Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Tak harus jadi yang pertama, tak harus cinta yang pertama untuk bisa
jadi yang utama di hati. Cinta kali kedua terkadang lebih indah dari
yang pernah dibayangkan, karena Tuhan selalu punya cara membahagiakan.
(hlm. 278)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Bahagia itu sederhana. Menikmati cokelat, misalnya. Atau, di sela rintik hujan dan bersamamu. (hlm. 5)
Yang lalu biarlah berlalu. Nikmati saat ini dan berusaha lebih baik untuk masa depan. (hlm. 11)
Hidup memang selalu dihadapkan dengan pilihan. Bagaimana orang memilih, di sanalah kedewasaan dibutuhkan. (hlm. 14)
Tiada kata akhir untuk pintu harapan, termasuk dirimu. (hlm. 87)
Kamu, satu yang membuatku berhenti membenci cemburu. (hlm. 241)
Cinta itu tak ternilai seperti hadirmu untukku. (hlm. 249)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
Aku lebih suka kalau kamu bahagia daripada bersamaku tapi kamu tertekan. (hlm. 6)
Hanya patah hati. Tapi, bukan berarti aku harus marah. (hlm. 6)
Nggak usah ngelirik-lirik. Nanti naksir. (hlm. 8)
Jangan gampang marah, jangan suka motong ucapan orang lain. (hlm. 12)
Jangan suka dikit-dikit marah. (hlm. 13)
Kehilangan lebih terasa saat sudah merasa memiliki. (hlm. 25)
Kadang, tak tahu itu lebih menyenangkan. (hlm. 29)
Kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan tanpa kenangan. (hlm. 35)
Kalau lagi cemburu, kamu seram juga ya. Suka hilang akal. (hlm. 53)
Rindu kebiasaan adalah hal terpilu dari kehilangan. (hlm. 75)
Rasanya sakit saat ada orang yang selalu bilang ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi mereka tak tahu apa yang dia rasakan. (hlm. 79)
Jangan terlalu memforsir diri. Menyibukkan diri memang sebagian cara untuk melupakan sesuatu. (hlm. 84)
Makan saja perlu disuruh. Kamu itu kan bukan anak-anak lagi. (hlm. 88)
Melihatmu sama saja menumpuk rindu. (hlm. 95)
Jangan suka marah-marah, logikamu nggak pernah jalan kalau lagi marah. (hlm. 101)
Merajuk tanda hati mulai terpaut. (hlm. 143)
Untuk apa mandiri kalau ada orang-orang bersedia ikhlas jadi sandaran? (hlm. 159)
Terkadang kita lupa, pengharapan yang besar akan sama besar dengan rasa sakitnya kecewa. (hlm. 167)
Cinta tak bisa dipaksa. (hlm. 205)
Jadi cuma gandengan tangan bikin kamu kenyang? (hlm. 263)
Jangan memaksakan, nikmati waktu remajamu. (hlm. 277)
Sebuah buku hanya akan hidup kalau dibaca. Para pembacalah yang
menyusun potongan-potongan gambar dan menciptakan dunia imajiner tempat
para tokohnya hidup. (hlm. 290)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Terkadang seorang wanita bertemu pria yang tak punya apa-apa dan
memutuskan untuk memberi pria itu segalanya. Terkadang, wanita itu
berhasil. Terkadang, seorang wanita bertemu pria yang punya segalanya
dan memutuskan untuk meninggalkannya tanpa menjelaskan apa pun. Wanita
itu selalu berhasil. (hlm. 23)
Apakah kita benar-benar berhak melindungi teman kita dari diri mereka sendiri? (hlm. 25)
Menulis itu penting untuk keseimbangan dan kesehatan mentalmu. (hlm. 50)
Tak ada sulap, tak ada efek khusus. Kata-kata yang dituangkan di
atas kertaslah yang menciptakannya, dan kata-kata di atas kertas adalah
satu-satunya hal yang akan melepaskan kita darinya. (hlm. 127)
Kebebasan kita dibangun atas apa yang tidak diketahui orang lain tentang diri kita. (hlm. 207)
Makna semua cinta pada akhirnya; keinginan untuk mengalami semua hal
bersama-sama, belajar dari perbedaan satu sama lain. (hlm. 239)
Buku-buku yang paling berguna adalah buku-buku yang para pembacanya mengarang setengahnya. (hlm. 290)
Membaca adalah sebuah perjanjian kemurahan hati antara penulis dan
pembaca; mereka saling memercayai dan saling bergantung satu sama lain.
(hlm. 291)
Setiap orang punya harga. (hlm. 396)
Setelah mencari sesuatu tanpa menemukan apa pun, kadang-kadang kau menemukannya tanpa mencari. (hlm. 401)
Hanya teman-teman yang bisa kau bangunkan pukul empat pagi saja yang layak kau sebut teman. (hlm. 420)
Nasiblah yang membagikan kartu, tapi kitalah yang memainkannya. (hlm. 427)
Banyak juga selipan sindiran halusnya dalam buku ini:
Menulis buku tidak sama seperti membuat mobil atau detergen bubuk. (hlm. 51)
Terlalu bodoh untuk berpikir bahwa mungkin ada seseorang di luar
sana yang bisa membuat kita bahagia, seseorang yang akan menemani kita
saat kita menua? (hlm. 51)
Kau yakin bahwa di Bumi ini hanya ada satu orang saja untuk semua
orang. Seolah-olah setengah bagian yang hilang selalu mencari setengah
bagian aslinya agar menjadi utuh kembali. (hlm. 51)
Memang lebih mudah menghancurkan dirimi sedikit demi sedikit
daripada mengumpulkan kepribadian untuk kembali berjuang kan? (hlm. 125)
Rasanya sulit untuk memercayai sesuatu yang tidak biasa, kan? (hlm. 219)
Kita harus berhenti membohongi diri sendiri. (hlm. 229)
Betapa seringnya kita gagal mengetahui penderitaan orang-orang yang paling kita sayangi. (hlm. 261)
Tidak ada yang lebih tragis daripada menemukan seseorang yang terengah-engah, hilang dalam labirin kehidupan. (hlm. 320)
Jangan pernah meremehkan prestise pria berseragam. (hlm. 324)
Jangan pikirkan hari esok. Jangan pikirkan apa yang terjadi saat dia tak ada di sini lagi. (hlm. 359)
Kalau kau ingin putus dengannya, setidaknya katakan itu kepadanya. (hlm. 381)
Manusia itu lemah dan bisa disuap. (hlm. 395)
Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang? Persahabatan, cinta dan martabat. (hlm. 395)
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka? Satu
bulan? Satu tahun? Atau lebih dari itu? Sebagian dari kita memilih untuk
membiarkan luka memudar. Sebagian yang lain menyimpannya secara
baik-baik. Ada yang meninggalkan luka dengan senang hati. Namun,ada yang
begitu menyayanginya hingga menjadikan luka bagian baru dari dirinya.
(hlm. 406)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Kita tidak bisa hidup tanpa harapan. (hlm. 117)
Tidak ada yang terjadi tiba-tiba. (hlm. 277)
Terkadang, keajaiban saja tidak cukup. (hlm. 369)
Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. (hlm. 385)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Bukan masalah besar. Tidak perlu bereaksi berlebihan begitu. (hlm. 12)
Terlalu repot melakukan akad nikah di rumah. (hlm. 39)
Tidak ada waktu yang tepat. (hlm. 40)
Sahabat tidak akan pernah menjadi kekasih. (hlm. 52)
Sebuah buku tidak berjalan sendiri meninggalkan rak. (hlm. 88)
Hanya karena sebuah buku berakhir di rak obral bukan berarti karya itu buruk. (hlm. 95)
Ratusan novel terbit tiap bulan. Sebagian besar cuma bicara cinta. (hlm. 173)
Jangan kekanak-kanakan. Hadapi kenyataan dengan dewasa. (hlm. 224)
Dunia pantas dibenci. Dunia pantas diberi kesempatan. (hlm. 243)
Ada belati di balik senyum lelaki. (hlm. 250)
Menulis cuma pelampiasan, tapi itu lebih baik daripada memendam perasaan. (hlm. 420)
Jemini dan Tuan Busu Klarten ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
KOPI saya tumpah. Bercak hitam mengental di kemeja saya dan beberapa
tercecer di taplak meja. Saya benar-benar kaget. Jemini, pembantu saya
yang sudah hampir setahun ini bantu-bantu pekerjaan rumah, mendadak
minta izin. Saya amati mata Jemini.
Mata Jemini sebagaimana mata orang-orang yang tak bisa mengaburkan
kebohongan. Jemini berdiri sedepa di depan saya. Saya masih terdiam,
mencerna semua ucapan Jemini yang terasa seperti nasi pera yang tersaji
tanpa kuah. Seret dan susah saya telan.
“Kamu beneran mau kawin?” tanya saya.
“Betul, Tuan. Saya sudah mantap jiwa raga untuk menikah tahun ini. Calon suami saya orang baik,” Jemini menjawab dengan lancar.
Di satu sisi saya bahagia karena ajaran saya kepadanya untuk percaya
diri berbicara dengan siapa saja diterapkan dengan baik oleh Jemini.
Tapi, di sudut lain saya sedikit ketakutan. Melepas Jemini keluar rumah
sama sedihnya dengan melepas seorang anak perempuan yang akan dipinang
orang. Meskipun saya hanya seorang majikan yang tidak punya hak 100%
atas diri Jemini. Ia memang ditakdirkan berkasta setingkat lebih rendah
daripada saya, tetapi ia adalah manusia merdeka dalam mengambil
keputusan.
Pertama kali saya bertemu dengan Jemini, ketika saya menjemput
Garcia, putri saya, usai menghabiskan liburan di rumah nenek dari pihak
almarhum istri saya. Garcia sebagaimana anak-anak lainnya menganggap
liburan di rumah nenek seistimewa apa-apa yang terjadi di buku-buku
pelajaran bahasa Indonesia.
Mobil saya masuk garasi rumah mertua saya, dan Garcia cemberut di
teras. Wajahnya dijejali bentol-bentol merah habis dihajar aneka
serangga. Garcia tanpa babibu langsung masuk mobil tanpa pamit kepada
neneknya. Sedangkan saya, sebagai menantunya, harus tetap memberi
hormat, minimal menyapa. Saya masuk sebentar dan di sanalah ada Jemini.
“Maafkan kelakuan Garcia, Ibu,” saya mengecup punggung tangan mertua
perempuan saya. Aromanya masih sama dengan yang terjadi di saat pertama
kali saya berkunjung ke rumah ini untuk meminta anak perempuannya
menjadi istri yang kemudian menjadi ibu Garcia. Meski umurnya tak lama,
karena di saat Garcia berusia tiga tahun, truk pembawa galon air
menabrak istri saya yang sedang joging sore hari.
“Tidak masalah. Garcia sudah remaja, tidak lagi anak-anak seperti setahun atau dua tahun lalu,” jawab mertua saya.
“Iya, Tuan,” suara Jemini menyela, yang tentu kala itu saya belum mengenal namanya.
“Ini Jemini, keponakan jauh. Dia putus sekolah karena yatim-piatu.
Daripada macem-macem, biar dia di sini bantu-bantu pekerjaan rumah,” ibu
mertua saya menjelaskan.
Saya yang sudah mulai pekak dengan bunyi klakson dari Garcia yang
sudah mulai bosan dan ingin segera pulang, hanya menyeruput teh yang
dihidangkan Jemini. Kemudian menyambar sekerat kue talam. Saya kunyah
sebentar. Saya tak menangkap apa-apa di wajah Jemini, selain keluguan
dan keuletan seorang wanita.
Awalnya saya tidak punya niat untuk menjadikan Jemini sebagai
pembantu. Meski saya sudah lama menduda dan belum menemukan kembali
wanita yang cocok untuk menjadi ibu tiri Garcia. Saya bisa mengerjakan
semuanya seorang diri. Mulai dari memasak nasi goreng berbalut telur
untuk bekal Garcia, mencuci-setrika, mengepel, hingga memilih motif
sarung bantal yang pas dipajang di kursi tamu.
Tapi ada satu hal yang saya tidak bisa kerjakan. Dua bulan setelah
pertemuan tanpa sengaja dengan Jemini di rumah ibu mertua saya, Garcia
menjerit pagi-pagi. Saya yang masih menyapu sambil menunggu nasi putih
matang di mesin penanak, kelabakan. Garcia menjerit kemudian menangis di
kamar mandi.
“Kamu kenapa?” tanya saya. “Jatuh?”
“Papa, paha Garcia berdarah!” jawabnya dari dalam kamar mandi.
Saya segera membuka paksa pintu kamar mandi, karena khawatir
kalau-kalau Garcia terjatuh dan terluka. Bukan luka darah ternyata. Tapi
merah darah anak perempuan yang beranjak dewasa. Semenjak itu saya
menyadari bahwa saya bisa memberi kasih sayang sebagaimana ayah
sekaligus ibu untuk Garcia seperti yang sudah saya lakukan. Tetapi bila
Garcia sudah semakin besar, mau tidak mau saya harus menjaga jarak.
Garcia membutuhkan perempuan dewasa untuk menjelaskan hal-hal
keperempuanan yang tak bisa saya jelaskan.
“Jemini saja. Dia baik, kok!” usul ibu mertua saya saat keinginan
mempekerjakan seorang pembantu perempuan yang tidak terlalu tua dan bisa
diajak Garcia bercerita banyak hal soal kewanitaan. Jadilah Jemini
menjadi orang ketiga di antara saya dan Garcia.
***
“Tuan Busu Klarten, apakah saya boleh menumpang sementara di paviliun belakang setelah menikah?”
Lamunan saya sontak tercabut oleh suara halus Jemini. Ia selama ini
memang telah saya anggap lebih dari sekadar babu. Jemini memang membantu
menyajikan makanan, mencuci, dan mengepel. Tapi Jemini punya peran
lebih, yaitu soal mendidik Garcia tentang bagaimana tubuh wanita berubah
sesuai umur.
“Sebelumnya, apa kamu sudah betul-betul ingin kawin? Saya hanya
khawatir suamimu hanya akan merusak masa depanmu yang masih panjang,”
jujur saya masih belum rela Jemini kawin, dan Garcia akan kehilangan
guru di rumahnya.
“Babu seperti saya tak punya masa depan, Tuan. Paling-paling cuma
jadi istri sesama babu. Dan kemudian menjadi babu bagi suami dan
anak-anaknya nanti.”
Ini yang saya kagumi dari Jemini. Meski tak pernah sekolah SMP, tapi Jemini paham betul cara bicara dan menyatakan pendapat.
Jemini berdiri dan memandang mata saya. Saya tahu ada keyakinan yang
menggelora di dada Jemini, yang saya sendiri kadang tak menemukannya di
dalam diri saya.
“Hanya sebulan, Tuan Busu Klarten. Suami saya tidak punya tabungan lebih untuk menyewa pondokan. Bagaimana, Tuan Busu Klarten?”
Saya hanya mengangguk.
Perkawinan Jemini dan suaminya yang kemudian saya ketahui namanya
Paregrek tak pantas disebut perkawinan. Mereka hanya menikah di depan
pemuka agama dan kedua orangtua masing-masing. Saya dan Garcia hadir
sebagai saksi. Perkawinan mereka diadakan di pekarangan belakang rumah
saya. Tak jauh dari paviliun yang Jemini minta sebagai tempat tinggal
sementara bagi keduanya.
***
Setelah menikah, Jemini masih bekerja di rumah saya. Dia makin
sumringah. Makin segar dan makin ulet. Sedangkan Paregrek benar-benar
tak berguna. Dia hanya duduk-duduk saban hari. Dia tidak punya pekerjaan
tetap. Saya kemudian jatuh iba kepada Paregrek, yang hanya mengandalkan
panggilan jikalau ada ledeng tetangga rusak dan sayangnya itu tak
setiap waktu ada. Paregrek kemudian saya beri tanggung jawab untuk
merawat kebun, memberi pakan burung, dan kalau malam menjaga keamanan
rumah. Apa saja asal saya tidak melihat Paregrek menganggur. Saya benci
lelaki yang hanya luntang-lantung.
Setiap pagi, seusai Jemini mendandani Garcia dan menyiapkan sarapan
buat saya, dia akan kembali ke paviliun menemui Paregrek. Saya tidak
pernah iri kepada mereka yang tampak begitu bahagia usai pernikahan.
Namun diam-diam mata saya berlari ke gorden dan mengintip apa saja yang
Jemini dan Paregrek lakukan.
Seperti pagi ini, setelah Jemini mohon pamit ke paviliun belakang
untuk menemani Paregrek sarapan, saya diam-diam mengikutinya. Jemini
masuk ke paviliun dan saya mengintip dari jendela kaca.
Paregrek ternyata masih tertidur. Wajahnya benar-benar tak mempesona.
Tua dan sekarang tambah tua karena pekerjaan yang saya berikan
memaksanya berpanas-panas kala siang dan begadang bila malam.
Jemini menggoyang-goyangkan tubuh Paregrek. Perlahan. Namun karena
gering-kerempeng, tubuh Paregrek berguncang seperti terkena gempa bahkan
oleh goyangan Jemini yang perlahan. Paregrek menampik tangan Jemini,
hingga istrinya itu hampir terjungkang.
“Masih pagi! Tuan Busu Klartenmu itu benar-benar kurang ajar!”
Paregrek mengucek mata dan membalik tubuh memunggungi Jemini. Jemini
hanya diam. Tapi saya mulai sakit. Entah oleh kata-kata Paregrek yang
memaki saya atau oleh sikap kasarnya kepada Jemini.
Jari tangan saya mengepal. Ada gemuruh amarah yang meledak-ledak.
Mata saya masih mencermati apa-apa yang akan dikatakan dan dilakukan dua
orang babu saya yang ternyata diam-diam menjelek-jelekkan saya.
Tiba-tiba Paregrek bangun dan merangsek tubuh Jemini. Jemini tak
berani menolak. Tapi matanya mata yang masih sama dengan mata yang
setahun lalu saya temui di rumah mertua saya meronta menjeritkan rasa
tertekan dan nganga lara. Paregrek memasukkan tubuhnya ke tubuh Jemini.
Saya terbakar emosi. Entah oleh perilaku Paregrek atau oleh jeritan
tertahan di mata Jemini.
Mata saya mencari apa saja yang bisa saya gunakan sebagai senjata.
Linggis. Saya menemukan linggis. Saya mendobrak pintu. Jemini dan
Paregrek seperti dua ekor kelinci yang menggelepar usai musim kawin.
Mata keduanya melotot melihat saya mengacung-acungkan linggis.
Catatan:
Jemini diambil dari judul novel Suparto Brata yang terbit 2012, sedangkan Busu Klarten nama tokoh dalam cerpen Gimbol karya Budi Darma.
Teguh Affandi, menulis cerpen, esai, dan ulasan buku di berbagai media. Memperoleh Green Pen Award, Juara Sayembara Cerpen Femina, dan Pena Emas PPSDMS Award.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000
karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa
lain.
Jadi karyawan itu harus profesional. Jangan campurin urusan perasaan dengan pekerjaan. (hlm. 97) Jatuh cinta kepada sesama pegawai bank? Siapa takut! (hlm. 67)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Hidup seperti air yang mengalir, dari hulu ke hilir. Kadang yang
dilewatinya datar, kadang curam, kadang berbatu agar sampai ke tempat
yang tenang. (hlm. 25)
Cinta itu kadang bukan soal chemistry atau nggak. Bukan juga soal
banyaknya kesamaan atau sedikitnya perbedaan. Pada akhirnya yang
terpenting adalah selalu merasa nyaman berada di dekatnya. (hlm. 33)
We have to realize that some people can stay in our heart but not in our life. (hlm. 37)
Sepatah hatinya seorang wanita, nggak mungkin dia menolak pria yang
bersungguh-sungguh mencintainya, berusaha untuk membuatnya bahagia.
(hlm. 39)
Kadang, kita harus mencoba mencari rasa manis dari rasa pahit itu sendiri. (hlm. 78)
Beberapa kalimat sindiran halus dalam buku ini:
Jangan mempersulit diri sendiri. (hlm. 12)
Butuh istirahat buat meredakan sakit kepala. (hlm. 26)
Namanya juga pekerjaan, nggak ada yang enak kecuali pas bonus, gajian sama THR. (hlm. 30)
Seharusnya pekerjaan cuma pengisi waktu di antara weekend. (hlm. 31)
Lo yakin menjalin hubungan beda agama? (hlm. 33)
Apakah bisa bertahan di tengah isu tentang perbedaan agama yang makin hari makin santer terdengar? (hlm. 33)
Sejak kapan lo bisa seenak-enaknya menilai seseorang? (hlm. 36)
Kalau lo kenal sama gue, lo nggak akan membiarkan diri lo menyimpan sedih sendiri. (hlm. 36)
Buatnya cewek cantik nggak ada apa-apanya dibandingkan cewek yang pintar cari duit kayak lo. (hlm. 40)
Kamu ini makannya banyak tapi tetap aja kurus. (hlm. 52)
Jangan pernah berharap ada laki-laki yang akan jatuh cinta dan mau menikahi. (hlm. 57)
Lebih dari setengah masyarakat di Indonesia ini sudah dilabeli sebagai pemilik jam karet. (hlm. 71)
Kau mati karena asap rokok ini? (hlm. 98)
Semoga saya tak menjadi orang jahat ketika Tuhan memanggil. (hlm. 111)
Lo kan ganteng, pinter, kok bisa ngejomblo lama sih? lo yakin, lo nggak gay? (hlm. 113)
Hari gini masih main comblang-comblangan. (hlm. 114)
Untuk apa kami sekarang berpacaran kalau pada akhirnya nggak menikah? (hlm. 120)
Kau hanya perlu bersungguh-sungguh. Bukan untuk membuktikan pada
orangtua atau pada siapa pun. Tapi buktikan pada dirimu sendiri, bahwa
kau bisa. (hlm. 205) Apa pun pilihanmu, jika kau yakin benar-benar mencintai dan mau
hidup di dalamnya, maka jadikanlah pegangan yang kuat. Keyakinan dan
kemauan untuk bekerja keras itu akan menjawab semua pertanyaan. (hlm.
185) “Hidup di dunia nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam
hidup ini sesungguhnya hanya duit! Dan duit tak bisa kau dapatkan dengan
bergelut di bidang seni. Seni itu omong kosong. Seni itu tak bisa
menghidupi, yang ada malah membuatmu mati lebih dini.” (hlm. 26) “Sekolah apa saja, asal tidak ada hubungannya dengan dunia
hiburan, seni, biduan, dan orang-orang yang bila kita tonton di televisi
selalu ditabur gemerlap lampu panggung.” (hlm. 118)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Jalani hidupmu. Hadapi kenyataan. (hlm. 18)
Hidup itu harus seimbang, ya ke atas, ya ke samping. (hlm. 29)
Kalau kau tak mau hidup sengsara, bekerja saja mencari tambahan duit sejak sekarang. (hlm. 33)
Orang pandai karena mau belajar dan latihan. Tidak cuma masalah bakat. (hlm. 41)
Membaca adalah salah satu cara melupakan kesedihan sekaligus kemarahan. (hlm. 43)
Imajinasi seringkali membantu memberi dorongan seseorang untuk meraih mimpi. (hlm. 71)
Semakin dini persiapan, akan semakin baik hasil akhir yang diberikan. (hlm. 73)
Bila itu pilihanmu, kau harus tekun dan berhasil. (hlm. 92)
Tak setiap keinginan bisa terwujud begitu saja. (hlm. 109)
Memiliki anak yang sukses adalah salah satu cita-cita orangtua. (hlm. 114)
Belajar itu mengenai perihal kesenangan, bukan begitu? (hlm. 146)
Kau sendiri yang mengambil keputusan, maka yang menjalani dan
bertanggung jawab atas hidup kau pilih adalah dirimu sendiri. (hlm. 154)
Kehidupan memang tak pernah terlalu lama memberi kemudahan dan kebahagiaan. (hlm. 183)
Hidup tak melulu memberi kemudahan, bahkan kerap melimpahkan kesulitan yang luar biasa kerasnya. (hlm. 187)
Apakah keputusan baik dan buruk harus bergantung pada persetujuan orang lain? (hlm. 199)
Pasrah bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Manusia tetap harus
berusaha. Bila usaha yang dilakukan kemudian diberi hasil sesuai
keinginan, ya matur nuwun. Namun bila tidak diberi hasil sesuai
pengharapan atau malah gagal, ya tetap matur nuwun. (hlm. 224)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Kenyataan hidup yang keras seringkali tanpa ampun mengubah penampilan seseorang dengan cepat. (hlm. 4)
Orang kaya gemar bicara omong kosong. (hlm. 7)
Kau memang begitu gigih mengejar mimpi, meski harus jatuh
berkali-kali. Sayangnya kau tak pernah mau kompromi, bahkan saat
melihatku kesulitan. (hlm. 7)
Hidup telah terlalu jauh berjalan ke depan. Dalam menjalani
kenyataan, tak elok dan tak ada manfaatnya bila terlalu sering berkata
‘seandainya’. (hlm. 8)
Buat apa beradu mulut dengan orang hilang akal? (hlm. 17)
Orang tidak waras malah dikunjungi dan didengarkan perkataannya.
Kalau sudah demikian, lalu siapa yang sebenarnya gila kecuali si
penangkap itu sendiri! (hlm. 23)
Hidup ini keras dan kejam. Kau mengira hanya dengan banyak membaca,
menulis, dan mendengarkan cerita maka semua permasalahan hidupmu mudah
teratasi? Hal itu hanya akan terjadi di dunia mimpi. (hlm. 25)
Anak kok ditakuti untuk punya cita-cita. (hlm. 27)
Bagaimana nanti remaja itu berani tempur ketika dewasa, jika sedari
kecil apa-apa sudah disiapkan? Yang ada, mereka akan tumbuh menjadi
manusia lembek. (hlm. 27)
Cewek kok galaknya kayak setan alas. (hlm. 33)
Membicarakan keburukan orang lain padahal sosoknya sudah tak terlihat itu tidak baik. (hlm. 46)
Mencari duit itu memang sulit. (hlm. 50)
Dasar keedanan cinta. Jangan terlalu berlebihan. (hlm. 61)
Berisik hanya menambah masalah. (hlm. 62)
Masa lalu memang pahit. Tidak usah lagi diungkit-ungkit. (hlm. 67)
Anak zaman sekarang bila ditegur pasti marah. Bila didiamkan, amak keburukannya akan semakin menjadi. Repot. (hlm. 67)
Judi adalah jalan satu-satunya jalan keluar bagi orang kepepet yang berpikiran sempit. (hlm. 68)
Pekerjaan yang tidak memiliki masa depan hanyalah yang tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh. (hlm. 77)
Saat bicara mengenai cinta, yang dilihat cewek zaman sekarang bukanlah mengenai ketulusan hati, tapi apa boncenganmu. (hlm. 85)
Apa enaknya bicara dengan sekelompok remaja yang tak bisa berpikir dan bekerja? (hlm. 97)
Membantu itu tak boleh setengah-setengah. (hlm. 103)
Betapa orangtua gemar sekali membanding-bandingkan juga menuntut supaya anak berprestasi. (hlm. 109)
Jatuh cinta barangkali memang membuat orang-orang menjadi bodoh. (hlm. 182)
Begitu gampang melepas kemudahan yang diberikan oleh Tuhan,
sementara ada banyak orang lain di luar sana yang berharap ada di posisi
kalian. (hlm. 194)
Mimpi itu hanya untuk seorang pemenang, bukan pecundang. Pemenang
itu artinya yang tidak mogol atau berhenti di tengah jalan – pada apa
pun pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski cita-citanya dan
cintanya kandas, ia akan segera pulih. (hlm. 195)
Mengapa orang bisa begitu saja membelok dari jalan utama pilihan hidupnya? (hlm. 202)
Mengejar keinginan tak semudah yang diduga. (hlm. 205)
Barangkali hanya orang kaya yang bisa bertahan mewujudkan cita-cita di Jakarta. (hlm. 206)
Toni Lesmana, lahir di Sumedang, Jawa Barat. Menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Buku yang telah terbit, himpunan cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-Kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), kumpulan puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.
Tak ada yang salah dengan harapan
Hakikatnya manusia selalu memiliki rasa berharap di hatinya
Akan tetapi pada siapa harapan itu kita tujukan?? Saat ini..
Begitu banyak manusia yang merasakan pahitnya dari sebuah harapan
Berharap karena cinta pada manusia
Berharap karena pertolongan dari manusia
Berharap dari kebaikan manusia
Lalu bagaiman harapan mu pada Allah?
Sering kali kita lupa bahwa harapan yang sebenenarnya adalah pada Allah semata
Hanya pada Allah..
Sering kali kita terlupa bahwa
Manusia adalah tempat melakukannya kesalahan
Maka tak pantas kita berharap lebih pada manusia karena ia tak dapat
menjanjikan diri akan selalu memberikan yang terbaik
Tapi Allah...
Allah tak akan mengecewakan harapan mu
Jika harapan itu jatuh hanya pada Allah
Mungkin Allah akan menguji
Sebab Dia ingin melihat kesungguhan kita
Kesabaran kita
Keikhlasan kita
Tapi tau kah kita bahwa buah dari kesabaran itu sangat manis terasa
Allah hanya menyuruh kita menunggu
Sebab harapan indah yang kita inginkan akan terasa lebih indah jika ada
kesabaran menanti harapan yang akan berwujud dengan manis
Jangan menaruh harapan lebih pada manusia
Karena kekecewaan akan kita dapatkan
Letakkan harapan itu pada Allah semata
Maka Allah akan menjawab semuanya dengan hal yang tak di duga-duga
Sebab apa yang baik menurut kita belum tentu baik di mata Allah
Apa yang tak baik di mata kita belum tentu tak baik di mata Allah
Allah lah tempat yang paling tepat untuk menaruh harapan
Think & Succeed! ----------------------------------
"Semua mimpi kita dapat terwujud, asalkan kita punya keberanian untuk mewujudkannya" - Walt Disney
Dear Hanihyung,
Semua orang diciptakan istimewa oleh
Tuhan dengan bakatnya masing-masing.
Tapi terkadang mereka terhalang oleh
pikirannya sendiri dalam
mengembangkannya.
Zig Ziglar, motivator dunia
mengkategorikan orang-orang yang
tidak mengembangkan bakatnya ke dalam
4 golongan.
Orang pertama adalah yang menyangkal dirinya memiliki bakat. "Ah, saya tidak punya bakat apa-apa"
sangkalnya. Ia merasa tidak perlu
berbuat sesuatu atau berkontribusi
bagi orang lain atau kehidupan umat
manusia.
Orang kedua suka menunda-nunda. "Saya memang punya bakat. Tapi, tidak sekarang mengembangkannya. Mungkin besok, lusa atau nanti sajalah"
begitu alasannya.
Orang ketiga adalah yang merasa takut. "Sebetulnya saya ingin mengembangkan bakat saya. Tapi takut gagal, daripada saya ditertawakan orang, lebih baik saya diam saja, bukankah lebih aman?" itu selalu yang
dikatakannya.
Orang keempat tidak mau bertanggung jawab. Dia selalu berdalih bahwa
orang lain atau keadaanlah yang
salah. "Bagaimana saya dapat mengembangkan bakat saya kalau orang di sekitar saya dan keadaan tidak mendukung" katanya menyalahkan
keadaan. Hanihyung, temanku yang berbakat, saya
yakin Anda tidak termasuk dalam
keempat tipe orang tersebut. Bakat
Anda terlalu sayang untuk
disia-siakan, karena artinya Anda
menyia-nyiakan anugrah Tuhan. Tuhan
telah mendesain dan menciptakan
manusia dengan keistimewaannya
masing-masing. Kembangkan bakatmu, kejarlah mimpimu.