adalah ahli dalam segala hal" - George
Savile
Dear Hanihyung yang sabar,
Sebuah pepatah mengatakan Roma tidak
dibangun dalam sehari. Demikian juga
kesuksesan tidak dibangun secara
instan. Apalagi jika itu adalah
sebuah kesuksesan jangka panjang.
Untuk mencapai sebuah tujuan
diperlukan kesabaran. Jika Anda ingin
sampai ke kantor atau rumah dengan
selamat, tentu Anda harus sabar
menghadapi kemacetan dan pengemudi
lain yang ugal-ugalan atau melanggar
lalu lintas.
Demikian juga untuk menggapai
kesuksesan. Kesabaran adalah kunci dan fondasi untuk membangun kesuksesan. Jika Anda dicemoohkan
orang, mendapatkan penolakan,
menghadapi banyak rintangan atau
belum memperoleh hasil signifikan
dari kerja keras Anda selama ini,
bersabarlah.
Sebelum menjadi orang terkaya di
dunia versi majalah Forbes, Bill Gates selama bertahun-tahun menerima
pendapatan dari software ciptaannya
hanya $2 per hari. Nilai yang lebih
rendah dari gaji seorang pegawai
rendahan sekalipun di Amerika. Tapi
Bill Gates tetap sabar dan yakin
dalam menjalankan bisnisnya.
Demikian juga J.K Rowling, penulis
laris buku Harry Potter yang sangat
mendunia. Sebelum sebuah penerbit
kecil di Inggris, Bloomsbury
menerbitkan novel Harry Potter, J.K
Rowling menghadapi 12 kali penolakan
terhadap manuskripnya. Seandainya J.K
Rowling menyerah dan tidak sabar
dalam menghadapi 12 penolakan
tersebut, kita tidak pernah membaca
hasil karyanya menakjubkan itu dan ia
pun tidak sesukses seperti sekarang
ini. Hanihyung, jika Anda merasa sudah cukup
bersabar. Tambahkan lagi dosis sabar
Anda. Perbedaan antara kesuksesan dan kegagalan adalah pada kesabaran dan ketekunan.