Daftar Blog Saya

Senin, 17 April 2017

Kali ini, Aku tak Bercanda!

oleh: Mutiah Sari

huh! Apa yang dia pikirkan? Aku tidak suka dengan caranya itu,’ gumamku saat mengingat kembali segala kejadian hari ini. Ken memperkenalkanku pada seorang lelaki. Dan ini yang ke-8 kalinya. Ke-8 lelaki yang ia kenalkan padaku benar-benar bukan tipe ku. Lelaki pertama terlalu kaku, aku tak suka lelaki yang seperti itu. Lelaki ke-2 dia baik, perhatian, cakep pula, tapi entah mengapa aku tidak menyimpan perasaan padanya. Lelaki  ke-3, dia totally norak. Gombalan demi gombalan yang ia sampaikan ke padaku sungguh membuatku ingin muntah. Dan kumohon jangan paksa aku untuk menceritakan ke-5 lelaki selanjutnya. Sebab, mereka masih tak bisa memikat hatiku.


Cerpen Cinta Romantis
Oh iya, Ken. Dia sobatku. Kami bersahabat sejak masih di sekolah dasar hingga sekarang. Hanya saja sekarang kami di fakultas yang berbeda. Ken, dia sahabat yang baik, care, tempat curhat yang asik, dan sesungguhnya dia memiliki segala kriteria pasangan hidupku, perfect. Baiklah, kuakui, aku menyukainya. Entahlah, perasaan ini telah kurasakan semenjak di bangku SD. Mungkin karena aku terbiasa.
            Sebenarnya, ada kata-kata darinya yang tak pernah ku lupakan. Kata-kata yang dia tujukan padaku saat perpisahan kelas 6 SD, tepatnya tujuh tahun yang lalu. ‘Kau perempuan yang paling baik setelah ibuku,’ huh, kalimat itu terngiang kembali. Kadang ku bertanya apa ia masih ingat kata-kata itu. Sepertinya sih tidak.
****
            Hari ini kami menghabiskan malam minggu berdua. Katanya ia ingin mengatakan sesuatu. Aku sangat senang, berharap ia menyatakan suatu perasaan yang hingga saat ini tak bisa ku katakan padanya. Tapi aku salah.
            “Re, gue lagi naksir cewek nih! Tapi kok susah ya ngasi tau ke dia” kata Ken dengan wajah manjanya. Sedangkan aku, tersenyum menutup kesedihan yang benar terasa perihnya.
            “Ya ampun Ken, hal gitu lo tanya juga ke gue? Eh, maksud gue..mmm.. kan tinggal dinyatain aja! Kasi bunga kek, cokelat kek. Oh iya, dia udah ada yang punya apa belum nih?”
            “Gue liat-liat sih belum!” jawab Ken lesu.
            “Lembek banget sih jadi cowok! Nyatain aja!” kukatakan semua dengan semangat menggebu sedang hati ini terasa seakan ditusuk samurai.
            “Ya elah, dia kayaknya nggak suka gue, gue dah di tolak!”
            “hah? Ups! Ya udah... sama gue aja!” Mampus! Gue keceplosan!
            “Hahaha, ayok! Wakakakak!” dia tertawa terbahak. Dan aku pun ikut tertawa.
            Nasib, nasib. Dia menganggapku sedang bercanda. Aku serius Ken. Kali ini aku serius. Apa kau tak bisa dengarkan jeritan hati ini. Huhuhu.
***
            Keesokan harinya, dan esoknya lagi, dan seterusnya, dia hanya berbicara tentang wanita itu. Telingaku terasa panas mendengarnya. Terasa ada tusukan dahsyat di jantung ini setiap kali ia bercerita tentangnya. Apalagi ada kabar bahwa wanita itu mulai memberikan sinyal cinta untuk Ken. Hatiku? Tak perlu ditanyakan lagi. Hancur berkeping-keping.
            Hari-hariku yang ceria terasa kelabu. Aku mencoba menghindar setiap berpapasan dengannya. Radar jangkauanku terlalu kuat untuk mendeteksi keberadaan Ken, sehingga tak sulit bagiku jika harus menghilang secepat rambat cahaya saat ia mulai mendekat. Aku tak mau ia menebak sinar mataku yang sangat kecewa tentang perasaannya. Aku tak ingin dia mengetahui kesedihan yang kurasakan. Jujur, aku sulit menyembunyikan sakit hati ini. Aku tau dia akan cepat menerka tentang yang terjadi denganku. Dia sudah sangat mengenalku.
            Suatu hari ia berlari mengejarku. Aku tak bisa melarikan diri. ‘Waktunya tersenyuuum,’ batinku. Dia mengajakku mengobrol di danau kampus. Apa mungkin ia akan mengatakan bahwa ia mencintaku? Ia tak bisa hidup tanpaku? Itu harapku.
            “Re, lo kapan sih mau melepas ke-jomblo-an lo?” matanya benar serius kali ini. Aku terkejut, menyadari ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa detik itu takkan pernah terjadi dalam hidupku.
            “Maksud lo?” aku mendelik tajam padanya.
            “Nggak, maksud gue gini loh. Gue gak bakal nembak tuh cewek kalo lo belum punya pacar. Ntar kan kasian elo kalo jalan sendiri. Gak ada yang jaga! Heheh”
            ‘oh Ken ku sayang, kali ini hatiku sudah bukan hancur lagi, tapi lenyap, tak bersisa’ gumamku sambil berpura-pura tersenyum.
            “Hoalah, Keeen, Ken! Tembak aja kali. Gue mah gampang.”
            “Nggak! Pokoknya lo harus punya cowok, baru gue mau jadian sama cewek lain! Apa perlu gue nyari-in cow...” dengan cepat ku potong kalimatnya.
            “Eits, plis jangan ada cowok yang ke-9. Gue bisa cari sendiri. Kalau elo yang nyari gak ada yang beres. Hahaha!” aku mencoba menghibur diriku sendiri. Dia pun ikut tertawa.
            “Oke deh!” dia langsung pergi meninggalkanku yang duduk memikirkan lelaki seperti apa yang harus ku cari dan kapan aku bisa mendapatkannya.
***
            Malam ini aku masih memikirkan obrolan tadi siang dengan Ken. Memutar otak bagaimana agar aku tak perlu mendekati lelaki lain namun ia tetap bisa mendekati wanita yang dia cintai itu. Dan akhirnya aku mendapatkan jalan keluar dari ini semua. Untuk kali ini saja aku akan berbohong pada Ken. Kugapai handphone ku dan mengirim sms padanya bahwa aku baru saja menerima cinta lelaki lain. “Oh God! Who am i kidding!” keluhku.
***
            Pagi hari yang cerah ini aku bertemu dengan Ken. Dia seperti menyimpan banyak pertanyaan yang siap ia keluarkan. Aku mencoba memikirkan rangkaian jawaban berupa kebohongan-kebohongan nantinya. Dia menarik tanganku, mengajakku ke tempat favorit kami, di danau buatan yang selalu indah dan nyaman.
            “Sms lo tadi malam serius?” tanyanya dengan kening mengkerut seperti itu. Aku sedikit menahan tawaku.
            “Oh iya dong! Demi lo nih! Ahahha!” dengan sangat terpaksa ku berbohong. ‘dua kebohongan!’batinku.
            “Siapa? Gue kenal gak?” tanyanya lagi.
            “Ya, nggak laah. Gue baru kenal kemarin!” Huh, ini ketiga kalinya aku berbohong.
            “Oh, selamat deh!” jawabnya singkat tanpa ekspresi.
            “Nanggapinnya kok gitu sih? Lo gimana? Sudah nembak dia?” tanyaku sok antusias.
            “Nggak.. nggak jadi. Ternyata dia suka sama orang lain!” jawabnya dengan senyum pahit. Wow. Aku terkejut. Entahlah, aku bingung harus senang atau turut merasakan kesedihan Ken. Emosiku tak bisa ku tahan. Aku benci dengan wanita yang ia ceritakan itu. Aku benci dengan wanita yang menyakiti Ken ku.
“What?! Gue gak terima Ken. Dia pikir dia siapa? Selama ini ngasi sinyal ke elo, tau-tau dia jadian sama cowok lain. Pokoknya gue gak terima. Dia gak seharusnya dicintai sama sebaik elo Ken. Gue gak rela dia..” omongan ku terpotong oleh Ken.
            “Re! Stop. Lo jangan pernah ngatain dia kayak gitu. Ini salah gue. Salah gue terlalu lama mendam perasaan gue. Dia gak tau apa-apa. Maafin gue, Re!”
            “Agh. Pokoknya gue gak bisa terima ini semua. Dia ma... Eh, tadi lo minta maaf? Kenapa?” aku bingung dengan kalimat dia barusan.
            “Dia yang gue maksud itu elo, Re! Sorry, bukan maksud gue mau rusak hubungan lo dengan pacar baru elo. Tapi, biar bagaimanapun gue dah mantap buat ngungkapin perasaan ini hari ini juga. Tapi sepertinya gue keduluan beberapa jam yak? Haha..Awalnya gue cuma mau tau apa elo udah suka sama orang lain atau tidak. Dan saat itu gue berharap kalo lo gak lagi suka ma siapapun. Tapi, pas lo sms ke gue tentang lo dah jadian dengan orang lain, sumpah Re, ternyata sakit juga. Hahaha..” Ken tertawa. Tapi aku tak tega melihat ia tertawa dengan mata se-sedih itu. Lalu ia melanjutkan ungkapan hatinya tadi, sedang aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Jadi wanita yang ia certakan selama ini adalah, aku? Ya, aku teringat, aku tak pernah mencoba menanyakan nama wanita itu. Lamunanku buyar saat Ken melanjutkan obrolannya.
            “Re, lo ingat gak kalimat gue ke elo waktu kita SD dulu?” aku tersentak. Tentu saja aku ingat. “Tapi kayaknya nggak ingat yah.. Haha.. Wajar sih, waktu itu kita masih anak-anak. Tapi gue pengen lo tau, waktu itu gue serius. Perasaan ini dah gue pendam selama ini. Dan finally, sekarang dah gue ungkapin. Lega juga. Oh iya, sorry gue dah nawarin cowok-cowok yang gak jelas. Gue egois. Gue gak mau lo jadian dengan orang selain gue. Yah, akhirnya ada yang berhasil rebut lo dari gue..hmm.. dia hebat juga! Tapi sempat lho, waktu lo bilang lo mau jadi pacar gue, ya gue kaget. Dan waktu itu lo lagi bercanda, gue tau itu!” lanjutnya. Yah, Aku ingat saat itu. Malam minggu saat aku tak sengaja mengatakan bahwa aku bisa menjadi pacarnya yang justru dianggap sebagai candaan. Aku mengangguk kecil memikirkan apa yang akan kukatakan.
            “Oh, tapi..” baru saja aku ingin menanggapi segala curahan hatinya. Dan ia kembali melanjutkan kalimat-kalimatnya.
“Mmm, Oh iya Re! Gimana proses nembaknya dia? Berkesan gak? Dia bilang apa? Pokoknya lo harus cerita!” serunya dengan semangat yang dibuat-buat. Aku tahu itu.
“Iya! Dia bilang kalo dia suka sama gue.” Kebohongan ke-4.
“Oh ya?” ekspresi itu. Aku semakin tak tega melihat dia berpura-pura bahagia mendengar kabar dusta dariku, pandangannya menerawang dengan sinar mata penuh kecewa.
“Pasti! Lha sekarang gue lagi bareng dia kok!” jawabku agar sedikit menghiburnya. Kali ini aku jujur dan serius. Dia masih tidak memperhatikan pembicaraanku. “Ken!!” tegurku lesu, tersenyum kecil melihat dia dengan wajah seperti itu.
“Bagus deh!” Wah, ternyata dia masih tidak fokus. Baiklah kali ini aku harus serius.
“Aduh Ken! Sumpah deh! Connect dikit dong! Dia itu elo! Ken!”
Dia terkejut dengan ekspresi bingung yang tak bisa ia tutupi. Ia menoleh sekitar, mencari lelaki lain, selain dia. Aduh, aku tak sanggup menahan tawa melihat wajah lugu itu.
“Maksud lo... Gue?” tanyanya sekali lagi sambil menunjuk batang hidungnya.
“Ken! Ya iyalah, siapa lagi coba! Udah, pokoknya lo udah gue terima jadi pacar gue! Hahah!” tiba-tiba teringat malam minggu saat ku katakan hal bernada sama. Kali ini dia langsung memelukku. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai orang yang dia cintai lebih dari sahabat. “Thanks, Re! Thanks!” bisiknya lembut.

~ The End ~

Haruan Baubar Uma ( cerpen majalah Good Housekeeping )

 Jarang-jarang Ratih nampak gundah. Dua tahun lewat pernikahannya, tak sekalipun Akhmad, suaminya gagal melengkungkan senyum di wajah bulat telurnya. Namun, selalu ada satu hari dalam setahun, hatinya mengembang risau. Begitu pandai awalnya dia menyembunyikan cemarut itu dari raut wajah, sampai-sampai Akhmad tak menangkap gelagat apa-apa. Hari semakin dekat dengan masa yang ia cemaskan. Hari meninggalnya sang ibu mertua, karena di hari itulah, Akhmad mendadak manja tak keruan. Selalu minta dimasakkan Haruan Baubar1. Tak mau makan jika bukan itu menunya.
Ketika tiga tahun lalu, kali pertama Akhmad minta dimasakkan Haruan Baubar, Ratih mengernyitkan dahi. Kenapa bukan Soto Banjar yang jelas-jelas lebih terkenal sebagai makanan khas daerah suaminya? Sebagai perempuan Jawa, tentu Ratih tidak fasih dengan menu-menu itu. Dia masih ingat, tiga bulan pertama pernikahannya, Ratih memasakkan Soto Banjar nyaris tiap dua kali seminggu. Akhmad tertawa saat tahu alasannya, semata ingin menyenangkan hati suami di masa bulan madu. Lelaki jangkung kurus itu membelai rambut Ratih dan berbisik, masaklah apa saja, karena masakan penuh cinta selalu memuaskan selera. Mendengar itu, berjam-jam tak pudar pipi bulat Ratih memerah persis tomat buah, tersipu karenanya.
Kembali ke Haruan Baubar tadi, Akhmad tadinya enggan menjelaskan. Matanya dilemparkan ke sudut bertentangan dari tatap teduh Ratih. Namun, Ratih perempuan liat, giat mencari jawaban menuntaskan penasarannya. Akhmad akhirnya bercerita dan hati Ratih langsung tergerus saat menyimaknya.
Uma2, begitu Akhmad memanggil ibunya, dulu susah sekali hamil. Maka saat Akhmad lahir, sukacita itu tumpah ruah di dada uma dan memanjakan Akhmad tak kira-kira. Akhmad kecil susah makan, sama susahnya dengan rupiah yang tersemat di dompet uma. Sebagai buruh cuci, tak seberapalah uang yang bisa mereka genggam setiap bulan. Bapaknya sopir ekspedisi, lebih sering singgah lalu berangkat tugas kembali, sampai-sampai ingatan Akhmad tentang bapak melamur.
Mata Akhmad menerawang saat ceritanya henti sejenak. Ratih mengusap punggung suaminya. Akhmad pun melanjutkan, sembari menyemburkan bulat asap rokoknya ke sisi berlawanan wajah istrinya. Suatu hari, seperti biasa Akhmad kecil bertingkah tak mau makan. Tentu uma bingung tak kepalang, berusaha membujuk agar anak tunggalnya mau makan barang sesuap saja. Tak lama tercium aroma gurih iwak baubar3 dari jendela tetangga.
“Biar kutebak, kau minta ibumu memasak iwak baubar?” tanya Ratih dengan bola mata membulat.
“Aku bilanglah pada uma, masakkan Haruan Baubar, ulun4 janji akan habiskan dua piring lah.”
“Ah, ibumu pasti bersemangat.”
“Padahal waktu itu badan uma meriang karena sehari sebelumnya kelelahan membantu di pernikahan saudara.”
“Tapi ibumu tetap berangkat ke pasar?”
“Iya. Padahal hari hujan. Petir menyambar rasanya nyaris membakar ubun-ubun. Tapi tetaplah uma berangkat.”
“Lalu?”
“Aku yakin di kepala uma sudah merancang akan juga memasak Terong Baparung5 dan sambal acan6. Sepertinya aku di rumah juga membayangkan hal yang sama. Manalah aku tahu kalau ternyata uma tak pulang-pulang lagi.”
Ratih menghela napas. Ia tahu cerita selanjutnya. Tentang mertua perempuan yang tak pernah ia temui karena kecelakaan. Pick-up sayur penuh muatan tergelincir di jalan kampung yang licin, memelantingkan tubuh ibu Akhmad. Napasnya terpenggal tepat saat raganya mendarat di tanah becek. Ikan yang dibelinya ikut tergeletak di sana-sini, tak menemukan jalan tiba di piring Akhmad untuk disantap.
“Kalau aku tidak memaksa uma memasak Haruan Baubar, mungkinkah...,” Akhmad mematikan bara di batang rokok. “Sejak itu, di hari kematian uma, aku selalu mengingat cintanya dengan memakan Haruan Baubar.”
Mana bisa Ratih menolak memasakkannya menu itu, melihat duka yang melayang-layang di mata suaminya. Lagipula, apa susahnya sekadar memasak ikan bakar. Jika menu serumit Soto Banjar saja ia menuai pujian, tentu Haruan Baubar bukanlah masalah besar.
***
Ratih salah. Ada hal-hal yang luput dari perhitungannya. Memang mudah sekadar memanggang ikan dan menghidangkannya di atas meja. Yang sukar justru memuaskan dahaga Akhmad akan kenangan ibunya.
Tahun pertama Ratih memasakkan Haruan Baubar, kalau tidak salah di bulan kelima pernikahan mereka, Akhmad nyaris dibuatnya muntah. Haruan yang cokelat kehitaman itu hanya disentuh suaminya secuil saja.
“Tidak enaklah,” begitu ujarnya.
Ratih mengernyitkan dahi, mengingat-ingat di bagian manakah ia salah meracik bumbunya. Bawang putih, asam, dan garam, cuma itu yang ia perlukan sebelum memanggang iwak tersebut. Ketika Ratih mencicipinya, dengan nasi mengepul hangat dan secolek sambal, rasanya tak ada yang aneh, walau tak bisa dibilang wah juga.
Seharian itu Akhmad tak mau menyuapkan apapun ke mulutnya. Hanya rokok dan air putih yang sudi ia kecap. Lelaki itu duduk di depan rumah. Matanya menatap ke langit, mungkin sedang meminta izin pada Tuhan, untuk diredakan gulana di dadanya. Atau sekadar menikmati rindu yang menggulung-gulung siap pecah di ujung mata. Namun, Akhmad pantang menangis. Baginya menangis pekerjaan perempuan. Lelaki cukup diam dan meredam kecamuknya bersama puntung-puntung tembakau yang bergelimpangan.
Tahun kedua, sesuai permintaan Akhmad, Ratih memasakkan Haruan Baubar lagi. Kali ini ia tak hendak main-main. Ia memilih iwak terbaik. Walau bumbu rendamnya sama, kali ini Ratih juga menyertakan cacapan asam7 sebagai pendamping menyantap Haruan Baubar.
Akhmad masih menggeleng, walau tak sampai mual seperti tahun lalu. Ratih tak sabar lalu bertanya tentang rasanya.
“Ada yang kurang,” jawab Akhmad.
“Apanya?”
“Entahlah. Tidak bisa kujelaskan.”
“Terlalu asin? Pahit karena terlalu gosong?” Ratih makin tak sabar. “Bilang padaku.”
“Sudahlah. Kenyang.”
Hanya dua suap yang bisa lelaki itu habiskan. Lagi-lagi ia menyendiri di beranda rumah. Merokok dan minum air putih, sampai larut sekali. Selepas tengah malam, barulah ia masuk ke rumah dan memeluk Ratih dari belakang. Pulas sekali tidurnya sampai-sampai subuh tiba, membuat Ratih terkunci di rengkuhannya. Seberapa dalam suaminya tenggelam dalam duka kehilangan ibunya, batin Ratih mengusap dahi Akhmad lalu mengecupnya beberapa kali. Lelaki itu menggeliat, sehingga Ratih bisa beranjak dari tempat tidur, menyambut azan dari arah seberang.
***
Maka tahun ini, Ratih benar-benar enggan. Ia tak mau memasakkan Haruan Baubar lagi. Semalam sebelum hari meninggal mertuanya itu, Ratih duduk tegak di depan suaminya. Nadanya dipertegas, seakan Akhmad harus tahu bahwa ia tak main-main.
“Kenapakah begitu?” tanya Akhmad dengan nada tak kalah tegas. Sejenak Ratih gentar. Namun, tangannya mengepal lebih kuat mempertegas niatnya.
“Aku memasakkanmu Haruan Baubar dua kali, dan dua-duanya tak kau makan. Mubazir. Setiap tahun, aku harus memberikannya ke tetangga kanan-kiri karena kau tak sudi menghabiskannya.”
“Rasanya kurang. Tidak seperti masakan uma.”
Ratih terdiam.
“Kalau uma yang masak, entah kenapa, rasanya nikmat sekali.”
“Tapi aku bukan ibumu. Aku istrimu. Tentu saja berbeda.” Ratih bangkit dari duduknya. Siapa yang tidak kesal diperbandingkan. Apa Akhmad tidak tahu, wanita itu pada dasarnya pencemburu. “Aku sudah berusaha memasak sebaik mungkin, seenak mungkin. Tapi kurasa juru masak selihai apapun takkan memuaskanmu, karena sebenarnya bukan perutmu yang lapar, tapi hatimu. Lapar akan rasa bersalahmu sendiri.”
Akhmad menatap lekat istrinya. Tak sekalipun Ratih pernah berkata keras sepanjang usia pernikahan mereka. 
“Ratih, semalam aku bermimpi. Uma datang membawa sepiring iwak baubar. Haruan Baubar, komplit dengan nasi, cacapan asam, terong baparung, dan sambal. Yang aneh, uma tidak mau menyuapiku seperti ketika aku kecil dulu. Uma cuma berdiri, tersenyum, lalu membalikkan badan membawa piringnya pergi,” Akhmad menatap kosong ke arah langit-langit. “Menurutmu, pertanda apakah itu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Ratih setelah berpikir sejenak.
“Apa menurutmu uma masih marah padaku?”
“Kenapa kau selalu berpikir begitu? Sungguh, aku tidak tahu jawabannya. Yang pasti, aku tidak akan memasakkanmu Haruan baubar.”
Ia pun ikut bangkit. “Baiklah. Biar besok aku saja yang masak Haruan Baubar itu.”
Ratih tercenung mendengarnya. Dengan cepat, Akhmad berbalik badan meninggalkan rumah. Ratih belum sanggup menyurutkan kesal di dada, setengah melampiaskannya pada punggung Akhmad yang menjauh, “jangan lupa sekalian panggang juga hatimu yang penuh rasa bersalah itu.”
Tak ada yang tahu, bagaimana raut wajah suaminya selepas Ratih mengucapkan kalimat itu.
***
Kini ganti Ratih yang duduk gelisah di beranda rumah. Beberapa kali ia memanjangkan leher menatap ke ujung jalan, kalau-kalau sosok jangkung suaminya tertangkap mata. Akhmad pasti akan kerepotan membawa belanjaan di satu tangan dengan payung di tangan lainnya.
Sudah beberapa jam hujan tak putus-putus mencurah dari langit yang gelapnya bukan kepalang. Guntur dan kilat saling berkejaran, seakan berlomba mana yang lebih ampuh menciutkan hati manusia untuk keluar dari rumah.
Sejak pagi, Akhmad belum kembali. Ia pergi ke pasar selepas azan subuh. Sekarang lewat beberapa jam, Ratih masih sendiri di rumah. Sedari tadi ia menyesal, kenapa ia membiarkan suaminya pergi sendiri. Apakah Akhmad kehujanan? Ataukah tengah berteduh di pinggir jalan menanti langit kembali cerah, sebelum melanjutkan langkah menuju rumah? Atau jangan-jangan, persis seperti mertuanya bertahun-tahun silam, ada truk muatan sayur yang menghantam telak suaminya? Jantung Ratih nyaris ikut berhenti berdegup membayangkannya.
Tak seharusnya ia cemburu pada ibu mertuanya. Ia tak mengalami duka itu sebagaimana Akhmad menjalaninya. Di usia semuda itu, belum genap sepuluh tahun, Akhmad menyuburkan rasa bersalah di dada, merasa bahwa kepergian ibunya adalah murni salahnya.
Ratih mempererat genggaman di sisi tubuhnya. Tapi siapa juga yang rela diperbandingkan dengan mertua sendiri? Memang tidak ada yang mengalahkan cinta ibu dan anak. Namun, cinta suami dan istri tentulah beda bentuknya. Memintanya memasakkan haruan baubar persis sebagaimana cara ibunya dulu, rasanya Ratih sedang dituntut menjadi sosok yang bukan dirinya sendiri. Menjelma jadi ibu untuk lelakinya. Cemburu merambat naik melewati tengkuk Ratih, membuat kepalanya berdenyut-denyut.
Hujan menderas, tak menyisakan celah di antara rintiknya. Ratih membulatkan tekad. Ia harus menyusul Akhmad. Tak hendak ia dikubur rasa bersalah, persis yang membenamkan hati suaminya bertahun-tahun.
Ratih mengembangkan payung paling kuat dan lebar yang mereka punya, lalu membawa satu lagi, kalau-kalau Akhmad masih marah padanya dan tak mau berbagi payung. Setiap kakinya melangkah, ia mengucap doa, semoga Akhmad tengah berteduh tak kurang suatu apapun. Duh Gusti, Ratih tak sanggup membayangkan gambaran jahat yang tanpa permisi melintas. Akhmad tersungkur di tanah becek, dengan iwak haruan mengelilinginya. Persis ibunya dulu.
Rinai air mulai menipis saat Ratih meninggalkan jalan setapak kampung menuju jalan besar. Tak lama, ia nyaris terlonjak kegirangan saat melihat sosok jangkung berdiri merapatkan tubuh di sebuah pos jaga ronda yang atapnya mulai lapuk. Ratih berlari cepat menghampiri suaminya, yang menyambutnya dengan binar yang tak kalah gemilangnya.
“Kau kebasahan?” tanya Ratih.
Akhmad menggeleng. Bibirnya biru. Biru yang hampir sama bila Ratih hendak mengingat bayangan suaminya yang tumbang dihantam truk sayur.
“Ayo pulang. Cepat-cepatlah kita masak iwak itu.”
Ulun tidak beli iwak haruan,” ujar Akhmad tersenyum. “Sepanjang jalan, aku berpikir apa maksud mimpi uma. Mungkin uma menyuruhku berhenti makan iwak baubar dengan perasaan sedih seperti itu.”
“Lalu, hari ini mau masak apa?”
“Aku mendadak ingin menyantap soto banjar bikinanmu lah,” ujar Akhmad, “kurasa cuaca seperti ini memang lebih cocok menyantap makanan berkuah yang hangat.”
Ratih terperanjat lalu cepat-cepat melihat ke arah kantung di tangan suaminya. Segala bahan untuk memasak Soto Banjar ada di tentengan suaminya.
 “Tapi...,”
“Aku pernah bilangkah, Ratih,” ujar Akhmad setengah berbisik tepat di telinga istrinya, “soto banjar bikinanmu lebih enak dari yang dimasak uma?”
Begitulah Akhmad yang tak pernah gagal melengkungkan senyum di wajah bulat telur Ratih. Selepas itu, selama beberapa jam, sipu merah yang membulat di pipi wanita itu tak kunjung memudar.
***
Notes:
1 Haruan Baubar: ikan bakar, sejenis ikan gabus, khas Banjar yang dibakar (di-ubar) di atas bara api yang berasal dari tempurung kelapa.
2 uma : sebutan ibu untuk orang banjar hulu
3 iwak baubar : ikan bakar
4  ulun : aku, saya
5  Terong baparung: terong yang bakar di atas bara api dengan santan kelapa
6 Sambal Acan :  Sambal terasi
7 Cacapan asam : semacam side dish untuk menikmati iwak baubar

Rumah dari Masa Kecil ( cerpen majalah femina )

Jauh di dalam hatiku, bagiku rumah adalah rumah joglo simbahku, tempatku lahir dan dibesarkan. Di longkangan  Ibu dan Simbah  menjemur pakaian dan, jika musim panen tiba, berkarung-karung padi. Saat ada acara kumpul-kumpul di pendapa  malam-malam, aku ikut duduk dekat Bapak dan tidur di tepi pendapa dekat longkangan yang terbuka itu. Bayang-bayang pohon di luar rumah bergoyang-goyang, terlihat seram-seram menggoda.
Tapi, bagian yang paling seram adalah senthong . Ada dua gentong besar-besar di dalamnya. Kadang kudapati ada menyan yang mengepul beserta bunga-bungaan. Namun, bukan itu yang membuatku merasa seram sendiri, melainkan ... rambut palsu simbahku. Entah kenapa, Simbah menaruh cemara  itu di dekat pintu senthong. Cahaya rumah yang remang-remang memicu imajinasi tentang kepala atau bagian tubuh lain yang tak kelihatan. Jauh-jauh hari kemudian setelah aku dewasa, segala jenis rambut palsu selalu hadir dengan imajinasi dari kegelapan itu. Bahkan pun jika berupa wig-wig yang dijual di trotoar jalan pada siang hari terang-benderang.

Pada lingkungan yang seperti itu, pertanyaan-pertanyaan masa kanak-kanak yang belum terungkapkan secara verbal itu pun berkecambah. Apalagi, anak desa dekat dengan alam. Kami menelusuri kali bertelanjang kaki, memanjat pohon talok, mengumpulkan buah asam dan jambu monyet di bukit seberang sawah. Ketika berjalan-jalan pada hamparan pasir di tepi sungai, kami memunguti segala rupa benda yang menarik hati. Kulit kerang, bebatuan, keping-keping pecahan genteng yang terikut sungai, dan apa yang kusebut ‘sampah kota’. Bungkus keripik ber-MSG, plastik detergen, roda mobil-mobilan, tutup botol sirop, tutup kaleng soda. Sambil memunguti dan memasukkannya ke dalam kantong baju, diam-diam kubayangkan orang seperti apa yang makan keripik itu, apakah di pekarangan rumahnya ada pohon sawo seperti di rumah simbahku, apakah ia suka makan jambu monyet dengan garam, apakah ia pernah naik angsa-angsaan di kebun binatang. Dan,  tiap kali menemukan cup agar-agar yang agak besar, aku selalu teringat pada seorang sepupuku yang tinggal di kota. Suatu ketika ia datang berkunjung ke rumah Simbah. Sama sekali ia tidak menyapaku. Sambil berdiri memeluk tiang pendapa, ia menyendokkan agar-agar warna oranye sesuap-sesuap ke dalam mulutnya. Bahkan ketika ia membuka bungkus yang kedua, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku hanya menatap sambil menahan rasa penasaran.
Sepupu-sepupuku yang tinggal di kota tidak meninggalkan kesan yang terlalu baik bagi keluargaku. Kalau tidak bersikap dingin, maka mereka bercanda dengan cara yang dianggap kasar menurut ukuran orang desa di selatan Jawa yang terbiasa oleh watak yang menahan diri. Kata Bapak, ”Anak kota kalau di pinggiran, ya, seperti itu. Tak tahu tata krama.” Lebih seperti membela caranya sendiri dalam mengasuh anak, meskipun ia orang desa.

Sayangnya, ketika aku duduk di pertengahan sekolah dasar, keluarga kami harus pindah ke kota karena ayahku harus pindah kerja.
Semenjak itu hidupku tak lagi sama.
Kota membuatku gagap. Jalanan kota yang lalu-lalang, deretan pertokoan dengan jajaran etalase, gang-gang sempit, got-got bau, semuanya hadir memberi irama kehidupan yang terus berdenyut, bahkan hingga malam telah larut. Segala hal terasa baru, cepat, dan bising.

Yang jelas membuatku gagap adalah: bahasa. Aku yang berbahasa Jawa sedari kecil mengenal  bahasa Indonesia sebagai bahasa di buku pelajaran dan televisi. Menggunakannya secara aktif membuatku tak siap. Kata-kata seperti menempel malu-malu pada ujung lidah. Ada bahasa Jawa pun sering kali kurang karib di telingaku. Misalnya, kebiasaan Kak Sandra anak ketua RT yang mengucapkan d pada kata dimamah dengan d menurut pengucapan bahasa Indonesia . Lama-lama terbiasa tetapi pada awalnya terdengar ganjil, seperti ada sesuatu yang hilang. Fonem d-nya itu seperti dengan percaya diri migrasi ke kota, mengikuti lidah tuannya.
Namun, mau tak mau aku harus beradaptasi dan belajar memfasihkan bahasa Indonesia pada lidahku. Kuamati teman-teman sekolah yang mengucapkan kata-kata dengan pelafalan dan intonasi yang terdengar renyah. Seperti suara-suara pengisi acara di televisi.
Pada suatu hari di tengah proses adaptasi ini terjadilah sesuatu yang mengubah hidupku.


    “DITA, BURUAN KE LAPANGAN, YUK. Ntar habis olahraga kita jajan siomay bareng, ya,” kata Intan, temanku. Aku buru-buru melepas seragam sekolah yang melapisi pakaian olahraga di dalamnya. Hari itu aku datang agak terlambat.
    “Ya, aku mau,” kataku, yang tak punya stok kata-kata, ragu harus menambahi apa.
    Kami pun keluar menuju lapangan. Guru menyampaikan pagi itu kami harus berlari melewati jalanan kampung yang mengelilingi sekolah. Ia menerangkan rute yang harus dilalui dan memberikan peringatan agar berhati-hati. Tak lama anak-anak laki-laki segera berebutan ingin berada di paling depan. Anak-anak perempuan, terutama yang hanya ingin bisa berkumpul dan mengobrol dengan satu sama lain, berlari pelan-pelan di belakang.
    Dari belakang guru olahraga kami menegur dengan agak genit, “Eh, apa ini. Ibu-ibu malah pada arisan. Ayo, lari yang bener. Biar sehat. Lari, lari!”
    Kami pun mempercepat lari kami, menyusul guru yang sudah berada di depan mendahului. Jalan aspal yang mulus lama-lama beralih jalanan berlubang yang menyembulkan batu-batuan. Tiba-tiba….
    BRUK! Temanku Fani yang berada di depanku terjatuh. Ia menjerit dan meringis kesakitan. Lututnya berdarah dan ada sobekan luka yang cukup lebar. Teman-teman yang berada tak jauh dari situ segera mendekat.
    “Fani kamu kenapa? Kamu enggak papa?”
    Kata-kata yang kudengar dari mulutnya adalah jawaban yang tidak kusangka.
    “Sakit. Didorong Dita.”
    Segera saja wajahku pucat. Tanganku gemetar dan dingin. Pikiranku sibuk mempertanyakan ingatanku sendiri. Aku tadi ngapain? Posisiku di mana? Ya, aku di belakang Fani. Jadi, mungkin saja aku yang mendorongnya. Tapi, kenapa aku tidak yakin? Tapi, kalau memang aku mendorongnya, ceroboh sekali aku ini.
    Melihat kesakitannya itu, bukannya  membela diri, aku hanya diam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Mataku tak berani menatap siapa-siapa. Bahkan aku tak menyadari saat guru kami yang disusul seorang teman kami telah sampai di situ. Segera saja Fani dibopong oleh guru kembali ke sekolah.
    Dingin dan gemetar di tanganku tak juga menghilang. Komentar teman-temanku hanya membuatku kian cemas. Mulai dari yang netral: “Sakit banget pasti kayak gitu, ya,” hingga yang menjurus, “Makanya mau deket-deket siapa itu harus pilih-pilih.”
    Guru mengumpulkan kami di kelas. Ia bicara panjang lebar, mulai dari keadaan Fani yang sudah dibawa ke klinik terdekat, hingga nasihat agar kami lebih berhati-hati. Lalu pada bagian akhir ceramah ia menekankan hal ini: “Dan jangan berbuat jahat pada teman kalian, ya. Kalau lari tidak usah pakai dorong-dorongan.”

    Hingga sekolah hari itu berakhir, aku duduk dengan tegang. Perutku mulas, kepalaku pening. Pertama kalinya dalam hidupku aku merasa telah berbuat jahat.
    Ketika dua hari kemudian kami menengok Fani di rumahnya, rasa tegang itu tak juga sirna. Aku mengulurkan tangan sambil berucap maaf dan semoga ia lekas sembuh. Ada sedikit rasa takut pada wajah Fani ketika menatapku. Rasa takutnya itu membuat rasa bersalahku makin menjadi.
    Sejak peristiwa itu, hampir semua teman di kelas menjauhiku. Saat aku mendekati beberapa anak yang tengah mengobrol, tiba-tiba saja pembicaraan mereka berhenti. Ketika aku pergi, mereka melanjutkan pembicaraan mereka kembali.
    Aku merasa gagap, aku seperti kehilangan kata-kata. Sopan santun dari desa di Jawa itu tidak mengajariku untuk bersuara. Di sekolah aku menjadi penyendiri dan  makin banyak diam. Di rumah aku juga makin diam. Kadang-kadang kusampaikan pada Ibu, aku ingin pulang kembali ke desa. Bahkan segala rupa hantu dan makhluk halus dari kegelapan tidak membuatku setakut itu.

Di balik diamku itu, pikiranku berkecamuk. Ada berbagai ketakutan dan kecemasan yang tak kutemukan jalan keluarnya. Pada usia sebelia itu aku dipaksa untuk menyadari: di duniaku ini suara banyak orang selalu menang, meski suara itu tak selalu benar.
    Dunia yang mendadak menakutkan itu terus berlanjut hingga jauh-jauh hari. Kecemasan-kecemasan terekam kuat di otakku. Pada tahun-tahun kehidupanku selanjutnya depresi itu menjadi sering terpicu. Aku jatuh lagi dan lagi. Banyak hal dalam hidupku yang tak selesai. Kuliahku tidak kelar, membuatku jadi defensif pada semua orang dan terutama merasa bersalah pada Bapak dan Ibu.
    Ketika aku mencoba merunut kembali kekacauan hidupku ini, aku ingat: aku tidak mendorong anak itu. Pasti raut muka takut ketika aku berkunjung itu adalah bentuk rasa bersalahnya padaku. Pasti. Aku marah. Pada hari itu, sesungguhnya akulah yang menjadi korban. Luka tubuhnya terasa sakit sebentar, lalu tak lama segera sembuh. Luka di jiwaku masih terasa nyeri bahkan setelah bertahun-tahun. Aku marah. Aku marah akan sikapnya yang pengecut, bersembunyi sebagai korban. Aku marah pada guruku yang buru-buru menjatuhkan tuduhan. Dan terutama aku marah pada diriku sendiri yang tidak membela diri.
    Ketika kutelusuri, entah untuk apa, ternyata keluarga Fani sudah pindah entah ke mana bertahun-tahun lalu dari kontrakan itu. Mereka seperti jutaan manusia lain di kota ini, seperti selalu sementara, mengapung-apung, selalu asing.


    PADA AKHIRNYA, aku memutuskan untuk menata kembali hidupku. Bosan menganggur, aku melamar kerja sebagai operator taksi. Sebenarnya usiaku sudah melampaui batas usia yang disyaratkan. Tapi, sepertinya mereka cukup terkesan saat aku mengoreksi tata bahasa dalam soal tertulis bahasa Inggris. Aku tahu mungkin ini tidak sopan. Entah kenapa, dengan sedih aku menyadari ternyata perlahan-lahan kesungkanan desa itu  makin pudar dari diriku. Aku  makin larut dalam irama kota, kefasihan lidah kota, meski diam-diam hatiku menanggung rindu pada rumah masa kecil yang jauh.

    MULAI BANYAK JALANAN DESA yang beraspal. Rumah-rumah ditegel keramik, diisi berbagai perabot elektronik, dibangun dengan cita-rasa kota. Hamparan pasir di tepi sungai yang pada masa kecilku sangat lebar itu kini telah menghilang, bertahun-tahun dikeruk dan diangkut truk-truk entah menuju kota mana, entah untuk membangun gedung di mana. Tapi, bunga widuri di tepi sawah itu masih sama menggelembungnya seperti dulu, masih sama meletusnya saat kutekan di antara jariku.
Aku sudah dua hari berada di rumah Simbah. Sepanjang perjalanan hatiku gelisah tak sabar. Anehnya, begitu sampai, aku menyadari bahwa rumah masa kecil itu selamanya berada di tempat yang jauh. Meski secara jasmani aku berada di sana, ada rentang waktu yang telah memisahkan antara aku masa kini dan Amandita kecil bertahun-tahun lalu. Ada jarak kesadaran, luka, dan kesedihan. Aku menyadari rasa rindu terhadap rumah masa kecil itu tak akan pernah selesai dan harus selamanya kutanggung.
Aku masih menekan-nekan bunga widuri di tanganku ketika kudengar suara seorang anak menangis. Ia mengenakan seragam pramuka yang tampak kedodoran. Tas Barbie warna pink berguncang-guncang di punggungnya. Aku mendekat.
“Adik kenapa?”
“Aku salah seragam. Harusnya pakai seragam batik. Huuu... huuu... Tapi malah tadi pagi dicuci sama Eyang,” ia menjawab sambil tersedu-sedu.
“Enggak apa-apa, kok. Sementara pakai pramuka dulu. Kalo pake yang basah, kamu bisa sakit, lho.”
“Tapi takut dimarahi Bu Guru, soalnya seragamnya salah.”
“Tidak apa-apa. Ayo, saya antar ke sekolah. Nanti biar saya tulis surat buat bu gurumu.”
Aku menggandeng anak perempuan yang bernama Laras itu ke sekolah. Sepanjang jalan ia masih tersedu-sedu, membuat teman-teman menoleh padanya. Kelas masih sepi. Aku memutuskan untuk menulis surat kepada gurunya, menerangkan masalah yang terjadi. Baru saja kertas selesai kulipat ketika tiba-tiba laki-laki paruh baya yang kukenali sebagai Kadus di kampung itu, masuk dan marah-marah pada anak perempuan yang kutemani itu.

“Dasar anak nakal. Kerjaannya nangis saja. Sudah diam! Kamu bikin cucuku jadi ikut-ikutan nangis.”
“Menurut saya tidak nakal. Tadi cuma bingung karena salah seragam, Pak,” aku mencoba menjelaskan.
“Laras ini sudah pasti nakal. Nakal, ya, nakal. Sudah dikenal di kampung ini. Ibunya lari dengan laki-laki yang tak jelas.”
Aku hampir tak menyadari suaraku sendiri ketika berkata dengan suara lebih keras, “Tidak ada anak yang nakal. Semua anak itu baik. Orang tua yang kebanyakan gagal mengerti.”

Orang itu melengos, ”Nakal, ya, nakal. Sudah susah diperbaiki.” Lalu kepada anak itu, ia berkata, “Awas kalau besok nangis-nangis lagi.” Masih dengan bergumam sendiri, orang itu keluar ruangan.
Aku menarik napas panjang. Surat kutitipkan pada Laras yang sudah berhenti menangis beberapa saat yang lalu dan sudah bisa tersenyum. Kutepuk pelan punggungnya sambil berpamitan.

Sepanjang perjalanan pulang mataku berkaca-kaca. Pertama kalinya setelah sekian lama aku merasa lega. Sesungguhnya yang kulakukan tadi adalah membela diriku sendiri, Amandita kecil di dalam sana.


***
Desi Noviyanti

Pemenang II Sayembara Cerpen Femina 2015

Celana Kargo

Nayna jatuh cinta. Meski ia tak pernah tahu wajahnya, ia jatuh cinta pada celananya.


HARI ITU ADALAH awal April di Kota Dhaka.
Suhu paling tinggi mulai menyebar ke seantero kota. Apalagi di distrik Savra, tempat Nayna bekerja. Peluh membasahi keningnya, namun Nayna terus berjalan. Sebentar lagi shift ketiga akan berakhir pukul 7.55 di Rana Plaza, dan Nayna akan masuk shift pertama tepat jam 8 pagi.
Nayna merasa beruntung ia tak perlu kerja malam. Meskipun upahnya menjadi 3000 Taka, namun meninggalkan ayah dan adiknya pada malam hari di rumah, sungguh membuatnya cemas. Lebih cemas daripada menyusuri jalanan Dhaka yang tidak aman.
Nayna bergegas melintasi jalan Imandipur, melewati bangunan pabrik yang berjajar tak beraturan. Banyak gadis seperti dirinya yang juga melintas di jalan tersebut, beberapa di antaranya Nayna kenali sebagai pekerja di Rana Plaza.
Rana Plaza memang maju pesat. Pemiliknya, Tuan Rana berhasil menjual produk garmen yang Nayna dan ribuan lainnya buat ke banyak toko di luar negeri. Nayna tak pernah tahu tokonya seperti apa, ia hanya mengetahuinya dari label yang harus ia jahit di setiap baju di hadapannya.
Nayna tahu, ia hanyalah satu dari tiga ribu pekerja yang dipekerjakan Tuan Rana. Hampir semuanya wanita. Hampir semuanya muda. Anak-anak muda yang harus bekerja keras dan mengorbankan sekolahnya, karena kesulitan hidup yang melanda.
Nayna membetulkan selendangnya. Selendang satu-satunya yang ditinggalkan Ibu, sebelum TBC merenggut nyawa Ibu. Kulitnya hitam, tatapannya tajam. Sepasang alis yang tebal menghiasi matanya. Tapi Nayna tahu, ia tidak istimewa, terutama dibanding ribuan lainnya.
Nayna menuruni tangga ke lantai bawah tanah. Pekerja shift tiga melewati pintu lainnya, itu aturan Pak Mandor. Saat shift satu datang, mereka tak perlu bersua di pintu yang sama dan memacetkan jalan. Bagaimanapun produksi harus terhenti hanya sebentar.
Nayna menempati tempat yang sama, seperti tiga tahun lalu saat ia mulai bekerja di ruangan itu. Nayna merasa beruntung, karena tempat itu memiliki satu dari enam kotak lubang angin yang menghadap jalan. Posisinya tepat di telinga. Nayna tak suka berada di tengah ruangan, karena cahaya lampunya kurang, sulit untuk melihat jahitan. Sedangkan di sini, di tepi tembok ini, ia bisa mendapatkan cahaya matahari (ya kini kau tahu kenapa ia tak suka shift ketiga), sekaligus mengintip siapa yang melewati jalan masuk pabrik, meski yang ia lihat hanya bagian bawah kain sari, sandal yang mereka pakai, atau...celana.
Nayna mengerjapkan matanya. Benarkah yang ia lihat? Celana? Berarti sekarang yang ada di samping lubangnya adalah seorang pria. Dalam waktu tiga tahun, mungkin penampakan celana di lubang ini bisa dihitung dengan sebelah tangan. Jumlah pria di Rana Plaza memang hanya sedikit. Dan lebih sedikit pula yang meluangkan waktunya untuk bersantai seperti ini. Syukurlah, kali ini Nayna bisa menggunakan tangan lainnya.
Sambil tersenyum Nayna melanjutkan jahitannya, agar merek toko itu dapat melekat rapi. Nayna sekali-kali melirik, si pemilik celana yang hanya dapat ia lihat sebagian. Celananya warna krem, dengan kantung di lutut dan paha (Nayna berhasil melihatnya saat ia memiringkan kepalanya dan menengadahkan wajahnya ke tepi lubang). Tampaknya kepanjangan, karena ada sisa yang tertekuk di ujungnya. Sepatunya dari kulit, warna cokelat tua, dengan tali yang terikat rapi dan sol tiga senti.
Nayna membayangkan postur tubuh si pemilik celana pastilah tegap. Tidak gemuk (terlihat dari kakinya), tidak terlalu rapi (celananya kusut), dan penyendiri. Selama Nayna memperhatikannya, tak sekali pun terlihat ada orang lain yang menemani. Apakah ia hanya bersandar di dinding saja, berusaha menghilangkan lelah yang ada? Atau ia sedang merokok, meski tak tampak abu yang jatuh karena lubang ini membatasi pandangan Nayna. Sampai akhirnya pria itu melangkah pergi. Namun Nayna senang, ia punya harapan, untuk melihat pemiliknya pada hari-hari mendatang.


KINI TANGGAL 20 APRIL.
Sejak melihatnya setiap hari, Nayna hapal warna celana-celana kargo yang dipakai si pria, hapal bagian mana yang kusut, dan ia hapal pula posisi berdiri sang pria. Kalau posisi begini, ia sedang bersandar. Kalau kakinya menghadap samping, artinya ia sedang bertumpu pada dinding, dengan satu tangan lain memegang sesuatu, rokok mungkin. Kalau hanya kelihatan satu kakinya di tanah, artinya ia sedang santai.
Akhirnya memang Nayna tak bisa melepas pandangannya dari celana itu, meski mungkin hanya sekejap saja di pagi hari, karena si celana kargo rupanya hanya beristirahat sementara di sana. Saat pekerjaan menumpuk dari shift tiga, ia akan mengalihkan pandangannya pada si celana, dan bahagia merasa ada yang menemani.
Saat ia sedih karena lagi-lagi ayahnya batuk darah, ia tahu, kalau ia mau, ia bisa menggapai kaki itu dengan satu tangannya, dan merasakan kekuatan mengalirinya. Namun tidak, itu tindakan yang terlalu berani, selain itu hanya dengan membayangkan ia melakukan itu, sudah cukup baginya.
Saat sedang senang, ia sengaja menghilangkan sisa-sisa benangnya, ia bentuk gumpalan kecil, dan mengembuskannya lewat lubang saat si celana kargo itu muncul. Iseng saja, dan itu adalah cara yang percuma. Karena jangankan melihat, merasakan pun pasti tak bisa. Maka bulatan-bulatan itu hilang tertiup angin, saat Nayna datang keesokan paginya.
Namun Tuhan memang baik. Hari itu, saat gumpalan ketiga menggelinding keluar, Nayna dikagetkan dengan mata yang mengintip dari lubang. Wuah, si celana kargo!
“Apakah kamu,” katanya dengan terbata, karena wajahnya menempel di pasir, “yang menggelindingkan benang-benang ini? Tiap hari?” Nayna menjauhi lubang itu. Ia tak punya nyali saat si celana kargo memergoki.
“Apa maksudmu?” si celana kargo bertanya lagi. Sepertinya ia berusaha mengintip apa yang Nayna lakukan. Nayna selintas melihat matanya yang besar, hidungnya yang mancung dan rambutnya yang pendek dan acak-acakan.
Nayna melanjutkan kembali pekerjaannya, namun ia tak bisa konsentrasi. Terutama ketika penyesalan melandanya, karena si celana kargo kemudian pergi.


Tanggal 21 April.
Si celana kargo tidak datang. Atau, ia memilih lubang lain untuk bersandar?

Tanggal 22 April.
Si celana kargo tetap tidak datang. Namun saat ia menoleh untuk kesekian kali, berharap celana warna krem itu muncul, Nayna mendapatkan banyak gumpalan benang kecil di lubang bagian luar. Dengan bingung ia menghampiri lubang itu, diambilnya benang-benang tersebut, ternyata sama dengan yang dimilikinya. Lalu saat ia menjulurkan tangan hendak mengambil yang paling jauh, sebuah sapaan lembut ia dengar.
“Halo,” kata suara itu. Si celana kargo! “Aku kembalikan benang-benangmu,” katanya. Nayna tercekat. “Dari mana...k au dapatkan ini?” Karena Nayna tahu pasti, angin telah menerbangkan benang-benangnya.
“Dari tempat kerjaku,” kata si celana kargo ramah. Orang yang melihatnya di luar pabrik, mungkin akan heran melihat ia menungging di tanah seperti itu. “Aku Salim,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke dalam lubang, “lantai tiga.”
Barulah Nayna mengerti. Salim, pekerja lantai tiga, yang masuk di shift tiga. Sejak tujuh tahun yang lalu, Rana Plaza memang menjadi bangunan empat lantai. Bisa menampung ribuan pekerja dalam satu waktu, memenuhi pesanan yang makin laku.
“Nayna,” balasnya, sambil menyambut uluran tangan Salim. “Salam kenal, Nayna,” sahut Salim. Ia tersenyum lebar, meski hanya nampak sebagian. Saat itu juga Nayna ingin keluar, memandang Salim dari bawah hingga atas, dari ujung celana kargo ke pemilik senyumnya, berusaha menata penampilan Salim dalam ingatannya.
Namun, hardikan keras dari pak mandor menghentikan mimpinya. Nayna kembali sibuk bekerja.

Tanggal 23 April.
Mungkin Salim sengaja, berlama-lama berada di dekat lubang. Berbagai posisi kaki Nayna lihat, dari balik lubang, menandakan pemiliknya sedang gelisah. Gerakannya kadang mengundang debu masuk, dan Nayna terbatuk. Lalu seolah sadar Nayna kemasukan debu, kaki itu diam mematung. Nayna tertawa dalam hati melihat tingkah Salim. Lalu kaki itu menghilang. Nayna merasa kehilangan.
Tidak lama, Salim menyodorkan setangkai bunga lewat lubang. Hanya tangannya yang mengangsurkan ke dekat kepala Nayna. Untung tidak kena mata. Bunga yang biasa. Namun sungguh membuat Nayna terharu karenanya. Salim, bahkan wajah Naynapun ia tak jelas melihat. Hanya sepasang mata yang saling bertatapan, separuh senyum, dan tentu... celana kargo yang membuat Nayna jatuh cinta.
“Besok, jangan masuk duIu,” bisik Salim. “Temui aku di sini. Lebih mudah menunda masuk daripada mempercepat keluar,” bisiknya lagi. Jantung Nayna berdebar keras. Bagaimana kalau pak mandor marah. Bagaimana kalau ia dipecat? Siapa yang membiayai pengobatan ayahnya, sekolah adiknya... Maka Nayna menggeleng, meski sadar Salim tak akan melihatnya.
“Salim, di sini saja,” balasnya. “Aku takut,” bisiknya. Hening sejenak. Mungkin Salim kecewa.
“Kamu... tak mau melihat aku?” tanya Salim tertahan. Nayna ingin menangis. Tentu Salim, tentu, aku ingin melihatmu. Tapi lubang ini terlalu kecil untuk memandangmu utuh.
Nayna terdiam. Ia tak mau menjawab tanya Salim. Terdengar suara desahan Salim. Mungkin ia juga sedang berpikir.
“Nayna, besok seusai kerja, aku akan menjemputmu di sini. Tentu, aku akan berpura-pura masuk shift kedua. Tunggu aku ya,” kata Salim, terdengar ceria.
Nayna tersenyum. Salim sungguh bisa diandalkan, ia berani memutuskan.


Tanggal 24 April, pukul 8.05.
Lagi- lagi Salim menemuinya di lubang. Menemui mungkin bukan kata yang terlalu tepat, toh yang terlihat hanya celananya. Celana yang berkantung banyak. Salim berkata, ia akan menunggu di sana sepulang Nayna bekerja. Nayna tak menjawabnya. Sebagai gantinya, ia hanya mengembuskan gumpalan-gumpalan benangnya ke lubang. Salim mengumpulkan, mengambilnya satu-satu, dan memasukkan ke kantung celananya. Saat Nayna melihat Salim pergi dengan membawa gumpalan benangnya, ia merasa separuh hatinya juga terbawa.

Pukul 8.45.
Suara guruh terdengar dari kejauhan. Salim menengadahkan wajahnya ke langit. Hari cerah, tak akan hujan. Lalu dari mana suara guruh terdengar? Ia kembali melanjutkan menjemur pakaiannya, di rumah kontrakan yang ia tempati bersama teman-teman.
Tak lama keributan datang. Orang berteriak-teriak, klakson sepeda motor terdengar bersahutan. Salim bergegas keluar, ingin tahu ada apa gerangan. Ia bertelanjang dada, hanya celana kargo yang dipakainya.
“Rana Plaza runtuh!”
Salim tercekat. Nayna!
Ia segera berlari menyusuri Jalan Imandipur. Tak dipedulikannya kakinya yang telanjang menginjak batu trotoar yang tajam. Mungkin kini telapak kakinya berdarah. Namun hatinya yang lebih terluka.
Ia menyibak kerumunan. Terseret bersama puluhan orang lainnya yang menghambur ke area Rana Plaza. Mereka yang mencemaskan orang-orang tersayang yang bekerja di sana.
Salim lemas menatap bangunan yang ambruk separuh itu. Jerit tangis terdengar di mana-mana, rasa takut dan bingung menerpa. Salim berlari ke tempat pertemuan mereka. Lubangnya sudah tidak ada. Lebih tepatnya, dinding itu sudah hilang tertimpa dinding-dinding yang ada di atasnya. Mungkin Tuan Rana terlalu tamak, ia membangun tinggi-tinggi tanpa memperhatikan keselamatan pegawainya.
“Nayna! NAYNA!” Salim panik memanggil kekasihnya, namun tak ada suara. Ia masih saja berteriak, berharap Nayna sempat lari menyelamatkan diri, lalu ia hanya akan terlambat muncul saja.
Namun Nayna tak pernah kelihatan. Salim menunggui proses evakuasi yang berlangsung lambat. Selain banyaknya korban, kondisi reruntuhan juga menyulitkan proses evakuasi.
Akhirnya tibalah gilirah lantai bawah. Salim ikut membantu menyingkirkan bebatuan. Ia menahan rasa kaget atas bentuk tubuh yang tertimpa reruntuhan. Mereka yang berada di tengah ruangan langsung tertimpa lantai atasnya. Lalu tibalah mereka ke tangga yang menghubungkan lantai bawah tanah dengan lantai satu. Dengan bantuan beberapa orang Salim menyingkirkan tangga itu. Tampak lebih banyak korban, mungkin mereka mengira kalau sembunyi di bawah tangga akan lebih aman.
Nayna yang mana?
Salim hanya selintas mengenali selendang Nayna. Ia tak tahu benar wajah Nayna seperti apa. Ia tak tahu bagaimana caranya menemukan Nayna. Lalu tak sengaja ia menyentuh kantong celana kargonya. Gumpalan benang itu masih di sana. Apakah mungkin… Nayna juga memilikinya? Mengenggamnya sampai ajal menjemputnya?
Dengan ragu Salim membuka satu persatu tangan para korban. Di satu sisi ia ingin mengetahui yang mana Nayna, namun di sisi lain ia berharap tak pernah menemukannya, yang berarti Nayna mungkin selamat.
Dan ia lemas mengetahui gumpalan benang itu ada di korban yang ketigabelas. Nayna… Nayna… akhirnya kau bertemu dengan sang pemilik celana kargo tanpa sempat bisa memandang wajah sedihnya.


Tentang Penulis:
    Dewan juri sepakat memilih cerpen ini sebagai pemenang pertama karena mampu menceritakan secara detail perasaan para tokoh yang merupakan penduduk urban dan menunjukkan sisi-sisi emosi seorang pekerja pabrik. “Ada sisi charming dan intim di dunia buruh yang digambarkan secara detail dan menyeluruh di cerpen ini dan ‘dijahit’ dengan latar belakang peristiwa besar,” ujar Leila S. Chudlori, Ketua Dewan Juri Sayembara Cerpen femina 2015.

Menurut Indri Hapsari (38), ide awal komunikasi Nayna dan Salim muncul saat menonton berita tentang tragedi Rana Plaza di Dhaka (2014) di televisi. “Saya sempat lihat di pabrik itu ada basement. Para pekerjanya hanya bisa melihat secercah cahaya dari sana,” kisah Indri yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Industri, Universitas Surabaya.

Tragedi Rana Plaza sempat ia jadikan studi kasus di mata kuliah Tata Letak Pabrik yang diasuhnya. Diperkuat dengan riset tentang kehidupan wanita di Bangladesh yang masih dianggap sebagai warga kelas dua, Indri mengemas permainan emosi antara dua penduduk urban menjadi cerita memikat.

Selain mengajar, ia rajin menulis cerpen dan novel, salah satunya, Deep Web yang mengangkat soal narkotika. Kini ia tinggal di Surabaya bersama suami dan dua anaknya. (f)

***
Indri Hapsari
Pemenang I Sayembara Cerpen Femina 2015

Nyanyian Hujan ( cerpen majalah femina )

Aku terpana pada sesosok lelaki jangkung bermata teduh, Keansantang. Usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Pak Tama, kolega Mama, mengenalkannya padaku. Beliau sepertinya sedang berusaha menjodohkanku. Yang terbersit di hatiku saat berjabat tangan tangan dengan Kean hanyalah, “Sepertinya laki-laki ini orang baik.” Raut Kean seolah memancarkan sesuatu yang aku rindukan.
***
Udara siang yang menyengat di dusun Kreyo, Palimanan, seakan tersamarkan oleh sambutan hangat, mbok Siti, ibunda Kean. Ia terlihat bersahaja dengan balutan kebaya cokelat dan kain batik bermotif bunga. Sebuah aliran air sungai yang jernih terpancar dari matanya seolah berkata, “selamat datang di keluarga kami”. Itu membuat hatiku sejuk. Ditambah lagi deretan pohon mangga cengkir yang lebat, pisang dan kelapa di sekitar halaman membuat suasana asri. Tak seperti suasana rumahku yang selalu panas oleh pertengkaran Mama dan ayah tiriku serta polah adik tiriku, Beni, yang semakin lama semakin menjadi.
Priye mbok?” bisik Kean pada ibunya sambil melirik padaku.
“Ibu setuju saja siapapun wanita pilihanmu, Kean.” Jawab mbok Siti dalam bahasa Cirebon. Tak pernah sekalipun orangtua Kean turut campur dalam kehidupan ketujuh anaknya. Hal itu yang membuat mereka menjadi pribadi yang percaya diri menjalani hidup.
Cara Kean bertutur dan tawanya yang lepas berhasil menyejukkan jiwaku. Aku hampir lupa dengan tawa. Entah kapan terakhir kali tertawa.
“Kamu tahu rumba?” Kean mulai mempromosikan menu spesial di rumahnya.
Rumba?” Keningku berkerut. Bagiku, kata itu terdengar seperti nama alat musik tradisional.
“Masakan mbok yang enak banget.”
“Kok namanya lucu.”
“Kadang masakan mbok tuh, nggak ada namanya tapi rasanya luar biasa. Rumba tuh terbuat dari daun singkong, kangkung, atau pisang klutuk muda. Semuanya pakai kelapa parut. Meski pakai kelapa, kalau mbok yang masak, nggak akan basi.” Jelas Kean.
“Kok bisa?” Aku tersenyum kagum, betapa mbok pintar memasak. Tiba-tiba, nasihat Mama mengiang di telingaku, “anak perempuan tuh, harus bisa memasak. Apalagi gadis Minang, bisa memasak rendang, itu satu prestasi membanggakan.” Mama dibesarkan oleh orangtua yang juga pintar memasak. Rendang buatannya paling empuk sedunia.
Selama ini, aku hanya seorang penikmat masakan Mama. Aku malu pada Mama yang tetap sempat memasak walau aktivitas di kantor eight to five. Saat hari libur tiba, aku lebih memilih bermalas-malasan atau hanya berbenah kamar tidur.
Kean meneguk segelas air di hadapannya hingga tandas lalu ia pergi ke dapur dan bertanya, “Masak rumba ta, mbok?”
 “Iya, nanti bikin. Masak telur pindang dulu,” jawab mbok. Sesekali ia diganggu cucunya, Fajri, meminta ini dan itu.
            Menurutku selalu ada semacam magic spell di setiap masakan seorang ibu. Selain bumbu rahasia, cinta dan ketulusan adalah dua hal utama yang mampu menghipnotis lidah.
            Aroma masakan memenuhi semua sudut rumah dan menggoda hidungku. Terbit keinginan untuk bertanya tentang resep rahasia masakan mbok, namun urung. Aku bukan tipe orang yang mudah mendekati orang baru kecuali pada Kean.
***
Mentari senja beranjak pulang. Aku dan Kean pergi ke tajug selepas azan ashar. Salat berjamaah sudah menjadi kebiasaan keluarga ini dan Kean menjadi imam. Mbok telah lebih dulu berada di sana, Fajri turut bersamanya.
Hatiku menciut dan kaku. Betapa aku merasa iri pada Kean. Mama tak pernah mengajarkanku bagaimana memperoleh ketentraman hati seperti yang Kean dan ibunya lakukan di tajug ini. Yang aku mengerti hanya bagaimana senyum Mama tetap mengembang di balik wajah lelahnya sepulang bekerja. Mungkin setiap ibu di dunia memberikan makna ketenteraman yang berbeda pada anak-anaknya.
Seusai salat, aku meraih tangan kanan mbok dan mengecupnya, setelah Kean melakukannya lebih dulu. Mbok mengangguk diiringi senyuman teduhnya padaku. Seketika itu, aku merasa diriku akan menjadi bagian dari keluarga Kean. Walau aku masih belum yakin apakah aku bisa menempatkan Kean di ruang hatiku setelah Teguh.
Untuk pertama kalinya, aku mencium punggung tangan kanan Kean. Entah untuk apa aku melakukannya. Desiran di dada ini begitu menghebat hingga menggerakkan syaraf tanganku.
“Dita, aku membangun tajug ini bersama bapak saat aku masih kelas satu SMA.” Ujar Kean sembari kedua matanya menerawang jauh ke depan. Seolah sedang mengingat peristiwa yang membuatnya merasa sebagai laki-laki dewasa. Kami duduk bersisian di teras tajug sambil menikmati desiran angin senja yang membuatku semakin betah. Sementara Mbok kembali ke rumah bersama Fajri.
“Oh…” Aku mengangguk. Sesekali semilir angin memainkan helaian rambutku.
“Setelah tajug ini jadi, aku membuat sebuah madrasah supaya anak-anak di sekitar sini kalau mengaji tidak harus pergi jauh ke mesjid desa sebelah.”
Sebongkah rasa kagum hadir lagi di salah satu sudut hatiku. Seusia itu, aku hanya sibuk dengan perasaanku yang tak menentu. Sikap Teguh yang sesekali acuh padaku ditambah dengan perlakuan ayah tiriku pada Mama yang menjelma menjadi mimpi buruk.
Kang Kean berarti mengajar anak-anak mengaji setiap hari?”
“Ya, setelah ashar dan magrib.”
“Murid akang sudah banyak?”
“Awalnya hanya sepuluh orang. Sekarang, sudah puluhan generasi. Aku dibantu beberapa alumni yang sudah mahir membaca Al Quran.”
“Wah, pasti lulusan madrasah di sini sudah jadi perantau seperti kang Kean.”
“Teman-teman pengurus madrasah sudah jadi dosen di perguruan tinggi di Bandung. Alumni juga banyak yang merantau ke Jakarta dan Bandung menjadi pedangang yang sukses.”
Kang Kean tinggal di Bandung sejak kapan?”
“Sejak memutuskan untuk ikut tes masuk perguruan tinggi negeri. Waktu itu, almarhum bapak hanya membekali uang dua ratus ribu untuk pendaftaran. Sisanya, aku cari sendiri dengan bertualang dari satu pesantren ke pesantren lain, berdagang kecil-kecilan, bekerja di pabrik, sampai akhirnya kuliah bisa selesai.”
Alasan untuk mulai jatuh cinta pada Kean semakin jelas di benakku. Ia mirip Teguh yang gigih dengan tujuannya. Namun Kean begitu matang dan relijius. Teguh
memang tak pantas untuk dipertahankan jika dibandingkan dengan Kean. Ia telah dirasuki setan hingga menghamili perempuan yang baru saja dikenalnya.
“Dita, kamu sudah lama bekerja kantoran?”
“Belum lama, baru dua tahun. Awalnya sih, aku cuti kuliah dan ingin bekerja supaya bisa bayar kuliah sendiri. Melamar ke restoran fast food, tapi nggak beruntung. Tiba-tiba datang kesempatan dari sebuah perusahaan tempat pamanku bekerja. Aku coba ikuti ujian masuk dan lulus.” Aku merasa sesuatu akan tumpah dari kelopak mataku. Namun, berhasil kutahan.
“Mama sudah pensiun?”
“Mama memilih pensiun dini. Mama nggak mampu membiayai kuliahku karena uang pensiun Mama habis begitu saja.” Memoriku berputar ke saat ayah tiriku menguras semua pesangon pensiun Mama demi kesenangannya sendiri. Sejak itu, aku benar-benar membencinya. Aku merasa lega setelah Mama bercerai dengannya.
Tanpa sengaja, kami beradu pandangan. Kean menatapku dalam. Beberapa jenak aku kikuk, tak kuasa menerima tatapan itu. Aku membuang pandangan ke halaman rumah dan berusaha keras mengatur debaran hebat di hati.
“Besok pagi, setelah sarapan, kita pulang ke Bandung. Tapi kalau kamu masih betah, lusa saja.” Perkataan Kean menghentikan kegugupanku sejenak.
“Wah, aku bisa kena teguran bos-ku di kantor karena bolos kerja. Karyawan kontrak harus rajin, kang.”
Kean tertawa renyah. “Nggak enak juga ya, kerja kantoran. Nggak bisa seenaknya libur.”
Kang, kapan kita jalan-jalan ke keraton Kasepuhan? Aku pengin tahu mesjid merah.”
“Mungkin nanti. Banyak hal menarik di sana.” Kean menyungging senyum seolah menanam satu harapan untuk pergi bersamaku lagi.
Langit mulai berubah pekat dan rinai hujan mulai membasahi pekarangan dan pohon-pohon. Mbok terlihat menggiring ayam-ayam peliharaannya ke kandang di samping dapur. Aku memutuskan untuk menyegarkan diri sebelum magrib menjemput. Sementara Kean mencandai Fajri sambil menyimak tayangan televisi.
***
Usai makan malam dengan rumba daun singkong dan telur pindang yang lezat, Kean mengajakku berbincang tentang segala hal. Masa kecilnya hingga para pelaku politik yang aku tak terlalu paham dunianya. Kean berhasil membuatku betah berlama-lama menikmati tawa di antara cerita dan kelakar. Jarum jam dinding telah menunjuk ke angka sepuluh. Aku mulai menguap.
“Dita, kamu tidur di kamar mbok di depan. Mbok jarang tidur di situ, lebih sering sama Fajri di depan teve.”
Aku mengiyakan. Sementara Kean memilih tidur di kursi tamu. Ranjang besi yang ada di kamar ini mengingatkanku pada nenek. Namun si kelambu tak lagi terpasang, hanya besi-besi penyangga saja yang terlihat. Pintu kamar yang tak bisa dikunci, kututup rapat. Kasur kapuk berbalut seprai batik yang bersih, bantal kapuk yang empuk, tak kunjung membuatku mengantuk. Pandanganku mengitari bilik langit-langit kamar. Aku nggak percaya, mengapa aku berada di sini? Nyanyian hujan mengalun merdu diringi suara katak blentung yang hanya hadir di musim penghujan. Nyanyian penyejuk jiwa dari Yang Kuasa. Aku berusaha memejamkan kedua mataku, dan hujan semakin deras diiringi petir.
***
Entah pukul berapa aku terlelap. Malam berganti subuh. Suara azan membangunkanku. Segera aku mengambil peralatan mandiku, lalu keluar dari kamar. Kean tengah duduk di ruang depan.
“Mau langsung mandi?” tanyanya sambil merapikan sarung kotak-kotak hijau.
“Iya, Kang. Gerah.”
“Aku salat subuh duluan, ya? Kamu salat di kamar saja nanti.”
Aku mengangguk.
Sesaat setelah Kean pergi ke tajug, seorang wanita paruh baya berbalut daster batik memberiku alat salat sambil tersenyum ramah. Menurut perkiraanku, ia kakak Kean. Entah kapan ia datang. Mungkin tadi malam saat aku terlelap.
***
Sejujurnya aku tak ingin meninggalkan tempat ini. Perasaanku mengatakan, aku akan kembali lagi ke sini. Kean pun sepertinya berat meninggalkan ibunya. Rutinitas kepulangannya hanya satu atau dua bulan sekali.
Nok Dita, ini bawa untuk ibu di rumah, ya?” kata Mbok dalam bahasa Cirebon. Ia membekaliku beberapa bungkus krupuk beraroma bawang, buah mangga cengkir, krupuk melinjo, dan gula batu.
“Terimakasih, bu.” Aku menerimanya dengan senang walaupun sebenarnya khawatir Kean kerepotan. Tas ranselku pun sudah sesak.
Wis mbok, ora cukup tempate ning motore.” Kean terlihat resah.
Lebetaken nang bagasi atau tas, Kean.” Mbok memaksa Kean membawa seluruh bekalku.
Kean mengalah, dan melaksanakan perintah ibunya.
Kami pamit lalu menaiki motor Kean. Sisi kiri jalan pintas perkampungan yang kami lewati menyajikan siluet gunung Ciremai. Begitu jelas terbingkai langit pagi yang berseri-seri. Area persawahan terbentang luas dan padi-padi di sana telah dipanen. Sungguh anugerah pagi yang tak bisa kusangkal.
Kang, bagus ya, pemandangan di sini.”
“Kamu baru lihat, ya, gunung Ciremai?”
“Iya. Cuma pernah dengar dari kakakku.”
“Oooh…” Kean mengangguk dan kembali fokus ke depan. Sesekali ia merespon pertanyaan-pertanyaanku.
Tiba-tiba aku teringat perempuan yang memberiku alat salat, subuh tadi.
Kang, tadi subuh itu siapa? Ada perempuan di rumah, selain mbok.”
“Oh, itu kang Kesturi. Anak pertama mbok.”
“Kok kang Kean manggil ‘kang’ juga sama kakak perempuan?”
“Di sini, sebutan ‘kang’ itu berlaku untuk kakak perempuan juga laki-laki.”
“Oh, gitu.”
Gapura ‘Selamat datang di kabupaten Cirebon’ telah terlewati. Kami singgah di sebuah warung di perbatasan Tomo-Sumedang. Dahaga sirna oleh aliran air kelapa muda. Pemandangan sungai Cimanuk yang bantarannya dihiasi ilalang tak luput dari penglihatan kami.
Kean menyesap air kelapa mudanya perlahan lalu menoleh ke arahku. “Dita, gimana kalau awal bulan depan aku melamar kamu?”
Dadaku terhenyak mendengar itu. Aku mengaduk air kelapa di hadapanku sambil mencari jawabannya.
“Mmm… melamar?” Aku masih ragu, terlebih ketika Kean mengajakku ke kampungnya dan berkata “aku ingin mengenalkanmu pada ibu sebagai calon istri.”
Kean mengangguk dan menatapku cukup lama, menunggu jawaban.
Aku menyesap air kelapa untuk melegakan dadaku lalu berkata, “Terserah kang Kean.” Bayangan Teguh belum benar-benar hilang di ruang hati ini. Sangat sulit menghapus kenangan-kenangan yang telah terukir selama enam tahun. Ya, Tuhan, apakah Kean adalah pengganti Teguh?
***
Setelah otot-otot kaki cukup nyaman, kami melanjutkan perjalanan. Aku melihat-lihat pemandangan di sepanjang jalan sebagai pengusir kantuk.
“Dita, kok, kamu nggak ada suaranya? Ngantuk?” Kean menepuk lututku tanpa menoleh ke belakang.
“Hehe, iya, kang.” Aku merasakan perih di kedua mataku.
Kean tertawa ringan. Hening menguasai kami. Hanya suara deru mesin motor dan kendaraan lalu lalang mendominasi. Sampailah kami di kawasan Nyalindung.
Aku menepuk pundak Kean dan memintanya untuk berhenti di depan kios penjual peuyeum gantung. “Kang, aku mau beli peuyeum buat Mama.”
Kean menepikan sepeda motornya.
Selesai memilih dan membayar, kami melanjutkan perjalanan. “Kang, maaf, ya, jadi menambah beban penumpang motor, nih.”
“Nggak apa-apa. Mumpung kita lewat sini.” Kean menggantungkan keranjang peuyeum di motornya.
Di sisa perjalanan, Kean setia mendengarkan ceritaku tentang Mama, juga tentang Teguh. Entah untuk apa aku jujur soal Teguh. Namun rasa sakit yang masih bercokol di dada perlahan menguap karenanya.
***
“Mamaaa! Aku pulang!” Aku mengecup pipi Mama, kiri dan kanan.
Mama sedang menikmati ubi ungu kukus dan segelas teh pahit di ruang depan. Aku membawa masuk buah tangan dari mbok dan peuyeum tadi. Kean mengekori setelah memarkirkan motor.
Assalammu’alaikum.” Kean meraih tangan kanan Mama dan mengecupnya.
Alhamdulillah, sampai rumah dengan selamat,” ujar Mama sambil mengulas senyum.
“Sebentar ya, kang. Aku ambil minum dulu.”
Kean terlibat obrolan ringan dengan Mama.
“Gimana ibu, sehat?”tanya Mama pada Kean.
“Alhamdulillah, bu. Mbok selalu sehat.”
“Terakhir Mama ke Cirebon waktu Papa Dita masih ada. Ada paman Dita di Majalengka.”
“Oh, Majalengka agak jauh dari Palimanan.”
“Wah, Mama nggak bakal kuat naik motor ke sana.”
“Bisa tiga jam non stop sampai di Palimanan. Kami tadi sempat istirahat di Sumedang. Jadi kurang lebih empat jam.” Jelas Kean. “Bu, nanti kalau saya ajak Dita lagi ke sana, boleh, ya, bu?”
“Kalau Dita mau, ya silakan. Hati-hati di jalan. Perjalanan jauh naik motor itu bahaya.”
Aku menyajikan secangkir kopi di meja untuk Kean lalu pamit sejenak untuk mengganti baju.
***
Sabtu pagi, Mama mengijinkanku pergi bersama Kean ke kawasan wisata gunung Tangkuban Perahu. Aku yang mengajak Kean ke sana. Kupikir kejenuhan pekerjaan sebagai staf administrasi yang monoton selama lima hari di kantor akan sirna.
Laju motor Kean tak terlalu terburu-buru hingga perjalanan sangat kami nikmati. Pintu masuk menuju kawasan gunung Tangkuban Perahu telah di depan mata.
Aku membayar tiket masuk. Kami melewati jalanan yang tertutup kabut. Samar-samar terlihat beberapa pengunjung sedang berjalan kaki, dan lainnya menaiki sepeda motor. Setelah sampai di tempat parkir, kami berjalan ke tepian kawah yang berpagar kayu. Beberapa pengunjung yang mengabadikan momen. Kami memerhatikan kepulan asap kawah Tangkuban Perahu dan terdiam. Hanya aroma bau belerang yang tak mau diam menusuk ke hidung.
Kean membelah kebisuan, “Dita, kira-kira kapan, ya, tanggal yang tepat?”
Kami saling berpandangan lalu aku tertunduk. Tetesan hujan mulai ribut bersama kabut. Beberapa orang terlihat berlari menuju warung tenda penjaja makanan. Aku dan Kean masih berdiri di sana.
“Tanggal sembilan?” tanya Kean lagi dengan senyuman lucu.
Aku menangkap sorot bola matanya yang jujur, lalu berkata, “Terserah kang Kean.”
Tetesan air dari langit semakin merdu seolah membelai luka hatiku. Kean meraih tanganku dan mengajakku ke warung penjual bandrek. Hatiku melagu seiring sesapan minuman hangat itu.
 *****

DINDING KESETIAAN ( cerpen majalah anita cemerlang )

Kesetiaan?

Lina Mengekeh. Anisa mencibir.

“Aku gak percaya!” pekik Anisa.

“Palsu! Nggak ada itu!”sambung Lina Sinis.

Karin cuma menggeleng mendengar ucapan dua sahabatnya di tempat kos itu. Nggak heran kalau Anisa dan Lina nggak percaya lagi akan kesetiaan seorang cowok. Cowok nggak bisa dipercaya! Sejak putus dari Andi, Lina nggak percaya kalau ada cowok yang akan menjaga kesetiaan cintanya. Setelah setahun lebih pacaran, Andi berlalu begitu saja hanya karena seorang Sarah yang lebih cantik darinya. Sementara Anisa, cinta pertamanya kandas begitu saja. Sama dengan Andi, Roni pun nyeleweng. Anisa nggak peduli lagi akan kesetiaan.Kesetiaan yang pernah dia miliki untuk Roni, telah dihancurkan cowok itu. Anisa bahkan menyalahgunakan kesetiaan setiap cowok yang coba tulus mencintainya. Balas dendam! Begitu yang Anisa ucapkan setiap kali Karin protes. Setelah Anisa menyakiti hati seorang cowok yang mencintai Anisa.

Tapi tidak Karin. Gadis itu tak sedikitpun terpengaruh. Karin sangat mengangungkan kesetiaan. Dia percaya, kalau kesetiaan yang dia miliki untuk Anang, akan dibalas dengan kesetiaan yang sama dari cowok terkasih itu. Karin yakin akan kesungguhan cinta Anang padanya. Dan Karin tetap mempercayai bahwa Anang akan selalu menjaga kepercayaan dan kesetiaan yang dia berikan untuk Anang.

“Cinta banget sama Anang ya, Rin?”

Kain tersenyum kecil. Tak dijawabnya. Anisa pasti menemukan kerjap itu di matanya.

“Nggak kepengen cari yang lain?” kejar Lina.

Karin membentuk keningnya hingga berlapis tiga. Sejurus kemudian dia menggeleng mantap.

“Wahyu ganteng loh, Rin.”rayu Anisa.

Karin tersenyum.

“Didi juga,”timpal Anisa.

“Kalian ini,”sungut Karin manja. Bibirnya masih menyunggingkan senyum. Di matanya bermain sosok Wahyu dan Didi. Dua cowok yang pernah coba mengusik hubungan Karin dengan Anang. Tapi dengan kesetiaan yang dimilikinya untuk Anang, Karin mampu membuat Wahyu dan Didi mundur teratur – tanpa Karin menyakiti kedua cowok itu. Dan mereka nggak pernah Karin lagi.

“Yakin Anang juga setia?”usik Anisa.

Karin mengangguk mantap.

“Pernah kepikir Anang nyeleweng?”

“Dia nggak akan melakukannya,” bantah Karin cepat.

“Terlalu yakin!”

“Dua tahun lebih menjadi kekasihnya, telah cukup mengukur kesetiaannya padaku.”

“Dua tahun nggak bisa dijadikan ukuran kesetiaan, Rin,”sangkal Lina.

Karin diam. Boleh jadi apa yang Lina ucapkan, tapi aku percaya kesungguhan Anang, bantah Karin dalam hati.

“Pikiran orang suatu saat bisa berubah.”

“Itu lain soal. Kita bicara soal kesetiaan,” bantah Karin lagi.

“Justru kesetiaan tidak bisa dipisahkan dari pikiran.”

Karin menggeleng. “Kesetiaan lebih mendekati sifat seseorang,”bantah Karin lagi. “Seorang cowok yang punya sifat bosanan. Itu jelas. Dia tak memiliki kesetiaan sama sekali. Bila kita kaitkan dengan pikiran. Mungkin cowok itu punya pertimbangan-pertimbangan tersendiri yang menyebabkan dia nggak mungkin meneruskan hubungan dengan kekasihnya. Jadi bukan berarti cowok itu nggak setia. Tapi memang jalan itulah yang terbaik menurut pikiran mereka.”

 Ganti Lina dan Anisa yang terdiam. Mereka Cuma bisa menggeleng. Berdebat dengan Karin? Susah! Gadis itu terlalu pintar untuk dibalas ucapannya. Dia akan selalu memiliki sanggahan yang membuat mereka kalah dengan ucapan sendiri. Kik balik!

“Nyerah deh!”ucap Anisa pelan.

Karin mencibir lucu.

“Sori ya, Rin. Bukannya kami mau mencemooh kesetiaan yang kamu miliki.  Kami cuma mengingatkan. Jangan sampai kamu kecewa dan menderita nantinya,”Lina melanjutkan.

“Karena kami pernah mengalaminya,” suara Anisa lirih.

Karin hanya termangu.

“Cinta dan kesetiaan kami dikhianati. Padahal kami telah menjaganya,”lanjut Lina.

“Sakit, Rin!”

“Rasanya dunia nggak indah lagi.”

“Yang tersisa Cuma penyesalan.”

“Mau marah tapi nggak akan membuat dia kembali.”

“Cewek bisanya cuma nangis.”

“Itu pun nggak cukup untuk menyesali semuanya.”

“Ngurung diri juga nggak ada gunanya. Waktu terus berjalan. Kita masih harus menjalani kehidupan. Seburuk apapun. Kita nggak bisa nutup untuk suatu kemungkinan.”

“Nggak salah dong kalau aku balas dendan.”

Karin Cuma diam. Mendengarkan Anisa dan Lina yang saling timpal menimpal kalimat. Bagai menampung kegundahan mereka. Gejolak sakit hati yang tersimpan di hati seakan terkuak dan menganga kembali. Karin menyadari, bagaimanapun pengalaman mereka sedikit berguna baginya. Dan Karin yakin Anisa dan Lina tak bermaksud menghina dan menyindir Anang. Mereka mengucapkan semua itu karena mereka sayang padanya.

“Rin, seandainya Anang nyeleweng, sikap kamu gimana?” Lina bertanya hati-hati.

Karin melotot mendengar pertanyaan dadakan itu. Demi Tuhan, dia mau hal yang menakutkan itu tak terjadi padanya. Dia berharap Anang tak pernah melakukannya. Karin cuma bisa berdoa semoga Anang mampu menjaga kesetiaan untuk dirinya. Seperti yang Karin lakukan untuk Anang.

Ho, Anang cinta pertama Karin. Orang bilang cinta pertama sangat sulit terlupakan. Dan Karin amat sangat mengasihi Anang. Dia nggak tahu harus berbuat apa jika Anang meninggalkannya. Jika Anang mengkhianati cintanya. Karin tak tahu akan bagaimana. Mungkin dia akan kecewa dan patah hati sekali, lalu menutup diri untuk cinta yang lain, karena seluruh kasihnya telah dibawa pergi Anang dalam kehancuran. Atau Karin akan melakukan hal yang sama seperti Anisa. Balas dendam!

 ***

“Nunggu Anang, Rin?”

Karin menoleh, Anisa sudah ada di sampingnya. Karin menggeleng. Dirapikannya buku-buku yang masih tergeletak di atas meja.

“Tumben. Biasanya dijemput.”

“Siang ini banyak tugas yang harus Anang selesaikan. Sebagai kekasih yang baik, aku nggak mau mengganggu.”

Anisa mencibir.

“Lagian kan, aku masih bisa nebeng kamu,” lanjut Karin.

“Maunya.”

Karin tertawa. Anisa ikut tertawa.

“Mampir di Slipi dulu ya, Rin,”ujar Anisa setelah mereka telah berada di dalam mobil.

“Ngapain?”

“Aku mau mencari boneka untuk Dede. Dia nagih terus.”

“Makanya, anak kecil jangan suka dijanjiin.”

“Nggak apa. Sekali-kali sama ponakan,”Anisa membela.

Karin menurut saja. Untung dia nggak punya banyak tugas hari ini. Kalau ada, dia pasti menolak dengan cepat. Dan memaksa Anisa untuk mengantarnya pulang duluan.”

Setelah capek muter-muter cari boneka yang cocok untuk Dede, Anisa mengajaknya ke Resto. Karin nurut. Anisa paling nggak tahan haus. Karin terkejut bukan main di bawah escalator. Matanya menatap tak percaya pada pemandangan yang tergelar.

Di depan sana, sosok yang amat dikenalnya sedang menggandeng mesra seorang gadis manis. Anang?! Karin berusaha menggeleng. Dia berharap matanya salah melihat. Dia menginginkan saat ini dia sedang bermimpi buruk. Tapi tidak, wajah yang sedang dipandangnya tetap milik Anang. Tangan Anang yang sedang menggantung di pundk gadis di sisinya, merangkul dengan mesra. Sementara tangan si gadis melingkar manja di pinggang Anang. Mereka bergandengan menuju escalator hendak turun. Tepat di mana Karin dan Anisa berdiri.

Karin masih terpaku di tempatnya. Kakinya seakan bergetar dan tak mampu digerakkan. Tangannya mencengkal erat lengan Anisa. Hatinya berkecamuk kacau tak karuan. Matanya panas menemui pemandangan yang bagai mimpi buruk itu.

Sampai akhirnya Anang dan gadis yang sedang dirangkulnya hanya tinggal beberapa undakan lagi di atasnya, Karin baru tersadar. Sepasang mata terkejut milik Anang menyadarkan Karin kalau dia tidak sedang bermimpi.

Karin tak kuasa berlama-lama di tempat itu. Tangannya cepat menarik lengan Anisa dan mengajak gadis itu berlalu dari sana. Anisa yang masih tergugu dan sama kagetnya dengan Karin, tak mampu berbuat banyak selain menuruti keinginan Karin.

Samar Karin mendengar Anang meneriakkan namanya. Lalu disusul suara seorang gadis yang berteriak memanggil Anang. Tapi Karin tak peduli. Hatinya terasa perih menyaksikan pemandangan tadi. Bagai tersayat-sayat. Karin mengajak langkahnya dan Anisa berlari secepat mungkin menuju pelataran parker.

Di dalam mobil, tangis Karin tumpah. Masih didengarnya secara samar teriakan Anang diantara bunyi mesin mobil yang menjauh. Anisa trenyuh. Untuk pertama kalinya, dia melihat Karin yang tegar dan selalu ceria menangis. Anisa menggeram kesal. Berkali-kali dia mengutuki perbuatan Anang yang telah menyakiti Karin. Sebagai sahabat, Anisa dapat merasakan betapa perih dan kecewanya Karin saat ini.

**

Hari-hari Karin selanjutnya adalah kesendirian. Nama dan sosok Anang susah payah dia hilangkan dalam kehidupannya. Sepihak memang. Karena dia tak pernah membiarkan Anang menemuinya. Karin tak ingn mendengar alasan dan pembelaan Anang atas perbuatan yang dilakukannya. Karin juga tak mau mendengar permintaan maaf dari cowok itu. Ya, Karin benar-benar tak memberi kesempatan untuk Anang.

Semua yang pernah Anisa dan Lina ucapkan padanya bagai menjadi nyata. Menghantap keyakinannya akan kesetiaan. Untuk beberapa waktu Karin terbungkus dalam kepedihan. Setelah berkubang dalam  penyesalan dan tangis, Karin sadar semua hanyalah suatu ketololan. Bagaimanapun rapuh hatinya kini, dia tak ingin menelantarkan sekolahnya. Dia tak mau semua itu menjadikan dia terlupa akan cita-cita dan harapannya. Karin harus bangkit. Dia harus bisa bangun dari mimpi buruk itu. Beruntung kedua sahabatnya selalu siap menghibur Karin. Dan tak pernah membiarkan Karin melamun, juga termenung sendirian.

Baik di rumah maupun di kampus, Karin tak mengijinkan Anang mendekatinya. Sedapat mungkin dia menghindari pertemuan dengan Anang. Karin sungguh ingin melupakan Anang sendirian. Sakit di hatinya masih tak menerima perlakuan Anang.

Apa kurangnya Karin. Segenap perhatian dan kasih sayang dia curahkan untuk Anang. Tanpa berkeinginan mengganti posisi Anang dengan cowok lain. Padahal hal seperti itu mudah saja dia lakukan. Tapi Karin terlalu mencintai Anang. Dan untuk menjaga Anang tetap di sisinya, hany satu yang Karin yakini; kesetiaan!

Karin menunduk. Dicobanya menelusuri kenangan.  indah bersama Anang. Segala perhatian Anang yang membuat Karin tak ingin berpaling. Perlakuan-perlakuan manis Anang yang sering diberikan dan menumbuhkan getar sendiri di hati Karin. Rasanya Karin tak percaya Anang mampu melakukannya.

Ho, Karin sungguh ingin melupakan Anang. Cowok itu tak pantas menerima cinta Karin. Ya. Kasih tulus yang selalu dipagarinya dengan kesetiaan. Dari pagar yang telah hancur itu, Karin tidak mau memunguti puing-puingnya untuk dirangkai kembali menjadi pagar yang lebih bagus dan indah. Yang lebih menjanjikan segalanya dari sebelumnya. Tidak akan!

 **

“Aku mau bicara, Rin. Jangan menghindar lagi,” sebuah suara berat telah menahan langkah Karin. Pergelangan tangannya telah dipegang erat oleh Anang. Karin tak berani menoleh. Ah, betapa dia merindukan suara itu.

“Lepaskan!”bentak Karin galak. Dicobanya menentang tatapan Anang. Tapi yang terjadi kemudian Karin kembali mengeluh pendek. Betapa dia juga merindukan tatapan teduh milik Anang.

“Tidak akan sebelum aku bisa bicara denganmu.”

“Nggak ada yang perlu dibicarakan,”bantah Karin. Matanya segera dialihkan ke arah lain. Lama sekali dia tidak berjumpa dengan Anang. Cowok itu sedikit kurusan. Hm, teman-teman Karin memang pintar menjaganya sehingga tak bertemu Anang selama ini. Dn hari ini, Anang berhasil menemukannya. Ah, seharusnya tadi Karin tak menolak ajakan Lina untuk mampir di perpustakaan.

“Aku kangen,”ucap Anang lirih.

Karin melotot. Rasanya mau marah dan memaki cowok gombal di dekatnya. Tapi tidak. Tidak ada kebencian di sinar matanya. Dan Karin mengutuk dan menyesali kebodohannya sendiri. Dengan kasar Karin berusaha melepas tangannya yang masih digenggam Anang. Setelah berhasil, gadis itu bergerak cepat. Tapi gerakan Anang lebih cepat. Langkah Karin terhadang lagi.

“Tak ada waktu kah untuk kita bicara sebentar?” Anang bertanya pelan.

Maunya Karin menggeleng. Tapi sia-sia. Tatapan penuh harap Anang meluluhkan pertahanan hatinya. “Bicaralah. Aku tak mau mendengar kalimat gombalmu seperti tadi.”

Anang tak menyahut. Dia menarik Karin menjauh dari kerumunan yang masih tersisa dari gerombolan beberapa mahasiswa yang lalu lalang. Di bawah pohon Akasia, Anang menghentikan langkahnya, dan mendudukkan Karin di sebelahnya. Untuk beberapa saat mereka diam. Karin menunggu.

“Namanya Regine,”ujar Anang setelah mengatur jalan napasnya.

Karin diam. Dadanya bergejolak menahan amarah.

“Anak Ekonomi juga. Satu kelas. Gadis baik yang selalu manja padaku. Aku nggak mampu menolak ajakannya untuk menemani dia nonton waktu itu.”

“Dia tahu kamu sudah punya aku?”

“Ya.”

Jawaban Anang membuat Karin ingin menjerit. Tak habis mengerti. Kalau keduanya tahu ada aku. Mengapa perbuatan bodoh itu masih dilakukannya? Batin Karin. Tanpa Karin mau sudut matanya mulai mengembang dan basah oleh air mata.

“Aku nggak bermaksud menyakiti kamu, Rin. Aku sayang kamu. Sungguh. Maafkan aku.”

“Tapi kamu membohongi aku,”Karin mendesis.

“Aku janji tak akan mengulanginya lagi,”Anang bersungguh-sungguh.

Karin melihat kesungguhan itu. Tapi sakit yang disimpannya mengalahkan segalanya. Karin tertunduk dalam diam. Susah payah dia berusaha menghilangkan genangan air matanya. Dia nggak ingin terlihat cengeng dan rapuh di mata Anang. Dia harus tegar. Bukankah beberapa hari terakhir tanpa Anang sudah terbiasa dijalaninya? Dan Karin tak kuasa menolak ketika Anang menggenggam jemarinya.

“Kamu memaafkan aku kan, Rin? Dan mengijinkan aku mengisi hari-harimu lagi?”

Karin mendongakkan kepalanya. Matanya menatap Anang dengan tajam. Getar kerinduan datang lagi. Hari-hari manis yang pernah dirajutnya bersama Anang. Bagai berlomba mengajak hatinya untuk luruh. Larut dalam kasih Anang kembali. Sesaat Karin dibuat gamang. Tidak! Jerit hatinya getir. Aku harus konsekwen dengan keputusan yang telah diambil walau sebenarnya amat menyakitkan, batin Karin.

“Aku sudah memaafkanmu sebelum kau memintanya.”Dengan lembut Karin melepas genggaman tangan Anang yang masih merangkum jemarinya.

Terlihat Anang menarik napas lega. Sementara Karin Cuma menghela napas ketika kembali dia menemukan kerjap bahagia di mata Anang. Kerjap yang harus segera Karin matikan!

“Tapi tidak untuk kembali memiliki hari dan hatiku,”Karin menyambung kalimatnya dengan tegas.

Anang menatap tak percaya. Matanya berkilat-kilat mencari bahwa Karin hanya bercanda. Tapi dia amat kecewa. Karena kesungguhan yang ditemukannya dari mata bagus milik Karin. “Tidak bisa diperbaiki?” tanyaya ragu. “Beri kesempatan itu bagiku.”

Karin diam. Dadanya meletup-letup ingin marah. Dinding kesetiaan yang selalu dijaganya telah Anang dikhianati. Karin tak ingin menatanya lagi. Kepercayaan akan kasih Anang telah sirna.Kekecewaan akan pengkhianatan yang Anang lakukan, menolak kehadiran Anang di sisinya lagi. Sakit itu terlalu dalam. Kemudian Karin menggeleng.

“Maafkan aku, Nang,”ujar Karin lirih. Hanya itu yang mampu diucapkan.

Karin bangkit dari duduknya. Melangkah meninggalkan Anang yang masih termangu dengan keputusan Karin. Ingin rasanya Karin berbalik. Memeluk Anang dengan erat. Dan meralat keputusan yang baru saja dia cetuskan di hadapan Anang. Namun Karin tak melakukannya. Harga  dirinya sebagai seorang wanita lebih menguasainya. Terlebih kesetiaan adalah sesuatu yang sangat diagungkan Karin. Karin tak terima kesetiaannya dianggap remeh oleh Anang. Walau Karin menemukan kesungguhan di mata Anang. Penyesalan dan permintaan maaf cowok itu. Namun tak mampu membuat Karin menerima Anang kembali di sisinya.

Karin makin menjauh. Sejauh hatinya yang tidak ada Anang lagi di sana. Birlah. Biarkan aku melangkah sendiri, batin Karin giris. Biar dia cari arti kesetiaan itu sendiri. Mungkin suatu hari nanti akan dia temukan seseorang, yang akan memberikan kesetiaan yang sama seperti yang dia miliki.

Selesai