Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Oleh Pupuy Hurriyah (Kompas, 01 Oktober 2017) Senyum Sang Juara ilustrasi Regina Primalita/Kompas
SUDAH dua minggu berlalu, tetapi ingatan Sekar masih saja pada perlombaan story telling yang setiap tahun diadakan di sekolahnya, SDS Bina Insan Mandiri, Kebon Jeruk Jakarta Barat.
Sebelum perlombaan, Sekar adalah sang juara bertahan. Karena dua
tahun berturut- turut sebelumnya, Sekar selalu menjadi juara satu. Tahun
ini pun teman-teman menjagokan Sekar kembali juara satu. “Hidup Sekar.
Gelar juara pasti di tanganmu!” ujar teman-temannya sebelum lomba.
Namun ternyata, tahun ini Sekar harus puas menjadi juara dua. Sekar
dikalahkan Ajeng, teman sebangkunya. Padahal, di tahun terakhir duduk di
sekolah dasar ini, Sekar berharap dapat menjadi juara lomba story telling tiga tahun berturut-turut.
Harapan besar Sekar itu pupus karena Ajeng. Dua tahun sebelumnya Ajeng pun selalu ikut lomba story telling.
Hanya, langkah Ajeng selalu terhenti di babak semifinal. Untuk tahun
ini, Ajeng berhasil mencapai final. Bahkan, berhasil meraih juara I
mengalahkan Sekar si juara bertahan!
Sekar ingat saat-saat menghadapi perlombaan, ia dan Ajeng berlatih
bersama. “Sekar, kau baik sekali mau mengajariku untuk lebih baik lagi
dalam belajar story telling,” kata Ajeng saat mereka berlatih.
Sekar tersenyum manis, “Aku senang jika kau bisa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya dalam menghadapi lomba nanti.”
Ah! Tetapi, Sekar tidak pernah membayangkan, jika ternyata Ajeng
dapat mengalahkannya saat lomba! Ada rasa sesal, kenapa berbaik hati
mengajari Ajeng saat menjelang lomba? Perasaan Sekar campur aduk antara
marah, kesal, dan kecewa. Sejak itu, Sekar selalu menghindar dari Ajeng.
Ia bersikap dingin terhadap Ajeng.
Kini setelah dua minggu Sekar bersikap tidak ramah terhadap Ajeng,
Sekar mulai merasakan sendiri kesedihan setelah persahabatannya dengan
Ajeng menjadi renggang. Sekar merasakan kehilangan hari-harinya yang
indah sebelumnya bersama Ajeng.
“Ajeng,” Sekar tiba-tiba menyapa Ajeng saat jam istirahat di kelas.
Ajeng terkejut. Sekar bicara padanya! Padahal sejak usai lomba dua minggu lalu itu, Sekar sama sekali tak mau bicara.
“Maafkan sikapku,” kata Sekar.
Sekar lalu menggenggam tangan Ajeng erat-erat. “Biarlah aku tidak
mendapatkan gelar juara kemarin itu, asalkan aku tetap mendapatkanmu
sebagai sahabat, Ajeng.”
Oh! Ajeng terkejut dengan sikap Sekar. Ia pun berkata, “Aku juga,
Sekar. Aku pikir, lebih baik aku tidak menjadi juara, asalkan aku tetap
menjadi sahabatmu.”
Sekar menggeleng, “Kau berhak mendapatkan juara, Ajeng. Kau sungguh
bagus saat lomba. Aku harus sportif mengakuinya. Semalam ibuku bilang
kepadaku, bahwa aku juga tetap menjadi juara. Aku juara karena telah
berhasil mencetak seorang juara.”
Kedua sahabat itu pun saling berpelukan.
Cernak Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 19 November 2017) Keluarga Buku ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Hermin tak pernah merayakan pesta ulang tahun dengan mengundang
teman-teman. Setiap ulang tahun Hermin, Mama mengajaknya ke toko buku.
Hermin bebas memilih buku yang ia suka. Mereka pulang membawa banyak
sekali buku. Begitu terjadi setiap tahun, sampai Hermin kelas VI SD saat
ini. Para tetangga menyebut mereka keluarga buku.
Kamar Hermin penuh dengan buku. Begitu pula di kamar Mama dan Papa,
penuh buku. Di ruang tengah, ruang tamu, bahkan di dapur pun ada rak
buku. Rumah mereka adalah rumah buku. Hermin, Mama, Papa, memang gemar
membaca buku.
Tiap bulan Papa menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli buku. Papa
juga sering mendapat oleh-oleh berupa buku dari atasan dan rekan kerja
di kantor.
Mama membuka usaha katering. Mama juga selalu menyisihkan sebagian
keuntungan usahanya untuk membeli buku. Bila sedang mengantar pesanan
makanan, saat pulang, Mama selalu membawa oleh-oleh berupa buku. Boleh
dikata, hampir tiap minggu bertambah koleksi buku di rumah mereka.
***
Hari ini Hermin ulang tahun. Di sekolah, Hermin tak sabar untuk
segera pulang. Ia sudah merencanakan buku apa saja yang akan ia beli.
Saat bel tanda pulang berdering, Hermin berjalan gegas menuju rumah.
Jarak rumah Hermin dengan sekolah tak begitu jauh.
Sesampai di rumah, Hermin melihat lima kardus bekas mi instan di
teras. Mama keluar dari rumah, lalu memeluk dan mencium pipi Hermin.
“Selamat ulang tahun, Sayang,” kata Mama.
“Terima kasih, Mama,” sahut Hermin tersenyum, lalu bertanya tentang lima kardus itu.
“Buku-buku siapa di kardus itu, Mama?” tanya Hermin.
“Buku-buku kita, Sayang.”
“Mama membeli buku sebanyak ini?”
“Bukan, Sayang,” kata Mama.
“Buku-buku dalam kardus ini akan Mama masukkan ke mobil. Kita akan merayakan
ulang tahunmu dengan cara berbeda.”
“Berbeda bagaimana, Mama?” tanya Hermin.
“Nanti kamu akan tahu,” jawab Mama.
“Sekarang kamu ganti pakaian, makan, lalu kita berangkat.”
Hermin menurut. Usai ganti pakaian dan makan siang, Hermin membantu
Mama mengangkat kardus-kardus itu ke bagasi mobil. Mobil meninggalkan
rumah, menuju entah ke mana, Hermin tidak tahu.
Mama menghentikan mobil di halaman sebuah panti asuhan. Mama
menyerahkan satu kardus kepada pengurus panti tersebut. Setelah itu
mereka pergi, melanjutkan perjalanan.
“Kita ke mana lagi, Mama?” tanya Hermin di perjalanan.
Mama hanya tersenyum. Tak lama kemudian, mereka berhenti di sebuah
Taman Bacaan. Mama memberikan satu kardus kepada pengurus taman bacaan
itu.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tersisa tiga kardus di bagasi.
Ternyata, Mama menuju ke sebuah panti asuhan lagi, sebuah taman bacaan
lagi, dan terakhir ke sebuah masjid. Di masjid itu ada perpustakaan.
Mama menyerahkan kardus terakhir pada pengurus perpustakaan masjid.
“Sudah selesai. Kita sudah menyumbang buku di lima tempat. Sekarang saat bagi kita untuk berpesta,” kata Mama.
“Pesta di mana, Mama?” tanya Hermin.
“Di mana lagi kita berpesta saat ulang tahunmu, sayang?” Mama balik bertanya.
“Aha! Hermin tahu. Pasti ke…”
“Toko buku!” sahut Mama.
Mereka menuju toko buku. Di sana Hermin memilih buku yang ia suka.
Mama juga memilih buku yang ia suka. Mereka membeli banyak sekali buku.
Karena begitu banyak buku yang mereka beli, pegawai toko memasukkan
buku-buku itu ke kardus. Dua pegawai mengangkat kardus itu sampai ke
tempat parkir, lalu memasukkannya ke bagasi mobil Mama.
Riang hati Hermin dan Mama. Rasanya tak sabar mereka untuk sampai
rumah. Sesampai di rumah, mereka segera membuka kardus, mengeluarkan
buku-buku dan meletakkannya di lantai ruang tengah.
“Aku mau baca yang ini dulu,” kata Hermin, tetapi kemudian ia meralatnya.
“Ah, baca yang ini dulu. Ini buku cerita petualangan. Aku suka sekali petualangan.”
Hermin membuka buku itu, tetapi ia masih melirik buku lainnya.
“Ah, yang itu sepertinya menarik. Baca yang itu dulu, ah. Tidak,
tidak. Yang di sana juga bagus. Baca itu dulu, ah. Aduh, baca yang mana
dulu, Mama? Semua buku ini bagus-bagus,” kata Hermin.
Mama tertawa melihat Hermin bahagia sekaligus bingung.
“Mama juga bingung mau baca yang mana dulu. Bagaimana kalau kita peluk dulu semua buku ini?” kata Mama.
“Setuju,” sahut Hermin.
Mereka pun merebahkan tubuh, lalu memeluk semua buku itu. Meski telah
menyumbangkan banyak buku, kini mereka juga memiliki buku-buku baru.
Rumah mereka selalu penuh buku, karena mereka adalah keluarga buku. (58)
Cerpen Dody Wardy Manalu (Suara Merdeka, 19 November 2017) Sebatang Beringin ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Pohon beringin itu meranggas serupa tulang-tulangku.
Ranting-rantingnya berjatuhan karena mengering. Tak seorang pun sudi
berteduh di bawah kanopinya. Aku sendirian melawan sepi sembari
menghitung ratusan keriput meraja di tubuh. Setiap akhir bulan
September, aku merayakan kesedihan. Tanpa orang-orang terdekat. Tanpa
lilin dan kue tart. Tak ada tepuk tangan dan nyanyian.
Aku merayakan kesedihan dengan pergi ke sebuah bukit di pinggir desa.
Di tengahnya tumbuh sebatang pohon beringin yang selalu dihinggapi
burung serindit. Di bawah bukit terbentang jalan berkelok menuju kota.
Tiga puluh tahun silam, di tempat itu aku melepas pergi suamiku,
Jeandar. Ia bersikeras ikut temannya menjadi buruh di kota. Ada ratusan
gedung pencakar langit sedang dibangun di sana. Butuh pekerja tidak
sedikit.
“Arimbi, aku tidak bisa lagi menghidupimu dari hasil menyadap karet.
Hasilnya tidak menentu. Izinkan aku ikut Jaluddin ke kota menjadi
buruh.”
Jeandar sudah ratusan kali membujukku malam itu. Aku terdiam dengan
dada penuh sesak. Malam kian dalam. Rasa kantuk dikalahkan pedih
menyeruak.
“Tapi aku sedang hamil.”
Sesak dalam dada pecah menjadi isak tangis. Aku menggeser tubuh lebih
dekat, lalu memeluk tubuh telanjang Jeandar. Tangisku tumpah di
dadanya.
“Bila sudah bulannya untuk melahirkan, aku akan minta cuti. Bekerja
di kota buat calon anak kita juga,” bisik Jeandar di telingaku. Bibir
tebalnya menciumi seluruh wajahku tanpa henti. Napasnya mendesis bagai
ular. Aku mencium aroma kemangi dalam napasnya. Aroma kemangi dari gulai
ikan gabus yang kami santap lima jam lalu.
Akhirnya aku mengizinkan suamiku pergi ke kota. Jaluddin menjemput ke
rumah pagi-pagi sekali. Mereka menumpang mobil truk pembawa sayur. Aku
berusaha menahan air mata yang menumpuk di sudut kelopak. Pantang
melepas orang yang kucintai dengan air mata kesedihan. Mobil truk melaju
meninggalkan bekas roda di jalan berdebu. Belum sepenuhnya ikhlas
melepas Jeandar, aku berlari ke belakang rumah, memotong jalan melewati
persawahan dan ladang jagung. Sekuat tenaga kujejaki jalan setapak
menuju bukit.
“Jangan pergiiii!” Aku berteriak sekuat tenaga pada jalan berkelok di
bawah bukit. Mobil tampak kecil bergerak seperti semut. Mustahil
teriakanku terdengar. Tiba-tiba perutku sakit sekali seperti ada ratusan
ular piton melilit. Darah mengalir di kedua pahaku. Seorang bapak tua
melihatku tergeletak di bawah pohon beringin meregang nyawa. Ia
memanggil warga. Namun bayiku meninggal dalam perjalanan menuju rumah
sakit. Jeander pasti sangat sedih bila tahu bayi kami meninggal. Hari
kepergian Jeandar menjadi awal kesedihanku tak berujung.
Seminggu berlalu dan bulan pun berganti. Jeandar tidak kunjung
kembali. Kabar tak ada. Apa ia sedang sakit? Apa pekerjaannya terlalu
banyak? Bila nanti ia pulang, aku akan memasak gulai ikan gabus beraroma
kemangi kesukaannya. Mencabuti jambang yang tumbuh liar di sekitar
rahangnya. Ia akan merasa enak dan tertidur di pangkuanku.
Aku dengar Jaluddin telah balik dari kota. Ia membawa banyak uang.
Istrinya langsung membayar utang di warung Emak Jahida. Mengapa Jeandar
belum kembali? Aku pergi menjumpai Jaluddin ke rumahnya, menerobos
gerimis turun sore itu.
“Bagaimana keadaan suamiku? Mengapa ia belum kembali?”
Jaluddin yang tengah bermain dengan anaknya di teras rumah langsung memalingkan wajah, tak kuasa memandangku.
“Apa kamu menyimpan suatu rahasia tentang suamiku?”
Jaluddin menatapku cukup lama. Aku tak sabar mendengar kabar Jeandar.
“Maafkan aku. Mungkin ini akan membuatmu terluka, Arimbi!”
“Apa ia sakit?” tanyaku. Jeandar tidak boleh sakit.
Ia laki-laki kekar tak pernah terkalahkan. Aku mencoba tenangkan hati.
“Jangan menunggu Jeandar lagi. Ia telah menikah dengan putri pemborong proyek tempat kami bekerja.”
Jantungku berdetak kencang, berharap Jaluddin segera tertawa dan
mengatakan baru saja berbohong. Namun telingaku bukan pengkhianat dan
belum tuli. Jaluddin berkata benar. Aku melihat riak keseriusan di
wajahnya. Air mataku jatuh. Semua sudah tiada. Suami dan anakku pergi
meninggalkanku.
***
Batang beringin di puncak bukit makin tua. Akar yang menjuntai banyak
putus dan membusuk. Akar itu serupa gigiku kini, banyak goyang. Tidak
ada yang abadi di dunia ini. Pun beringin telah berumur ratusan tahun
itu. Lihat, daunnya banyak yang gugur.
Beberapa hari lalu, Pak Kades bilang ada orang kota membeli tanah
puncak bukit. Di sana akan dibangun sebuah vila. Batang beringin akan
ditebang. Di mana lagi aku akan merayakan kesedihan? Setiap akhir bulan
September, aku memasak gulai ikan gabus beraroma kemangi membawanya ke
puncak bukit. Menggelar tikar pandan di bawah batang beringin yang
tumbuh di sana. Sarapan di puncak bukit dengan lauk ikan gabus jadi
penghubung pada masa lalu. Gulai ikan gabus beraroma kemangi mampu
menghadirkan kembali Jeandar di sisiku.
“Batang Beringin, lihat, suamiku telah kembali. Tolong suruh burung serindit berhenti berkicau. Suamiku sedang makan.”
Aku memarahi batang beringin yang tak mampu menyuruh burung serindit
berhenti berkicau. Begitu gulai ikan gabus habis, aku sadar Jeandar
tidak pernah ada. Seketika air mataku tumpah-ruah. Kicauan burung
serindit berubah pilu seakan mengerti perasaanku. Aku berjalan ke
pinggir bukit, menatap jalan berkelok di bawah sana. Sekuat tenaga aku
meneriakkan nama Jeandar pada setiap mobil yang melaju di jalan berkelok
itu. Setelah lelah berteriak memanggil nama Jeandar, aku duduk di
antara akar beringin yang menjuntai hingga tertidur dibuai mimpi. Akar
itu menjelma bak jari-jari menelisik rambut putihku.
Besok bulan September berakhir. Aku bersiap-siap merayakan kesedihan
di puncak bukit. Namun sudah tiga hari hujan turun. Lubuk tempatku biasa
menangkap ikan gabus meluap. Tidak tahu mencari ikan gabus ke mana
lagi. Meski semua lubuk meluap, tetap bergegas menuju lubuk dekat ladang
jagungku. Berharap ada seekor ikan gabus berbaik hati menyerahkan diri
ke jaringku.
“Sudah tahu puncak bukit akan diratakan pagi ini?” Ucapan Kinanti,
tetanggaku, janda muda tanpa anak, membuatku terkejut hingga ember
berisi jaring terlepas dari tangan.
Menumbangkan beringin sama saja membunuhku. Aku memutar langkah. Para
pekerja dari kota tidak boleh meratakan puncak bukit. Di dunia ini
tidak ada lebih mencintaiku selain batang beringin dan burung serindit.
Aku benar-benar akan sebatang kara bila puncak bukit diratakan.
“Hentikan! Jangan lakukan ini….”
Aku berteriak sembari melompat ke tengah jalan menghalau buldoser
yang sedang membalik tanah. Para pekerja tidak mendengar teriakanku.
Suaraku kalah oleh deru mesin. Mereka menatap heran. Mungkin
menganggapku wanita tua telah bosan hidup.
“Tolong minggir! Jangan menghambat pekerjaan kami.” Akhirnya mesin buldoser dimatikan.
“Aku hanya memiliki kesedihan yang aku jaga selama tiga puluh tahun. Mengapa kalian mau mengambilnya dariku.”
Perkataanku membuat mereka makin yakin aku wanita tua telah bosan
hidup dan tidak waras. Seorang laki-laki berambut uban menghampiri. Raut
wajahnya bengis. Bola matanya menyimpan kemarahan. Laki-laki itu
seumuran denganku. Hidup senang membuat wajahnya sedikit lebih awet.
Kami saling tatap. Aku menemukan jalan berkelok di bola matanya. Pun
jari-jarinya menjelma bagai ranting pohon beringin.
“Aku pemilik baru tanah ini. Mengapa menghalangi para pekerjaku?”
“Di puncak bukit ini, aku menyimpan semua sedihku, menitipkannya pada
sebatang beringin tua itu. Aku hanya memiliki kesedihan. Kamu tega
merampasnya dariku?”
“Masa lalu yang menyedihkan tidak pantas dikenang. Ayo, hidupkan
kembali mesinnya. Tanah ini harus segera diratakan,” ujar laki-laki itu
sambil berlalu.
Aku menepi, memberi jalan pada buldoser untuk membalik tanah. Apa aku
punya kuasa melarang? Besok pagi, aku tidak bisa lagi merayakan
kesedihan. Namun bukan berarti lupa atas kejadian tiga puluh tahun
silam, ketika harus kehilangan suami dan anakku.
Aku menatap punggung laki-laki pemilik baru tanah puncak bukit. Ia
berjalan memisahkan diri dari keramaian. Semudah itukah ia lupa akan
kenangan? Ratusan keriput menjelajah di seluruh wajah membuatku jadi
orang asing di matanya. Ia tidak mengenaliku. Namun aku tidak pernah
lupa dia. Ia laki-laki penyuka gulai ikan gabus beraroma kemangi. Ia
laki-laki yang membuatku begitu setia merayakan kesedihan di puncak
bukit setiap akhir bulan September. Laki-laki itu Jeandar, suamiku. (44)
– Dody Wardy Manalu, mengajar bidang studi ekonomi di SMA Negeri 1 Sosorgadong.
“Waktu dimana kita sibuk memikirkan kekurangan diri sendiri, sampai
tidak sempat memikirkan kekurangan orang lain. Itulah me time.” (hlm. 1)
Kebahagiaan itu sederhana. Kadang sulit untuk diungkapkan dengan
kata-kata. Karena bahagia itu adalah sebuah pilihan, bukan hasil, maka
tidak ada yang mampu membuat diri bahagia hingga kamu memilih untuk
bahagia. Karena bahagia tidak datang padamu, tetapi ia ada dalam dirimu.
(hlm. 92)
Oleh Yenu Endah (Kompas, 19 November 2017) Cuci Paru-paru ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Minggu pagi ini Dhini rencananya diajak pergi kakaknya, Kak Ratna, jalan-jalan ke hutan pinus Mangunan, Yogyakarta.
“Ayo, Dik, cepetan ganti bajunya! Nanti keburu siang. Kakak ingin segera cuci paru-paru di hutan pinus Mangunan!” ujar Kak Ratna.
“Hah, cuci paru-paru?” tanya Dhini polos.
Kak Ratna tersenyum. “Setiap hari, banyak polusi udara yang kita
hirup dari udara yang kotor akibat asap rokok maupun asap knalpot
kendaraan. Nah, itu semua menyebabkan dampak yang tidak baik bagi
kesehatan paru-paru kita, Dhini. Karena itu kita perlu cuci paru-paru.”
“Lalu bagaimana caranya, Kak, cuci paru-paru di hutan pinus Mangunan itu?” Dhini masih belum mudheng.
“Ini nanti kita pergi ke hutan pinus Mangunan, tempat di mana ada
banyak sekali pohon pinus. Lalu di sana, kita jalan-jalan keliling hutan
untuk menghirup aroma pinusnya dalam-dalam. Oksigen di sekitar pohon
pinus itu segar sekali, sehingga akan membersihkan paru-paru kita dari
dalam. Kalau paru-paru kita bersih, darah yang terpompa ke otak juga
bersih, perasaan kita jadi lebih tenang,” jelas Kak Ratna.
Dhini manggut-manggut. Ia segera berganti baju, dan lalu ikut Kak Ratna berangkat ke hutan pinus Mangunan.
Dhini berdecak kagum ketika sampai di hutan pinus Mangunan. Ia
melihat banyak pohon pinus menjulang tinggi di sana. Dan benar sekali,
di tempat ini udaranya sangat segar.
Di hutan pinus itu, Dhini juga menikmati suara desir ranting pohon
yang bergoyang, ditambah suara burung saling bersahutan. Dhini bersama
Kak Ratna lalu berjalan keliling hutan.
“Kakak benar, di sini sangat segar, sehingga kita bisa cuci
paru-paru. Tapi sayang banget ya, Kak, kita bisa ke sini cuma di hari
libur,” ucap Dhini kemudian.
“Kamu tidak usah khawatir, Dik. Kita bisa kok melakukan cuci
paru-paru di lingkungan rumah kita sendiri. Asal kita mau menciptakan
lingkungan yang asri,” tanggap Kak Ratna.
“Oh ya, bagaimana caranya? Dhini mau Kak,” sahut Dhini antusias.
“Dhini harus menanam pohon!”
“Pohon apa, Kak? Pohon pinus seperti di hutan ini?”
“Pohon apa saja bisa kita tanam, Dik. Karena menanam pohon memiliki
banyak maanfaat bagi manusia. Selain bermanfaat bagi kesehatan seperti
cuci paru-paru tadi, pohon juga bisa berfungsi untuk berteduh di siang
hari, juga bisa mencegah banjir dan tanah longsor, selain itu pohon
memberikan keindahan pada lingkungan kita,” jelas Kak Ratna.
Dhini mengangguk, tanda mengerti.
“Kak, pulang nanti, kita mampir ke toko tanaman, ya? Dhini mau beli bibit pohon. Boleh, kan?” pinta Dhini.
“Tentu boleh dong, Dik.”
Kemudian Kak Ratna menngelar tikar dan duduk bersama Dhini, memakan
bekal yang mereka bawa dari rumah sambil menikmati pemandangan hutan
pinus. *