Daftar Blog Saya

Selasa, 17 Oktober 2017

Pasar Malam di Pasir Putih

Cerpen Haldi Patra (Haluan, 15 Oktober 2017)
Pasar Malam di Pasir Putih ilustrasi Haluan.jpg
Pasar Malam di Pasir Putih ilustrasi Haluan
Menyusuri daerah Selatan. Lautan biru tarhampar luas di sebelah kanan dan perbukitan hijau menjulang di kiri. Ombak sangat bersemangat berpacu-pacu disaksikan rayuan pohon kelapa yang dengan malas diterpa angin pesisir. Perjalanan yang tidak seberapa jauh, memakan waktu tempuh lebih lama karena seakan merugi jika hanya melalui daerah indah ini tanpa melihat kiri dan kanan. Laut seakan mengajak untuk berhenti sejenak untuk dinikmati keindahannya, melepas lelah setelah berjam-jam perjalanan.
Sore hari ini jalanan lengang. Tetapi perkampungan selalu saja ramai menjelang senja. Tiap-tiap kedai kopi selalu dikunjungi sekumpulan orang yang bersantai menikmati petang. Laut biru dengan pasir putih, mengantarkan angin sepoi-sepoi memupus pahit getir hidup karena dirundung kemiskinan. Satu atau dua gelas kopi menghilangkan ketegangan selepas menghadang marabahaya laut atau remuk redam tubuh sepulang dari ladang di tengah rimba.
Memasuki suatu kampung, jalanan yang tadinya lengang berubah menjadi kemacetan memuakkan seperti yang biasa terjadi di kota besar. Ratusan kendaraan berjejal di tengah jalanan aspal berlubang. Terhenti untuk beberapa saat, beringsut menjejaki meter demi meter. Pengendara sepeda motor harus jeli untuk menjejal ruang kosong selebar cukup satu meter untuk bisa tetap melaju. Tidak ada polisi lalu lintas dengan rompi warna stabilo yang berusaha membuat lalu lintas kembali normal. Meskipun bisa ditemui, polisi hanya berjaga di depan polsek, menyaksikan kemacetan di jalan menuju Selatan.
Apa gerangan yang menyebabkan kemacetan pada sebuah kampung di Selatan ini? Ternyata bukan karena jalanan kecil yang berlubang. Bukan pula karena ada sapi yang ditabrak oleh sebuah mobil. Tidak juga karena sebuah truk yang mengalami pecah ban beberapa kilometer di depan. Pastinya polisi dengan rompi warna stabilo hijau tidak hanya akan berdiri di depan polsek jika memang ada insiden.
“Ada apa di depan sana, uda?”
“Ada pasar malam,” kata seorang lelaki muda sambil tersenyum.
“Pasar malam?”
Daerah Selatan, daerah yang sedikit terlupakan modernisasi. Ekonomi masyarakat di sini mayoritasnya, kalau tidak ke laut menangkap ikan, maka ke rimba membuka ladang. Beberapa lainnya berdagang. Sedang sedikit sekali mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah yang dijanjikan dana pensiun. Namun, lebih banyak yang mencoba peruntungan nasib di rantau orang. Dari seorang kawan yang juga berasal dari Selatan, aku diberi tahu bahwa orang di sini banyak yang tidak benar-benar tahu apa artinya kaya. Sedangkan bagi yang tahu, tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa kaya. Kemiskinan di sini adalah kebersahajaan yang dirayakan bersama-sama. Upah ratusan ribu per bulan cukuplah untuk membuat mereka tetap hidup dari tahun ke tahun.
Puluhan ribu yang didapat di siang hari tidaklah masalah untuk dihabisan pada malam nanti untuk mencicipi hiburan di pasar malam. Buayan Kaliang digelar di sebuah lapangan. Roda-roda maut memekakkan telinga dengan desingan knalpot yang menderu. Asap dari sate dan mie ayam mengepul menggugah selera di panasnya udara malam pesisir. Gerai lempar gelang berhadiah rokok dan kebutuhan pokok berjejer dari timur ke barat.
Puluhan orang antri menunggu giliran mereka untuk menaiki Buayan Kaliang. Beberapa pemudi muntah setelah menaikinya. Remaja belasan tahun memakai topi berkaca mata hitam di malam hari menikmati semangkok mie ayam bersama para gadis. Seorang pria setengah baya tertawa menerima hadiah sebungkus rokok, tiga buah sabun mandi, dan lima botol minyak goreng setelah memenangkan permainan bowling ajaib. Seorang lainnya terpaku setelah merogoh kantongnya, tidak lagi menemukan selembar pun uang. Dia terlalu asyik melempar-lempar gelang, sehingga tidak menyadari lemparan terakhirnya adalah uang terakhir yang ia miliki malam itu.
Para pemuda, menikmati minuman sambil berdendang ria di kafe sepanjang pantai. Sebuah speaker besar disediakan oleh tiap kafe untuk menarik pengunjung. Lama tidak berjalan-jalan ke Selatan, aku tidak tahu bahwa teknologi karaoke telah membudaya di sini. Kaca mata hitam dan topi tetap tidak tinggal dikenakan oleh para pemuda ini.
Pasar malam di Selatan, lebih semarak dari pada pasar malam di Ibukota negara. Para pengunjung datang untuk menikmati hiburan yang tersedia. Bukan untuk duduk-duduk mengambil gambar dari ponsel dan sekadar chatting dengan handai taulan (entah di mana handai taulan itu berada). Bukan pula untuk memamerkan pakaian bagus yang mereka kenakan.
Semua orang tidak begitu peduli dengan apa yang kau pakai. Ponsel apa yang kau gunakan. Apakah tasmu asli seharga puluhan juta atau bajakan seharga enam puluh lima ribu. Orang-orang hanya memedulikan bagaimana untuk bisa menikmati sensasi diputar-putar buayan kaliang. Ikut merasakan keseruan melihat para pengendara motor memilin tali gas di dinding tong maut. Seberapa tepat lemparan gelangmu sehingga kau berhak membawa pulang hadiah yang disediakan. Dan menikmati suguhan pertunjukan musik dangdut oleh artis lokal.
Teman seperjalanan memarkir kendaraan untuk ikut menikmati kemeriahan pasar malam di Pasir Putih.
“Di mana lagi kau bisa menemukan hiburan seperti ini?” katanya.
Tetapi, tidaklah cocok bagi seorang lelaki muda tinggi dengan potongan rambut pompadour, brewokan, dan memakai celana Louis berjalanan di tengah masyarakat yang berjalan sepuluh kilometer menuju pasar malam ini. Sepatu kulit coklat mahalnya tidak akan cocok dipijakkan pada lapangan rumput berlumpur yang puluhan tahun terbiasa diinjak oleh sandal jepit.
Dengan segera lelaki muda itu kikuk. Pada sebuah festival di ibukota, dia akan dilirik oleh perempuan muda dan berakhir dengan sebuah kencan di sebuah kafe di pusat kota. Tetapi di sini, dia tak ubahnya seperti badut yang dibayar murah oleh juragan buayan kaliang untuk menarik perhatian para pembeli tiket.
Biarlah seorang teman itu dicemooh para gadis Selatan ini. Suatu hal yang kurang pada pasar malam ini begitu membuat aku penasaran. Kekurangan ini bagiku sungguh kentara, terlebih setelah lima belas tahun tidak menjejakkan kaki di Selatan. Kekurangan itu adalah suatu yang dulu aku adalah bagian di dalamnya. Kekurangan yang saat ini masih aku cari-cari dan tetap tidak aku temukan. Kekurangan yang tadinya tidak terpehatikan olehku, sebelum memasuki wilayah Selatan. Kekurangan yang membuat aku rindu akan masa-masa belasan tahun lalu dalam hidupku beserta hidup anak-anak pada tahun 2000-an awal.
Dimana mereka para pejuang cilik yang selalu menyandang senapan mainan berpeluru plastik bulat kecil itu?

*Haldi Patra. Bergiat sebagai Pelapak di Teras Literasi, Universitas Negeri Padang.

Selibat Musim Gugur

Cerpen Muhammad Irwan Aprialdy (Radar Banjarmasin, 15 Oktober 2017)
Selibat Musim Gugur ilustrasi Radar Banjarmasin.png
Selibat Musim Gugur ilustrasi Radar Banjarmasin
IA memutuskan berpaling pada putih yang memberinya hidup. Muasal dari kelahiran dan kerentaan. Cahaya yang memeluknya di malam ketika kabut tersesat di hadapannya dan angin di luar jendela kamar tak pernah begitu dingin. Ia pergi mengikuti arah angin, meninggalkanmu dan mereka yang berlindung di doa dan kidung untuk menyalibkan dirinya sendiri pada ketakberarahan diri.
Ke mana mencari arti? Sementara orang-orang tak memetakan jalan pulang, kau mencari siapa yang ingin meninggalkan. Tapi, di setapak tanpa nama, kota yang cadas bersama kutuk musim, dan usia sebuah benua yang coba kauterka lewat desau pohon dan jendela yang terbuka tutup— di dalamnya korden melambai, seorang gadis yang memutuskan melepas tudung rambutnya untuk mcmperjelas silsilah yang menemukannya sebelum sumpah selibat dilayangkan. Dan langit mengirimkan tanda air lewat sepia yang tak biasa.
Tak ada yang perlu kautangisi atas pilihannya. Gadis itu memilih menyerahkan paru-parunya pada berbatang sigaret, mengenakan gaun tanpa lengan, dan menghentakkan kebebasan dari sepatu hak pendeknya. Ketimbang, ia diam dan dalam sunyi meronta pada ketika tiga kaul diucapkan. Ia melambaikan tangan padamu yang lebih memilih putih—ganih ia putuskan untuk dibaiat menyimpang pada dirinya sendiri.
Bukan tanpa sebab. Bukan sapa bermata sembab. Ia menangis sebab pada satu dan lain hal ia hanya akan jadi wanita yang tertidur di peti matinya sebelum jam kematian dibunyikan. Dan Izroil hanya akan lewat di atas flatnya tanpa menyangkutkan pertanda di tali jemuran. Seperti kau yang hanya mengangkat tanganmu, menghormati sapa itu. Tanpa ada senyum. Kau hanya tertegun dan membiarkannya menyaksikan punggungmu yang menjauh secara lambat.
Sebelum kau membelok di tikungan, kau mendengar denting piano. Suara sop ran wanita itu yang menyanyikan lagu-lagu himne—puja-puji pada bapak di surga.
la melepasmu. Gadis itu melepas persahabatannya denganmu. Tapi, barangkali kau tak lebih dari sekadar kawula, sebab, toh, ia bisa mengkhianati kedua orangtuanya yang berpesan padanya untuk hidup melayani Tuhan.
Tapi, ia tidak ingin seperti neneknya.
“Sebelum aku menempuh pendidikan biana, Tuhan mempertemukanku den gan buku harian nenek yang tak sengaja kutemukan di gudang bawah tanah,” gadis itu menyesap sigaretnya kuat-kuat, membuat nyala tembakau terpancar ke mata birunya yang rana. “Nenekku tidak mencintai kakekku dengan jiwanya. Keluarga hanya keharusan waktu itu, dan nenekku terlalu tua untuk membujang. Maka ayah ibunya menikahkannya pada pria duda beranak satu. Nenekku tak pernah punya keturunan. Ayahku adalah anak dari istri kakekku sebelumnya yang meninggal pada persalinan. Seumur hidup kakekku tak pernah menyentuh istri keduanva. Dan nenek tiriku membawa pergi keperawanannya lewat sebotol pil tidur di usia 33.”
Kau tak mengerti maksudnya. Tapi kau memahami kenapa ia tak ingin mengucapkan sumpah selibat yang akan diadakan satu bulan lagi. Ia tak ingin membenci Tuhan yang harus ia layani secara paksa, seperti neneknya bersumpah setia pada suami yang tak dicintainya ketika ia ingin mengintip kebebasan dan cinta. Kau memahami benih yang sudah mengakar itu ketika mendapatinya pulang kelewat malam ke asrama lewat jendela. Pakaiannya beraroma tembakau dan nafasnya mengandung alcohol.
Ada kelicinan yang menegang dalam tiap gerak tubuhnya, tak seperti kau dan teman-teman lainnya yang sudah pasrah menghibahkan hidup untuk mengabdi pada Tuhan.
“Tuhan ada, aku tahu.Tapi aku tak ingin melayaninya hanya untuk membencinya.”
Pada kunjunganmu untuk membawanya kembali ke gereja, kau bahkan tak bisa beragumen apa pun. Dan kau tahu Kepala Biarawati Rosa tahu banyak kau tak pandai merayu. Tapi beliau tahu satu hal: kedekatanmu dengan gadis itu, serta hasrat yang terkandung di darahmu yang belum renta.
“Setelah tahun-tahun yang berlalu, pada akhirnya mazmur dan misa tak mampu menguliti takdirku. Ia menatapmu dengan pandangan minta tolong. “Dan adalah kebodohan untuk mengangguk pada perintah kedua orangtuaku yang bahkan tak tahu siapa aku. Mereka ingin mengikatku dan berjanji setia pada kemiskian, kemurnian, dan ketaatan. Sementara, aku memendam ingin untuk mereguk sebanyak-banyaknva dari usia mudaku.”
Angin mengibaskan korden begitu lepasnya. Pertanda musim gugur kini memisahkan kau dan kain itu lewat sehelai satin tak bermasa. Ingin kau menyelimuti jaket beludrunya yang terempas di lantai sebab kaulihat bulu tubuhnya bergidik sepanjang kulit. Tapi kau urung melakukannya. Dan saat itu, kau tahu ia sengaja minta merasakan dingin.
“Kau tak tahu bagaimana rasa laparku tak kunjung terpuaskan. Aku tak bisa berpuasa atas diriku, sementara, berbatas tembok gcreja mangsa-mangsa bertebaran. Bagimu itu kemuliaan, tapi, hatiku berkata itu kebodohan,” ia menyesap sigaretnya dalam-dalam. Matanya berair dan ketika ia membuang asap dari hidungnya, air itu tumpah.
Kau begitu larat menyaksikan kejatuhannya. Ketika ia berjalan menuju balkon di tengah angin yang membabi buta, kau tersentak berdiri. Entah untuk apa. Dan kau saksikan ia menggigil dengan seluruh bulu lengan yang bergidik bagai camar yang dikuliti. Tapi, gigilan itu baginya adalah kebebasan.
“Aku lelah merasa sebagai pendosa di sarang para perawan Tuhan. Aku merasa begitu kotor. Dan kupahami satu: kau tidak bisa melayani majikanmu sambil terus memintanya membersihkan dalaman  kotormu.” Gadis itu memberikanmu tatapan itu: duka yang agung.
Dan kau mengerti. Dan kau ikut menggigil. Bukan karena angin. Tapi karena ia telah mengulitimu pula. Kau merasakan sajak yang amat purba dari dirimu berdeklamasi lewat airmata. Gadis itu mendekatimu perlahan. Nafasnya selicin sentuhan yang asing.
“Kenakan mantelmu, hujan akan turun.” Dan ia berlalu dan memainkan pianonya. Chopin untuk scbuah perpisahan paling nyata. “Bukan salahmu untuk mengucap kaul dan berserah pada hidup selibat. Bukan pula salahku untuk hidup yang mungkin ‘kan dilaknat. Ini hanya dua jalan di mana domba satu berjalan pulang dan bersedia untuk disantap, dan domba lain berkelana untuk mencari gembala.”
Sebelum menyentuh bibir pintu kau berkata, “Au Revoir.”
“Kau mengenalku lebih dalam dari sebuah perpisahan.” tuturnya lembut.
Kau meninggalkan flat itu dan siluetnya: puisi melankolis yang tak akan kaulupakan.
Dan di sinilah kau. Ragu untuk berbelok dan berjalan hingga ke stasiun. Chopin masih samar mengambang di udara dan angin yang menyesatkan dedaunan. Seperti petir yang suaranya meredam di gulungan mendung, kau mendengar ada yang bergerak lambat di dirimu.
Lalu angin membawakanmu sesuatu. Bukan daun. Tapi helaian rambut. Brunette yang amat kaukenal bagai rambutmu sendiri. Kau tak ragu berbalik.
Dan kaudapati dirinya memangkas rambutnya. Jumput demi jumput. Hingga habis seluruh. Menyisakan catatan tak rapi di batoknya yang pucat. Inilah sumpah selibat itu. Gadis itu menguliti sisa kepalsuannya bersama musim gugur yang merapat bersama senja yang sebentar lagi akan lunas.
Chopin menjelma hujan. Entah berapa lama kau terpaku, tapi kau ikut menikmati bagaimana ia membiarkan tubuh kurusnya dimandikan langit yang tumpah. Untuk sebuah kebebasan yang ia pilih. Lalu ia menatapmu.
“Suatu waktu kau akan mendapatiku sebagai gadis yang berteriak bebas di tubir kehidupan.” Ia menghempaskan gaun yang tadi ia kenakan ke jalan. Tubuh kemurnian itu berjalan masuk dan menutup pintu balkonnya.
Berakhir. Ia telah bersumpah selibat pada udara musim gugur. Kau masih membuang waktu bila terus tertegun, merasa kesan yang menganga. Tidak lama, kau berbalik, berbelok ke tikungan. Sebab, pada akhirnya kau merasa jijik pada dirinya—dirimu, berjalan lurus menuju stasiun yang akan membawamu pada majikan yang akan terus mencuci baju kotormu. Dari waktu ke waktu. ()

Kue Pembuka Pintu Langit

Cerpen Budi Afandi (Banjarmasin Post, 15 Oktober 2017)
Kue Pembuka Pintu Langit ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Kue Pembuka Pintu Langit ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Pintu langit terbuka hanya sekali dalam sehari. Saat itu terjadi, awan menjelma menjadi makhluk-makhluk yang pernah hidup di bumi bersama manusia. Makhluk- makhluk itu akan bersenang-senang bersama siapa saja yang telah memberi salam kepada penjaga pintu langit.
Nanti akan Ayah katakan seperti apa salam itu, bersabarlah.
Di tangan kiri penjaga pintu langit selalu ada nampan berisi suara-suara paling merdu, suara berbentuk kue seperti kue-kue buatan Ibu. Kue itu akan diberikan kepada mereka yang telah memberi salam kepada penjaga pintu langit. Hanya dengan memakan kue itu manusia dapat bermain bersama makhluk-makhluk langit yang sudah meninggalkan bumi.
***
Kelinci bersayap akan menghampiri orang yang menengadah ke langit sore, tepat saat penjaga pintu memegang gagang pintu langit.
Setelah lewat waktu itu, tak akan ada kelinci-kelinci bersayap, meski manusia menengadah sepanjang sore, saat pintu langit sudah terbuka.
Waktu adalah kuncinya, Nak. Manusia yang menengadah tepat pada saat tangan penjaga menyentuh gagang pintu langit adalah manusia yang sedang menyampaikan salam. Dan, kelinci-kelinci langit menjadi penanda salam seseorang sudah dijawab.
Sekali lagi, waktu adalah kuncinya, Nak.
***
“Kau ingat kue buatan lbu?”
“Nah seperti itulah kue-kue langit.”
“Bedanya, kue-kue langit bisa bernyanyi.”
Dari tubuh kue-kue langit keluar suara-suara merdu, begitu merdunya sampai-sampai setiap orang tidak akan sadar telah memakan kue itu hingga tandas. Dan, ketika seseorang telah menghabiskan kuenya, seketika itu pula orang itu akan berada di taman yang dipenuhi makhluk-makhluk langit dan tanaman yang menyerupai kaktus.
“Tanaman itu setinggi tubuhmu. Ya kira-kira seperti itu. Tak ada tanaman lain sejauh kau memandang.”
“Hanya ada satu tanaman. Bukan kaktus. Hanya menyerupai saja. Dan, tidak berduri.”
Tanaman itu adalah pohon kue langit, dari pohon itulah kue-kue langit dipanen. Kue-kue langit tumbuh di seluruh bagian seperti duri pada kaktus. Dan, saat kue-kue sudah matang, peri akan lahir untuk memanennya, hanya peri yang dapat memanennya, sebab pohon kue itu rumah mereka.
“Peri-peri itu seperti kita. Tubuh mereka sedikit lebih kecil darimu. Mereka memiliki tangan dan kaki. Benar-benar seperti manusia. Bahkan rambut mereka juga sama seperti manusia. Mereka tidak memiliki sayap, Nak. Hanya kelinci yang bersayap. Yang membedakan peri-peri dari manusia adalah kulit mereka berwarna-warni, serta pakaian mereka terbuat dari air yang jernih.”
“Di sana tidak ada sungai, Nak. Juga tidak ada laut.”
Taman itu hanya hamparan tanaman menyerupai kaktus dengan peri-peri yang sibuk memetik kue langit sambil bernyanyi, dan berbagai makhluk langit yang sudah tak tinggal di bumi.
“Tentu, kau dapat bermain di sana, bersama manusia-manusia yang juga mendapat kue langit. Tentu ada manusia di sana, meski tidak banyak. Manusia yang menengadah di waktu yang tepat dan dihampiri kelinci-kelinci bersayap.”
***
Tidak ada yang tahu berapa banyak makhluk yang ada di langit. Mereka bermain. tertawa dan bernyanyi seperti manusia.
“Tentu mereka bisa bicara, seperti kita, tentu saja. Ah, kalau saja makhluk-makhluk itu masih berada di muika bumi, pasti bumi akan sangat meriah.”
“Kenapa mereka tidak lagi berada di muka bumi? Ayah Juga pernah menanyakan itu kepada penjaga pintu langit. Katanya, semua makhluk di sini diciptakan untuk hidup di alam yang bersih, tidak mungkin lagi mereka hidup di alam manusia.
Dulu ketika bumi masih baru diciptakan. Makhluk-makhluk itu hidup bersama manusia. Mereka dan manusia bisa sesuka hati pergi ke langit, sebab saat itu pintu langit tidak pernah tertutup.
“Saat itu juga belum ada pohon-pohon kue langit, Nak.”
***
“Nah itu Ibu sudah datang. Ibumu pasti membawa kue-kue yang menyerupai kue langit. Jadi kita harus menghabiskannya.”
“Besok kita akan mengucapkan salam kepada penjaga pintu langit.”
***
Di sana tidak ada air. Tidak ada sungai. Tidak ada laut.
“Jangan cemaskan kakimu. Di sana sandal atau sepatu tidak diperlukan. Tidak ada kerikil.”
“Kita di langit, jadi jangan cemaskan hujan atau terik.”
“Bergegaslah, karena penjaga pintu langit tidak suka orang mengganggu tidurnya.”
Penjaga pintu langit akan tertidur setelah membagi habis kue-kue di nampan.
“Ia akan lerjaga tepat saat Ibumu memasuki pekarangan.” ***

BUDI AFANDI. Kelahiran Dusun Bilatepung, Lombok Barat, NTB 20 Juni 1983. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini menulis novel, cerpen dan puisi. Karyanya dimuat di surat kabar lokal dan nasional; dalam Antologi Penyair NTB: dari takhalli sampai temaram (2012) untuk sajak; dan dalam: Badja Matya Mantra (2013) dan Kebaikan Istri (2017), untuk cerpen. Bermukim di Jakarta Selatan.

Laki-laki Penggali Lubang

Cerpen Pudji Isdriani K (Suara NTB, 14 Oktober 2017)
Laki-laki Penggali Lubang ilustrasi Suara NTB.jpg
Laki-laki Penggali Lubang ilustrasi Suara NTB
NAMANYA Tumijan, laki-laki itu berumur lima puluh empat tahun. Dia meninggal karena sakit. Tidak jelas sakitnya apa, konon komplikasi dari gula darah, ginjal, darah tinggi dan entah apa lagi. Mungkin bagi penduduk desa Sendang, orang meninggal itu sudah biasa. Entah karena sakit, kecelakaan, atau karena sebab yang lain. Jenazah akan segera diurus. Mulai dari dimandikan, disalatkan, dan dikubur. Namun tidak demikian halnya dengan jenazah laki-laki ini,. Tidak satu pun tetangganya yang mau mengurus jenazahnya.
***
Di Surabaya Tumijan bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Dia berjualan jus buah-buahan di SMA swasta. Ternyata Jus buatan Tumijan disukai anak-anak sekolah itu. Jusnya laris manis. Sukengsi pun merasa tenang karena Tumijan mempunyai penghasilan lumayan sehingga bisa menabung untuk biaya kelahiran anak pertamanya.
Anak pertama Tumijan lahir normal, jenis kelaminnya laki-laki dan diberi nama Gandrung. Ya, karena bayinya itu lahir karena dia gandrung kepada Sukengsi. Jadi dengan nama itu dia berharap cintanya kepada Sukengsi akan tetap menyala.
Hari itu Sukengsi merasa badannya pegal-pegal setelah melahirkan, dia memanggil dukun urut. Ternyata mbah dukun itu tidak hanya mengurut badannya yang pegal-pegal namun juga mengurut bagian perut, “Ini untuk menaikkan rahim yang kendur karena habis melahirkan.” Sukengsi hanya diam saja meskipun sebenarnya dia khawatir rahimnya diurut dengan keras. Akibatnya Sukengsi pendarahan, saat dibawa ke dokter tidak tertolong. Sukengsi pun meninggal dunia.
Sejak kematian istrinya Tumijan seperti orang linglung. Ibu Sukengsi prihatin melihat kondisi menantunya. Begitu juga dengan cucunya yang tidak terurus. Gandrung pun diambil oleh ibunya Sukengsi, saat itu Tumijan tidak bereaksi dia hanya diam saja. Bahkan saat ibu kandungnya meninggal pun dia hanya bengong tidak ada ekspresi sedih di wajahnya.
“Kasihan ya Tumijan, ibunya meninggal saja dia tidak bereaksi. Benar-benar stres berat.” Ibu-ibu yang melawat berbisik-bisik.
Cukup lama Tumijan stres namun karena adiknya terus berusaha mengupayakan penyembuhan bagi Tumijan, mulai paranormal sampai ke rumah sakit jiwa. Akhirnya, berangsur-angsur Tumijan sembuh. Suaidah sebagai satu-satunya saudaranya sangat senang karena kakaknya sudah normal kembali. Mereka hidup berdua di rumah satu-satunya peninggalan ibunya. Mereka berdua bahu membahu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tumijan mengajar lagi bahkan mushola milik keluarga yang terletak di pekarangan dan di samping rumahnya mulai ramai. Banyak anak-anak yang belajar mengaji di sana. Tumijan rajin mengajari anak-anak usia empat sampai dua belas tahun mengaji. Suaidah bersyukur karena saudara satu-satunya sudah kembali menjalani hidupnya.
Hingga pada hari itu, Bik Siti mendatangi Tumijan.
“Le, kebun bambu yang di dekat sawah sebelah Barat kok tinggal setengah. Padahal mau tak jual nanti kalau mau buat gudang tembakau.”
“Oh…itu ya Bik, aku yang jual karena butuh uang untuk perbaikan mushola. Lagi pula itu kan kebun bik Siti sama emak. Kalau ngak salah nyai mewariskan kebun itu untuk berdua, sedangkan lik Giman dapat bagian kebun yang di sebelah Selatan.”
“Memang sih, itu milik berdua dengan yu Sus tetapi kalau mau jual bambu kamu mestinya bilang dulu sama bibi.”
“Untuk apa bilang dulu sama bibik, kan itu milik berdua dengan emak.”
“Pantas-pantasnya kan sebagai anak muda minta izin dulu sama yang lebih tua.”
Adu mulut antara Tumijan dengan bibiknya itu semakin memanas. Karena malu, Siti mengalah. Meskipun bibiknya itu sudah tidak ada, Tumijan masih mengomel.
Sejak pertengkaran itulah hubungan mereka terputus. Tumijan tidak mau bertegur sapa dengan adik ibunya itu. Begitu juga Siti, dia tidak sudi berbicara dengan Tumijan. Keponakannya itu dianggapnya tidak mempunyai rasa hormat terhadap orang yang lebih tua darinya.
Satu bulan setelah itu tiba-tiba Siti sakit keras. Perutnya buncit, menurut dokter ada mium di rahimnya. Khawatir miumnya semakin membesar, Siti menjalani operasi. Namun baru dua minggu operasi perut Siti buncit lagi.
“Bawa saja ke dukun, sakitnya Siti tidak wajar. Siapa tahu dia itu disantet orang.”
Mbah Suro yang berambut keriting dan berewokan itu menatap tajam wajah Siti. Kalau tidak sakit dan ingin sembuh, mungkin Siti sudah kabur dari tadi. Mbah Suro masih menatap tajam ke wajah Siti, bulu kuduk Siti bergidik. Mata mbah Suro seperti mata burung elang yang siap menyambar mangsa yang diincarnya. Setelah cukup lama menatap Siti, dia menyuruh Siti mendekat kemudian memegang perut Siti.
“Wah, kamu kena santet! Berat ini, yang nyantet kamu terus kirim barang.”
“Bagaimana mbah supaya saya bisa sembuh?”
“Nanti akan saya obati.”
Dengan serius Siti menunggu mbah Suro menyiapkan proses pengobatannya. Mbah Suro mengeluarkan baskom berisi air dan kembang setaman. Dia membaca jampi-jampi. Dia lantas mengambil air tersebut dan memercikkan ke wajah Siti. Setelah itu Mbah Suro memberikan wejangan.
“ Kamu cari air sumur yang tidak kena matahari, kemudian airnya dicampur dengan air laut, kemudian masak air itu sampai mendidih dan taruhlah daun kelor, daun bawang, merang kerang hitam, daun sirih temu rose, daun kemangi. Kemudian aduklah sampai rata sehingga sampai membuih kemudian minumlah air tersebut, dan sisanya dibuat mandi.”
Dengan takzim, Siti mendengarkan resep dari Mbah Suro. Dia percaya bahwa apa yang dikatakan Mbah Suro pasti benar sehingga semua santet yang diterimanya bisa disembuhkan.
Namun setelah Siti melakukan ritual seperti yang diperintahkan oleh Mbah Suro, perutnya tetap buncit. Dua hari kemudian Siti meninggal setelah terlebih dahulu muntah darah.
Saat mendengar bibiknya meninggal Tumijan bergeming. Dia tidak mau melayat. Jangankan melayat, dia malah pergi ke kota. Pulangnya malam setelah semua kegiatan yang menyangkut pemakaman bibiknya rampung. Sikap Tumijan yang seperti itu membuat suami dan anak-anak Siti geram. Mereka semakin yakin kalau Tumijan itu tukang santet.
Waktu terus berlalu…
Tumijan melakukan sesuatu yang aneh. Dia menggali lubang di depan rumah dan di sekeliling mushola. Para tetangga bergunjing.
“Tumijan sudah tidak waras ya? Untuk apa dia menggali lubang di halaman rumah dan sekitar mushola?”
“Dasar orang gila! Apa sih maunya?”
“Aku semakin yakin kalau dia itu tukang santet!”
Meskipun para tetangga ramai menggunjingkan Tumijan. Namun tidak ada yang berani melawan dan berhadapan langsung dengannya. Kata beberapa orang yang pernah menegur Tumijan, saat bertatapan mata ada sesuatu yang aneh, “Aku merasa linglung dan mengantuk Kang…” Begitu kata Narto kepada kakaknya.
Sejak Narto mengatakan hal itu, tidak ada satu pun tetangga yang berani menegur Tumijan. Semakin hari lubang yang digali Tumijan semakin banyak.
***
Pak RT tepekur di depan jenazah Tumijan. Tidak ada satu pun tetangga yang melayat. Sungguh malang nasib Tumijan, sudah menjadi mayat pun tidak ada orang yang mau memaafkannya. Tiba-tiba Parno teringat dengan keluarga bu Siti, bagaimana pun keluarga tidak mungkin tega.
“Bagaimana Man? Para tetangga tidak ada yang mau memakamkan jenazah Tumijan.”
Suami bik Siti tepekur. Meskipun tidak bisa dibuktikan kalau istrinya meninggal karena diduga disantet oleh Tumijan namun Man Badri merasa sakit hatinya. Apalagi jika ingat ketika Tumijan memaki-maki istrinya. Bahkan saat istrinya meninggal pun Tumijan tidak melayat.
“Bagaimana, Man? Saya rasa orang yang sudah meninggal tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai umat beragama kita maafkan saja dia. Saya kan tidak mungkin sendirian mengurus jenazah Tumijan. Sebagai ketua RT, saya mohon dengan sangat Man Badri mau berlapang dada memaafkan Tumijan.”
Setelah pak RT cukup lama membujuk Man Badri, akhirnya Man Badri setuju untuk membantu pak RT mengurus jenazah Tumijan. Pak RT, Man Badri, dan dua anak laki-lakinya mengurus semuanya. Mulai dari memandikan jenazah, membungkus jenazah dengan kain kafan, dan menyolati jenazah. Namun saat jenazah sedang diusung dan melewati depan rumah Tumijan yang penuh dengan lubang itu, tiba-tiba jenazah memberat. Keempat orang yang mengusung jenazah itu tidak kuat menahannya. Mereka lantas meletakkan keranda di tanah.
“Ayo kita angkat lagi keburu Magrib.”
Pak RT memberi semangat. Man Badri dan kedua anak lelakinya mengangguk. Mereka berempat mengangkat keranda jenazah Tumijan kembali. Namun meskipun sudah mengerahkan segenap tenaga keranda tersebut terasa sangat berat seperti berisi batu ratusan kilogram. Keringat pun berleleran di tubuh keempat orang itu. Sementara langit di ujung Barat sana mulai memerah pertanda siang akan berganti malam. Akhirnya dengan susah payah keranda itu terangkat. Buru-buru mereka menggotong keranda supaya masih ada matahari. Saat menghindari lubang di dekat pohon nangka di sebelah Barat halaman Tumijan, Man Badri yang menggotong di posisi depan kanan terantuk batu. Laki-laki tengah baya itu kehilangan keseimbangan. Man Badri limbung dan terjatuh. Kerandan itu pun ikut terjatuh dan terguling. Jenazah Tumijan keluar dari kerandan dan masuk ke dalam lubang sepanjang dua meter dan selebar satu setengah meter.
“Wah! Bagaimana Man? Hati-hati kalau jalan. Ayo segera kita angkat!”
Pak RT segera turun ke dalam lubang. Wajah Man Badri pias, dia merasa ada yang tidak wajar. Tadi tiba-tiba saja jenazah Tumijan berat seperti batu, kini kakinya terantuk dan jenazah Tumijan masuk ke dalam lubang yang digalinya sendiri. Dan di lubang ini dulu ada dua anak kecil yang terperosok di dalamnya dan meninggal. Kata dokter, kepala kedua bocah itu mendapat benturan yang keras. Anehnya kedua bocah tersebut muntah darah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Ingat kejadian itu. Bulu kuduk Man Badri bergidik.
“Ayo cepat kita angkat!” Pak RT berteriak.
Man Badri dan kedua anaknya langsung turun ke dalam lubang. Mereka berempat segera mengangkat jenazah Tumijan. Saat sedang berusaha mengeluarkan jenazah tiba-tiba turun hujan lebat. Langit yang semula cerah berubah menjadi kelabu. Keempat laki-laki yang berada di dalam lubang itu tampak panik. Bagaimana tidak? Dalam keadaan terang saja susah apalagi hujan begini. Tanpa dikomando keempat laki-laki itu langsung menempati posisinya untuk mengangkat jenazah Tumijan. Namun jenazah Tumijan semakin membatu, lebih berat dari sebelum masuk ke dalam lubang.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, mereka berempat berusaha keras untuk mengeluarkan jenazah itu. Tiba-tiba hujan semakin lebat. Dalam hitungan detik air menderas ke dalam lubang. Keempat laki-laki itu kontan segera naik. Tiba-tiba halilintar menggelegar, sesaat langit benderang. Tiba-tiba saja tanah di sekelilingnya longsor dan masuk ke dalam lubang. Dalam sekejap jenazah Tumijan terkubur di dalam lubang yang digalinya sendiri. Sekali lagi halilintar menggelegar, secercah kilat menyambar pohon nangka yang hanya berjarak dua meter dari lubang. Pohon nangka itu hangus dan roboh tepat di atas lubang dimana jenazah Tumijan terkubur di dalamnya….
***

Pudji Isdriani K, alumni Fakultas Sastra Indonesia, UNS 11qa Maret dan Universitas Indonesia. Ketua Umum Masyarakat Sastra Jakarta, Pengurus Wanita Penulis Indonesia Pusat (WPI Jakarta) dan Ketua Umum Ikatan Istri Bank Daerah NTB (ISBANDA).

Seusai Perang Besar

Cerpen Luhur Satya Pambudi (Bali Post, 15 Oktober 2017)
Seusai Perang Besar ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post.jpg
Seusai Perang Besar ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Mereka sedang menanggung duka yang dalam nian, sebuah rasa yang belum pernah ada sebelumnya. Para perempuan meratapi ayah, saudara lelaki, suami, maupun anak lelakinya yang telah pergi dan mustahil kembali pulang. Pasar-pasar pun hilang kumandangnya. Tiada orang yang melakukan jual-beli di sana. Sawah ladang ditelantarkan begitu saja tanpa ada yang menggarapnya. Seakan-akan semua orang larut dalam kesedihan dan tak berdaya melakukan apa-apa. Kehidupan laksana berhenti untuk sejenak masa. Namun, suasana mulai berubah kala terdengar kabar Pandawa akan segera datang. Sang bayu yang berembus terasa rada menyejukkan, harapan pun mulai mengemuka. Dengan kesadaran sendiri, masyarakat Hastinapura berduyun-duyun meninggalkan tempat tinggalnya dan berdiri di tepi jalan yang akan dilewati oleh rombongan.
“Siapakah mereka yang kita tunggu, Ibu?”
“Mereka adalah Pandawa, pemimpin sejati Hastinapura yang sudah lama kita tunggu kehadirannya.”
“Di mana mereka selama ini? Mengapa baru datang hari ini?”
“Begitu panjang riwayat mereka selama ini, Nak. Lain kali Ibu akan menceritakannya padamu. Semoga Ibu masih mengingatnya nanti. Sebentar lagi mereka akan lewat di depan kita. Berikan penghormatan terbaik kita kepada Pangeran Yudistira dan saudara-saudaranya, Nak.”
“Bolehkah aku mengabdi kepada Pandawa, Ibu?”
“Tentu saja, tapi setelah kau dewasa nanti, ya,” sahut sang ibu yang serta-merta terharu seraya membelai kepala anak bungsunya.
Baratayuda belum lama usai. Kekuasaan Kurawa di Hastinapura berakhir sudah. Seorang bocah lelaki nan lugu banyak bertanya kepada ibunya ketika melihat kedatangan rombongan Pandawa memasuki ibu kota Hastinapura dari padang Kurusetra. Ayah si bocah adalah seorang prajurit yang tewas di medan laga. Paman dan kakak lelakinya pun padam nyawa di sana. Sang ibu tak sanggup membendung air matanya yang mengalir sendiri kala mengenang mereka yang telah tiada.
Kendati begitu berduka, rakyat Hastinapura sungguh berharap Pandawa bisa membawa perubahan bagi kehidupan mereka yang selama ini sengsara dan terhina di bawah Kurawa yang dipimpin Duryudana. Terjadinya Baratayuda telah menambah kadar penderitaan mereka. Maka mereka menginginkan kerelaan hati Destarata menyerahkan takhtanya kepada Yudistira. Mereka tak mengerti bahwa sempat terjadi insiden di dalam istana ketika Destarata nyaris membunuh keponakannya sendiri, Bima, yang telah menghabisi anak-anaknya dengan cara yang keji dalam pertempuran di Kurusetra. Namun, akhirnya Destarata ikhlas melepas kekuasaannya yang diserahkan kepada anak tertua Pandu, adiknya yang sudah lama tiada.
Setelah dinobatkan sebagai raja Hastinapura, Yudistira dengan didampingi adik-adiknya maupun Prabu Kresna kembali mendatangi Kurusetra untuk menemui Bisma Dewabrata, kakek mereka yang terbaring tanpa daya ditopang ribuan anak panah. Dewata memberinya kesempatan menentukan waktu kematiannya sendiri, tapi Resi Bisma masih ingin memberi wejangan kepada Pandawa sebelum menutup mata selamanya.
“Hamba mohon doa restu dari Eyang Bisma agar hati hamba senantiasa tabah menjalankan kewajiban,” ujar Prabu Yudistira di depan kakeknya.
“Eyang tak akan berhenti mendoakan kalian agar senantiasa mendapatkan perlindungan Yang Mahakuasa. Namun, doa tidak akan ada artinya jika yang didoakan justru melanggar hukum yang ditetapkan Tuhan. Yang penting bagi keselamatan manusia di alam lahir dan nirwana nanti adalah perbuatan kita sendiri,” kata Resi Bisma.
Pandawa dan Prabu Kresna mendengarkan dengan saksama petuah sang kakek.
“Waspadalah cucuku, kau sebagai raja jangan hanya memandang orang-orang berderajat tinggi, kaum bangsawan, dan mereka yang kaya raya. Kau mesti melihat kehidupan mereka yang berada di bawah. Di negeri mana saja di seluruh dunia, yang terbanyak penduduknya adalah rakyat jelata.”
“Maju mundurnya suatu negeri dinilai dari kehidupan rakyatnya, bukan dari kemewahan yang memerintah. Kekuasaan rakyat itu laksana air danau yang tenang, tapi sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembah-lembah yang subur. Apabila tanggulnya kurang kokoh, air danau itu akan mendobraknya dengan kekuatan yang dahsyat.”
Yudistira sebagai raja baru Hastinapura sungguh menghayati nasihat lelaki tua yang senantiasa dihormatinya tersebut, kendati beliau berada di pihak Kurawa ketika Baratayuda lantaran kecintaannya yang luar biasa kepada Hastinapura, tanah tumpah darahnya.
“Kejujuran dan keluhuran budi lebih berharga ketimbang emas berlian yang menggunung. Harta kekayaan bagaimanapun banyaknya tidak akan mampu membawamu ke alam nirwana. Hanya itulah yang dapat Eyang wariskan, cucu-cucuku tercinta.”
Resi Bisma pun mengembuskan napas terakhirnya. Pandawa sempat terluka hatinya, tapi mereka telah memperoleh wasiat dari sang kakek yang akan menjadi bekal bernilai tinggi bagi Yudistira maupun keempat saudaranya dalam memimpin negeri yang keadaannya sungguh memprihatinkan seusai perang besar. Sebuah pertempuran yang mesti terjadi untuk mengakhiri kekuasaan yang tidak adil dan bertindak semena-mena terhadap rakyatnya sendiri. Prabu Yudistira berusaha benar mengejawantahkan pesan-pesan Resi Bisma. Nasihat dari Prabu Kresna, Ibu Kunti, dan para sesepuh lainnya tentu akan selalu menjadi pedoman yang baik pula baginya dalam memimpin Hastinapura.
Rakyat bersedia bekerja keras membangun kembali negerinya yang porakporanda di bawah rajanya nan bijaksana. Senyuman masyarakat di negeri itu lambat laun mulai bersemi kembali. Mereka bersukacita melihat sang pemimpin sejati menjalankan kekuasaannya dengan adil dan beradab. Segala hal yang menjadi kebutuhan mereka lambat laun terpenuhi dengan baik. Si bocah lugu dan ibunya pun bersemangat kembali dalam menjalani kehidupan. Sang ibu merestui sepenuhnya hasrat anaknya untuk mengabdi kepada Pandawa di masa mendatang.

Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di Bali Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, dan sejumlah media lainnya. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).

Sebuah Senyum di Balik Cadar

Cerpen Agus Salim (Pikiran Rakyat, 15 Oktober 2017)
Help Me ilustrasi Ismail Kusmayadi - Pikiran Rakyat.jpg
Help Me ilustrasi Ismail Kusmayadi/Pikiran Rakyat
SUDAR senyum-senyum sendiri di bawah pohon rindang, tak hirau pada orang-orang lalu-lalang. Ia bahagia bukan kepalang. Tadi, setelah mencabuti rumput pekarangan, ia dipanggil kepala lapas untuk menghadap. Kepala Lapas memberi kabar kepada Sudar, “Pak Sudar besok sudah bisa meninggalkan tempat ini. Bapak bebas tanpa syarat.” Betapa girangnya si Sudar itu, sampai-sampai tangannya gemetar saat menyalami tangan kepala lapas.
IA melamun, membayangkan tentang kampung halaman, juga tentang wajah istri dan anaknya.
“Nanti aku akan bercinta dengan Surni sampai puas.”
Begitulah tujuan utama saat ia bebas nanti, dan wajar jika ia begitu. Sebab dulu, sewaktu belum dipenjara, ia dikenai dengan julukan lelaki doyan bercinta, dan bahkan, tanpa malu-malu, ia bercerita kepada teman-ternannya bagaimana kehebatannya pada saat bercinta. Selama di dalam penjara, mengendalikan berahi bercinta, adalah perkara paling berat baginya. Beberapa kali ia gagal mengendalikan dan diam-diam menuntaskan hasrat biologisnya dengan tangannya sendiri di kamar mandi.
“Lihat saja nanti, Surni, akan aku buat kau berkeringat dengan keberingasanku di ranjang.”
Sudar kembali senyum-senyum sendiri setelah mengucapkan itu. Lalu ia membayangkan sebuah senyum, senyum Surni yang menawan, senyum kehabagiaan karena melihat lelaki tercinta telah pulang. Tapi bayangan akan senyum itu memudar tatkala ada seseorang mengganggu, datang dari arah belakang dan menepuk pundak Sudar.
“Selamat, ya, Sudar. Besok kau sudah bisa bertemu dengan keluargamu.”
Seorang petugas lapas yang mengucapkan itu dan ketika tahu, Sudar langsung berdiri dan menabur senyum.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”
Petugas itu pergi dan Sudar kembali duduk meneruskan lamunannya.
Hari ini, waktu dirasa bergerak lambat oleh Sudar, tapi pada akhirnya gelap tetap datang, menggeser terang, dan malam menampilkan suasana alam begitu syahdu. Angin bergerak halus dan bulan memancarkan sinar sempurna.
Sudar berdiri di dekat jeruji besi, melempar pandangannya ke langit. Sedang Lahab, kawan satu sel Sudar, yang ikut berbahagia dengan kabar kebebasan Sudar, beringsut dari tempatnya dan mendekati Sudar.
“Besok kau sudah bisa bernapas lega. Kalau sudah ada di luar sana, jangan lupa doakan aku, biar bisa segera ikut jejakmu, keluar dari tempat sialan ini.”
Sudar tertawa lepas, lalu berkata, “Tak sia-sia aku berkelakuan baik, Hab. Tak sia- sia aku berdoa pagi, siang dan malam kepada Tuhan. Makanya, kalau ingin seperti aku, lakukan salat. Minta sama Tuhan. Dalam kondisi seperti ini, hanya Tuhan yang bisa menolongmu.”
Lahab terusik mendengar kata salat, karena ia memang tidak suka salat, “Ya-ya, nanti aku salat. Kalau aku ingat.”
“Tuh, kan. Mana mungkin Tuhan mau membantumu kalau kau tak patuh sama Tuhan.”
Percakapan mereka akhirnya terputus gara-gara Sudar selalu menyinggung soal salat. Dan, Lahab, sangat benci kalau mendengar kata salat itu diulang-ulang.
Sejak masuk penjara, Sudar sangat rajin salat rajin juga berdoa. Tapi, sesungguhnya, sebelum masuk penjara, ia jarang salat dan ia lebih patuh pada perintah Marda, sang tuan majikan, ketimbang perintah Tuhan. Ah, Marda memang sialan, tak tahu terima kasih. Tanpa Sudar, ia tak akan disegani. Sudarlah yang membuat namanya terkenal dan bersinar. Tapi, pengabdian Sudar yang setulus hati, malah ia balas menyakitkan. Ia jebak Sudar, hingga akhirnya Sudar mendekam di penjara. Begini ceritanya.
Seorang Sudar yang polos, tanpa banyak pikir, langsung mengiyakan perintah Marda, karena tergiur imbalan uang 500 ribu rupiah. Perintah Marda cukup sederhana waktu itu. Sudar harus datang ke rumah Layat, kepala desa yang ingin Marda singkirkan, hanya untuk mengambil sejumlah uang keuntungan anggaran Dana Desa. Setelah menggenggam uang imbalan itu, Sudar segera berangkat ke rumah Layat. Waktu itu, malam sebenarnya sudah larut. Sesampainya di halaman rurnah Layat, Sudar sama sekali tak menaruh curiga saat melihat rumah Layat sepi dan lampu beranda depan padam. Pintu rumah Layat terbuka lebar, menjadi jalan keluar cahaya dari dalam rumah yang muram. Tanpa pikir panjang lagi, dengan memasang wajah riang yang menonjolkan warna gigi kuning, ia merangsek masuk.
Barulah terkejut ia saat kakinya berdiri di tengah ruang tamu. Ia dapati tubuh Layat terkapar dengan banyak luka, juga batang leher nyaris putus. Sudar bingung, tak tahu harus melakukan apa. Kemudian, karena takut menjadi tertuduh, ia segera keluar rumah, bermaksud lari sejauh-jauhnya. Tapi, sampai di beranda depan, kakinya berhenti. Rumah Layat sudah terkepung oleh banyak laki-laki bersenjata celurit, Sudar tak berkutik. Lalu beberapa laki-laki maju, mendekati Sudar dengan celurit diacung-acungkan. Sudar tak melakukan perlawanan, menyerah, mengaku kalah. Tapi sebenarnya ia bisa melawan, tapi tak mau melakukannya. Ia pun dibawa ke kantor polisi, dan beberapa hari kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Setelah peristiwa itu, Marda mengadakan pesta, bersyukur atas tertangkapnya Sudar sebagai pembunuh Layat. Kepada masyarakat, ia sebarkan fitnah, bahwa Sudar sengaja membunuh Layat karena mengincar jabatan kepala desa.
Begitulah ceritanya. Tetapi, Sudar yang polos menerima apa yang terjadi padanya itu sebagai takdir, dan tak menaruh curiga atau dendam kepada siapa pun, termasuk kepada Marda. Kepada teman-ternannya di dalam penjara, ia bercerita kalau dirinya tidak pernah membunuh orang. “Aku tidak bersalah. Aku dijebak,” begitu kata-kata terakhir setiap kali ia bercerita, yang selalu diulang-ulang. Tapi, mereka, para napi yang kebanyakan dihukum karena bersalah, tidak mau percaya, dan mengatakan, “Ya, begitulah kalau orang sudah kena tangkap dan dipenjara, selalu mengatakan kalau dirinya tidak bersalah.”
Akhirnya, hari yang ditunggu Sudar tiba. Setelah menyelesaikan urusan administrasi ini dan itu, Sudar diperkenankan pulang, tapi sayang, tidak ada satu pun orang menjemputnya.
“Biarlah,” kata Sudar, “biarlah kehadiranku nanti menjadi kejutan buat Surni dan Sanca.”
Untung Lahab masih mau peduli pada Sudar. Ia memberi sejumlah uang kepada Sudar, dan dengan uang itu Sudar pulang.
Setelah melakukan perjalanan satu jam lebih lamanya, ia pun sampai di kampung halamannya. Lalu ia berlari. Saat kakinya berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berhenti. Aura kebahagiaan terus memancar di wajahnya. Ia putar gagang pintu dengan pelan. Pintu terbuka, dan kondisi menjadi terbalik. Rumahnya kosong, melompong! Jangankan manusia, satu perabotan pun tak ada. Sudar yang polos, bersedih. Matanya berembun. Lututnya melemah. Tangannya gemetar.
“Ke mana Surni? Di mana Sanca?”
“Mereka pasti ada di sekitar sini. Aku harus mencarinya. Harus.”
Atas dorongan sedikit keyakinan itu, ia bangkit, berbalik badan, dan berlari ke luar rumah. Ia kembali mendapatkan kejutan. Di luar rumah sudah ramai dengan warga. Salah satu dari mereka lantas bersuara, “Pembunuh tidak pantas tinggal di kampung ini. Kau harus pergi. Ini sudah menjadi kesepakatan seluruh warga kampung ini.”
Sudar menghela napas. Kepalanya tertunduk lemas. Sudar yang polos, tak berhasrat melawan. Ia hanya mampu berkata, “Baiklah, aku pergi dari karnpung ini. Tapi, tolong sampaikan pesanku ini jika ada salah satu dari kalian bertemu Surni atau Sanca. Katakan kepada mereka kalau aku sudah bebas dari penjara.”
Setelah mengatakan itu, Sudar melangkah pergi. Menjauh dengan langkah lemah. Tak lama dari itu, telinganya mendengar sorak-sorai, yang menyuarakan, “Pergi kau pernbunuh.” Sudar tak mau menoleh ke belakang lagi. Ia pasrah.
Sudar yang polos tidak tahu, kalau di antara kerumunan warga itu ada Surni yang menutup sebagian wajahnya dengan cadar. Di balik cadar, Surni sunggingkan sebuah senyum bahagia, bahagia karena sudah bisa lepas sempurna dari lelaki bodoh. ***