Daftar Blog Saya

Kamis, 11 Mei 2017

Kutipan Kali Kedua

Tak harus jadi yang pertama, tak harus cinta yang pertama untuk bisa jadi yang utama di hati. Cinta kali kedua terkadang lebih indah dari yang pernah dibayangkan, karena Tuhan selalu punya cara membahagiakan. (hlm. 278)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Bahagia itu sederhana. Menikmati cokelat, misalnya. Atau, di sela rintik hujan dan bersamamu. (hlm. 5)
  2. Yang lalu biarlah berlalu. Nikmati saat ini dan berusaha lebih baik untuk masa depan. (hlm. 11)
  3. Hidup memang selalu dihadapkan dengan pilihan. Bagaimana orang memilih, di sanalah kedewasaan dibutuhkan. (hlm. 14)
  4. Tiada kata akhir untuk pintu harapan, termasuk dirimu. (hlm. 87)
  5. Kamu, satu yang membuatku berhenti membenci cemburu. (hlm. 241)
  6. Cinta itu tak ternilai seperti hadirmu untukku. (hlm. 249)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Aku lebih suka kalau kamu bahagia daripada bersamaku tapi kamu tertekan. (hlm. 6)
  2. Hanya patah hati. Tapi, bukan berarti aku harus marah. (hlm. 6)
  3. Nggak usah ngelirik-lirik. Nanti naksir. (hlm. 8)
  4. Jangan gampang marah, jangan suka motong ucapan orang lain. (hlm. 12)
  5. Jangan suka dikit-dikit marah. (hlm. 13)
  6. Kehilangan lebih terasa saat sudah merasa memiliki. (hlm. 25)
  7. Kadang, tak tahu itu lebih menyenangkan. (hlm. 29)
  8. Kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan tanpa kenangan. (hlm. 35)
  9. Kalau lagi cemburu, kamu seram juga ya. Suka hilang akal. (hlm. 53)
  10. Rindu kebiasaan adalah hal terpilu dari kehilangan. (hlm. 75)
  11. Rasanya sakit saat ada orang yang selalu bilang ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi mereka tak tahu apa yang dia rasakan. (hlm. 79)
  12. Jangan terlalu memforsir diri. Menyibukkan diri memang sebagian cara untuk melupakan sesuatu. (hlm. 84)
  13. Makan saja perlu disuruh. Kamu itu kan bukan anak-anak lagi. (hlm. 88)
  14. Melihatmu sama saja menumpuk rindu. (hlm. 95)
  15. Jangan suka marah-marah, logikamu nggak pernah jalan kalau lagi marah. (hlm. 101)
  16. Merajuk tanda hati mulai terpaut. (hlm. 143)
  17. Untuk apa mandiri kalau ada orang-orang bersedia ikhlas jadi sandaran? (hlm. 159)
  18. Terkadang kita lupa, pengharapan yang besar akan sama besar dengan rasa sakitnya kecewa. (hlm. 167)
  19. Cinta tak bisa dipaksa. (hlm. 205)
  20. Jadi cuma gandengan tangan bikin kamu kenyang? (hlm. 263)
  21. Jangan memaksakan, nikmati waktu remajamu. (hlm. 277)

Kutipan The Girl on Paper

Sebuah buku hanya akan hidup kalau dibaca. Para pembacalah yang menyusun potongan-potongan gambar dan menciptakan dunia imajiner tempat para tokohnya hidup. (hlm. 290)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Terkadang seorang wanita bertemu pria yang tak punya apa-apa dan memutuskan untuk memberi pria itu segalanya. Terkadang, wanita itu berhasil. Terkadang, seorang wanita bertemu pria yang punya segalanya dan memutuskan untuk meninggalkannya tanpa menjelaskan apa pun. Wanita itu selalu berhasil. (hlm. 23)
  2. Apakah kita benar-benar berhak melindungi teman kita dari diri mereka sendiri? (hlm. 25)
  3. Menulis itu penting untuk keseimbangan dan kesehatan mentalmu. (hlm. 50)
  4. Tak ada sulap, tak ada efek khusus. Kata-kata yang dituangkan di atas kertaslah yang menciptakannya, dan kata-kata di atas kertas adalah satu-satunya hal yang akan melepaskan kita darinya. (hlm. 127)
  5. Kebebasan kita dibangun atas apa yang tidak diketahui orang lain tentang diri kita. (hlm. 207)
  6. Makna semua cinta pada akhirnya; keinginan untuk mengalami semua hal bersama-sama, belajar dari perbedaan satu sama lain. (hlm. 239)
  7. Buku-buku yang paling berguna adalah buku-buku yang para pembacanya mengarang setengahnya. (hlm. 290)
  8. Membaca adalah sebuah perjanjian kemurahan hati antara penulis dan pembaca; mereka saling memercayai dan saling bergantung satu sama lain. (hlm. 291)
  9. Setiap orang punya harga. (hlm. 396)
  10. Setelah mencari sesuatu tanpa menemukan apa pun, kadang-kadang kau menemukannya tanpa mencari. (hlm. 401)
  11. Hanya teman-teman yang bisa kau bangunkan pukul empat pagi saja yang layak kau sebut teman. (hlm. 420)
  12. Nasiblah yang membagikan kartu, tapi kitalah yang memainkannya. (hlm. 427)
Banyak juga selipan sindiran halusnya dalam buku ini:
  1. Menulis buku tidak sama seperti membuat mobil atau detergen bubuk. (hlm. 51)
  2. Terlalu bodoh untuk berpikir bahwa mungkin ada seseorang di luar sana yang bisa membuat kita bahagia, seseorang yang akan menemani kita saat kita menua? (hlm. 51)
  3. Kau yakin bahwa di Bumi ini hanya ada satu orang saja untuk semua orang. Seolah-olah setengah bagian yang hilang selalu mencari setengah bagian aslinya agar menjadi utuh kembali. (hlm. 51)
  4. Memang lebih mudah menghancurkan dirimi sedikit demi sedikit daripada mengumpulkan kepribadian untuk kembali berjuang kan? (hlm. 125)
  5. Rasanya sulit untuk memercayai sesuatu yang tidak biasa, kan? (hlm. 219)
  6. Kita harus berhenti membohongi diri sendiri. (hlm. 229)
  7. Betapa seringnya kita gagal mengetahui penderitaan orang-orang yang paling kita sayangi. (hlm. 261)
  8. Tidak ada yang lebih tragis daripada menemukan seseorang yang terengah-engah, hilang dalam labirin kehidupan. (hlm. 320)
  9. Jangan pernah meremehkan prestise pria berseragam. (hlm. 324)
  10. Jangan pikirkan hari esok. Jangan pikirkan apa yang terjadi saat dia tak ada di sini lagi. (hlm. 359)
  11. Kalau kau ingin putus dengannya, setidaknya katakan itu kepadanya. (hlm. 381)
  12. Manusia itu lemah dan bisa disuap. (hlm. 395)
  13. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang? Persahabatan, cinta dan martabat. (hlm. 395)

Kutipan A Place You Belong

Awalnya hidup idealis, tapi akhirnya terpaksa menyerah juga pada tuntutan kehidupan. (hlm. 9)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Nggak ada manusia yang nggak berubah. (hlm. 13)
  2. Orang memang selalu punya keterikatan hati pada kota tempat kuliahnya. (hlm. 13)
  3. Lebih baik bergerak dulu dengan apa yang sudah ada, daripada diam saja menunggu yang belum ada. (hlm. 20)
  4. Pokoknya kamu jangan menyerah dulu. (hlm. 58)
  5. Semua orang berhak diberi kesempatan. (hlm. 97)
  6. Pilihan selalu ada kalau kamu memperluas sudut pandang. (hlm. 104)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Banyak orang yang pekerjaannya tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya. (hlm. 10)
  2. Yang kita pelajari di kampus ini cuma teori. Gambaran ideal. Realitasnya sih jauh banget. (hlm. 29)
  3. Lebih baik sedini mungkin terjun ke lapangan, biar setelah lulus nanti nggak kaget sama dunia nyata. (hlm. 29)
  4. Sok sibuk banget sih. Memang biasanya kamu ngapain pas weekend? (hlm. 29)
  5. Tolong jangan teriak-teriak. (hlm. 47)
  6. Makanya kita harus berjuang. Mana ada sih perjuangan yang gampang? Tapi berjuang di bidang yang kita senangi lebih enak, kan? (hlm. 58)
  7. Ya semua ada asyiknya ada nggaknya. (hlm. 63)
  8. Mana mungkin sih teman tapi sampai rangkul-rangkulan mesra gitu. (hlm. 88)
  9. Kadang kita memang harus kena batunya dulu baru bisa kapok. (hlm. 138)

Kutipan Angel in the Rain

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka? Satu bulan? Satu tahun? Atau lebih dari itu? Sebagian dari kita memilih untuk membiarkan luka memudar. Sebagian yang lain menyimpannya secara baik-baik. Ada yang meninggalkan luka dengan senang hati. Namun,ada yang begitu menyayanginya hingga menjadikan luka bagian baru dari dirinya. (hlm. 406)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kita tidak bisa hidup tanpa harapan. (hlm. 117)
  2. Tidak ada yang terjadi tiba-tiba. (hlm. 277)
  3. Terkadang, keajaiban saja tidak cukup. (hlm. 369)
  4. Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. (hlm. 385)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Bukan masalah besar. Tidak perlu bereaksi berlebihan begitu. (hlm. 12)
  2. Terlalu repot melakukan akad nikah di rumah. (hlm. 39)
  3. Tidak ada waktu yang tepat. (hlm. 40)
  4. Sahabat tidak akan pernah menjadi kekasih. (hlm. 52)
  5. Sebuah buku tidak berjalan sendiri meninggalkan rak. (hlm. 88)
  6. Hanya karena sebuah buku berakhir di rak obral bukan berarti karya itu buruk. (hlm. 95)
  7. Ratusan novel terbit tiap bulan. Sebagian besar cuma bicara cinta. (hlm. 173)
  8. Jangan kekanak-kanakan. Hadapi kenyataan dengan dewasa. (hlm. 224)
  9. Dunia pantas dibenci. Dunia pantas diberi kesempatan. (hlm. 243)
  10. Ada belati di balik senyum lelaki. (hlm. 250)
  11. Menulis cuma pelampiasan, tapi itu lebih baik daripada memendam perasaan. (hlm. 420)

Jemini dan Tuan Busu Klarten


Jemini dan Tuan Busu Klarten ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Jemini dan Tuan Busu Klarten ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
KOPI saya tumpah. Bercak hitam mengental di kemeja saya dan beberapa tercecer di taplak meja. Saya benar-benar kaget. Jemini, pembantu saya yang sudah hampir setahun ini bantu-bantu pekerjaan rumah, mendadak minta izin. Saya amati mata Jemini.
Mata Jemini sebagaimana mata orang-orang yang tak bisa mengaburkan kebohongan. Jemini berdiri sedepa di depan saya. Saya masih terdiam, mencerna semua ucapan Jemini yang terasa seperti nasi pera yang tersaji tanpa kuah. Seret dan susah saya telan.
“Kamu beneran mau kawin?” tanya saya.
“Betul, Tuan. Saya sudah mantap jiwa raga untuk menikah tahun ini. Calon suami saya orang baik,” Jemini menjawab dengan lancar.
Di satu sisi saya bahagia karena ajaran saya kepadanya untuk percaya diri berbicara dengan siapa saja diterapkan dengan baik oleh Jemini. Tapi, di sudut lain saya sedikit ketakutan. Melepas Jemini keluar rumah sama sedihnya dengan melepas seorang anak perempuan yang akan dipinang orang. Meskipun saya hanya seorang majikan yang tidak punya hak 100% atas diri Jemini. Ia memang ditakdirkan berkasta setingkat lebih rendah daripada saya, tetapi ia adalah manusia merdeka dalam mengambil keputusan.
Pertama kali saya bertemu dengan Jemini, ketika saya menjemput Garcia, putri saya, usai menghabiskan liburan di rumah nenek dari pihak almarhum istri saya. Garcia sebagaimana anak-anak lainnya menganggap liburan di rumah nenek seistimewa apa-apa yang terjadi di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia.
Mobil saya masuk garasi rumah mertua saya, dan Garcia cemberut di teras. Wajahnya dijejali bentol-bentol merah habis dihajar aneka serangga. Garcia tanpa babibu langsung masuk mobil tanpa pamit kepada neneknya. Sedangkan saya, sebagai menantunya, harus tetap memberi hormat, minimal menyapa. Saya masuk sebentar dan di sanalah ada Jemini.
“Maafkan kelakuan Garcia, Ibu,” saya mengecup punggung tangan mertua perempuan saya. Aromanya masih sama dengan yang terjadi di saat pertama kali saya berkunjung ke rumah ini untuk meminta anak perempuannya menjadi istri yang kemudian menjadi ibu Garcia. Meski umurnya tak lama, karena di saat Garcia berusia tiga tahun, truk pembawa galon air menabrak istri saya yang sedang joging sore hari.
“Tidak masalah. Garcia sudah remaja, tidak lagi anak-anak seperti setahun atau dua tahun lalu,” jawab mertua saya.
“Iya, Tuan,” suara Jemini menyela, yang tentu kala itu saya belum mengenal namanya.
“Ini Jemini, keponakan jauh. Dia putus sekolah karena yatim-piatu. Daripada macem-macem, biar dia di sini bantu-bantu pekerjaan rumah,” ibu mertua saya menjelaskan.
Saya yang sudah mulai pekak dengan bunyi klakson dari Garcia yang sudah mulai bosan dan ingin segera pulang, hanya menyeruput teh yang dihidangkan Jemini. Kemudian menyambar sekerat kue talam. Saya kunyah sebentar. Saya tak menangkap apa-apa di wajah Jemini, selain keluguan dan keuletan seorang wanita.
Awalnya saya tidak punya niat untuk menjadikan Jemini sebagai pembantu. Meski saya sudah lama menduda dan belum menemukan kembali wanita yang cocok untuk menjadi ibu tiri Garcia. Saya bisa mengerjakan semuanya seorang diri. Mulai dari memasak nasi goreng berbalut telur untuk bekal Garcia, mencuci-setrika, mengepel, hingga memilih motif sarung bantal yang pas dipajang di kursi tamu.
Tapi ada satu hal yang saya tidak bisa kerjakan. Dua bulan setelah pertemuan tanpa sengaja dengan Jemini di rumah ibu mertua saya, Garcia menjerit pagi-pagi. Saya yang masih menyapu sambil menunggu nasi putih matang di mesin penanak, kelabakan. Garcia menjerit kemudian menangis di kamar mandi.
“Kamu kenapa?” tanya saya. “Jatuh?”
“Papa, paha Garcia berdarah!” jawabnya dari dalam kamar mandi.
Saya segera membuka paksa pintu kamar mandi, karena khawatir kalau-kalau Garcia terjatuh dan terluka. Bukan luka darah ternyata. Tapi merah darah anak perempuan yang beranjak dewasa. Semenjak itu saya menyadari bahwa saya bisa memberi kasih sayang sebagaimana ayah sekaligus ibu untuk Garcia seperti yang sudah saya lakukan. Tetapi bila Garcia sudah semakin besar, mau tidak mau saya harus menjaga jarak. Garcia membutuhkan perempuan dewasa untuk menjelaskan hal-hal keperempuanan yang tak bisa saya jelaskan.
“Jemini saja. Dia baik, kok!” usul ibu mertua saya saat keinginan mempekerjakan seorang pembantu perempuan yang tidak terlalu tua dan bisa diajak Garcia bercerita banyak hal soal kewanitaan. Jadilah Jemini menjadi orang ketiga di antara saya dan Garcia.
***
“Tuan Busu Klarten, apakah saya boleh menumpang sementara di paviliun belakang setelah menikah?”
Lamunan saya sontak tercabut oleh suara halus Jemini. Ia selama ini memang telah saya anggap lebih dari sekadar babu. Jemini memang membantu menyajikan makanan, mencuci, dan mengepel. Tapi Jemini punya peran lebih, yaitu soal mendidik Garcia tentang bagaimana tubuh wanita berubah sesuai umur.
“Sebelumnya, apa kamu sudah betul-betul ingin kawin? Saya hanya khawatir suamimu hanya akan merusak masa depanmu yang masih panjang,” jujur saya masih belum rela Jemini kawin, dan Garcia akan kehilangan guru di rumahnya.
“Babu seperti saya tak punya masa depan, Tuan. Paling-paling cuma jadi istri sesama babu. Dan kemudian menjadi babu bagi suami dan anak-anaknya nanti.”
Ini yang saya kagumi dari Jemini. Meski tak pernah sekolah SMP, tapi Jemini paham betul cara bicara dan menyatakan pendapat.
Jemini berdiri dan memandang mata saya. Saya tahu ada keyakinan yang menggelora di dada Jemini, yang saya sendiri kadang tak menemukannya di dalam diri saya.
“Hanya sebulan, Tuan Busu Klarten. Suami saya tidak punya tabungan lebih untuk menyewa pondokan. Bagaimana, Tuan Busu Klarten?”
Saya hanya mengangguk.
Perkawinan Jemini dan suaminya yang kemudian saya ketahui namanya Paregrek tak pantas disebut perkawinan. Mereka hanya menikah di depan pemuka agama dan kedua orangtua masing-masing. Saya dan Garcia hadir sebagai saksi. Perkawinan mereka diadakan di pekarangan belakang rumah saya. Tak jauh dari paviliun yang Jemini minta sebagai tempat tinggal sementara bagi keduanya.
***
Setelah menikah, Jemini masih bekerja di rumah saya. Dia makin sumringah. Makin segar dan makin ulet. Sedangkan Paregrek benar-benar tak berguna. Dia hanya duduk-duduk saban hari. Dia tidak punya pekerjaan tetap. Saya kemudian jatuh iba kepada Paregrek, yang hanya mengandalkan panggilan jikalau ada ledeng tetangga rusak dan sayangnya itu tak setiap waktu ada. Paregrek kemudian saya beri tanggung jawab untuk merawat kebun, memberi pakan burung, dan kalau malam menjaga keamanan rumah. Apa saja asal saya tidak melihat Paregrek menganggur. Saya benci lelaki yang hanya luntang-lantung.
Setiap pagi, seusai Jemini mendandani Garcia dan menyiapkan sarapan buat saya, dia akan kembali ke paviliun menemui Paregrek. Saya tidak pernah iri kepada mereka yang tampak begitu bahagia usai pernikahan. Namun diam-diam mata saya berlari ke gorden dan mengintip apa saja yang Jemini dan Paregrek lakukan.
Seperti pagi ini, setelah Jemini mohon pamit ke paviliun belakang untuk menemani Paregrek sarapan, saya diam-diam mengikutinya. Jemini masuk ke paviliun dan saya mengintip dari jendela kaca.
Paregrek ternyata masih tertidur. Wajahnya benar-benar tak mempesona. Tua dan sekarang tambah tua karena pekerjaan yang saya berikan memaksanya berpanas-panas kala siang dan begadang bila malam.
Jemini menggoyang-goyangkan tubuh Paregrek. Perlahan. Namun karena gering-kerempeng, tubuh Paregrek berguncang seperti terkena gempa bahkan oleh goyangan Jemini yang perlahan. Paregrek menampik tangan Jemini, hingga istrinya itu hampir terjungkang.
“Masih pagi! Tuan Busu Klartenmu itu benar-benar kurang ajar!” Paregrek mengucek mata dan membalik tubuh memunggungi Jemini. Jemini hanya diam. Tapi saya mulai sakit. Entah oleh kata-kata Paregrek yang memaki saya atau oleh sikap kasarnya kepada Jemini.
Jari tangan saya mengepal. Ada gemuruh amarah yang meledak-ledak. Mata saya masih mencermati apa-apa yang akan dikatakan dan dilakukan dua orang babu saya yang ternyata diam-diam menjelek-jelekkan saya.
Tiba-tiba Paregrek bangun dan merangsek tubuh Jemini. Jemini tak berani menolak. Tapi matanya mata yang masih sama dengan mata yang setahun lalu saya temui di rumah mertua saya meronta menjeritkan rasa tertekan dan nganga lara. Paregrek memasukkan tubuhnya ke tubuh Jemini. Saya terbakar emosi. Entah oleh perilaku Paregrek atau oleh jeritan tertahan di mata Jemini.
Mata saya mencari apa saja yang bisa saya gunakan sebagai senjata. Linggis. Saya menemukan linggis. Saya mendobrak pintu. Jemini dan Paregrek seperti dua ekor kelinci yang menggelepar usai musim kawin. Mata keduanya melotot melihat saya mengacung-acungkan linggis.

Catatan:
Jemini diambil dari judul novel Suparto Brata yang terbit 2012, sedangkan Busu Klarten nama tokoh dalam cerpen Gimbol karya Budi Darma.

Teguh Affandi, menulis cerpen, esai, dan ulasan buku di berbagai media. Memperoleh Green Pen Award, Juara Sayembara Cerpen Femina, dan Pena Emas PPSDMS Award.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.

Kutipan Beautiful Rendezvous

Jadi karyawan itu harus profesional. Jangan campurin urusan perasaan dengan pekerjaan. (hlm. 97)
Jatuh cinta kepada sesama pegawai bank? Siapa takut! (hlm. 67)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Hidup seperti air yang mengalir, dari hulu ke hilir. Kadang yang dilewatinya datar, kadang curam, kadang berbatu agar sampai ke tempat yang tenang. (hlm. 25)
  2. Cinta itu kadang bukan soal chemistry atau nggak. Bukan juga soal banyaknya kesamaan atau sedikitnya perbedaan. Pada akhirnya yang terpenting adalah selalu merasa nyaman berada di dekatnya. (hlm. 33)
  3. We have to realize that some people can stay in our heart but not in our life. (hlm. 37)
  4. Sepatah hatinya seorang wanita, nggak mungkin dia menolak pria yang bersungguh-sungguh mencintainya, berusaha untuk membuatnya bahagia. (hlm. 39)
  5. Kadang, kita harus mencoba mencari rasa manis dari rasa pahit itu sendiri. (hlm. 78)
Beberapa kalimat sindiran halus dalam buku ini:
  1. Jangan mempersulit diri sendiri. (hlm. 12)
  2. Butuh istirahat buat meredakan sakit kepala. (hlm. 26)
  3. Namanya juga pekerjaan, nggak ada yang enak kecuali pas bonus, gajian sama THR. (hlm. 30)
  4. Seharusnya pekerjaan cuma pengisi waktu di antara weekend. (hlm. 31)
  5. Lo yakin menjalin hubungan beda agama? (hlm. 33)
  6. Apakah bisa bertahan di tengah isu tentang perbedaan agama yang makin hari makin santer terdengar? (hlm. 33)
  7. Sejak kapan lo bisa seenak-enaknya menilai seseorang? (hlm. 36)
  8. Kalau lo kenal sama gue, lo nggak akan membiarkan diri lo menyimpan sedih sendiri. (hlm. 36)
  9. Buatnya cewek cantik nggak ada apa-apanya dibandingkan cewek yang pintar cari duit kayak lo. (hlm. 40)
  10. Kamu ini makannya banyak tapi tetap aja kurus. (hlm. 52)
  11. Jangan pernah berharap ada laki-laki yang akan jatuh cinta dan mau menikahi. (hlm. 57)
  12. Lebih dari setengah masyarakat di Indonesia ini sudah dilabeli sebagai pemilik jam karet. (hlm. 71)
  13. Kau mati karena asap rokok ini? (hlm. 98)
  14. Semoga saya tak menjadi orang jahat ketika Tuhan memanggil. (hlm. 111)
  15. Lo kan ganteng, pinter, kok bisa ngejomblo lama sih? lo yakin, lo nggak gay? (hlm. 113)
  16. Hari gini masih main comblang-comblangan. (hlm. 114)
  17. Untuk apa kami sekarang berpacaran kalau pada akhirnya nggak menikah? (hlm. 120)

Kutipan Alang

Kau hanya perlu bersungguh-sungguh. Bukan untuk membuktikan pada orangtua atau pada siapa pun. Tapi buktikan pada dirimu sendiri, bahwa kau bisa. (hlm. 205)
Apa pun pilihanmu, jika kau yakin benar-benar mencintai dan mau hidup di dalamnya, maka jadikanlah pegangan yang kuat. Keyakinan dan kemauan untuk bekerja keras itu akan menjawab semua pertanyaan. (hlm. 185)
“Hidup di dunia nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya duit! Dan duit tak bisa kau dapatkan dengan bergelut di bidang seni. Seni itu omong kosong. Seni itu tak bisa menghidupi, yang ada malah membuatmu mati lebih dini.” (hlm. 26)
“Sekolah apa saja, asal tidak ada hubungannya dengan dunia hiburan, seni, biduan, dan orang-orang yang bila kita tonton di televisi selalu ditabur gemerlap lampu panggung.” (hlm. 118)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Jalani hidupmu. Hadapi kenyataan. (hlm. 18)
  2. Hidup itu harus seimbang, ya ke atas, ya ke samping. (hlm. 29)
  3. Kalau kau tak mau hidup sengsara, bekerja saja mencari tambahan duit sejak sekarang. (hlm. 33)
  4. Orang pandai karena mau belajar dan latihan. Tidak cuma masalah bakat. (hlm. 41)
  5. Membaca adalah salah satu cara melupakan kesedihan sekaligus kemarahan. (hlm. 43)
  6. Imajinasi seringkali membantu memberi dorongan seseorang untuk meraih mimpi. (hlm. 71)
  7. Semakin dini persiapan, akan semakin baik hasil akhir yang diberikan. (hlm. 73)
  8. Bila itu pilihanmu, kau harus tekun dan berhasil. (hlm. 92)
  9. Tak setiap keinginan bisa terwujud begitu saja. (hlm. 109)
  10. Memiliki anak yang sukses adalah salah satu cita-cita orangtua. (hlm. 114)
  11. Belajar itu mengenai perihal kesenangan, bukan begitu? (hlm. 146)
  12. Kau sendiri yang mengambil keputusan, maka yang menjalani dan bertanggung jawab atas hidup kau pilih adalah dirimu sendiri. (hlm. 154)
  13. Kehidupan memang tak pernah terlalu lama memberi kemudahan dan kebahagiaan. (hlm. 183)
  14. Hidup tak melulu memberi kemudahan, bahkan kerap melimpahkan kesulitan yang luar biasa kerasnya. (hlm. 187)
  15. Apakah keputusan baik dan buruk harus bergantung pada persetujuan orang lain? (hlm. 199)
  16. Pasrah bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Manusia tetap harus berusaha. Bila usaha yang dilakukan kemudian diberi hasil sesuai keinginan, ya matur nuwun. Namun bila tidak diberi hasil sesuai pengharapan atau malah gagal, ya tetap matur nuwun. (hlm. 224)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kenyataan hidup yang keras seringkali tanpa ampun mengubah penampilan seseorang dengan cepat. (hlm. 4)
  2. Orang kaya gemar bicara omong kosong. (hlm. 7)
  3. Kau memang begitu gigih mengejar mimpi, meski harus jatuh berkali-kali. Sayangnya kau tak pernah mau kompromi, bahkan saat melihatku kesulitan. (hlm. 7)
  4. Hidup telah terlalu jauh berjalan ke depan. Dalam menjalani kenyataan, tak elok dan tak ada manfaatnya bila terlalu sering berkata ‘seandainya’. (hlm. 8)
  5. Buat apa beradu mulut dengan orang hilang akal? (hlm. 17)
  6. Orang tidak waras malah dikunjungi dan didengarkan perkataannya. Kalau sudah demikian, lalu siapa yang sebenarnya gila kecuali si penangkap itu sendiri! (hlm. 23)
  7. Hidup ini keras dan kejam. Kau mengira hanya dengan banyak membaca, menulis, dan mendengarkan cerita maka semua permasalahan hidupmu mudah teratasi? Hal itu hanya akan terjadi di dunia mimpi. (hlm. 25)
  8. Anak kok ditakuti untuk punya cita-cita. (hlm. 27)
  9. Bagaimana nanti remaja itu berani tempur ketika dewasa, jika sedari kecil apa-apa sudah disiapkan? Yang ada, mereka akan tumbuh menjadi manusia lembek. (hlm. 27)
  10. Cewek kok galaknya kayak setan alas. (hlm. 33)
  11. Membicarakan keburukan orang lain padahal sosoknya sudah tak terlihat itu tidak baik. (hlm. 46)
  12. Mencari duit itu memang sulit. (hlm. 50)
  13. Dasar keedanan cinta. Jangan terlalu berlebihan. (hlm. 61)
  14. Berisik hanya menambah masalah. (hlm. 62)
  15. Masa lalu memang pahit. Tidak usah lagi diungkit-ungkit. (hlm. 67)
  16. Anak zaman sekarang bila ditegur pasti marah. Bila didiamkan, amak keburukannya akan semakin menjadi. Repot. (hlm. 67)
  17. Judi adalah jalan satu-satunya jalan keluar bagi orang kepepet yang berpikiran sempit. (hlm. 68)
  18. Pekerjaan yang tidak memiliki masa depan hanyalah yang tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh. (hlm. 77)
  19. Saat bicara mengenai cinta, yang dilihat cewek zaman sekarang bukanlah mengenai ketulusan hati, tapi apa boncenganmu. (hlm. 85)
  20. Apa enaknya bicara dengan sekelompok remaja yang tak bisa berpikir dan bekerja? (hlm. 97)
  21. Membantu itu tak boleh setengah-setengah. (hlm. 103)
  22. Betapa orangtua gemar sekali membanding-bandingkan juga menuntut supaya anak berprestasi. (hlm. 109)
  23. Jatuh cinta barangkali memang membuat orang-orang menjadi bodoh. (hlm. 182)
  24. Begitu gampang melepas kemudahan yang diberikan oleh Tuhan, sementara ada banyak orang lain di luar sana yang berharap ada di posisi kalian. (hlm. 194)
  25. Mimpi itu hanya untuk seorang pemenang, bukan pecundang. Pemenang itu artinya yang tidak mogol atau berhenti di tengah jalan – pada apa pun pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski cita-citanya dan cintanya kandas, ia akan segera pulih. (hlm. 195)
  26. Mengapa orang bisa begitu saja membelok dari jalan utama pilihan hidupnya? (hlm. 202)
  27. Mengejar keinginan tak semudah yang diduga. (hlm. 205)
  28. Barangkali hanya orang kaya yang bisa bertahan mewujudkan cita-cita di Jakarta. (hlm. 206)

Nini Rumi



Nini Rumi ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Nini Rumi ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Rumah panggung. Biliknya jelek. Nini Rumi cuma mengenakan kutang. Melamun sambil merokok. Rambutnya tipis, uban melulu. Giginya terlihat jarang dan hitam. Kulitnya keriput, tinggal tulang. Dari jendela, menatap ke arah pekarangan yang tersiram cahaya lembayung. Terkadang terdengar bersenandung, bernyanyi sendiri. Seakan sedang merentang jauh benang kenangan. Asap rokok diembuskan. Melayang ke atas, ia seperti ikut melayang, ikut terbang memburu langit senja yang ngungun.
Ada yang datang berselempang lodong, pulang menyadap, melirik yang larut dalam lamunan. Sementara yang dilirik asyik sendiri gumerendeng sambil menatap langit dari sela-sela daun kelapa. Tupai berlarian. Sepasang. Burung tekukur terperanjat. Kabur menuju pohon yang lainnya.
“Iyéééé, ieung, ééééééé… Tuh nya, Kang, kacida teuing, geura bobot geuning da geuning geura ayon geura timbang tarajukeun, mun bogoh sok geura lakon mun hayang geura lajukeun, ayeuna sia nu lénjang, éééééé, méga malang nya talang soré…” *) Nini Rumi asyik bernyanyi. Bolak-balik dalam kenangan. Ia teringat ke huma, ke hutan. Bayangan zaman mencari kayu bakar, menyabit rumput juga bertani. Semuanya suka ia lakoni dengan bernyanyi.
Begitulah, selalu saja segalanya dinyanyi kan. Sebagian ia masih hafal. Zaman dulu begitu banyak wawangsalan, sisindiran, atau paparikan yang di senandungkan kala sendiri. Teman sunyi di tengah hutan. Ketika sepi sunyi sendiri. Bukan wangsal sembarangan. Ia mesti mengikuti ronggeng sekadar untuk menghafal lirik dari nyanyi an yang sangat ia gemari.
Berbulan-bulan ia setia mengikuti Ma Nisem. Ronggeng kahot zaman itu. Begitulah, tidak langsung berguru, ia mencuri-curi dengar jika sedang mencari kayu bakar, atau menyapu, atau saat bekerja di huma, atau sedang di dapur. Mengikuti hidup Ma Nisem, yang sepanjang waktu selalu mengalirkan nyanyiannya, diam-diam dihafalkan. Kadang memaksakan diri menonton Ronggeng Gunung juga bukan untuk mencari bujang seperti yang lain, sekadar ingin mendapatkan dan menghafal nyanyiannya.
“Merdu suaramu itu, sekali-kali ikutlah main ronggeng, jangan diam saja di hutan,” pernah Ma Nisem berujar ketika ia sedang membantu menyapu daun-daun di pekarangan rumahnya.
“Ah, tidak mau, Ma. Cuma ingin hafal wangsalnya, untuk teman di hutan,” jawab Nini Rumi selalu begitu dan begitu saja setiap kali diajak untuk ikut menjadi ronggeng. Padahal teman-teman seusianya berlomba-lomba ingin menjadi ronggeng. Nini Rumi tak pernah sekalipun terpikat, apalagi ditambah larangan menjadi ronggeng dari orang tuanya.
Namun ia tak pernah berhenti untuk belajar dan menghafal. Hingga pada akhirnya seluruh wawangsalan, sisindiran, dan paparikan dari Ma Nisem, yang merupakan lirik nyanyian Ronggeng Gunung turun semua kepadanya. Malah, tak jarang Nini Rumi menciptakan sendiri lirik yang sesuai dan masuk ke dalam iramanya. Untuk kebutuhan dan dimainkan sendiri, pikirnya. Sekarang Ma Nisem tinggal kenangan. Ronggeng Gunung juga sudah lama tak terdengar kabar ada yang meneruskan.
Di hutan, nikmat sekali untuk bernyanyi. Begitu rasa Nini Rumi. Di antara sela-sela pepohonan dan rumpun, mempertemukan sunyi pada dahan dan daun, bertukar irama dengan burung-burung. Berbalas nyanyian dengan angin. Serasa sampai mempertemukan kerinduan dengan yang tak terlihat. Nyanyian ibarat jembatan untuk sampai pada yang tak terjangkau.
Sambil memungut ranting kering, mengumpulkan kayu bakar, nyanyiannya tak pernah usai, selalu saja mendadak ada suara waditra dalam dadanya. Suara gendang, gong, dan kenong muncul merengkuhnya. Serasa tumbuh dari batu, dari daun, dari burung. Tumbuh dari gunung.
Akhirnya, lirik nyanyian juga sering muncul, hidup dan mengalir sendiri. Kata-kata dan kalimat yang baru, bukan hasil belajar dari Ma Nisem, lahir begitu saja. Terkadang suka ada yang menjawab dari jauh, dari yang sama-sama sedang berada di hutan. Ia tak pernah ingin tahu siapa orangnya. Sama-sama berjumpa dengan irama dan nyanyian. Saling berbalas dengan penghuni hutan.
“Iéééééé… Seureuh lain di jambé lain, samayang mah buah dalima, beubeureuh lain bébéné lain melangna kabina-bina…” *) Begitu Nini Rumi bernyanyi di tengah hutan.
“Tikukur mah ngariung tilu, nu hiji mah bayangan sumpit, aya bujang ngariung tilu, nu hiji mah bawaeun balik…” *) Sering ada yang membalas begitu. Menerobos dedaunan, terbawa angin.
Sering terdengar senggakan dari sekeliling. Tidak pernah diketahui siapa, karena memang tak ada siapa-siapa. Senggakan yang setia di setiap langkahnya. Lantas langkahnya akan terasa melayang. Melayang ke seluruh hutan. Seperti yang tamasya ke setiap jengkal hutan. Kalau sedang begitu, hutan serasa rumah sendiri. Setiap pepohonan dan satwa betapa ramah.
“Nini mau ke mana?” Ada suara anak perempuan dari dalam rumah, memanggil Nini Rumi yang sudah bangkit melangkah melintasi pekarangan.
“Nini mau ke mana?” Panggilan diulang. Kepala anak perempuan muncul dari pintu, matanya khawatir menatap Nini Rumi yang tetap melangkah menjauh, ke arah kebun.
“Paling juga ke tampian.” Ada yang menjawab dari dalam rumah. Suara kakek-kakek.
“Oh, nanti saya susul jika sudah selesai menanak nasi.”
“Iya, biar tidak keasyikan di tampian. Nini kamu itu sering lupa waktu kalau tenggelam dalam kenangan. Dulu juga sering tersesat semalaman di hutan. Sering dianggap hilang.” Suara batuk rejan di akhir kalimat.
Sedang Nini Rumi sudah memasuki jalan setapak yang membelah kebun. Menurun sebentar, berjumpa sungai kecil. Dangkal. Jernih. Tatapannya mendadak bercahaya. Ada langit berbayang di bibir air. Langit senja bercampur batu-batu sungai. Pelan diinjak oleh Nini Rumi. Kakinya masuk ke dalam air yang bening. Bibirnya tetap gumerendeng. Bernyanyi. Sedikit lebih keras. Seakan memanggil yang tak terlihat.
“Mandi ka leuwi, hayang seubeuh da geuning teuteuleuman, iraha mah patepang deui, hoyong wareg sasa rengan…” *) Nini Rumi sudah menyeberangi sungai. Naik ke arah jalan setapak yang mengarah ke kebun bambu. Tangannya lembut mengelus setiap aun yang terlewati. Tonggeret menjerit-jerit seakan menyambut yang melangkah ke batas hutan.
“Selamat datang, lama nian tak dikunjungi. Rindu sudah melimpah. Selamat datang.” Tiba-tiba saja ada yang menyambut. Sepasang jejaka. Tampan. Mengenakan pakaian putih-putih. Sejenak Nini Rumi mematung. Terkejut. Ia merasa pernah berjumpa dengan raut wajah dan perawakan sepasang jejaka itu. Nah, berkelebatan dalam kenangan. Berpuluhan tahun silam. Di tempat ini kala itu berjumpa. Kok masih nampak tampan. Gagah. Tangan Nini Rumi mengusap kulit wajah sendiri, matanya menatap kulit tangannya sendiri yang keriput.
“Selamat datang di mana, Ujang?” tanya Nini Rumi sambil menatap jalan setapak yang dibalur warna lembayung. Daun-daun gemerlap keemasan. Lawang hutan benderang cahaya langit. Seandainya bisa ia ingin memanggil akang ke pada sepasang jejaka itu, ya, terkenang ingatan masa silam yang tiba-tiba datang menampakkan diri. Rahasia yang selama ini di simpannya rapat-rapat.
“Sudah lama sekali tidak mengantar kami. Kerajaan hutan rindu teramat sangat. Itulah kenapa sekarang dijemput, semuanya sudah menunggu.” Salah seorang dari dua jejaka itu menjawab sambil menggamit mesra lengan Nini Rumi. Satunya lagi dengan hati-hati memasangkan kebaya dan selendang. Nini Rumi diam saja.
“Masa? Apakah ini bukan mimpi. Sudah bukan zamannya lagi. Sudah nenek-nenek sekarang ini. Bukan zaman masih gadis, gesit mencari kayu bakar ke dalam dada hutan.” Nini Rumi berjalan direngkuh dan diapit oleh dua jejaka itu.
Mendadak ada suara. Suara hutan memanggil-manggil. Seisi hutan terdengar memanggil. Memanggil namanya. Memanggil mesra.
“Sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bernyanyi dari rumpun ke rumpun, dari dahan ke daun. Yang ada hanya suara bedil dan gergaji yang setiap saat mengiris hutan. Lagi pula, tua dan nenek-nenek itu di kampung, tapi di sini, di kerajaan kami ini tak ada yang rapuh karena umur,” salah seorang menjawab lagi sambil tersenyum.
Nini Rumi serta dua jejaka itu perlahan menembus hutan, menembus cahaya senja, menembus daun. Dari pohon ke pohon. Rumpun ke rumpun. Semakin lama semakin cepat. Seakan melayang.
Nini Rumi mendengar beragam nyanyian yang berpuluh tahun silam pernah akrab dan intim dengan dirinya. Senandung memenuhi udara. Bangkit lagi lirik dan irama. Semakin menembus jauh, semakin menggema suara tabuhan khas. Gong, kenong, dan gendang. Menggema. Memanggil-manggil.
Lembayung surup. Kunang-kunang mengedip dari setiap daun. Pelan purnama merayap di langit. Semakin jauh melangkah melayang. Menuju gema, menuju panggilan. Tepat ketika bulan mulai melahirkan bayangan. Cahaya menetas dari kejauhan. Seperti benih-benih cahaya yang ber tebaran. Ternyata puluhan obor. Seakan sengaja ditebar di  tengah hutan. Tegalan benderang api unggun.
“Selamat datang, Rumi. Lama nian tak ada nyanyian di kerajaan hutan. Ke mana saja, Jung junan. Lekaslah masuk kalang bawakan cahaya bagi kami semua. Panjak sudah gaduh sejak tadi. Ditunggu-tunggu setiap waktu. Selamat datang, lekaslah ajak kami berputar melingkar, ajaklah m langkah cinta ini.” Ada suara penuh wibawa menyambut dengan. Dua jejaka langsung mundur dan menghilang.
Nini Rumi takjub dengan penglihatannya yang mendadak jelas lagi menatap dalam gulita. Api unggun dan obor. Kunang-kunang. Banyak yang berkumpul, semuanya memakai sarung untuk menutup kepala, menyembunyikan wajah. Berdesakan di beberapa tempat seperti sedang hajatan. Lebih ramai dibanding yang ada dalam gambaran, yang sering hadir dalam telaga kenangannya.
Tetabuhan khusyuk dalam iramanya. Nini Rumi berjalan mengelilingi api unggun. Nampaklah para panjak. Seperti ada yang membetot dengan halus, sukma dan raganya, ia berjalan mendekat. Berdiri sekejap seakan tenggelam dalam irama. Lirik nyanyian mekar begitu saja dalam napas dan darahnya.
“Ieeeeung, kudup turi, mandodok bulan dadari….”*) Nini Rumi pelan gumerendeng, seperti merapal mantra. Lengan kirinya menempel di pipi hampir ke kuping, kepala sedikit miring, ancang-ancang. Bernyanyi merdu dan dalam, lengan kanannya mengembang, bergerak sedikit-sedikit mengiringi irama dan nyanyian.
Suaranya merambat jauh. Menggerakkan segalanya. Segala yang tersentuh oleh cahaya api. Api bergerak. Segala yang teraba oleh cahaya bulan. Bulan bergerak. Segala yang berada dalam gelap. Gelap bergerak.
Nini Rumi menggerakkan hutan. Menggerakkan sunyi. Bergeraklah segalanya mengiringi usik Nini Rumi. Lagu pertama. Lagu kedua. Lagu ketiga sambil menari seperti melayang.
“Kembang siang di mara désa, kembang malati di jambé, ari hayang geura bébéja, bisi kapirandi kuring…” *) Masuklah mereka yang kepala-kepalanya dilindungi sarung. Masuk ke dalam kalang, lingkari Nini Rumi yang terus bernyanyi dan menari. Berputar membuat lingkaran. Melangkah seirama. Hanya kaki yang terlihat jelas. Ke atasnya terlindung sarung. Hanya sorot mata yang nampak menembus kerudung sarung. Sorot mata ungu kebiru-biruan. Puluhan pasang mata ungu kebiruan mengelilingi Nini Rumi. Melangkah seirama. Semakin banyak yang memasuki kalang. Dari nyanyian ke nyanyian. Nini Rumi larut. Yang menari berputar melingkari Nini Rumi, yang asyik berputar sendiri. Api unggun semakin berkobar. Bulan semakin benderang.
Semalaman segalanya berputar melayang. Api. Bulan. Gelap. Hutan. Sunyi.
Hingga tiba subuh. Fajar berkelebat. Di kalang Nini Rumi diapit dua jejaka yang tadi sore menjemputnya.
“Bagaimana, tetap mau pulang? Atau selamanya akan menemani kami di sini? Mengantar asih kami, cinta kami kepada yang jauh, yang tak terjangkau.” Salah seorang bicara sambil selalu tersenyum. Senyumnya terbakar sisa api unggun yang masih berkobar.
“Ah, ingin pulang saja, seperti biasa, seperti dulu,” ini Rumi melihat berkeliling. Orang-orang yang semalaman menari lenyap begitu saja.
“Baiklah jika memang begitu keinginanmu. Tapi, ingatlah, jangan melihat ke belakang jika sudah kami antar pulang.”
“Barangkali ini kali terakhir, ya? Usia sepertinya sudah mengajak mengembara ke tempat yang entah.” Nini Rumi mendadak bersedih.
“Itulah, lebih baik di sini. Di sini tak sentuh usia.” Dua jejaka itu bicara bersamaan. Begitu berharap Nini Rumi mau tinggal selamanya bersama mereka.
“Ah, aku ingin memeluk cucuku sambil menunggu waktu.” Nini Rumi mengajak mereka lekas melangkah. Diam sepanjang perjalanan. Matanya basah. Dua jejaka itu memegang tangannya di kiri dan kanan. Diiringi geliat fajar. Menembus hutan. Pepohonan demi pepohonan. Sepanjang jalan setapak seperti asyik dengan diri masing-masing. Mata Nini Rumi makin basah.
Sampai kelawang hutan sudah terang. Kicau burung. Kilau embun.
“Sampai sini. Selamat tinggal! Kerajaan hutan selamanya merindukan. Asih dan cinta dari hutan,” ucap dua jejaka sebelum berhenti dan berbalik. Kembali ke hutan.
Nini Rumi mengangguk sambil menatap ke depan, menunduk ke arah sungai kecil yang mesti diseberangi. Entah sudah berapa kali dalam ingatan dan kenangannya, dijemput di sini sekaligus juga diantar pulang sampai sini. Selalu saja tidak boleh menatap ke belakang. Sekarang, sekarang kepenasaran tak bisa di kalahkan. Mendadak ia ingin menatap mereka yang mengantar pulang. Ingin mengucap terima kasih. Lagi pula, kebaya dan selendang masih dipakainya. Biasanya akan mereka bawa pulang.
Nini Rumi pelan berbalik sambil mengacungkan tangan hendak memanggil. Dua jejaka itu ternyata berjalan merangkak. Tubuh mereka berubah belang dengan ekor yang panjang.
Mereka ternyata sepasang harimau. Nini Rumi melotot dan terjengkang jatuh terguling ke sungai. ***

Ciamis, 2011–2016
*) Lirik lagu-lagu kesenian Ronggeng Gunung

Toni Lesmana, lahir di Sumedang, Jawa Barat. Menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Buku yang telah terbit, himpunan cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-Kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), kumpulan puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.

Harapan



Tak ada yang salah dengan harapan
Hakikatnya manusia selalu memiliki rasa berharap di hatinya
Akan tetapi pada siapa harapan itu kita tujukan?? Saat ini..
Begitu banyak manusia yang merasakan pahitnya dari sebuah harapan
Berharap karena cinta pada manusia
Berharap karena pertolongan dari manusia
Berharap dari kebaikan manusia
Lalu bagaiman harapan mu pada Allah?
Sering kali kita lupa bahwa harapan yang sebenenarnya adalah pada Allah semata
Hanya pada Allah..
Sering kali kita terlupa bahwa
Manusia adalah tempat melakukannya kesalahan
Maka tak pantas kita berharap lebih pada manusia karena ia tak dapat menjanjikan diri akan selalu memberikan yang terbaik

Tapi Allah...
Allah tak akan mengecewakan harapan mu
Jika harapan itu jatuh hanya pada Allah
Mungkin Allah akan menguji
Sebab Dia ingin melihat kesungguhan kita
Kesabaran kita
Keikhlasan kita

Tapi tau kah kita bahwa buah dari kesabaran itu sangat manis terasa
Allah hanya menyuruh kita menunggu
Sebab harapan indah yang kita inginkan akan terasa lebih indah jika ada kesabaran menanti harapan yang akan berwujud dengan manis
Jangan menaruh harapan lebih pada manusia
Karena kekecewaan akan kita dapatkan
Letakkan harapan itu pada Allah semata
Maka Allah akan menjawab semuanya dengan hal yang tak di duga-duga

Sebab apa yang baik menurut kita belum tentu baik di mata Allah
Apa yang tak baik di mata kita belum tentu tak baik di mata Allah
Allah lah tempat yang paling tepat untuk menaruh harapan

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Semua mimpi kita dapat terwujud,

asalkan kita punya keberanian untuk
mewujudkannya" - Walt Disney
Dear Hanihyung,
Semua orang diciptakan istimewa oleh
Tuhan dengan bakatnya masing-masing.
Tapi terkadang mereka terhalang oleh
pikirannya sendiri dalam
mengembangkannya.
Zig Ziglar, motivator dunia
mengkategorikan orang-orang  yang
tidak mengembangkan bakatnya ke dalam
4 golongan.
Orang pertama adalah yang menyangkal
dirinya memiliki bakat. "Ah, saya
tidak punya bakat apa-apa"
sangkalnya. Ia merasa tidak perlu
berbuat sesuatu atau berkontribusi
bagi orang lain atau kehidupan umat
manusia.
Orang kedua suka menunda-nunda. "Saya
memang punya bakat. Tapi, tidak
sekarang mengembangkannya. Mungkin
besok, lusa atau nanti sajalah"
begitu alasannya.
Orang ketiga adalah yang merasa
takut. "Sebetulnya saya ingin
mengembangkan bakat saya. Tapi takut
gagal, daripada saya ditertawakan
orang, lebih baik saya diam saja,
bukankah lebih aman?" itu selalu yang
dikatakannya.
Orang keempat tidak mau bertanggung
jawab. Dia selalu berdalih bahwa
orang lain atau keadaanlah yang
salah. "Bagaimana saya dapat
mengembangkan bakat saya kalau orang
di sekitar saya dan keadaan tidak
mendukung" katanya menyalahkan
keadaan.
Hanihyung, temanku yang berbakat, saya
yakin Anda tidak termasuk dalam
keempat tipe orang tersebut. Bakat
Anda terlalu sayang untuk
disia-siakan, karena artinya Anda
menyia-nyiakan anugrah Tuhan. Tuhan
telah mendesain dan menciptakan
manusia dengan keistimewaannya
masing-masing. Kembangkan bakatmu,
kejarlah mimpimu.