Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
“Jika memandang kehidupan hanya hitam putih, maka akan buta warna.” (hlm. 7)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Bukankah selalu mengingat kebaikan-kebaikan orang adalah juga kebaikan itu sendiri? (hlm. 16)
Perjalanan hidup seseorang sulit ditebak. (hlm. 17)
Bertemu dengan orang, lalu sering berkomunikasi dengannya, itu sama saja bertemu dengan pemikirannya. (hlm. 21)
Kita diberi waktu hidup di zaman akhir. Orang-orang yang hidup di zaman akhir itu harus lebih banyak menunduk. (hlm. 39)
Jangan mudah mengkafirkan orang lain. Tidak ada yang divonis kafir, kecuali oleh ketetapan Tuhan. (hlm. 41)
Dunia dan kehidupan yang ada di dalamnya berikut mahluk-mahluknya
sudah memiliki porsi takdirnya masing-masing. Mereka semua hanya
menjalani langkah-langkahnya sambil mungkin berusaha menebak-nebak,
apakah ujung takdir dari perjalanan hidupnya di dunia ini? (hlm. 51)
Setiap manusia bakal mengalami pasang surut kehidupan juga keimanan kepada Tuhan. (hlm. 67)
Jika seseorang sudah bertemu dengan orang yang dirasa cocok diajak
berbicara untuk menyingkirkan rasa bosan, lama waktu perjalanan tak
terasa. (hlm. 78)
Keikhlasan mampu mengubah kompor menjadi emas. (hlm. 108)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Riba itu kan haram ya, tapi kenapa banyak orang yang suka melakukannya? (hlm. 14)
Sebuah pemandangan bukanlah indah menurut indra mata jasad. (hlm. 16)
Apa yang akan terjadi jika terangnya ilmu pengetahuan dimonopoli oleh manusia-manusia gelap hati? (hlm. 33)
Jika itu mimpi buruk, seharusnya lekas kamu enyahkan dari ingatanmu. (hlm. 38)
Begitulah jiwa anak muda. Bersemangat penuh, tetapi mengabaikan waspada. (hlm. 59)
Bila saja seseorang salah memahami tentang kafir dan apa itu
kekafiran, orang itu bakal terjebak dengan pendapatnya sendiri yang
salah kaprah dalam menelaah, lalu menyimpulkan soal kafir dan kekafiran.
(hlm. 70)
Perbuatan adalah cerminan isi hati. Perasaan iri dan mementingkan
diri sendiri, menyebabkan kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.
(hlm. 1)
“Mimpi buruk akan bertahan dan hilang seiring munculnya sinar fajar
pertama. Sedangkan mimpi baik akan lolos melalui lubang di tengah-tengah
lingkaran.” (hlm. 226)
Cerpen Nina Rahayu Nadea (Tribun Jabar, 08 Oktober 2017) Secangkir Kopi di Atas Meja ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
PAGI telah menyapa,aku segera buka jendela dapur. Berharap udara
segar menyongsongku. Bersegera datang mengganti udara malam nan pekat
dengan kesegaran yang siap bersemayam di paru-paru. Sesaat aku berdiri,
termangu di ambang jendela menyaksikan aneka bunga yang sengaja aku
tanam untuk menyegarkan udara serta mengisi ruang kosong halaman hati,
agar senantiasa indah berseri. Kutatap keluar kembali, mataku sedikit
menyipit karena pancaran sang surya yang mulai masuk menerobos dedaunan
dan mengena ke daun jendela juga ke arahku. Aku tersenyum puas.
Membalikkan badan untuk memulai rutinitas pagi ini. Secangkir kopi hitam
segera tersaji di atas meja makan.
Secangkir kopi hitam. Itu yang selalu aku siapkan, mengakhiri
pekerjaan lain sebagai ibu rumah tangga. Hidangan khusus. Tersaji dalam
sebuah wadah yang antik. Mug cantik, tepatnya. Berwarna putih dengan
gambar pohon kopi. Ceceran biji kopi terlihat jelas di sana. Di bawah
pohon. Mug yang kadang berganti dengan yang lain, berwarna hitam polos,
selalu berada di sini. Di atas meja makan. Sepuluh tahun senantiasa kopi
hitain itu terhidang dan selalu dengan segera suamiku menegaknya hingga
tandas. Meski di awal ia akan menyeruputnya perlahan. Menikmati setiap
seruputnya serta memandang penuh cinta ke arahku.
Ketika kopinya nyaris habis, ketika dedaknya terlihat, ia akan segera
menegaknya. Tandas. Dengan beragam cerita yang senantiasa menemani
kami. Ya, kopi hitam itu selalu menjadi ikatan antara aku dan suamiku.
Dari kopi hitam ini selalu bermula. Perbincangan hangat akan mengalir
sebelum keberangkatan ia bekerja. Kopi hitam yang selalu menjaga
kebersamaan kami. Mesra.
Sepuluh tahun kopi itu selalu tandas tak bersisa. Diselingi tawa dan
cumbunya. Selalu. Seolah tak jemu ia menikmati kopi hitam kemudian
memandang ke arahku. Tak jarang kerjanya sedikit terlambat karena
sesuatu yang harus kulayani, usai bergulat dengan kopi hitam. Semua
mengisi hari-hariku tanpa sepi. Karena kesukaannya itu, aku senantiasa
menyediakan aneka kopi terbaik hanya untuk suamiku. Sesuatu yang membuat
cinta kami berkecambah.
Sering aku ke luar rumah, jalan-jalan sekadar untuk mencari kopi yang
bagus. Kopi terbaik untuk menyenangkan suami. Aneka kopi dari Jawa
sampai kopi Papua pernah kubeli. Kopi hitam penyemangat hidup itu selalu
katamu.
Selama ia menyeruput kopi, aku selalu berada di sampingnya,
menemaninya sampai yakin bahwa kopi itu habis. Meyakinkan bahwa tak ada
yang dia perlukan dariku. Hingga akhirnya berdiri. Mengecup keningku
perlahan dan berangkat ke kantor, tentulah dengan senyun mengembang yang
senantiasa aku kenang.
Tak lepas kupandangi wajah suamiku ketika menyeruput kopi. Takut.
Sesuatu terjadi. Dari raut muka saat ia mengecap di lidah, dapat
kurasakan sesuatu yang terjadi. Kegembiraan, kegalauan, kesedihan, semua
tergambar dari raut wajahnya. Ya, aroma kopi adalah penentu terhadap
emosi suamiku. Raut muka yang selalu menyiratkan hati. Dan itu dapat
kubaca lewat kopi yang telah ia sesap.
Dan ketika malam. Menjelang ia datang. Selalu sama. Kopi hitam itu
harus terhidang di atas meja makan. Dan aku akan menyambut kepulangan
suami. Menyimpan tas kerjanya. Membuka tutup cangkir dan menyerahkan
padanya. Uap kopi akan segera memenuhi ruangan kami. Ia pun kembali akan
bercerita tentang kegiatannya di kantor dari mulai A sampai Z. Dari
kesedihan sampai kesenangan. Dan semua akan kembali tenang ketika ia
menyeruput kopi. Membicarakan segalanya ke arahku. Tentu aku
menimpalinya. Dari mulutku meluncur beberapa kalimat luituk
menenangkannya jika ia marah. Dan semua selalu berakhir dengan baik-baik
saja. Tidur dengan tenang tanpa beban. Mengolah rasa bersama setelah
aroma kopi kami pagut.
***
SEORANG perempuan cantik. Duduk di samping seorang lelaki gagah.
Menikmati aroma kopi berdua dengan penuh kehangatan. Sehangat kopi yang
baru saja diseduh oleh sang perempuan. Mereka berbicara banyak hal dari
mulai rutinitas rumah sampai kantoran. Juga tentang harapan yang akan
mereka tuai setelah bayi lahir ke dunia, merasakan kehangatan secangkir
kopi.
“Semoga anak kita menjadi kebahagiaan kita, ya, Mas.” Ia menyandarkan kepala ke bahu laki-laki itu.
“Tentu saja. Dia anak kesayanganku.”
“Anak kesayanganku, Mas.”
“Kesayangan kita berdua.”
“Apakah nantinya ia akan menyukai kopi sepertimu?” Dahi perempuan itu berkerut. Menatap laki-laki di hadapannya.
“Pastilah kopi hitam yang nikmat. Lambang keperkasaan lelaki. Meningkatkan semangat dalam segala hal.”
“Kopi hitam?”
“Kopi hitam bercampur susu,” ralat laki-laki itu. Tak banyak cakap
karena kemudian mereka telah tak bercakap. Bergelut dengan secangkir
kopi bersama mulutnya.
“Jangan kauberi anakmu sejenis kopi,” perempuan itu merenggut manja.
“Robusta… Robusta Magdalena.” Lelaki itu meloncat dari tempat
duduknya. Kegirangan. “Terima kasih, sayang. Kau telah memberiku ilham
tentang nama bayi kita.”
“Ah, Mas ini.”
“Perpaduan yang indah antara aku dan kau. Aku pencinta kopi. Dan kau Lena, Magdalenaku sayang.”
Perempuan itu tersenyum puas. Kendati tak suka dengan nama yang
diberikan laki-laki itu. Namun setidaknya tahu bahwa laki-laki di
hadapannya begitu mencintainya.
***
TERGOPOH aku buka pintu garasi. Menyambut suamiku pulang. Jam berdentang tiga kali ketika suamiku duduk dengan muka ditekuk.
“Ada masalah di kantor, Mas? Sebentar aku buatkan kopi.”
“Ngantuk terlalu berat. Bangunkan aku jam enam pagi.” Ia berdiri. Berjalan ke arah kamar.
“Baiklah, Mas.” Aku terdiam sesaat. Melihat punggungnya sampai hilang.
“Nanti kubuatkan kopi spesial.” Suaraku mendesis, tak mungkin didengar suamiku yang telah menutup pintu kamarnya. Rapat.
Tak kututup mataku sekadar untuk merebahkan diri atau beristirahat.
Kumanfaatkan waktu. Menunggu sampai fajar datang. Teringat pada
amanatmu. Jam enam pagi. Ya, tepat ketika jam berdentang enam kali. Akan
kubangunkan kau dengan sajian spesial untukmu. Aroma kopi yang menguar.
Kopi yang akan membawamu terbang. Hingga kesumat dalam dadamu mungkin
juga kesumatku akan berkurang atau bahkan hilang. Aku tersenyum puas.
Mengingat pencarian kopi yang tak mudah. Kopi antik. Pemburuan yang
mahal karena untuk mendapatkannya aku harus mengeluarkan berlipat uang.
Aku berdiri termangu di ambang jendela. Menyaksikan aneka bunga yang
sengaja aku tanam untuk menyegarkan udara serta mengisi ruang kosong
halaman hati, agar senantiasa indah berseri. Berharap udara segar
menyongsongku. Bersegera datang niengganti udara malam nan pekat dengan
kesegaran yang siap bersemayain di paru-paru. Seperti biasa aku berdoa,
semoga kebahagiaan senantiasa bersama. Bahagia? Apakah mungkin bahagia
masih menjadi milikku esok hari? Sementara secangkir kopi hitam di atas
meja makan tak pernah tandas.
Jam berdentang enam kali. Tergesa aku masuk kamar. Membangunkan ia dengan penuh cinta.
“Mas…”
“Hem…”
“Jam enam. Bangunlah.”
“Ah… mengapa kantuk ini tak mau pergi.”
“Bangunlah. Secangkir kopi hitam telah tersaji.”
Dengam malas ia buka matanya. Tersenyum kaku ke arahku.
“Ya… ya… aku bangun sayangku. Hari ini aku ada meeting di kantor. Tak boleh terlambat.”
Secangkir kopi di atas meja makan. Telah tersedia ketika kau turun
dengan pakaian lengkap untuk ke kantor. Wangi dan parfummu menyeruak ke
arah dapur. Bertempur dengan aroma kopi yang sebentar lagi siap kau
minum. Bersemayam dalam perutmu.
“Kopi apa ini, sayang? Begitu harum.” la duduk menghadap kopi.
“Pastilah itu kopi terbaru, Mas. Kemarin aku sengaja membelinya.”
“Kau memang pandai membahagiakanku, istriku.” la menatap ke arahku. Menyeruput perlahan kopi. Berhenti. Dahinya mengernyit.
“Tapi rasanya begitu beda. Mengapa kau tambahi susu?” Kembali ia
menyeruput kopi. Menyecapnya di lidah lebih lama. “Kopi manis?” Ia
tertegun.
“Sengaja, Mas. Mungkin kau sudah bosan dengan kopi hitam. Bukankah
kau sekarang menyukai kopi yang lain? Kopi manis?” Aku tersenyum ke
arahnya.
“Ka…. kau….” Matanya terbelalak.
“Ya. Aku sudah tahu. Kopi manis dalam tasmu adalah jejak untukku. Ada seseorang yang membuatmu menyukai kopi yang lain.”
“Maafkan aku, Lastri.” Buih keluar dari mulutnya. Badannya rubuh. ***
Nina Rahayu Nadea, lahir di Garut, 28
Agustus 1975. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.
Tulisannya dimuat di berbagai media.
Cerpen Ken Hanggara (Bali Post, 08 Oktober 2017) Roh-roh di Tangan Mariana ilustrasi Bali Post
DI tangan Mariana bersemayam roh-roh dari zaman purba. Roh-roh itu
keluar pada malam hari dan mencari makan. Apa yang kau pikirkan soal
makanan dan roh jahat? Ya, roh-roh di tangan gadis manis itu, yang entah
berjumlah berapa puluh, amat sangat jahat. Tidak ada seorang
pun—betapapun mereka berusaha—bisa selamat seandainya satu roh di suatu
malam berjanji menelan jiwa seseorang.
Mariana mula-mula tidak sadar kemampuannya— atau lebih tepat disebut
kutukan? Ia gadis biasa yang bekerja menjaga toko bunga di tepi suatu
kota. Ia juga tidak punya kepentingan apa-apa. Sementara banyak orang di
sekitar membicarakan soal raja baru mereka yang rakus dan tamak.
“Itu tidak penting buat saya,” katanya santai. “Selama saya masih bisa makan, raja boleh bersikap semaunya.”
Tentu Mariana tidak sekejam yang orang bayangkan, jika mereka tahu di
tangan dia ada roh-roh jahat yang keluar untuk makan, serta jika mereka
juga tidak tahu betapa gadis itu belum sadar akan keberadaan roh-roh
itu, sedangkan mereka dengar kalimat itu. Orang pasti akan menudingnya
dan membawanya ke lapangan kota untuk diikat dan dibakar ramai-ramai.
Tapi, tidak banyak yang orang ketahui di sini, kecuali kematian demi
kematian yang terjadi setiap malam. Dan di setiap kematian, tak ada satu
pun jejak dapat kau baca.
Roh-roh jahat bekerja dengan sangat rapi dan tersembunyi. Bahkan, si
gadis yang tangannya disemayami mereka sejak belasan tahun silam, tidak
tahu padatnya aktivitas para roh jahat pemakan jiwa manusia.
Mariana mendengar selentingan—karena ia tinggal di tepi kota, dekat
desa tempat kaum marginal bcrmukim—bahwa para saudagar yang dekat dengan
raja, mati tiba-tiba. Tubuh mereka digantung di puncak gedung paling
tinggi dan bergoyang-goyang tertiup angin karena kering. Tubuh-tubuh itu
tak ubahnya bunga yang terisap saripatinya hingga kerontang. Para
petinggi kerajaan, termasuk raja, marah dan curiga. Ada konspirasi di
luar sana, begitu yang mereka pikir, sehingga banyak orang tidak
bersalah ditangkap dan dihukum mati tanpa bukti.
Roh-roh jahat memang tidak mau tahu urusan semacam ini, tapi mereka
senang karena para korbannya belum sadar, sampai selentingan berubah
jadi kabar yang lebih mengerikan. Surat kabar membawa berita hilangnya
anak-anak sepulang dari sekolah; anak-anak itu keesokan harinya
ditemukan membusuk dan kering di pinggir hutan.
Tak ada yang tahu apa motifnya dan bagaimana si pelaku memulai
kejahatannya. Para saudagar yang mati tidak meninggalkan satu pun
petunjuk. Anak-anak kecil yang juga mati tiba-tiba tidak semua dari
kalangan atas. Belakangan, para buruh dan kaum marginal, yang makin
bertanya-tanya apa atau siapa pembunuh ini sehingga mereka dituduh ingin
melancarkan kudeta, ikut terbunuh juga dengan cara serupa.
Seisi kerajaan tidak aman dan tidak scorang pun benar-benar tahu
duduk perkara. Semula orang-orang menengah ke bawah dianggap biang
kerok, sekarang semua kelas sosial saling tuduh. Kerusuhan terjadi di
mana-mana. Tidak ada yang mengaku, tentu saja, termasuk Mariana. Dia
penjaga toko bunga dan tidak berkepentingan apa-apa, ’kan?
Sejauh itu Mariana belum tahu pelaku pembunuhan berantai adalah para
roh jahat, yang belasan tahun berkembang di tangannya, sebelum sebulan
lalu mulai bangkit dan keluar mencari makan. Ia tidak tahu itu, sampai
suatu malam hangun dari tidur karena haus, dan ia melihat di tangannya
tumbuh sebatang tanduk.
Malam itu, benar-benar malam yang panjang baginya.
***
Mariana ke dokter dan mengaku mengalami sakit aneh. Si dokter
memperhatikan. Kamu tidak sakit, kata lelaki itu. Gadis manis di
depannya aneh. Mungkin dia gila. Sepatunya menepuk-nepuk lantai dan
gugup. Dokter melihat betapa telapak tangannya berkeringat.
Dokter bilang, mungkin ia tidak bisa menyembuhkan sakit Mariana,
tetapi dengan gadis itu mau bercerita, siapa tahu beban mentalnya
sedikit berkurang.
“Saya tidak gila, Dok,” kata Mariana panik. “Saya masih waras.”
Sayang sekali, dokter tetap menganggapnya gila, kalau dia tidak
bercerita bahwa semalam, ketika bangun dari tidur, ia lihat sebatang
tanduk tumbuh pada masing-masing tangannya. Ini juga tidak menjamin
dokter mengubah cara pandangnva. Tidak ada yang percaya omongan tidak
masuk akal, lagi pula, pagi ini, tangan gadis itu bersih dan halus.
Tanduk macam apa maksudmu? Jangan-jangan dokter malah memasungnya.
Mariana pulang dan membayangkan kejadian semalam seperti mimpi
buruk. Ia tahu ada tanduk di kedua tangannya. Tanduk itu tumbuh di
punggung tangan, tepat di atas tulang jari tengah. Tanduk itu memanjang
hingga tiga puluh senti dan ia tidak bisa mengendalikan diri. Tanduk itu
seperti setir, entah milik siapa, sehingga Mariana merasa ia tak
ubahnya boneka tali.
Di tangan Mariana bersemayam roh-roh dari zaman purba. Roh-roh itu
keluar pada malam hari dan mencari makan. Apa yang kau pikirkan soal
makanan dan roh jahat? Ya, roh-roh di tangan gadis manis itu, yang entah
berjumlah berapa puluh, amat sangat jahat. Merekalah yang mengendalikan
gerak tubuh sang gadis, yang entah kanapa mendadak saja menuju dapur
tanpa mengambil air minum, kecuali sebilah pisau.
Demikian yang terjadi. Mata Mariana tak terpejam dan ia seratus
persen sadar. Ia ketakutan dan heran. Ia menyadari sesuatu yang ingin ia
tolak; bukankah selama ini ia tidak pernah bangun lewat tengah malam?
Jam menunjuk pukul 00.31 ketika Mariana sampai ke teras suatu rumah.
Sebilah pisau di tangan semakin rekat, seakan seseorang menjejalkan ke
sana dan mengancam akan menembak kepalanya jika Mariana nekat membuang
pisau itu.
Sayang sekali, sang gadis tidak berdaya. Ia digcrakkan sesuatu yang
lain, seluruh dirinya, dan ujung kepala hingga kaki. Ketika pembunuhan
terjadi, posisi Mariana amat berat. Secara fisik, ia membunuh, tapi
roh-roh jahatlah pelakunya. Bagaimana malam itu jadi malam yang panjang
adalah ketika ia tahu siapa yang ia bunuh.
Raja ditemukan mati keesokan harinya, tubuhnya kering kerontang di
tempat tidur bersama para dayang dalam keadaan telanjang. Seratus lebih
orang terbunuh di istana, karena sejak kematian para saudagar, raja
memperbanyak jumlah penghuni istana.
Tentu saja,orang tidak percaya ada roh jahat di tangan seorang gadis
sehingga perang saudara pasti berkobar. Tapi Mariana sudah tahu di
tangannya ada roh-roh jahat dan hanya ia sendiri yang percaya. Cuma
dengan satu cara ia bisa melawan. Ia yang tidak punya kepentingan
apa-apa, harus berkorban.
Kau pun tahu, sejak kematian raja dan para penghuni istana, tak ada
lagi kematian serupa, maksudku kematian yang menyisakan mayat kering
kerontang. Yang kau tahu cuma satu: Mariana tidak pernah menjaga toko
bunga lagi. Kau boleh mengira dia ke kerajaan lain, karena tidak suka
melihat perang di sini, tetapi kenyataannya, dia terjun ke sebuah
jurang, tanpa ada seorang pun yang tahu.
Gempol, 4 Oktober 2017
KEN HANGGARA, lahir di Sidoarjo, 21 Juni
1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Koaryanya
tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017) .
Cerpen Indah Nova Ida Manurung (Haluan, 08 Oktober 2017) Pohon Ingatan dan Dewa-dewa ilustrasi HaluanBIAR kuceritakan pohon ingatan belasan tahun lalu padamu!
Mitos adalah; orang di sekitar memandang masyarakat dengan suku yang
sama denganku sebagai kumpulan orang-orang yang berani sejak masih dari
rahim ibu. Kau tahu, meski terlahir sebagai Boru Batak, tak lantas
membuatku menjadi pemberani secara genetis. Bahkan, sekadar berbicara di
depan orang saja menjadi ketakutan yang luar biasa bagiku.
Setelah masuk sekolah dasar, aku tak lagi berani berbicara di depan
kelas seperti saat masih di taman kanak-kanak. Sekolah bagiku adalah
tempat dewa-dewa mendakwa anak-anak tanpa data. Hanya berdasar pada
perasaan dan persepsi mereka yang sering salah. Apa hubungan tangan
cebok dengan kesopansantunan?
“Tio.”
“Hadir, Pak,” sahutku mengangkat tangan kiri.
“Tio.”Pak Dam kembali memanggil namaku.
“Saya, Pak.”Aku tetap mengangkat tangan kiri. Sementara tangan kanan
kugunakan menulis catatan Matematika dari papan tulis yang tadi
diajarkan Bu Roi. Di sekolah memang begitu. Pergantian jam pelajaran
dimanfaatkan guru untuk menyuruh siswa mencatat pembahasan selama
belajar. Selain menghemat waktu, itu adalah cara guru agar kami tak
keluyuran saat menunggu giliran guru pelajaran berikutnya.
Pak Dam, guru pelajaran agamaku, datang. Setelah memanggil beberapa
nama siswa, ia datang ke sampingku. Tangan hitamnya mendarat di pipi
kananku. Keras sekali. Sampai-sampai aku terjatuh dari bangku hingga
menimpa teman di sampingku.
Bak tersengat listrik. Aku tidak tahu-menahu apa yang telah
kukerjakan hingga perlukah aku mendapat perlakuan begitu. Kuperhatikan
puluhan pasang mata terarah padaku. Aku masih dalam bingung menahan
sakit.
“Lain kali, jangan tangan cebokmu yang diangkat!” bentak Pak Dam
padaku dengan kedua bola matanya yang hampir keluar dari kelopaknya.
“Pak…”
Pak Dam tak mendengarkan. Ia membalikkan badan dan kembali ke meja guru. Memanggil nama-nama murid setelah abjad namaku.
Tak sedikit pun ia memberikan kesempatan berbicara. Pak Dam hanya
satu dari mereka, dewa-dewa yang membuatku membenci banyak mata
pelajaran. Dewa-dewa yang membuatku membenci meja dan kursi sekolah.
Dewa-dewa yang membuatku malas berangkat ke sekolah.
Taman kanak-kanak, tempat bermain, dan bersenang-senang, yang dipandu
Ibu Gaja telah hilang. Sekolah jadi identik dengan penjara. Hinaan yang
akan kau terima saat kau salah, sementara jangan mengharap apresiasi
ketika kau benar. Dialog adalah hal yang hampir mustahil kau temukan.
Guru adalah dewa yang maha tahu, sementara kau hanya objek yang tak tahu
apa-apa. Kau tidak punya hak apa-apa selain mengamini dan dipaksa
mengimani apa yang mereka ucapkan.
Kemana harus mengadu saat batin berontak? Kedua orang tuaku yang
bertani, tak pernah mengikuti proses belajarku. Mereka tidak menanyakan
tugas yang diberikan guru. Tidak pernah mereka menanyakan bagaimana aku
di sekolah, siapa teman yang duduk di sebelahku, bagaimana kondisi
toilet sekolah, apakah aku disenangi guru, atau bahagiakah aku ada di
sana.
Satu-satunya rangkaian kegiatan sekolah yang mereka ikuti hanyalah
ritual bagi rapor. Melihat angka-angka yang tercantum di deretan kolom
yang aku sendiri tidak tahu asal-usulnya.
Aku skeptis sendiri dengan Negara ini. Ragu pada pendidikannya. Bak
seorang yang mengejar agama, tetapi meragukan Tuhan. Demikian aku
menjalani pendidikan. Teori berkata kalau pendidikan akan membawa
kebaikan, tetapi sayangnya aku tak mengimaninya.
***
“Konteksnya yaitu Kementerian menyadari bahwa kita tidak bisa menilai
kinerja mutu layanan pendidikan semata-mata menggunakan satu indikator.
Jadi kita memiliki delapan standar pendidikan dan ujian nasional adalah
salah satu dari indikator itu,” ujar menteri itu saat jumpa pers
terkait pelaksanaan Ujian Nasional yang kusaksikan melalui layar
televisi.
Ucapan menteri itu membongkar memori lamaku tentang guru yang
diam-diam kukagumi sejak 2007. Tuhan teramat bijak mempertemukan kami,
hingga citra buruk guru yang terdoktrin bertahun-tahun di benakku
perlahan-lahan terhapus.
Saat itu, usiaku ada di angka enam belas. Selama itu, aku belum
pernah melihat teladan seorang guru. Aku adalah Tomas, tokoh yang
dikisahkan Alkitab hanya akan percaya pada kebenaran jika mataku sendiri
yang melihat dan mengalaminya.
Sang Maha Guru melihat ketomasanku. Aku dipertemukan dengan guru yang
bergabung dengan komunitas yang sama-sama menangisi pendidikan. Ia tak
pernah bercerita tentang komunitasnya padaku. Tapi karena sikapnya yang
berbeda dari guru lain, aku dibuat penasaran.
Bermodal uang kakak yang kuambil diam-diam, aku pergi ke warung
internet. Jemariku menelusuri hingga kutemukan komunitas dan
kegiatannya. Sulit kupercaya saat menemui ada guru dan komunitas yang
mau memperjuangkan kualitas pendidikan berkarakter dan berhati nurani.
Dalam laman yang kukunjungi, terlihat dengan tegas mereka mengatakan
bahwa Ujian Nasional tak hanya kecurangan atau panggung sandirwara. Akan
tetapi, telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan terstruktur.
Donna Alkamora nama lengkapnya. Disuruh menghadap kepala sekolah
selang beberapa hari setelah pelaksanaan Ujian Nasional di sekolahku.
Aku dan tiga orang teman mengetahui pemanggilan itu sehingga kami berinisiatif duduk menunggu dengan perasaan dag-dig-dug di
selasar ruang kepala sekolah. Kabar angin berhembus menyebutkan bahwa
Bu Donna akan dipecat. Jujur, adalah penyebab pemecatan itu.
Di anak tangga tempat kami menunggu, Edi membuka percakapan, “Eh,
gimana? Jujur saja aku takut. Aku belum siap teguh pendirian pada
kebaikan seperti yang dibilang Bu Donna. Sekalipun aku tahu menerima
kunci jawaban dosa.”
“Sama. Tapi ini UN, loh. Kalau tidak lulus?” tanyaku menjawab.
“Iya sih. Kenapa harus UN yang jadi penentu kita lulus atau tidak.
Banyak soal UN itu yang tak pernah kita pelajari di kelas,” Eria
menambahkan .
Tak lama, Bu Donna keluar dari ruangan kepala sekolah.
“Ada apa kalian ramai di sini?”
“Bu, kami dengar ibu akan dipecat,” Edi memberanikan diri.
“Ah, siapa bilang. Semua baik-baik saja,” jawabnya singkat, lalu meninggalkan kami bertiga.
Kami tahu ada perpecahan di tubuh dewan guru. Ada kubu yang menolak
pemberian contekan pada siswa, ada kubu yang telah lama menyiapkan
contekan, serta ada kubu yang ada di antara keduanya. Kubu kedua ini
memiliki anggota terbanyak. Tak lain demi reputasi sekolah. Demi masa
depan sekolah yang entah.
“Bu Donna akan dipecat karena telah mencoreng nama baik sekolah kita.
Ibu melapor ke dinas tentang bocoran jawaban UN yang sudah kita pakai
itu. Kayaknya, Bu Donna tidak takut dipecat karena ulahnya,” kata Eria
di satu pertemuan dengan kami.
***
Kagumku menanjak padanya pascapemanggilan itu. Guru yang telah
membuka cakrawala mata dan hatiku tentang pendidikan, terutama pada
pelajaran Matematika. Sampai saat ini, aku masih mengingat bagaimana
pertama kali ia masuk kelas. Ia berdiri memakai baju hijau lumut membawa
topik Statistika–mengajak kami berdialog lalu menjelaskan data tunggal,
data berkelompok, hingga data berinterval. Caranya tampil di kelas dan
di kehidupan nyata, menyisakan kesan istimewa pada pelajaran yang selalu
jadi momok bertahun-tahun bagiku.
Matematika, jadi hantu yang menakutkan selama enam belas tahun.
Guru-guru telah menggunakan mulutnya untuk menakut-nakuti kami yang
dianggap tidak tahu apa-apa ini.
Beda dengan Bu Donna. “Matematika, mate ma hita” (Batak:
Matematika, gawat, bisa mati) sebuah slogan yang tumbuh subur pada benak
anak-anak kampung seperti aku. Slogan selama enam belas tahun itu mati
terbunuh oleh Bu Donna. Di depan kelas ia bercerita tentang dunia,
realita sosial, dan akhir-akhirnya bersambung pada rumus dan soal cerita
yang terhubung.
Pesan Ausubel tentang meaningfull learning baru kupelajari
di bangku kuliah. Ya, pada sebuah paragraf buku yang kupegang sekarang,
dijelaskan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah sebuah proses belajar
di mana informasi baru akan dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sebelumnya dipunyai seseorang selagi belajar.
Pelajaran mesti terhubung dengan kehidupan manusia. Apa pun yang
dipelajari di muka bumi ini, semuanya untuk manusia. Sekali pun saat
manusia berbicara tentang dewa-dewa, batu, pohon, bunga, air, bahkan
tentang hantu-hantu sekali pun.
Bagaimana mungkin pohon ingatanku akan Bu Donna tidak semakin subur
karena paragraf di buku ini? Teladan hidup telah membuatku memiliki
cita-cita menjadi guru sekaligus murid untuk orang-orang yang kuhadapi
di kelas.
Iman pada pendidikan. Bahwa pendidikan bisa membawa kebebasan. Bahwa
pendidikan tujuannya memerdekakan, bukan mendakwa dan memenjarakan
seperti di bangku sekolahku dulu. Dialog adalah kunci ajaib yang telah
menjadikan kami benar-benar dianggap ada.
INDAH NOVA IDA MANURUNG. Pendidik
di BPK PENABUR Jakarta. Lahir di Sionggang Sumatera Utara. Founder
Ngopi Pendidikan. Bergabung dalam Perempuan Puisi. Bersama timnya,
sedang menggagas Kofarkor Foundation, sebuah wadah pendidikan yang
modern dan humanis. Tulisannya dimuat di Kompas, Lampung Post, Rakyat Sultra, Koran Guru Belajar, Bestteens, dll.
Cerpen Abdul Hadi (Kompas, 15 Oktober 2017) Hikayat Tukang Kayu ilustrasi Puja Anindita/Kompas
Ketika tubuhnya menjadi lapuk digasak wabah yang tak dikenal, tak
diragukan lagi, ajal Kalan sudah berada di ujung tanduk. Melihat
parahnya penyakit yang bersarang di badannya, rasanya tak mungkin
nyawanya terselamatkan. Apabila ia meninggal, mungkin inilah akhir dari
hikayat tukang kayu yang kisahnya kesohor di sepanjang daratan Karuman.
Awalnya, pekerjaan sebagai tukang kayu hanyalah pekerjaan biasa, tak
berbeda semacam tukang rotan, tukang besi, tukang dempul, dan
tukang-tukang lainnya. Namun, karena saban hari harus merayapi hutan,
menjejak perdu, serta menebang beraneka-rupa pohon, mau tak mau,
beberapa tukang kayu yang sangat erat memegang adat selalu membentengi
diri dengan mantra. Orang-orang Kutai percaya bahwa hutan memiliki
penunggu, pohon-pohon mempunyai penjaga, dan bala celaka selalu
mengintai pendatang asing yang berulah tingkah semaunya.
Sejak saat itu, tukang-tukang kayu diberi mandat sebagai penjaga
adat. Penguasa mantra dan aji pelindung. Turun-temurun mereka diajarkan
silat tuha, bela diri yang kini sudah langka, kalau tidak bisa disebut
punah karena tak lagi ada penerusnya. Bukan apa-apa, selain karena hutan
Karuman disesaki binatang buas, tak jarang para tukang kayu tak sengaja
bersitatap dengan orang-orang Benuang, rumpun suku pedalaman yang kerap
berburu babi hutan dengan tombak dan sumpit berbisa. Sedikit gesekan,
bisa berakibat fatal. Tombak yang seharusnya diloloskan ke tubuh babi,
karena salah paham, dapat beralih sasaran menuju para tukang kayu. Di
kesempatan semacam itulah, ajang pamer kesaktian diadu. Lincah kaki
menghindari tombak serta kemahiran tangan mengayunkan mandau bukan lagi
sebuah kebanggaan. Cukuplah Kalan, si ketua tukang kayu, memasang dada
sebagai perisai untuk dilempar tombak dan ditiup sumpit yang konon
katanya dapat menembus kayu ulin karena ketajaman mata baja yang diasah
semalaman suntuk, tak segaris pun menggores kulit tukang kayu setengah
baya tersebut. Tak henti tunggang-langgang orang-orang Benuang melarikan
diri dari rombongan tukang kayu, padahal sebilah mandau pun belum
ditarik dari sarungnya. Dari kejauhan, dapat terlihat mereka
terbahak-bahak, mentertawakan pongah orang-orang Benuang yang
terkencing-kencing ketakutan.
Namun, itu hanyalah riwayat masa lalu, kejayaan tukang kayu telah
bergeser. Tak lama, mungkin tiga tahun silam sejak wabah mematikan itu
menyerang tukang-tukang kayu yang ada di dusun ini. Satu demi satu
mereka dijangkiti penyakit yang tak ada penawarnya. Entah sudah berapa
puluh tabib didatangkan dari berbagai pelosok tempat, tetapi semuanya
angkat tangan. Karena tak seorang tabib pun bisa menyembuhkan penyakit
itu, para dukun yang tidak sedikit pun mengerti ramuan dan obat-obatan
mulai berspekulasi bahwa para tukang kayu telah memasuki wilayah paling
dalam di hutan Karuman. Lelembut yang berdiam di wilayah sana menjadi
marah dan meniupkan penyakit sebagai balasan karena telah merusak
rumah-rumah mereka. Perkataan ini cukup masuk akal karena wabah tersebut
hanya menjangkiti tukang-tukang kayu dan tak menyerang tukang rotan,
tukang besi, tukang dempul, dan tukang-tukang lainnya.
Tak lama sejak wabah itu melanda, maut datang seperti kokok ayam di
fajar yang masih petang, bersahut-sahutan dari satu rumah ke rumah
lainnya, seolah-olah pada bulan itu, malaikat pencabut nyawa
berpesta-pora merayakan kematian.
Setelah rekan-rekannya tumbang, rupanya ganasnya penyakit tak juga
kuasa merenggut nyawa Kalan, meskipun tubuhnya letai, ia masih
menguarkan napas tanda tak menyerah dengan wabah keparat tersebut.
Tubuhnya kini bertonjolan tulang, tetapi keinginannya untuk berobat tak
kunjung padam. Sekalipun tabib-tabib dusun telah angkat tangan, ia tahu,
masih ada satu tabib yang belum diundang. Namun, akan selalu ada
konsekuensi apabila mengundang tabib yang satu ini.
“Kami tak sudi mendatangkan tabib tua itu,” tukas kepala adat ketika
Kalan mengajukan kemauannya dengan suara parau tersendat-sendat.
“Tapi siapa lagi yang bisa menyembuhkanku?”
Kepala adat tafakur, melempar pandang ke sekujur jasad ketua tukang
kayu itu. Penyakit itu telah menghisap seluruh tenaga dan kemudaan
Kalan. Kekuatannya diperas keluar dengan paksa, seperti ganggang sungai
yang aslinya berair, tetapi kini berubah kerontang karena mengering.
Sebenarnya sebelum wabah mematikan itu menyerang, kejayaan para
tukang kayu pun sudah berakhir. Sejak kompor-kompor minyak bertebaran di
pasar kecamatan, penduduk dusun lebih suka memasak tanpa menggunakan
kayu bakar. Selain mudah, kompor-kompor juga praktis, berbeda dengan
kayu. Menanak nasi atau merebus ubi menggunakan kayu bakar terlampau
ruwet, selain harus menyalakan api terlebih dahulu, asap-asap yang
menguar dari tungku selalu memerihkan mata. Tak jarang seluruh ruang
rumah menjadi sesak diluapi asap dari dapur.
Perubahan itu menjadikan kayu-kayu bakar tak lagi laku terjual. Kalau
bukan dipercaya sebagai penjaga adat, tentulah pekerjaan sebagai tukang
kayu layak disebut pekerjaan hina, martabatnya meluncur di bawah tukang
besi, tukang rotan, tukang dempul, dan tukang-tukang lainnya. Sisa-sisa
kayu yang tak laku terjual, oleh beberapa tukang kayu dibakar untuk
dijadikan arang. Saat itu, orang-orang kecamatan lebih menghargai arang
daripada kayu mentah. Kalau bukan mengolok-olok pula, tentulah mereka
tak bisa disebut sebagai tukang kayu lagi, rasanya tukang arang lebih
layak disematkan sebagai julukan baru sejak kayu-kayu itu beralih fungsi
menjadi bongkahan-bongkahan hitam sebagai bahan bakar untuk menyate
daging atau memanggang ikan. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat, hingga
saat ini mereka tetap dipanggil tukang kayu. Karena jasa mereka
jugalah, para penebang liar tak berani menyentuh hutan Karuman. Pernah
suatu ketika, seorang bos penebang kayu marah karena tahu gelondongan
kayu yang mereka tebang dibelah-belah menjadi potongan kayu bakar. Ia
datang menuju gubuk kediaman Kalan. Tak sampai sepuluh menit setelah
masuk gubuk, seorang bos yang datang dengan dada pias penuh amarah,
harus digotong pulang dengan hidung disumpal kapas karena berani melawan
tukang kayu tersebut. Sejak itu, tak seorang pun penebang liar yang
berani mengambil kayu-kayu ulin yang terserak di kedalaman hutan
Karuman.
“Baiklah, kalau bukan karena terpaksa, tak mau aku memanggil tabib
itu,” dengus ketua adat, “Akan kusuruh anakku sendiri untuk
menjemputnya.”
Kalan hanya mengulum senyum getir, segetir kakinya yang tergetar-getar kesakitan.
***
Tabib itu datang sehari setelah dipanggil ketua adat. Telinganya
besar, panjang, dan menjuntai dipenuhi anting-anting yang saling
berdesakan. Sangat khas, identitas perempuan pedalaman yang teguh dengan
takhayul dan ilmu hitam.
“Meskipun aku berada di dusunmu, kau tak bisa mengaturku semaunya.”
Itu kata-kata pertama yang keluar dari rongga mulut yang merah dilepahi
sirih dan pinang.
“Kalau bukan karena kemampuanmu yang kesohor, tak mungkin aku memanggilmu.”
“Jaga mulutmu ketua adat, kau sama sekali tak memiliki sopan santun
kepada seorang tamu yang bersedia membantu,” cetusnya membalas.
Dengan tampang yang jelas-jelas tak suka, akhirnya tabib itu disuruh juga memeriksa keadaan Kalan.
Tanpa membuang waktu, perempuan itu pun meletakkan selembar tangannya
di atas dahi tukang kayu itu. Berkali-kali mantra penawar rasa sakit ia
rapal, bibir gelapnya ia komat-kamitkan. Matanya yang dipenuhi celak
hitam, terbuka-terpejam sambil membelit kedua tangan Kalan dengan seutas
kain, menahan getar yang timbul dari tubuh ringkih yang diempas rasa
sakit yang amat dalam.
“Tinggalkan aku sendirian bersama tukang sakit ini!” Raung si tabib, “Aku tak bisa bekerja di bawah tatapan banyak orang.”
Ketua adat mendengus. Sedongkol apa pun hatinya, mau tak mau ia mesti
menuruti kata-kata tabib keparat itu—kalau ia mau melihat kesembuhan
tukang kayu terakhirnya. Dengan isyarat tangan, ia memerintahkan
beberapa kerabat yang membesuk Kalan untuk segera beranjak keluar.
Mereka tahu, tabib Benuang ini adalah tabib paling hebat dari semua
tabib dusun yang ada di dataran Karuman. Sayangnya, ia berasal dari suku
Benuang, suku yang telah lama bertikai dengan orang-orang Kutai.
Entah kapan pertikaian itu bermula, tak seorang penduduk yang tahu
awal muasalnya, yang mereka tahu, sejak mereka lahir, para tetua adat
telah menanak dendam dan meniup dengki satu sama lain. Secuil apa pun
api yang terpantik dapat mengobarkan perang antarsuku. Bahkan untuk
memanggil tabib yang satu ini, anak ketua adat harus membujuknya dengan
tiga keping logam emas untuk meluluhkan perempuan bertelinga lebar yang
kesohor juga mata duitannya itu.
***
Setelah hanya ada Kalan dan si tabib di ruangan gubuk, tanpa
basa-basi, dengan lekas, dengan tangkas, perempuan tua itu membungkus
mulut Kalan dengan kain hitam yang telah ia siapkan. Kedua kaki Kalan
mengentak-entak kaget ditingkahi mulutnya yang berceracau tak jelas
karena teredam belitan kain. Ia mengaum-aum seperti harimau sekarat
menunggu kematian.
Dengan perlahan, tabib itu mengeluarkan belati kecil dari lipatan
pinggangnya. Belati yang telah ia baluri air payau agar bisa menembus
kulit kebal si tukang kayu. Sudah bertahun lamanya ia mempelajari
tandingan aji dan mantra orang-orang Kutai, baru kali ini ia memiliki
kesempatan mengujinya. Ia menatap jasad Kalan dengan mata membara
seperti seorang jagal menghadapi kerbau yang akan ia sembelih lehernya….
Kelak, inilah keputusan yang paling disesali ketua adat. Setelah
sejam tak terdengar suara apa-apa, mereka curiga, lalu mendobrak pintu
gubuk Kalan. Di sanalah, di depan mata mereka, terhampar pemandangan
yang paling memilukan. Jasad yang selama ini mereka pelihara, terbujur
kaku tak bernyawa. Ruangan itu sunyi, seolah terbalut duka. Tabib yang
seharusnya memeriksa tukang kayu itu lenyap, hilang dari tempat.
Seakan-akan ia tak pernah ada. Tak pernah datang. Tidak pernah diundang.
Saat itu, setiap pasang mata yang melihat mayat Kalan tahu, para tetua adat tak akan tinggal diam.
Malam itu juga, orang-orang Kutai akan mengangkat senjata.
Catatan:
-Silat tuha, beladiri tua yang ada di tanah Kutai, bersenjatakan
mandau dan mantra-mantra. Dipercaya menggunakan jin sehingga ketika
Islam memasuki tanah Kutai, beladiri ini kian jarang ditekuni.
Abdul Hadi, menulis cerpen dan esai.
Penulis asal Kalimantan Timur ini bergiat di Klub Buku Yogyakarta. Ia
bernama lengkap Muhammad Abdul Hadi.
Cerpen Anindita S. Thayf (Koran Tempo, 14-15 Oktober 2017) Perawan dan Tiga Serigala ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
DAN kini hanya tersisa satu orang perempuan di muka bumi. Satu yang
tinggal di dalam bunker perlindungan berpintu platinum lapis lima dan
dijaga tiga ekor serigala. Sebenarnya, lebih pantas dia disebut gadis
karena usianya masih belia: satu gerhana lagi tujuh belas tahun.
Ayahnya, yang kini entah berada di mana—dia lebih suka berpikir orang
tua itu masih hidup—berjanji hanya akan pergi sebentar dan bakal kembali
sebelum usianya tepat tujuh belas. “Untuk mencari hadiah ulang tahunmu.
Yang terbaik, tentu saja,” kata ayahnya pada suatu malam, dan begitu
pagi tiba lelaki itu sudah pergi.
Usianya baru sebulan ketika ibunya menolak membuka mata untuk
selamanya, sehingga oleh suaminya sendiri perempuan itu dimasukkan ke
dalam Ruang Museum. Sejak hari itu hingga seterusnya, sang ibu mesti
tinggal bersama benda-benda kuno dan sesamanya di balik dinding,
sementara tidak jauh dari situ si gadis mesti belajar hidup tanpa ibu.
Setiap kali merasa sedih atau kesepian, gadis itu berkunjung ke Ruang Museum untuk bertemu ibunya.
“Aku bosan tinggal di sini, Ibu. Aku mau keluar, tapi dilarang Ayah,” keluhnya suatu hari.
“Ibu, tahukah kau kalau anak-anak serigalanya sudah besar? Ketiganya
temanku, tapi kata Ayah mereka piaraan. Katanya juga, kalau sudah besar
nanti, mereka harus tidur di luar,” lapornya di lain waktu.
Dari balik kaca bening lebar, sosok ibunya tampak diam seolah ingin
mendengarkan setiap kata gadis itu. Ibunya masih kelihatan cantik dan
sempurna dalam balutan gaun pemakaman. Dengan mata tertutup, perempuan
itu berdiri ditopang dua lapis kaca tebal pengawet yang menindihnya dari
dua sisi. Tidak ada yang aneh dengan sosok ibunya, kecuali tubuhnya
kini sepipih rambut.
“Bagaimana kalau Ibu ternyata masih hidup, Ayah? Apakah dia tidak
kesakitan dijepit begitu?” Semasa bocah, gadis itu sering bertanya
begini kepada ayahnya, yang dijawab dengan kalimat yang selalu sama.
Bahwa ibu gadis itu termasuk beruntung karena berhasil mencapai bunker
sebelum penyakit ganas menyerang dan membunuhnya. Bahwa jika ibunya mati
di luar sana, dia akan diperlakukan seperti perempuan lain yang gagal:
tubuhnya akan dijadikan abu lalu dihisap angin.
“Ibumu salah satu Perempuan Mulia, dan seharusnya kau bersyukur. Jika
tidak begitu, kau tidak akan pernah bisa melihat ibumu lagi.
Selamanya,” ucap ayahnya dengan nada sedih, sebelum menyuruhnya
menyanyikan lagu penghormatan Muliakan Nama Ibu Kami.
Lagu itu diajarkan ayahnya sejak dia masih bayi. Liriknya berisi
puja-puji kepada perempuan yang menghidupi bumi dan menjaganya dari
kemusnahan, lalu diakhiri dengan menyebutkan nama para Perempuan Mulia.
Semula, dia yakin lagu itu ciptaan seseorang yang membangun bunker dan
menaruh sejumlah sosok yang seperti ibunya di balik dinding Ruang Museum
yang berhias plakat bertulis: Perempuan Mulia. Namun, setelah ibunya
meninggal, lagu itu berubah, pun keyakinannya. Dia menemukan ada nama
ibunya ditambahkan pada lirik terakhir.
“Apakah kau yang menciptakan lagu itu, Ayah?” selidiknya, tapi
dijawab ayahnya dengan penjelasan yang membuatnya bingung. “Itu lagu
ciptaan semua anak. Kelak, namamu juga akan ada di dalam lagu itu—tapi
itu masih lama, jadi lupakan saja.” Maka dia pun melupakannya.
ADA tiga serigala di depan pintu bunker. Berjalan hilir-mudik laksana
penjaga galak walaupun sebenarnya tidak begitu. Ketiganya sedang
menunggu pintu berat itu terbuka dari dalam dan sesayup suara halus akan
mengundang mereka masuk. Meskipun tertutup dan tidak berhias langit,
ketiganya lebih suka berada di dalam bunker. Penyebabnya adalah gadis
itu. Tiga serigala memujanya.
Menuruti wasiat induk serigala, sebenarnya majikan mereka adalah ayah
si gadis. Induk mereka dan ayah si gadis bersahabat. Ketika lelaki itu
melakukan perjalanan panjangnya yang ambisius, sahabat serigalanya
diajak serta. Ketika perjalanan tersebut berakhir sukses—lelaki itu
bertemu seorang perempuan dan memperistrinya—persahabatan keduanya tetap
terjalin. Namun, persahabatan itu ternyata tidak bisa diwariskan.
Setelah induknya mati, tiga serigala justru lebih suka berada di dekat
putri lelaki itu.
Ketika belum sedewasa sekarang, ayah si gadis masih mengizinkan tiga
serigala menemani putrinya menghabiskan hari, bahkan tidur dengannya.
Hanya tiga serigala sahabat sekaligus teman bermain gadis itu. Mereka
selalu pasrah dijadikan entah lawan gelut atau kucing manja yang suka
digendong. Mereka juga mau saja dibacakan buku cerita kesukaan gadis
itu, di mana pada akhirnya salah satu dongeng yang ada di sana menjadi
kesukaan mereka. Tiga serigala menyukai Pangeran Kodok.
Tiada yang tahu, saat sedang berjaga malam, tiga serigala sering
saling menceritakan kembali dongeng itu dalam bahasa serigala. Dongeng
yang lama-kelamaan membuat ketiganya dirasuki keyakinan bahwa Pangeran Kodok
kisah nyata. Di suatu tempat nun jauh, barangkali benar-benar ada
seekor kodok beruntung yang bisa menjelma manusia setelah dicium seorang
putri. Barangkali benar-benar ada sebuah keajaiban untuk seekor
binatang.
Tiga serigala mengenal kata “keajaiban” dari manusia. Mereka
mendengar kata itu dipakai terakhir kali oleh ayah si gadis sesaat
sebelum kepergiannya enam gerhana lalu untuk melakukan apa yang
disebutnya Perjalanan Ambisius II.
“Kutitip anakku pada kalian untuk dijaga sampai aku pulang. Sebagai
imbalannya, nanti kalian akan kuberi dua kaleng daging kering.
Bagaimana? Kalian pasti tahu kalau putriku adalah keajaibanku—jadi
jagalah dia,” demikian ayah si gadis berpesan, sebelum meninggalkan
bunker di ujung malam.
Memperlakukan seperti anak laki-laki yang tidak dimilikinya, demikian
cara ayah si gadis menjalin kedekatan dengan tiga serigala. Bersama
ketiganya, dia sering menghabiskan waktu entah untuk berburu, mengawasi
daerah sekitar bunker, atau sekadar bersantai menikmati angin. Ketiganya
juga punya mangkuk makan khusus serupa milik si gadis, tabung tidur
jika sedang sakit, bahkan satu hari istimewa untuk bercengkerama.
“Sebab anakku sendiri tidak mungkin melakukan apa yang kita lakukan,
kecuali dia bakal sakit. Yah, begitulah perempuan. Lemah,” demikian
celoteh ayah si gadis selalu.
Laki-laki itu juga lebih sering mengajak tiga serigala
bercakap-cakap. Alasannya, “Ini masalah laki-laki-perempuan tidak perlu
tahu. Untung saja kalian serigala jantan. Kalau tidak, bisa mati
kesepian aku di sini,” lalu laki-laki itu akan tertawa besar-besar
bersama sederet gigi kuning menteganya yang tidak utuh.
Setahu gadis itu, ayahnya pergi mencari hadiah untuk ulang tahunnya
yang ketujuh belas, tapi hanya tiga serigala yang tahu persis apa hadiah
itu.
GADIS itu selalu menunggu datangnya gerhana, entah bulan entah
matahari, sebab selalu sanggup membuat suhu lantai bunker lebih dingin.
Meskipun tidak bisa melihatnya karena jendela terlarang hadir di dalam
bunker, gadis itu akan menikmati gerhana dengan berbaring di lantai
hingga jatuh tertidur.
“Beginikah rasanya rumput basah di luar sana? Tanah berlumpur? Batu
sungai? Laut?” Gadis itu menikmati perubahan suhu lantai sambil
memejamkan mata dan menggumamkan nama-nama benda yang dikenalinya dari
Ruang Perpustakaan, tapi tidak pernah dilihatnya. Sebelumnya, gadis itu
telah menyiapkan hidangan khusus karena, sejak ayahnya pergi, tiga
serigala selalu diajaknya makan bersama dan menemaninya tidur di dalam
bunker.
“Karena kalian sahabatku. Kubuka banyak kaleng makanan untuk kalian. Masuklah,” undangnya tadi.
Tiada gadis itu tahu, kali ini tiga serigala tidak mau lagi menjadi sekadar sahabatnya. Di bawah pengaruh dongeng Pangeran Kodok, ketiganya ingin menjadi lebih daripada itu.
Tiga serigala telah memutuskan untuk menjadi manusia. Mereka yakin,
ayah si gadis bakal senang mendapat tiga anak laki-laki dalam
keluarganya.
“Hanya laki-laki yang kuat membangun dunia dan memikulnya,” kata ayah
si gadis kepada ketiga serigalanya, “karena itu akan kucari satu yang
terkuat untuk kukawinkan dengan anakku saat hari ulang tahun ketujuh
belasnya nanti. Setelah perkawinan mereka, bumi pasti tidak akan lagi
sesepi sekarang karena anak-anak lucu mereka—saat itu aku pasti akan
sangat bahagia,” lalu laki-laki itu tertawa besar-besar seperti biasa.
Tiga serigala yakin, mereka akan menjadi laki-laki terkuat
sebagaimana yang dimaksud. Mereka akan membuat ayah si gadis bahagia
dengan membantunya membangun dunia dan memberinya banyak keturunan yang
sehat, juga lucu. Untuk membuktikannya, mereka hanya perlu melakukan
sesuatu agar keajaiban yang menghampiri Pangeran Kodok datang pula kepada mereka.
Mengundangnya lewat ciuman tentu tidak mungkin. Selama ini, si gadis
selalu menciumi tengkuk, punggung, bahkan moncong mereka, tapi tidak
terjadi apa-apa. Untunglah, ketiganya telah menemukan satu cara yang
patut dicoba.
Tahapan gerhana bulan kali ini terjadi lebih lama, tapi si gadis
sudah jatuh tertidur sebelum gerhana itu sempurna. Berdiri di
sekelilingnya, tiga serigala bersiap mengincar apa yang sudah mereka
sepakati.
Masing-masing serigala akan menggigit satu jari si gadis. Lewat
pertimbangan yang matang, mereka memutuskan bahwa kehilangan satu jari
tangan, juga dua jari kaki, tidak akan membuat gadis itu jatuh sakit dan
kehilangan pesonanya, melainkan justru sebaliknya.
“Tidak apa-apa kalau hanya cacat sedikit, sebab terlalu sempurna juga tidak bagus.”
Tiga serigala terkenang pada sepotong percakapan yang diucapkan
seorang laki-laki muda dalam cerita pengantar tidur yang sering
dikisahkan induk mereka. Cerita itu tentang seorang laki-laki muda yang
bertemu perempuan pertama dan terakhir dalam hidupnya: seorang perempuan
berkaki timpang.
TERLAMBAT dari waktu yang dijanjikan, ayah si gadis akhirnya muncul
bersama seorang pemuda tegap gagah. Berdiri di depan bunker yang
mendadak runtuh di sana-sini, orang tua itu hanya bisa terdiam gemetar
dalam kaget yang tertahan. Tidak ada putrinya yang menyambut
kedatangannya, pun tiga serigalanya. Sebuah pemandangan mengerikan
justru tersaji di depan matanya bagai mimpi buruk yang menjelma nyata.
Ruangan itu bukan lagi kamar untuk bersantai. Tepat di tengahnya,
meringkuk bagai janin, tiga sosok makhluk yang bukan manusia-bukan
binatang tampak sedang tertidur pulas di atas kubangan darah kental.
Seakan baru saja selesai berpesta, cabikan daging dan cipratan darah
berhamburan ke mana-mana, bersama aroma amis pembantaian yang menguar
kuat, membuat orang tua itu menahan mual dan hendak segera berlalu demi
mencari anaknya, tapi batal. Apa yang terbaring di dekat ketiga makhluk
itu menahan langkahnya.
Di sana, sesuatu yang dulunya sekujur tubuh montok kecoklatan kini
tinggal sederet tulang utuh, pipih dan mati. Berbaring diam seolah
menunggu untuk dikenali, tulang belulang itu berbicara kepada si orang
tua lewat apa yang tersisa darinya: tulang kaki yang lebih pendek dan
kecil sebelah serupa milik ibunya. Aku perempuan terakhir yang pernah ada di muka bumi.
Di saat yang sama, kesiur angin terdengar menyanyikan lagu Muliakan Nama Ibu Kami
dengan tambahan satu nama baru pada lirik terakhirnya. Seketika, orang
tua itu dihampiri firasat bahwa akhir dunia yang ditakutinya akan segera
tiba.
Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu
(Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel
Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009,
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014).
Cerpen Fathurrofiq (Republika, 15 Oktober 2017) Subuh yang Berkesan ilustrasi Rendara Purnama/Republika
Pandangannya sedikit berputar-putar. Jalanan yang biasanya tampak
lurus, kini terlihat berkelok-kelok. Membuat motor yang ia kendarai
bergerak ke kiri dan ke kanan tanpa ada sebab. Tampaknya dua botol
minuman keras tadi masih mempengaruhi kesadaran Kardi.
“Sialan,” umpatnya. Saat merasakan kandung kemihnya bergejolak
meminta hajatnya. Dia menggerutu menyumpahi diri sendiri yang terlalu
banyak minum. Malam itu ia memang berhasil menang dalam permainan kartu,
sehingga bisa minum sepuasnya.
Kardi merapatkan kakinya menahan hajat. Malam-malam begini hendak di
mana dia menumpang tandas. Apalagi di kiri dan kanan hanya terlihat
hutan dan semak belukar. Nekat buang hajat sembarangan bisa-bisa
diganggu penunggu hutan, pikirnya takut.
Kandung kemihnya kembali berkontraksi, seolah memberontak tidak
hendak menunggu. Memang rumahnya masih cukup jauh dari hutan ini.
Sengaja dia memilih warung remangremang di kampung seberang untuk malam
ini, karena khawatir dipergoki istrinya seperti bulan lalu.
Sengaja benar ia keluar rumah dengan memakai kemeja lengan panjang
dan bercelana bahan hitam. Ia berpakaian rapi agar tidak dicurigai
istrinya. “Ada urusan bisnis sebentar,” kelitnya kepada istri sebelum
berangkat.
Di tengah kebingungan, apakah akan membuang hajat di tengah hutan
atau menahan hingga tiba di rumah dengan risiko ‘bocor’ di jalan, ia
melihat sebuah musholla di ujung hutan. Tanpa pikir panjang, langsung ia
kebut motornya menuju musholla tersebut.
Musholla itu tidak terlalu besar dan tidak berpagar, sehingga ia bisa
bebas masuk dan menggunakan toiletnya. Rasanya lega, dan tidak bisa
digambarkan oleh kata-kata saat ia bisa menyalurkan hajatnya. Di saat ia
sudah selesai dan keluar dari toilet, ia teringat untuk membasuh wajah
terlebih dahulu agar efek mabuknya hilang. Grrr… rasa air dingin
menyentuh kulit wajah pada dini hari benar-benar membuat matanya kembali
melek.
“Assalamualaikum, Ustaz!”
Kardi melonjak kaget, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Bulu
kuduknya merinding. Hampir-hampir saja jantungnya copot ketakutan
karena membayangkan itu adalah jin penunggu musholla. Sebelum kemudian
dia membalikkan badan dan sosok di balik pundaknya jelas terlihat.
Tampak dua orang pemuda dengan memakai sarung, baju takwa, dan
berkopiah. “Afwan Ustadz, saya malah membuat kaget,” ucap pemuda yang
pertama sambil tersenyum.
“Wa..wa..waalaikum salam,” ucapnya sambil terbata-bata.
“Ustadz orang baru disini? Sepertinya baru lihat,” tanya pemuda yang
kedua. Kardi hanya bisa mengangguk lemah sembari mencoba tersenyum.
Sayangnya ia lebih terlihat seperti orang meringis daripada ter senyum.
“Ya sudah! Sampeyan tunggu di dalam saja Mas. Azan kira-kira lima belas
menit lagi.”
Karena merasa tidak enak dengan kedua pemuda itu, Kardi menurut dan
masuk ke dalam musholla. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun lamanya sejak
terakhir kali ia masuk ke dalam musholla. Dahulu, orang-orang di
kampungnya selalu menggerutu setiap dia datang ke musholla. Terkadang
dia bahkan mendengar bisikan-bisikan sinis yang mengatakan,‘wong mabuk
kok shalat’ atau kalimat ‘memang shalatnya di terima?’. Perkataan itu
semakin lama membuat ia risih. Maka akhirnya ia putuskan, daripada
membuat orang lain terganggu, lebih baik tidak pernah datang sekalian.
“Wah kebetulan ada ustaz baru, Min,” ucap pemuda pertama kepada
temannya sembari mengibas-ngibaskan air wudhu yang membasahi tangannya.
“Iya, Jo, kebetulan banget. Mas, sampeyan yang jadi imam shubuh nanti
ya! Pak Haji yang biasa men jadi imam shalat lagi sakit. Punggungnya
kambuh lagi.”
Ditodong seperti itu, tentu saja membuatnya terkejut. Dia sudah lama
tidak sha lat, bahkan dia sudah lupa bacaan shalat. “Bisa malu mampus
aku kalau menjadi imam”, batinnya dalam hati. Segera dia menggelengkan
kepala sembari menyatakan penolakannya.
“Ayolah, Mas, kami semua ndak ada yang pede jadi imam. Bacaan kami terbata-bata. Bisa malu kami kalau jadi imam.”
Ingin rasanya ia juga mengakui kalau ia jauh lebih buruk dari mereka.
Jika mereka terbata-bata, maka ia bahkan sudah lupa urutan rangkaian
shalat. Tapi entah kenapa untuk mengakuinya ia merasa malu dan takut
diusir dari masjid ini.
“Tadinya kami pikir bakalan ndak ada yang gantiin Pak Haji.
Saya kagum dengan sampeyan, jadi yang paling pertama datang ke masjid di
pagi hari. Pertahankan terus Mas,” pemuda pertama yang dipanggil Jo itu
menepuk-nepuk pundaknya. Kardi hanya bisa membalas dengan senyum.
Sebenarnya kalau dikatakan ia tidak pernah shalat, tidak juga. Dahulu
semasa kecil, ia termasuk anak yang pintar saat belajar mengaji. Bahkan
ia pernah mondok selama tiga tahun di sebuah pesantren. Namun sayang,
kematian ibunya membuat ia berhenti mondok dan pulang ke kampung.
Setelah kembali ke kampunglah pergaulan mengenalkannya dengan alkohol,
hingga saat ini.
Memang pernah dahulu saat baru menikah, ia berniat untuk berubah
karena rasa cinta kepada istrinya. Namun gunjingan yang didengarnya
setiap kali ia ke musholla membuat ia risih. Ia merasa tidak diinginkan
di masyarakat. Ia sudah terlanjur dicap sebagai tukang mabuk dan tukang
judi. Sementara di warung remang-remang, ia menemukan orang-orang yang
menghargai dan mau mendengarkan keluh kesahnya. Disitu ia merasa
menemukan keluarga.
“Kalian santri?” akhirnya ia mengeluarkan sebuah kalimat.
“Iya, Mas, tapi baru masuk jadi ilmunya masih sedikit. Sekarang lagi
balik kampung. Mumpung pondok lagi libur,” Jelas pemuda yang dipanggil
Min.
Mendengar itu, ia teringat masa-masa ia masih semangat belajar ilmu
agama. Saat dahulu masih di pondok ia juga sering seperti ini. Datang ke
masjid sebelum azan berkumandang. Bercengkrama dengan santri lain
selepas zikir malam. Hingga terpekur takzim saat muazzin mulai
mengumandangkan panggilannya.
Perlahan, air matanya mengalir. Ia teringat, setelah dewasa ia justru
lebih banyak menghabiskan waktu di warung remang-remang sambil menunggu
pagi datang. Ketakziman menunggu azan ia tukar dengan kenikmatan
adrenalin saat membuka kartu bersama teman-temannya. Ia malu, entah
kepada siapa.
Beberapa orang ja maah datang menjelang azan shubuh. Kardi menyalami
mereka sembari memperkenalkan namanya. “Wah, tadinya kami pikir shalat
Shubuhnya ndak jadi karena Pak Haji sakit. Untung ada Mas
Kardi,” tukas salah seorang jamaah. Kardi tersenyum,namun di dalam
hatinya, ucapan bapak tadi semakin membuatnya tidak enak hati untuk
menolak menjadi imam. Bagaimana nanti tanggapan orang-orang ini kalau
dia mengaku sebagai orang yang baru saja pulang berjudi dan mabuk di
warung remang-remang ujung hutan.
Paijo berdiri, bersiap-siap untuk mengumandangkan azan. Semua orang
terdiam saat Paijo mulai melantunkan panggilan suci itu. Kata demi kata
yang diucapkan Paijo, dijawab dengan takzim dalam setiap hati para
jama’ah seperti tuntunan baginda Rasul.
Namun tidak ada yang menyadari bahwa Kardi terlihat semakin gelisah.
Keringat dingin membasahi keningnya. Pikirannya tidak lagi fokus pada
lantunan azan. Matanya terpejam sementara bibirnya bergerak mencoba
mengingat urutan shalat dan bacaan-bacaan yang pernah dihafalnya dahulu.
Ia baru tersadar saat Paimin menepuk pundaknya. “Monggo Mas!” ucapnya
sembari mengarahkan jempolnya ke arah tempat imam.
Kardi melangkah dengan lemas. Jikalau ada yang memperhatikan,
lututnya bergetar dibalik celana hitamnya. Sementara jama’ah segera
merapikan barisan mereka. Kardi menarik nafas dalam-dalam kemudian
menghembuskannya, berharap dia tidak lupa di tengah jalan. Saat dia
hendak mengangkat tangan, saat itu pulalah terdengar suara langkah kaki
dan suara orang tua terbatuk-batuk. Kardi menoleh ke belakang, diikuti
oleh para jama’ah.
“Alhamdulillah, tadinya saya khawatir ndak ada yang jadi
imam shalat,” lelaki tua itu terkekeh-kekeh. Dari penampilannya, Kardi
menduga bahwa itu pasti Pak Haji yang biasa menjadi imam shalat.
“Pak Haji? Monggo, Pak, bapak saja yang imam,” Kardi senang bukan
kepalang dapat terhindar dari tugas menjadi imam ini. Para jama’ah juga
tidak ada yang menolak ketika Kardi mundur dan Pak Haji mengambil alih
tempatnya.
Pagi itu menjadi shubuhnya yang pertama setelah bertahun-tahun
lamanya. Andai mereka menyadari, para malaikat rahmat tengah
mengelilingi musholla kecil itu untuk berdoa agar Allah mengampuni
orang-orang di dalamnya. Ketenangan perlahan menyusup ke dalam hati
Kardi.
Seusai shalat, para jama’ah saling bersalaman. Paijo dan Paimin
mencium tangannya saat bersalaman, Kardi teringat bahwa tangan itu penuh
dosa yang ia gunakan untuk mengangkat kartu dan menuang tuak. Kemudian
Kardi menyalam Pak Haji. “Semoga Allah memberkahimu, Nak! Tinggalkanlah
minuman keras dan judi itu. Kau akan diterima disini.” Kardi terkejut
mendengar bisikan Pak Haji itu. Namun ia tak ingin bertanya dari mana
Pak Haji mengetahui kebiasaan buruknya. Ia setuju dengan orang tua itu.
Besok ia akan kembali kesini, untuk kembali duduk takzim menunggu pagi.
Penulis merupakan anggota FLP Yogyakarta dan merangkap menjadi mahasiswa Tekhnik Mesin UGM.
Cerpen Arman A.Z. (Jawa Pos, 15 Oktober 2017) Baboe Laoet ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosTELAH bulat hati Banah untuk meninggalkan kampung
halaman. Sepekan sebelum berangkat, dua tumpuk pakaian dikemas rapi
dalam koper. Dari dalam peti kayu yang lama teronggok di kolong ranjang,
dikeluarkannya gaun perempuan Eropa, sepatu yang masih muat di kaki,
mantel lusuh cokelat, dan topi beludru hitam. Saat ikut majikan
terakhirnya, mevrouw yang baik hati membelikan semua itu di pasar loak yang digelar sepekan sekali.
Minyak kayu putih tidak ketinggalan. Cairan harum dalam botol beling
cokelat tua itu nyaris tak pernah ketinggalan dibawa ke mana pun Banah
pergi. Botol itu sudah tiga generasi. Emak membelinya saat Banah masih
kecil. Hingga Banah punya anak satu, botol itu masih dirawatnya. Cairan
harum dibuluri di punggung saat terasa masuk angin atau digigit
serangga.
Dua bulan lalu Banah memergoki iklan di Soerabaijasch Handelsblad.
Ada keluarga mencari babu laut. Sekarang atau tidak sama sekali,
demikian pikir janda dua puluhan tahun itu. Sendirian Banah menyambangi
alamat yang tertera di koran. Pengalaman dua kali jadi babu laut jadi
modalnya.
Meneer Willem, namanya. Lelaki jangkung itu harus pulang ke Belanda,
mengurus tugas kantor yang tak bisa diselesaikan lewat surat-menyurat.
Bocah lelakinya yang berumur empat tahun hendak dibawa serta. Yang tak
Banah duga, itu meneer ternyata duda. Istrinya meninggal tahun lalu karena disentri parah. Banah menerka usia itu meneer tidak
terpaut jauh di atas usianya. Dia fasih cakap Melayu meski terdengar
aneh. Sesekali Banah melontar kalimat sederhana dalam bahasa Belanda
yang dihafalnya, sekadar membuktikan bahwa ia tidak asing dengan bahasa
itu.
Kedatangan pertama Banah ke rumah mentereng itu berbuntut. Banah
diminta datang menghadap lagi seminggu kemudian. Tak seperti pertemuan
pertama, Meneer Willem nampak lebih santai di pertemuan kedua. Banah
tidak diperlakukan seperti calon babu laut. Bahkan, pada pertemuan
ketiga, dia menyuruh sopirnya mengantar Banah pulang. Tebersit curiga
dan khawatir dalam benak Banah.
***
BABU laut, julukan perempuan pribumi yang kerja di
kapal selama perjalanan ke Belanda. Tak seperti babu umumnya, tugas
utama mereka mengasuh anak majikan selama di laut. Iklan lowongan babu
laut biasanya tertera di koran atau di kertas yang ditempel di tempat
ramai. Isinya keluarga yang membutuhkan, jadwal berangkat, dan di mana
babu laut mesti menghadap. Babu laut yang sudah berpengalaman, lebih
berpeluang diterima. Kadang ada syarat lain yang unik, misalnya bisa
merajut atau main kartu untuk menemani mevrouw mengusir jenuh selama perjalanan.
Bukan mudah jadi babu laut. Majikan lebih suka babu laut yang paham
adab dalam lingkungan keluarga Belanda. Majikan mana yang senang pada
babu laut yang gampang sakit, tak kuat diamuk gelombang lautan.
Bagaimana bisa bekerja jika mengurus badan sendiri saja kerepotan. Babu
laut menjengkelkan macam itu tamatlah karirnya. Belum lagi tiada jaminan
bila terjadi musibah selama perjalanan hingga saat di Belanda.
Umumnya babu laut bekerja pada keluarga Belanda yang cuti, pensiun, atau amtenar yang
harus mengurus tugas kantor. Berapa lama di sana, tergantung
majikannya. Ada yang kerjanya saat pergi saja, lalu pulang bersama
keluarga lain yang hendak ke Hindia Belanda. Sembari menunggu peluang
pulang yang tak pasti waktunya, mereka menumpang tinggal di tempat
orang-orang Hindia Belanda yang sudah lama menetap di Belanda. Bila tak
kunjung ada lowongan babu laut ke Jawa, mereka terpaksa keluar ongkos
sendiri untuk pulang. Mereka yang enggan pulang, mencari kerja di
tempat-tempat bersuasana Hindia Belanda; jadi koki di restoran India
atau jadi babu tetap di keluarga Belanda.
Bila memergoki perempuan bertubuh kecil, berkulit gelap atau sawo
matang, dan berkebaya lalu-lalang di kota-kota besar di Belanda,
menuntun sinyo atau mendorong gerobak bayi; merekalah babu-babu
laut Hindia Belanda. Upah mereka lebih kecil dibanding bantuan bulanan
untuk seorang pengangguran di Belanda. Namun bagi para babu laut, itu
bukan masalah.
Di Den Haag ada rumah persinggahan bagi babu laut. Pemiliknya seorang
perempuan tua yang sudah lama menetap di sana dan mendirikan
perkumpulan untuk kaum hawa Hindia Belanda di Belanda. Halaman rumahnya
sempit, langit-langitnya rendah. Para babu laut yang enggan pulang atau
menunggu kesempatan pulang, berjejal di dalamnya. Banah akan menetap
sementara di sana, meski persinggahan itu dicemooh sebagai baboearium, akuarium tempat menampung babu laut.
***
PENGALAMAN sekali menikah sudah cukup buat Banah.
Saat lakinya hendak kawin lagi, Banah murka. Bini mana bersukacita bila
dimadu. Setelah perang mulut berlarut-larut, Banah memilih cerai.
Putrinya kini tinggal bersama kakek-neneknya. Kabar angin yang mampir di
telinga Banah, nasib bekas lakinya tidak lebih baik ketimbang saat
bersamanya.
Tak sampai enam purnama Banah kerja di pabrik gula. Status janda
membuatnya kerap jadi gunjingan dan lirikan lelaki iseng. Mandor bangor
bertubuh tambun berkumis tebal, hampir tiap hari bikin ulah; menepuk
atau meremas bokongnya sembari lewat. Bahkan pernah mencolek dadanya
saat jam istirahat. Daripada makan hati, Banah berhenti kerja tanpa
pamit sama sekali.
Dan di sinilah Banah sekarang, di antara hiruk-pikuk manusia dan desau angin laut, membuntuti Meneer Willem. Sinyo rambut
pirang berada dalam genggaman tangannya. Meniti tangga masuk ke perut
kapal, bau laut dan mesin kapal, bercampur aroma parfum dan keringat
penumpang membuat bulu tengkuk Banah meremang. Dalam perut kapal, Banah
sudah paham apa yang mesti dikerjakan; cekatan menata letak koper dan
tas di kabin, juga mengurus sinyo yang mulai rewel. Di geladak
banyak orang Belanda yang hendak pulang. Beberapa dari mereka saling
kenal. Banah sempat melihat Meneer Willem mengobrol dengan seorang
lelaki Belanda.
Berhari-hari dalam kapal, sejauh mata memandang semesta air belaka.
Melihat gugusan pulau samar-samar di kejauhan. Ketika kapal bersandar di
pelabuhan, betapa riang penumpang kapal, tak terkecuali Banah. Akhirnya
melihat daratan setelah berhari-hari di lautan. Namun Banah belum bisa
leluasa, dia hanya bisa berjalan di sekitar pelabuhan, menunggu kapal
melanjutkan perjalanan.
Untuk menepis jenuh diajaknya sinyo menyusuri lorong-lorong kapal. Jika malam, saat Meneer Willem dan sinyo sudah
pulas, Banah mengendap ke geladak. Tidak dipedulikan angin laut yang
membuat tubuhnya menggigil. Minyak kayu putih dalam botol tak
dilupakannya. Cairan itu membantu menghangatkan tubuhnya saat menggigil
di tengah lautan atau saat di Belanda nanti.
Kapal mengangguk-angguk dibuai ombak di tengah lautan yang tak Banah
ketahui namanya. Banah ingat kali pertama menapakkan kaki di Pelabuhan
Rotterdam. Dirinya bagai katak menyembul keluar dari tempurung. Degup
jantungnya tak karuan melihat orang-orang kulit putih pucat badan tinggi
besar lalu-lalang di sekitarnya. Dari bangunan-bangunan bertembok bata
merah, orang-orang melongok sejenak dari jendela lalu kembali masuk ke
ruangannya. Celoteh dalam bahasa asing dan teriak kuli-kuli pelabuhan
membuat kepalanya pusing. Dari gudang-gudang bertembok kelam, angin
mengirim aroma cengkeh, lada, kopi, dan tembakau ke cuping hidungnya.
Sudah berapa ratus kapal hilir mudik mengunjal rempah-rempah dari Hindia
Belanda?
Kapal berlomba dengan waktu dan kebosanan para penumpang. Terbersit
kerinduan Banah pada derik jangkerik serangga malam lainnya. Sedang apa
bapak emak di kampung? Petuah-petuah mereka keluar masuk kupingnya.
Dari sana dia bisa mengirim uang untuk mereka dan putri semata
wayangnya. Andai mantan suami dan mandor bangor menjelma di depannya
saat itu, Banah akan tersenyum sinis, bahkan buang ludah di depan dua
lelaki keparat itu.
Meneer Willem menatap tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Tatapan harimau jantan kepada rusa betina yang lemah. Meneer Willem
memuji kemolekan pinggul Banah. Saat itu Banah melihat pintu masa depan
terkuak lebar di depan mata. Pucuk dicinta ulam tiba, pikirnya. Banah
siap saja menjadi nyai Meneer Willem, yang penting niatnya meninggalkan
kampung bisa tercapai. Meneer suka aroma minyak kayu putih.
Ada nyai yang mujur dibawa lakinya ke Belanda dan menetap di sana;
meski lebih banyak yang sengsara. Banah kerap mendengar ihwal nyai yang
dicampakkan begitu saja oleh meneer-nya, bahkan anak hasil hubungan mereka turut dibawa pulang. Seorang meneer tak wajib bertanggung jawab pada nyai.
Kampung halaman menyesaki batinnya dengan nestapa belaka. Banah yakin
kehidupan akan lebih baik di benua jauh. Menatap matahari terbit di
tengah lautan, Banah bagai melihat masa depannya yang benderang.
***
BERSUA dan bertukar sapa dengan sesama babu laut di
kapal membuat kesepian Banah ter obati. Beberapa dari mereka sudah biasa
mondar-mandir Jawa-Belanda. Jika ada kesempatan berkumpul, mereka
ngobrol ngalor-ngidul; tentang keluarga, majikan, pengalaman di negeri
orang, meledek babu laut yang lagak-lakunya menyerupai mevrouw.
Juga membahas kelakuan beberapa babu laut yang merayakan malam tahun
baru dengan mencarter taksi lalu fakansi keliling Den Haag dan Rotterdam
hingga ambang subuh.
Hidup dikuntit kemiskinan dan hinaan tentu menyakitkan, bagai kurap
yang melekat di sekujur badan. Bersandar pada harapan dan impian.
“Bedinde bukan sembarang bedinde, bedinde bisa melihat dunieee…,” gurau seorang babu laut. “Jadi zeebaboe lebih baik ketimbang jadi buruh pabrik,” celetuk babu laut lainnya. “Apalagi jadi nyai…”
Banah terkesiap. Celetukan teman baru di sebelah kirinya membuat air
muka Banah berubah. Serasa ada yang menohok sanubarinya. Sebisa mungkin
dia menyembunyikan kegelisahannya. Mereka tidak tahu, Banah babu laut
sekaligus nyai.
Botol minyak kayu putih terlepas dari genggaman tangan Banah. Sia-sia
tangannya menjangkau, botol itu lebih cepat terjun bebas ke lautan,
ditelan bunyi ombak membentur badan kapal. Dalam gelap, susah payah mata
Banah memastikan melihat botol itu untuk terakhir kalinya. Tulang dalam
tubuh Banah lemas lunglai. Parasnya pucat. Nafasnya tertahan lama di
kerongkongan. Jangankan berteriak, bergumam pun tak sanggup lagi.
Tiba-tiba Banah dicekam kesedihan. Tiada lagi yang bisa mengingatkannya
pada kampung halaman dan keluarga. Segala yang tersayang, yang tersisa
untuk dikenang, telah hilang. ***
Bandarlampung, 2017
ARMAN A.Z. menulis di media massa nasional dan daerah. Karyanya tergabung di sejumlah antologi. Antara lain, antologi Cetik (1999), GraffitiImaji (2002), Cermin & Malam Ganjil (2002), 20 Tahun Cinta (2003), dan Wajah di Balik Jendela (2003).