‘huh! Apa yang dia pikirkan? Aku tidak suka dengan caranya itu,’ gumamku saat mengingat kembali segala kejadian hari ini. Ken memperkenalkanku pada seorang lelaki. Dan ini yang ke-8 kalinya. Ke-8 lelaki yang ia kenalkan padaku benar-benar bukan tipe ku. Lelaki pertama terlalu kaku, aku tak suka lelaki yang seperti itu. Lelaki ke-2 dia baik, perhatian, cakep pula, tapi entah mengapa aku tidak menyimpan perasaan padanya. Lelaki ke-3, dia totally norak. Gombalan demi gombalan yang ia sampaikan ke padaku sungguh membuatku ingin muntah. Dan kumohon jangan paksa aku untuk menceritakan ke-5 lelaki selanjutnya. Sebab, mereka masih tak bisa memikat hatiku.
Oh iya, Ken. Dia sobatku. Kami bersahabat sejak masih di sekolah dasar hingga sekarang. Hanya saja sekarang kami di fakultas yang berbeda. Ken, dia sahabat yang baik, care, tempat curhat yang asik, dan sesungguhnya dia memiliki segala kriteria pasangan hidupku, perfect. Baiklah, kuakui, aku menyukainya. Entahlah, perasaan ini telah kurasakan semenjak di bangku SD. Mungkin karena aku terbiasa.
Sebenarnya, ada kata-kata darinya yang tak pernah ku lupakan. Kata-kata
yang dia tujukan padaku saat perpisahan kelas 6 SD, tepatnya tujuh
tahun yang lalu. ‘Kau perempuan yang paling baik setelah ibuku,’ huh, kalimat itu terngiang kembali. Kadang ku bertanya apa ia masih ingat kata-kata itu. Sepertinya sih tidak.
****
Hari ini kami menghabiskan malam minggu berdua. Katanya ia ingin
mengatakan sesuatu. Aku sangat senang, berharap ia menyatakan suatu
perasaan yang hingga saat ini tak bisa ku katakan padanya. Tapi aku
salah.
“Re, gue lagi naksir cewek nih! Tapi kok susah ya ngasi tau ke dia”
kata Ken dengan wajah manjanya. Sedangkan aku, tersenyum menutup
kesedihan yang benar terasa perihnya.
“Ya ampun Ken, hal gitu lo tanya juga ke gue? Eh, maksud gue..mmm.. kan
tinggal dinyatain aja! Kasi bunga kek, cokelat kek. Oh iya, dia udah
ada yang punya apa belum nih?”
“Gue liat-liat sih belum!” jawab Ken lesu.
“Lembek banget sih jadi cowok! Nyatain aja!” kukatakan semua dengan
semangat menggebu sedang hati ini terasa seakan ditusuk samurai.
“Ya elah, dia kayaknya nggak suka gue, gue dah di tolak!”
“hah? Ups! Ya udah... sama gue aja!” Mampus! Gue keceplosan!
“Hahaha, ayok! Wakakakak!” dia tertawa terbahak. Dan aku pun ikut tertawa.
Nasib, nasib. Dia menganggapku sedang bercanda. Aku serius Ken. Kali
ini aku serius. Apa kau tak bisa dengarkan jeritan hati ini. Huhuhu.
***
Keesokan harinya, dan esoknya lagi, dan seterusnya, dia hanya berbicara
tentang wanita itu. Telingaku terasa panas mendengarnya. Terasa ada
tusukan dahsyat di jantung ini setiap kali ia bercerita tentangnya.
Apalagi ada kabar bahwa wanita itu mulai memberikan sinyal cinta untuk
Ken. Hatiku? Tak perlu ditanyakan lagi. Hancur berkeping-keping.
Hari-hariku yang ceria terasa kelabu. Aku mencoba menghindar setiap
berpapasan dengannya. Radar jangkauanku terlalu kuat untuk mendeteksi
keberadaan Ken, sehingga tak sulit bagiku jika harus menghilang secepat
rambat cahaya saat ia mulai mendekat. Aku tak mau ia menebak sinar
mataku yang sangat kecewa tentang perasaannya. Aku tak ingin dia
mengetahui kesedihan yang kurasakan. Jujur, aku sulit menyembunyikan
sakit hati ini. Aku tau dia akan cepat menerka tentang yang terjadi
denganku. Dia sudah sangat mengenalku.
Suatu hari ia berlari mengejarku. Aku tak bisa melarikan diri. ‘Waktunya tersenyuuum,’
batinku. Dia mengajakku mengobrol di danau kampus. Apa mungkin ia akan
mengatakan bahwa ia mencintaku? Ia tak bisa hidup tanpaku? Itu harapku.
“Re, lo kapan sih mau melepas ke-jomblo-an lo?” matanya benar serius
kali ini. Aku terkejut, menyadari ada kesenjangan antara harapan dan
kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa detik itu takkan pernah terjadi
dalam hidupku.
“Maksud lo?” aku mendelik tajam padanya.
“Nggak, maksud gue gini loh. Gue gak bakal nembak tuh cewek kalo lo
belum punya pacar. Ntar kan kasian elo kalo jalan sendiri. Gak ada yang
jaga! Heheh”
‘oh Ken ku sayang, kali ini hatiku sudah bukan hancur lagi, tapi lenyap, tak bersisa’ gumamku sambil berpura-pura tersenyum.
“Hoalah, Keeen, Ken! Tembak aja kali. Gue mah gampang.”
“Nggak! Pokoknya lo harus punya cowok, baru gue mau jadian sama cewek
lain! Apa perlu gue nyari-in cow...” dengan cepat ku potong kalimatnya.
“Eits, plis jangan ada cowok yang ke-9. Gue bisa cari sendiri. Kalau
elo yang nyari gak ada yang beres. Hahaha!” aku mencoba menghibur diriku
sendiri. Dia pun ikut tertawa.
“Oke deh!” dia langsung pergi meninggalkanku yang duduk memikirkan
lelaki seperti apa yang harus ku cari dan kapan aku bisa mendapatkannya.
***
Malam ini aku masih memikirkan obrolan tadi siang dengan Ken. Memutar
otak bagaimana agar aku tak perlu mendekati lelaki lain namun ia tetap
bisa mendekati wanita yang dia cintai itu. Dan akhirnya aku mendapatkan
jalan keluar dari ini semua. Untuk kali ini saja aku akan berbohong pada
Ken. Kugapai handphone ku dan mengirim sms padanya bahwa aku baru saja
menerima cinta lelaki lain. “Oh God! Who am i kidding!” keluhku.
***
Pagi hari yang cerah ini aku bertemu dengan Ken. Dia seperti menyimpan
banyak pertanyaan yang siap ia keluarkan. Aku mencoba memikirkan
rangkaian jawaban berupa kebohongan-kebohongan nantinya. Dia menarik
tanganku, mengajakku ke tempat favorit kami, di danau buatan yang selalu
indah dan nyaman.
“Sms lo tadi malam serius?” tanyanya dengan kening mengkerut seperti itu. Aku sedikit menahan tawaku.
“Oh iya dong! Demi lo nih! Ahahha!” dengan sangat terpaksa ku berbohong. ‘dua kebohongan!’batinku.
“Siapa? Gue kenal gak?” tanyanya lagi.
“Ya, nggak laah. Gue baru kenal kemarin!” Huh, ini ketiga kalinya aku berbohong.
“Oh, selamat deh!” jawabnya singkat tanpa ekspresi.
“Nanggapinnya kok gitu sih? Lo gimana? Sudah nembak dia?” tanyaku sok antusias.
“Nggak.. nggak jadi. Ternyata dia suka sama orang lain!” jawabnya
dengan senyum pahit. Wow. Aku terkejut. Entahlah, aku bingung harus
senang atau turut merasakan kesedihan Ken. Emosiku tak bisa ku tahan.
Aku benci dengan wanita yang ia ceritakan itu. Aku benci dengan wanita
yang menyakiti Ken ku.
“What?!
Gue gak terima Ken. Dia pikir dia siapa? Selama ini ngasi sinyal ke
elo, tau-tau dia jadian sama cowok lain. Pokoknya gue gak terima. Dia
gak seharusnya dicintai sama sebaik elo Ken. Gue gak rela dia..” omongan
ku terpotong oleh Ken.
“Re! Stop. Lo jangan pernah ngatain dia kayak gitu. Ini salah gue.
Salah gue terlalu lama mendam perasaan gue. Dia gak tau apa-apa. Maafin
gue, Re!”
“Agh. Pokoknya gue gak bisa terima ini semua. Dia ma... Eh, tadi lo
minta maaf? Kenapa?” aku bingung dengan kalimat dia barusan.
“Dia yang gue maksud itu elo, Re! Sorry, bukan maksud gue mau rusak
hubungan lo dengan pacar baru elo. Tapi, biar bagaimanapun gue dah
mantap buat ngungkapin perasaan ini hari ini juga. Tapi sepertinya gue
keduluan beberapa jam yak? Haha..Awalnya gue cuma mau tau apa elo udah
suka sama orang lain atau tidak. Dan saat itu gue berharap kalo lo gak
lagi suka ma siapapun. Tapi, pas lo sms ke gue tentang lo dah jadian
dengan orang lain, sumpah Re, ternyata sakit juga. Hahaha..” Ken
tertawa. Tapi aku tak tega melihat ia tertawa dengan mata se-sedih itu.
Lalu ia melanjutkan ungkapan hatinya tadi, sedang aku masih sibuk dengan
pikiranku sendiri. Jadi wanita yang ia certakan selama ini adalah, aku?
Ya, aku teringat, aku tak pernah mencoba menanyakan nama wanita itu.
Lamunanku buyar saat Ken melanjutkan obrolannya.
“Re, lo ingat gak kalimat gue ke elo waktu kita SD dulu?” aku
tersentak. Tentu saja aku ingat. “Tapi kayaknya nggak ingat yah.. Haha..
Wajar sih, waktu itu kita masih anak-anak. Tapi gue pengen lo tau,
waktu itu gue serius. Perasaan ini dah gue pendam selama ini. Dan
finally, sekarang dah gue ungkapin. Lega juga. Oh iya, sorry gue dah
nawarin cowok-cowok yang gak jelas. Gue egois. Gue gak mau lo jadian
dengan orang selain gue. Yah, akhirnya ada yang berhasil rebut lo dari
gue..hmm.. dia hebat juga! Tapi sempat lho, waktu lo bilang lo mau jadi
pacar gue, ya gue kaget. Dan waktu itu lo lagi bercanda, gue tau itu!”
lanjutnya. Yah, Aku ingat saat itu. Malam minggu saat aku tak sengaja
mengatakan bahwa aku bisa menjadi pacarnya yang justru dianggap sebagai
candaan. Aku mengangguk kecil memikirkan apa yang akan kukatakan.
“Oh, tapi..” baru saja aku ingin menanggapi segala curahan hatinya. Dan ia kembali melanjutkan kalimat-kalimatnya.
“Mmm,
Oh iya Re! Gimana proses nembaknya dia? Berkesan gak? Dia bilang apa?
Pokoknya lo harus cerita!” serunya dengan semangat yang dibuat-buat. Aku
tahu itu.
“Iya! Dia bilang kalo dia suka sama gue.” Kebohongan ke-4.
“Oh
ya?” ekspresi itu. Aku semakin tak tega melihat dia berpura-pura
bahagia mendengar kabar dusta dariku, pandangannya menerawang dengan
sinar mata penuh kecewa.
“Pasti!
Lha sekarang gue lagi bareng dia kok!” jawabku agar sedikit
menghiburnya. Kali ini aku jujur dan serius. Dia masih tidak
memperhatikan pembicaraanku. “Ken!!” tegurku lesu, tersenyum kecil
melihat dia dengan wajah seperti itu.
“Bagus deh!” Wah, ternyata dia masih tidak fokus. Baiklah kali ini aku harus serius.
“Aduh Ken! Sumpah deh! Connect dikit dong! Dia itu elo! Ken!”
Dia
terkejut dengan ekspresi bingung yang tak bisa ia tutupi. Ia menoleh
sekitar, mencari lelaki lain, selain dia. Aduh, aku tak sanggup menahan
tawa melihat wajah lugu itu.
“Maksud lo... Gue?” tanyanya sekali lagi sambil menunjuk batang hidungnya.
“Ken!
Ya iyalah, siapa lagi coba! Udah, pokoknya lo udah gue terima jadi
pacar gue! Hahah!” tiba-tiba teringat malam minggu saat ku katakan hal
bernada sama. Kali ini dia langsung memelukku. Bukan sebagai sahabat,
tapi sebagai orang yang dia cintai lebih dari sahabat. “Thanks, Re!
Thanks!” bisiknya lembut.
~ The End ~