Daftar Blog Saya

Senin, 01 Mei 2017

Membaca

“Membaca itu seperti melatih otot, semakin sering dilakukan, maka otot membaca kita akan semakin kuat. Oleh karena itu, mulailah membaca buku yang membuat kita tertarik untuk membacanya. Apabila otot membaca kita sudah menguat, kita akan dapat membaca dengan variasi tema dan bobot yang berbeda. Dengan begitu, minat membaca akan meningkat seiring dengan banyaknya materi bacaan yang dapat kita peroleh.” –Dee-

“Untuk bisa membaca banyak buku, diperlukan dua hal, yang uang dan waktu tidak termasuk di antaranya. Dua hal tersebut adalah gairah dan kerendahan hati bahwa kita menjadi banyak tak tahu.” –Helvy Tiana Rosa-

“Buku seperti makanan, tetapi makanan untuk jiwa dan pikiran. Buku adalah obat untuk luka, penyakit, dan kelemahan-kelemahan perasaan dan pikiran manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, akan timbul bahaya kerusakan yang sangat besar.” –Ali Syari’ati-

  

Kutipan Erstwhile

Ketika mencintai seseorang, kita menjadi terlalu mencintainya. Sesuatu yang terlalu, apa pun itu, selalu menjadi tidak baik. Karena yang terlalu akan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan. (hlm. 75)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Mungkin karena ini satu-satunya cara yang kita tahu untuk bisa tetap saling memiliki. (hlm. 41)
  2. Ketika kita dicintai oleh orang yang kita cintai, ketika kita dapat berbagi pada sesama, ketika kita dapat mewujudkan apa yang kita inginkan. (hlm. 87)
  3. Kebenaran adalah sesuatu yang hakiki dan ilahi. Begitu banyak hal yang pada awalnya kita percayai sebagai suatu kebesaran Tuhan, secara perlahan mulai dapat dijelaskan dengan logika manusia. (hlm. 91)
  4. Tuhan menciptakan segala sesuatunya melebihi apa yang dapat dipikirkan manusia dan segala yang terlihat maupun yang tak terlihat. (hlm. 98)
  5. Kita harus tahu kapan saat memulai dan kapan saat berhenti. (hlm. 344)
  6. Masakan yang baik akan menghilangkan lapar, masakan yang hebat akan menggerakkan seluruh panca indra. (hlm. 362)
  7. Cinta sejati adalah abadi dan tiada akhir. (hlm. 388)
  8. Karena Tuhan membuat segalanya indah pada waktu-Nya. (hlm. 404)
  9. Cinta membuat segalanya berubah. (hlm. 405)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kamu jangan mulai naif. Kamu belum melihat dunia dan jangan kita terlalu yakin atas apa yang kita alami. (hlm. 38)
  2. Berhati-hati dalam memilih istri. (hlm. 46)
  3. Tidak ada artinya berkelakuan sempurna dalam tata perayaan agama apabila tidak dapat memperlakukan sesama manusia dengan baik. (hlm. 52)
  4. Tidak ada satu pun di dunia ini yang gratis atau setidaknya tanpa pamrih. (hlm. 159)
  5. Dikelilingi oleh pikiran-pikiran terbaik dunia tidak akan membuat kamu dapat menyentuh dunia. Saat kamu dikelilingi oleh pikiran-pikiran yang biasa-biasa saja atau malah mungkin di bawah rata-rata, maka kamu akan memiliki kekuatan yang menyentuh dunia. (hlm. 193)
  6. Seharusnya kamu tidak percaya akan indahnya dongeng. (hlm. 405)
  7. Dunia penuh dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk menipu kalau kamu begini lugu. (hlm. 405)

Kutipan Above the Stars

“Manusia itu diibaratkan sebuah pohon. Kita tumbuh tinggi, begitu juga dengan pohon. Kita membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup, begitu juga pohon membutuhkan daun-daun untuk bertahan hidup.” (hlm. 33)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Nikmati saja hidupmu. (hlm. 5)
  2. Belajarlah untuk menghargai dirimu sendiri. (hlm. 36)
  3. Semoga kita punya pemikiran yang sama tentang apa yang bisa disebut luar biasa. (hlm. 122)
  4. Jangan ragu untuk mencoba lagi. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah awal yang baik. (hlm. 211)
  5. Hiduplah dengan bahagia. Pohon kehidupanmu tidak boleh mati hanya karena kehilangan sehelai daun. (hlm. 247)
  6. Lakukan yang ingin kau lakukan, gunakan setiap kesempatan, dan bahagialah. (hlm. 247)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan basa-basi membosankan yang tidak kau sukai. (hlm. 5)
  2. Memangnya berteman butuh alasan? (hlm. 20)
  3. Untuk ukuran laki-laki yang katanya berandal, ternyata kau ini cuma banyak gaya. (hlm. 23)
  4. Sesekali cobalah untuk tidak bersikap sinis kepadaku. (hlm. 26)
  5. Kau tidak perlu malu hanya karena meminta sedikit bantuan. (hlm. 31)
  6. Membolos satu hari tidak serta membuat kami jadi dungu, kan? (hlm. 8

Kutipan Happiness is You

“Sama kayak baseball. Banyak kesempatan yang ada sampai akhirnya bisa mukul atau pitching yang bagus. Tapi, kadang nggak banyak yang sadar dan malah bersikap arogan, cuma mau menang. Lupa kalau kesempatan itu ada untuk ngebuktiin usaha kita. Karena meski gagal, nggak mesti kalah dan mesti berhasil, nggak berarti menang.” (hlm. 46)

Punya supporter itu kayak punya nyawa tambahan yang bikin lo berani ngadepin apa pun di dunia ini. (hlm. 30)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Manusia itu sebenarnya beruntung ya. Karena punya akal budi dan jadi mahluk di kasta paling tinggi. Juga karena mereka sebenarnya punya banyak kesempatan untuk ngelakuin sesuatu.” (hlm. 46)
  2. Kesempatan terbaik selalu datang saat sabar menunggu. (hlm. 47)
  3. Jika berteman baik dengan seseorang, sebagian dari dirinya akan menyatu dengan diri kita. (hlm. 54)
  4. Karena perasaan suka itu perasaan yang muncul ketika lo jujur sama diri lo. (hlm. 77)
  5. Kalo lo suka sama dia, lo harus usaha. Lo harus tunjukin dan kasih tahu kalau lo suka dia. (hlm. 80)
  6. Yang namanya pacaran, nggak semuanya kenal pribadi satu sama lain. Itulah kenapa pacaran disebut proses saling kenal. Tapi, yang penting itu adalah seberapa jauh usaha lo untuk saling kenal dia. (hlm. 141)
  7. Kadang memaafkan itu perlu proses. (hlm. 167)
  8. Usaha itu nggak ada yang sia-sia. Berapa kali lo perlu berusaha ngelempar buat matiin lawan? Selalu ada gagal dalam tiap usaha, tapi bukan sia-sia. Mungkin lo belum benar-benar berusaha. (hlm. 176)
  9. Usaha itu bukan Cuma soal untuk ngedapetin sesuatu. Kadang, lo perlu usaha ngelepas sesuatu untuk dapetin yang lain. (hlm. 176)
  10. Tiap orang berhak dapat kesempatan kedua sebagai penentuannya. (hlm. 185)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Nggak usah khawatir. (hlm. 1)
  2. Jangan tegang dong. (hlm. 5)
  3. Nggak usah sedih. (hlm. 9)
  4. Ada waktu yang membuat semuanya berubah. (hlm. 10)
  5. Yang ribet mah lo. Masalah tugas doing diributin. (hlm. 32)
  6. Lo tuh kenapa, ganggu urusan orang aja. (hlm. 37)
  7. Kalau sori lo bisa dikumpulin jadi duit, mau deh, gue terima. (hlm. 41)
  8. Memang kartun buat anak-anak doing? (hlm. 55)
  9. Hati manusia nggak bisa ketebak. (hlm. 58)
  10. Nggak ada yang lebih dan nggak mungkin lebih. (hlm. 58)
  11. Nggak usah pura-pura baca. (hlm. 73)
  12. Nggak usah sok tahu. (hlm. 76)
  13. Nggak usah pura-pura nggak tahulah. (hlm. 79)
  14. Nggak bisa manis dikit ngasihnya? (hlm. 94)
  15. Menjadi orang baik tak selamanya menguntungkan. (hlm. 146)
  16. Karena lawan terberat bukan saja diri sendiri, melainkan juga kenyataan. (hlm. 197)
  17. Jangan kira segampang itu. (hlm. 233)
  18. Perasaan suka itu bukan sekadar apa yang kita rasa. Tapi, sejuah mana kita mau ngelakuin sesuatu buat orang itu, berkorban buat dia, dan sejauh mana keberadaannnya terasa begitu penting. (hlm. 260)
 

Kutipan Love in Montreal

Masih seperti serial Around  the World With Love sebelumnya, novel ini juga memuat selipan pengetahuan tentang Islam tanpa terkesan menggurui. Beberapa diantaranya adalah:
  1. Perihal hijab. Maghali konsisten mengenakan hijab meski di negeri dengan masyarakat yang muslimnya minoritas.
  2. Makanan halal. Maghali juga konsisten untuk tetap memilih makanan halal. Beruntungnya dia mendapatkan perhatian soal urusan makanan dari orang-orang baru disekitarnya, dan mau memahaminya.
  3. Modest fashion. Atau bisa juga disebut modest wear. Sekarang ini banyak sekali fashion designer Indonesia yang khusus merancang hijab melebarkan sayapnya ke mancanegara dan tak lupa menyelipkan kain tradisional lokal. Sebut saja Dian Pelangi yang namanya kian naik daun. Begitu juga dengan Maghali di buku ini, dia ingin menunjukkan bahwa dengan pakaian serba tertutup bukan berarti kuno, bisa modis juga bisa kok.
  4. Pandangan Maghali untuk tidak terikat komitmen dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan muhrimnya. Lagipula Maghali merasa belum menemukan orang yang tepat.
  5. Maghali tetap menjalankan puasa yang merupakan kewajiban umat Muslim saat Ramadhan datang. Dan tidak mengganggu aktivitasnya yang padat.
  6. Begitu juga dengan lebaran di negeri seberang yang artinya tidak seramai di Indonesia. Maghali merayakannya secara suka cita meski sederhana dengan mengundang beberapa temannya, itu pun sudah membuatnya bahagia.
  7. Sebagai umat muslim, tidak membeda-bedakan dalam berteman. Maghali berteman dengan Kai yang memilih tidak memiliki agama. Maghali juga berteman, bahkan menolong Isabelle yang terlibat skandal cinta sejenis.
  8. Ini yang paling penting, menunjukkan bahwa Islam tidak sama dengan teroris. Mewujudkannya dengan perbuatan bahwa muslim adalah cinta damai, yang nantinya dapat melunturkan islamphobia yang dialami warga Eropa, seperti buku ini. Maghali meski sederhana, berusaha membuktikannya.
“Aku percaya, dengan tetap bersikap baik, suatu saat mereka sadar, Islam yang sebenarnya membawa damai dan kebaikan. Teroris itu kriminal, nggak ada hubungannya dengan agama.” (hlm. 19)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Suami istri memang punya hak istimewa satu sama lain. (hlm. 27)
  2. Apa pun yang kamu rasakan, jujurlah pada perasaanmu. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan keterpaksaan. (hlm. 75)
  3. Hidup ini sesungguhnya indah, andaikan semua orang sebahagia ini, bebas dari rasa benci dan saling curiga, meluapkan rasa ingin berbagi kasih. (hlm. 103)
  4. Kamu bebas mengembangkan kariermu menjadi apa saja. (hlm. 177)
  5. Berbuat baik bisa di mana saja. Di mana pun pasti akan ada orang-orang yang membutuhkan bantuan sukarelawan.(hlm. 223)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Generasi tua punya hak untu memilih cara hidup yang paling nyaman dibuatnya. (hlm. 8)
  2. Untuk menjadi pribadi yang bahagia, tidak harus memiliki suami dan anak. (hlm. 12)
  3. Perempuan mana yang tak akan meleleh jika dihadapannya berdiri sosok laki-laki tinggi tegap, tampan, cerdas, dan ahli memasak? (hlm. 56)
  4. Tidak ada yang melarangku makan daging apa pun. Tuhan pun tidak melarangnya. (hlm. 57)
  5. Cinta tak seharusnya salah arah. (hlm. 62)
  6. Bagaimana bisa dua gadis dengan fisik nyaris sempurna saling menyukai? (hlm. 66)
  7. Seenak-enaknya di negeri orang, tetap lebih menyenangkan di negeri sendiri. (hlm. 85)
  8. Lain kali berhati-hatilah. Jangan pergi malam-malam sendirian. (hlm. 101)
  9. Apa salahnya punya ibu sakit jiwa? Itu bukan kesalahan. Itu kekurangan yang harusnya mendapat simpati kita. (hlm. 135)
  10. Kamu bukan model, nggak perlu menahan lapar berlebihan. Kamu butuh banyak sumber energi. (hlm. 154)
  11. Jangan terlalu lama berhubungan dekat dengan seorang laki-laki tanpa ada kejelasan. (hlm. 202)
  12. Kalau nggak ada dokter yang mau dengan sukarela ditugaskan di pedalaman, siapa yang akan mengobati mereka saat mereka sakit? (hlm. 216)
  13. Beranikah kamu bilang, menyukaiku juga tanpa ada keragu-raguan? (hlm. 224)

Kutipan Malam-malam Terang

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Teruslah jadi yang terbaik. Apa pun hasil kalian terima hari ini, teruslah berjuang dan jadi bintang yang paling terang digelapnya malam. (hlm. 7)
  2. Hari ini bukanlah akhir dari perjuangan kalian. Ini adalah awal perjuangan untuk sesuatu yang lebih besar. (hlm. 7)
  3. Pedang menjadi tajam dan mampu membelah batang pohon karena ditempa terus-terusan dalam panas. Begi pula kalian. Hasil apa pun yang akan kalian terima hari ini, adalah dari tempaan yang akan kalian lalui sebelum menjadi pedang dan mampu membelah ujian apa pun yang Tuhan berikan. (hlm. 7)
  4. Angkat dagumu, katakan pada dunia bahwa kamu benar, kalau tidak orang jahat akan senang menunjukkan kalau kita kalah. (hlm. 51)
  5. Kadang-kadang, kebenaran itu relatif. Pada suatu titik, kamu mungkin mendapati sesuatu yang lebih tepat lagi untuk dipertimbangkan. (hlm. 51)
  6. Dengan bekerja keras siang dan malam, kamu akan memecahkan masalah, dan pemecahannya bisa membawa kebaikan bagi kekhidupan orang lain. (hlm. 51)
  7. Upaya apa pun yang telah kita lakukan dan pencapaian apa pun yang kita peroleh, itu seharusnya membawa kebaikan sepanjang hidup, maupun setelah kematian. (hlm. 52)
  8. Orang paling cerdas adalah dia yang paling sering mengingat kematian. (hlm. 54)
  9. Dengan mengingat kematian, tentunya kita akan melakukan apa pun untuk mempersiapkannya. (hlm. 54)
  10. Segala macam usaha yang baik akan kita lakukan demi jaminan di akhirat kelak. (hlm. 54)
  11. Jadilan kegagalan sahabat setiamu. Bukan berarti kamu harus selalu gagal, namun ketika kegagalan datang, sambutlah ia sebagai sahabat. Mengapa? Karena kegagalan adalah cermin yang mengingatkan kita untuk berusaha lebih baik. Tanpa cermin itu kita tidak bisa melihat diri sendiri, tidak bisa mengevaluasi diri. (hlm. 66)
  12. Kegagalan adalah sebuah kepastian sebelum kesuksesan. Bahwa kegagalan seharusnya disambut sebagai sahabat dan bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi akhir dari sebuah petualangan. (hlm. 67)
  13. Di balik kesulitan yang terbatas, ada banyak kemudahan dari Tuhan. (hlm. 67)
  14. Sebuah pertandingan adalah replika kerja keras pantang menyerah demi tercapai puncak idaman. Ia adalah proses, memenangkan proses itu sendiri lebih dahsyat daripada memenangkan skor pertandingan. (hlm. 98)
  15. Hidup bentuknya seperti jalanan lurus, naik dan turun, berbelok ke kanan kemudian sedikit ke kiri, atau barangkali harus sebentar berhenti untuk rehat sekejap. Hidup tidak selalu penuh kembang berwarna, juga tidak selalu tertawa bahagia. Hidup adalah kumpulan episode, rangkaian cerita tentang perjalanan kita yang penuh suka dan cita. Kadang tangis dan sedih melanda untuk membuatmu lebih kuat dari yang sebelumnya. Lihat, hari yang telah lalu, lambaikan dan katakan salam perpisahan. (hlm. 99)
  16. Pelajaran hidup yang tak ternilai, hadiah bagi para pejuang yang yang pantang kembali sebelum mencapai puncak idaman. (hlm. 135)
  17. Nalar manusia terkadang takkan mampu menguraikan rasionalitas di balik takdir yang Tuhan tetapkan. Kadang kita hanya perlu rela tanpa banyak tanya. (hlm. 139)
  18. Selalu masih ada kesempatan untuk orang-orang yang mengikuti kata hatinya. (hlm. 177)
  19. Manusia yang beranjak dewasa, suatu saat punya rasa kepada orang lain. (hlm. 187)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Di mana keadilan? Bukankah belajar adalah proses panjang, bukan sesuatu yang dinilai dari satu atau dua jam ujian saja? (hlm. 10)
  2. Pencopet jelas melakukan hal yang salah, mengambil paksa apa yang bukan miliknya. Namun memukulinya tanpa ampun karena perbuatannya itu, juga tidak benar. (hlm. 21)
  3. Jangan berkawan dengan prasangka burukmu. (hlm. 30)
  4. Jangan takut gagal, kecuali kalau kamu takut sukses. Apalagi hanya soal ujian. Sejarah mengatakan, orang-orang sukses selalu jatuh bangun dahulu sebelum mencapai puncak idaman. Itu seperti dari rumus Tuhan.(hlm. 66)
  5. Kegagalanmu dalam ujian adalah satu kegagalan saja. Di baliknya, Tuhan sudah menyiapkan kemudahan-kemudahan. (hlm. 66)
  6. Hidup adalah proses, bukan sekedar sepintas kejadian! (hlm. 207)
  7. Kesepian adalah kutukan bagi seorang petualang. Kesendirian adalah hantu bagi seorang asing. (hlm. 213)
  8. Perempuan bukanlah mahluk lemah, sebaliknya, ia kuat dan mampu bertahan bagai karang di tengah ombak kehidupan. (hlm. 243)

Kutipan Obladi Maria Diabla

“Masa depan yang kalian bayangkan, hanya setengahnya yang berupa kenyataan. Setengahnya berupa kekhawatiran dan harapan kita. Namun, kita tidak tahu mana yang nyata, yang mana yang hanya harapan. Alangkah lebih baiknya jika kita tidak mengetahui masa depan agar hidup lebih bermakna.” (hlm. 127)

“Hal apa pun yang mengganjalmu selama ini. Bukalah dengan rasa ingin tahumu yang kuat. Berpikirlah dengan ‘gairah’. Kemudian, gabungkanlah kedua rasa yang sama untuk memecahkannya!” (hlm. 23)

“Ruangan ini tempat direkamnya segala peristiwa di masa lalu dan di masa depan. Dua tombol itu, tekan tombol merah untuk masa lalu dan tombol biru untuk masa depan.” (hlm. 43) 

“Sebelumnya akan aku peringatkan sekali lagi. Jika di masa lalu, kalian tidak boleh bertindak ceroboh yang dapat mengubah masa lalu. Maka di masa depan, kalian juga harus berhati-hati. Jangan pula melakukan hal ceroboh yang berdampak pada masa depan kalian sendiri, mengerti?” 

Dua Cerita dari Si Tuan Pengen Tahu Kepada Si Tuan Resep




Dua Cerita dari Si Tuan Pengen Tahu Kepada Si Taun Resep ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo
Dua Cerita dari Si Tuan Pengen Tahu Kepada Si Taun Resep ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Halo Kawan, apa kabarmu? Aku sih baik-baik saja. Semoga kau juga begitu. Berapa tahun kita tak jumpa. Barangkali sebelas atau tiga belas tahun. Tak pasti. Yang jelas, sejak perpisahan itu, kita seperti mencari jalan sendiri-sendiri. Kau ke utara. Aku ke selatan. Kau ingin mendalami ilmu masak-memasak. Aku menekuni ilmu ramal-meramal. Dan kabarnya, kau kini telah berhasil jadi juru masak yang top. Sekaliber master ya? Hmm, betapa hebatnya dirimu. Ingin sekali aku mencicipi masakanmu itu. Yang kabarnya juga, penuh aroma rempah dan rasa yang menggigit.
Sebaliknya, Kawan, aku justru gagal jadi tukang ramal. Meski itu tukang ramal sekaliber marmut. Sebab, ternyata, selama di selatan, aku tak ketemu guru peramal seorang pun. Yang aku temui justru guru-guru pencerita. Guru-guru yang melihat bunga tak sekadar bunga. Tapi bisa juga simbol gadis atau kelaraan. Jadinya, di selatan, aku pun tak sempat belajar ilmu ramal-meramal. Ilmu yang sejak kecil aku mimpikan. Sebab dengan ilmu itu, aku menganggap, akan gampang meramal kapan seseorang akan naik derajat. Dan kapan pula sebaliknya, nyungsep.
Kawan, lewat ini, aku kirimkan dua ceritaku padamu. Dua cerita hasil belajarku di selatan. Tapi dua cerita ini belum aku perlihatkan pada guru-guruku. Terus terang saja, aku malu. Sebab, merasa, dua ceritaku ini masihlah cerita-ceritaan. Belum cerita yang sejati. Cerita yang memang muncul dari lubuk yang terdalam. Dan cerita, (yang meski simbol), apabila berbeda dengan tingkah penulisnya, akan balik melawan. Tapi, ya, sudahlah, kita lupakan itu semua. Yang pasti, aku kirimkan dua ceritaku ini. Dua cerita yang mungkin akan membuatmu terkenang pada hal-hal yang pernah kita alami dulu. Sewaktu aku memanggilmu Si Tuan Resep. Dan kau memanggilku Si Tuan Pengen Tahu. Selamat membaca. Salam.
Air Mata Warna-Warni
Apa arti sebuah cerita bagiku? Itu adalah pertanyaan yang aku pikirkan. Tetapi tak dapat aku jawab. Sebab, setiap ingin menjawab, aku selalu teringat pada masa kecilku. Sekitar tujuh tahunan. Pada masa ketika ada seorang ibu yang selalu membuntutiku ke mana saja. Apa itu di alun-alun, di kampung sebelah, atau bermain kelereng. Dan ibu itu, yang aku panggil dengan nama Mak Ca, adalah pengasuhku. Pengasuh yang sayang padaku. Pengasuh, yang meski tidak punya hubungan darah dengan keluargaku, tapi rasa sayangnya padaku tak terukur. Pengasuh, yang sebelum meninggal, masih sempat membelikan aku sebungkus nasi campur kesukaanku. Nasi campur dari warung pojok pecinan yang sangat terkenal dengan kelezatan acarnya.
Lewat Mak Ca, yang setiap malam, aku tidur di sisinya di kamar belakang, kerap mendengar sekian dongengnya. Ada Jaka Kendil, Pangeran Manuk, sampai pada dongeng yang aku pesan sendiri. Anehnya, di antara keremangan lampu, dan di antara suaranya yang pelan itu, aku seperti membayangkan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang terus aku bawa sampai kini. Yaitu, sebuah dunia yang gampang untuk diluweskan. Dalam arti, mungkin kali ini cerita tokoh A kalah. Tapi besoknya malah menang. Dan ada obat sakti yang mampu menjadikan si buruk rupa jadi tampan, dst, dst, dst. Jadinya, segalanya pun bisa terjadi, atau gagal sama sekali. Atau malah akan ada tokoh lain yang nyelonong.
Dan suatu hari, ketika Mak Ca diminta ayahku ke Surabaya, aku diajak serta. Kami berdua naik oplet yang berwarna hijau. Ongkosnya masih sekitar 25 rupiah. Sesampai di Surabaya (tepatnya di daerah Praban), aku melihat sebuah toko komik. Komik-komik yang dipajang begitu banyak. Kover-kovernya pun menyala dan bagus-bagus. Oleh Mak Ca, aku dibelikan dua buah komik. Harganya per komik 125 rupiah. Jika tak salah, komik itu bercerita tentang sekuel Labah-Labah Merah karya Kus Bram. Dan di sekuel itu, aku bisa melihat gambar-gambar yang menggetarkan. Gambar-gambar tentang kefantastisan sebuah perjuangan, misalnya: perjuangan Labah-Labah Merah melawan Manusia Kadal, atau Labah-Labah Merah melawan Manusia Kelelawar.
Nah, atas dua pengalaman masa kecil itu (dongeng Mak Ca dan komik), maka aku pun (mungkin) dapat menulis cerita. Dan karena, apa-apa yang aku rasakan sejak kecil adalah sebuah cerita yang gampang diluweskan, juga menggetarkan, dan fantastis, maka jangan heran jika di hampir semua cerita yang aku tulis pun begitu. Yang kata teman-teman (yang setelah membacanya), tak masuk akal, semau gue, dan jungkir-balik. Ha ha ha, aku cuma tersenyum mendengarnya. Yang jelas, ketika kata pertama aku pilih, maka cerita yang akan aku rajut, adalah cerita yang tak bisa aku bohongi. Seperti cermin yang menegak di hadapanku. Selalu menampilkan balik apa-apa yang ada di diriku. Apakah itu yang kelihatan nyata. Atau yang tersembunyi di lipatan diri yang paling dalam.
Akhirnya, sekali lagi, izinkan aku mengingat Mak Ca. Terutama pada kalimat yang pernah diucapkannya ketika sakit keras, bahwa dia tak mau meninggal. Sebelum melihat aku menikah dan punya anak. Dan memang, apa yang dikatakan itu terwujud. Mak Ca pun sembuh dari sakitnya. Dan sekian puluh tahun kemudian, setelah aku menikah dan punya anak pertama, barulah Mak Ca meninggal. Meninggal dengan masih sempat membelikan sebungkus nasi campur kesukaanku. Nasi campur yang dalam tatapanku saat itu, seperti sebungkus dunia yang gaib. Yang ketika aku buka, pun berlompatan apa-apa yang ada di dalamnya. Apa-apa yang tak pernah bisa tamat. Dan apa-apa yang membuatku cuma bisa menangis. Tangisan yang berair-mata warna-warni.
Kau Mendirikan Rumah
Kau mendirikan rumah. Aku mendirikan rumah. Rumahmu dan rumahku berhadapan. Seperti sepasang kekasih yang saling menatap. Dan sesekali merajuk dan melengos. Lumrah. Pintu dan jendela rumahmu terbuka. Begitu juga pintu dan jendela rumahku. Dan dari sana aku kerap mengintip dirimu? Apa kau memasak, membaca, atau memasang foto? Sayangnya tak jelas.
Dan pernah di suatu pagi rumahmu terkunci. Lampunya mati sejak malam. Guguran daun dan sampah bertebaran. Kenapa tak kau sapu? Apa kau sakit atau bepergian? Rasa cemasku menebal. Aku, ya, aku, begitu liar menggambarkan setiap depa dirimu. Dirimu yang diam-diam ingin aku masukkan ke kotak kaca. Aku pajang di beranda rumahku. Lampunya aku biarkan kedap-kedip.
Dan aku memutarinya sambil menebak. Tentang waktu mendatang. Waktu aku sudah tua. Dan gagal menulis hikayat kenangan. Kenangan tentang kita. Juga tentang rumahmu dan rumahku. Yang kerap membuat aku menceburkan kepala sendiri ke bak mandi. Agar dapat melepaskan semua hal yang ada tentangnya. Sebab nanti, pastilah, akan ada yang menjadi perhitungan yang tak meleset.
Perhitungan yang tak meleset? Perhitungan apa ini? Kata orang, itulah yang kelak akan menghadang kita di hari pembalasan. Sekaligus menguak sendi yang ada di diri kita. Terus ditanya: “Apa tanganmu pernah mencuri. Apa matamu pernah berbohong. Apa kakimu pernah menginjak. Apa dagingmu pernah beracun. Apa lidahmu pernah bermain?” Sampai habis. Sampai kita tinggal nama. Nama yang sebenarnya.
“Tapi, siapa namamu yang sebenarnya?” Dan itu pernah aku tanyakan padamu. Yang saat itu aku lihat sedang sibuk di genting rumahmu. Kau menyahut. Tapi tak jelas. Menyahut lagi. Tak jelas lagi. Lalu kau melengos. Meneruskan kesibukanmu. Aku merajuk sekaligus menggeleng. Waktu itu, aku melihat ada selengkung pelangi mengitari badanmu. Pelangi yang menyala. Pelangi yang lentur. Yang bergerak secergas ular.
Kadang menegak. Lalu menjulur. Terus membebat. Menegak lagi. Menjulur lagi. Membebat lagi. Dan kembali melengkung seperti sediakala. Tapi kau tetap saja sibuk. Seperti tak merasa apa-apa. Malamnya, dari buku peninggalan kakekku, aku membaca, bahwa jika ada orang (laki-laki atau wanita), yang badannya dikitari selengkung pelangi, pertanda orang itu adalah insan dari sorga.
Astaga! Apakah kau memang insan dari sorga? Aku tak berani menjawab. Aku hanya menyimpan pertanyaan itu di dalam dada. Dan di dada itu, biarlah berdenyut. Seperti denyut si makhluk lembut. Si makhluk lembut yang melungker. Si makhluk lembut yang hidupnya cuma menunggu. Menunggu kedatangan si ksatria yang dipuja. Yang akan menciumnya. Terus membawanya ke negeri yang terimpikan. Aneh.
Dan keanehan pun memuncak. Ketika di suatu malam, aku melihat sebelas bayangan hitam bergentayangan di atas rumahmu. Sebelas bayangan hitam bersayap dan bersenjata lengkap.
“Ini rumahnya?”
“Benar.”
“Yang telah menewaskan teman kita?”
“Benar.”
“Ayo, kita libas!”
Dan menyerbulah sebelas bayangan hitam itu ke dalam rumahmu. Menyerbu dengan gesit dan terlatih. Suara letusan, teriakan, dan tubuh jatuh bersilangan. Aku ingin keluar dan membantumu. Tapi, kakiku terasa kaku.
Sejurus kemudian, aku melihat sebelas gumpalan api melesat dari rumahmu. Melesat dengan teriakan panjang. Terus ke langit. Dan meledak jadi sebelas bintang yang baru. Dan aku gemetar. Aku tak yakin dengan yang aku lihat. Tapi sebelas bintang yang baru itu demikian terang. Pasti jika ada peneropong yang melihatnya, segera mencatat sebagai temuan bintang baru yang mendebarkan.
Lalu, paginya, aku melihatmu kembali menyapu halaman rumahmu. Kali ini, rasanya gerakan tanganmu demikian enteng. Dan juga baru aku tahu, jika kakimu tak lagi menjejak. Tapi mengambang. Mengambang sejengkal di atas tanah. Tak ada keringat. Tak ada bayangan dari badanmu. Semuanya tampak indah.
Sampai kemudian kau melirik padaku. Lirikan yang bukan milik laki-laki atau wanita. Tapi tetap membuat aku terpesona. Apalagi, selengkung pelangi yang mengitari badanmu tetap lentur. Dan tetap bergerak secergas ular. Dan, akh, tiba-tiba selengkung pelangimu itu melesat ke arahku. Aku tergeragap. Tapi terlambat. Aku dibebat olehnya. Dibebat sampai megap-megap. Dan rasanya aku masuk ke kedalaman. Kedalaman warna-warni. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku masih berbentuk, atau sudah terurai?
Yang pasti, aku merasa tak lagi ingin apa-apa. Dan semua yang aku pegang pun ingin dilepas. Lepas, lepas, dan lepas. Dan aku yakin: “Dengan terlepasnya semua yang terpegang, aku pasti akan kembali ke sediakala. Untuk kemudian menceburkan kepala sendiri ke bak mandi.” Hmm, hari berlalu. Minggu pun berganti. Dan ternyata kita tetap seperti biasa. Dan rumahmu tetap di tempatnya. Rumahku juga begitu. Berhadapan. Seperti sepasang kekasih yang saling tatap. Yang sesekali merajuk dan melengos. Lumrah. (*)

(Gresik, 2017)
Mardi Luhung lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media. Tahun 2010 mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award. Buku cerpen pertamanya: Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).

Perempuan yang Memegang Tali Anjing


Perempuan yang Memegang Tali Anjing ilustrasi Yuswantoro Adi - Kompas
Perempuan yang Memegang Tali Anjing ilustrasi Yuswantoro Adi/Kompas
Perempuan itu selalu datang bersama seekor anjing pudel ke toko buku yang hanya buka pada hari Minggu. Ia menambatkan tali anjing di sebuah tiang besi di halaman toko, berbicara sebentar kepada pudel berbulu krem kesayangannya—lebih banyak tentang larangan yang harus dipatuhi si pudel—sebelum ia masuk dan mencari buku yang akan dibacanya selama dua jam. Toko buku itu memang menyediakan buku-buku yang boleh dibaca oleh pengunjung. Pemiliknya sudah tentu orang yang murah hati atau—jika itu tidak berkaitan dengan kemurahan hati, mungkin saja ia sengaja membuka toko itu agar ada orang-orang yang mengunjunginya di akhir pekan dan membuatnya tidak kesepian. Pemilik toko buku, lelaki berusia 60-an tahun dan telah lama hidup sendirian. Perempuan yang selalu datang bersama anjing pudel—ia pelanggan tetap toko itu—tidak pernah berbicara dengan lelaki pemilik toko, sebab ia ke sana memang hanya untuk membaca buku dan itu membuatnya belum sekali pun pergi ke meja kasir tempat si pemilik toko menghabiskan waktunya sambil mencermati berita di beberapa surat kabar.
Pengunjung toko buku itu tidak terlalu banyak. Itu cukup menguntungkan untuk perempuan yang selalu datang bersama anjing pudelnya. Ia memang sudah lama meninggalkan kehidupan yang ramai dan tak pernah ke mana-mana selain membawa anjingnya keluar untuk jalan-jalan, sampai ia menemukan toko buku itu. Ia sangat senang bila mengunjungi toko buku di Minggu pagi dan belum ada satu pengunjung pun yang datang selain dirinya. Setelah memilih buku-buku yang akan dibacanya, ia mencari tempat duduk di pojokan dan dari sana ia bisa mengawasi anjingnya lewat kaca bening tembus pandang. Bila dilihatnya anjing itu sedikit gelisah, ia berkata dengan gerakan bibirnya, “Tenang ya, tidak akan ada yang mengganggumu di sana.”
Umur perempuan itu sekitar 40 tahun, memiliki pipi lebar dan bintik-bintik coklat menumpuk di sekitar hidung akibat pengaruh buruk matahari selama bertahun-tahun dan ketidaksukaannya mengenakan krim pelindung kulit. Masel, demikian ia menyebut dirinya ketika ia sesekali bergumam saat menemukan hal-hal menarik dari buku yang dibacanya. Hi-hi-hi, ini lucu sekali, Masel! Oh, tidak, Masel, kau tidak boleh berpikir ingin memelihara kelinci yang memiliki telinga kelewat panjang (ia pun mengetuk-ngetuk batok kepala dengan salah satu jarinya). Perempuan itu hanya membaca buku anak-anak—kebanyakan majalah atau buku cerita bergambar. Buku-buku yang membuat wajahnya seketika mengeluarkan warna kanak-kanak yang kental; kepolosan seorang bocah dan ketidakpedulian akan apa pun selain kepada dunianya sendiri.
Masel, kau tidak ingin turun sarapan?
Kau harus keluar dari kamarmu, Masel.
Masel, bunga krokot pagi ini begitu merah.
Kau tidak boleh melewatkan warna langit yang biru ini, Masel.
Masel, aku pasti akan membuat dadaku terbelah dan aku berdarah, jika kau terus keras kepala.
Masel, sini, jangan takut kepadaku.
Masel, tolong cintai aku!
Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya. Ia melepaskan buku di tangannya dan terdiam sebentar. Di luar, anjingnya bermain-main dengan sebuah kotak. Anjing itu tidak pernah terlalu menyusahkannya. “Anjing baik,” desahnya dan tersenyum. Pemilik toko buku diam-diam memperhatikan dari tempat ia duduk, tapi perempuan itu sama sekali tidak tahu. Sama seperti perempuan itu tak tahu kalau pudel yang selalu dibawanya itu sebenarnya sudah lama tiada. Perempuan itu betul-betul lupa jika suatu hari ia menemukan pudel itu sudah menjelma boneka dengan kepala terkulai di gudang rumah dan lelaki itu berbisik di belakang telinganya, “Masel, ini kejutan untukmu.”
***
Minggu pagi ini, perempuan itu kembali datang ke toko buku yang baru saja dibuka dan kacanya masih lembap sehabis dibersihkan oleh petugas. Ia memegang tali anjing seperti biasa dan segera berjongkok untuk menambatkannya ke sebuah tiang besi di halaman toko. Dari dalam, pemilik toko mengamati apa yang dilakukan perempuan itu. Pemilik toko mengenal wajah orang yang biasa datang ke tempatnya—terlebih yang menjadi pelanggan tetap. Ia sudah menganggap mereka teman dekat meski mereka tak pernah berbicara panjang atau sama sekali tak bertegur sapa sebagaimana ia dan perempuan itu. Untuk itu, pemilik toko merasa risau saat melihat tamunya itu berjongkok dan mengikatkan tali anjing ke sebuah tiang besi, sementara ia tak melihat seekor anjing bersama perempuan itu. Begitu berdiri kembali, perempuan berambut pendek itu menepuk-nepukkan kedua tangannya pelan seolah sedang membuang debu yang menempel, lalu meninggalkan tali anjingnya dan cepat-cepat masuk ke dalam toko buku.
Di dalam toko, perempuan itu langsung menuju rak yang biasa ia kunjungi. Deretan komik, ensiklopedia berbagai bidang ilmu pengetahuan, cerita bergambar, fabel, novel anak terjemahan, berbagai jenis majalah anak, tertata dengan baik (setiap toko akan ditutup, pemiliknya menugaskan seorang pekerja untuk merapikan semuanya). Ia memilih satu cerita anak terjemahan The BFG: Raksasa Besar yang Baik Hati karangan Roald Dahl, buku dongeng Nusantara bergambar, sejumlah majalah National Geographic Kids, dan menuju pojok tempat biasa ia membaca. Pudel kesayangannya bermain di halaman. Pudel itu sedikit ribut dan banyak menggeram. Ia berkata dengan gerakan bibirnya, “Ingat ya, jangan nakal, aku mengawasimu.” Anjing itu berhenti menggeram, tapi tetap berputar-putar mengelilingi tiang dan membuat perempuan itu merasa perlu menambah latihan soal kedisiplinan agar anjingnya dapat tetap tenang ketika dibawa ke tempat umum.
Masel, kau tidak boleh keluar rumah lagi, ingat itu.
Kau tidak disiplin, Masel!
Aku akan mati kalau kau sampai terlambat pulang, Masel.
Masel, kau satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.
Kau mencintaiku, Masel?
Masel, bulannya indah sekali, lihat sini.
Masel, aku tidak suka kau diam saja.
Masel, kau tidak makan lagi seperti kemarin?
Kau ingin melihat dadaku benar-benar terbelah, Masel dan aku berdarah?
Lihatlah nanti, Masel!
Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya sambil memandangi pudel yang sekarang tak lagi berputar-putar. Ia berpikir ulang untuk memberi latihan yang lebih keras untuk pudel. Mestinya tidak apa-apa jika pudel sedikit nakal dan bebas. Ia senang bebas. Pudel pun harusnya begitu. Lepaskan aku. Apa, Masel? Aku tidak bisa bersamamu lagi. Jangan mengada-ada, Masel! Kau gila! Aku mencintaimu, Masel. Sudah cukup. Tidak, Masel, kau tetap akan di sini sampai aku mati. Tapi kau sudah lama mati. Tidak, Masel, aku tetap hidup dalam dirimu.
Perempuan itu buru-buru membuka majalah yang mengulas soal binatang dan kekhasannya. Ia ingin segera membuat wajahnya kembali berwarna kanak-kanak dan ia tak perlu mengingat apa-apa. Ia tahu hanya kembali ke dunia kanak-kanak ia bisa selamat dari keruntuhan moral yang menggerogotinya, membuatnya melupakan apa saja yang telah terjadi, menjauhkannya dari ingatan tentang hari-hari ketika ia menyaksikan lelaki itu mengiris-iris kulit lengan, membenturkan kepala ke dinding, memukul tembok dan punggung tangan bonyok, hingga membelah dadanya sendiri di puncak ketidakwarasannya.
Ini caraku mencintaimu, Masel.
Ini caraku agar kau selalu mengingatku.
Ma-sel, perempuan itu bergumam resah. Ia ingin sekali bebas dari namanya sendiri. Nama yang bergetar begitu saja dari bibirnya. Nama yang membuatnya tak pernah benar-benar bebas dari lelaki itu setelah sepuluh tahun kematiannya. Ah, Ma-sel! Perempuan itu menggetap gerahamnya. Pagi itu, ia baru saja terbangun dan di depannya lelaki itu berdiri dengan dada yang terbelah dan berdarah dan menggumamkan namanya terus-menerus: Masel, Ma-sel, Ma-sel…. Ma-sel.
Ma-sel, perempuan itu kembali bergumam dan berusaha menancapkan matanya ke majalah yang ia bentangkan lebar-lebar dan berucap, ini gambar panda, Masel. Hi-hi-hi, lucu sekali ya, panda ini bisa berdiri dengan tangannya di bawah dan kaki di atas. Ia tak henti-henti bicara kepada dirinya sendiri. Ia tak henti-henti tertawa.
***
Toko buku belum dibuka saat perempuan yang memegang tali anjing berdiri di depannya. Perempuan itu tetap berdiri selama setengah jam. Ia meremas-remas tali di genggamannya atau menekan jari-jari kakinya ke tanah. Satu jam berlalu, tak satu orang petugas pun yang keluar untuk mulai membereskan segala sesuatu. Dua jam berlalu, perempuan itu tahu kalau toko buku tak akan dibuka pada hari Minggu ini, tapi ia tetap saja berdiri di sana dan menunggu, sebab ia tak memiliki tempat lain yang ia tuju selain toko buku itu.
Dari jendela lantai dua rumahnya, lelaki pemilik toko memperhatikan perempuan yang berdiri menghadap toko bukunya dan, seperti biasa, pelanggan yang dikenalnya itu memegang sebuah tali seakan-akan ia datang bersama seekor anjing. Pemilik toko ingin sekali memberi tahu kalau toko bukunya tidak akan pernah dibuka lagi pada hari Minggu karena ia telah merencanakan perjalanan panjang ke sejumlah negara selama satu tahun penuh dan meminta perempuan itu pulang saja. Namun, sebelum pemilik toko itu beranjak untuk menemui perempuan itu, di tepi jalan, ia melihat seorang anak kecil menarik-narik lengan ibunya sambil sebelah tangannya menunjuk ke arah perempuan yang sedang berdiri memegang tali anjing.
“Mama, lihat, ada anjing pudel.”
“Wah, ya, anjing itu pasti terlepas dari pemiliknya.”
Mereka mendekati anjing yang di lehernya dipasangi tali dan mengelus-elus bulunya.
“Kita bawa pulang, Ma?”
“Tidak, Masel, kita tunggu pemiliknya datang.”

Yetti A.KA, lahir dan besar di Bengkulu. Tulisannya, berupa cerita pendek, puisi, dan artikel pernah dimuat di beberapa media massa nasional. Buku kumpulan cerita pendek tunggal yang telah terbit; NUMI (2004), Musim yang Menggugurkan Daun (2010), Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Kinoli (2012), Satu Hari yang Ingin Kuingat (2014), Penjual Bunga Bersyal Merah (2016), Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016). Novel Cinta Tak Bersyarat (2015) dan Peri Kopi (2017). Penerima Anugerah Kebudayaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2004 atas cerpen Musim yang Menggugurkan Daun. Kumpulan Cerpen Kinoli (2012) masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award, 2013, kategori prosa.

Burung-Burung Membangun Masjid



Burung-Burung Membangun Masjid ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpeg
Burung-Burung Membangun Masjid ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Gaduh penolakan meledak seperti bom di tengah ruang an rapat itu. Malam itu Kampung Karanongko mengadakan musyawarah pembangunan masjid. Sudah lama memang Kampung Karangnongko memimpikan tempat ibadah yang lebih luas dan layak, bangunan indah tempat berdoa secara khusyuk dan berharap bertemu segala kebaikan. Kini cita-cita itu akan lekas terwujudkan, mengingat tempat ibadah yang acap mereka gunakan sebelumnya hanyalah mushala kecil. Itu pun milik tetangga kampung. Dan mereka harus menyeberangi sungai terjal serta licin terlebih dahulu. Belum lagi apabila air sedang naik, mereka harus berpikir dua kali untuk mengunjunginya.
Setelah mimpi indah untuk membangun masjid sudah di depan mata, mereka malah mendebatkan sesuatu yang tidak penting. Di ruang rapat itu mereka saling tikam kata, menghujat kalimat pedas. Hal- hal yang tidak pantas seharusnya dikatakan dalam musyawarah pembangunan masjid, menggelontor seperti deras air dari jamban pembuangan. Pekik orang-orang tersulut emosi terus terdengar. Wajah-wajah merah dan pias melekat di genangan air muka mereka. Perdebatan bahkan bertahan sampai satu jam lebih. Hingga musyawarah tidak menghasilkan apa-apa.
“Saya tidak setuju kalau masjid kita dibangun di RT 07,” kata salah seorang warga.
Pokoknya harus dibangun di RT 08. Karena tempatnya yang lebih luas dan strategis.
Sanggahan juga dilayangkan oleh salah seorang warga RT 07. “Tidak bisa seperti itu! Kau tak paham apa? Tanah RT 08 tidak cocok untuk pembangunan. Mau masjid kita tiba-tiba roboh karena kesalahan teknis? Tidak! Masjid itu harus dibangun di RT 07!”
Rapat malam itu secara garis besar memang terbagi menjadi dua: antara RT 07 dan 08. Kampung K secara geografis cukup luas. Kampung K memiliki dua wilayah otonom yang melingkupi dua daerah. Karena hal inilah mungkin rapat pembangunan harus diadakan.
Semua warga dikumpulkan di balai desa mencari pemecah masalah dari pembangunan masjid tersebut. Namun, bukan solusi masalah yang mereka dapatkan. Mereka malah menambah runyam keadaan dengan perdebatan. Dua belah pihak masing-masing kukuh menginginkan masjid tersebut dibangun di daerah mereka.
Perdebatan terus terjadi. Sepanjang sore hingga larut malam, warga kampung masih mendebatkan hal yang sama. Sampai kemudian seorang kepala desa, yang memang sengaja didatangkan untuk menengahi silang pendapat, mengambil solusi. Kepala desa menyuruh warganya mengambil suara terbanyak. Semacam pemilihan kecil di mana nanti masjid tersebut akan dibangun. Begitulah. Seperti solusi yang diusulkan oleh kepala desa, satu per satu warga mengambil suara. Tentu setiap warga akan lebih mengutamakan daerahnya masing-masing. Namun, tidak menutup kemungkinan ada satu atau dua orang warga yang menghendaki masjid itu untuk dibangun di tempat lain.
Setelah beberapa saat berlalu, hasil pemilihan suara dapat dikumpulkan. Kepala desalah yang menghitung hasil pemilihan. Dengan wajah pucat kepala desa menatap ke setiap warganya yang cemas. Hasilnya memang di luar perkiraan. Hasil dari pemilihan seimbang. Kepala desa kembali menyarankan untuk mengambil suara. Dan sekali lagi hasilnya sama. Sampai empat kali pengambilan suara, hasilnya tidak berubah. Kepala desa yang menangani masalah ini lantas geleng kepala.
“Sepertinya Tuhan menyuruh kita untuk memecahkan masalah ini dengan kepala dingin. Musyawarah ini harus menemukan hasil yang adil. Tapi selalu saja ada hal aneh terjadi. Suara yang saya hitung selalu jumlahnya sama,” kata kepala desa.
Kejadian ini tidak masuk akal. Secara kebetulan hasil suara selalu sama; seolah jumlah warga di kampung ini memiliki jumlah yang genap. Namun, masalah mengenai ‘Di mana masjid ini akan dibangun?’ harus lekas dipecahkan. Kepala desa menarik napas. Udara yang menggumpal di dadanya diembuskan berat. Ia tatap larik demi larik wajah warganya. Dengan sikap, yang mungkin, putus asa, ia melempar kalimat ke tengah warganya yang masih menunggu solusi.
“Adakah di antara kalian yang ingin mengalah dan membiarkan masjid itu dibangun pada salah satu kampung. Karena nanti pada akhirnya, masjid ini kalianlah yang menggunakan,” ujar kepala desa lagi.
Perdebatan malah kembali terjadi. Bahkan, adu pukul hampir tumpah di balai desa tersebut. Masing-masing warga Kampung Karangnongko kukuh dengan pendiriannya, kalau masjid itu harus dibangun di tanah RT mereka. Sampai kemudian, karena sudah kehabisan ide, kepala desa menyarankan untuk membagi saja material dan uang yang telah dikumpulkan. Hal ini disetujui. Dua RT itu lantas membagi dengan berusaha seadil mungkin material barang dan uang yang telah terkumpul. Mereka memutuskan membangun masjid sendiri di daerah masing-masing.
***
Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya pembangunan itu dilakukan. Kini masing- masing warga Karangnongko mulai sibuk menata masjid yang telah diimpikan. Mereka dengan giat dan gotong royong membangun masjid tersebut. Mereka merancang dengan teliti, sembari menyesuaikan dengan modal, pembangunan masjid tersebut. Pembangunan pun mulai berjalan di kedua belah pihak. Namun di sela-sela pembangunan, masih saja muncul gunjingan mengenai masjid yang sedang mereka bangun.
Seorang warga RT 07 menggunjing masjid yang akan dibangun RT 08. “Masjid tetangga kita sepertinya akan lebih mewah dan besar dari milik kita. Kita harus membuat masjid yang tak kalah besar, luas, dan indah dari mereka.”
Arkian warga RT 07 berusaha membangun masjid yang lebih besar dari tetangga mereka. Warga pun berusaha membangun dengan mengumpulkan uang lebih banyak lagi dari warganya. Gotong royong setiap sore dan akhir pekan semakin giat dilakukan. Karena melihat semangat warga RT 07, masyarakat RT 08 merasa tersaingi. Mereka, penduduk RT 08, tidak terima dengan pembangunan masjid RT 07 yang pesat. Bahkan, saat melihat kerangka bangunan yang lebih besar, warga RT 08 seolah terbakar kecemburuan.
“Kita tidak boleh kalah oleh warga kampung RT 07. Mereka tidak boleh memiliki masjid yang lebih baik dari kita.”
Persaingan terus terjadi. Bahkan, kini di benak warga berlangsung perang dingin. Mereka tidak saling menyapa satu dengan lain. Anak-anak mereka pun tidak boleh bermain dengan warga yang menjadi saingan. Pembangunan masjid itu berjalan semakin parah ketika modal salah satu RT habis. Mereka dengan curang mencuri material bangunan dari RT pesaing masing- masing. Pertengkaran bertambah memanas dan acap kali menimbulkan konflik pertengkaran yang tidak terhindarkan.
***
Sengit perasaan warga memang telah menimbulkan perpecahan. Hubungan yang sebelumnya baik menjadi runyam. Bahkan ada seorang warga, RT 08, yang akan menikahkan anaknya ke RT 07, batal karena persaingan pembanguan masjid. Dan mungkin dari semua warga yang sedang berkepala batu itu, hanya Karta seorang yang dapat berpikir jernih. Karta merupakan salah seorang warga RT 07. Setiap sore, ketika membangun masjid di daerahnya, Karta berusaha menjembatani hubungan dua RT agar kembali akur. Namun, selalu saja penolakan yang didapatkan Karta.
Begitu juga, yang dilakukan Karta ketika berkunjung dan berusaha menyambung silaturahim dengan tetangga satu kampungnya. Bukan tanggapan baik yang Karta dapat.
Ia malah dianggap sebagai mata-mata RT 07. Bahkan, Karta nyaris dihajar ramai-ramai karena kedatangannya ke RT 08. Karta tidak lelah mencoba menghubungkan kembali tali persaudaraan yang sempat putus itu. Pun dirinya yang mulai dikucilkan oleh warga sekitar rumahnya karena dianggap berkhianat, tidak ambil pusing. Karta, di tengah segala keterbatasan, akhirnya membuat rencana, yaitu mempertemukan ketua RT masing- masing. Dan seperti yang telah direncanakan, dua RT tersebut datang.
“Apa maksudmu menyuruhku datang ke sini! Lebih-lebih aku harus bertemu orang yang tak mau mengalah seperti ketua RT 07!” kata ketua RT 08.
“Ehh, lihat! Siapa yang tak mau mengalah!” Balas ketua RT 07. “Karta, apa maksud semua ini!”
Karta yang merasa muak dengan persaingan dua RT satu kampung ini menjelaskan maksudnya. Karta mengundang mereka dengan maksud jalur damai. Namun, bukan tanggapan baik yang Karta dapat. Karta malah seperti menuangkan minyak di tengah tungku api. Kemarahan dan kebencian dua belah pihak semakin membara. Karta kebingungan dengan hal itu. Sampai kemudian, ketika Karta menengadah kepala, melihat puluhan burung bangau terbang melintasi kepala mereka. Karta menyuruh kedua RT tersebut menengadah.
Ujar Karta. “Kalian tidak malu dengan burung-burung itu. Mereka terlihat kompak dalam segala hal. Apa hati kalian tidak terketuk? Kita manusia diciptakan dengan akal dan pikiran lebih dari mereka.”
Penjelasan Karta seperti angin lalu yang tidak mengubah apa pun.
***
Usaha yang dilakukan Karta tidak menghasilkan apa-apa. Persaingan yang mendekam di hati masing-masing warga semakin hitam menggumpal. Seperti mendung malam itu. Setelah mempertemukan dua pihak, Kampung Karangnongko diterjang hujan deras sempajang malam. Petir tidak luput hadir. Bahkan, banjir menggelogok deras menenggelamkan kampung. Sampai pagi menyingkap tirai malam, masing-masing RT menyadari kalau masjid yang mereka bangun roboh, rata dengan tanah.
***
Sore harinya, di tengah segala ke dukaan atas robohnya dua masjid yang dibangun, hal aneh terjadi. Sekelompok burung bangau datang dalam jumlah ribuan. Burung-burung bangau itu membuat bayangan gelap di atas kampung. Sampai salah satu warga menyadari kalau burung-burung bangau itu memunguti material bangunan dua masjid sebelumnya yang roboh.
“Burung-burung bangau itu membangun masjid! Lihat burung-burung itu!”
Semua warga berkumpul menyaksikan keajaiban itu, ketika satu per satu batu disusun kembali dengan ajaib oleh burung- burung bangau. Pun sembari memandang burung-burung bangau yang terlihat kompak itu, di benak masing-masing warga terbetik rasa malu dan menyesal dengan apa yang mereka lakukan.

RISDA NUR WIDIA. Pernah juara dua sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Nominator tiga besar buku sastra terbaik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yogyakarta 2016. Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Bulu Perkutut Majapahit


Bulu Perkutut Majapahit ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka
Bulu Perkutut Majapahit ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Joko bercerita setengah berkelakar, bisa hidup sukses karena menyimpan bulu perkutut majapahit. Bulu perkutut itu pemberian dari Pak Tua, yang berdagang buku bekas keliling di kampus.
Kini, Joko kini memang telah jadi tokoh publik sejak novel trilogi karyanya menjadi best seller. Joko, dengan nama pena Andrea El-Shirazy, tak hanya populer. Dia termasuk salah seorang dari 1.000 miliarder di negeri ini.
Aku tak mengagumi kesuksesan dia. Aku paham dan tahu benar secara detail jejak langkahnya. Penampilan Joko sangat tak meyakinkan bagi siapa pun. Sosok Joko sebagai guru dapat dikatakan memprihatinkan. Tubuh kurus kering, rambut keriting, tatapan mata layu. Saat dia berpakaian seragam kusam, orang menduga paling mentok dia tukang kebun di sekolah.
Aku tak bermaksud merendahkan. Namun begitulah kesan pertama saat guru cum penulis itu bertamu ke kantor penerbitan yang kupimpin.
Kini, penampilan Joko tak berubah. Namun tak seorang pun berprasangka dia tukang kebun di sekolah. Tak ada lagi, terutama aku, yang berani menyatakan dia sungguh memprihatinkan. Semua orang tahu, dialah Andrea El-Shirazy.
Meskipun bukan penggemar fanatik yang membaca karyanya dan hafal di luar kepala tokoh-tokoh novelnya, aku bisa menceritakan ulang dengan sangat baik novel Perkutut karya Andrea El-Shirazy. Dalam novel itulah dia menceritakan tentang bulu perkutut majapahit. Akulah orang pertama yang membaca novel itu dan langsung memutuskan untuk menerbitkan, meski tim redaksi tak merekomendasikan.
Begini awal cerita dalam novel itu.
“Mas, maukah kau menyimpan bulu ini di sela-sela bukumu?” tanya Pak Tua, si penjual buku.
“Untuk apa, Pak?” tanya Joko agak heran.
Pak Tua menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu mengambil napas panjang. Raut wajah Pak Tua serius, agak gusar.
Saat itu memang cuma Joko yang memilih-milih buku Pak Tua yang tergelar di bawah pohon mangga dekat gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Padahal, tak biasanya Joko sendirian membaca-baca buku bekas dagangan Pak Tua. Melihat gerak-gerik Pak Tua yang mencurigakan, Joko gelisah. Hatinya dag-dig-dug. Dia ingin segera beranjak, meninggalkan Pak Tua. Namun kakinya seolah tertanam di tanah. Dia tak berdaya untuk bangkit dari posisi jongkok.
“Mas, ini bukan bulu biasa. Ini bulu burung perkutut majapahit. Bulu ini sudah saya simpan secara turun-temurun. Menurun dari kakek saya ke bapak saya, dan tersimpan sejak zaman Majapahit. Bahkan dulu disimpan oleh Mahapatih Gadjah Mada. Gadjah Mada sukses mewujudkan Sumpah Palapa menyatukan Nusantara karena menyimpan bulu ini.”
“Bagaimana bisa dia yang menyimpan?” batin Joko heran.
Muncul praduga dalam pikiran Joko, Pak Tua adalah trah Gadjah Mada. Namun dia menyangkal dugaan itu. Masa trah Gadjah Mada hanya jadi penjual buku bekas keliling? Betapa mungkin keturunan Mahapatih Gadjah Mada yang tersohor hanya jadi orang pinggiran? Tak masuk akal!
Dalam benak Joko berkecamuk bermacam perkara soal klenik, rasionalitas, sejarah Kerajaan Majapahit, kesuksesan, dan kemusyrikan. Joko tertegun. Dia tersentak sadar saat mendengar, “Nanti saya ceritai. Simpan dulu bulu ini di sela-sela bukumu, sebelum ada orang melihat,” kata Pak Tua sambil menyerahkan bulu itu kepada Joko, setelah mengambil buku yang terbungkus kain putih dan memasukkan ke kantong plastik.
Seolah tersihir, Joko segera menyimpan bulu itu. Lalu dia berdiri dan mundur selangkah. Joko berbalik dan melangkah pergi. Seolah ada hawa sihir menyelimuti tubuhnya, dia tak mengucapkan terima kasih. Padahal, Pak Tua belum sempat bercerita.
Belum genap sepuluh langkah, Joko menoleh. Dia melihat ada mahasiswa lain datang ke lapak Pak Tua. Degup jantung Joko mengeras dan mengencang. Dia mempercepat langkah. Dia khawatir mahasiswa itu memanggil dia, hendak mengetahui bulu perkutut pemberian Pak Tua.
Bukan perkara rahasia atau tak. Namun Joko yakin bulu perkutut itu berbau klenik. Menerima pemberian bulu perkutut memang sederhana, tak bisa disebut gratifikasi. Wong dia bukan pejabat. Namun bila mengandung maksud agar bisa hidup sukses, itu berbahaya. Joko yakin cuma kecerdasan, kerja keras, dan ketakwaanlah yang membuat seseorang sukses.
Joko dan aku sudah sering bersama menghadiri bedah buku atau jumpa penggemar. Terutama, sejak novel pertama karyanya kuterbitkan. Awalnya sih dia kuminta ikut mempromosikan novel Perkutut melalui road sow dari kampus ke kampus. Setahun berlalu mulai ada undangan atau permintaan dari komunitas pencinta sastra agar penulis novel Perkutut menghadiri diskusi dan bedah buku yang mereka selenggarakan.
Sebagai penerbit, aku mendukung aktivitas Joko itu. Pada tahun kedua, Joko berhasil menyelesaikan novel kedua, Zaman Majapahit, dan tahun berikutnya novel ketiga, Burung.
Singkat cerita, setelah empat tahun kami bersama-sama, kini kami jadi sahabat yang sama-sama menikmati kesuksesan. Saya tak lagi memanggil dia Pak Joko, dia pun tak lagi menyapaku Pak Jono. Entah sejak kapan, kami tak menyadari hal itu.
Suatu malam, pada peresmian sanggar penulisan fiksi milik Joko, tiba-tiba aku ingin melihat bulu perkutut majapahit itu.
“Apakah bulu perkutut itu masih ada, Jok?” tanyaku.
“Mungkin,” jawab Joko ringan.
“Lo?”
“Sejak jadi sarjana sampai punya rumah, telah puluhan kali aku pindah tempat tinggal. Bahkah sampai menikah dan anak keduaku lahir, kami masih tinggal di rumah kontrakan.”
“Aku cuma ingin melihat. Sama atau tidak dengan bulu ayam warisan ibuku yang kusimpan di sela-sela buku harian.”
“Apa wasiat ibumu saat kau menerima bulu ayam itu?” tanya Joko.
“Ibu meninggal setelah melahirkan aku. Bulu ayam itu kuterima dari kakak sepupuku ketika aku berumur 11 tahun. Dari Kak Puspa, yang pernah berkenalan denganmu.”
“Oh ya, aku ingat,” sahut Joko.
“Kata kakakku, ‘Ini warisan dari ibumu yang dititipkan pada ayahmu. Sebelum wafat, ayahmu menitipkan padaku.’ Begitu.”
“Apa bulu itu bisa membuatmu sukses? Atau agar kamu selamat? Atau agar dicintai dan dikasihi banyak orang?” tanya Joko penasaran.
“Ah, jangan melantur. Mana bulu perkutut majapahit itu? Cepat ambil, aku mau lihat.”
“Mana kutahu!”
“Ah, yang benar saja!”
“Setelah menerima bulu perkutut itu, aku tak jadi kuliah hari itu. Perasaan dan pikiranku campur aduk. Aku bahkan menggigil di kamar kos.”
“Apa itu pengaruh magis bulu perkutut itu?”
“Tak tahulah. Aku khawatir bila mengikuti kuliah kemungkinan besar akan membuka buku itu. Bayanganku, semua teman akan menertawakan atau jijik melihat bulu di bukuku. Aku khawatir mereka bertanya-tanya bulu apa yang aku bawa dan untuk apa. Mengapa aku menyimpan bulu? Bagaimana bila bulu itu mengandung virus flu burung?”
“Itu kan cuma perasaanmu.”
“Entahlah. Aku juga khawatir bila bertemu Mirza, bunga kampusku.”
“Lo? Kau punya utang pada dia dan belum bayar?”
Ngaco! Semiskin-miskin aku, mana mungkin utang pada dia? Itu akan menjatuhkan citraku ke titik nadir. Aku laki-laki normal, wajar jika naksir gadis secantik Mirza.”
“Kamu nembak dia?”
“Ya, iyalah… Tapi tak secara langsung.”
“Bagaimana kau mengungkapkan cinta?”
“Kutulis puisi tentang dia, tentang kecantikannya yang tiada dua di dunia, tentang cintaku dan mimpiku pada dia.”
“Sudah kauberikan puisi itu pada Mirza?”
“Seharusnya kuberikan hari itu. Namun ternyata bulu perkutut majapahit terselip dalam buku kumpulan puisi itu.”
“Yah…, mana Mirza tahu kau mencintai dia!”
“Pupuslah harapan hidupku, semangatku, cintaku. Tiba di kos, kusimpan buku itu dalam kardus bersama buku-buku bekas lain.”
“Lalu?”
“Sejak saat itu aku tak pernah melihat lagi bulu perkutut itu. Oh ya, mana bulu ayam itu? Aku mau lihat.”
“Mana kutahu!”
“Yang benar saja?”
“Benar. Jujur, aku belum pernah lihat lagi sejak menerima bulu itu dari Kak Puspa. Saat itu langsung kuselipkan dalam buku harian.”
“Apa pesan Kak Puspa?”
“Katanya, bulu ayam itu warisan dari kakek moyangku sejak zaman Majapahit.”
“Apa buku harian itu bernasib sama dengan bukuku?”
“Ah, kau sudah tahu jawabnya bukan?” (44)

Mujiana A Kadir, menulis cerpen dan novel. Novelnya yang telah terbit Dua Perempuan (penerbit Tinta Institute Yogyakarta).

Kata Kata ( Doa )

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/564x/91/37/3a/91373a78bf23290df688bc804cf165e9.jpg

Kutipan Man’s Defender

Keluarga adalah dasar hidup manusia. Awal hidup manusia. Sumber hidupnya yang pertama. Dari situlah semua berawal. (hlm. 91)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Perbedaan itu harus dihargai. (hlm. 75)
  2. Budaya dibangun di sekitar sumber makanan. (hlm. 93)
  3. Kau harus memperlakukan dirimu seperti bonsai. Cobalah hidup selaras dan terbuka dengan lingkunganmu. (hlm. 107)
  4. Tuhan memberi kita bakat, kita bukanlah sesuatu yang sia-sia. (hlm. 108)
  5. Masing-masing orang itu unik. (hlm. 119)
  6. Budaya bercerita sangat baik untuk menyampaikan nilai-nilai luhur pada generasi berikutnya. (hlm. 128)
  7. Persahabatan murni yang benar-benar berdasarkan keinginan untuk berbagi. (hlm. 136)
  8. Mimpi itu ada dalam alam bawah sadarmu. Pada akhirnya, kau sendiri yang bisa mengerti artinya. (hlm. 138)
  9. Kita tidak bisa mengubah orang lain. Tapi, kita bisa mengubah diri kita sendiri. (hlm. 143)
  10. Hidup yang tenang adalah hidup yang seimbang. Dalam kesenangan ada kesedihan. Dalam kekuatan ada kelemahan. Dan semua itu harus dioalah. (hlm. 205)
  11. Menjadi dewasa adalah berani menghadapi tantangan, berani mengambil risiko, berani bertanggung jawab. (hlm. 211)
  12. Semua ada dalam pikiranmu. Kau yang memegang kendali. (hlm. 269)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Tidak semua pelajaran mengerikan. (hlm. 54)
  2. Anak tidak boleh memaki orangtuanya. (hlm. 71)
  3. Mimpi tidak selalu buruk. (hlm. 137)
  4. Terlalu banyak tahu kadang-kadang malah mengundang orang lain untuk mengerjaimu. (hlm. 143)
  5. Jangan memikirkan hal-hal negatif begitu. (hlm. 156)
  6. Hidup tidak pernah berjalan seperti yang diharapkan. Hidup selalu penuh kejutan. (hlm. 259)

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Seseorang yang ahli dalam kesabaran
adalah ahli dalam segala hal" - George
Savile
Dear Hanihyung yang sabar,
Sebuah pepatah mengatakan Roma tidak
dibangun dalam sehari. Demikian juga
kesuksesan tidak dibangun secara
instan.  Apalagi jika itu adalah
sebuah kesuksesan jangka panjang.
Untuk mencapai sebuah tujuan
diperlukan kesabaran. Jika Anda ingin
sampai ke kantor atau rumah dengan
selamat, tentu Anda harus sabar
menghadapi kemacetan dan pengemudi
lain yang ugal-ugalan atau melanggar
lalu lintas. 
Demikian juga untuk menggapai
kesuksesan. Kesabaran adalah kunci
dan fondasi untuk membangun
kesuksesan. Jika Anda dicemoohkan
orang, mendapatkan penolakan,
menghadapi banyak rintangan atau
belum memperoleh hasil signifikan
dari kerja keras Anda selama ini,
bersabarlah.
Sebelum menjadi orang terkaya di
dunia versi majalah Forbes, Bill
Gates selama bertahun-tahun menerima
pendapatan dari software ciptaannya
hanya $2 per hari. Nilai yang lebih
rendah dari gaji seorang pegawai
rendahan sekalipun di Amerika. Tapi
Bill Gates tetap sabar dan yakin
dalam menjalankan bisnisnya.
Demikian juga J.K Rowling, penulis
laris buku Harry Potter yang sangat
mendunia. Sebelum sebuah penerbit
kecil di Inggris, Bloomsbury
menerbitkan novel Harry Potter, J.K
Rowling  menghadapi 12 kali penolakan
terhadap manuskripnya. Seandainya J.K
Rowling menyerah dan tidak sabar
dalam menghadapi 12 penolakan
tersebut, kita tidak pernah membaca
hasil karyanya menakjubkan itu dan ia
pun tidak sesukses seperti sekarang
ini.   
Hanihyung, jika Anda merasa sudah cukup
bersabar. Tambahkan lagi dosis sabar
Anda. Perbedaan antara kesuksesan dan
kegagalan adalah pada kesabaran dan
ketekunan.