Daftar Blog Saya

Senin, 05 Februari 2018

Orang-orang Berjalan Lambat

Cerpen Badrul Munir Chair (Media Indonesia, 04 Fberuari 2018)
Orang-orang Berjalan Lambat ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Orang-orang Berjalan Lambat ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
ANGIN yang bertiup di pelabuhan menguarkan aroma kesedihan. Langit sedang mendung dan suasana pelabuhan terlihat temaram. Mereka, puluhan orang yang memikul beban di pundak masing-masing, berjalan sangat lambat menuju dermaga, seakan enggan untuk cepat-cepat sampai di kapal yang tengah bersandar, kapal yang akan membawa mereka ke tanah seberang, kapal yang akan memisahkan mereka dengan segala yang mereka miliki di tanah ini: rumah-rumah yang telah terbakar, sawah-sawah siap panen yang kini harus ditinggalkan, juga seluruh kenangan. Segalanya harus lenyap hanya dalam hitungan jam.
Tidak ada yang bisa menyangka bahwa peristiwa tadi malam akan mengubah kehidupan mereka secara tiba-tiba. Mereka sedang terlelap ketika puluhan orang berselubung hitam tibatiba datang menjelang dini hari dengan membawa senjata dan obor di tangan. Dalam waktu sekejap, obor yang dibawa puluhan orang berselubung hitam itu telah berpindah ke atas atap beberapa rumah, membakar atap, merembet ke kabel-kabel. Kobaran api terus menjalar hingga rumah-rumah lain yang jaraknya berdekatan satu sama lain itu nyaris terlalap semuanya. Hanya dalam waktu sekejap, hampir seluruh rumah di kampung itu dilalap oleh api.
Antara sadar dan tidak sadar karena menganggap apa yang terjadi hanyalah mimpi, mereka terlambat untuk menyadari bahaya yang tengah mengancam. Sebelas orang harus mati terpanggang di dalam rumahnya karena tidak sempat menyelamatkan diri, sementara sebagian besar yang selamat hanya bisa menyelamatkan sedikit dari yang mereka miliki. Hingga pagi hari, api yang melalap kampung itu masih terus berkobar, sementara para penghuninya terduduk lemas menatap puingpuing rumah yang terbakar, meratapi yang telah hilang.
Dan di pelabuhan inilah mereka berdiri sekarang, berjalan sangat lambat menuju dermaga. Memikul sebagian dari harta yang bisa diselamatkan di pundak masing-masing. Para perempuan memikul anak-anaknya yang masih kecil, sementara para laki-laki membawa barang-barang yang berhasil diselamatkan: pakaian, tas-tas berisi aneka barang, alat-alat elektronik, kasur busa, dan semua barang berharga yang masih mungkin untuk dibawa. Baik lakilaki, perempuan, orang tua, anak-anak yang berada di pelabuhan itu menunjukkan kemurungan yang hampir serupa, mengenakan pakaian yang dipenuhi dengan noda-noda asap yang berbau gosong dan menyengat.
***
“Ibu, kenapa kita harus pindah?” tanya seorang anak perempuan yang sedang digendong ibunya. Pertanyaan itu tidak terjawab. Sang ibu terus melangkah pelan menuju dermaga. Jika bukan karena bentakan para petugas berseragam yang terus-menerus berteriak agar mereka berjalan lebih cepat, mungkin ia akan lebih memilih ditinggal di pelabuhan ini saja. Anak laki-lakinya menjadi salah satu korban dari peristiwa tadi malam, dan bahkan sebelum ia sempat menyaksikan anaknya dikuburkan, ia dipaksa bergegas meninggalkan kampung halamannya, dengan alasan kondisi sedang tidak aman dan dikhawatirkan akan terjadi serangan susulan jika mereka tidak segera meninggalkan kampung itu.
Kepada para petugas yang memaksanya naik ke atas truk yang akan membawanya meninggalkan kampung halamannya, ia sempat bertanya, “Kenapa tidak kalian amankan saja orang-orang yang menyerang kami? Kenapa kami yang harus pindah? Seharusnya kalian melindungi kami.”
Pertanyaan itu tidak terjawab, kecuali dengan teriakan agar orang-orang segera naik ke atas truk untuk cepat-cepat meninggalkan kampung. Para laki-laki yang mencoba tetap bertahan di kampung mereka justru diseret paksa oleh petugas ke atas truk. Sekeras apapun perlawanan yang mereka lakukan untuk tetap bertahan dengan mudah dikalahkan oleh petugas yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak.
“Kami akan ikut, tapi tolong jelaskan dulu, kami mau dibawa ke mana?” tanya suami dari perempuan itu ketika mulai menyadari bahwa sia-sia saja terus melakukan perlawanan.
“Ke tempat aman,” jawab petugas itu singkat, sembari menggiring lelaki itu mendekati truk. Barangbarang yang selamat dari lalapan api dilempar begitu saja oleh para petugas itu ke atas truk.
“Bagaimana dengan sawah kami yang sudah siap panen?” tanya suami dari perempuan itu lagi, memikirkan sawah yang dirawatnya sejak empat bulan terakhir kini harus ditinggalkannya justru ketika sudah siap dipanen.
“Keselamatan kalian lebih penting. Di tempat kalian yang baru nanti, kalian juga bisa bercocok tanam.”
“Apakah kami akan dibawa ke tempat pengungsian yang jauh?” tanya seseorang ketika pintu belakang truk sudah ditutup. Pertanyaan itu lagi-lagi tak menemukan jawaban, hingga akhirnya mereka menyadari bahwa mereka memang akan benar-benar dipindahkan ke tempat yang jauh ketika mereka tiba di pelabuhan.
***
Truk yang membawa mereka tiba di pelabuhan menjelang sore. Langit berwarna kelabu, seakan tidak lama lagi bersiap untuk menurunkan hujan. Suasana isak tangis dan teriakan histeris memenuhi pelabuhan ketika mereka turun dari truk. Mereka sadar, mereka akan dibawa ke tempat yang jauh.
Oleh petugas, mereka langsung diarahkan untuk masuk ke aula yang cukup luas di area pelabuhan, diberi makanan berupa nasi kotak. Tidak lama setelah mereka menuntaskan makanan, para petugas itu langsung menyuruh mereka mengemasi barang-barang yang mereka bawa. Mereka harus segera menuju kapal sebab kapal akan segera diberangkatkan sebelum malam.
Tanpa melakukan koordinasi, tanpa memberikan informasi yang jelas tentang ke mana mereka akan dibawa pergi, para petugas itu terus berteriak agar mereka berkemas dengan cepat dan menggiring mereka menuju sebuah kapal yang sedang bersandar di dermaga. Maka dengan langkah sangat lambat seakan dibanduli beban yang teramat berat, mereka berjalan bergerombol menuju kapal, saling memendam ribuan pertanyaan dalam benak masing-masing. Langkah mereka terlihat lunglai karena masih terkejut dan nyaris tak percaya dengan peristiwa penyerangan tadi malam, juga tersebab keraguan apakah di tanah baru nanti akan benar-benar aman, atau justru lebih berbahaya bagi keselamatan mereka.
Jarak dari aula menuju dermaga di pelabuhan itu seakan-akan merupakan jarak terjauh yang mereka tempuh seumur hidup, jarak yang akan memisahkan mereka dengan kehidupan di masa lalu, memisahkan mereka dengan kampung, rumah, dan sawah yang mereka miliki. Di tanah seberang nanti, mereka akan memulai kehidupan baru yang mungkin lebih baik, atau justru sebaliknya. Tidak ada yang bisa memastikan, sebab kini segala keputusan tentang hidup mereka nanti bukan berada di tangan mereka sendiri.
“Ibu, kenapa kita harus pindah?” tanya anak perempuan yang sedang digendong ibunya itu, sementara sang ibu tak bergeming, terus melangkah pelan dan ragu. Sesekali ia mempercepat langkahnya jika terdengar teriakan dari petugas yang memaksa mereka untuk bergegas.
“Apakah di sana juga ada sekolah?” tanya anak perempuan itu lagi. Sang ibu lagi-lagi tak menjawab. Sementara sang ayah berjalan di belakang mereka, memikul dua buah tas dan kasur busa yang selamat dari lalapan api. Dibawanya barang-barang itu dengan hati-hati sebab hanya itulah benda berharga yang mereka miliki kini.
Gerimis mulai turun ketika beberapa orang di antara mereka mulai naik ke atas kapal. Para petugas yang semula berteriak menyuruh mereka untuk mempercepat langkah kini berlari bergegas menuju kapal untuk mencari tempat berteduh. Sementara, mereka yang memikul berbagai beban di pundaknya tidak juga mempercepat langkahnya meski gerimis yang turun menampakkan tanda-tanda akan semakin deras.
“Ibu, aku sudah berdoa semoga kita punya rumah yang lebih bagus di tempat yang baru nanti,” ucap anak perempuan itu. Sang ibu terkejut ketika anak yang sedang berada dalam gendongannya itu berkata demikian.
“Jangan lagi berdoa, Nak. Mereka menyerang kita hanya karena cara kita berdoa berbeda dengan mereka,” ucap sang ibu, sembari terus berjalan pelan-pelan seakan tidak mempedulikan gerimis yang turun, seakan tidak ingin segera sampai di kapal yang akan membawa mereka ke kehidupan yang baru di tanah asing, yang ia sendiri tidak pernah tahu di mana letaknya.

Gubug, Januari 2018.
Badrul Munir Chair merupakan lulusan pascasarjana Ilmu Filsafat UGM. Buku-bukunya yang sudah terbit, antara lain novel Kalompang (2014) dan kumpulan puisi Dunia yang Kita Kenal (2016). Saat ini ia bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi Islam di Semarang.

Langit Tanpa Warna

Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 04 Februari 2018)
Langit Tanpa Warna ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Langit Tanpa Warna ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Apa itu kebenaran? Hal yang kita percayai sedari kecil? Yang nampak dari mata dan indera? Yang kau baca dari realita? Apa itu kebenaran?
Itu pertanyaan pertama yang kami terima di sekolah di negeri Langit Merah Muda. Tak semua orang seberuntung kami. Negeri Langit Merah Muda memang selalu percaya bahwa fungsi dari sekolah bukan untuk menjejalkan ilmu ke dalam kepala, melainkan hal yang lebih sulit lagi dari itu: untuk menundukkan ego. Membentuk pola pikir bahwa manusia sungguh tak tahu apa-apa. Karenanya keberhasilan produk pendidikan tidak ditentukan oleh otak yang penuh pengetahuan melainkan semakin merunduknya ego para ilmuwan, semakin terbukanya pada gagasan baru, dan semakin tidak keberatan mempertanyakan gagasan lama.
Aku menghentikan jemari yang sibuk menari sedari tadi di atas laptop. Kuangkat kepala mengamati sekitar. Siang sudah lama menunjukkan batang hidungnya, tapi tidak dengan para undangan. Seharusnya konferensi para ahli dari berbagai negeri ini sudah dimulai sedari tadi. Aku sendiri datang mewakili negeri Langit Merah Muda sebagai insinyur. Di sebelah fraksi kami, terlihat perwakilan negeri Langit Ungu. Di sisi lain ruangan ini ada pula mereka dari negeri Langit Kelabu dan negeri Langit Biru. Kami dibagi berdasarkan bagaimana kami melihat langit. Kami tinggal bersisian pulau yang hanya terpisahkan sejumput lautan.
Entah bagaimana kami bisa melihat satu hal yang sama dengan berbeda: langit. Aku bisa memaklumi mereka yang bilang langit ungu. Mungkin mereka salah lihat atau sedikit dungu. Ungu dan merah muda memang sedikit saru. Tapi biru? Bagaimana bisa ada yang salah tangkap bahwa merah muda itu biru? Sebagai orang yang berpendidikan, aku takkan mengeluarkan komentar apa pun keras-keras, namun dalam hati kami yang tinggal di negeri Langit Merah Muda meyakini sepenuhnya bahwa mereka memang sedikit sakit jiwa.
Kini kami tengah dikumpulkan untuk membahas pembangunan jembatan antarnegeri. Bagaimanapun juga, segila-gilanya mereka, negeri Langit Biru masih penghasil makanan dengan cita rasa terbaik seantero jagat raya. Tak ada pula yang mampu menghasilkan para pemikir serta buku-buku sarat ilmu dan kebijaksanaan layaknya negeriku, negeri Langit Merah Muda. Jangan juga ditanya isi kepala yang bisa menandingi film-film dan lagu-lagu melankolis dari negeri Langit Kelabu. Kami semua saling membutuhkan.
Sayup-sayup, terdengar sorak-sorai para demonstran dari luar gedung. Banyak memang yang menentang pembangunan jembatan ini. Banyak alasannya, aku paham ketakutan itu, meski tak sepenuhnya setuju. Membuka pintu untuk orang-orang berpandangan lain sering kali membuat orang takut. Mereka takut tercemari. Mereka takut anak-anak kecil bermain dengan ide-ide baru yang tidak sesuai dengan ajaran orang tuanya. Mereka takut mempertanyakan sesuatu yang telah mereka percayai seumur hidup. Butuh seumur hidup untuk berani, bahkan bisa beberapa generasi. Tak apa.
Sidang belum juga dimulai. Punggungku yang sudah duduk nyaris seharian ini mulai pegal karena duduk terlalu lama. Perlahan aku bangkit, memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar ke taman sebelah gedung. Kapan lagi aku bisa melihat-lihat negeri Langit Biru di musim semi. Pemandangan yang cuma bisa kami lihat dari foto-foto belaka.
Benar saja, yang pertama menyambutku adalah hamparan bunga dan cuitan burung-burung. Kupu-kupu terlihat berpesta di setiap sudutnya. Tanah yang subur luar biasa memungkinkan rakyat negeri Langit Biru untuk bisa menanam apa pun yang mereka suka. Taman mereka ada di mana-mana.
Kutapaki jalan dengan canggung. Meski taman ini ramai penuh tawa dan manusia, aku tak bicara pada siapa-siapa. Orang-orang lebih memilih menyeberang dan menyusuri jalan lain atau berbalik demi menghindariku. Pakaian dan penampilan fisikku memang khas dari negeri Langit Merah Muda. Aku berkulit putih pucat dengan rambut yang dibiarkan terurai panjang, sedang kan rakyat di sini berkulit hitam legam dengan rambut ikal pendek, baik wanita maupun laki-laki. Aku men colok dan aneh di sini.
“Kyaaa!” seorang bayi di kereta dorong sebelah tertawa kala ia lihat wajahku. Tawanya mau tak mau menular. Aku pun terkekeh. Kusodorkan bunga yang kupetik, segera ia terima dengan gembira. Disorongkan hidung mungilnya ke bunga itu berkali-kali, setiap kalinya diiringi tawa, yang lagi-lagi tersebar hingga ke kedua sudut bibirku.
Kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sang ibu akhirnya sadar, ia segera merebut bunga itu dan membuangnya dengan curiga sambil bergegas pergi. Dari kejauhan, bayi itu melambaikan tangannya padaku. Ia tak peduli warna kulitku, ia tak peduli asalku dari mana. Seandainya saja semua bisa seperti itu.
Aku menghela napas sambil menatap langit. Teringat ibu bapakku yang tak suka aku bergabung dengan perjuangan ini.
“Nanti mereka cuci otakmu sampai kau jadi gila! Bisa-bisa kau lihat langit warnanya biru!” Bapak menentang paling keras.
“Nak, apa kau tak pikirkan dosamu nanti? Kau bangun jembatan, nanti masuk paham-paham yang bisa merusak generasi muda kita. Nanti mereka sakit jiwa semua, sama seperti yang lihat langit biru, bahkan kelabu.” Ibu sempat membujukku untuk tidak berangkat.
Sudah puluhan kali kukemukakan alasanku. Aku ingin semesta yang damai, tanpa peduli warna apa yang kita lihat di atas sana. Kukemukakan betapa bergunanya jembatan itu untuk semua orang. Sebenarnya kita bisa membantu rakyat negeri Langit Kelabu ketika mereka terkena bencana gempa yang memakan jutaan nyawa, hanya dengan membuka pintu. Kala itu kami tengah panen dan berlebihan makanan. Kalau jembatan ini sudah jadi, pertolong an akan datang dengan mudahnya. Kelak pertanyaannya bukan lagi perkara bisa atau tidak, hanya sekedar mau atau tidak. Setidaknya aku ingin bantu menuntaskan satu perkara itu.
Atau mungkin… tak sesederhana itu. Batinku mengusik. Wajahku bersemu. Kutengok kanan kiri, untungnya tak ada yang memperhatikanku.
Mungkin kau ingin bertemu dengan seorang penulis dari negeri Langit Kelabu, goda entah siapa yang bersuara di dalam kalbu. Bukan penulis biasa, wanita itu berpikiran terbuka dan berpengetahuan luas. Wanita pertama yang tahu filsafat melebihi ibuku sendiri. Pembangunan jembatan tentunya akan memperlancar surat-suratnya yang harus kutunggu sebulan sekali itu. Tapi itu bonus, sumpah setengah mati, itu sekedar hadiah tambahan yang bukan tujuan utama.
Baru sesaat larut dalam lamunan, seketika terdengar suara letusan. Aku berlari kembali ke gedung pertemuan, mengingat semua barangku ada di sana. Laptopku yang berisi tulisan-tulisan. Langkahku terhenti. Mataku terbelalak menyaksikan kericuhan yang terjadi. Yang terlibat bukan hanya pria orang dewasa, tapi juga anak kecil dan kaum wanita entah dari mana.
Beragam orang dari berbagai negeri bercampur aduk, sayangnya bukan untuk urusan yang baik, bukan pula dengan hati yang bersih. Bayi yang beberapa saat yang lalu bercanda denganku kini menangis dalam pelukan ibunya yang tak lagi memiliki kepala. Kenapa nyawa orang lain seketika lebih rendah nilainya dibanding nyawa kita, hanya karena mereka melihat langit dengan warna berbeda?
Kutatap sekali lagi bayi yang tak tahu apa-apa itu. Sial sekali hidupnya. Ia tak pernah minta dilahirkan di negeri ini, di mana semua orang melihat langit berwarna biru. Kalau boleh memilih, bisa jadi ia akan minta dilahirkan di negeri Langit Kelabu. Dan kalau ia tinggal di situ, bisa jadi pula ia melihat langit kelabu, bukannya biru. Tanganku menjangkau, hendak meraihnya ke dalam pelukanku, ketika sebuah meja besi menghantamku.
Aku jatuh dengan kepala terbentur terlebih dahulu. Ada sesuatu yang terjatuh dari mataku. Kucermati dengan seksama sambil bergegas memeluk sang bayi. Semacam lensa kontak. Warnanya bersemu merah muda.
Kepalaku berputar keras demi mengingat sesuatu, apa jangan-jangan ini yang dipasang oleh para tetua di setiap ritual untuk bayi-bayi baru lahir? Segera kuamati bayi yang ada dalam pelukanku. Sambil berdoa semoga dugaanku benar, perlahan dan hati-hati, kusentuhkan jemariku ke bola matanya. Ada lensa kontak juga di sana! Kulepaskan pelan sambil menahan napas. Lensa kontaknya bersemu biru. Dengan gemetar, kubuka lensa kontak di mataku yang satu lagi. Kutatap langit dengan segenap keberanian yang tersisa.
Langit tak lagi merah muda. Ia tak berwarna!
Aku berlari dengan napas terengah dan jantung berdebar ke arah mimbar. Harus kusampaikan! Harus kusampaikan bahwa segala pertengkaran ini tak perlu. Kita semua terpenjara dalam jeruji yang kita ciptakan sendiri!
Kuraih mikrofon dengan semangat. Semua baku hantam terhenti. Yang tengah mengangkat kursi, menurunkannya untuk sesaat. Yang hendak membakar buku-buku, mematikan apinya. Kususun kata-kata sedemikian rupa, dengan berhati-hati, dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya.
Bodohnya aku lupa. Tak semua orang seberuntung kami yang bersekolah. Tak semua dibesarkan untuk menerima, untuk bertanya, untuk terbuka akan gagasan baru dan mempertanyakan gagasan lama. Ucapanku lewat begitu saja meski sudah kusodorkan bukti: lensa kontak yang dipasang di mata kami sedari kecil. Kupinta mereka melepaskannya sekedar untuk membuktikan.
“Bohong! Kita semua tahu kalau lensa kontak ini dilepas, kita akan mati!”
“Aku tidak mati. Lihat aku,” menunjukkan bukti terbesar yang ada, aku berdiri, aku bernapas keras-keras agar semua bisa dengar bahwa aku hidup. Kuperlihatkan pula lensa kontak yang ada di bayi dalam pelukanku.
Beberapa orang terlihat ragu. Kulihat seorang wanita melepaskan cengkeramannya dari pisau dan mencoba menyentuh matanya.
Tiba-tiba sebuah parang melintang tertancap di dadaku. Darah mengucur. Bayi dalam pelukanku ketakutan.
“Jangan mau dengarkan orang gila ini! Dia gila! Mau merusak kita! Langit itu biru…” Belum selesai ia bicara, seseorang meletuskan pistol ke arah kepalanya.
“Salah, ia kelabu!” Lalu mereka kembali saling bunuh. Seperti lingkaran setan yang tak ada hentinya.
Aku terbaring di sisi bayi itu. Aku meminta maaf segenap hati akan ketidakmampuanku menyediakan dunia yang lebih ramah akan perbedaan untuknya kelak. Sudut mataku menangkap beberapa orang yang ragu tadi diam-diam membuka lensa mereka dan berlari keluar menyelamatkan diri.
Aku tertawa lega. Peranku tuntas sudah. Kutanamkan sekedar ragu, sekedar keinginan untuk mempertanyakan, sudah cukup. Sisanya biar orang lain yang meneruskan.
Kuhabiskan napas yang tersisa sambil menatap langit yang tak berwarna. Bertanya-tanya apa langit peduli pada nyawa-nyawa yang hilang karenanya?
Apa langit benar-benar ada?
Lalu gelap. ■

Kutukan Gerhana Bulan Merah

Cerpen Risda Nur Widia (Kedaulatan Rakyat, 04 Februari 2018)
Kutukan Gerhana Bulan Merah ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Kutukan Gerhana Bulan Merah ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
KETIKA gerhana bulan merah cakil, momster keluar dari balik jantung bumi. Demikianlah masyarakat desa Karangnongko, Bantul, percaya. Maka tidak aneh sehari sebelum gerhana, warga memberikan penerang lebih di rumah masing-masing. Mereka menambahkan onjor-onjor, obor sebagai penerang tambahan karena dipercaya dapat mengusir makhluk gelap.
Ada juga larangan bagi para ibu hamil untuk tidak keluar rumah. Lastari sendiri mendapatkan banyak peringatan dari ibu atau mertuanya. Mereka menjelaskan pada Lastari cahaya gerhana bulan itu dapat menyebabkan anaknya cacat dan keguguran. Jadi tidak aneh Lastari sering mendapat peringatan.
“Jangan keluar rumah dulu ya, Nduk?” Jelas ibu dan mertuanya. “Nanti anakmu bisa kena musibah kalau kamu di luar.”
Lastari mengikuti semua tuturan ibu dan mertuanya. Ia mengunci dirinya di rumah untuk menghindari cahaya bulan. Lastari tidak mau terjadi sesuatu dengan anaknya.
***
Memang gerahan bulan yang akan terjadi memberikan banyak dampak pada desanya. Dan warga sendiri seperti lekas mengaitkan apapun yang terjadi dengan tulah gerhana bulan merah.
Seperti meninggalnya Sukram. Kematian pria itu dianggap sebagai kutukan gerhana bulan merah. Begitu juga dengan matinya ikan-ikan atau gagalnya panen singkong warga.
Sementara itu kutukan bagi ibu hamil seperti Lastari adalah ketidakleluasaan melakukan apapun. Selain tidak dibolehkan melakukan aktivitas di luar rumah, Lastari juga tak dibolehkan untuk memegang benda tajam di dapur. Bahkan Lastari dan ibu hamil lainnya dilarang untuk memasak. Karena akan membawa kutukan.
“Bila kau memasak ketika gerhana sedang terjadi,” jelas ibu dan mertuanya. “Masakanmu akan tidak enak selamanya. Dan suamimu akan selingkuh.”
Mendengar itu Lastari merasa takut. Lastari tidak ingin suami yang dicintainya berpaling. Namun di sisi lain, Lastari mulai jengah dengan semua kutukan yang dibisikkan ibu dan mertuanya.
***
Lastari mengikuti semua larangan. Lastari yang sebenarnya tumbuh dengan pandangan modern patuh. Sepanjang hari saat gerhana ia bahkan memilih pulang ke rumah orangtuanya. Sementara suaminya menjaga rumahnya yang berada di seberang desanya. Namun tiba-tiba ketika gerhana terjadi, ia mendapatkan pesan nyasar yang menyatakan suaminya kecelakaan. Lastari yang panik lekas menanggalkan mitos-mitos. Dan di rumah itulah Lastari mendapatkan kutukan yang sebenarnya. Suaminya sedang bercumbu dengan wanita lain. n-e

Risda Nur Widia, Alumni Mahasiswa UST.

Cara Makan Apel

Oleh Amika An (Kompas, 04 Februari 2018)
Cara Makan Apel ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Cara Makan Apel ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Dl SALAH satu ruang kelas di sebuah sekolah dasar di Kota Padang, Sumatera Barat, Bu Guru Meri meminta siswa-siswinya mengeluarkan apel yang sudah mereka bawa dari rumah. Ada yang membawa apel berwarna merah tua, apel merah muda, dan ada juga apel berwarna hijau.
“Ibu juga punya apel,” cetus Bu Meri sambil menunjukkan sebuah apel berwarna merah tua pekat. “Siapa yang belum pernah makan apel?” tanya Bu Meri kemudian.
Siswa-siswi seisi kelas tidak ada yang mengacungkan tangan.
“Siapa yang sering makan apel?”
Kali ini banyak siswa yang mengangkat tangan sambil berkata, “Saya, Bu, saya.”
“Bagaimana rasanya?”sambung bu Meri.
“Manis, Bu,” jawab Najwa.
“Asam, Bu,” cetus Intan.
“Asam manis, Bu,” tambah Olivia.
“Benar. Anak-anak Ibu memang hebat. Sekarang bantu Ibu menemukan cara makan apel yang baik. Ibu beri waktu sepuluh menit.”
“Siap, Bu,” jawab para siswa-siswi serentak.
“Kenapa Bu Meri bertanya tentang cara makan apel, ya?” bisik Fathur pada Zidny.
“Iya, padahal kan gampang. Tinggal gigit sajaselesai,” balas Zidny pelan.
“Mungkin kita harus makan dari bagian bawah, atau atas, atau kiri atau kanan terlebih dahulu,” ucap Zanki pada Najwa.
“Menurutku caranya mudah, makan sampai habis, supaya tidak bersisa,” timpal Najwa.
Sepuluh menit kemudian, Bu Meri menagih jawaban dari pertanyaannya barusan. Setiap siswa lalu menyampaikan cara makan apel yang baik menurut mereka masing- masing. Bu Meri menanggapinya dengan memuji dan memberikan penguatan. Itulah sebabnya murid-murid di kelas Bu Meri selalu berani menyampaikan pendapat.
“Anak-anak Ibu luar biasa, sudah tahu bagaimana cara makan apel yang baik. Namun tahukah Ananda bahwa ada cara lain makan apel yang baik dan di dalamnya terdapat sebuah rahasia?” ungkap Bu Meri yang membuat anak-anak penasaran.
Bu Meri lalu mengeluarkan sebuah pisau kecil dan talenan dari dalam tas kemudian meletakkannya di atas meja. Bu Meri memotong apel tersebut kecil-kecil sesuai jumlah siswa di kelasnya. Masing-masing siswa mendapatkan satu potong apel.
“Semua senang mendapatkan apel dari lbu?” tanya Bu Meri kemudian.
“Senang, Bu,” jawab anak-anak setelah mengunyah sepotong apel kecil yang baru saja dibagikan Bu Meri.
“Itulah Nak, cara terbaik dalam makan apel, yaitu dengan berbagi. Memang tidak ada yang salah, kalau apelnya kita makan sendiri-sendiri. Namun dengan membiasakan diri menjadi orang yang gemar berbagi adalah cara untuk mengajarkan kita bersikap adil terhadap orang lain dan diri sendiri. Anak-anak Ibu paham?”
“Paham, Bu,” sambut mereka serentak.
Siswa-siswi di kelas Bu Meri pun mendapatkan ilmu yang berharga hari itu, yaitu mulianya sikap gemar berbagi dan bersikap adil terhadap sesama.

Toko Kenangan

Cerpen Rai Sadajiwa (Tribun Jabar, 04 Februari 2018)
Toko Kenangan ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar
Toko Kenangan ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
BILA kau hendak berjalan-jalan ke Bandung, kira-kira sekitar dua puluh meter dari kampus UPI ke arah selatan, akan kau temui sebuah kios bemama Toko Kenangan. Sesuai namanya, toko itu menjual berbagai aneka kenangan. Aku pernah mengunjunginya sekali. Kenangan yang dijajakannya cukup lengkap. Pelayanannya baik dan ramah, bisa membuat kau betah berlama-lama.
Setibanya kau di gerbang kios, kau akan dijamu dengan penuh kehormatan. Pemilik kios sepertinya seorang pengikut akut sebuah pepatan yang berbunyi: pembeli adalah raja. Pasalnya, tak satu pun pelayan Toko Kenangan membiarkan pelanggannya terabaikan. Dan lantas salah satu dari pelayan toko itu bakal menyuruh kita duduk di salah satu kursi empuk yang berderet memanjang.
“Silakan duduk sebentar. Dianjurkan untuk melamun,” begitu kata pelayan Toko Kenangan yang pakaiannya mirip seragam pegawai mini-market.
Tenang saja, kita bukan hanya dianjurkan untuk melamun sebagaimana yang kerap kita lakukan tatkala pikiran sedang pening. Seorang pelayan perempuan akan datang dan memijat bagian kepala kita. Rambut kita akan diremas-remas dengan begitu lembut dan sedikit olesan mesra. Minyak pijat yang digunakan bukanlah minyak biasa. Baunya bisa membuatmu, atau setidaknya itu yang pernah kualami, terasa melayang di udara. Kita seolah sedang diajak sebentar bermain-main ke surga. Insya Allah, dengan begitu kita pasti merasakan semacam ketenangan batin dan benak. Nah, beda lagi kalau perempuan yang datang bertandang ke toko itu. Dua orang pelayan lelaki ganteng bakal menjamu tamunya dengan baik hati dan tentu menggunakan cara-cara yang terhormat. Rambutmu—jika kau kebetulan seorang perempuan— akan dikeramas persis apa yang sering dilakukan para penata rambut. Dengan menggunakan sampo berbau harum dan menyejukkan, kau bakal terbang melayang. Kala itu kau pasti membayangkan tengah menikah dengan seorang raja yang tampan, dermawan, gagah, berani, dan mencintaunu setengah mati.
Selepas itu, kalau perhitunganku tidak melenceng, kurang lebih sekitar setengah jam setelah kita berhasil dimanjakan di kursi empuk itu, seorang pelayan lain lantas menyuruh kita agar segera beranjak. Ia bakal membawa kita ke sebuah ruangan tempat berbagai macam kenangan dijual. Kenangan-kenangan dipajang di rak-rak besi. Bahkan sudah tercantum harga-harga untuk jenis-jenis kenangan yang ingin kita beli. I Iarganya lumayan beragam, sesuai kelas kenangan yang kita minati. Kenangan kelas bawah bisa kita dapatkan dengan harga di bawah satu juta rupiah, tanpa kemasan. Sedangkan harga kelas menengah kisaran satu juta sampai lima puluh juta rupiah, tergantung ukuran— tahun pembuatan, muatan perasaan, dan kemampuannya mengoyak hati dan pikiran.
Untuk kelas yang satu ini, sekaligus kelas terakhir yang akan dibahas, ialah kelas kenangan dengan harga ratusan juta hingga triliunan rupiah. Sebelumnya aku minta maaf, untuk kelas kenangan ini aku tak punya cukup pengetahuan. Barangkali ini kelas vang hanya boleh dikonsumsi oleh kalangan, misalnya, para pejabat, koglomerat, atau kaum bangsawan. Berhubung tidak banyak pengetahuan, dan sekaligus dalam rangka mengurangi kekeliruan dan kesalahpahaman dan untuk mengantisipasi kemungkinan terciptanya hoaks, oleh karenanya tak akan kubahas lebih jauh untuk kelas kenangan yang terakhir ini. Sekali lagi aku memohon maaf sebesar-besarnya.
Selain itu, jika kau bersedia menengok ke sebelah ruangan yang lain, akan kau lihat sebuah restoran kenangan cepat saji. Di sana kita bisa memesan banyak hidangan kenangan, tentu saja tidak semua kenangan yang kita harapkan bisa dipesan. Resto kenangan cepat saji itu hanya menyediakan jenis kenangan ringan. Untuk mendapatkan kenangan berat, kau bisa membelinya di ruangan lain, ruangan yang kusebutkan tadi.
Tapi baiklah, kau tak perlu kecewa dengan menu kenangan di resto itu. Karena kau akan disuguhi banyak sekali kenikmatan. Misalnya, kita akan mendengar (atau menonton) lagu-lagu kenangan selama berada di ruang resto kenangan. Bahkan kau boleh request lagu-lagu kenangan yang kau suka. Tentu dengan bayaran yang setimpal, sesuai lagu kenangan seperti apa yang hendak kauinginkan.
Sambil menikmati pertunjukan, kita juga diperbolehkan memesan kenangan-kenangan yang memabukkan. Kenangan-kenangan yang memabukkan itu tersimpan di dalam botol, sekilas tampak serupa botol kecap, dan lekas bisa kautuang ke dalam gelas. Tenang saja, botol-botol kenangan itu tak melanggar ketentuan agama meski belum memiliki sertifikasi halal sebagaimana mestinya. Aku jamin kau tak akan pernah berniat beranjak dari resto itu setelah menikmati kenangan yang disuguhkan.
Akan kukisahkan pengalamanku kala bertandang ke Toko Kenangan saat menikmati menu-menu di resto kenangan cepat saji. Bermula ketika aku merasa muak pada mantan pacarku yang mengirim undangan pernikahannya. Sebetulnya ini kisah yang menyedihkan. Aku telah ditinggal mantan pacarku dengan cara yang tak masuk di akal. Ia memutuskan tali perasaan di hatinya karena merasa bosan melihat hidungku. Entahlah. Tapi setelah waktu cukup lama berlalu, ia memacari kawanku. Begitulah cinta memilukan yang sempat kualami.
Berkaitan dengan kesedihanku, bermula dari salah seorang rekan kantor menawariku semacam hiburan, salah satunya ialah berkunjung ke Toko Kenangan. Bagaimanapun, aku telali berjanji untuk tidak lagi menangis karena perempuan itu. Dengan berusaha memperbaiki perasaan yang terlampau porak poranda, aku pun membeli beberapa kenangan. Seperti halnya kenangan yang kubeli seharga dua ratus lima puluh ribu rupiah itu, berisi dua buah cerita menarik. Di antaranya kisah cinta dua sejoli yang berjalan mesra di bawah hujan. Dengan cekatan aku menanam kenangan itu dalam kepalaku. Meski pengaruh kenangan itu tak begitu lama, lumayan untuk sekadar mengurangi rasa pedih.
Buatku, pengalaman yang paling menarik selama berada di Toko Kenangan, tak lain ketika berkunjung ke resto kenangan cepat saji. Memang agak lucu dan amat jarang di temui, sebuah resto berada di dalam toko. Tapi biarlah. Lagi pula, resto kenangan itu cukup banyak digemari pelanggan. Oleh karenanya, akan kusarankan padamu, bila suatu hari kau berkunjung ke Toko Kenangan, luangkanlah waktumu untuk duduk di salah satu kursi di resto kenangan.
Meski begitu, tidak semua hal di resto kenangan cepat saji bisa menarik hatiku. Salah satunya, pegawai-pegawai perempuan di Toko Kenangan itu hanyalah semacam ilusi. Mereka jelmaan tokoh-tokoh fiksi belaka, yang barangkali sengaja dibuat si pemilik toko dengan tujuan menghibur para pelanggan. Kuakui, mereka cantik dan piawai menarik perasaan, lagi pintar bernyanyi. Andai perempuan-perempuan itu bukan imajinasi, pasti sudah kupacari dan bahkan akan kujadikan istri.
Satu hal yang akan kaualami jika suatu hari berniat mengunjungi Toko Kenangan, yakni tidak adanya lahan parkiran untuk menyimpan kendaraanmu. Dan bahkan kau pasti merasa kebingungan dengan letak persisnya Toko Kenangan berada. Toko Kenangan tak memiliki etalase yang biasa ditaruh di bagian beranda sebagaimana toko-toko pada umumnya, juga tak menempel banner atau apalah.
Kalau kau bertanya padaku begini, “Jadi bagaimana dong supaya bisa mengenali letak keberadaan Toko Kenangan?”
Maka akan kujawab, “Tidak tahu, sebab semua orang punya cara sendiri-sendiri untuk bisa mengenali keberadaan Toko Kenangan.”
Itu hanya sekadar informasi belaka. Tapi tak usah bersedih, bila kau tak menemukan Toko Kenangan yang kumaksud, atau kau merasa sedang malas keluar tapi tetap ingin memesan kenangan, maka cukup dengan mengetik SMS di layar gawaimu. Caranya, ketik KENANGAN spasi JENIS KENANGAN spasi ALAMAT DI MANA KAU DIMAKAMKAN spasi NAMA LENGKAP. Dengan begitu kau tinggal menunggu sejenak, kenangan yang kaupesan akan tiba secepat bayanganmu. Kenangan yang kaupesan biasanya lekas dikirim melalui zona udara. Sebaiknya kau pesan kenangan di malam hari. Jika kenangan yang kau kirim tak kunjung datang, berarti ada yang salah pada SMS yang kau ketik. Tapi kalau tak ada juga kesalahan, berarti letak kegagalan mengirim biasanya berada pada nomor yang kautuju. Catat nomornya: 906109 301294. Jangan lupa, transfer uangnya melalui ATM terdekat. (*)

Rai Sadajiwa, lahir dan tinggal di Subang, Jawa Barat. Karya-karyanya dimuat di sejumlah media.

Hujan Cahaya

Cerpen Budi Harjono (Suara Merdeka, 04 Februari 2018)
Hujan Cahaya ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Hujan Cahaya ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Saif Rohmah namanya. Namun kalangan pesantren dan masyarakat Bojonegoro memanggil dia Gus Saif. Dengan perawakan gagah dan rambut gondrong, Gus Saif tampak sangar. Namun dia rendah hati, sangat rendah hati, dan suka humor.
Dia mengelola pesantren warisan dari Mbah Abu Darrin, yang diwariskan kepada ayahanda Gus Saif, Mbah Dimyati Adnan. Sekarang Pesantren Abu Darrin mendidik ribuan anak bangsa dari berbagai kota serta masyarakat sekitar sebagaimana pesantren umumnya. Upaya besar itu didukung seluruh anak-cucu Mbah Adnan, termasuk Gus Saif.
Semula Gus Saif hanya suntuk di dalam pesantren, tidak pernah keluar. Itu berlangsung puluhan tahun. Sesekali dia bersandal theklek dan tongkat kesukaan berjalan- jalan di seputar pesantren. Dia tidak pernah keluar, antara lain, karena menjadi salah seorang anak yang dekat dengan sang ibu. Setiap dini hari secara rutin dia memandikan sang ibu untuk sembahyang malam.
Namun karena sering kedatangan warga masyarakat yang mengeluhkan keadaan langgar atau masjid mereka yang sepi, Gus Saif mohon izin dari sang ibunda dan diperbolehkan. Dengan catatan, tetap sebelum subuh pulang untuk melakukan kebiasaan bersama sang ibu.
Bagai Gusti Kanjeng Nabi Muhammad di Makkah, saat Gus Saif hanya di dalam pesantren selama ini. Atas izin ibunda, dia berangkat membuka pengajian di luar pesantren, seperti zaman Nabi pada era Madinah, turun gunung membangun peradaban. Tak tanggung-tanggung, selama selapan Gus Saif memiliki pengajian rutin di seluruh wilayah Bojonegoro. Ada 120 acara rutin.
Praktis, dia menghabiskan umur untuk menyambangi pengajian rutin sebanyak itu. Ketika ditanya pendapat soal keliling pengajian itu, sang istri tersenyum sambil menyatakan, “Asal aku dibagehi, tidak lupa pesan Ibu.”
Gus Saif paham soal kata “bagehi” dari sang istri, karena dia sangat berbakat bergurau soal yang satu itu. Namun saat disebut tentang sang ibu, habis sudah hatinya; nyawa sekalipun dia serahkan asal sang ibu meridai dia.
Wilayah Bojonegoro luas, sehingga butuh tenaga ekstra dari Gus Saif. Namun dengan beberapa santri yang mengikuti dan kadang membantu menggantikan dia jika berhalangan, semua berjalan dengan ringan dan asyik. Tidak semua perjalanan berjalan mulus. Namun kadang-kadang ada yang menjadikan hati Gus Saif nyeri. Karena di satu sisi ada yang menyambut dengan sukacita, ada pula yang acuh tak acuh.
Soal terakhir itu, pernah terjadi di sudut wilayah yang jauh. Untuk ke sana butuh waktu dua jam dari pesantren. Sejak lama dia sudah menelateni, tetapi kurang mendapat respons. Suatu sore, saat Gus Saif datang ke masjid tempat pengajian digelar, tak seorang pun hadir. Padahal, dia datang sendirian. Sementara di luar hujan deras mengguyur. Secara manusiawi batin bicara, apa sebaiknya menutup saja rutinan itu. “Tidak,” jawab batinnya pula. “Tidak!”
Untuk menyiasati keadaan, saat menunggu magrib dalam suasana hujan, dia bermunajat di masjid sambil menangis. Saat dalam tangis membayang riwayat Gusti Kanjeng Nabi Muhammad ketika mengajak ke arah kebaikan atau dakwah sering, bahkan kerap, menerima keadaan lebih mengerikan daripada yang dia alami. Itulah api cinta yang membakar hati Gus Saif, lalu tumbuh semangat menggelora dan menyala serta berkobar menjadi tenaga luar biasa.
Saat magrib tiba pun tak seorang warga kampung yang nongol. Sertamerta Gus Saif menyalakan amplifier, mengambil mikrofon, lalu melantunkan azan. Suara parau Gus Saif terdengar di telinga orang-orang kampung, menerobos deru suara hujan. Setelah itu Gus Saif melakukan pujian sendirian, hingga iqamat. Salat sendirian, wiridan sendirian. Saat berdoa usai sembahyang, Gus Saif tak mampu membendung air mata. Doanya panjang, tangisnya panjang.
“Gus,” panggil seseorang. Suara panggilan lirih terdengar dari belakang. Gus Saif masih larut dalam doa dan tangisan. Saat Gus Saif selesai dan menoleh, ternyata imam masjid yang datang. Imam itu merangkul Gus Saif sambil mengisak tangis.
“Maafkan aku, Gus, maafkan. Hujan badai begini ternyata engkau datang juga.”
Gus Saif tak marah atas kejadian itu. Cinta di hatinya menjadi keramahan; ramah disertai tangisan. Beberapa orang menyusul sang imam ke masjid dan larut dalam tangisan.
Gus Saif berdiri untuk berpamitan. Orang-orang mengadang. “Jangan pergi dulu, Gus. Di sinilah sebentar, jagong sebentar.”
Mboten, saya harus pamit karena orang-orang di tempat lain sudah menunggu. Besok selapan lagi saya tetap datang,” janji Gus Saif menenangkan mereka dari tangisan. Dia keluar dari masjid saat hujan masih deras mengguyur.
Gus Saif masuk ke mobil Taft dan meluncur menerobos hujan. Namun hujan yang turun terasa ke hatinya sebagai hujan cahaya, lebih deras dari hujan air. Sepanjang perjalanan Gus Saif bagai Majnun terusir dari rumah Layla. Betapa berat dia meninggalkan masjid yang bagus, tetapi sepi itu.
Saat mobil melaju, dia tak bisa membendung air mata. Makin dia usap dengan serban, hatinya kian keranta-ranta. Makin deras air matanya mengalir.
“Duh, Gusti,” doa Gus Saif dalam hati. “Panjenengan dandosi manahipun masarakat mriki. Dalem saderma ngrencangi supados masarakat sesarengan saget caket dateng Paduka. Duh, Gusti.
Benar, hujan air yang turun saat itu adalah juga hujan cahaya yang turun ke hati masyarakat. Saat Gus Saif mengadakan acara seratus hari atas kematian sang ibunda, rombongan terbanyak datang dari daerah itu. Saat mereka datang, diwakili sang imam bilang pada Gus Saif. “Inilah kami semua sowan, 200 orang. Mereka menyatakan akan hadir pada selapanan besok. Mereka satu per satu datang ke rumah saya, Gus, sambil menangis, menyesali diri atas peristiwa selapan lalu.”
Gus Saif memandang mereka dengan mulut terkatup. Lalu memandang ke atas langit, pandangan jauh, dengan air mata mengalir.
Inggih, inggih, matur nuwun atas rawuh Panjenengan sedaya.”
Lalu mereka menghambur ke pengajian seratus hari ibunda Gus Saif, malam itu. (44)

Catatan:
Theklek: kasut dari kayu, bakiak.
Selapan: siklus 35 hari dalam hitungan atau penanggalan Jawa.
Bagehi, dibagehi: memperoleh bagian, jatah.
Jagong: duduk bersama untuk mengobrol atau berbincang.
Mboten: tidak, tak, bukan.
Keranta-ranta: nelangsa, sedih.
Panjenengan dandosi manahipun masarakat mriki. Dalem saderma ngrencangi supados masarakat sesarengan saget caket dateng Paduka: Engkau sadarkanlah hati masyarakat di sini. Saya cuma membantu agar masyarakat bersama-sama bisa mendekat kepada-Mu.
Sowan: bertandang, menghadap.
Inggih, inggih, matur nuwun atas rawuh Panjenengan sedaya: Iya, ya, terima terima kasih atas kedatangan Anda sekalian.

Budi Harjono, kiai pengasuh Pesantren Al-Ishlah Meteseh, Tembalang, Kota Semarang. Buku puisinya yang telah terbit Pusaran Cinta (2013). Kumpulan cerpennya yang segera terbit Kafilah Cinta.